BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Mega Septiana Putri BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelainan genetik pada hematologi yang tersering adalah Thalasemia. Thalasemia merupakan penyakit konginetal herediter yang

  diturunkan secara autosomal berdasarkan kelainan hemoglobin (Hb), dimana satu atau dua rantai Hb kurang atau tidak terbentuk secara sempurna sehingga terjadi anemia hemolitik. Kelainan hemolitik ini mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah didalam pembuluh darah sehingga umur eritrosit menjadi pendek (Ganie, 2005; Mandleco & Pott, 2007).

  Thalasemia merupakan suatu gangguan darah yang diturunkan dan ditandai oleh defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin. Secara molekuler Thalasemia dibedakan atas Thalasemia alfa dan beta, sedangkan secara klinis dibedakan atas Thalasemia mayor dan minor. Thalasemia merupakan penyakit yang diturunkan kepada anaknya. Anak yang mewarisi gen Thalasemia dari satu orangtua dan gen normal dari orangtua yang lain adalah seorang pembawa (carriers). Anak yang mewarisi gen Thalasemia dari kedua orangtuanya akan menderita Thalasemia sedang sampai berat (Munce & Campbell, 2009). Menurut Nelson (2000) Thalasemia adalah sekelompok heterogen anemia hipokromik penyakit herediter dengan berbagai derajat keparahan.

  1 Penyakit Thalasemia dapat ditemukan terutama di kawasan Mediterania, Afrika dan Asia Tenggara dengan frekwensi sebagai pembawa gen sekitar 5

  • –30% (Martin, Foote & Carson, 2004). Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2006, sekitar 7 % penduduk dunia diduga carrier Thalasemia dan sekitar 300 ribu
  • – 500 ribu bayi lahir dengan kelainan ini setiap tahunnya. Penderita Thalasemia tertinggi ada di negara-negara tropis, namun dengan tinggi angka migrasi penyakit ini juga ditemukan diseluruh dunia. Di Indonesia Prevalensi carrier Thalasemia mencapai sekita
  • –8%, saat ini kasus Thalasemia di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 8,3% dari 3653 kasus yang tercatat di tahun 2006 (Wahyuni, 2008).

  Penyakit Thalasemia saat ini mengalami peningkatan yang sangat besar karena adanya pernikahan antara pembawa sifat yang tidak diketahui dari awal. Thalasemia perlu mendapat perhatian, karena jumlah penderitanya di Indonesia yang terus meningkat setiap tahunnya. diperkirakan jumlah pembawa sifat Thalasemia di Indonesia sekitar 5-6 % dari jumlah populasi. Data yang diperoleh dari Perhimpunan Yayasan Thalasemia Indonesia menunjukkan bahwa hingga Juni 2008, di RSCM telah merawat 1.433 pasien. Sejak 2006 sampai 2008 rata-rata pasien baru Thalasemia meningkat sekitar 8%, dan diperkirakan banyak kasus yang tidak terdeteksi, sehingga penyakit ini telah menjadi penyakit yang membutuhkan penanganan yang serius (Yayasan Thalasemia Indonesia, 2009).

  Penyakit Thalasemia mayor merupakan beban yang sangat berat karena menderita anemia berat dengan kadar Hb di bawah 6-7 gr%.

  Penderita Thalasemia harus mendapatkan tranfusi darah seumur hidup untuk mengatasi anemia mempertahankan kadar haemoglobin 9-10 gr%.Pemberian transfusi darah yang berulang-ulang dapat menimbulkan komplikasi hemosiderosis dan hemokromatosis, yaitu menimbulkan penimbunan zat besi dalam jaringan tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan organ-organ tubuh seperti hati, limpa, ginjal, jantung, tulang, dan pankreas. Tanpa transfusi yang memadai penderita Thalasemia mayor akan meninggal pada dekade kedua (Weatherall & Clegg, 2001 dalam Ganies, 2005).

