BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - BAB I NILA TRI HARDIYAANI SEJARAH'14

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Australia telah dimulai sejak

  tahun 1945. Hubungan antara kedua negara yang sudah terjalin cukup panjang ini tidak terlapas dari berbagai masalah, tercatat beberapa peristiwa atau isu yang pernah membuat hubungan kedua negara ini berfluktuasi, diantaranya adalah isu Irian Barat pada tahun 1950, isu konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1961, dan isu Timor Timur pada tahun 1974.

  Beragam masalah yang ditemui oleh kedua negara ini, dikarenakan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut adalah perbedaan latar belakang sejarah dan budaya serta prioritas-prioritas kebijakan politik dalam dan luar negeri masing- masing negara. Australia yang memiliki budaya politik warisan model

  westminister dari kerajaan Inggris tentunya memiliki perbedaan dalam

  menjalankan kebijakannya dengan Indonesia yang menerapkan demokrasi (Zulkifli, 1999: 50).

  Selain itu dalam mengambil kebijakan politik luar negeri, Australia memiliki dua faktor mendasar yaitu letak geografis Australia dan tradisi ke- Inggrisan. Faktor pertama adalah letak geografis Australia yang pada bagian Timur dikelilingi oleh Samudra Pasifik dan bagiaan baratnya dikelilingi oleh Samudra India memberikan kekhawatiran bagi Australia, akan tetapi pada bagian utara Australia yang membentuk garis perbatasan dengan kepulauan Indonesia, cukup memberikan kekhawatiran bagi Australia (Hilman, 1997: 1-2).

  Sabuk utara ini membentuk sebuah kunci srategis bagi pertahanan Auatralia. Pulau-pulau yang dipandang sebagai sebuah pagar penangkal bagi Australia, juga dinilai sebagai garis lemah dalam pertahanan negeri itu. Australia khawatir jika pulau-pulau tersebut jatuh ke tangan kekuasaan yang bermusuhan, maka keberadaan Australia akan terancam. Kekhawatiran ini dikarenakan oleh pemikiran Australia bahwa keberadaan Australia juga ditentukan oleh siapa yang akan menguasai pulau-pulau yang berbatasan dengan sebelah utara Australia. Oleh karena itu Australia berpikir bahwa tidak ada satupun kekuasaan asing yang bermusuhan bisa dibiarkan berada di dekat Australia (Hilman, 1997: 2-3).

  Faktor kedua adalah adanya tradisi ke-Inggrisan yang dimiliki oleh masyarakat Australia. Hadirnya tradisi tersebut di masyarakat Australia karena adanya latar belakang sejarah, bahwa Australia merupakan bekas koloni Inggris. Selain itu keterkaitan dengan Inggris dari segi keamanan, perdagangan, hubungan-hubungan luar negeri dan sistem pendidikan yang beracuan atau diterapkan oleh Inggris. Sikap Australia yang menjaga jarak dengan negara- negara Asia tetangganya dan lebih memilih berdekatan dengan Inggris juga disebabkan oleh rasa bahwa dirinya lebih tinggi dari bangsa-bangsa Asia, karena unsur keturunan Inggris dan ras kulit putih (Hilman, 1997: 5).

  Pada awal berdirinya, Australia menyandarkan politik luar negerinya kepada Inggris. Semua hubungan dengan bangsa dan negara lain masih ditangani oleh pemerintah Inggris, dapat dikatakan hubungan luar negeri Australia sangat tergantung pada Inggris. Sampai dengan meletusnya Perang Dunia II kiblat politik luar negeri Australia masih tetap ke Inggris. Pandangan luar negerinya masih melalui kaca mata Inggris. Cakrawala seperti itu masih dianggap cukup dan tidak ada salahnya untuk dipertahankan. Namun serangan Jepang terhadap Pearl Harbour yang mengawali Perang Pasifik sebagia bagian dari Perang Dunia II telah membuka cakrawala baru bagi Australia dengan tidak lagi bergantung pada Inggris (Siboro, 2012: 62).

  Perubahan politik luar negeri Australia disebabkan oleh serangkaian peristiwa yang terjadi pada tahun 1941-1942. Pada masa-masa ini merupakan titik yang menentukan bagi Australia untuk melihat kembali kebijakan politik luar negeri negaranya. Kejatuhan Singapura, Malaya, dan Hindia Belanda ke tangan Jepang telah menunjukan ketidakmampuan Inggris dalam menjamin keamanan Australia. Peristiwa-peristiwa ini memaksa Australia untuk menghadapi masalah hubungan luar negeri di luar konteks persemakmuran (Siboro, 2012: 68).

  Dalam menjalankan politik luar negerinya Australia menjalin hubungan bilateral dengan Indonesia yang secara geografis letaknya berdekatan dengan Indonesia. Hubungan Indonesia dengan Australia sudah mulai terlihat ketika bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945, Australia memberikan dukungan dan rasa simpati kepada Indonesia (Siboro, 2012: 129).

  Hubungan kedua negara ini berkembang lebih lanjut pada bulan Juli 1947, ketika Australia mulai memberikan perannya terhadap Indonesia di dalam komisi Jasa-Jasa Baik PBB dan juga melalui kebijakan-kebijakan di Dewan Keamanan yang mencerminkan suatu sikap pro-Indonesia. Sikap konsisten Australia mendukung perjuangan Indonesia selama berlangsungnya revolusi fisik tersebut ketika Belanda melakukan dua kali agresi militernya. Pada saat itu juga Indonesia meminta Australia untuk mewakili Indonesia dalam Komisi Tiga Negara yang diusahakan oleh PBB untuk menengahi perselisihan antara Indonesia dengan Belanda. Australia mewakili Indonesia dalam perundingan yang menuju pada pengakuan kedaulatan Belanda atas kemerdekaan Indonesia tahun 1949. Disamping itu Australia juga mensponsori Indonesia untuk menjadi anggota PBB pada tahun 1950 (Hilman, 1997: 9-10).

