KECEMASAN PADA ANAK DARI KELUARGA BERCERAI

  KECEMASAN PADA ANAK DARI KELUARGA BERCERAI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi Oleh: Margarita Novita Prastiwi NIM : 089114089 PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

  

Jika aku harus bertumbuh, aku harus melepaskan diri dari

masa laluku. Aku harus menyadari bahwa aku adalah aku

yang tunggal dan satu-satunya, seorang pribadi yang

sedang berproses, selalu dan selama-lamanya belajar,

berubah, bertumbuh. Satu-satunya realitas yang penting

adalah siapa aku sekarang ini. Aku sekarang bukan aku

yang dahulu. Aku sekarang belum tentu aku yang akan

datang.

  ~John Powell SJ

  

Penelitian ini aku persembahkan untuk :

Kedua orangtuaku,

Kakakku,

  

Keluargaku,

dan

Sahabat-sahabatku

KECEMASAN PADA ANAK DARI KELUARGA BERCERAI

  

Margarita Novita Prastiwi

ABSTRAK

  Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran kecemasan yang terjadi pada anak-

anak dari keluarga bercerai. Peneliti menggunakan data dokumen laporan praktikum CAT yang

tersedia di Laboratorium Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Dokumen laporan CAT

tersebut diambil berdasarkan pelaksanaan pengetesan mulai tahun 2005 hingga tahun 2011 dengan

subjek usia enam hingga 11 tahun dan berasal dari keluarga bercerai. Berdasarkan kriteria tersebut,

peneliti mendapatkan sembilan dokumen tes CAT. Dengan menggunakan analisis tematik,

diperoleh hasil bahwa kecemasan yang relatif banyak muncul pada anak-anak dari keluarga

bercerai adalah kecemasan terkait menghadapi kesulitan. Di samping itu juga muncul cukup

banyak kecemasan terkait kesendirian/keterpisahan, dan kecemasan terkait perhatian dan kasih

sayang. Kecemasan-kecemasan tersebut dapat disebabkan oleh perubahan dalam hal kehadiran

orangtua dan kualitas hubungan antara orangtua dengan anak.

  Kata kunci : kecemasan, anak, keluarga bercerai

THE ANXIETY IN CHILDREN FROM DIVORCED FAMILIES

  

Margarita Novita Prastiwi

ABSTRACT

This research was conducted to reveal the anxiety that occurs in children from a divorce

parents. The Researcher used data CAT lab report document that is available at the Laboratory of

the Faculty of Psychology, Sanata Dharma University. The CAT report document is retrieved by

the implementation of testing from 2005 to 2011 with a subject aged six to 11 years and come from

a divorce parents. Based on the criteria, the researcher gets nine CAT test papers. By using

thematic analysis, the anxiety that often emerge in children from divorced families is facing

difficulties related to anxiety. Beside that, there also emerge many anxieties in children concerns

about loneliness / isolation, and anxiety-related to attention and affection. Those anxieties can be

caused by changes in the presence of the parents and the quality of relationship between parents

and children. Keywords: anxiety, children, divorced families.

KATA PENGANTAR

  Pertama-tama saya ucapkan puji syukur kepada Tuhan Yesus atas segala rahmat dan berkahnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini.

  Penulisan skripsi ini menjadi salah satu syarat bagi mahasiswa untuk menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Dalam rangka memenuhi syarat tersebut, maka penulis mengangkat judul “KECEMASAN PADA ANAK DARI KELUARGA BERCERAI.

  Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, skripsi ini tidak akan berhasil sebagimana mestinya. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada :

  1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik dan pembimbing skripsi, yang dengan sabar membimbing dan teliti memeriksa serta memberi masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

  3. Ibu Debri Pristinella, M. Si. dan Ibu M.M. Nimas Eki Suprawati, M. Si., Psi. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan pengetahuan baru bagi saya untuk menjadikan skripsi ini semakin baik.

  4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si. selaku Kaprodi Psikologi.

  5. Seluruh dosen dan karyawan yang telah membimbing maupun membantu penulis menuntut ilmu dan berproses di Fakultas Psikologi USD ini. Mas Muji, Mas Donny, Mas Gandung, Bu Nanik, dan Pak Gik terima kasih atas bantuan, motivasi, maupun dukungan selama ini.

  6. Kakak-kakak angkatan yang laporan CAT-nya sudah digunakan dalam penelitian ini. Terima kasih.

  7. Bapak, Ibu, Kakak, dan semua keluargaku yang sudah memberikan dukungan dan doa.

  8. Sahabat-sahabatku tersayang, Intan, Ciput, Oshien, Desy, teman-teman satu bimbingan Vita, Riana, Ayu, Gigi, Stella, dan seluruh sahabatku angkatan 2008 Psikologi USD yang tidak bisa aku sebutin satu per satu. Terima kasih buat dukungan kalian.

  9. Sahabat-sahabatku di Paroki St. Thomas Rasul: Garage Community dan Romo Patricius Hartono, terima kasih atas dukungan kalian. Terima kasih juga buat Mas Dony “Mendon” yang sudah membantu secara teknis.

  Penelitian ini jauh dari sempurna, maka dari itu kritik serta saran sangat peneliti harapkan.

  Yogyakarta, 7 Februari 2013 Penulis,

  Margarita Novita Prastiwi

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING............................ ii

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .......................................... iv

  v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..................................

