TABUH DUA SETENGAH SIKUT ANYAR - ISI Denpasar

TABUH DUA SETENGAH SIKUT ANYAR

  

I Ketut Pany Ryandhi, I Nyoman Kariasa dan I Gde Made Indra Sadguna

Institut Seni Indonesia Denpasar

Jalan Nusa Indah Denpasar, Telp (0361) 227316, Fax (0361) 236100

E-mai : rektor@isi-dps.ac.id

  

ABSTRAK

Lelambatan adalah salah satu bentuk komposisi musik Bali (Karawitan Bali) yang telah

  mengalami transformasi baik secara fisik maupun non-fisik. Disadari atau tidak, kreatifitas merupakan indikator penting dalam memaknai perkembangan serta perjalanan komposisi musik Bali. Laku kreatif para seniman telah merambah ke segala bentuk komposisi musik baru, baik itu menamainya dengan sebuah identitas ataupun merupakan konsep musikal belaka.

  Tabuh dua setengah “Sikut Anyar” merupakan sebuah tawaran baru dalam memaknai konsep lelambatan secara sadar. Komposisi “Sikut Anyar” memberikan paradigma baru dalam mengidentifikasi sebuah sistem yang terorganisir dalam partitur sebuah lelambatan dan diejawantahkan dalam sebuah label ataupun identitas. Label dan identitas dalam konteks komposisi sangatlah penting untuk mengenali, mengidentifikasi serta membahasakannya secara faktual. Kebiasaan yang telah mengkristal menjadi sebuah hukum (aturan) jika didiamkan begitu saja justru akan merancukan formula-formula yang sebenarnya cukup fleksibel. Komposisi

  

lelambatan di Bali sesungguhnya cukup fleksibel, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai

  bentuk lelambatan seperti tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, tabuh pat, tabuh lima dan sebagainya. Sekitar tahun 1930-an, Made Regog seorang komposer dari Belaluan mentransformasikan lelambatan ke dalam gamelan Gong Kebyar yang secara langsung berimplikasi pada pengembangan teknik permainan, dinamika, tempo dan lain sebagainya. Masihkah berbicara masalah konserfatif ? Konserfatif sangatlah perlu, namun ia akan menjadi “boomerang” jika dilandasi dengan rasa takut yang berlebihan tanpa diikuti oleh landasan yang kuat.

  Sikut Anyar adalah tawarannya, menurut penulis komposisi ini sungguhlah konservatif, karena memuat roh lelambatan secara holistik serta dikemas dalam wujud baru dan bentuk yang berbeda tanpa mengurangi esensi lelambatan secara musikalitas. Komposisi ini diungkapkan melalui gamelan Gong Kebyar dengan jumlah 36 orang musisi (pendukung).

  Kata kunci : tabuh, lelambatan, kreasi, Sikut Anyar.

  

Abstract

Lelambatan is one of Balinese instrumental composition forms wich has phsycally and

  non-phsycally been transformed. It is realized that creativity is an important indicator to define the development and journey of Balinese instrumental composition itself. The creativity of Balinese artists has gone far into various forms of composition, of wich they labeled them as either an identity or just a musical concept.

  Tabuh

  Dua Setengah “Sikut Anyar” is a new enticement in interpreting lelambatan in a conscious way. The composition of “Sikut Anyar” provides a new paradigm in identifying an organized system within lelambatan partitur which is embodied in a label and identity. Both label and identity within a context of composition is extremely essential to recognize, identify and specify factually. Cristalized custom shifts into law (rules), in which if it is ignored, it will turn into an ambiguous formula wich is originally very flexible. The composition of lelambatan in Bali such as tabuh pisa, tabuh dua, tabuh telu, tabuh pat, tabuh lima, etc. During 1930s, Made Regog, a composer who was originally from Belaluan, transformed lelambatan into gamelan Gong Kebyar which directly imply as well as affect the development of techinc, dynamics, tempo and etc. should we still talk about conservation? Conservation is indeed required, yet it could become a suicide if it is based on excessive fear, and not a firm foundation.

  Sikut Anyar is enticement. The writer believes tah this composition is sufficiently conservative due to the inclusion of the spirit of lelambatan holistically. It is also differently composed without putting aside the essence of lelambatan in perspective of musicality. This composition is expressed through gamelan Gong Kebyar played by 35 musicians.

  Keywords : Tabuh, lelambatan, Kreasi, Sikut Anyar.

  PENDAHULUAN

  Penciptaan komposisi karawitan Bali telah mengalami perkembangan yang bervariasi ditinjau dari berbagai aspeknya. Komposisi karawitan Bali sebagai salah satu wujud kebudayaan non-fisik membawa berbagai esensi yang terkandung di dalamnya. Aspek-aspek yang terkandung di dalamnya mencerminkan sebuah kematangan konsep serta nilai artistik yang sifatnya intepretatif (tafsir). Dalam karawitan Bali pengklasifikasian komposisi didasarkan atas identifikasi terhadap unsur-unsur musikal dan tidak jarang mengalami pembicaraan yang cukup intens dikalangan praktisi maupun dibeberapa kalangan akademisi. Salah satu bentuk komposisi yang mengalami perkembangan cukup dinamis adalah penciptaan tabuh lelambatan kreasi dengan menggunakan gamelan Gong Kebyar sebagai media ungkapnya.