  Hubungan Indonesia-Australia yang telah diibina selama 65 tahun, yang diawali pada tahun 1945tidak hanya memiliki masa-masa indah tapi juga seringkali mengalami masa-masa renggang. Salah satu faktor yang memicu kerenggangan hubungan kedua negara tersebut adalah mengenai masalah Timor Timur. Masalah Timor Timur mendapatkan perhatian cukup banyak, baik dari pemerintah maupun rakyat Australia.

  Sebelum tahun 1974, Timor Timur mendapatkan perhatian kecil dari pemerintah Australia ataupun masyarakat Australia. Perhatian yang ditunjukan untuk Timor Timur pun hanya letaknya yang berdekatan dengan Australia dan berhubungan dengan masalah pertahanan dan keamanan Australia. Adanya perhatian Australia terhadap Timor Timur menekankan bahwa diperlukannya pemerintah yang stabil di Timor Timur yaitu Portugis (Hilman, 1997: 15)

  Perhatian Australia terhadap Timor Timur mulai berubah pada tahun 1974, ketika terjadi perubahan situasi politik di Portugis yang mempengaruhi koloni-koloninya. Australia mengkhawatirkan jika Timor Timur jatuh ke bangsa asing, karena dapat mengancam keberadaan Australia, sehingga Australia mendukung agar Timor Timur bergabung dengan Indonesia. Dekolonisasi yang dilakukan oleh pemerintah Portugal di seluruh wilayah jajahannya membuka sejarah baru bagi rakyat Timor Timur. Selama empat abad lamanya pendudukan Portugis di Timor Timur tidak membawa perubahan yang signifikan bagi masyarakat Timor Timur, baik dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Selama pendudukan Portugis, pribumi Timor Timur juga telah melakukan perlawanan-perlawanan secara sporadis, namun hal itu dapat ditekan oleh Portugis. Hingga akhirnya pada pada tanggal 17 Juli 1976 wilayah Timor Timur bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai provinsi yang ke-27 dengan nama Provinsi Timor Timur setelah melalui proses yang cukup panjang (Noor Machmuddin, 1997:8).

  Bergabungnya Timor Timur ke dalam wilayah Republik Indonesia membawa reaksi dari dunia internasional. Ada beberapa negara yang pro dan kontra terhadap penggabungan Timor Timur. Negara yang pro terhadap penggabungan tersebut misalnya Amerika dan Australia. Kedua negara tersebut menyetujui bahkan Australia mendukung sekali jika Timor Timur bergabung dengan Indonesia. Sedangkan sikap kontra dari penggabungan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia terlihat dari negara-negara berhaluan komunis, seperti pemerintah Afrika radikal yaitu negara Mozambique yang bersimpati kepada Fretilin. Sementara itu Papua New Guinea yang baru merdeka, yang memiliki perbatasan bersama dengan Indonesia memberikan suara abstain, bahkan kekompakan ASEAN diuji ketika Singapura juga bersikap abstain (Leifer, 1986:226).

  Berintegrasinya Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari dukungan Australia melalui Perdana Menteri Whitlam yang menyarankan agar Timor Timur bergabung dengan Indonesia. Timor Timur menjadi menarik perhatian masyarakat Australia, setelah dipublikasikan kebijakan Pemerintah Partai Buruh Australia di bawah Whitlam. Kebijakan Whitlam tidak hanya mendapat kritik dari Pemerintah Australia, tetapi juga dari kalangan masyrakat Australia sendiri. Integrasi Timor Timur menjadi bagian dasar pertimbangan bagi Australia, khususnya Perdana Menteri selanjutnya setelah Whitlam, seperti dinyatakan menurut Gareth Evans bahwa keputussan Whitlam untuk mengambil peranan terhadap proses dekolonisasi Timor Timur, telah berdampak terhadap pengambilan kebijakan selanjutnya. Keputusan Whitlam mengenai Timor Timur juga telah menjadi sumber dari permasalahan yang selama ini menggangu hubungan Indonesia-Australia (Evans, 1991:27).

  Kebijakan politik luar negeri Australia terhadap Indonesia mengenai krisis Timor Timur selalu diwarnai perubahan sikap politik dari masing-masing partai politik yang sedang berkuasa. Dalam kurun waktu 1997-1999, Australia mulai menunjukan sikap inkonsistensinya dalam menjalankan politik luar negerinya dengan mendukung kemerdekaan Timor Timur dari Indonesia. Hal tersebut telah memicu keretakan hubungan Indonesia-Australia (Syamsul Hadi, dkk, 2007: 194).

  Richard Cauvel (2005:1) menjelaskan bahwa, hubungan Indonesia- Australia sempat nyaris putus karena beratnya krisis Timor Timur. Australia yang begitu bersahabat dengan negara tetangga terdekatnya pada awal integrasi Timor Timur tahun 1976 dengan Indonesia, berubah drastis ke sisi negatif terhadap Indonesia dalam kurun waktu tertentu, terkait masalah-masalah yang terjadi di Timor Timur. Australia menunjukan perubahan sikap politik yang terlihat dalam pelaksanaan politik luar negeri dan sikap elit politiknya terhadap Indonesia, sehingga membuat hubungan kedua negara turun pada titik yang terendah. Perubahan sikap tersebut dimulai ketika terjadi pergeseran Perdana Menteri di Australia, karena setiap Perdana Menteri memiliki kebijakan yang berbeda-beda dalam menangani masalah Timor Timur. Hal tersebut berpengaruh terhadap hubungan bilateral kedua negara yang selalu labil dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya.

  Dari latar belakang masalah diatas, maka penulis mengangkat permasalahan tersebut dalam sebuah judul skripsi yaitu Dinamika Hubungan Indonesia-Australia pasca Integrasi Timor Timur ke Wilayah Indonesia Tahun 1974-2002.