  

ABSTRAK ...................................................................................................... vi

ABSTRACT .................................................................................................... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............... viii

KATA PENGANTAR .................................................................................... ix

  xi DAFTAR ISI...................................................................................................

  

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiv

DAFTAR SKEMA ......................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi

BAB I. PENDAHULUAN ..........................................................................

  1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................

  1 B. Rumusan Masalah .....................................................................

  5 C. Tujuan........................................................................................

  5 D. Manfaat ......................................................................................

  5 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................

  6 A. Kecemasan.................................................................................

  6 1. Pengertian Kecemasan.........................................................

  6

  2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecemasan .............................................................................................

  6 B. Anak-anak Usia Akhir ...............................................................

  9 C. Perceraian ..................................................................................

  11 1. Pengertian Perceraian ..........................................................

  11 2. Dampak Perceraian Pada Anak ...........................................

  12 D. CAT (Children’s Apperception Test) ........................................

  15 E. Kecemasan Pada Anak dari Keluarga Bercerai .........................

  17 F. Pertanyaan Penelitian ................................................................

  20 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN...................................................

  21 A. Jenis Penelitian ..........................................................................

  21 B. Fokus Penelitian ........................................................................

  21 C. Subjek Penelitian .......................................................................

  22 D. Metode Pengumpulan Data .......................................................

  22 E. Analisis Tematik........................................................................

  23 F. Pemeriksaan Keabsahan Data....................................................

  25

  27 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................

  A. Pelaksanaan Penelitian ..............................................................

  27 B. Hasil Penelitian..........................................................................

  28 C. Pembahasan ...............................................................................

  39 BAB V. PENUTUP ......................................................................................

  44 A. Kesimpulan ................................................................................

  44 B. Saran ..........................................................................................

  44

  DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

  46 LAMPIRAN....................................................................................................

  49

  

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Deskripsi Subjek Penelitian ...............................................................

  28 Tabel 2. Kategori Jenis Kecemasan .................................................................

  29 Tabel 3. Ringkasan Kecemasan Tiap Subjek ...................................................

  35

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan hal yang sebenarnya tidak diinginkan dalam

  kehidupan rumah tangga, karena kehidupan perkawinan harus diakhiri dengan suami istri yang berpisah. Melewati krisis akibat perceraian tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena berdampak pada berbagai konsekuensi. Secara hukum perceraian itu sendiri menuntut adanya keputusan tindak lanjut dari kedua belah pihak, yaitu menyangkut penentuan hak asuh anak dan pembagian harta. Harta setelah perceraian yang didapat selama perkawinan merupakan harta bersama, seperti yang tertuang dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Selain mengenai pembagian harta setelah perceraian juga terdapat pembagian hak asuh anak. Hak asuh anak terhadap anak di bawah 12 tahun seringkali diberikan kepada ibu seperti yang tertuang dalam Hukum Kompilasi Islam pasal 105 huruf a. Bagi anak di atas 12 tahun, anak diberikan kebebasan memilih dengan siapa anak tersebut akan tinggal, apakah dengan ibu atau ayahnya. Hal ini dikarenakan ayah atau ibu mempunyai kewajiban yang sama dalam merawat dan mendidik anak, seperti yang tertuang dalam Pasal 41 huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.

  Perceraian adalah putusnya hubungan sebagai suami istri atau talak (KBBI Pusat Bahasa, 2008). Ketika suami istri bercerai, maka tugas dan peran sebagai suami dan istri juga berakhir, demikian juga peran sebagai

  Oktaria (2011) berpendapat dalam blognya dengan melihat kasus- kasus yang terjadi di masyarakat bahwa orang tua yang akan bercerai sudah menyiapkan mental untuk hidup berpisah satu sama lain dan pengambilan keputusan juga hanya terjadi pada orangtua tanpa melibatkan anak. Berbeda dengan anak. Anak yang semula tidak mengetahui permasalahan orang tuanya tiba-tiba harus menghadapi situasi orang tua berpisah. Anak harus beradaptasi dengan kondisi orang tua yang semula bertengkar dan kemudian bercerai. Situasi ini dapat menjadi stressor tersendiri bagi anak. Anak yang berhasil beradaptasi tidak akan mengalami masalah dan tidak mengalami kesulitan dalam perkembangannya. Tetapi jika tidak, kondisi psikologis anak akan terganggu. Ketika orang tuanya bertengkar anak menjadi merasa takut, bingung, dan sedih. Selain itu, perceraian juga akan menimbulkan kecemasan, karena anak akan merasa dirinya ditolak, tidak berharga, dan tidak dicintai. Tidak jarang anak merasa menjadi memiliki perasaan bahwa dirinya berbeda dengan anak-anak lain yang orang tuanya tidak bercerai. Anak juga akan merasa cemas akan hidup yang tidak bermakna, karena hidupnya yang semula nyaman dengan kedua orang tua kini tidak lagi. Cemas jika masa depannya yang tanpa sosok ayah atau ibu menjadi berantakan.

  Dibandingkan dampak yang lain, masalah kecemasan pada anak mendapatkan perhatian lebih dan merupakan masalah psikologis yang memiliki prevalensi cukup besar. Menurut Freud (dalam Semiun, 2006), kecemasan adalah suatu keadaan perasaan yang tidak menyenangkan dan disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Freud mengemukakan tiga jenis kecemasan, yaitu kecemasan neurotik, kecemasan moral, dan kecemasan realistik.