  I Gede Yudarta (dalam Bheri Vol.8, 2009:42) mengatakan bahwa, tabuh dalam konteks karawitan Bali memiliki pengertian yang sangat luas, ada kalanya tabuh juga dipergunakan untuk menunjukan bentuk-bentuk komposisi lainnya di luar dari gending-

  

gending lelambatan tradisional misalnya tabuh kreasi baru yaitu salah satu bentuk

  komposisi karawitan di luar kaidah-kaidah tetabuhan klasik. Di samping itu kata tabuh juga dipergunakan untuk menyebutkan bentuk-bentuk komposisi dari berbagai jenis

  

barungan gamelan seperti tabuh Semar Pagulingan, tabuh Gong Gede, tabuh kakebyaran

  dan sebagainya. Tabuh bila dilihat sebagai suatu estetika teknik penampilan adalah hasil kemampuan seniman mencapai keseimbangan permainan dalam mewujudkan sebuah reportoir hingga sesuai dengan jiwa, rasa dan tujuan komposisi. Selanjutnya pengertian tabuh sebagai bentuk komposisi didefinisikan sebagai kerangka dasar gending-gending tradisional. Misalnya tabuh pisan, tabuh telu, tabuh pat dan sebagainya

  lelambatan

  (Rembang, 1984/1985:8-9). Di sisi lain Bandem (2013:147) menjelaskan bahwa, selain menyatakan tabuh berarti alat pemukul dan permainan instrumen, umumnya di Bali istilah itu juga dikaitkan dengan kerangka lagu yang di dalamnya terdapat pengertian panjang dan pendeknya sebuah komposisi. Berdasarkan dua definisi di atas, penulis menemukan sebuah benang merah bahwa definisi tabuh dalam konteks penciptaan komposisi karawitan Bali memiliki beberapa pengertian, namun dalam hal penciptaan komposisi lelambatan kata tabuh merupakan hal yang fundamental guna menentukan identitas sebuah komposisi.

  Dalam konteks pembelajaran Bahasa Bali (Dwi Purwa), lelambatan berasal dari kata lambat yang didahului dengan awalan le- dan akhiran

  • –an, sehingga mengandung

  makna menyerupai lelambatan. Jadi, lelambatan adalah sebuah bentuk komposisi karawitan Bali yang bila dilihat dari sudut pandang etimologinya dimainkan dengan tempo dan irama yang pelan. Kata lambat sendiri sifatnya sangat relatif, tergantung dari setiap orang yang menafsirkannya.

  Pernah suatu ketika penulis melakukan diskusi kecil bersama I Wayan Sudirana tentang bedah partitur tabuh lelambatan. Penulis mengajukan sebuah pertanyaan

  “mengapa pada tabuh lelambatan selalu diawali dengan jatuhnya pukulan instrumen

  

kempur ?” Lebih lanjut Sudirana memberikan penjelasan bahwa aturan dari tabuh

lelambatan (menurut Rembang, dkk)

  • – ambil contoh tabuh pat adalah kempur – kempli –

  kempur

  • – kempli – kempur – kempli – kempur - gong. Yang menandakan tabuh pat adalah

  jumlah jatuhnya pukulan kempur sebanyak empat kali, kempli sebagai penengah. Jika dilihat dari prakteknya, pada setiap jatuhnya pukulan gong, kempli juga dimainkan secara bersamaan, dan kalau dianalisis lebih lanjut, diawal (sebelum jatuhnya pukulan kempur pertama) ada permainan melodi trompong (biasa diawali oleh motif pukulan kendang sebagai muncuk) dan ditegaskan dengan jatuhnya pukulan jegogan.

  Sebenarnya sebelum muncuk itu dimainkan (diawal melodi muncuk), diawali dengan jatuhnya pukulan instrumen gong (tapi silence atau tidak dibunyikan). Jadi kalau disimpulkan aturannya menjadi gong (dan kempli)- kempur

  • – kempli – kempur – kempli – kempur
  • – kempli – kempur - gong (dan kempli). Kempli dipakai sebagai penengah,

  sebagai penanda tabuh dan gong mengawali dan mengakhiri. Perlu digaris

  kempur

  bawahi perbedaan antara instrumen colotomic dan instrumen melodi, ini karena fungsi mereka berbeda. Jegogan tidak termasuk ke dalam instrumen colotomic. Setiap baris atau pada setiap pukulan kempli maupun kempur dan gong, pasti ada pukulan jegogan (sesuai nada gending). Pukulan jegogan dalam hal ini dipakai sebagai penegas melodi, bukan dengan fungsi colotomic seperti instrumen gong, kempur, dan kempli. Jadi, Sudirana lebih lanjut menegaskan bahwa secara tradisi lelambatan klasik ataupun pola tabuh lelambatan memang terintegrasi secara linier menuju kearah orientasi pukulan gong (final). Ini terlihat dari pola ornamentasi, tempo dan dinamikanya yang diorientasikan menuju pukulan gong yang terakhir.

  Tanpa bermaksud meragukan pendapat narasumber, beberapa penjelasan tersebut masih menimbulkan keraguan di benak penulis. Penulis berpandangan bahwa masih ada beberapa unsur esensial yang bisa dipakai sebagai pijakan guna menentukan identitas sebuah tabuh lelambatan. Adapun beberapa unsur-unsur yang dimaksud antara lain pola-pola pukulan gangsa seperti norot, oncang-oncangan, serta aksen-aksen khas terlepas dari struktur birama atau matra yang menurut penulis adalah sangat bersifat kontekstual (tergantung selera estetis yang sifatnya intepretatif). Sebagai analogi, dalam penjelasan Yudarta disebutkan bahwa kata lelambatan berasal dari kata lambat yang diasosiasikan dengan tempo lambat. Penulis beranggapan bahwa tidak semua komposisi dengan tempo yang lambat dapat diartikan sebagai lelambatan. Penulis berasumsi bahwa tabuh lelambatan adalah sebuah komposisi karawitan Bali yang mempunyai aturan, uger-

  

uger, idiom-idiom yang sifatnya sangat kontekstual atau berdasarkan kesepakatan dan

  tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan kesepakatan. Tabuh lelambatan tidak saja merupakan sebuah komposisi dengan susunan bagiannya yang terintegrasi menjadi satu-kesatuan bentuk yang utuh, namun di dalamnya juga terdapat sistem dan motif pukulan instrumen (seperti instrumen kendang, trompong, gangsa, dan lain-lain) yang khas dan bisa dijadikan sebagai indikasi bahwa komposisi tersebut adalah tabuh lelambatan.