B. Rumusan Masalah

  Sesuai dengan judul skripsi diatas, Dinamika Hubungan Indonesia- Australia Pasca Integrasi Timor Timur ke Wilayah Indonesia Tahun 1974-2002, maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

  1. Bagaimana proses integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia?

  2. Bagaimana reaksi dunia internasional terhadap proses integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia?

  3. Bagaimana dinamika hubungan Indonesia-Australia pasca berintegrasinya Timor Timur ke wilayah Indonesia? C.

   Tujuan Penulisan

  Dalam penulisan skripsi ini, sesuai dengan judul yang dibahas penulis mempunyai beberapa tujuan yang ingin dicapai, sebagai berikut.

  1. Mengetahui proses integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia.

  2. Mengetahui reaksi dunia terhadap proses integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia.

  3. Mengetahui dinamika hubungan Indonesia-Australia pascaintegrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

  Dalam penulisan skripsi ini sesuai dengan judul yang dibahas, mempunyai beberapa manfaat teoris dan manfaat praktis, diantaranya yaitu:

  1. Manfaat Teoritis

  a. Diharapkan dengan penulisan skripsi ini dapat memperoleh gambaran yang jelas dan tepat mengenai kondisi Timor Timur saat dijajah Portugis sampai proses integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia.

  b. Sebagai alat pengukur kemampuan penulis di dalam meneliti dan merekonstruksi peristiwa sejarah dengan berusaha sejauh mungkin mencari kebenaran historis dalam bentuk penulisan sejarah ini. c. Menjadi bahan referensi atau pustaka bagi semua pihak yang berkepentingan dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini.

  2. Manfaat Praktis

  a. Dapat menilai secara kritis, analitis dan dapat mengambil hikmah dari adanya proses integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia dan pengaruh akibat integrasi ini terhadap hubungan Indonesia- Australia.

  b. Menumbuhkan kesadaran bagi mahasiswa sejarah untuk mengkritisi setiap peristiwa sejarah yang telah terjadi.

  c. Merupakan wujud nyata dari tanggung jawab penulis sebagai mahasiswa pendidikan sejarah serta menjaga integritas sebagai sejarawan pendidikan.

E. Tinjauan Pustaka

  Dalam menyusun penelitian ini, penulis menggunakan buku-buku sebagai sumber referensi, agar kajian yang dihasilkan lebih luas paparannya dan bersifat objektif. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan di bawah ini.

  Menurut Neonbasu dalam bukunya yang berjudul Peta Politik dan

  Dinamika Pembangunan Timor Timur (1997: 37) menjelaskan tentang proses

  dekolonisasi pasca Revolusi Bunga tahun 1974 yang dilakukan oleh Pemerintah Portugis di seluruh wilayah jajahannya. Dalam bukunya ia membicarakan perjalanan Timor Timur dari dekolonisasi sampai bergabung dengan Republik Indonesia tahun1976.Kebijakan dekolonisasi yang dilakukan oleh Portugis memberikan kesempatan bagi rakyat Timor Timur untuk membentuk partai politik. Adapun partai-partai yang ada di Timor Timur diantaranya yaitu, UDT

  (Uniao Democratica Timorense), APODETI (Associacao Popular Democratica

  Timorense ), FRETILIN (Frente Revolucionario de Timor Leste Independete),

  KOTA (Klibur Oan Timor Aswa‟in), dan Trabalhista.

  Menurut penulis, buku tersebut sangat membantu untuk mengetahui latar belakang terjadinya Revolusi Bunga di Portugal yang mempengaruhi semua daerah jajahannya, termasuk juga Timor Timur. Buku karya Neonbasu tersebut juga menyinggung tentang tanggapan dan sikap politis bangsa-bangsa mengenai integarsi Timor Timur, sehingga dapat memberikan informasi yang lebih kepada penulis. Lebih dari itu, buku tersebut juga memaparkan tentang pelaksanaan HAM di Timor Timur, Insiden Dili 12 November 1991 dan masalah lainnya, namun sayangnya peristiwa-peristiwa tersebut hanya diulas sedikit dan kurang spesifik.

  Sementara itu, paparan Taylor dalam bukunya yang berjudul Perang

  Tersembunyi: Sejarah Timor Timur yang Dilupakan (1998:105) menjelaskan

  tentang strategi yang dilakukan Indonesia untuk mengantisipasi pihak Fretilin yang selalu menimbulkan kekacauan di Timor Timur. Dalam buku ini juga dijelaskan tentang berbagai peristiwa yang terjadi di Timor Timur menjelang bergabungnya Timor Timur ke dalam Republik Indonesia. Lebih jauh lagi, juga dijelaskan tentang berbagai strategi internasional dalam masalah Timor Timur dengan mendukung invasi Indonesia di Timor Timur.

  Lebih jauh, mengenai tulisan Taylor banyak memberikan penjelasan tentang strategi yang dilakukan Indonesia dalam menumpas kejahatan Fretilin di daerah-daerah perbatasan. Buku ini banyak memberikan penjelasan tentang peristiwa-peristiwa yang mewarnai penggabungan Timor Timur ke dalam Indonesia. Selain itu, karya Taylor ini juga menjelaskan tentang adanya genjatan senjata yang dilakukan Indonesia dengan Fretilin, serta campur tangan Australia dalam masalah Timor Timur. Bagi penulis buku ini sangat membantu, karena dapat memberikan informasi mengenai berbagai taktik dan cara yang ditempuh Indonesia untuk mewujudkan keamanan di Timor Timur pasca integrasi.

  Sementara itu, Dunn dalam bukunya yang berjudul East Timor: A Rough

  Passage to Independence, Longueville (2003:7) menyatakan, bahwa iklim perang dingin telah mendesak Indonesia untuk ikut campur dalam masalah Timor Timur.

  Pemerintah Indonesia yang pada waktu itu dipimpin Soeharto, memiliki reputasi anti komunisme, hal itu ditandai oleh kesuksesannya dalam menumpas PKI, oleh karena itu bagi negara-negara barat seperti Amerika dan Australia mendukung upaya Indonesia untuk mengintegrasikan Timor Timur ke dalam wilayahnya.

