BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Era Mega Paramita Abadi BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akhir-akhir ini perhatian terhadap lembaga yang dikenal secara luas

  sebagai “museum” terasa begitu meningkat. Hal itu tercermin dari banyaknya kritik yang dilontarkan kepada lembaga permuseuman dan juga dari peningkatan partisipasi masyarakat dalam menunjang kegiatan museum melalui organisasi-organisasi sahabat museum (Friends of museu ). Indikasi meningkatnya museum juga terlihat dari kegairahan pemerintah daerah untuk mendirikan museum diwilayah masing-masing. Tentu saja, fenomena ini merupakan suatu hal yang sangat menguntungkan bagi dunia permuseuman di Indonesia. Setelah begitu lama lembaga museum di Indonesia seolah-olah diacuhkan oleh masyarakat, kini masyarakat mulai menaruh perhatian yang semakin menggembirakan. Karena itu, momentum yang baik ini seharusnya dimanfaatkan oleh dunia permuseuman Indonesia untuk bangkit dengan melakukan penataan kembali. Yang dimaksudk an “Penataan Kembali” disini tentu saja tidak hanya terbats pada merancang dan mengatur kembali tampilan-tampilan di gedung museum, tetapi juga menata kembali kerangka pikir dan cara pandang terhadap museum. Dunia permuseuman Indonesia perlu menyegarkan kembali atau bahkan meremajakan pemahaman akan misi dan tugas-tugas museum (Museografia-Majalah Ilmu Permuseuman, 2007: 15).

  1 Jika kita melacak asal- usulnya, kata “museum” berakar dari kata Latin “mouseion”, yaitu kuil untuk sembilan Dewi Muses, anak-anak Dewa Zeus yang tugas utamanya adalah menghibur. Jadi, museum masih saudara sepupu dari Amuse atau Amusement (dalam bahasa Inggris) yang merujuk pada perbuatan atau sesuatu yang membuat orang lain gembira. Namun, ketika kata “Museum” mulai banyak digunakan pada Masa Renaissance (sekitar abad ke-16 dan ke-17), kata ini bukannya semata-mata merujuk pada kegiatan bersenang-senang saja. Sebaliknya, kata museum lebih dikaitkan dengan citra ilmiah. Museum justru digunakan untuk menyebut lembaga yang menyimpan dan memelihara koleksi benda-benda seni atau benda bernilai sejarah dan ilmu pengetahuan. Koleksi museum ditampilkan untuk pembelajaran dan kesenangan masyarakat (Museografia-Majalah Ilmu Permuseuman, 2007: 15).

  Pada dasarnya museum adalah wadah pelestarian nilai-nilai luhur warisan budaya, Museum antara lain berfungsi sebagai media pendidikan yang hendak memberikan pendidikan kepada segenap pengunjung. Kunjungan ke museum diharapkan dapat menjadi sarana pelestarian nilai- nilai warisan budaya. Selain itu juga sebagai tempat wisata budaya yang dapat menimbulkan pemahaman dan rasa ikut memiliki unsur-unsur dan aspek budaya bangsa. Dengan demikian museum juga merupakan pusat studi warisan budaya dan pusat informasi edukatif. Dalam era globalisasi ini terjadi peningkatan kontak-kontak budaya tidak saja antar kebudayaan-kebudayaan daerah, tetapi juga dengan kebudayaan asing. Gejala ini harus mendapat perhatian sejak awal sebab jika tidak, akan mengakibatkan tumbuhnya gejela disintegrasi karena masing-masing mempunyai persepsi yang berbeda mengenai jati diri (Museografia-Majalah Ilmu Permuseuman, 2000: 12).

  Masyarakat Indonesia sebenarnya sekarang ini sedang berada pada poros perkembangan untuk menjadi suatu “negara bangsa” (Nation State) yang mantap. Ternyata dalam proses tersebut kita lihat bahwa sekarang ini terjadi hambatan-hambatan yang menuju kearah disintegrasi. Oleh karena itu dalam proses perkembangan menjadi “negara bangsa” tersebut yang harus tetap dipegang teguh adalah kesatuan dan persatuan bangsa. Salah satu dasar yang penting dalam menjaga kesatuan dan persatuan bangsa tersebut adalah adanya pemahaman dan saling menghargai kebudayaan antar suku-suku bangsa.

  Dalam konteks ini museum harus dapat berperan dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tidak hanya mengenai kebudayaan- kebudayaan suku bangsa tetapi juga kontak-kontak budaya yang telah terjadi. Oleh karena itu, museum harus menyuguhkan informasi yang sistematis dan terarah sehingga tercapai pemahaman atas unsur-unsur budaya bangsa (Museografia-Majalah Ilmu Permuseuman, 2000: 12).

  Museum Soesilo Soedarman terletak pada Jalan Temu Giring Nomor 1 Desa Gentasari Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap. Museum ini dibuka setiap hari dari pukul 08.00 WIB sampai pukul 16.00 WIB. Harga tiket masuk Museum Soesilo Soedarman untuk anak-anak Rp 1.000,00 per orang dan untuk dewasa Rp 2.000,00 per orang. Untuk rombongan anak-anak sekolah di potong beberapa persen dari harga tiket, sedangkan untuk masyarakat di sekitar komplek museum tidak dikenakan biaya masuk.

  Museum Soesilo Soedarman merupakan museum kebanggaan masyarakat Cilacap, khususnya di Desa Gentasari Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap, karena merupakan salah satu tempat melestarikan aset- aset yang dimiliki oleh Bapak Soesilo Soedarman dari beliau kecil hingga beliau wafat, sekaligus sebagai sarana pendidikan bagi para generasi penerus. Museum Soesilo Soedarman sangat cocok dikunjungi wisatawan terutama bagi para pelajar karena memiliki banyak koleksi sejarah yang dapat menambah pengetahuan bagi pelajar. Museum Soesilo Soedarman termasuk museum lokal karena museum Soesilo Soedarman dikelola oleh pihak swasta yaitu yayasan dari keluarga Bapak Soesilo Soedarman itu sendiri.