  Mengacu pada pendapat Sudirana yang lebih menekankan pada bedah partitur, penulis mendapatkan bahwa komposisi tabuh lelambatan sarat akan pembagian jatuhnya instrumen pemangku lagu dan instrumen colotomic yang polanya sangat sirkulatif (mengedepankan “asas keadilan”). Tidak salah jika penulis berasumsi bahwa setiap bagian yang membentuk komposisi tabuh lelambatan memiliki relasi yang saling berhubungan baik itu dari bagian kawitan, pengrangrang, penyalit, periring, pengawak,

  

pengisep, penyalit, bebaturan, hingga pada bagian pekaad. Pembagian jatuhnya pukulan

  instrumen “low tone” ini menurut penulis menekankan pada konsep keseimbangan.

  Adanya semangat untuk menggunakan media ungkap yang berbeda dalam penampilan sebuah komposisi lelambatan sudah mengindikasikan adanya kreativitas. Sebagaimana dijelaskan oleh I Gede Yudarta (2007:35) bahwa transformasi lagu-lagu

  

lelambatan yang terdapat dalam gamelan Gong Gede ke gamelan Gong Kebyar

  diperkirakan terjadi pada tahun 1930-an. Dalam penelitiannya Yudarta menjelaskan bahwa ditransformasikannya tabuh lelambatan ke dalam barungan gamelan Gong Kebyar tentunya berdampak terhadap tata penyajiannya dimana secara teknis tabuh tersebut tidak lagi dimainkan secara keklenyongan, namun menyesuaikan dengan kondisi fisik gamelan

  

Gong Kebyar sehingga penyajiannya menjadi lebih dinamis sebagaimana karakteristik

  dari gamelan tersebut. Berdasarkan pemaparan tersebut, sudahkah kita menjaga identitas sepenuhnya? Sebagai upaya komparatif kita bisa membandingkan bagaimana

  lelambatan

  pola garap (khusunya ciri khas) lelambatan dalam gamelan Gong Gede yang seharusnya (jika berbicara konservasi) tidak dicederai ciri khasnya (teknik keklenyongan dan unsur lainnya). Sedangkan dalam format kebyar sudah menjadi realita bahwa pola garap

  

lelambatan ditata dengan banyak sentuhan baru terutama pada aspek ornamentasi melodi

  serta olahan kotekan instrumen gangsa (interlocking figuration). Inikah roh lelambatan? jawabanya ya, karena telah dikonvensionalkan dengan aplikasinya yang kontekstual.

  Esensinya adalah lelambatan tidak saja merupakan sebuah komposisi dengan berbagai identitas yang membentuknya (aspek fisik maupun non-fisik), melainkan

  

lelambatan merupakan sebuah komposisi yang identitasnya dapat dianalisis dari

  konsistensi uger-uger yang diaplikasikan dalam sistem yang membentuknya. Semangat memaknai uger-uger tidak saja hanya diaplikasikan dalam ukuran yang sama, namun ukuran yang berbeda dari sebuah komposisi lelambatan juga dapat diaplikasikan.

  Terlepas dari beberapa definisi tentang tabuh lelambatan, belakangan ini dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) acap kali muncul sebuah kriteria dengan istilah “Tabuh x Lelambatan Kreasi” sebagai salah satu materi yang dibawakan dalam ajang Festival Gong Kebyar (FGK) baik ditingkat dewasa, wanita bahkan anak-anak sekaligus. Hal yang menarik adalah pemberian label “kreasi” pada akhir kata tabuh lelambatan.

  Michael Tenzer seorang peneliti musik dan gamelan Bali dalam bukunya yang berjudul “Gamelan Gong Kebyar The Art of Twentieth-Century Balinese Music” (2000:4

  52) mengatakan bahwa “Kreasi lelambatan is lelambatan composition arranged

  

or composed in kebyar style, usually prefixed with gineman (lelambatan adalah

  komposisi lelambatan yang tersusun atau dibentuk dalam style kebyar dan biasanya diawali oleh gineman). Mengacu pada definisi kreasi lelambatan oleh Michael Tenzer, kata kreasi mengandung makna bahwa sebuah komposisi tabuh lelambatan digarap dengan menyertakan rasa kebaharuan atau kreasi dalam mengolah kerangka dasarnya (tanpa terlepas dari idiom lelambatan). Michael Tenzer juga mengemukakan bahwa kreasi lelambatan itu dibentuk dalam style kebyar. Style kebyar adalah salah satu genre gamelan Bali yang tipikal musiknya cukup dinamis, cepat, keras, dan terjadinya permainan dinamika yang mengejutkan serta tidak terduga-duga.

