PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

  WACANA KEBUDAYAAN INDONESIA PADA MASA PERGERAKAN KEMERDEKAAN: POLEMIK KEBUDAYAAN (1935 – 1939)

  Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah

  Oleh: Flavianus Setyawan Anggoro

  NIM: 054314005

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  

MOTTO

“Selalu Memandang Ke Depan adalah Sebuah Pilihan Hidup”

(NN)

  HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini Aku Persembahkan untuk: Yang Maha Penyayang Kedua Orangtua Ku Adik Ku Teodosia Marwanti Ety dan Gabriel Aprisriwanto Serta semua orang yang menyayangiku

  

ABSTRAK

(Indonesia)

  Skripsi berjudul “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935

  • – 1939)” ini merupakan suatu telaah Ilmu Sejarah terhadap pewacanaan kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis:1) latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan, 2) dinamika wacana kebudayaan yang tersaji dalam peristiwa Polemik Kebudayaan, dan 3) wacana kebudayaan Indonesia yang muncul setelah Polemik Kebudayaan hingga tahun 1945.

  Landasan teori yang digunakan dalam penulisan ini adalah teori dialektika dari G. W. F. Hegel dan teori ruang publik yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas. Sedangkan metode penelitiannya adalah Studi Pustaka, Analisis Data, dan Historiografi. Langkah terakhir dari penelitian ini, yakni historiografi, akan disajikan dengan metode historis kronologis, peristiwa-peristiwa sejarah yang dibahas akan disusun sesuai dengan urutan waktu terjadinya.

  Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan dilatarbelakangi oleh munculnya

  “Cita-cita ke-Indonesiaan”, 2) Polemik Kebudayaan merupakan perdebatan tentang cara merealisasikan

  “Cita-cita ke- Indonesiaan

  ”, dan 3) wacana kebudayaan Indonesia yang muncul setelah Polemik Kebudayaan adalah konsensus tentang Kebudayaan Nasional Indonesia dalam rangka pembentukan Undang-Undang Dasar tahun 1945.

  

Abstract

(Inggris)

  Thesis titled "Cultural Discourse Indonesia At The Independence Movement: Polemic Culture (1935 - 1939)" This is a study of Science History of pewacanaan culture that has ever happened in Indonesia. Writing this thesis aims to describe and analyze: 1) background of the emergence of the Cultural Polemics events, 2) the dynamics of cultural discourse presented in the Cultural Polemics events, and 3) the discourse of Indonesian culture that emerged after the Cultural Polemics until 1945.

  Theoretical basis used in this paper is a dialectical theory G. W. F. Hegel and the “Public Sphere” theory propounded by Jurgen Habermas. While the research is to study methods References, Analisis Data, and Historiography. The final step of this research will be presented with a chronological historical method, historical events discussed will be arranged in order of time occurrence.

  The results showed that: 1) the emergence of background events in the emergence of the Cultural Polemics Goals The Indonesiaan, 2) Polemic of Culture is a debate about how to realize the Goals The Indonesiaan, and 3) the discourse of Indonesian culture that emerged after the Cultural Polemics is a consensus about Indonesia's National Culture in order formation of the Constitution of 1945.

KATA PENGANTAR

  Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kasih atas berkat dan bimbingan tangannya kasih-Nya yang penulis alami selama penulisan dan penyelesaian skripsi berjudul

  “Wacana Kebudayaan Indonesia Pada Masa Pergerakan

  Kemerdekaan: Polemik Kebudayaan (1935 – 1939)”.

  Tersusunya skripsi ini tidak terlepas dari campuran tangan dan bantuan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Atas semua bantuannya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Pada kesempatan ini penulis dengan penuh ketulusan hati mengucapkan terima kasih kepada:

  1. Bapak Drs. Silverio R.L. Aji Sampurno M. Hum., selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah.

  2. Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan perhatian dan meluangkan waktunya, serta dengan sabar membimbing, mengarahkan, dan memberikan masukan kepada penulis, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

  3. Dr. I. Praptomo Bayardi, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Sastra.

  4. Dosen-dosen pembimbing akademik seperti: Bapak (almarhum) Prof. P.J.

  Soewarno, S.H., Bapak Drs. Hb. Hery Santosa M. Hum., Bapak Dr. St. Sunardi, Romo Dr. FX. Baskara T. Wardaya, SJ., Romo Dr. G. Budi Subanar SJ., Bapak Dr. Anton Haryono M. Hum., Drs. H. Purwanta M. A., Ibu Dra.

  Lucia Juningsih M. Hum., dan yang berkenan menjadi pengajar dan membimbing kami dan menularkan ilmunya selama kami menjadi mahasiswa di Universitas Sanata Dharma.

  5. Karyawan dan karyawati Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, atas kerja sama yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

  6. Kepada semua keluargaku 7.

  Rekan-rekan angkatan 2005: Dominikus Bondan Pamungkas, Agung Eko Ariestiya, Sr. Magdalena Nimat, Yohana, Hafen Hafidzulah, dan Tom.