  Kecemasan pada anak bisa memburuk seiring waktu (Kendall dalam Suroso, 2011) dan menimbulkan akibat-akibat yang serius pada orang dewasa, seperti gangguan kecemasan berkelanjutan, depresi mayor, keinginan bunuh diri, dan perawatan inap karena gangguan psikiatrik (Achenbach, Alloy, Kelly, et.al dalam Suroso, 2011). Kecemasan itu sendiri mempunyai dampak bagi perkembangan anak atau bagi masa depan anak.

  Menurut Wyman (dalam Jasinski, 2003), anak-anak yang mengalami kecemasan akan memiliki lebih sedikit teman dekat dan tidak terlibat dalam kegiatan seperti teman-temannya. Kecemasan juga dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berkonsentrasi di sekolah atau hadir di sekolah (keterlibatan dalam sekolah) dan kompetensi kognitif anak berkurang. Selain itu juga dapat menyebabkan masalah perilaku (Jasinski, 2003).

  Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perceraian menimbulkan kecemasan bagi anak. Jasinski (2003), menyebutkan bahwa perceraian pada dasarnya diasosiasikan dengan kecemasan anak-anak. Dalam penelitiannya Jasinski melakukan perbandingan tingkat kecemasan antara anak dari keluarga bercerai dan anak dengan orangtua utuh. Tingkat kecemasan anak- anak korban perceraian lebih tinggi daripada anak dengan orangtua utuh. Demikian juga dengan artikel yang ditulis oleh Rodriquez dan Arnold (1998), yang menyebutkan bahwa efek dari perceraian orangtua salah satunya adalah kecemasan. Meskipun demikian, dalam penelitian tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai jenis-jenis kecemasan yang muncul dan hanya sekedar kecemasan sebagai dampak dari perceraian orangtua.

  Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecemasan apa saja yang dialami oleh anak-anak dari keluarga bercerai. Maka dari itu, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif analisis interpretatif. Analisis interpretatif ini bertujuan mengungkapkan secara detail bagaimana subjek mengalami dunia personal dan sosialnya. Tujuan utama analisis interpretatif yaitu memperoleh makna dari berbagai pengalaman, peristiwa, dan status subjek.

  Pendekatan ini berusaha mengeksplorasi pengalaman personal subjek serta menekankan pada persepsi atau pendapat subjek tentang objek atau peristiwa (Smith, 2009).

  Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil CAT (Children

  Apperception Test). CAT merupakan tes proyektif bercerita (story telling),

  dengan stimulus terdiri dari sepuluh gambar situasi ambigu. Anak diminta untuk bercerita sesuai gambar yang disajikan. Melalui gambar yang disajikan dalam CAT ini, anak dapat memproyeksikan kebutuhan atau dorongan- dorongan, dinamika hubungan interpersonal, konflik, dan kecemasan akan sesuatu (Bellak, 1997). CAT dapat menggali data yang tidak dapat diperoleh melalui metode lain (wawancara dan observasi), karena dapat mengekspresikan ide-ide yang terlalu mengancam bagi anak untuk dibicarakan secara langsung (Wenar & Kerig, 2000).

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang penelitian yang sudah peneliti sampaikan di atas, maka peneliti ingin mengetahui apa saja kecemasan yang terjadi pada anak dari keluarga bercerai yang diperoleh dari CAT?

  C. Tujuan

  Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah mengetahui gambaran kecemasan yang terjadi pada anak dari keluarga bercerai yang diperoleh dari CAT.

  D. Manfaat

  Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang psikologi kepribadian dan psikologi perkembangan anak, khususnya mengenai kecemasan pada anak dari keluarga bercerai

  Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi keluarga-keluarga khususnya keluarga bercerai, psikolog, dan praktisi anak mengenai kecemasan pada anak-anak dari keluarga bercerai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan

  1. Pengertian Kecemasan

  Kecemasan adalah keadaan mood yang ditandai dengan ketegangan tubuh, dan khawatir akan bahaya di masa depan atau ketidakberdayaan (Mash & Wolfe, 1999). Menurut Chaplin (2008), kecemasan adalah perasaan campuran berisikan ketakutan dan keprihatinan mengenai masa-masa mendatang tanpa sebab khusus untuk ketakutan tersebut.

  Menurut Freud (dalam Semiun, 2006), kecemasan adalah suatu keadaan perasaan yang tidak menyenangkan dan disertai dengan sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan datang. Freud mengemukakan bahwa ego menjadi tempat kecemasan dan hanya ego yang dapat menghasilkan dan merasakan kecemasan.

  Maka dapat disimpulkan bahwa kecemasan merupakan keadaan perasaan yang tidak menyenangkan, tertekan, kekhawatiran akan kejadian di masa mendatang.

  2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecemasan

  Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya kecemasan adalah sebagai berikut: a. Faktor Internal Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari anak itu sendiri, seperti misalnya :

  1) Sensitivitas anak terhadap peristiwa yang berpotensi mengancam.

  Anak yang terlalu sensitif dengan kondisi mengancam akan lebih mengalami kecemasan dibanding dengan anak yang kurang sensitif (Wenar & Kerig, 2000).