  Hal menarik juga disampaikan oleh I Ketut Gede Asnawa yang mengungkapkan bahwa kata kreasi dalam konteks lelambatan jangan diartikan sebagai kebebasan yang “keblabasan”, melainkan kreasi yang dikemas berdasarkan pengembangan musikal yang terpola di dalam kebakuan. Perlu diketahui ketika lelambatan kreasi ini dimunculkan sebagai materi Festival Gong Kebyar (FGK) se-Bali tahun 1968 adalah suatu usaha yang berpijak pada pelestarian dan pengembangan. Seperti nusukin sanan padi, keduanya kena dengan porsi yang sama saling mengisi. Pelestariannya adalah mempertahankan gending

  

lelambatan itu sendiri dengan segala kebakuan, kemudian dikembangkan dengan motif

pepayasan gending yang terukur sehingga tidak mematikan karakteristik aslinya

  (Wawancara dengan I Ketut Gede Asnawa melalui Media Sosial Facebook, 13 Desember 2016).

  Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, tabuh lelambatan kreasi adalah salah satu bentuk komposisi karawitan Bali yang dalam konteks penciptaanya memiliki aturan- aturan khusus yang biasanya bersifat kontekstual (selera intepretatif komposernya). Namun belakangan ini penciptaan komposisi tabuh lelambatan kreasi beberapa kali mengalami pembicaraan yang cukup intens baik itu di beberapa kalangan akademisi maupun di luar ranah akademis. Permasalahan yang timbul terletak pada pemberian label sebagai implikasi atas analisis bentuk, struktur, uger-uger, serta berbagai faktor esensial yang berkaitan erat dengan partitur tabuh lelambatan. Komposisi lelambatan kreasi sangat bervariasi bentuknya, misalnya tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, tabuh lima,

  tabuh nem, tabuh kutus.

  Dari uraian di atas, penulis menemukan bahwa tabuh lelambatan Kreasi merupakan sebuah komposisi yang memuat serta menekankan pada kreativitas, kebaharuan, rekonstruksi serta kematangan antara jalannya konsep-konsep sebagai eksekusi atas kristalisasi ide garap dengan menyertakan tawaran baru sebagai indikasi keberhasilan aplikasi teorinya.

  Bertolak dari beberapa pemaparan sebelumnya, penulis mencoba memberikan sebuah tawaran baru dalam konteks bentuk tabuh lelambatan. Tawaran ini mempunyai orientasi sekaligus sebagai upaya komparatif bahwa hal yang sering kali menjadi perdebatan beberapa kaum akademisi (pengrawit) dalam penciptaan komposisi tabuh

  

lelambatan adalah masih berkutat pada pemberian label yang didasari tanpa menganalisis

  secara detail bagaimana pola-pola yang membentuknya. Tidakkah kita pernah berpikir kenapa awal dari bagian pengawak pada tabuh lelambatan diawali dengan jatuhnya pukulan instrumen jegog dan diikuti dengan jatuhnya pukulan kempur? Haruskah jumlah pukulan instrumen penyacah dalam tabuh dua lelambatan berjumlah 128 peniti? Untuk itu penulis menawarkan sebuah bentuk baru tabuh lelambatan kreasi dengan label tabuh dua setengah serta masih mengaplikasikan teori karawitan Bali yakni Tri Angga sebagai pijakan dalam berkarya. Tabuh dua setengah merupakan sebuah tawaran baru dari aspek bentuk dan mematahkan persepsi bahwa dalam konteks penciptaan lelambatan itu adalah hal yang bersifat “kaku”. Paradigma lama yang memberikan semacam stigma yang kurang konsisten perlu “disterilkan” dari hal yang sifatnya stereotip.

  Berangkat dari fenomena proses penciptaan sebuah komposisi lelambatan kreasi tersebut di atas, secara eksplisit penulis ingin menjelaskan bahwa kata tabuh dua setengah dalam konteks komposisi ini menekankan paradigma baru pada susunan bagian- bagian gending yang secara partitur menghasilkan bagan simetris yang sarat akan konsepsi keseimbangan dualistis. Tabuh dua setengah memiliki proporsi yang seimbang baik dari paletan gending yang secara vertikal maupun susunan matra-matra yang tersusun secara horizontal. Paletan gending pada garis horizontal secara kuantitas berjumlah sepuluh baris yang mana setiap empat baris penulis asumsikan sebagai satu

  

paletan gending . Karena terdapat sepuluh baris dalam bagian pengawak, maka terdapat

  dua setengah paletan gending yang merefleksikan 10 baris yang membentuk sebuah sistem pengawak. Secara vertikal, matra-matra yang terdapat dalam setiap baris berjumlah 10 peniti penyacah yang penulis analogikan sebagai dua setengah matra. Hanya saja aksentuasinya akan diperjelas disetiap ketukan peniti ke-lima. Konsepsi inilah yang penulis sebut sebagai tabuh dua setengah. Dimensi dua setengah secara konsisten akan diaplikasikan disetiap bagian dari tabuh ini.

  Berangkat dari penjelasan di atas, maka penulis menemukan sebuah judul yang tepat untuk garapan ini, yaitu “Sikut Anyar”. Secara etimologi kata “Sikut Anyar” terdiri dari dua kata, “sikut” berarti ukuran, pepada, dan menyiku. Kata “sikut” dalam konteks garapan ini bermakna bahwa komposisi ini dihadirkan dengan memberikan tawaran baru dari segi konsep, wujud serta bentuknya yang terkesan sedikit “menyiku” dari kebiasaan yang telah dilakukan, s edangkan anyar berarti baru. Jadi kata “Sikut Anyar” merujuk pada sebuah bentuk dan ukuran yang baru dalam penciptaan komposisi ini. Ukuran yang dimaksud sudah barang tentu belum pernah dibuat sebelumnya.

  PEMBAHASAN

  Untuk menghindari sebuah dikotomi yang tidak penting, ada baiknya penulis memberikan pandangan tentang genre dari garapan penulis. Ide garapan penting, konsep sangatlah penting, tetapi kedua hal tersebut tidak akan menjadi penting jika kita tidak mengetahui di posisi mana kita akan menempatkan diri kita dalam konteks berkarya, tradisikah? atau musik konvensional?