  8. Rekan-rekan mahasiswa di Jurusan Ilmu Sejarah (Wilhelmus Ruperno, dkk).

  9. Teman-teman kos: Yus, Lipen, Lazarus, Valentinus Ola Beding, Triantoro, Aci, Iber, Budi, Odon, Siweng (Boss), Hanu, Somat, I’ut, Ino (Cen), dan Jack.

  10. Teman-teman di Forum Ikatan Pelajar Mahasiswa Kabupaten Sekadau dan masih banyak lagi teman yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu namanya di sini (ma’af ya..?). Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna karena terbatasanya data-data yang diperoleh. Oleh karena itu, penulis dengan senang hati dan penuh keterbukaan, mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan dan pengembangan skripsi ini lebih lanjut.

  B.1. Sutan Takdir Alisjahbana …………………………………………….. 47

  Tinjauan Pustaka…………………………………………………………... 8 H. Landasan Teori ……………………………………………………………..10 I. Metodologi Penelitian…….. …………………………………………….. 14 J.

  Ruang Perdebatan Kebudayaan …………………………………………... 37 A.1. Majalah Pujangga Baru ………………………………………………. 37 A.2. Surat Kabar Pewarta Deli ……………………………………………. 42 A.3. Harian Suara Umum …………..……………………………………... 44 A.4. Majalah Wasita ………………………………………………………. 45 B. Aktor-aktor dibalik Perdebatan Kebudayaan Tahun 1935 – 1939……….. 47

  BAB II: DINAMIKA PERDEBATAN KEBUDAYAAN INDONESIA TAHUN 1935

  B.1. Organisasi Budi Utomo ……………………………………………… 23 B.2. Perguruan Taman Siswa……………………………………………… 29 B.3. Sumpah Pemuda ……………………………………………………... 33

  Masyarakat Intelektual Indonesia…………………………………………. 16 B. Munculnya Cita-cita ke-Indonesiaan ……………………………………… 23

  BAB II: DINAMIKA MUNCULNYA CITA-CITA KE-INDONESIAAN ……. .. 16 A.

  Sistematika Penulisan ……………………………………………………... 15

  Hipotesa……. ……………………………………………………………... 7 E. Tujuan Penelitian………………………………………………………….. 7 F. Manfaat Penelitian ………………………………………………………... 7 G.

  

DAFTAR ISI

  Latar Belakang Masalah………………………………………………….... 1 B. Identifikasi Masalah………………………………………………………... 5 C. Rumusan Masalah………………………………………………………….. 6 D.

  ……… ……………………………………………………………... xii PENDAHULUAN…………………………………………………………………. 1 A.

  ………………………………………...... xi DAFTAR ISI

  HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN…………………………………... iv KATA PENGANTAR…………………………………….. ……………………... ix PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  

ABSTRACY…………………… …………………………………………………………….. viii

  HALAMAN JUDUL………………………………………………………………. i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………………. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………………………………………….. iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…………………………………………… vi ABSTRAK…………………………………………………………………………. vii

  • – 1939……………………………………………………………… 37 A.

  B.3. Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka ……………………………… 51 B.4. dr. Soetomo ………………………………………………………….. 54 B.5. Tjindarboemi …………………………………………………………. 55 B.6. Djamaluddin Adinegoro ……………………………………………... 56 B.7. Ki Hadjar Dewantara …………. ……………………………………... 58 B.8. dr. Mohammad Amir ………………………………………………… 61 C. Perdebatan Kebudayaan Indonesia Tahun 1935 – 1939 …………………... 63

  C.1. Perdebatan Tahap Pertama ….. ……………………………………... 63

  C.2. Perdebatan Tahap Kedua ……………………………………………… 70

  C.3. Perdebatan Tahap Ketiga …………………………………………….. 82 D.

  Memaknai Polemik Kebudayaan ………………………………………….. 85 D.1. Pilihan Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur ………………….. 85 D.2. Kebudayaan, Pendidikan, dan Kebangsaan ………………………….. 88

  BAB IV: DINAMIKA PERUMUSAN KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA …………………………………………………………... 91 A.

  Wacana Baru Tentang Kebudayaan Indonesia ………………………… 91 B. Perumusan Kebudayaan Nasional ……………………………………… 93 C. Kebudayaan Nasional Indonesia ……………………………………….. 99

  BAB V: PENUTUP………………………………………………………………. 101 A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 101 B. Saran ……………………………………………………………………. 103 DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekitar tahun 1935 – 1939, ranah kebudayaan Indonesia mengalami gejolak. Pada saat itu terjadi perdebatan tertulis di beberapa media cetak, seperti Majalah Poedjangga Baroe , Majalah Wasita, Surat Kabar Pewarta Deli, dan Harian Soeara Oemoem . Perdebatan yang terjadi melibatkan beberapa intelektual pribumi Indnesia,

  seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka, dr. Soetomo, Tjindarboemi, Adinegoro, Ki Hadjar Dewantara, dan dr.

  Mohammad Amir.