  Arsitektur bangunan Museum Soesilo Soedarman merupakan kombinasi arsitektur tradisional bergaya “Joglo” dan arsitektur modern. Dibangun diatas tanah seluas 1,5 ha. Museum Soesilo Soedarman menempati bangunan lama peninggalan dari kakek Soesilo Soedarman terdiri dari 3 bangunan inti yaitu

  2 Joglo bagian tengah disebut Lojen dan disebelah timur ada bangunan tambahan yaitu gandok serta yang direnovasi 1 gedung berlantai 2, dilantai bawah untuk kafe dan dilantai 2 perpustakaan. Museum ini menampung lebih dari 200 buah koleksi yang disajikan secara rapi dan baik didalam maupun diluar ruangan. Diluar ruangan terdapat koleksi alat-alat perang diantaranya koleksi Meriam, Tank, Pesawat Tempur, Panser, Ranjau Laut dan Rudal.

  Didalam Ruangan terdapat benda-benda koleksi diantaranya Piagam

  Penghargaan, Foto-foto kenangan perjalanan Soesilo Soedarman didalam maupun diluar negeri, Peristiwa-peristiwa penting bersejarah yang didokumentasikan seperti Peristiwa Peresmian Gedung. Hasil kajian koleksi baik yang bersifat deskriptif maupun yang bersifat analisis, sangat penting untuk dipublikasikan kepada masyarakat agar dapat memperoleh pengetahuan tentang makna dan arti penting benda warisan budaya tersebut utamanya bagi perkembangan kehidupan budaya sekarang dan yang akan datang.

  Museum Soesilo Soedarman memiliki Visi, yaitu Membantu mencerdaskan generasi penerus bangsa yang bernilai ketauladanan. Selain itu, Museum Soesilo Soedarman mempunyai Misi, yaitu Meningkatkan Pendidikan berbudaya dan Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap budaya. Hal itu menarik perhatian peneliti untuk menelusuri peranan pendidikan museum ini melalui penelitian yang hendak dilakukan. Apalagi jumlah yang berkunjung ke museum ini setelah dibuka untuk umum sering dikunjungi oleh khalayak baik siswa sekolah, mahasiswa, dan masyarakat umum (Brosur Museum Soesilo Soedarman, 2012).

  Museum Soesilo Soedarman memiliki peranan pendidikan yang dapat berkembang di Cilacap khususnya di Desa Gentasari. Untuk mengetahui lebih dalam lagi mengenai peranan pendidikan terhadap Museum Soesilo Soedarman maka penulis mengangkat judul “PERANAN MUSEUM SOESILO SOEDARMAN TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER TAHUN 2000-2013 “.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, maka sebagai masalah pokok dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana Latar belakang pendirian museum ?

  2. Bagaimana Peranan museum Soesilo Soedarman terhadap pendidikan karakter ?

  3. Apa saja Hambatan yang dihadapi oleh pihak pengelola dan bagaimana cara mengatasinya ?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran kondisi dilokasi pada perumusan masalah diatas, oleh karena itu penelitian ini lebih memprioritaskan untuk : 1. Mengetahui Latar belakang pendirian museum.

  2. Mengetahui peranan museum Soesilo Soedarman terhadap pendidikan karakter.

  3. Mengetahui Hambatan apa yang dihadapi oleh pihak pengelola dan bagaimana cara mengatasinya

  D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

  a. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang Peranan Museum Soesilo Soedarman terhadap pendidikan karakter.

  b. Sebagai wacana bagi pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum c. Mengetahui aset-aset peninggalan Bapak Soesilo Soedarman sebagai nilai-nilai sejarah yang perlu dilestarikan.

2. Manfaat Aplikatif

  a. Menambah wahana pendidikan terhadap museum, khususnya museum Soesilo Soedarman.

  b. Memberikan informasi kepada pelajar dan mahasiswa terutama mahasiswa Sejarah dalam meningkatkan pengetahuan tentang peranan pendidikan.

E. Tinjauan Pustaka

  Pengertian museum yang dikutip dalam buku Panduan dan Lembar Kerja Kunjungan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito (Sunarto, 2008: 1

  • –2) adalah sebagai berikut :

  Pengertian museum hanya dapat dipahami oleh karena fungsi dan kegiatannya.Kata ”museum” berasal dari kata Yunani Kuno ”museion” yang berarti kuil atau rumah persembahan untuk Dewi Muze. Muze adalah putra Zeus, dewa penguasa yang bersemayam di bukit Olimpus. Muze merupakan pelindung sembilan dewa pengetahuan dan seni, yaitu : Dewi Cleo menguasai sejarah; Dewi Euterpe penguasa seni musik; Dewi Melphorone menguasai seni panggung; Dewi Thalic menguasai seni komedi; Dewi Terpisichore menguasai seni rupa; Dewi Erato menguasai puisi; Dewi Polyhimne menguasai syair rindu dendam; Dewi Uranik menguasai ilmu falak dan Deewii Calliops menguasai seni syair epos. Sedang menurut ICOM (International Council of Museum) dalam musyawarah ke II di Copenhagen

  14 Juni 1974 merumuskan : ”a museum is non profit making, permanent institution in service of society and of its development, and open the public, wich aquires, conserves, communicates, and exhibit for purposes of study, education and enjoyment, material evidence of human and enviroment.” Devinisi tersebut menjelaskan bahwa museum adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum yang memperoleh, merawat, menghubungkan dan memamerkan, untuk tujuan studi, pendidikan dan rekreasi, barang pembuktian manusia dan lingkungannya.