  Musik tradisi adalah musik yang menggunakan pakem atau aturan tradisi dan instrumentasi alat musik sendiri (Erie Setiawan, 2016:19). Sementara musik konvensional adalah musik yang masih menggunakan sistem dan aturan yang sudah ada sebelumnya bahkan teori dan esensinya (Erie Setiawan, 2016:18). Penulis beranggapan bahwa antara musik konvensional dan musik tradisi memiliki kesamaan esensi, hanya saja musik tradisi lebih lekat dikebanyakan hati orang timur (Indonesia pada khususnya). Berdasarkan beberapa pemaparan di atas, sudah jelas bahwa penulis berada diantara kedua zona di atas. Setelah penjelasan tentang di zona mana penulis akan menuangkan intuisi musik penulis, selanjutnya akan dibicarakan tentang ide dari garapan yang akan mengilhami karya penulis.

  Ide garap merupakan gagasan yang ada pada benak seniman yang mendasari garap, terutama dalam proses penciptaan seni (Rahayu Supanggah dalam Waridi, 2005:9). Ide dapat diperoleh darimana saja, dimana saja, kapan saja. Ide garapan penulis berawal dari fenomena penciptaan komposisi karawitan Bali, baik itu menyangkut belenggu tradisi ataupun kontemporer serta indikator pemberi sebuah identitas. Pemberian label seperti halnya tabuh pisan, tabuh dua, tabuh telu, tabuh pat dan seterusnya memberikan ide kepada penulis tidakkah ada penciptaan komposisi tabuh lelambatan dengan menggunakan dua setengah sebagai penekanan konstantanya ? Tidakkah ada tabuh tiga per-empat? begitu pula seterusnya. Asumsi penulis bukan kurang beralasan, melalui ide garap ini penulis ingin mengajak para seniman akademis untuk membedah sebuah partitur tabuh lelambatan yang telah mengkristal (mungkin bisa dibilang tabuh lelambatan klasik) hingga tabuh lelambatan yang telah dikemas dan dilabeli

  tabuh x” lelambatan kreasi.

  Pemberian label pada konteks penciptaan lelambatan kreasi berpijak pada analisis struktural (birama, baris) dan kalkulasi jatuhnya pukulan instrumen yang menjadi hal fundamental. Penulis memakai tabuh dua setengah sebagai bakal garapan penulis untuk memudahkan perhitungan dari aspek waktu serta memudahkan memberikan bayangan apa sebenarnya yang disebut lelambatan terlepas dari pemberian label beserta analisis pakem Tri Angga yang senantiasa menurut penulis bersifat kontekstual dengan kata lain kesepakatan yang bisa saja sesaat sifatnya.

  Pemberian label dalam konteks garapan ini didasarkan atas analisis struktur dengan mengkomparasikan beberapa bentuk tabuh lelambatan sebagai analogi dari argumen penulis dalam memberikan label. Lahirnya dimensi dua setengah adalah didasarkan atas pembagian-pembagian gabungan baris (lampetan) yang penulis titik beratkan sebagai indikasi untuk menentukan identitas komposisi ini. Sebagai upaya komparatif penulis memakai kerangka tabuh dua dan kerangka komposisi ini. Untuk lebih jelasnya perhatikan kerangka tabuh di bawah ini :

  Empat baris pertama (secara vertikal) penulis analogikan sebagai satu lampetan gending yang ditandai dengan jatuhnya pukulan kempli pada baris ke-4

  • Kerangka Tabuh Dua Setengah -

  Empat baris ke-dua (dihitung dari baris ke-lima) penulis analogikan sebagai satu

  lampetan gending, sehingga

  jika dikalkulasikan dari empat baris pertama akan menghasilkan dua lampetan gending yang pada akhirnya disebut sebagai tabuh dua dimana baris terakhir ditandai dengan jatuhnya pukulan gong

  Empat baris pertama penulis analogikan sebagai satu lampetan gending dimana secara vertikal terbentuk oleh dua setengeh birama yang diperoleh dari sepuluh peniti penyacah, dimana pola matranya adalah satu, satu, setengah. Satu matra terdiri dari empat pukulan peniti penyacah

  Empat baris kedua penulis analogikan sebagai satu lampetan gending dengan ditandai jatuhnya pukulan kempli pada baris ke-4. Jika dikalkulasikan dari baris pertama maka pada bagian ini sudah membentuk dua lampetan gending atau penulis asumsikan sebagai tabuh dua jika pada baris ke-8 diakhiri dengan jatuhnya pukulan gong

  Dua baris terakhir penulis asumsikan sebagai

  • setengah paletan gending dan ditandai dengan jatuhnya pukulan gong pada baris terakhir.
  • Jika dikalkulasikan maka lampetan gending yang diperoleh berjumlah dua setengah

  lampetan gending atau penulis sebut sebagai tabuh dua setengah.

  A C B A.

  Adalah satu matra dengan jumlah peniti penyacah 4 (Empat).

  B.

  Adalah satu matra dengan jumlah peniti penyacah 4 (empat) C. Adalah setengah matra dengan jumlah peniti penyacah 2 (dua)

  Ketiga bagian di atas merupakan analisis secara horizontal di mana dimensi dua setengah juga diaplikasikan pada sistem penyusunan matra-matra dari komposisi ini.