  Perdebatan di tahun 1930-an itu diawali oleh sebuah tulisan Sutan Takdir Alisjahbana berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru, Indonesia – Prae-

  1 Dalam tulisannya itu, Indonesia” yang dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe.

  Takdir membagi sejarah Indonesia ke dalam dua periode, yakni Jaman Prae- Indonesia: jaman sebelum abad ke-20, jaman yang hanya mengenal sejarah VOC, sejarah Mataram dan sejarah Banjarmasin. Sementara jaman setelahnya disebut oleh Takdir sebagai jaman Indonesia: jaman yang dimulai pada abad ke-20.

  Bertolak dari pandangannya itu, Takdir kemudian menegaskan bahwa jaman Indonesia adalah jaman baru, bukan sambungan dari jaman sebelumnya. Oleh sebab 1 Alisjahbana, Sutan Takdir, “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru,

  Indonesia – Prae-Indoneia”, Poedjangga Baroe, Tahun III, No. 2, Agustus 1935. Lihat juga, Achdiat Karta Mihardja, Polemik Kebudayaan (Pustaka Jaya, Jakarta itu, dalam tulisannya, Ia menyatakan bahwa pada saat itu perkataan Indonesia telah mengalami kekacauan makna karena setiap peristiwa yang pernah terjadi di kepulauan Indonesia disebutkan oleh sebagian besar orang sebagai sejarah Indonesia.

  Takdir selanjutnya menyatakan bahwa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia saat itu adalah berusaha menjadi sebuah bangsa yang mampu dan dapat berdiri sejajar dengan bangsa- bangsa maju lainnya di dunia. “Untuk dapat mewujudkan cita-cita tersebut, maka bangsa Indonesia harus belajar pada bangsa

  Barat”, dengan meniru kebudayaan Barat yang telah maju, maka bangsa Indonesia

  2 akan maju pula, tegasnya.

  Beberapa hari setelah dimuat, tulisan Takdir mendapat tanggapan dari Sanusi Pane dan Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka. Ketiga intelektual itu pun saling beradu pendapat tentang kebudayaan Indonesia. Perdebatan kemudian meluas dan melibatkan intelektual lain seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu dr. Soetomo, Adinegoro, Tjindarboemi, Ki Hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir.

  Tulisan-tulisan dari para intelektual yang terlibat perdebatan di tahun 1930-an itu kemudian dikumpulkan oleh Achdiat Karta Mihardja, seorang sastrawan, pada tahun 1948. Ia kemudian menerbitkannya menjadi buku dan memberikan judul “Polemik Kebudayaan”. Demikianlah sampai saat ini perdebatan itu dikenal.

  Dikenal dengan nama “Polemik Kebudayaan”, silang pendapat yang terjadi di kalangan pemikir kebudayaan pada saat itu seringkali dipahami sebagai debat antara

  3

  kubu modernis dan tradisionalis, atau kubu Pro- Barat dan Pro-Timur. Selain itu,

  4

  adapula yang menyatakannya sebagai debat Sutan Takdir Alisjahbana versus Sanusi Pane, Dr. Raden Mas Ngabehi Peorbatjaraka, dr. Soetomo, Adinegoro, Tjindarboemi,

  5 Ki hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir. Dengan lain perkataan, peristiwa

  yang terjadi pada saat itu adalah penentangan terhadap pemikiran kebudayaan dari Sutan Takdir Alisjahbana oleh intelektual lainnya.

  Perdebatan yang terjadi di tahun 1930-an tersebut, tidak berlangsung secara terus-menerus dari tahun 1935

  • – 1939, melainkan secara bertahap. Ada tiga tahapan

  6

  perdebatan, sebagaimana disusun oleh Achdiat Karta Mihardja dalam bukunya. Pada tahap pertama perdebatan terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Dr. Raden Mas Ngabehi Poerbatjaraka. Perdebatan berlangsung dalam bulan Agustus

  • – September 1935 dan dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe dan Harian Soeara

  

Oemoem . Perdebatan tahap pertama ini membahas tentang kebudayaan sebagai

haluan bagi Bangsa Indonesia melangkah ke depan, ke masa yang akan datang.

  Perdebatan tahap kedua terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana, dr. Soetomo, Tjindarboemi, Adinegoro, Ki Hadjar Dewantara, dan dr. Mohammad Amir. 3 Alexander Supartono, “Lekra VS Manikebu: Perdebatan Kebudayaan Indonesia 1950

  • – 1965”, (Skripsi Sarjana, STF Driyarkara, Jakarta, 2000), Hlm. 109 – 110.
  • 4 5 Versus: melawan http:menuju-politik-kebudayaan- nasional.html (data diakses dalam bulan April 2011) Perdebatan berlangsung dalam bulan Oktober 1935

    • – bulan April 1936. Tulisan dari para intelektual yang terlibat perdebatan tahap kedua itu dimuat dalam Majalah

      

    Poedjangga Baroe , Harian Soeara Oemoem, Surat Kabar Pewarta Deli, dan Majalah

    Wasita . Perdebatan tahap kedua itu membahas tentang persoalan pendidikan bagi

      Bangsa Indonesia. Sedangkan perdebatan tahap ketiga terjadi antara Sutan Takdir Alisjahbana dan dr. Mohammad Amir. Perdebatan berlangsung dalam bulan Juni 1939. Tulisan dari kedua intelektual itu dimuat dalam Majalah Poedjangga Baroe dan Surat Kabar Pewarta Deli. Perdebatan antara Sutan Takdir Alisjahbana dan dr.