  Melengkapi pengertian museum seperti yang di uraikan di atas, ICOM menjelaskan bahwa museum meliputi : a. Lembaga-lembaga konservasi dan ruangan-ruangan pameran yang secara tetap diselenggarakan oleh perpustakaan dan pusat-pusat kearsipan.

  b. Peninggalan dan tempat-tempat alamiah, arkeologi dan etnografis, peninggalan dan tempat bersejarah yang mempunyai corak museum, karena kegiatan-kegiatannya dalam hal pengadaan, perawatan dan komunikasinya dengan masyarakat.

  c. Lembaga-lembaga yang memamerkan makhluk-makhluk hidup seperti, kebun, tanaman dan binatang, akuarium dan sebagainya.

  d. Suaka alam.

  e. Pusat-pusat pengetahuan dan planetarium.

  Peran Museum yang dikutip dalam buku Informasi Museum Negeri Provinsi Jawa Tengah Ronggowarsito ( AG.Puji Suci Indiah, dkk, 1991 : 9 ) yaitu, museum bertugas melestarikan warisan sejarah alam dan budaya, dengan cara mengumpulkan, merawat, meneliti, mengkaji, mengkomunikasikan dan memamerkan untuk kepentingan masyarakat guna studi ( penelitian ), pendidikan dan rekreasi dalam rangka ikut mencerdaskan bangsa.

  Peran museum Ronggowarsito sebagai lembaga pelestarian warisan budaya bangsa yang mengkhususkan diri dibidang pelayanan studi dan media pembelajaran, serta sarana rekreasi budaya (Sumber : Brosur Museum Ronggowarsito)

  Menurut jurnal Wallenae Balai Arkeologi Perlahan tapi pasti program tersebut memberikan dampak positif terhadap perkembangan museum di Indonesia, salah satu indikatornya berupa peningkatan jumlah pengunjung museum, khususnya museum yang tersentuh program ini. Selain itu, kegiatan revitalisasi dibeberapa museum negeri cukup memberikan warna baru terhadap tampilan museum yang selama ini terkesan suram dan angker.

  Bahkan satu gebrakan baru terkait dengan pengembangan museum yaitu berupa iklan tentang museum yang dapat kita saksikan dimedia elektronik, salah satunya iklan tentang Museum Geologi Bandung yang sempat ditayangkan di stasiun Televisi Republik Indonesia. Sosialisasi dan publikasi tentang museum yang mendorong munculnya beberapa komunitas masyarakat yang peduli dengan museum, seperti Sahabat Museum, dan Museum Lovers.

  Sayangnya, konsep museum yang berorientasi pada masyarakat ini masih belum terealisasi secara utuh dilapangan. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor pemicu kurang maksimalnya peran museum dalam hal membangun kesadaran masyarakat akan pentngnya pelestarian warisan atau cagar budaya. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari, belum terbangunnya relasi yang positif antara koleksi dalam museum dengan masyarakat secara langsung. Museum menyajikan beragam koleksi yang merefleksikan sejarah maupun budaya yang berasal dari berbagai wilayah. Selama ini, koleks museum selain berasal dari hibah juga merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli diberbagai tempat dan wilayah di Indonesia. Tetapi disisi lain, tempat dimana koleksi museum itu ditemukan kurang mendapatkan perhatian. Sehingga bukan hal yang aneh, apabila masyarakat ditempat tersebut, tidak menyadari bahwa wilayah mereka itu penting karena menjadi tempat ditemukannya warisan budaya.

  Hal tersebut terjadi di berbagai tempat di Indonesia, misalnya masyarakat di Sikendeng Kabupaten Mamuju Sulawesi Barat, tidak menyadari bahwa tempatnya itu penting karena disinilah ditemukannya Arca Budha berlanggam Amarawati yang saat ini menjadi salah satu koleksi Museum Nasional di Jakarta. Demikian pula, kawasan gua-gua prasejarah di Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan yang perlu untuk dilestarikan dan dilindungi dari ancaman aktifitas tambang, belum mendapatkan perlakuan yang memadai, padahal telah banyak temuan artefak batu dari kawasan ini yang menjadi koleksi museum. Dalam satu kesempatan diskusi dengan salah satu tokoh masyarakat dikawasan gua prasejarah Belae Kabupaten Pangkep, kenyataan betapa masyarakat memiliki keinginan yang kuat tentang cagar budaya yang ada disekitar mereka.

  Dalam skripsi yang berjudul Perkembangan Monumen Jenderal Soedirman dan Fungsinya sebagai Sarana Pembelajaran Nilai-nilai Sejarah Perjuangan Bangsa Di Desa Bantarbarang Kecamatan Rembang Kabupaten Purbalingga yang ditulis oleh Awal Tri Riyadi (2014), Merujuk pada pangertian monumen yaitu, sebuah bangunan atau tanda yang mengabadikan bentuk cuplikan peristiwa bersejarah atau tokoh pelaku sejarah yang dapat mewakili sebuah peristiwa sehingga dipakai sebagai penerus jiwa semangat juang dan pewarisan nilai-nilai kejuangan bagi penerusnya, monumen mempunyai berbagai macam fungsi. Diantaranya yaitu, fungsi edukatif, inspiratif, rekreatif, dan fungsi untuk menanamkan nilai-nilai keteladanan.

F. Landasan Teori dan Pendekatan 1. Deskripsi teori a. Pengertian Museum

  Menurut Direktorat Museum Direktorat Jendral Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2009) Museum adalah lembaga permanen yang tidak mencari keuntungan, diabdikan untuk kepentingan masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengkomunikasikan dan memamerkan bukti-bukti bendawi nanusia dan lingkungannya untuk tujuan studi, penelitian, dan kesenangan (International Council of Museums, 2006). Kata Museum berasal dari

  

mouseion, yang berarti kuil untuk sembilan Dewi Muses, anak-anak

  dewa Zeus yang melambangkan ilmu dan kesenian. Kata museum mulai banyak digunakan pada masa Renaissance, sekitar abad ke 16 dan 17. Kata museum itu, dikaitkan dengan ciri ilmiah disamping bersenang-senang.