  Berdasarkan dua pemaparan di atas, tabuh dua setengah merupakan sebuah komposisi baru yang terinspirasi serta berpijak pada bentuk tabuh lelambatan yang sudah ada. Tabuh dua sebagai contoh tabuh lelambatan terdiri dari dua paletan gending dan secara horizontal memiliki sistem empat matra setiap barisnya sehingga memiliki enam belas peniti penyacah. Berangkat dari analisis tersebut penulis secara sadar mengasimilasikan sistem tersebut dengan ukuran yang berbeda baik itu secara vertikal maupun secara horizontal hingga membentuk tabuh dua setengah. Secara vertikal komposisi ini terdiri dari dua setengah lampetan gending, dimana masing-masing

  

lampetan terbentuk oleh paletan-paletan (baris) dengan struktur kolotomiknya. Satu

  gending terdiri dari empat baris, jika ada sepuluh baris maka sudah dapat

  lampetan

  dipastikan lampetan gendingnya berjumlah dua setengah. Lampetan gending penulis asumsikan sebagai a tabuh atau tabuh pisan (satu). secara horizontal penulis mengaplikasikan sistem dua setengah matra yang terbentuk dengan pola empat ketukan peniti penyacah (satu matra), empat ketukan peniti penyacah (satu matra) dan dua ketukan peniti penyacah (setengah matra) sehingga membentuk dua setengah matra. Kesamaan sistem matra (horizontal) dan sistem lampetan (vertikal) merupakan sebuah indikasi bahwa komposisi ini bersifat simetris.

  Salah satu poin yang menjadi indikasi atas penciptaan karya ini nantinya adalah pencapaian bunyi baru tanpa “mencederai” kebiasaan yang telah berlaku. Seperti yang dikatakan I Nyoman Windha (wawancara, 29 November 2016) bahwa dalam penciptaan sebuah karya seni musik ada tiga hal esenial yang harus diperhatikan. Tiga hal tersebut antara lain komposer sendiri, penabuh, serta para penonton (audience). Dengan tegas beliau menjelaskan bahwa sebagai seorang komposer yang baik, hal yang harus diperhitungkan adalah bagaimana menciptakan sebuah karya (di samping inovasi) agar kita sebagai seorang komposer, penabuh sebagai orang terlibat dalam garapan kita, serta

  

audience dapat menikmati dan menyukai karya kita. Pendapat Windha kurang lebih juga menekankan pada kemungkinan untuk sebuah pencapaian bunyi baru tanpa menggunakan media ungkap diluar tembok “tradisi”. Hal senada juga diungkapkan oleh Erie Setiawan (2016:22), “pencapaian bunyi baru adalah hal yang ingin diperdengarkan kepada para pendengar, karena seorang komponis jika dia tidak “mengekor” dia harus mencapai suatu pengalaman baru. Pengalaman tersebut adalah pencapaian bunyi baru yang mungkin belum pernah diperdengarkan oleh pendengar atau mungkin saja sudah sering didengarkan namun, jarang diperdengarkan dengan menggunakan media ungkap (barungan gamelan) yang berbeda.

  Pemberian nama tabuh dua seteng ah “Sikut Anyar” sudah dipertimbangakan dengan sangat matang. Dimensi dua setengah yang mengilhami penulis tidak saja diperhitungkan berdasarkan kerangka gending, melainkan juga didasarkan oleh kemungkinan vokabuler garap yang bisa dieksplorasi tanpa mengurangi nilai estetik dari sudut pandang penulis.

  Pencapaian ide garap selanjutnya dimulai ketika penulis mendengarkan sebuah rekaman gending tari Oleg Tamulilingan yang dibawakan oleh sekaa Gong Jaya Kusuma Desa Geladag. Penulis menganggumi kemampuan virtuistik juru ugal saat memainkan bagian pepeson hingga akhir tari reportoar ini. Penulis mengamati bahwa warna suara yang dihasilkan oleh oret-oretan tangan juru ugal sangat mirip dengan warna suara yang dihasilkan pada instrumen gender rambat ataupun Gender Wayang. Berdasarkan pengalaman mendengarkan itu, penulis mencoba untuk mengeksplorasi dengan melibatkan seluruh instrumen metalofon seperti pemade, kantil, ugal, jublag, calung, dan

  

jegog untuk diolah vokabuler garapnya tanpa menggunakan alat pemukul diluar gamelan

Gong Kebyar dengan kata lain masih original.

  Kata dua setengah tidak merujuk pada kuantitas jatuhnya pukulan kempur dan

  

kempli yang jumlahnya sebanyak dua setengah, tidak saja merujuk pada suatu keharusan

  dalam pengkomposisian struktur matra yang berimplikasi pada jatuhnya instrumen pemangku lagu seperti jegogan, namun ia juga sebuah identitas yang menekankan pada keterampilan seorang pemain instrumen metalofon dalam mengaplikasikan teknik menutup bilah (diluar dari kebiasaan) yang setengah-setengah (Bahasa Bali:nenga) sehingga dihasilkan warna suara yang menyerupai vibrasi (bahasa Bali:reng) pada instrumen gender rambat dalam gamelan Palegongan ataupun pada gamelan Gender

  Wayang .