      Mohammad Amir membahas tentang pentingnya pendidikan bagi bangsa Indonesia.

      Dalam penulisan Sejarah Indonesia, Polemik Kebudayaan yang terjadi dalam tahun 1930-an itu masuk ke dalam wilayah periodesasi Sejarah Pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Masuknya peristiwa Polemik Kebudayaan ke dalam wilayah periodesasi sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia karena peristiwa itu terjadi dalam lingkup waktu dan ruang (temporal dan spasial) jalannya sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Periodesasi untuk telaah sejarah ini seringkali dimulai dari tahun 1908

    • – 1945, yakni dari berdirinya organisasi Budi Utomo sampai pada diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, maka munculnya perdebatan di kalangan intelektual dalam tahun 1930-an itu tidak dapat dilepaskan dari gencarnya semangat pergerakan kemerdekaan di kalangan rakyat Indonesia pada saat itu.

      Munculnya perdebatan di ranah kebudayaan Indonesia pada tahun 1930-an pergerakan kemerdekaan Indonesia, juga sekaligus membuka babak baru dalam strategi pergerakan kemerdekaan. Pergerakan yang biasanya terjadi di ranah politik bergeser ke ranah kebudayaan. Salah satu faktor terjadinya pergeseran pergerakan tersebut dilatarbelakangi oleh tindakan refresif dari pihak pemerintah Hindia-Belanda

      7 terhadap aktivitas politik golongan nasionalis Indonesia.

    B. Identifikasi Masalah

      Bertolak dari uraian latar belakang di atas, dapat diketahui bahwa Polemik Kebudayaan merupakan perdebatan tentang Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur. Kedua kebudayaan ini yang akan dijadikan sebagai haluan bagi bangsa Indonesia untuk melangkah ke depan, menjadi sebuah bangsa yang mampu berdiri sejajar dan bersaing dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Dengan demikian, maka perdebatan yang terjadi dalam tahun 1930-an itu dapat dinyatakan sebagai usaha mencari jalan untuk merealisasikan “cita-cita ke- Indonesiaan”, yakni cita-cita bahwa di kemudian hari Indonesia adalah sebuah bangsa yang mampu berdiri sejajar dan bersaing dengan bangsa maju lainnya di dunia. Selain itu, Polemik Kebudayaan juga dapat dikatakan sebagai sebuah usaha pergerakan kemerdekaan yang terjadi di ranah kebudayaan Indonesia, sebuah pemikiran tentang cara mencari haluan bagi jalannya sebuah bangsa Indonesia. Dengan demikian, maka peristiwa ini penting 7 Menurut Moedjanto, pergeseran pergerakan tersebut dilatarbelakangi oleh krisis pergerakan nasional. Lihat, Moedjanto, Indonesia Abad ke- 20: 1, dari

      

    Pergerakan Nasional sampai Linggajati , (Penerbit Kanisius, Cetakan I, Yogyakarta, untuk diketahui dan dipelajari. Akan tetapi, sampai saat ini peristiwa tersebut belum mendapatkan banyak penjelasan atau dengan kata lain kurang mendapatkan perhatian baik dari kalangan sejarawan maupun akademis lainnya. Kurangnya penjelasan tentang peristiwa Polemik Kebudayaan ini terutama mengenai latar belakang kemunculannya.

      Selain akan mengaitkan munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan dengan munculnya “cita-cita ke-Indonesiaan”, dalam skripsi ini juga akan diungkapkan bagaimana perdebatan kebudayaan yang terjadi pada saat itu akan mendapatkan sintesanya pada rumusan kebudayaan nasional Indonesia dalam Undang-Undang Dasar tahun1945.

    C. Rumusan Masalah

      Dari uraian identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan tiga permasalahan pokok yang menjadi fokus penulisan skripsi ini, yaitu:

    1. Bagaimana latar belakang munculnya Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an? 2.

      Bagaimana dinamika wacana yang tersaji dalam Polemik Kebudayaan? 3. Bagaimana dinamika wacana kebudayaan yang muncul setelah Polemik

      Kebudayaan hingga tahun 1945?

      D. Hipotesa

      Berdasarkan uraian latar belakang di muka, maka dapat diajukan jawaban sementara atas rumusan masalah yang telah ditetapkan dalam penulisan skripsi ini: pertama, munculnya Polemik Kebudayaan dalam tahun 1930-an dilatarbelakangi oleh munculnya “cita-cita ke-Indonesiaan” di alam pikiran rakyat Indonesia pada abad ke-

      20. Kedua, dinamika wacana kebudayaan yang tersaji dalam Polemik Kebudayaan adalah pertentangan pemikiran mengenai kebudayaan Barat dan kebudayaan Timur yang akan digunakan sebagai jalan merealisasikan “cita-cita ke- I ndonesiaan”.