  Museum merupakan lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya tersebut merupakan koleksi museum yang pada dasarnya adalah benda cagar budaya yang dilindungi oleh undang-undang. Pemanfaatan koleksi museum antara lain dapat melalui pameran dan penelitian.

  Pameran dan penelitian yang dilakukan oleh museum atau lembaga lain yang terkait sering menggunakan koleksi yang disimpan dimuseum-museum lain, baik didalam maupun diluar negeri dengan cara melakukan peminjaman koleksi. Dewasa ini praktik peminjaman koleksi sering dilakukan oleh museum atau lembaga tanpa adanya pedoman yang mengaturnya (Tim Penyusun, 2008: 15).

b. Fungsi Museum

  Menurut Moh Amir Sutarga, gambaran perkembangan museum, dan Permuseuman (1997-1998) dapat dibuat ikhtisar singkatnya sebagai berikut.

  1. Museum sebagai tempat kumpulan barang aneh

  2. Museum pernah digunakan sebagai istilah kumpulan pengetahuan dalam bentuk karya tulis pada zaman ensiklopedis

  3. Museum sebagai tempat koleksi realia bagi lembaga atau perkumpulan-perkumpulan ilmiah

  4. Museum dan Istana setelah revolusi Perancis dibuka untuk umum dalam rangka demokratisasi ilmu dan kesenian

  5. Museum menjadi urusan yang perlu ditangani pembinaan, pengarahan dan pengembangannya oleh pemerintah sebagai sarana pelaksanaan kebijakan politik dibidang kebudayaan (Moh Amir Sutaarga, 1983: 17).

  Dalam sejarahnya, museum mengalami perubahan dalam arti fungsi museumnya. Dari fungsi awal sebagai gudang barang, tempat disimpan benda warisan budaya yang bernilai luhur meluas fungsinya pada pemeliharaan, pengawetan, penyajian atau permanen.

  Selanjutnya, fungsi museum diperluas lagi sampai pada fungsi pendidikan dalam rangka untuk kepentingan umum. Namun demikian, walaupun terjadi perubahan dan perluasan fungsi museum, tetapi hakekat pengertian museum itu tidak berubah. Ciri ilmiah dan kesenian serta bersenang-senang tetap menjiwai arti museum sampai saat ini.

  Para pengelola museum tentunya sadar bahwa salah satu fungsi museum adalah sebagai sumber pengetahuan, dan sumber belajar.

  Dalam upaya untuk meningkatkan fungsi tersebut, para pengelola khususnya kurator museum, perlu membayangkan diri sebagai seorang yang membutuhkan informasi sekitar koleksi museum tersebut. Hal- hal yang dibutuhkan dari informasi itu adalah : kelengkapannya, akurasinya serta kecepatannya dapat diperoleh. Ini semua membutuhkan sistem yang tangguh dan ketuntasan dalam pengelolaan informasi. Kualitas informasi itulah yang menentukan tingkat kepuasan dari “Klien” museum.

  Seorang peneliti akan sangat menghargai ketuntasan data dasar yang ada dibalik koleksi yang terpajang. Seorang wisatawan akan lebih mengandalkan data yang siap tersaji tidak saja pada label, pada skema, dan peta yang ikut dipajang, melainkan juga pada terbitan-terbitan khusus mulai dari kartu pos, kalender, slide, buklet, brosur, dan buku. Dalam hal ini daya tarik terbitan-terbitan itu perlu didongkrak oleh tampilan visual yang menarik, yang berlandaskan pada perencanaan tata rupa yang profesional. Disamping terbitan-terbitan tercetak tersebut dapat pula dikeluarkan terbitan-terbitan dalam media audio- visual.

  Museum dapat juga meningkatkan daya tariknya sebagai sumber pengetahuan melalui penyusunan program kegiatan pameran khusus, kegiatan-kegiatan tatap muka seperti festival, basar, dan kontes yang dapat dijadwalkan dan diumumkan sekurang-kurangnya setahun sebelumnya. Dengan adanya penjadwalan jauh sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan, maka dapat diharapkan rencana acara itu dapat tersampaikan lebih dahulu kepada para calon wisatawan. Akan lebih baik jika jadwal kegiatan pertahun itu dapat dikeluarkan dua kali dalam setahun, sehingga setiap kali ada overlap enam bulanan seperti estafet. Ini berarti bahwa perencana harus siap dengan rencana tahun depan (sekurang-kurangnya semester pertama) enam bulan sebelum tahun yang sekarang berakhir ( Museografia - Majalah Ilmu Permuseuman, 2000: 9).

c. Peranan

  Levinson dalam Soekanto (2009:213) mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara lain sebagai berikut.

  a. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, b. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, c. Peranan juga dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat, Kata peranan berasal dari kata peran yang berarti seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki oleh seseorang yang mempunyai kedudukan dimasyarakat. Peran seseorang tidak lah mungkin dilaksanakan dengan baik kalau tidak jelas kedudukan yang bersangkutan dalam suatu pola kehidupan tertentu. Setiap manusia yang menjadi warga masyarakat senantiasa mempunyai kedudukan tertentu dan berperan menurut kedudukannya. Kedudukan dan peran tidak mungkin dipisahkan karena peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan. Tidak ada peranan tanpa kedudukan dan tidak ada kedudukan tanpa peranan yang memberikan hak dan kewajiban kepada orang yang bersangkutan iakses pada tanggal 29 Maret 2014).

  Peranan (role) merupakan proses dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkaan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya ( Soekanto, 2009: 212- 213).