  2) Kemampuan anak menghadapi hal-hal yang menakutkan.

  Anak mengalami kecemasan ketika tidak biasa menghadapi hal-hal yang menakutkan (Wenar & Kerig, 2000).

  3) Temperamen Menurut Wenar & Kerig (2000), temperamen yang menyebabkan kecemasan dikenal dengan behavior inhibition.

  Kondisi ini terlihat pada anak yang pemalu, pendiam, penakut, dan menghindari tantangan. Anak dengan behavior inhibition akan meningkatkan resiko kecemasan daripada anak dengan behavior uninhibition.

  b. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang mempengaruhi terbentuknya kecemasan yaitu :

  1) Pola asuh orangtua Orangtua yang memiliki pola asuh

  overprotective/overcontrolled dan pola asuh rigid akan membatasi kebebasan anaknya dan orangtua terlalu berharap terhadap anak.

  Hal ini menyebabkan anak merasa tidak diterima oleh orangtuanya dan akan timbul kecemasan pada anak (Mash & Wolfe, 1999). Menurut Hatherington (dalam Bukatko, 2008), orangtua yang bercerai memiliki pola asuh otoriter. Hal ini yang menyebabkan anak mengalami kecemasan karena orangtua menentukan aturan baru yang cukup ketat terhadap anaknya.

2) Attachment

  Anak dengan insecure attachment lebih menunjukkan kecemasan daripada anak dengan secure attachment. Hal ini dikarenakan anak tidak mendapatkan sesuatu yang dibutuhkan. Anak akan menjadi merasa tidak bebas, tidak aman, dan merasa takut (Wenar & Kerig, 2000).

  c. Faktor Pembelajaran Teori pembelajaran menekankan bahwa ketakutan dan kecemasan dipelajari melalui pengkondisian klasikal dan pengkondisian operan. Dalam pengkondisian klasikal, ketakutan dipelajari karena stimulus tertentu diasosiasikan dengan stimulus yang menakutkan. Sebagai contoh, anak akan merasa ketakutan ketika sedang berada di kamar sendirian dan disertai dengan suara-suara menakutkan. Hal tersebut membuat anak menjadi ketakutan ketika harus berada di kamar sendirian. Prinsip pengkondisian operan yaitu bahwa perilaku yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian reward atau reinforcement. Suatu hal akan dianggap menakutkan, jika terdapat reward otomatis setiap kali anak menghindari objek atau situasi menakutkan. Dengan demikian, melalui proses penguatan negatif, menghindari stimulus menakutkan menjadi respon yang dipelajari, hal ini berfungsi mempertahankan ketakutan anak (Mash & Wolfe, 1999). Sebagai contoh, ketika seorang anak menghindari kesendirian maka akan diberi reward oleh orangtuanya, maka anak akan menghindari kesendirian. Menghindari kesendirian tersebut menjadi respon yang dipelajari dan hal ini akan mempertahankan anak menjadi tetap cemas ketika sendiri.

B. Anak-anak Usia Akhir

  Masa pertengahan dan akhir anak-anak ialah periode perkembangan yang terentang dari usia kira-kira enam hingga 11 tahun, yang kira-kira setara dengan tahun-tahun sekolah dasar. Periode ini kadang-kadang disebut masa- masa sekolah dasar (Santrock, 2002). Menurut Papalia (2009), masa kanak- kanak berada pada usia lima atau enam sampai 11 tahun. Masa sekolah atau pertengahan anak-anak (middle childhood) berada pada usia enam hingga 12 tahun (Havighurst dalam Desmita, 2009). Menurut Bukatko dan Berk (2008), masa pertengahan dan akhir anak-anak berawal pada usia enam hingga 11 tahun.

  Anak usia sekolah mengalami emosi tertentu yang dikendalikan oleh rasa tanggung jawab. Jika anak merasa bersalah maka anak cenderung menebus kesalahan. Selain itu, ketika orangtua atau orang lain menyalahkan atau mengkritik anak, maka anak akan merasa malu yang intens yang dapat menyebabkan penurunan tajam dalam harga diri disertai dengan depresi dan kemarahan (Berk, 2008). Dalam usia ini anak menerima suatu peran yang baru, berinteraksi dan mengembangkan hubungan dengan orang-orang baru yang penting lainnya, mengadopsi kelompok acuan baru, dan mengembangkan standar-standar baru untuk menilai diri mereka sendiri (Santrock, 2002).

  Ketika anak-anak memasuki masa pertengahan dan akhir anak-anak, para orangtua hanya memberi sedikit waktunya untuk mereka. Meskipun demikian, orangtua tetap menjadi pelaku-pelaku sosialisasi yang sangat penting dalam kehidupan anak-anak mereka. Anak dan orangtua membagi pengaturan perilaku, konflik dengan saudara kandung membantu perkembangan keterampilan untuk resolusi konflik, dan persahabatan menjadi semakin dekat (Santrock, 2002).

  Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa rentang usia anak-anak berada pada 6 sampai 11-12 tahun. Pada masa ini, anak-anak secara formal dihadapkan pada dunia yang lebih besar dan budayanya, kontrol diri pada anak juga telah meningkat dengan adanya konflik-konflik yang muncul, baik dengan saudara maupun orang tua. Di samping itu, pada masa ini anak-anak mengalami perkembangan pemahaman diri.