      Ketiga, dinamika wacana kebudayaan yang muncul setelah Polemik Kebudayaan adalah perumusan kebudayaan nasional yang dilakukan oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam usaha merumuskan Undang- Undang Dasar negara Indonesia pada tahun 1945.

      E. Tujuan Penelitian 1.

      Akademis Secara Akademis, tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an.

    2. Teoretis

      Secara teoretis, penulisan ini dimaksudkan untuk melakukan pengkajian sebuah wacana tentang kebudayaan melalui sudut pandang Ilmu Sejarah. Selain itu, tulisan ini juga berusaha memaparkan terjadinya suatu peristiwa sejarah yang berbasiskan kontinuitas.

    F. Manfaat Penelitian 1.

      Manfaat Akademis Secara Akademis, tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan penulisan sejarah di Indonesia pada umumnya, dimana penulisan sejarah semakin marak diusahakan, baik oleh kaum akademis dari berbagai universitas maupun dari kalangan sejarawan profesional.

    2. Manfaat Praktis

      Secara Praktis, tulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman baru tentang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan dalam tahun 1930-an. Disamping itu, tulisan ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang strategi kebudayaan Indonesia, demi mencapai keadaaan bangsa Indonesia yang telah lama dicita-citakan kemandirian dan kesejahteraan dalam perjalanan sejarahnya.

    G. Tinjauan Pustaka

      Beberapa tulisan dan buku yang dijadikan sebagai tinjauan pustaka dalam

      Buku karya Achdiat Karta Mihardja, dengan judul “Polemik Kebudayaan”,

      Pustaka Jaya, Jakarta 1977, cetakan ke-4. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari masing-masing tokoh yang terlibat dalam perdebatan di tahun 1930-an. Di sini Achdiat Karta Mihardja bertindak sebagai pengumpul, sebab dalam bukunya ini Ia tidak menjelaskan bagaimana peristiwa Polemik Kebudayaan dapat muncul pada ranah kebudayaan Indonesia. Achdiat Karta Mihardja tidak menjelaskan bagaimana latar belakang munculnya peristiwa tersebut, maupun latar belakang perbedaan pemikiran dari masing-masing tokoh yang terlibat perdebatan.

      Skripsi karya Alexander Supartono, Lekra VS Manikebu: Perdebatan

      Kebudayaan Indonesia 1950

    • – 1965. Skripsi STF Driyarkara. Jakarta 2000. Sesuai

      dengan judulnya, skripsi ini membahas tentang perdebatan yang terjadi antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Manifes Kebudayaan (Manikebu) dalam tahun 1950

    • – 1965. Sementara “Polemik Kebudayaan” dalam skripsi ini dijelaskan sebagai sejarah perdebatan kebudayaan di Indonesia. Selain itu, Polemik Kebudayaan dinyatakan oleh Alexander Supartono sebagai perdebatan yang muncul dalam semangat Sumpah Pemuda dan sebagai peristiwa yang muncul dalam semangat menyongsong masyarakat baru, Indonesia. Akan tetapi, skripsi ini tidak membahas secara rinci mengenai latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan.

      Buku karya S. Abdul Karim Mashad, Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik . Pustaka Pelajar.

      Kebudayaan Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana

      Yogyakarta 2006. Buku ini merupakan kumpulan tulisan, atau semacam bunga selama hidupnya, termasuk pemikiran kebudayaannya yang muncul pada saat terjadinya Polemik Kebudayaan. Buku ini juga tidak menyajikan tentang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan.

      Ketiga tulisan yang dijadikan sebagai tinjauan pustaka tersebut, baik yang berupa buku maupun skripsi, semuanya tidak membahas secara khusus bagaimana latar belakang munculnya peristiwa Polemik Kebudayaan. Terutama dengan melihat situasi dan kondisi wacana tentang kebudayaan yang ada pada masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, maupun mengaitkannya dengan munculnya

      “cita-cita ke- Indonesiaan” di kalangan rakyat Indonesia pada abad ke- 20. Beberapa hal inilah yang akan dibahas khusus dalam skripsi ini.

    H. Landasan Teori

      Sebelum menguraiakan landasan teori untuk penulisan tentang peristiwa Polemik Kebudayaan ini, terlebih dahulu akan diuraikan beberapa istilah penting yang berkaitan dengannya, yaitu:

      1. Polemik adalah perang pena, perdebatan lewat tulisan (dalam media cetak 8 atau surat kabar).

      2. Kebudayaan, dalam penulisan ini mengacu pada definisi menurut E. B.

      Taylor yaitu: kompleks keseluruhan yang mencakup pengetahuan,

      8 Dendy Sugono (Pimpinan Redaksi), Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: keyakinan, seni, moral, hukum, adat, serta segala macam kemungkinan dan kebiasaan yang dicapai oleh manusia sebagai anggota masyarakat. 9 3. Wacana adalah a) ucapan, percakapan, tutur, b) keseluruhan perkataan atau ucapan yang merupakan suatu kesatuan, c) satuan bahasa terlengkap, realisasinya tampak pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, atau artikel pada pidato atau kotbah, d) pertukaran ide secara verbal. 10 Wacana juga dapat diartikan sebagai diskusi dan dialog. 11 4. Dinamika adalah gairah, gelora, gerak, dan semangat. 12 5. Cita-Cita 13 Ke-Indonesiaan adalah suatu keinginan akan keadaan bahwa bangsa Indonesia di kemudian hari adalah sebuah bangsa yang sama seperti bangsa maju lainnya di dunia, bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa maju.