  Merton dalam Raho (2007:67) mengatakan bahwa peranan didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang diharapkan masyarakat dari orang yang menduduki status tertentu. Sejumlah peran disebut sebagai perangkat peran (role-set). Dengan demikian perangkat peran adalah kelengkapan dari hubungan-hubungan berdasarkan peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki status-status sosial khusus.

  Wirutomo (1981:99-101) mengemukakan pendapat David Berry bahwa dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Peranan didefinisikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang menempati kedudukan sosial tertentu. Peranan ditentukan oleh norma- norma dalam masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan masyarakat didalam pekerjaan kita, didalam keluarga, dan didalam peranan-peranan yang lain.

  Selanjutnya dikatakan bahwa didalam peranan terdapat dua macam harapan, yaitu : pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan kedua harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dan menjalankan peranannya atau kewajiban- kewajibannya. Dalam pandangan David Berry, peranan-peranan dapat dilihat sebagai bagian dari struktur masyarakat sehingga struktur masyarakat dapat dilihat sebagai pola-pola peranan yang saling berhubungan.

  Kesimpulan pengertian peranan adalah seperangkat tingkat yang dimiliki oleh seseorang yang mempunyai kedudukan dalam suatu masyarakat. Peranan seseorang tidak mungkin dilaksanakan dengan baik kalau orang yang bersangkutan tidak mempunyai kedudukan yang berkaitan dalam kehidupan masyarakat tertentu. Tidak ada peranan tanpa kedudukan dan tidak ada kedudukan tanpa peranan.

d. Kebudayaan

  Budaya adalah bentuk jamak dari kata budi dan daya yang berarti cinta, karsa, dan rasa. Kata budaya sebenarnya berasal dari bahasa Sansekerta budhayah yaitu bentuk jamak kata buddhi yang berarti budi atau akal (Setiadi, dkk, 2009: 27).

  Koentjaraningrat (1990:7) menyatakan bahwa kebudayaan sebagai berikut : Keseluruhan yang kompleks yang mengandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Ada tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal yang ada diseluruh bangsa yang ada didunia, yaitu sistem peralatan, perlengkapan hidup, sistem mata pencaharian, sistem masyarakat, pengetahuan, sistem religius, bahasa dan sansekerta.

  Berdasarkan definisi tersebut terdapat 3 macam unsur kebudayaan yaitu : (1) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya,

  (2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, (3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

  Wujud (1) bersifat abstrak yang terdapat dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Ide dan gagasan manusia banyak yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa terhadap masyarakat. Gagasan tersebut terwujud dalam adat istiadat. Wujud (2) dari kebudayaan disebut pula sebagai sistem sosial, mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial itu terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu sama lainnya. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat yang bersifat konkret (Koentjaraningrat, 1990:186). Wujud (3) dari sistem kebudayaan disebut sebagai kebudayaan fisik. Kebudayaan ini bersifat konkret karena berupa keseluruhan hasil dari aktivitas, perbuatan dan hasil karya manusia (Koentjaraningrat, 1990:187-188).

  Kebudayaan adalah sebuah konsep yang definisinya sangat beragam. Pada abad ke-19, istilah kebudayaan umumnya digunakan untuk seni rupa, sastra, filsafat, ilmu alam, dan musik yang menunjukan semakin besarnya kesadaran bahwa seni dan ilmu pengetahuan dibentuk oleh lingkungan sosialnya (Peter Burke, 2001 : 176-177).

  Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal (Hari Poerwanto, 2000 : 51). Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan: hal-hal yang bersangkutan dengan akal (Koentjaraningrat, 2000 : 9).karena itu mereka membedakan antara budaya dengan kebudayaan.

  Budaya adalah daya dari budi, yang berupa cipta, rasa dan karsa. Sedangkan kebudayaaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa. Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara formal, budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok (Dedy Mulyana, 2001:18). Dalam Antropologi Budaya, perbedaan itu ditiadakan. Kata budaya disini dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan dengan pengertian yang sama.

  Sisi lain mengemukakan bahwa kebudayaan = cultuur (bahasa Belanda)=culture (bahasa Inggris)=tsaqafah (bahasa Arab), berasal dari perkataan latin colere yang artinya mengolah, mengerjakan, menyuburkan, dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani (Joko Tri Prasetyo, 1998 : 28). Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. E.B. Taylor dalam sebuah bukunya yang berjudul Primitive Cultur yang dikutip oleh AAGN Ari Dwipayana mendefinisikan kebudayaan sebagai kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (2001:38). Betapapun goyahnya konsep tentang budaya (cultures, cultural forms) tidak ada kemungkinan lain baginya kecuali terus bertahan lestari (cliiord Geertz, 1999:67).

e. Pendidikan

  Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri. Jadi, banyak hal yang dibicarakan ketika kita membicarakan pendidikan. Aspek-aspek yang biasanya paling dipertimbangkan antara lain sebagai berikut.

  a. Penyadaran

  b. Pencerahan

  c. Pemberdayaan

  d. Perubahan perilaku Berbagai teori dan konsep pendidikan memberikan arti yang berbeda tentang konsep tersebut. Mereka mendiskusikan apa dan bagaimana tindakan yang paling efektif mengubah manusia agar terberdayakan, tercerahkan, tersadarkan, dan menjadikan manusia sebagaimana mestinya manusia. Pada titik yang terakhir, kita akan menemui berbagai macam pandangan filsafat tentang manusia.

  Karenanya, pendidikan berkaitan dengan bagaimana manusia dipandang. Dalam hal ini, pandangan ilmiah tentang manusia memiliki implikasi terhadap pendidikan. Ini merupakan wilayah studi antropologi pendidikan. Antropologi sendiri merupakan ilmu tentang asal usul, perkembangan, karakteristik jenis (spesies) manusia atau studi tentang manusia.

  Juga banyak aspek lain yang harus kita pahami untuk memahami makna pendidikan. Arti pendidikan itu sendiri juga menimbulkan berbagai macam pandangan, termasuk bagaimana pendidikan harus diselenggarakan dan metode seperti apa yang harus dipakai (Nurani Soyomukti, 2013: 27-28).