  Penatalaksanaan pasien Thalasemia ditujukan untuk meningkatkan kemampuan secara fisik dan psikologis. Terapi bertujuan meningkatkan kemampuan mendekati perkembangan normal serta meminimalkan infeksi dan komplikasi sebagai dampak sistematik penyakit (Bowden, Dicky & Green, 1998; Hockenberry & Wilson, 2007; James & Ashwill, 2007). Pengobatan seumur hidup diperlukan untuk pasien Thalasemia. Program terapi harus dilakukan antara lain adalah transfusi darah, iron chelation terapi, kemungkinan spelenektomi, pengaturan diet yang membantu pembentukan sel darah merah (asam folat) dan diet yang mempengaruhi resiko penimbunan zat besi atau konsumsi Vitamin C (Bakta, 2003; Hockenberry & Wilson, 2009).

  Keberhasilan penanganan Thalasemia terletak pada keberhasilan mengatasi dampak anemia. Tanpa penatalaksanaan yang baik, penderita Thalasemia sulit mencapai usia diatas 20 tahun, 71% pasien meninggal karena gagal jantung kongesti sebagai dampak kerusakan organ karena akumulasi zat besi (Davis & Potter, 2000 dalam Lee, lin & Tsai, 2008; Wahyuni, 2009). Keberhasilan penanganganan Thalasemia juga dipengaruhi oleh bagaimana peran dari keluarga dalam mengetahui apa itu Thalasemia dan bagaimana merawat anak dengan Thalasemia. Pengetahuan dan persepsi merupakan salah satu faktor yang menstimulasi atau merangsang terhadap terwujudnya sebuah perilaku kesehatan.

  Apabila keluarga mengetahui dan memahami apa itu Thalasemia dan bagaimana perawatannya serta memiliki persepsi dan strategi koping yang baikmaka akan mempunyai perilaku kesehatan yang baik dengan harapan dapat memberikan perawatan yang terbaik bagi anak Thalasemia.

  Menurut hasil penelitian Humris (2009) yang menyatakan persepsi orangtua mengenai penyakit Thalasemia mereka menganggap penyakit Thalasemia adalah penyakit yang bisa disembuhkan dan anak Thalasemia mampu beraktivitas layaknya anak sehat lainnya. Persepsi ibu mengenai kemampuan anak berhubungan secara negatif dengan gangguan jiwa pada anaknya, dan persepsi orang tua mengenai Thalasemia sangat berpengaruh pada pendapatan keluarga dan umur anak. Persepsi dapat diartikan sebagai proses diterimanya rangsang melalui pancaindra yang didahului oleh perhatian sehingga individu mampu mengetahui, mengartikan, dan menghayati tentang hal yang diamati, baik yang ada diluar maupun dalam diri individu (Sunaryo, 2004). Persepsi merupakan suatu hasil dari pengalaman seseorang terhadap objek, peristiwa atau keadaan. Oleh karena itu, setiap individu akan memiliki persepsi dalam menghadapi masalah anak dengan Thalasemia.

  Indriati (2010) selama menjalani perawatan, umumnya anak selalu didampingi oleh orangtuanya, dan yang tersering adalah ibu. Hasil penelitian Atkin & Ahmad, 2000 dalam Indianti, 2010 menyatakan bahwa, bagaimanapun ibu adalah orang yang selalu bertanggungjawab dalam perawatan sehari-hari anaknya. Selama masa tersebut, ibu dituntut agar dapat menjalankan perannya sebagai perawat utama bagi anaknya.

  Ibu diharapkan dapat memberikan dukungan kepada anak secara fisik, psikologis, moral dan material.

  Berdasarkan hasil penelitian Khairina (2013) bahwa dari 7 responden yang berpendidikan tinggi ternyata mayoritas berpengetahuan tinggi yaitu sebanyak 57,1%, dari 20 responden yang memiliki tingkat pendidikan menengah ternyata mayoritas berpengetahuan rendah tentang Thalasemia pada anak yaitu sebanyak 100%, dan dari 8 responden yang memiliki tingkat pendidikan dasar ternyata mayoritas berpengetahuan rendah yaitu sebanyak 100%. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Berdasarkan Hasil penelitian Fadhillah (2012) dengan judul “Gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit Thalasemia pada balita 2- 5 tahun” dari 70 responden sebagian besar pengetahuan ibu tentang penyakit Thalasemia berada pada kategori baik yaitu sebanyak 39 orang (55,8%), dari 70 responden sebagian besar ibu mengetahui tentang pencegahan sebanyak 35 orang (50%), dari 70 responden sebagian besar ibu mengetahui tentang penanganan sebanyak 34 orang (48,6%). Notoatmodjo (2005) menyatakan bahwa tingkat pendidikan merupakan landasan seseorang dalam berbuat sesuatu.