      Polemik Kebudayaan merupakan sebuah perdebatan tentang kebudayaan yang terjadi di antara beberapa intelektual pribumi Indonesia pada tahun 1930-an. Dalam 9 Aholiab Watloly, Tanggung Jawab Pengetahuan, (Kanisius, Yogyakarta, 2001), Hlm. 24. 10 Dendy Sugono, Op.Cit., Hlm. 1804. 11 Dendy Sugono, Tesaurus Bahasa Indonesia, (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta 2008), Hlm. 553. 12 Ibid., Hlm. 134. 13 Cita-cita, secara umum dapat diartikan sebagai keinginan yang selalu ada di perdebatan tersebut terjadi pertentangan pendapat mengenai cara merealisasikan “cita-cita ke-Indonesiaan”, yakni cita-cita agar bangsa Indonesia di kemudian hari adalah bangsa yang mampu berdiri sejajar dan beraing dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia. Untuk menjelaskan mengenai pertentangan yang terjadi dalam peristiwa Polemik Kebudayaan ini digunakan teori dialektika yang dikemukakan oleh

    14 G. W. F. Hegel.

      Menurut teori dialektika, sebuah perkembangan pemikiran berlangsung secara dialektik dengan ritme tesis, antitesis, dan sintesis. Dalam dialektik itu, pemikiran

      

    tesis berseberangan dengan pemikiran antitesis, selanjutnya kedua pemikiran yang

      saling bertentangan tersebut akan didamaikan dalam pemikiran sintesis. Pemikiran- pemikiran yang berharga, baik pada tesis maupun pada antitesis kemudian dirawat dalam sintesis.

      Penerapan teori dialektika tersebut ke dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: pemikiran tesis dalam peristiwa Polemik Kebudayaan diwakili oleh pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana, yakni pemikirannya tentang mempelajari kebudayaan Barat sebagai halu an untuk bangsa Indonesia merealisasikan “cita-cita ke-

      Indonesiaan”. Pemikiran antitesis akan diwakili oleh pemikiran dari para intelektual yang menginginkan mempelajari kebudayaan Timur sebagai haluan untuk merealisasikan “cita-cita ke-Indonesiaan”. Salah satu intelektual yang menganjurkan mempelajari kebudayaan Timur dalam Polemik Kebudayaan adalah dr. Soetomo. 14 Lihat misalnya, Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah

      Pemikiran sintesis yang muncul dari pertentangan pemikiran di antara para intelektual dalam Polemik Kebudayaan di tahun 1930-an tersebut akan dikemukakan sendiri oleh penulis. Pemikiran sintesis dari pertentangan pemikiran itu akan dikaitkan dengan wacana kebudayaan yang muncul setelah Polemik Kebudayaan, yakni usaha perumusan Undang-Undang Dasar negara Indonesia pada tahun 1945.

      Sementara untuk melihat secara keseluruhan jalannya peristiwa Polemik Kebudayaan dalam tahun 1930- an itu, penulisan ini menggunakan konsep “Ruang Publik” yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas. Menurut Habermas, suatu

      15

      diskursus atau perdebatan terbuka dapat terjadi apabila tersedia suatu tempat atau ruang yang dinamakan “Ruang Publik” atau “Public Sphere”. Ruang Publik dapat berupa berbentuk media masa seperti media cetak. Ruang Publik berupaya menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda itu sehingga mampu

      16

      dipertemukan dan berdiskursus untuk mencapai konsensus bersama. Dengan demikian, maka munculnya perdebatan kebudayaan pada tahun 1930-an antara beberapa intelektual pribumi Indonesia itu tidak dapat dilepaskan dari pentingnya “Ruang Publik”. Dalam peristiwa Polemik Kebudayaan, Ruang Publik yang menjadi tempat bagi perdebatan pada saat itu adalah media cetak, yakni Majalah Poedjangga

      

    Baroe , Surat Kabar Pewarta Deli, Harian Soeara Oemoem, dan Surat Kabar Pewarta

    15 Untuk seterusnya istilah diskursus yang dikemukakan oleh Jurgen

      Habermas dalam teorinya, dalam penulisan ini akan diganti dengan istilah perdebatan. 16 Reza A. A. Watimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, (Penerbit

      

    Deli . Selain itu, Habermas juga menyatakan bahwa sebuah perdebatan tertentu,

      khususnya yang terjadi secara terbuka seperti di media masa, akan mencerminkan demokrasi apabila terjadi tanpa adanya tekanan dari pihak luar terhadap para aktor yang terlibat di dalamnya.