  Sementara itu mengenai partai politik di Timor Timur, Dunn lebih memfokuskan bahasannya terhadap konflik internal antar partai politik di Timor Timur. Konflik tersebut merupakan awal yang memicu keterlibatan Indonesia dan negara barat. Menurut Dunn, banyak dokumen yang menunjukan bahwa Amerika Serikat juga mengetahui tentang rencana Indonesia untuk menguasai Timor Timur dengan cara militer namun tidak mau melibatkan diri sacara langsung, bahkan Australia pun mendukung dan menolak untuk memberikan pengakuan kepada bangsa baru itu serta menganggap tindakan fretilin sebagai provokator yang tidak bertanggung jawab (Dunn, 2003:152).

  Tulisan Dunn, banyak memberikan informasi penting mengenai proses jalannya integrasi dan disintegrasi dengan Indonesia. Dunn juga membuktikan bahwa tidak hanya Indonesia saja yang terlibat dalam masalah itu, namun negara barat seperti Amerika dan Australia turut ikut campur didalamnya. Walaupun demikian, Dunn terlalu fokus pada keterlibatan Indonesia dan konflik internal yang terjadi di Timor Timur, sehingga peranan Australia dalam proses kemerdekaan Timor Timur tidak begitu jelas dipaparkan.

  Menurut Leifer dalam bukunya yang berjudul Politik Luar

  NegeriIndonesia (1986:221) mengatakan, bahwa kepentingan Indonesia di Timor

  Timur bukanlah ungkapan keserakahan wilayah belaka. Kepentingan itu memperlihatkan kekuatiran yang mendalam terhadap kemungkinan ancaman terhadap keamanan republik yang mungkin timbul dari perubahan politik yang tak menentu di koloni yang berdampingn. Terdapat kemungkinan bahwa pemerintahan Soeharto menentang munculnya suatu negara merdeka untuk menggantikan kekuasaan Portugis. Paparan Leifer merupakan kajian yang penting untuk mengetahui politik luar negeri Indonesia terkait masalah Timor Timur.

  Sementara itu, Leifer lebih memfokuskan tentang kepentingan Indonesia di Timor Timur sebagai salah satu bentuk politik luar negerinya, yang tidak menginginkan adanya sebuah negara baru berhaluan komunis, selain itu sebagai upaya untuk tetap menjaga stabilitas keamanan Republik Indonesia dari ancaman kekacauan yang terjadi di Timor Timur.

  Secara jelas, Soekanto dalam bukunya yang berjudul Integrasi:

  Kebulatan Tekad Rakyat Timor Timur (1997: 305) yang mendeskripsikan dengan

  jelas dari awal proses dekolonisasi hingga pembentukan Pemerintah Sementara Timor Timur dan bergabung menjadi propinsi ke-27 Republik Indonesia. Dalam buku ini juga dijelaskan peran PBB dalam masalah Timor Timur, sebagiamana diketahui bahwa PBB belum dapat mengakui integrasi Timor Timur ke dalam Indonesia. Disamping itu juga diulas mengenai dukungan dan penolakan integarsi Timor Timur ke wilayah Indonesia dari dunia internasional.

  Menurut penulis paparan Soekanto cukup mewakili peran PBB dalam masalah Timor Timur, dan dari buku ini juga penulis dapat mengetahui berbagai reaksi internasional dari penggabungan Timor Timur dalam setiap sidang yang dilakukan oleh PBB. Buku ini memberikan informasi yang lebih banyak mengenai perjalanan integrasi Timor Timur ke Indonesia.

  Pendapat lain dari Chauvel dalam bukunya yang berjudul Budaya dan

  Politik Australia (1992:15) menjelaskan, bahwa kehidupan politik di Australia

  yang bersifat kompetitif, konfrontatif, dan penuh pertentangan, pragmatis dalam perumusan ide-ide dan kebijaksanaan politiknya. Menurut Chauvel kehidupan politik Australia sangat didominasi oleh persaingan antara dua partai utama yakni Partai Buruh dan Partai Liberal. Tulisannya juga menggambarkan peran dari media massa dalam perpolitikan di Australia yang begitu sangat mempengaruhi terhadap penentuan kebijakan politik Auastalia.

  Lebih jauh lagi Chauvel dalam buku yang berbeda Indonesia-Australia:

  Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral (2005: 1)

  menjelaskan, bahwa hubungan Indonesia- Australia berada pada episode “jungkir balik” dalam menangani kasus Timor Timur tahun 1999, hubungan bilateral kedua negara tersebut dikatakan nyaris putus karena beratnya masalah Timor Timur. Dalam bukunya dijelaskan pula tentang perubahan kebijakan politik luar negeri Australia di bawah Perdana Menteri john howard kepada Indonesia mengenai kasus Timor Timur yang mengakibatkan hubungan keduanya berada pada titik terendah.

  Dalam tulisan Chauvel sangat membantu dalam penulisan skripsi ini terutama dalam memahami hal-hal yang mempengaruhi kehidupan perpolitikan Australia. Penulis melihat hal itu sebagai suatu kelebihan dari buku tersebut karena dapat menjadi bahan perbandingan dalam kehidupan politik yang terjadi di Indonesia. Namun sebagai kekurangannya buku Chauvel tidak mengulas permasalahan Timor Timur secara jelas, karena bukunya lebih tervokus pada keadaan sosial-politik serta budaya yang ada di Australia.

  Berbeda dengan buku sebelumnya, tulisan Chauvel yang menjelaskan tentang hubungan Indonesia-Australia sebagai tantangan dan kesempatan dalam hubungan politik bilateral lebih lengkap, karena di dalamnya berisi keadaan hubungan bilateral kedua negara tersebut yang berada pada episode jungkir balik dan bahkan sempat nyaris putus karena krisis Timor Timur. Di dalam buku ini berisi sub bab yang menjelaskan hubungan Indonesia-Australia mengenai masalah-masalah yang terjadi di Indonesia, tidak hanya dalam kasus Timor Timur saja, tapi kasus-kasus lain yang mempengaruhi hubungan bilateral Indonesia- Australia, seperti terorisme, masalah Papua, kebebasan Pers juga disinggung.