C. Perceraian

1. Pergertian Perceraian

  Menurut KBBI Pusat Bahasa (2008), perceraian adalah putusnya hubungan sebagai suami istri atau talak.

  Menurut Yusuf (2004), perceraian orang tua adalah keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan. Menurut Save (2002), perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi anak-anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena kehilangan satu orang tua.

  Maka dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah terputusnya hubungan perkawinan antara suami istri, menyebabkan keluarga tidak harmonis, dan berdampak buruk bagi anak.

  Anak-anak dari keluarga bercerai adalah anak yang berasal dari keluarga dengan orangtua yang tidak dapat menjalankan perannya sebagai suami istri karena telah mengakhiri kehidupan perkawinan.

2. Dampak Perceraian pada Anak

  a. Secara hukum Secara legal formal, perceraian menuntut adanya keputusan tindak lanjut dari kedua belah pihak, yaitu menyangkut penentuan hak asuh anak dan pembagian harta. Harta setelah perceraian yang didapat selama perkawinan merupakan harta bersama. Hal ini seperti yang tertuang dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Di samping itu, hak asuh anak terhadap anak di bawah 12 tahun seringkali diberikan kepada ibu seperti yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 huruf a. Meskipun demikian, bagi anak di atas 12 tahun, anak diberikan kebebasan memilih dengan siapa anak tersebut akan tinggal, apakah dengan ibu atau ayahnya. Hal ini dikarenakan ayah atau ibu mempunyai kewajiban yang sama dalam merawat dan mendidik anak, seperti yang tertuang dalam

  Pasal 41 huruf a Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Menurut KHI, dampak perceraian secara hukum menuntut seorang ayah untuk bertanggung jawab atas kebutuhan dan biaya pemeliharaan anak. Jika tidak demikian maka pengadilan akan menuntut ibu untuk ikut bertanggung jawab atas kebutuhan anak.

  Seorang ayah akan menafkai anaknya hingga dewasa dan dapat mengurus diri (sekitar usia 21 tahun). Dalam jangka waktu tertentu, seorang istri juga dapat meminta nafkah kepada suaminya pasca perceraian. b. Secara psikologis Rumah tangga yang pecah karena perceraian dapat lebih merusak anak dan hubungan keluarga ketimbang rumah tangga yang pecah karena kematian. Terdapat dua alasan untuk hal ini. Periode penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi anak daripada periode penyesuaian yang menyertai kematian orang tua. Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1989) telah menemukan bahwa kebanyakan anak melalui tahap dalam penyesuaian ini: penolakan terhadap perceraian, kemarahan yang ditujukan pada mereka yang terlibat dalam situasi tersebut, tawar menawar dalam usaha mempersatukan orang tua, depresi dan akhirnya penerimaan perceraian (Hurlock, 1989).

  Perpisahan yang disebabkan perceraian itu serius sebab mereka cenderung membuat anak menjadi berbeda dalam mata kelompok sebaya. Jika anak ditanya di mana orang tuanya atau mengapa mereka mempunyai orang tua baru sebagai pengganti orang tua yang tidak ada, mereka menjadi serba salah dan merasa malu. Di samping itu, mereka mungkin merasa bersalah jika mereka menikmati waktu bersama orang tua yang tidak ada (Hurlock, 1989).

  Perlakuan orang tua kepada anak pasca perceraian biasanya berubah. Hal ini dapat menyebabkan permasalahan pada anak-anak di usia akhir ataupun dewasa kelak. Jika anak-anak mengetahui arti dari perilaku orang tua yang semula menerima anak dan akhirnya menolak dan tidak mencintainya, maka hal ini akan menyebabkan anak menjadi cemas, merasa tidak aman akan sesuatu hal yang mengancam dirinya, dan merasa ditolak (Hurlock, 1989).

  Menurut Save (1990), setiap tingkat usia anak dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru ini memperlihatkan cara dan penyelesaian berbeda. Kelompok anak prasekolah pada saat kasus ini terjadi memiliki kecenderungan untuk mempersalahkan diri bila menghadapi masalah dalam hidupnya. Umumnya anak usia kecil itu sering tidak betah, tidak menerima cara hidup baru. Anak tidak akrab dengan orangtuanya. Anak ini sering dibayangi rasa cemas, selalu ingin mencari ketenangan.

  Periode penyesuaian anak yang terburuk yaitu satu tahun setelah perceraian. Anak memperlihatkan karakter yang negatif seperti kebingungan dan ketidakpatuhan. Meskipun demikian, setelah dua tahun perceraian efek tersebut berkurang terutama pada anak perempuan. Di sisi lain, setelah enam tahun, anak laki-laki kembali memperlihatkan ketidakpatuhan, relasi buruk dengan teman sebaya, dan rendahnya harga diri (Hatherington dalam Bukatko, 2008).