    I. Metodologi Penelitian

      Metodologi penelitian yang digunakan untuk melakukan penulisan tentang peristiwa Polemik Kebudayaan ini adalah Studi Pustaka, Analisis Data, dan Historiografi. Studi Pustaka dalam peneleitian ini digunakan untuk mendapatkan sumber-sumber atau bahan-bahan yang dijadikan sebagai rujukan dalam penulisan ini. Adapun pustaka-pustaka yang dijadikan sebagai rujukan dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan lainnya, baik yang berupa Koran atau Surat Kabar, maupun jurnal-jurnal penelitian, yang memiliki keterkaitan dengan topik penulisan ini. Selainitu, sumber-sumber yang dijadikan sebagai data dalam penulisan skripsi ini juga diperoleh dari situs-situs di internet (website).

      Setelah data-data diperoleh dari Studi Pustaka, selanjutnya dilakukan analisa terhadap data-data tersebut (analisis data). Proses analisa data ini dilakukan dengan cara memverifikasi atau mengkritik data-data yang telah ada, sehingga dapat diketahui memadai atau tidaknya data-data tersebut. Analisis data dilakukan dengan cara membaca semua data yang telah dikumpulkan, sehingga dapat diketahui apakah data-data tersebut memiliki keterkaitan atau hubungan dan sesuai dengan topik

      17

      interpretasi. Data-data yang telah diinterpretasikan kemudian dijadikan sebagai bahan historiografi dalam penelitian ini. Penyajian historiografi dalam penulisan ini dilakukan dengan cara historis kronologis, yaitu penyajiannya akan disusun secara berurutan sesuai urutan kurun waktu dari munculnya atau terjadinya peristiwa- peristiwa sejarah. Historiografi dalam penelitian ini penyajiannya seperti dijelaskan dalam bagian Sistematika Penulisan.

      J. Sistematika Penulisan

    Bab I dalam tulisan ini berisikan: Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Hipotesa, Tujuan Penelitian (Akademis dan Teoretis), Manfaat Penelitian (Akademis dan Praktis), Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, Landasan Teori, dan Sistematika Penulisan. Bab II dalam tulisan ini membahas tentang munculnya “cita-cita ke- Indonesiaan, dengan sub bab sebagai berikut: A. Lahirnya Masyarakat Intelektual Indonesia, B. Munculnya Cita-Cita Ke-Indonesiaan: 1) Organisasi Budi utomo, 2) Perguruan Taman Siswa, 3) Sumpah Pemuda, dan C. Cita-Cita Ke-Indonesiaan. Bab III dalam tulisan ini berisikan tentang dinamika perdebatan kebudayaan Indonesia pada tahun 1935

    • – 1939, dengan sub bab sebagai berikut: A. Ruang Perdebatan Kebudayaan, B. Aktor-Aktor Dibalik Perdebatan Kebudayaan, C.
    • – Jalannya Perdebatan Kebudayaan, D. Memaknai Polemik Kebudayaan tahun 1935
    • 17 Langkah-langkah metodologi penelitian sejarah dapat dilihat dalam Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Bentang Budaya, Yogyakarta, 2001), hlm.

      1939; D.1. Pilihan Kebudayaan Barat dan Kebudayaan Timur; D.2. Kebudayaan, Pendidikan, dan Kebangsaan.

      Bab IV dalam tulisan ini berisikan tentang wacana kebudayaan Indonesia setelah Polemik Kebudayaan hingga tahun 1945, dengan sub bab sebagai berikut: A. Wacana Baru Tentang Kebudayaan Indonesia, B. Perumusan Kebudayaan Nasional Indonesia, C. Rumusan Kebudayaan Nasional Indonesia. Bab V dalam tulisan ini merupakan bagian penutup yang berisikan: Kesimpulan dan Saran.

    BAB II DINAMIKA MUNCULNYA CITA-CITA KE-INDONESIAAN A. Masyarakat Intelektual Indonesia Lahirnya masyarakat intelektual Indonesia pada abad ke-20, tidak dapat

      dilepaskan dari munculnya pemikiran simpatik terhadap kehidupan masyarakat pribumi oleh pemerintahan di negeri Belanda. Pemikiran simpatik terhadap kesejahteraan kehidupan pribumi Indonesia tersebut kemudian dirumuskan ke dalam

      18 sebuah program yang dikenal dengan sebutan “Etische Politiek” atau “Politik Etis”.