  Sebagai proses kehidupan, banyak filsuf dan pemikir mempertahankan pendidikan dalam maknanya yang luas dan menolak reduksi pendidikan kedalam arti sempit, seperti pelembagaan pendidikan melalui sekolah dan kelompok belajar yang terlalu menekankan pada metode dan pengadministrasian yang kaku. Mereka berusaha mengenang kembali pendidikan sebagai proses yang alamiah sekaligus bagian dari kehidupan yang tidak membutuhkan rekayasa. Konsep-konsep yang dilahirkan misalnya.

  1. Long-life Education Pendidikan seumur hidup bermakna bahwa pendidikan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Pendidikan adalah hidup.

  Pengalaman belajar dapat berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hayat. Pendidikan adalah segala sesuatu dalam kehidupan yang mempengaruhi pembentukan berpikir dan bertindak individu. Kurun waktu kehidupan yang panjang dan saling berkaitan dengan perubahan-perubahan cara berpikir masyarakat juga turut menjadi pembentuk seorang individu.

  Pendidikan merupakan proses tanpa akhir yang diupayakan oleh siapapun, terutama (sebagai tanggung jawab) negara. Sebagai sebuah upaya untuk meningkatkan kesadaran dan ilmu pengetahuan, pendidikan telah ada seiring dengan lahirnya peradaban manusia. Dalam hal inilah, letak pendidikan dalam masyarakat sebenarnya mengikuti perkembangan corak sejarah manusia. Tidak heran jika R.S Peters dalam bukunya The Philosophy of Education menandaskan bahwa pada hakikatnya pendidikan tidak mengenal akhir karena kualitas kehidupan manusia terus meningkat (Siti Murtiningsih, 2004:3).

  Perjalanan sejarah masyarakat telah mencatat perkembangan yang terus berubah yang akhirnya menciptakan lembaga pendidikan dalam hubungannya dalam struktur ekonomi, sosial, dan politik yang berkembang. Pada hubungan antara manusia yang belum dilandasi oleh klaim-klaim kepemilikan pribadi, pada zaman kuno, tidak ada lembaga pendidikan yang dibakukan. Proses peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi berjalan seiring dengan cara kerja manusia dalam memenuhi dan mengembangkan kebutuhan hidup, yaitu menghadapi alam.

  Proses dialektika dengan alam membuat manusia belajar, belajar, dan mendapatkan pengalaman dari apa yang dialami dalam berhubungan secara langsung dengan alam. Pengetahuan dan teknologi meningkat karena proses mengalami dan mengambil kesimpulan yang kemudian mewariskan pada generasi dan dikembangkan seiring dengan ditemukannya cara berproduksi yang baru.

  2. Pendidikan Alam Suatu pandangan bahwa alam kehidupan dengan ruang dan lingkungannya yang berisi berbagai macam benda-benda dan melahirkan pengalaman-pengalaman merupakan tempat pendidikan bagi tiap manusia. Pengalaman akan ruang dan waktu adalah pendidikan yang baik bagi semua orang. Bentuk kegiatan adalah apapun yang terentang mulai dari bentuk-bentuk yang misterius atau tidak disengaja hingga kegiatan-kegiatan yang terprogram. Jadi, pendidikan berlangsung dalam beraneka ragam bentuk, pola, dan lembaga. Pendidikan dapat terjadi sembarang, kapa dan dimana pun dalam hidup. Tujuan pendidikan terkandung dalam setiap pengalaman belajar dari alam dan lingkungan. Tujuan pendidikan adalah pertumbuhan diri, bersama-sama dengan tujuan hidup manusia.

  Pendidikan dalam makna yang luas sebagai proses umum manusia ini didukung oleh tokoh-tokoh romantik. Disebut aliran romantisme karena mereka sangat mengenang sejarah pendidikan lama yang berbarengan dengan alam. Mereka melihat pendidikan khusus yang direduksi dalam pelembagaan seperti sekolah pada abad modern ini justru mengasingkan manusia dari kehidupan.

  Kaum Humanis romantik seperti John Holt, William Glasser, Jonathan Kozol, Charles E. Silberman, Herbert Kohl, Neil Postman, Charles Weingartner, George Leonard, Carl Rogers, Ivan Illich, John Dewey. Cenderung mendefinisikan pendidikan dalam arti mahaluas dan mengecam praktik pendidikan disekolah yang mereka jumpai. Sekolah, menurut mereka justru mendehumanisasikan kemanusiaan. Mereka, misalnya, mengkritik pola hubungan antara guru dengan murid yang otoriter dan sekolah yang memasung perkembangan individualitas.

  Sekolah tidak mengembangkan kegiatan belajar ataupun mengajarkan keadilan, sebab para pendidik lebih menekankan pengajaran yang sudah dijadikan paket-paket bersama dengan sertifikat. Disekolah kegiatan belajar dan penentuan peran sosial dilebur jadi satu. Padahal, belajar berarti memperoleh keterampilan atau wawasan baru, sedangkan promosi peran atau jenjang sosial tergantung pada pendapat yang dibentuk oleh orang-orang lain.

  Belajar sering merupakan hasil dari pengajaran, tetapi seleksi untuk menduduki suatu peran atau jabatan dalam pasar kerja semakin tergantung pada sekedar lama tidaknya mengikuti pendidikan disekolah.