  Pendidikan responden yang mayoritas tinggi dapat mempengaruhi pengetahuan dalam pembentukan sikap dan koping mereka tentang tindakan pengobatan.

  Strategi koping merupakan suatu usaha atau upaya tingkah laku seseorang untuk menguasai, mengurangi, dan menoleransi tuntutan atau masalah yang sedang dihadapi. Rachmaniah (2012) mengatakan dalam penelitiannya, kondisi anggota keluarga yang membutuhkan pengobatan dan perawatan yang lama, dapat menjadi pemicu timbulnya masalah dalam keluarga yang akan menjadi sumber stresor dalam keluarga. Upaya yang dapat dilakukan keluarga untuk dapat beradaptasi terhadap stresor tergantung bagaimana koping yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Studi kualitatif pada 25 keluarga yang mempunyai anak dengan Thalasemia, menunjukan bahwa semua orangtua mengalami kecemasan dalam merawat anak dengan Thalasemia, namun mereka menerima keadaan tersebut dan mereka harus mengatasi masalah tersebut demi anak-anak mereka (Atkin & ahmad, 2000).

  Data survai pendahuluan di RSUD dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga yang dilakukan pada bulan November 2014 tercatat ada 29 pasien Thalasemia. Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada 7 ibu yang memiliki anak dengan Thalasemia di RSUD dr. R. Goetheng Taroenadibrata Purbalingga, 5 diantaranya memiliki pengetahuan yang kurang terhadap Thalasemia terbukti dengan, ibu yang memiliki anak Thalasemia hanya memperoleh pengetahuan dari satu sumber yaitu dari Dokter, tetapi tidak mampu menjelaskan kembali tentang apa itu Thalasemia secara benar, bagaimana penanganan, dan bagaimana cara pencegahan Thalasemia. Dan memiliki strategi koping yang maladaptif, dibuktikan dengan ibu merasa jenuh dan terbenani dengan kondisi anak Thalasemia yang harus berobat sebulan sekali, dan menyebabkan masalah- masalah lain dalam keluarga. Tetapi memiliki persepsi yang cukup realistik, ibu memandang anak Thalasemia sama dan mampu melakukan aktivitas seperti anak sehat lainnya.

  Dari latar belakang yang penulis uraikan, penulis mempunyai keinginan untuk melakukan penelitian tentang bagaimana hubungan pengetahuan dan persepsi ibu terhadap strategi koping ibu pada anak Thalasemia yang menjalani tranfusi.

B. Rumusan masalah

  Thalasemia adalah kelainan herediter dari sintesisis hemoglobin akibat dari gangguan produksi rantai globin. Prevalensi penyakit ini baik di dunia maupun di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena banyak pihak yang belum memahami apa itu Thalasemia. Hal ini cenderung mempengaruhi persepsi dan bagaimana koping dari orang tua khususnya ibu dari anak yang terdiagnosa Thalasemia.

  Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah penelitian ini “ Adakah hubungan pengetahuan dan persepsi ibu terhadap strategi koping pada anak Thalasemia yang menjalani tranfusi ?”.

C. Tujuan Penelitian

  1. Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan persepsi ibu terhadap strategi koping ibu pada anak Thalasemia yang menjalani transfusi.

  2. Tujuan Khusus

  a. Mengetahui karakteristik responden berdasarkan usia, pendidikan, pekerjaan, dan jumlah anak.

  b. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan strategi koping ibu pada anak Thalasemia yang menjalani transfusi.

  c. Mengetahui hubungan persepsi ibu dengan strategi koping ibu pada anak Thalasemia yang menjalani transfusi.

D. Manfaat Peneliti 1. Bagi Rumah Sakit

  Bagi rumah sakit dengan adanya penelitian ini bisa sebagai masukan untuk peningkatan pelayanan terhadap pasien khususnya pasien Thalasemia.

  2. Bagi Instansi Pendidikan

  Bagi instansi pendidikan, penelitian ini bermanfaat memberikan informasi dan pengalaman serta memberikan pengetahuan lebih tentang bagaimana strategi koping ibu pada anak Thalasemia yang menjalani transfusi.