  Sementara itu, menurut Jawahir Thantowi dalam bukunya yang berjudul

  Hukum Internasional di Indonesia (2002: 157) menjelaskan, bahwa hubungan

  diplomatik Indonesia-Australia mengalami pasang surut dan hubungan bilateral kedua negara tersebut yang secara signifikan menimbulkan keretakan Indonesia dengan Australia, khususnya dalam kaitannya dengan Timor Timur, karena kelemahan Indonesia dalam bidang diplomasi.

  Penjelasan dari Jawahir Thantowi menurut penulis juga dapat membantu dalam menyusun skripsi ini, karena di dalamnya menjelaskan tentang hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia dan menyinggung tentang faktor penyebab dari keretakan hubungan kedua negara tersebut diantaranya yaitu krisis Timor Timur. Tulisan Jawahir lebih memfokuskan tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh kedua negara tersebut, sehingga tidak menyeluruh membahas Timor Timur.

  Kemudian dijelaskan dalam surat kabar, salah satunya Anwar (Kompas, 1997:3) memaparkan keterlibatan dari Australia yang mendukung integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Selama hampir perempat abad Australia menjadi salah satu negara yang mendukung Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia dan ini dibuktikan dengan adanya kebijaksanaan non intervensi dari PM Australia George Whitlam atas masalah Timor Timur tersebut. Berdasarkan paparan dalam artikel tadi, dapat diketahui bahwa masalah Timor Timur telah mengundang berbagai pihak untuk turut serta dalam masalahnya baik secara langsung maupun tidak langsung tergantung kepentingannya masing-masing.

  Anwar (Kompas, 24 April 1997) menjelaskan bahwa ada hal positif dan negatif dalam hubungan antara kedua negara itu. Sehubungan dengan masalah Timor Timur, hubungan antara Australia dan Indonesia dipandang Anwar dari segi negatif karena menurutnya semenjak bekas jajahan Portugis itu diintegrasikan ke dalam Republik Indonesia, maka pendapat umum di Australia menentang Indonesia dengan kuat dan sebaliknya bagi Indonesia hal tersebut menjadi tekanan serta masalah yang serius bagi hubungan baik yang pernah terjalin antara Australia dengan Indonesia.

  Dari masing-masing tulisan diatas memiliki fokus kajian yang berbeda- beda. Bagi penulis buku-buku diatas sangat membantu dalam melakukan penelitian ini. Meskipun dalam pembahasannya masing-masing buku memiliki kelebihan dan kekurangan, namun hal tersebut saling mengisi satu sama lain sehingga kekurangan-kekurangan yang ada dapat diatasi dengan buku yang lainnya.

  Selain menggunakan sumber buku dan artikel sebagai bahan penulisan skripsi, penulis juga menggunakan beberapa penelitian yang relevan atau penelitian sejenis yang sesuai dengan pembahasan, diantaranya yaitu.

  Seperti dijelaskan dalam penelitiannya Alit Hindun (2009: V) yang berjudul Peranan Pemerintah Soeharto dalam Integtrasi Timor Timur ke dalam

  wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia 1976 . Dalam penelitiannya

  dijelaskan bahwa integrasi Timor Timur ke Indonesia karena adanya proses dekolonisasi yang dilakukan oleh pemerintah Portugal pada saat itu, dan memberikan tiga pilihan kepada Timor Timur, diantaranya yaitu bergabung dengan tetap menjadi daerah jajahan Portugis, menentukan nasib sendiri, atau beragabung dengan Indonesia. Hingga akhirnya Timor Timur bergabung dengan Indonesia setelah melalui proses yang cukup panjang dan menyisakan konflik dari dalam partai di Timor Timur baik yang pro dan kontra terhadap penggabungan tersebut.

  Penelitian yang lainnya dilakukan oleh Etin Matsuroh(2010: V)yang berjudul Keterlibatan Australia dalam Disintegrasi Timor Timur dengan

  Republik Indonesia 1999 . Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa keterlibatan

  Australia dalam pelepasan Timor Timur dari Indonesia merupakan faktor ekonomi yang hendak dicapai oleh Australia, yaitu Australia menginginkan celah Timor sebagai salah satu sumber gas alam yang ada di Indonesia. Hal tersebut memicu ketegangan hubungan bertetangga dengan Indonesia.

  Lebih jauh lagi penelitian yang dilakukan oleh Hastutining Dyah Wijiyatmi (2011: VI) yang berjudul Hubungan Bilateral RI- Timor Timur Pasca

  Kemerdekaan Timor Timur. Skripsi ini menjelaskan tentang hubungan kerjasama Indonesia dengan Timor Leste sesudah melepaskan diri Indonesia.

  Dari masing-masing penelitian skripsi diatas memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dapat disimpulkan jika skripsi yang berjudul Peranan Pemerintah

  Soeharto dalam Integtrasi Timor Timur ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia 1976 , hanya menjelaskan bagaimana keadaan Timor Timur

  ketika dibawah pengaruh kekuasaan Portugis hingga tercapainya integrasi dengan Indonesia. Dalam skripsi ini tidak menjelaskan bagaimana politik luar negeri Indonesia dengan negara-negara tetangga pada tahun-tahun sesudah 1976. Skripsi ini juga tidak menyinggung keterlibatan Australia dalam masalah integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Selain itu juga tidak secara rinci menjelaskan perjuangan rakyat Timor Timur yang menginginkan bergabung dengan Indonesia.

  Skripsi ini hanya menjelaskan bagaimana Timor Timur sebelum dan sesudah berintegrasi dengan Indonesia yang penjelasannya hanya dibatasi pada tahun 1976 saja, sehingga perkembangan selanjutnya tidak disinggung.

  Sementara itu, skripsi yang berjudul Keterlibatan Australia dalam

  Disintegrasi Timor Timur dengan Republik Indonesia 1999 , lebih menekankan

  keterlibatan Australia pada faktor ekonomi yang ada di Timor Timur dan tidak menyinggung bagaimana hubungan Indonesia dengan Australia setelah Timor Timur melepaskan diri dari Indonesia, sehingga penelitiannya kurang lengkap.