  Pengajaran adalah pemilihan situasi yang memudahkan kegiatan belajar. Peran-peran diberikan dengan meramu suatu daftar syarat yang harus dipenuhi oleh calon kalau dia mau lolos dan naik kelas. Sekolah mengaitkan pengajaran dan bukan belajar dengan peran-peran ini. Ini tidak masuk akal dan juga tidak membebaskan. Tidak masuk akal karena cara ini tidak mengaitkan kualitas atau kemampuan yang relevan dengan peran, melainkan hanya mengaitkan proses yang memungkinkan kualitas tersebut diperoleh dengan peran. Tidak membebaskan ataupun mendidik karena sekolah menyediakan pengajaran hanya bagi orang-orang yang telah melewati jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya yang sesuai dengan tolak ukur kontrol sosial yang disepakati.

  Kurikulum selalu digunakan untuk menentukan rangking sosial. Kadang-kadang malahan kedudukan seseorang telah ditentukan sebelum lahir, karena menempatkan anda pada suatu kasta tertentu dan silsilah menempatkan anda pada garis ningrat- aristokrat. Kurikulum bisa berbentuk sebuah penobatan ritual, sakral dan susul menyusul. Atau, kurikulum bisa terdiri dari rangkaian kemahiran berperang atau berburu, atau kenaikan pangkat lebih tinggi tergantung pada kebaikan hati raja pada zaman dulu. Kewajiban bersekolah yang bersifat universal dimaksudkan untuk melepaskan peran sosial dari riwayat hidup pribadi, ini dimaksudkan untuk memberi setiap orang kesempatan yang sama untuk jabatan manapun. Bahkan kini banyak orang secara keliru percaya bahwa sekolah menjamin bahwa kepercayaan publik tergantung pada prestasi belajar yang relevan. Akan tetapi, bukannya memberi kesempatan yang sama, sistem sekolah justru memonopoli distribusi kesempatan tersebut (Ivan Illich, 2008:15- 16).

  Lebih jauh, Ivan Illich berpendapat bahwa suatu sistem penddidikan yang baik harus mempunyai tiga tujuan, yaitu : a. Memberikan kesempatan pada semua orang agar bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat.

  b. Memungkinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka kepada orang lain dapat dengan mudah melakukannya, demikian pula bagi yang ingin mendapatkannya.

  c. Menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan dengan pendidikan.

  Tampaknya pendidikan justru dekat dengan hidup jika ide Ivan Illich terwujud dalam keseharian. Bayangkan jika ada masyarakat yang tiap hari, tanpa ada sekolah yang kaku dan formal, setiap orang yang pengetahuannya lebih matang bisa menjadi guru. Setiap orang dapat belajar saban waktu dan dimanapun tempatnya, membicarakan dunia kehidupannya, alam yang terjadi dengan kontradiksinya, dan masalah sosial yang tengah melandanya. Bayangkan akan ada banyak guru bagi anak- anak, dengan mendapatkan pengetahuan dan keteladanan ditempat manapun berada. Anak menghadapi kawan-kawan yang menantangnyauntuk bernalar, bersaing tanpa distandardisasi dengan rapor, bekerja sama, dan memperoleh pengertian bersama. Apabila anak beruntung, dia akan tampil untuk diperhadapkan dengan anak yang lebih tua yang berpengalaman dan mampu membimbing.

  Benda-benda, contoh-contoh, kawan-kawan sebaya, dan orang-orang yang lebih tua adalah empat macam sumber belajar, yang masing-masing memerlukan cara pengelolaan yang berbeda- beda, agar dapat menjamin setiap orang mempunyai keleluasaan untuk memanfaatkannya. Dengan demikian, sekolah manusia adalah alam.

  Dilihat dari maknanya yang sempit pendidikan identik dengan sekolah. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan disekolah sebagai lembaga tempat mendidik (mengajar). Pendidikan merupakan segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan remaja (usia sekolah) yang diserahkan kepadanya (sekolah) agar mempunyai kemampuan kognitif dan kesiapan mental yang sempurna dan berkesadaran maju yang berguna bagi mereka untuk terjun kemasyarakat, menjalin hubungan sosial, dan memikul tanggung jawab mereka sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.

  Jadi, cara pandang sempit ini membatasi proses pendidikan berdasarkan waktu atau masa pendidikan, lingkungan pendidikan, maupun bentuk kegiatan. Pendidikan berlangsung dalam waktu yang terbatas, yaitu masa anak dan remaja. Anak-anak yang tidak masuk sekolah dianggap menakutkan. Bahkan, orang tua takut terlambat menyekolahkan anaknya. Lingkungan pendidikan pun diciptakan secara khusus dengan standar dan syarat-syarat bagi penyelenggaraan pendidikan. Ada ruang kelas, ruang administrasi, ruang guru, tempat latihan olahraga dan seni, ada laboratorium untuk melakukan tes dan penelitian.

  Bentuk kegiatan mencerminkan isi pendidikan yang disusun secara terprogram dengan kurikulum. Kegiatan pendidikan berorientasi pada kegiatan guru sehingga tetaplah guru yang mempunyai peranan sentral. Kegiatannya terjadwal, waktu, dan tempatnya sudah ditentukan. Hal yang paling penting, tujuan pendidikan ditentukan oleh pihak luar dan ada pembatasan- pembatasan kemampuan.

  Cara pandang sempit terhadap pendidikan ini, menurut penulis, membawa dampak-dampak buruk sebagai berikut : a. Karena hampir semua orang menganggap pendidikan dipahami melalui lembaga sekolah, maka cara berpikir formalistik merasuk dalam pemikiran orang. Pada akhirnya para orangtua melihat pendidikan anaknya hanya dapat diandalkan dari sekolah. Mereka melihat disekolahlah tempat satu-satunya bagi anak-anaknya untuk memperoleh pengetahuan, pelatihan, dan pembentukan mental dan karakter. Hal jeleknya adalah orangtua tidak mau mendidik anaknya karena merasa anaknya sudah mendapatkan pendidikan disekolah dan tidak mempedulikan pendidikannya di luar sekolah b. Sekolah dijadikan satu-satunya lembaga yang sah bagi masyarakat sebagai jalan meningkatkan mobilitas sosial vertikalnya. Seakan sudah baku bahwa jika ingin mendapatkan pekerjaan harus masuk dan lulus sekolah terlebih dahulu.