  Untuk memperkuat ide serta argumen, penulis telah melakukan eksplorasi dengan menganalisis beberapa tabuh lelambatan yang masih eksis seperti tabuh pat Gari,

  

tabuh dua Semara Ratih, tabuh lima Tapuk Manggis, tabuh pat Kalingga, tabuh pat Mina

Ing Segara dan tabuh pisan Bangun Anyar. Penulis mendapatkan sistem dan bentuk yang

  diaplikasikan “inkonsistensi” antara teori dan prakteknya. “Inkonsistensi” yang dimaksud adalah terletak pada penyusunan bagian-bagian yang membentuk lelambatan dan telah dikonvensionalkan namun ada beberapa karya yang tidak mengikuti aturan yang telah dikonvensionalkan tetapi telah diakui sebagai tabuh lelambatan lengkap beserta “label konstantanya”. Yang terjadi adalah banyaknya timbul karya-karya dengan bentuk yang sama tanpa pernah menjelaskan bagaimana sistem komposisi tersebut bekerja, sudahkah semangat memaknai uger-uger terealisasi sepenuhnya atau sebagian atau mungkin uger-

  uger

  dipakai sebagai topeng untuk “menakuti”? Sepengetahuan penulis fenomena ini dapat diamati dalam komposisi tabuh pisan Bhaskara (pola matra ganjil dan genap),

  

tabuh pat Gari (tidak terdapat bagian pengisep), tabuh pat Mina Ing Segara (terdapat

  pola matra yang tidak konsisten ketika menuju pengisep) dan tabuh pisan Bangun Anyar (kalkulasi jatuhnya pukulan instrumen kolotomik, rekaman sekaa Gong Desa Munduk). Menurut hemat penulis beberapa realita tersebut tidaklah salah, hanya saja diperlukan mengkonvensionalkannya ke dalam sebuah teori. Esensi berupa bagaimana sistem bekerja membentuk sebuah musik merupakan hal terpenting guna mengidentifikasi sebuah komposisi. Fenomena di atas kurang lebih senada dengan apa yang disampaikan oleh I Gede Arya Sugiartha dalam bukunya yang berjudul “Kreativitas Musik Bali Garapan Baru;Persfektif Cultural Studies” yakni sebagai berikut :

  “Bentuk uger-uger lainnya tercermin dalam strukturisasi fungsi yang dipahami sebagai sesuatu yang sudah melekat dalam musik tradisional Bali. Implikasinya adalah terjadinya fungsi-fungsi yang ditentukan dalam beberapa kategori. Kategori fungsi ini kemudian dikonstruksi lewat dukungan sistem sosial kemasyarakatan sehingga sifatnya cenderung ketat dan mengikat. Para intelektual tradisional, seperti ahli sastra, seniman, dan pemuka agama memainkan peran hegemonisnya dengan membakukan standarisasi tersebut lewat tulisan atau cerita prosa, lagu, atau cerita mitos. Itulah sebabnya strukturisasi fungsi musik Bali menjadi sesuatu yang “sakral” dan seniman pada umumnya menerima sebagai sebuah kebenaran” (Arya Sugiartha, 2012:72). Petikan di atas setidaknya merefleksikan fenomena yang terjadi dalam konteks penciptaan komposisi tabuh lelambatan kreasi. Adanya suatu pembenaran yang sifatnya cenderung tendensius dalam memaknai uger-uger seolah tidak diimplementasikan sepenuhnya. Untuk itu penulis mengadopsi sistem-sistem yang telah mengkristal dalam wujud uger-uger, karya dengan judul tabuh dua setengah

  Sikut Anyar” ini akan

  diasimilasikan dari bentuk-bentuk tabuh lelambatan yang telah penulis analisis sebelumnya.

  Dimensi kata dua setengah bertujuan untuk menawarkan bentuk baru sekaligus sebagai upaya untuk memaknai uger-uger dengan cara pandang yang berbeda. Komposisi ini menekankan pada kesadaran penata untuk mengolah sebuah sistem secara sadar tanpa mencederai uger-uger yang telah disepakati walaupun belum sepenuhnya semua komposer mengetahuinya. Setidaknya ada tiga hal yang penulis jadikan sebagai pijakan dalam bekarya yaitu definisi tabuh, kreasi dan lelambatan. Penulis juga telah mematangkan konsep melalui sebuah kegiatan untuk mengeksplorasi kemungkinan warna suara baru yang dihasilkan melalui teknik menutup gamelan.

  Perkembangan teknologi telah merambah kesegala aspek kehidupan manusia. Salah satu produk teknologi yang sangat membantu penulis guna mematangkan tahap eksplorasi adalah berupa rekaman audio (kaset tape) Sekaa Gong Jaya Kusuma Desa Geladag. Penulis mengagumi kemampuan virtuistik sang juru Ugal yang penuh dengan ornamentasi serta vibrasi (reng) yang dihasilkan dari teknik menutup bilah mirip dengan vibrasi yang dihasilkan pada instrumen gender rambat ataupun Gender Wayang. Kurang dari beberapa bulan setelah penulis mendengarkan rekaman tersebut secara intens, penulis menemukan teknik baru dalam hal menutup bilah gamelan (instrumen metalofon). Untuk memperkuat nuansa gender rambatnya, penulis melibatkan seluruh instrumen metalofon dengan teknik yang dimaksud, ternyata vibrasi (bahasa Bali : reng) yang dihasilkan sangat mirip dengan instrumen gender rambat. Perlu penulis jelaskan bahwa teknik menutup yang penulis adopsi dari juru ugal sekaa Gong Jaya Kusuma adalah teknik yang mengedepankan kemampuan virtuistik yang sifatnya individual (improvisasi), tetapi penulis aplikasikan diseluruh instrumen gangsa sehingga menimbulkan vibrasi yang dimaksud.

  Untuk menguji tahapan eksplorasi tentang pencapaian teknik baru di atas, penulis telah mengimplementasikan teknik tersebut dalam ujian komposisi kontemporer, alhasil teknik tersebut sesuai dengan keinginan penulis. Keberhasilan tahap eksplorasi ini memperkuat keinginan penulis untuk ditawarkan dalam karya komposisi ujian Tugas Akhir.