  Skripsi ini berjudul Hubungan Bilateral RI-Timor Timur pasca

  kemerdekaan Timor Timur, fokus kajiannya hanya menyangkut hubungan

  kerjasama Indonesia dengan Timor Timur setelah merdeka, seperti penanganan pengungsi, hubungan ekonomi, sehingga dalam penelitiannya tidak menyinggung hubungan Indonesia dengan Australia pasca integarasi Timor Timur.

  Dari hasil penelitian skripsi-skripsi di atas memiliki perbedaan sendiri- sendiri. Hal itu digunakan oleh penulis untuk membandingkan antara skripsi yang satu dengan yang lainnya. Dalam penelitian skripsi yang akan penulis sajikan jelas berbeda dengan penelitian sebelumnya dan tidak dikaji permasalahan yang sama.

  Penulis dalam skripsi ini memaparkan tiga masalah, diantaranya yaitu mengenai proses integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia, Reaksi dunia internasional terhadap integrasi dan dinamika hubungan Indonesia-Australia pasca integrasi. Permasalahan-permasalahan tersebut tidak diulas dalam penelitian sebelumnya, sehingga penulis meyakini jika penelitian skripsi ini benar-benar murni.

F. Landasan Teori dan Pendekatan 1. Landasan Teori

  Kata “teori” berasal dari bahasa Yunani theoria, yang berarti diantaranya kaidah yang mendasari suatu gejala yang sudah melalui verivikasi (Kuntowijoyo, 2013:89).

  Menurut pengertian lain teori ialah aturan menjelaskan proporsi atau seperangkat proposisi yang berkaitan dengan beberapa fenomena alamiah dan terdiri atas representasi simbolik dari:

  (1) hubungan-hubungan yang dapat diamati diantara kejadian-kejadian yang diukur, (2) mekanisme atau struktur yang diduga mendasari hubungan-hubungan demikian, (3) hubungan-hubungan yang disimpulkan serta mekanisme dasar yang dimaksudkan untuk data yang diamati tanpa adanya manifestasi hubungan empiris apapun secara langsung. Fungsi teori ada empat, yaitu (1) mensistematiskan penemuan-penemuan penelitian, (2) menjai pendorong untuk menyusun hipotesis dan dengan hipotesis membimbing peneliti mencari jawaban-jawaban, (3) membuat ramalan atas dasar penemuan, (4) menyajikan penjelasan, dan dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan “mengapa” (Marx dan Goodson dalam Lexy J. Moleong, 2007: 118).

  Dalam mengkaji skripsi ini yang berjudul Dinamika Hubungan Indonesia-Australia Pasca Integrasi Timor Timur ke Wilayah Indonesia Tahun 1974-2002, maka penulis akan menguraikannya terlebih dahulu.

  Kata Dinamika berasal dari kata dynamics (Yunani) yang bermakna “kekuatan” (force). “Dynamics is facts or concept wich refer to conditions of

  change, expecially to forces”. Menurut Slamet Santoso (2004: 5), Dinamika

  berararti tingkah laku warga yang satu secara langsung mempengaruhi warga yang lain secara timbal balik. Dinamika berarti adanya interaksi dan interdependensi antara anggota kelompok yang satu dengan kelompok yang lain secara keseluruhan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dinamika ialah kedinamisan atau keteraturan yang jelas dalam hubungan.

  Dinamika hubungan internasional merupakan suatu hubungan internasional yang terjadi antar negara yang selalu mengalami perubahan, baik itu perubahan positif maupun negatif. Hubungan internasional adalah hubungan antar bangsa dalam segala aspeknya yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasional suatu negara.

  Dinamika hubungan internasional pada satu dasawarsa terakhir ini menunjukan berbagai kecenderungan baru yang secara substansial sangat berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Berbagai kecenderungan baru yang tengah melanda dunia ini tentunya membawa pula konsekwensi-konsekwensi baru bagi tata interaksi global, sehingga tidaklah berlebihan apabila Stanley Hoffman menyatakan bahwa “Our world become more and more complax” (Hoffman, 1998: 25).

  Dari berbagai kecenderungan diatas, paling tidak ada dua aspek yang mempengaruhi terjadinya dinamika hubungan internasional yakni perubahan aktor hubungan internasional dan konsep

  “power” (kekuasaan). Menurut Stanley

  Hoffman perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan internasional meliputi lima bagian utama, yaitu: aktor (pelaku hubungan internasional); tujuan para aktor’ power’ hirarki interaksi dan sistem internasional itu sendiri. Perubahan pada aktor diindikasikan dengan perubahan (bertambah atau berkurangnya) jumlah dan sifat aktor dalam hubungan internasional (Hoffman, 1998: 27).

  Tujuan aktor negara dan kekuasaan merupakan dua hal yang tak dapat dipisahkan, dengan kata lain tujuan setiap aktor (negara) adalah power. Dalam studi hubungan internasional, kekuasaan adalah salah satu konsep yang paling sering digunakan. Kekuasaan menurut Arnold Schwarzenberger salah satu faktor utama dalam hubungan internasional. Ia menyatakan bahwa kelompok-kelompok masyarakat (negara) dalam suatu sistem internasional akan melakukan apa yang mereka kuasai secara fisik lebih daripada apa yang seharusnya mereka lakukan secara moral. Kekuasaanjuga diartikan sebagai fungsi dari jumlah penduduk, teritorial, kapabilitas ekonomi, kekuatan militer, stabilitas politik dan kepiawian diplomasi internasional (Lebow, 1994: 249).

  Sejalan dengan berbagai perubahan mendasar yang kini sedang melanda dunia, sumber-sumber kekuasaan dalam hubungan internasional kini telah berpindah pula dari penekanan pada kekuatan militter menuju spektrum lainnya. Faktor-faktor seperti penguasaan teknologi, pendidikan, budaya dan pertumbuhan ekonomi menjadi semakin penting ketimbang geografi, jumlah penduduk dan sumber daya alam dalam mengukur national power.