  Penyesuaian anak terhadap perceraian sebagian bergantung pada usia atau kematangan anak, gender, temperamen, dan penyesuaian psikososial sebelum perceraian. Anak-anak yang lebih muda cenderung lebih cemas mengenai perceraian, memiliki persepsi yang kurang realistis mengenai penyebabnya, dan menyalahkan diri mereka sendiri. Meskipun demikian, mereka dapat beradaptasi lebih cepat daripada anak yang lebih tua, yang memiliki pemahaman lebih baik mengenai apa yang sedang terjadi. Anak-anak usia sekolah bisa saja takut akan penelantaran dan penolakan. Anak laki-laki umumnya merasa lebih sulit beradaptasi dibandingkan anak perempuan (Bray, Hetherington, Stanley-Hagan, et al. dalam Papalia, 2009). Kebanyakan anak dengan orang tua bercerai menyesuaikan diri dengan cukup baik, tetapi perceraian meningkatkan risiko masalah pada masa remaja atau dewasa, seperti perilaku antisosial. (Kelly & Emery dalam Papalia, 2009).

  Dengan demikian, banyak dampak negatif yang terjadi pada anak-anak akibat perceraian orang tua. Anak-anak merasa berbeda dengan teman sebaya, kesulitan penyesuaian hidup dengan orangtua tunggal, dan adanya kecemasan yang mengikutinya. Kecemasan ini adalah kecemasan anak akan penolakan, ketidaknyamanan, dan kehilangan kasih sayang.

D. CAT (Children’s Apperception Test)

  CAT merupakan tes dengan menggunakan teknik proyektif aperseptif atau disebut juga tes apersepsi. Apersepsi adalah interpretasi yang bermakna atau mempunyai nilai individual yang khas, sehingga apa yang ditangkap sudah merupakan sesuatu yang bermakna individual (meaningfulness) (Prihanto, 1993) .

  CAT merupakan sebuah bentuk tes proyektif yang dirancang untuk memahami dinamika anak-anak dalam menghadapi masalah-masalah dalam perkembangannya. Menurut Bellak (1997), CAT digunakan untuk memahami relasi subjek dengan figur lain dan dorongannya. Gambar-gambar dalam CAT ini dirancang untuk memunculkan respon mengenai masalah makan secara khusus dan masalah oral secara umum, masalah persaingan antar saudara, relasi dengan figur orang tua, fantasi tentang agresi, tentang penerimaan dunia orang dewasa, ketakutan terkait kesendirian di malam hari, dinamika hubungan interpersonal, kumpulan drive, dan pertahanan diri mereka. Selain itu, CAT juga mampu mengungkapkan kecemasan. Ragam kecemasan pada anak-anak menurut Bellak, kecemasan terkait dengan kondisi bahaya fisik, misalnya disakiti oleh oranglain, binatang buas; kecemasan akan hukuman yang kemungkinan dihadapi; kecemasan akan kehilangan atau berkurangnya kasih sayang dari orang tua atau orang sekitar; kecemasan akan penolakan; kecemasan akan situasi kesendirian dan kesepian; dan kecemasan akan berkurangnya atau kehilangan dukungan.

  CAT dibagi menjadi dua, yaitu CAT animal dan CAT-H (CAT- Human). CAT animal berupa kartu dengan tokoh-tokoh binatang, sedangkan CAT-H dengan tokoh manusia. CAT animal biasa diberikan pada anak usia prasekolah, karena anak-anak prasekolah lebih baik dalam merespon gambar dengan tokoh binatang. CAT-H lebih efektif untuk anak usia tujuh hingga 10 tahun terutama dengan IQ tinggi (Bellak, 1997).

  CAT terdiri dari 10 kartu bergambar, baik itu CAT animal maupun CAT-H. Masing-masing kartu terdapat tema-tema tertentu. Tema-tema tersebut antara lain :

  1. Kartu 1 : deprivasi oral

  2. Kartu 2 : permainan, ketakutan akan agresi, simbol masturbasi

  3. Kartu 3 : gender, kebingungan peran, konflik antara kepatuhan dan otonomi

  4. Kartu 4 : persaingan antar saudara, relasi dengan figur ibu

  5. Kartu 5 : mengamati, menduga, kebingungan, keterlibatan emosional anak

  6. Kartu 6 : kecemburuan terhadap kedekatan orangtua, menginginkan otonomi dari orangtua

  7. Kartu 7 : agresifitas dalam hidup anak, ketakutan terhadap agresi

  8. Kartu 8 : hubungan dengan orangtua, relasi ibu dan anaknya

  9. Kartu 9 : ketakutan akan gelap, ditinggalkan sendiri, rasa ingin tahu pada apa yang terjadi di ruangan sebelah

  10. Kartu 10: hukuman, konsep moral anak, toilet training

E. Kecemasan pada Anak dari Keluarga Bercerai

  Perceraian orang tua adalah keadaan keluarga yang tidak harmonis, tidak stabil atau berantakan (Yusuf, 2004). Menurut Save (2002), perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi anak-anak akan mengalami reaksi emosi dan perilaku karena kehilangan satu orang tua.

  Secara psikologis, anak yang berasal dari keluarga bercerai memperoleh banyak tekanan, karena suasana rumah kurang harmonis. Selain itu, keadaan lingkungan juga mengharuskan anak melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan. Hal ini dikarenakan tekanan dan keadaan lingkungan sebagai akibat dari perceraian kedua orang tuanya, menyebabkan anak merasa dirinya tidak aman. Padahal, anak pada usia sekolah adalah anak yang merasa takut diejek, takut tercela, takut kehilangan miliknya, takut akan penyakit dan takut akan gagal di sekolah. Rasa tidak aman yang menyelubungi tersebut juga akan menimbulkan perasaan inferior pada anak terhadap kemampuan dan kedudukannya. Anak merasa rendah diri, menjadi takut untuk memperluas pergaulannya dengan teman-temannya (Gunarsa, 2003).