  3. Bagi Peneliti

  Diharapkan penelitian ini dapat menjadi pembanding untuk penelitian selanjutnya khususnya pendalaman pengetahuan dan persepsi ibu terhadap strategi koping ibu pada anak Thalasemia yang menjalani transfusi.

  4. Bagi Ilmu Keperawatan

  Penelitian ini bermanfaat memberikan informasi dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada pasien Thalasemia.

5. Penelitian Terkait a.

  Ganis Indiati (2011) meneliti tentang “Pengalaman ibu dalam merawat anak dengan Thalasemia di Jakarta”. Peneliti ini bertujuan untuk mengekspolarasi pengalam ibu dalam merawat anak dengan Thalasemia. Penelitian kualitatif dengan metode fenomenologi deskriptif. Jumlah sampel dalam penelitian ini melibatkan 7 orang partisipan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah responden yang sama yaitu ibu yang anaknya mengalami Thalasemia. Perbedaan penelitian ini adalah pada disain penelitian dan metode penelitian.

  b.

  Khairina (2013) meneliti tentang “Gambaran pendidikan dan informasi terhadap pengetahuan orang tua tentang penyakit Thalasemia pada Anak di RSUD dr.Zainoel Abidin Centra Thalasemia Banda Aceh”. Peneliti ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pendidikan dan informasi terhadap pengetahuan orang tua tentang penyakit Thalasemia pada anak. Metode penelitian bersifat deskriptif dengan pendekatan Cross Sectional, populasi adalah orang tua yang anaknya mengalami Thalasemia, dengan sampel sebanyak 35 orang. Hasil penelitian ini adalah semakain tinggi pendidikan orang tua maka pengetahuan yang dimiliki tentang penyakit Thalasemia pada anak semakin tinggi, dan semakin rendah pendidikan orang tua maka pengetahuan yang dimilikinya tentang penyakit Thalasemia pada anak rendah. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah memiliki responden yang sama yaitu ibu yang anaknya mengalami Thalasemia dan menggunakan metode penelitian yang sama. Perbedaan penelitian adalah variabel terikat dan variabel bebas.

  c.

  Rachmaniah (2012) meneliti tentang “Pengaruh psikoedukasi terhadap kecemasan dan koping dalam merawat anak dengan Thalasemia Mayor. Peneliti ini bertujuan mengetahui pengaruh psikoedukasi terhadap kecemasan dan koping orang tua dalam merawat anak dengan Thalasemia mayor. Desain penelitiannya adalah quasi eksperimen pre-test and post-test without control.

  Sampel penelitian berjumlah 47 orangtua yang mempunyai anak dengan Thalasemia mayor yang didiagnosa kurang dari satu tahun.

  Hasil penelitian menunjukan terdapat pengaruh psikoedukasi terhadap kecemasan dan koping orang tua, juga terdapat pengaruh pekerjaan terhadap kecemasan orangtua, Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah memiliki responden yang sama yaitu ibu yang anaknya mengalami Thalasemia. Perbedaan penelitian adalah pada disain penelitian dan metode penelitian.

  d. Priyadi (2010 ) meneliti tentang “Dampak dukungan keluarga terhadap perkembangan anak usia 2-6 tahun de ngan Thalasemia”.

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dukungan keluarga terhadap perkembangan anak dengan Thalasemia. Desain penelitiannya menggunakan cross sectional dalam analisis datanya dengan memakai uji chi square, teknik sampling pada penelitian ini menggunakan metode total sampling, dengan sampel berjumlah 30 responden yang berusia 2-6 tahun yang menderita Thalasemia.

  Persamaan penelitian ini adalah pada desain penelitiannya. Perbedaan penelitian ini adalah pada adalah pada respondennya.

  e. Kusuma (2009) meneliti tentang “Pengaruh dukungan keluarga terhadap konsen diri anak dengan Thalasemia”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dukungan keluarga terhadap kondep diri anak dengan Thalasemia. Desain penelitiannya menggunakan cross sectional dengan menggunakan uji chi square, teknik sampling pada penelitian ini menggunakan metode total sampling, dengan sampel berjumlah 32 responden yang berusia 6- 12 tahun. Persamaan penelitian ini adalah pada desain penelitiannya. Perbedaan penelitian ini adalah pada adalah pada respondennya.