  Dari ilustrasi diatas, kita dapat menarik pemahaman bahwasannya konsep power memiliki beberapa karakteristik. Pertama, power bersifat dinamis. Dalam hal ini, power yang dimiliki suatu aktor negara dapat berubah (meningkat atau menurun) sesuai dengan perkembangan nasional aktor negara tersebut. Kedua, power juga bersifat relatif. Dalam arti bisa diperbandingkan dengan power yang dimiliki aktor negara lainnnya. Terakhir, kekuasaan bersifat situasional dan multidimensional (Hoffman, 1998: 32).

  Dari berbagai uraian diatas mengenai perubahan aktor baik dari sisi kuantitas dan kualitas serta perubahan karakter kekuasaan lah telah menunjukan dinamika hubungan internasional yang begitu pesat dan tinggi. Dinamika ini tentunya akan membawa konsekwensi yang juga sangat besar terhadap pola interaksi antar aktor hubungan internasional.

  Untuk tetap menjalin hubungan baik antar negara yaitu dengan cara diplomasi. Menurut Dr. Louise Diamond dan Ambassador John McDonald dalambukunyaMulty Track Diplomation (1996: 21) menyebutkan pentingnya diplomasi:

  “…..diplomacy is associated in our minds with an interactive process, aback-and-forth between various parties, it about relationship, communication, connectedness. These are the key elements not only of peacemaking endeavors but also of social systems. If the term jiggles the mind to associate the system with this efforts and qualities it will be relevant.

  Aktor-aktor pemerintah yang efektif dalam sebuah sistem akan mempengaruhi suksesnya diplomasi. Diplomasi dianggap sukses apabila kedua belah pihak berhasil mengatasi kepentingan-kepentingan yang berbeda, atau apabila kedua belah pihak berhasil berkompromi dalam mengatasi perbedaan kepentingan(Sukawarsini, 2008: 15).

  Selain pemerintah, salah satu diplomasi multi-track yang patut diperhitungkan ialah peran media massa dalam menciptakan opini publik. Media merupakan salah satu faktor penting, baik bagi keberhasilan maupun kegagalan diplomasi antara dua negara. Hal ini karena mobilisasi opini publik melalui pencitraan media (multilateral dan unilateral) yang konsisten akan mempengaruhi dinamika diplomasi yang diimplementasikan dalam foreign policysuatu negara (Sukawarsini, 2008: 16).

  Sementara itu, kata integrasi dapat diartikan sebagai proses mempersatukan masyarakat, yang cenderung membuat masyarakat menjadi lebih baik atau harmonis. Sedangkan integrasi nasional merupakan proses penyatuan unsur-unsur nasional agar tercapai suatu kesatuan nasional yang serasi dan harmonis bagi suatu negara. Ide pokok integrasi nasional adalah memaksimalkan persamaan dan meminimalkan perbedaan dalam pendayagunaan potensi, pemenuhan aspirasi, dan penanggulangan setiap masalah kebangsaan (Saafroedin Bahar, 1996: 13).

  Integrasi nasional pada hakikatnya adalah bersatunya suatu bangsa yang menempati wilayah tertentu dalam sebuah negara yang berdaulat. Dalam realitas integrasi nasional dapat dilihat dari aspek politik, lazim disebut integrasi politik, aspek ekonomi (integrasi ekonomi), aspek sosial budaya (integrasi sosial budaya, hubungan antar suku, lapisan dan golongan) (Drake, 1989: 16).

  Integrasi suatu bangsa dapat terjadi karena beberapa hal, diataranya yaitu: adanya ikatan budaya, suku, bahasa, geografis yang sama pada suatu wilayah; adanya keingian untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan atau dekolonisasi; adanya konflik yang berkepanjangan dalam suatu wilayah (Koentjaraningrat, 1971: 16).

  Untuk menjelaskan sripsi ini, penulis menggunakan teori Neoliberalisme sebagai pendekatan untuk menganalisa hubungan internasional antara Indonesia dengan Australia.

  Teori Neoliberalisme merupakan suatu teori dari studi Hubungan Internasional. Kata neo yang berarti baru, merupakan perspektif yang baru, dalam artian teori neoliberalisme memperbaharui teori sebelumnya yaitu liberalisme.

  Dalam teori neoliberalisme ada beberapa asumsi dasar yang melandasi neoliberalisme, yakni pertama, neoliberalisme meyakini bahwa negara merupakan aktor yang paling penting dalam hubungan internasional, negara merupakan aktor rasional dan instrumental yang selalu memaksimalkan kepentingannya dalam setiap issue-area. Kedua, dalam lingkungan yang kompetitif, negara akan memaksimalkan kepentingannya melalui kerjasama, dan kerjasama merupakan fokus utama dari pendekatan neoliberalis. Ketiga, hambatan yang paling besar untuk menuju ke kerjasama yang sukses adalah ketidakpatuhan dan kecurangan oleh negara. Keempat, kerjasama tidak akan terjadi apabila tidak ada masalah, tetapi negara akan mengalihkan loyalitas dan sumber dayanya kepada institusi jika memberikan keuntungan mutualisme, dan jika institusi tersebut menyediakan kesempatan yang lebih untuk mempertahankan kepentingan internasionalnya.

  Neoliberalis percaya bahwa dengan kerjasama membuat segalanya lebih efisien, dan institusi merupakan wadah untuk menjalin kerjasama tersebut (Jackson, 2005: 155).

  Neoliberalisme muncul sebagai respon terhadap penjelasan tentang sistem internasional yang anarki menurut neorealisme. Dalam pandangan Neorealisme, sifat dasar dari sistem internasional adalah anarki (Perwita & Yani 2006: 25). Anarki berasal dari bahasa yunani anarkhos yang berarti tidak ada aturan. Lebih jauh anarki didefinisikan sebagai tidak adanya suatu entitas yang dapat mengontrol sistem dunia secara keseluruhan. Menurut Waltz (1959: 15) sistem internasional dijalankan oleh negara-negara berdaulat yang salingmemperjuangkan kepentingan nasional, terutama aspek keamanan. Karena masing-masing negara berusaha untuk mencapai tujuannya tersebut, maka perilaku negara cenderung konfliktual. Oleh karena itu, Waltz mengatakan bahwa international anarchy is the permissive cause of war .