  Menurut Save (1990), setiap tingkat usia anak dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru ini memperlihatkan cara dan penyelesaian berbeda.

  Kelompok anak yang belum berusia sekolah pada saat kasus ini terjadi ada kecenderungan untuk mempersalahkan diri bila ia menghadapi masalah dalam hidupnya. Umumnya anak usia kecil itu sering tidak betah, tidak menerima cara hidup baru. Ia tidak akrab dengan orangtuanya. Anak ini sering dibayangi rasa cemas, dan selalu ingin mencari ketenangan.

  Dalam kasus perceraian, kecemasan selalu mengikuti anak yang menjadi korban perceraian orang tua. Kecemasan merupakan sesuatu yang tidak jelas, adanya perasaan gelisah yang disebabkan oleh ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diduga akan terjadi, proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin. Menurut Singgih (1995), kecemasan merupakan suatu perubahan suasana hati, perubahan di dalam dirinya sendiri yang timbul dari dalam tanpa adanya perangsang dari luar. Istilah kecemasan juga dipakai untuk menunjukkan suatu respons emosional yang tidak menyenangkan. Kecemasan selalu didapatkan pada anak-anak yang mengalami gangguan emosional.

  Dengan demikian, banyak dampak negatif yang terjadi pada anak- anak akibat perceraian orang tua. Anak-anak merasa berbeda dengan teman sebaya, kesulitan penyesuaian hidup dengan orangtua tunggal, dan adanya kecemasan yang mengikutinya. Kecemasan ini adalah kecemasan anak akan penolakan, ketidaknyamanan, dan kehilangan kasih sayang.

  Keluarga Bercerai (perceraian orangtua)

  Dampak secara Hukum :

   Pembagian harta  Penentuan hak Faktor-faktor yang asuh anak mempengaruhi terbentuknya kecemasan :

   Faktor Internal  Faktor Eksternal Dampak Psikologis:  Faktor Pembelajaran Kecemasan, depresi, stress, perasaan ditolak

  Kecemasan : Apa saja kecemasan pada anak dari keluarga dengan orangtua bercerai?

  Skema 1: Kerangka Penelitian: Gambaran Dampak Perceraian Orangtua

F. Pertanyaan Penelitian

  Apa saja kecemasan yang terjadi pada anak dari keluarga bercerai yang diperoleh dari CAT?

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis

  interpretatif. Analisis interpretatif ini bertujuan mengungkapkan secara detail bagaimana subjek mengalami dunia personal dan sosialnya. Tujuan utama analisis interpretatif yaitu memperoleh makna dari berbagai pengalaman, peristiwa, dan status subjek. Pendekatan ini berusaha mengeksplorasi pengalaman personal subjek serta menekankan pada persepsi atau pendapat subjek tentang objek atau peristiwa (Smith, 2009).

  Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis untuk memperoleh kecemasan akibat dari perceraian orangtua.

B. Fokus Penelitian

  Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kecemasan pada anak-anak dari keluarga bercerai yang diperoleh dari CAT. Kecemasan merupakan proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan, perasaan gelisah, dan keadaan mental yang tidak enak akan sesuatu yang dibayangkan, dan suatu perubahan suasana hati yang timbul karena adanya rangsangan dari luar yang mengancam.

  Dalam penelitian ini kecemasan dapat ditemukan dari sebagian atau keseluruhan cerita dalam CAT. Dari cerita-cerita CAT dapat ditemukan jenis- jenis kecemasan pada anak-anak, antara lain kecemasan yang berhubungan dengan bahaya fisik, hukuman, takut karena kurangnya atau kehilangan kasih sayang, penolakan, dan kesendirian (kesepian, kurangnya dukungan). Hal ini akan menjadi berharga untuk dicatat dalam konteks pertahanan anak terhadap ketakutan yang dihadapinya (Bellak, 1997).

  C. Subjek Penelitian

  Dalam penelitian ini, subjek yang dipilih berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya dan berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan tujuan penelitian.

  Subjek dalam penelitian ini memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut: a. Subjek berada pada masa pertengahan anak-anak (middle childhood) yaitu usia enam hingga 11 tahun sesuai tahap perkembangan Bukatko dan Berk (2008) b. Subjek merupakan anak dari orang tua yang bercerai.

  c. Perceraian orang tua terjadi dalam masa kehidupan subjek, yaitu ketika subjek sudah lahir.

  D. Metode Pengumpulan Data

  Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan. Dokumen memiliki beberapa kelebihan, antara lain: dokumen merupakan sumber yang stabil, kaya, dan mendorong; sebagai bukti untuk suatu pengujian; sifatnya alamiah, sesuai dengan konteks, lahir dan berada dalam konteks (Guba dan Lincoln dalam Moleong, 2009), dan dapat menggali data yang tidak dapat diperoleh melalui metode lain (wawancara dan observasi). Dalam penelitian ini, dokumen yang digunakan sebagai data penelitian meliputi respon CAT dan data latar belakang subjek.