  Secara universal, komposisi ini terdiri dari tiga bagian yang terintegrasi membentuk sebuah sistem yang terorganisir. Tiga bagian yang dimaksud adalah konsepsi

  

trinitas dalam wujud tri angga yang merefleksikan keseimbangan dalam dimensi tiga.

  Bagian yang dimaksud meliputi Kawitan, Pengawak dan Pekaad. Untuk lebih memperjelas dasar analisis sebuah komposisi, hal fundamental yang harus diketahui adalah konvensi notasi yang nantinya digunakan sebagai “bahasa” untuk mengidentifikasi serta menganalisa sebuah komposisi secara partitur.

  Membahasakan sebuah komposisi musik untuk ditransformaikan ke dalam wujud partitur memerlukan beberapa simbol guna mempermudahkan kita untuk memahami sekaligus untuk menganalisis struktur-strukturnya. Kegiatan ini dikenal dengan sistem penotasian komposisi. Notasi ialah sistem pencatatan musik (gamelan) yang setidaknya mengandung dua persyaratan bunyi dalam musik yaitu pitch (nada) dan

duration (jarak nada), notasi dalam gamelan Bali disebut titilaras (Bandem, 2013:144).

Sistem penotasian yang penulis aplikasikan dalam garapan ini menggunakan simbol

  

penganggening aksara Bali. Di Bali sistem seperti ini dikenal dengan istilah notasi

dingdong. Adapun konvensi simbol-simbol yang penulis aplikasikan dalam komposisi ini

  dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

  

Tabel 1. Penganggening Aksara Bali

Pelog Tujuh Nada

No. Simbol Aksara Dibaca

  1

  1 Cecek Dang

  2

  2 Pepet Daing

  3

  3 Ulu Ding

  4

  4 Tedong Dong

  5

  5 Taleng Deng

  6

  6 Suku Ilut Deung

  7

  7 Suku Dung Guna mendukung penotasian komposisi ini, selain menggunakan titilaras

  

dingdong penulis juga menggunakan beberapa simbol lainnya yang penulis kutip dari

  buku “Dokumentasi Tabuh-Tabuh Bali Klasik” (Dharsana, 2002:17-18). Adapun simbol yang dimaksud telah penulis adaptasi sesuai dengan keperluan penulis. Berikut simbol pelengkap dalam komposisi ini.

  : melambangkan satu ketukan (beat)  -

  : garis birama untuk melambangkan setengah ketukan  - -

  : garis birama seperempat ketukan  - - - -

  : tanda pengulangan untuk setiap frase tertentu  [ ]

   : tanda jatuhnya pukulan jegogan : tanda jatuhnya pukulan kempur  +

  : tanda jatuhnya pukulan kempli  _

  : tanda jatuhnya pukulan gong  (-)

  : Pukulan instrumen gangsa polos  GP

  : Pukulan instrumen gangsa sangsih  GS

  : Pukulan instrumen penyacah  PN

   JB : Pukulan isntrumen jublag

  Struktur Komposisi “Sikut Anyar”

Periring Periring

TRI ANGGA

   Penyalitgegilakan

  embatan

   BebaturanEmbat-

  pengawak

   Bagian

  

Gongan )

  siklusnya (satu

  penyacah dalam satu

   Pengawak dengan ukuran 100 peniti

  (Gagenderan

   PengrangrangPenyalit

  Gangsa

   Gineman

  transisi serta bagian inti dari setiap sistem. Transisi diaplikasikan dengan pola yang sederhana serta mempertimbangkan konsep garap yang minimalis. Perhatikan skema gambar dari komposisi di bawah ini : Gambar 1.

   JG : Pukulan instrumen jegogan

  

anyar. Setiap bagian dari komposisi ini terdapat sub-sub bagian yang berfungsi sebagai

  Skema di bawah ini merupakan struktur dari komposisi tabuh dua setengah sikut

   R4 : Reyong pemetit

   R3 : Reyong ponggang

   R2 : Reyong pengenter

   W : Adalah lambang untuk pupuh Asta Windu  R1 : Reyong penyorog

  : Warna suara yang dihasilkan dengan cara memukul sisi kanan kendang wadon ataupun kendang lanang dengan menggunakan panggul, pada saat yang bersamaan muka kiri kendang ditutup dengan tangan kiri. Adapun peniruan bunyinya “tek”

   U : Warna suara yang dihasilkan pada sisi kanan kendang lanang dengan menggunakan panggul.  T,t

   wadon dengan menggunakan panggul

   A :Warna suara yang dihasilkan pada sisi kanan kendang

   lanang

   P :Warna suara yang dihasilkan pada sisi kiri kendang

   Wadon

   M : Melodi  K :Warna suara yang dihasilkan pada sisi kiri kendang

KAWITAN PENGAWAK PEKAAD

  Berdasarkan pengklasifikasian struktur komposisi di atas, dimensi dua setengah mulai diaplikasikan pada bagian pengawak hingga pekaad. Dimensi dua setengah yang identik dengan aplikasi dimensi sepuluh (sistem matra dan lampetan gending) secara konsisten diaplikasikan pada seluruh bagian pengawak hingga pekaad. Bagian pengawak dapat dianalisis dari sisi vertikal yang merefleksikan sepuluh baris sehingga membentuk dua setengah lampetan gending dan sisi horizontal yang merefleksikan sepuluh pukulan

  

peniti penyacah sehingga membentuk dua setengah matra. Pada bagian pengawak

  pukulan instrumen jublag ditekankan pada ketukan ke-5. Melodi bagian periring diadopsi dari melodi pengawak dengan ukuran yang sama, hanya saja pukulan instrumen jublag jatuh pada ketukan ke-4,8 dan 10.