  Menurut Mingst (2003, 64-65) penyebab kerja sama salah satunya adalah karena setiap negara saling membutuhkan satu sama lain. Dengan demikian mereka akan saling berhubungan antara yang satu dengan yang lainnya secara terus menerus. Sedangkan menurut Keohane, kerjasama terjadi karena adanya

  mutual interest di antara masing-masing aktor. Lebih lanjut Banyu Perwita dan

  Yanyan Moch. Yani (2006: 34) menjelaskan bahwa, kerjasama terbentuk karena kehidupan internasional meliputi berbagai bidang kehidupan, seperti bidang politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan. Hal tersebut akan memunculkan kepentingan yang beranekaragam sehingga mengakibatkan berbagai masalah sosial. Untuk mencari solusi dari berbagai masalah tersebut maka beberapa negara membentuk suatu kerjasama internasional.

  Menurut Burchil dan Andrew Linklater (2009: 65) dalam suasana hubungan yang kompetitif, negara akan berusaha untuk memaksimalkan absolute

  gain. Dengan tujuan ini, negara-negara tentunya akan berusaha untuk bekerjasama

  semaksimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal tanpa mengorbankan pihak yang lainnya. Ketika hubungan kerjasama telah terjalin dengan sangat erat, maka akan tercipta interdependensi yang membuat mereka bisa mengkalkulasi sebesar apa kerugian yang akan didapat jika mereka tidak bekerja sama.

  Dalam suatu kerjasama tentu sering terjadi friksi, miskomunikasi, atau hambatan-hambatan lainnya yang berpotensi menimbulkan konflik. Jika konflik tersebut membahayakan kepentingan negara, maka sifat agresifitas negara tentunya akan muncul, terutama bagi negara yang memiliki kapabilitas militer yang kuat. Karena kepentingan nasional merupakan ukuran yang paling sering digunakan oleh para pengambil keputusan dalam menafsirkan situasi internasional dan merumuskan kebijakan-kebijakan yang penting. Oleh karena, masalah keamanan adalah masalah yang serius dan penting. Hal ini diakui oleh Neo- liberalisme, maka perlu dibentuk sebuah institusi. Dengan demikian institusi akan membuat keamanan menjadi dapat dijaga, terutama bagi negara yang lemah dalam kapabilitas militer (Mingst 2003: 65).

  Teori Neo-Liberalisme adalah teori yang berusaha untuk menghilangkan potensi-potensi konflik melalui institution sebagai instrumen utamanya. Dengan demikian, teori ini menekankan pada pentingnya kehadiran sebuah institusi dalam kerjasama. Institusi, menurut James A. Robinson (2008: 166) adalah aturan dan norma-norma yang menentukan insentif dan kendala yang dihadapi individu dalam masyarakat.

  Teori Neoliberalisme membantu menjelaskan bagaimana peranan dari sebuah institusi sebagai wadah untuk menjalin kerjasama. Tindakan Negara sangat bergantung pada pengaturan institusi yang berlaku. Institusi dalam teori ini memegang peranan yang begitu penting, karena institusi dapat membentuk perilaku aktor agar merespon insentif kerjasama, mengatasi masalah kecurangan dalam bekerjasama, serta masalah miskomunikasi antar aktor. Selain itu pula institusi juga dapat berperan sebagai wadah kerjasama, dimana biaya kerjasama akan lebih murah dari yang seharusnya. Kemampuan Negara untuk bekerjasama pun tergantung pada pihak yang membuat institusi. Menurut Nye (1971: 24) Peran institusi disini adalah juga untuk melembagakan hubungan yang damai dan teratur berdasarkan dialog, kerjasama, dan saling menghormati

  Jadi, institusi selain berperan dalam menjaga keamanan suatu negara dalam bekerja sama, institusi juga dijadikan sebagai upaya untuk memaksimalkan keuntungan bersama dan menghindari terjadinya kecurangan-kecurangan. Institusi dibagi menjadi tiga bentuk yaitu, yaitu organisasi internasional, rezim internasional, dan perjanjian internasional.

  Nye(1971: 35) menjelaskan organisasi internasional adalah suatu struktur formal dan berkelanjutan yang dibentuk atas suatu kesepakatan antara anggota- anggota (pemerintah dan non-pemerintah) dari dua atau lebih negara berdaulat dengan tujuan untuk mengejar kepentingan bersama. Organisasi internasional merupakan refleksi dari institusi internasional yang mengacu pada bentuk formal terdiri dari aturan dan tujuan, dan merupakan suatu alat administrasi yang rasional. Dengan demikian, negara-negara akan terikat oleh ikatan organisasi internasional, sehingga segala tindakan negara akan menjadi terkontrol.

  Rezim internasional menurut Nye seperti yang dikutip oleh Banyu Perwita (Perwita & Yani 2006: 28) adalah serangkaian rencana yang di dalamnya terdapat aturan, norma, dan prosedur-prosedur yang mengatur tingkah laku tingkah laku dan mengontrol efek yang ditimbulkan oleh rezim itu sendiri. Dengan demikian, perbedaan antara rezim dan organisasi internasional adalah bahwa rezim internasional memiliki rewards and punishments yang jelas. Jika anggotanya melanggar aturan tersebut, maka akan mendapat sanksi yag tegas, bukan hanya sanksi moral. Dengan adanya sanksi yang tegas itu, maka negara akan mengalami kerugian yang besar jika mereka tidak mengikuti aturan yang ada.

  Sementara perjanjian internasional adalah perjanjian yang dilakukan tanpa membentuk suatu lembaga administrasi formal. Perjanjian lebih kepada aturan yang menjadi dasar hubungan antar para penandatangan perjanjian tersebut. Lebih jauh, Neoliberalisme berusaha menjelaskan bagaimana cara agar aktor negara mau terlibat dalam kerjasama dan institusi, dan ketika mereka telah menjadi bagian dari institusi tersebut mereka tidak lagi keluar.