  1. Data Utama : Respon CAT Seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, CAT merupakan tes proyektif apersepsi atau tes bercerita (story telling). CAT terdiri dari sepuluh gambar dengan situasi yang tidak terstruktur dan ambigu. Melalui gambar yang disajikan dalam CAT ini, anak dapat memproyeksikan dan akan lebih mudah mengekspresikan kebutuhan, konflik, kecemasan, dan dinamika hubungan interpersonal. Selain itu, menurut Wenar dan Kerig (2000), melalui CAT anak akan lebih mudah mengekspresikan ide-ide yang terlalu mengancam untuk dibicarakan secara langsung.

  Prosedur dalam CAT tersebut, yaitu anak diberikan 10 kartu dengan situasi ambigu, kemudian anak diminta untuk bercerita sesuai gambar yang disajikan. Cerita tersebut meliputi apa yang terjadi, apa yang dipikirkan oleh tokoh, apa yang dirasakan, dan akhir ceritanya seperti apa.

  2. Data Pelengkap : Dokumen latar belakang subjek Selain menggunakan data CAT, peneliti juga menggunakan data latar belakang untuk mendapatkan data secara lebih mendalam dan menyeluruh terkait dengan munculnya kecemasan pada anak. Data latar belakang diperoleh berdasarkan wawancara dan observasi. Latar belakang tersebut meliputi kehidupan intrapersonal subjek (konsep diri subjek) dan kehidupan interpersonal subjek yang meliputi riwayat keluarga, pandangan subjek terhadap orang tua, relasi dengan keluarga dan teman sebaya.

E. Analisis Tematik

  Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis tematik. Analisis tematik dilakukan dengan melakukan interpretasi terhadap tema-tema yang mengandung kecemasan terkait dengan keluarga. Tahap- tahap analisis tematik tersebut yaitu:

  1. Tema Deskriptif Tema deskriptif merupakan ringkasan cerita yang mempunyai arti untuk menjelaskan psikodinamika subjek. Pada tahap ini cerita subjek yang mengandung arti kecemasan (awal, tengah, dan akhir cerita) diringkas dan dimasukkan ke dalam satu kolom tema deskriptif.

  2. Tema Interpretif Tema interpretif merupakan tema yang dinyatakan dalam kalimat yang bersifat hipotesis untuk digeneralisasikan. Pada tahap ini, cerita dalam tema deskriptif digeneralisasikan menjadi kalimat umum yang mengandung sebab akibat.

  3. Tema Diagnostik Tema diagnostik merupakan pernyataan yang definitif dan sifat hipotesis dihilangkan. Pada tahap ini, peneliti menentukan jenis kecemasan berdasarkan tema deskriptif, tema interpretif, dan latar belakang subjek (Bellak, 1997).

  Dalam penelitian ini, peneliti membatasi analisis tematik pada tema- tema kecemasan dan yang berkaitan dengan keluarga.

F. Pemeriksaan Keabsahan Data

  Keabsahan data dalam penelitian dilakukan dengan mengupayakan dependabilitas penelitian. Menurut Poerwandari (2005), dependabilitas sama dengan reliabilitas dalam penelitian kuantitatif. Dependabilitas dalam penelitian ini diketahui dengan istilah diskursus. Diskursus yaitu sejauh mana dan seintensif apa peneliti mau mendiskusikan temuan dan analisisnya dengan orang lain (Sarantakos dalam Poerwandari, 2005). Diskursus dalam penelitian ini dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut :

  1. Peneliti melakukan analisis tematik terhadap cerita CAT berdasarkan tiga komponen, yaitu tema deskriptif, tema interpretif, dan tema diagnostik.

  2. Peneliti dengan seorang psikolog pembimbing skripsi melakukan diskusi.

  Hal ini untuk memperoleh kesepakatan terhadap interpretasi atau makna kecemasan.

  3. Melakukan pengecekan kembali terhadap tema diagnostik (arti kecemasan) untuk memastikan bahwa tidak terdapat arti kecemasan yang berbeda pada cerita yang sama.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian

  1. Pengumpulan Data

  Peneliti menggunakan data dokumen laporan praktikum atau pemeriksaan dengan CAT yang tersedia di Laboratorium Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Dokumen laporan CAT tersebut diambil berdasarkan pelaksanaan pengetesan mulai tahun 2005 hingga tahun 2011 dengan subjek anak usia enam hingga 11 tahun dan berasal dari keluarga bercerai. Berdasarkan kriteria tersebut, peneliti mendapatkan sembilan dokumen laporan CAT, yaitu delapan buah laporan CAT-H dan satu buah laporan CAT animal. Subjek laki-laki berjumlah lima anak dan empat anak perempuan.

  2. Analisis Data

  Pengolahan data dilakukan dengan melakukan interpretasi atau analisis tematik terhadap cerita-cerita yang mengandung kecemasan.

  Analisis tematik dilakukan dengan mengidentifikasi tema deskriptif, merumuskan tema interpretif, dan menentukan tema diagnostik. Cerita subjek yang mengandung arti kecemasan (awal, tengah, dan akhir cerita) diringkas dan dimasukkan ke dalam satu kolom tema deskriptif.

  Selanjutnya, cerita dalam tema deskriptif digeneralisasikan menjadi kalimat umum yang mengandung sebab akibat. Tahap terakhir peneliti menentukan jenis kecemasan berdasarkan tema deskriptif, tema interpretif, dan latar belakang subjek.