  Syarat formalnya adalah mendapatkan ijazah. Jika tidak, maka hampir tidak ada pekerjaan yang bisa didapatkannya. Efeknya sangat buruk, yakni banyak orang memilih jalan pintas, yaitu tidak mau masuk sekolah, yang penting mendapatkan ijazah.

  Tidak heran jika banyak bisnis ijazah atau bisnis pendidikan tanpa melibatkan si terdidik dalam proses belajar mengajar. Tiba-tiba orang tersebut mendapatkan sertifikat dengan jalan membelinya dengan harga mahal. Gaya berpikir logika-formal berlawanan dengan pikiran esensial dan dialektis sering menyesatkan. Padahal formalitas bukanlah esensi. Oleh sebab itu, ijazah ataupun (keluaran) sekolah tidak menunjukan adanya mutu. Tidak jarang orang yang bersekolah dengan tingkatan tinggi, tetapi kecerdasannya rendah, mentalnya rusak, karakternya kerdil, pengecut, dan jiwanya koruptif. Sekolah justru akan melahirkan manusia-manusia dehuman yang akan merampok seluruh potensi kemanusiaan manusia yangg hidup dalam sebuah komunitas (negara-bangsa).

  c. Hal yang dominan kemudian adalah semaraknya komersialisasi sekolah atau jual beli pendidikan. Yang formal, simbolik, dan yang kosmetik biasanya merupakan hal yang mudah dijadikan alat untuk memanipulasi dan selebihnya adalah pertukaran (yang dalam iklim ekonomi kapitalis) akan menjadi hubungan komersial. Sekolah mahal artinya hanya orang-orang tertentu yang bisa memasukinya karena mereka bisa membayar dengan uang yang lebih besar. Diluar sekolah, namanya bukanlah pendidikan sehingga dianggap bukan tempat untuk belajar. Tempat ini diisi oleh anak-anak kaum tak berpunya. d. Luar sekolah atau alam dunia yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk proses pendidikan, malah dianggap sebagai tempat non-pendidikan. Dikarenakan bukan sebagai tempat pendidikan, akibatnya anak-anak yang tidak dapat masuk sekolah merasa frustasi. Oleh sebab itu, sebagian besar lari pada kegiatan-kegiatan negatif, seperti terjun dijalanan dengan mengemis dan mengamen, mengutuki nasib dirinya, ada yang lari pada Tuhan, atau memasuki alam pendidikan mistik dan religi fatalistik. Fatalisme, dan mistik adalah lahan penyemaian cara berpikir kuno yang membuat masyarakat harus tunduk pada sesuatu diluarnya dan mudah diatur. Ideologi kuno ini juga menghalangi masyarakat untuk melihat situasi secara objektif dan ilmiah. Dikarenakan pengalamannya tidak didapat dari mengolah pikiran kritis, tetapi langsung disalurkan dengan dunia atas langit dan dunia gaib (luar dunia nyata). Oleh sebab itu, yang lahir dari dunia itu biasanya anak- anak yang mudah diarahkan untuk kepentingan non-manusiawi dan tindakan tidak masuk akal. Lihatlah, tidak sedikit anak muda yang mempunyai pikiran bahwa kelompok lain diluar agamanya adalah salah dan kelompok yang harus dibasmi mereka dengan senjata bom dan pedang melakukan tindakan destruktif.

e. Inilah yang terjadi pada era sekarang ini. Logika formal “nyambung” dengan logika kapitalistik yang berbasis ekonomi budaya liberal-individualistik. Seharusnya siapapun bisa belajar, meskipun mereka tidak dapat masuk sekolah. Akan tetapi, mengapa mereka tidak melakukannya? Dikarenakan logika formal membuat hampir semua orang beranggapan bahwa belajar atau mencari pendidikan diluar sekolah itu tidak berkualitas. Sekolah itu tempat yang indah, bukan karena tempat belajar saja, melainkan juga didalamnya ada teman- teman, anak-anak muda yang merayakan eksistensi palsunya.

  Disekolahan tempatnya mencari gebetan atau pacar, tempatnya remaja putri pamer rambut yang baru saja di-rebounding, pamer mobil untuk menunjukan orangtuanya kaya dan pejabat tinggi, tempat cantik-cantikan, seksi-seksian, ganteng- gantengan (macho-machoan), tempat bagi godaan hidup anak muda disemai menjadi satu dimensi “gaul”, “keren”, dan itu menjadi bagian dari sekolah.

  f. Artinya, jika tidak bersekolah, kecil kemungkinan bagi anak muda agar dapat menikmati dunia remaja, yang disekolah sebenarnya lebih banyak mendapatkan pelajaran akademik yang menekan dan terstandarisasi, dan pada saat yang samajuga bisa saling berinteraksi untuk menonjolkan eksistensi dirinya yang telah didesain oleh budaya konsumen kapitalistik. Artinya lagi, diluar sekolah, kkegiatan belajar menjadi tidak menarik. Tidak bersekolah jelas karena miskin. Tetapi, siapakah yang akan menolong? Diluar sekolahpun tidak ada tempat belajar, terutama belajar yang terbimbing dan mendapatkan fasilitas. Celakanya, karena pendidikan oleh pemerintah dianggap sebagai sekolah, maka diluar sekolah jelas tidak adaa fasilitas.

  Pendidikan Luar Sekolah (PLS) sendiri yang seharusnya dipenuhi justru tidak menghasilkan kegiatan apa-apa.

  Pendidikan dalam arti sempit yang mereduksi proses pendidikan menjadi pengajaran ini jelas merupakan manifestasi dari proses ideologisasi kelas, terutama kelas dominan yang merupakan penguasa sumber daya ekonomi dalam masyarakat.