      Pada tahun 1830, pemerintahan Hindia-Belanda mengalami kebangkrutan akibat peperangan besar di Pulau Jawa yang dikenal dengan Perang Diponegoro (1825

    • – 1830). Selain itu, Negeri Belanda juga menghadapi perang kemerdekaan Belgia (1830
    • – 1839) yang menelan biaya cukup besar. Kedua perang besar yang dihadapi oleh Negeri Belanda tersebut pada akhirnya memicu permasalahan ekonomi yang sangat berat. Oleh sebab itu, maka pemerintahan di Negeri Belanda mengirimkan seorang bernama Van Den Bosch untuk menjadi Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda dan ditugaskan melakukan tindakan eksploitasi baru untuk memulihkan perekonomian Negeri Belanda. Gubernur Jenderal Van Den Bosch kemudian menerapkan kebijakan Tanam Paksa di Indonesia. Kebijakan ini ditujukan
    • 18 Tentang situasi dan kondisi yang melahirkan “Politik Etis” dapat dilihat dalam Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan

        

      Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme , (Jilid 2; PT Gramedia, Jakarta,

        1990), Hlm. 30

      • – 33, dan, Nasruddin Anshoriy, Bangsa Gagal: Mencari Identitas
      untuk meningkatkan produksi perkebunan di Indonesia, yang komoditinya laku di pasaran internasional, seperti kopi, teh, tembakau, dan tebu. Dalam pelaksanaannya, kebijakan Tanam Paksa ini mewajibkan setiap petani Indonesia menyerahkan seperlima dari lahan pertaniannya, untuk ditanami komoditas pasaran internasional tersebut. Dalam peraturan lain disebutkan juga bahwa kegagalan panen yang disebabkan oleh bencana alam ditanggung oleh pihak pemerintah, tanah yang diserahkan kepada pemerintah dibebaskan dari pajak, kelebihan hasil panen yang telah ditentukan diserahkan kepada petani, jangka waktu untuk mengerjakan lahan pertanian tidak boleh melebihi waktu untuk menanam padi, dan petani yang tidak memiliki lahan pertanian diwajibkan bekerja selama 66 hari dalam setahun pada pemerintah. Kebijakan ini memberikan dampak yang luar biasa bagi Negeri Belanda. Sekitar tahun 1860-an, kas Negeri Belanda mengalami surplus dan berhasil menutup segala kerugian perang yang salah-satunya disebabkan oleh Perang Diponegoro (1825

      • – 1830).

        Dalam pelaksanaan kebijakan Tanam Paksa tersebut, terjadi berbagai penyimpangan yang menyebabkan kesengsaraan bagi masyarakat pribumi Indonesia.

        Penyimpangan-penyimpangan itu diantaranya seperti irigasi yang hanya diterapkan untuk perkebunan pemerintah, akibatnya lahan pertanian milik petani Indonesia mengalami kekeringan dan gagal panen. Selanjutnya, penerapan transmigrasi, terutama pemindahan penduduk dari Pulau Jawa ke pulau-pulau lain, seperti ke Pulau Sumatera. Penerapan transmigrasi ini berhasil menanggulangi kepadatan penduduk di di perkebunan pemerintah, dengan upah yang sangat rendah. Oleh sebab itu, maka pada tahun 1870, kebijakan Tanam Paksa secara berangsur-angsur dihapuskan dan diganti dengan sistem perekonomian terbuka. Dalam tahun yang sama, Pemerintah Hindia-Belanda membuat Undang-Undang Agraria yang bertujuan untuk melindungi tanah petani dari pihak penguasa dan pemodal asing. Selain itu, Undang-Undang Agraria juga ditujukan untuk memberi kesempatan pemodal asing agar dapat menyewa lahan pertanian masyarakat Indonesia.

        Dihapuskannya kebijakan Tanam Paksa oleh Pemerintah Hindia-Belanda di Indonesia itu, tidak dapat dilepaskan dari masuknya paham liberalisme ke Negeri Belanda. Paham liberalisme menekankan pentingnya perhatian moral kepada manusia, terutama menekankan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak dasar

        19

        seperti hak untuk kesejahteraan hidup. Paham liberalisme ini mengalami perkembangannya di Eropa pada abad ke-19, berawal dari Revolusi Amerika dan Revolusi Prancis, kemudian menyebar hingga ke Negeri Belanda.

        Pada tahun 1899, C. Th. Van Deventer, seorang ahli hukum yang pernah tinggal di Indonesia (dari tahun 1880

      • – 1890), menerbitkan sebuah artikel berjudul

        20 “Een Ereschuld”, “Suatu Hutang Kehormatan”, di dalam jurnal Belanda De Gids.

        Dalam tulisannya itu, Ia menjelaskan bahwa kekosongan kas Negara Belanda akibat 19 Lihat misalnya Zulfikri Suleman, Demokrasi Untuk Indonesia: Pemikiran

        Politik Bung Hatta , (Penerbit Buku Kompas, Jakarta April 2010), Hlm. 99 20 – 100.

        Mc. Riclefs, Sejarah Indonesia Modern 1200

      • – 2004, (Sebelas Maret

        University Press bekerjasama dengan Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995) Cetakan

        Perang Diponegoro dan Perang Kemerdekaan Belgia telah diisi oleh orang

      21 Indonesia.

        Oleh karena itu, menurutnya, “hutang budi” tersebut harus dibayar dengan meningkatkan kesejahteraan pribumi Indonesia, yakni melalui program

        22