Politik Pangan Menghadapi Tantangan Krisis Energi dan
ARTIKEL
Politik Pangan Menghadapi Tantangan Krisis Energi dan
Finansial Global
Oleh:
Noer Soetrisno
RINGKASAN
Tulisan ini mencoba memberikan ulasan posisi ketahanan pangan Indonesia serta
memahami problema mendasar persoalan pangan dan instrumen kebijakan pangan
yang ada terutama politik produksi dan stabilisasi harga. Kemudian memberikan gambaran
akan fenomena perubahan lingkungan intemasional di bidang perdagangan dan investasi
terkait dengan semakin berhimpitnya pasar komoditi pangan-energi-pasar finansial.
Selanjutnya dicari arah bagaimana seharusnya Indonesia menanggapi perubahan
tersebut dengan merumuskan politik pertanian untuk ketahanan pangan yang beriandaskan
pada politik pendapatan dan kesejahteraan petani, bukan politik komoditas, serta
menjadikan gizi dan kesehatan penduduk menjadi arah politik intervensi pangan. Orientasi
stabilisasi harus dikembalikan pada orientasi ketahanan pangan rumah tangga, didukung
fungsi penyangga (iron stock) pemerintah, dan status gizi masyarakat.
I.
PENDAHULUAN
O ebagai negara agraris Indonesia memang
^ tumbuh dan berkembang dari tumbuhkembang sektor pertanian. Pertanian tidak
pernah bisa dilepaskan dari masalah pangan,
karena tugas utama pertanian adalah untuk
menyediakan pangan bagi penduduk suatu
negara. Sejak Indonesia merdeka sampai saat
ini, gravitas politik pangan Indonesia selalu
berat menuju politik beras. Persoalan ini pada
awalnya adalah sangat beralasan karena beras
pernah menempati sepertiga belanja rumah
tangga buruh di Jakarta pada akhir tahun
limapuluhan (Indek Biaya Hidup disingkat IBH
Jakarta), dan menempati hampir seperlima
PDB Indonesia pada akhir tahun 1960-an.
Pada pertengahan 1990-an bangsa
Indonesia sebenamya telah menyiapkan sikap
antisipatif ke depan, karena keharusan sebagai
konsekuensi sikap politik yang diambil untuk
menjadi pelopor keterbukaan ekonomi negara
berkembang dengan menjadikan APEC Bogor
(1994) melahirkan cetak biru liberalisasi
perdagangan di kawasan Asia Pasifik.
Edisi No. 56/XVIIl/Oktober-Desember'2009
Persiapan ini ditanggapi dengan sikap yang
serupa di bidang pertanian dengan lahirnya
UU No.12 tahun 1992 tentang Budidaya
Tanaman yang menempatkan kebebasan
petani dalam pilihan tanaman yang diusahakan.
Di bidang Pangan, UU No. 7 tahun 1996 yang
merupakan UU Pangan pertama sejak
Indonesia merdeka dalam konsiderannya juga
menempatkan pangan sebagai komoditas
dagang, di samping pemenuhan kebutuhan
dasar dan merupakan hak asasi manusia.
Indonesia pernah dilanda krisis pada tahun
1997-1998 yang bersamaan dengan kegagalan
produksi pangan, sehingga melahirkan
berbagai keadaan rawan pangan bahkan
kurang gizi yang berat. Harga pangan yang
melonjak, tetapi lebih diwarnai oleh krisis nilai
tukar, ketimbang kegoncangan penawaran
pasar dunia. Pelajaran yang menarik adalah
kemiskinan yang parah dan meluas pada saat
itu menjadi kunci utama rawan pangan, namun
sifatnya sangat transitory (World Bank 2003).
Krisis sendiri terjadi pada saat ketersediaan
pangan Indonesia, telah melewati satu
PANGAN
3
dasawarsa namun kebanyakan orang
Indonesia urusan pangan belum selesai.
Pada
awal
tahun
2008
ini
kita
digoncangkan oleh naiknya harga minyak bumi
yang melampaui batas US $100,-/barel yang
mendorong ekspansi besar-besaran produksi
bio energi. Hal ini telah menimbulkan ketakutan
akan semakin sulitnya pemenuhan kebutuhan
pangan, karena adanya persaingan
penggunaan biji-bijian untuk energi. Hal yang
cukup menarik dari perkembangan terakhir ini
adalah justru kenaikan harga beras dan gula
pasir di pasar dunia sementara di di dalam
II.
POSISI
KETAHANAN
INDONESIA:
SEPULUH
PANGAN
TAHUN
PASCA KRISIS
Ketahanan Pangan dalam perspektif
Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang
Pangan, mempunyai beberapa dimensi penting
yakni, Ketersediaan, Mutu dan Keamanan
Pangan dan pada ujungnya adalah Akses
terhadap pangan sehingga setiap rumah
tangga terjamin. Perjalanan selama sepuluh
tahun terakhir ini, kerangka cara pandang
terhadap ketahanan pangan sudah ada
landasan baku UU Pangan. Di samping itu
perjalanan satu dasawarsa ini adalah Indonesia
negeri kenaikannya normal saja sekalipun
mempunyai kandungan politik tinggi di negeri
kita. Di sisi lain harga bahan pangan penghasil
lemak dan protein menjadi sangat bergejolak.
Hingga saat ini belum ada yang berani
terkena krisis. Dasawarsa ini juga menandai
Indonesia yang sudah pernah merasa bebas
dari kungkungan kegagalan memenuhi
menjamin bahwa krisis finansial global telah
berakhir dan krisis energi tidak akan muncul
swasembada beras pada tahun 1984 dan
yang terkena krisis dan kemudian kembali
kebutuhan beras penduduk dengan
lagi, bahkan kedua faktor tersebut menjadi
bagian dari resiko yang setiap saat dapat
kesulitan untuk mempertahankan dalam arti
muncul kembali.
operasionalnya. Tercatat sampai dengan
menjelang krisis Indonesia juga pernah
mengimpor kembali kebutuhan beras
(Pemerintah), setelah setahun sebelumnya
mengekspor karena stok berlimpah.
Masuknya industri agro ke dalam pasar
modal selain memperkuat perdagangan
internasional hasil pertanian juga menjadikan
pertanian semakin terkait dengan sistem
keuangan global. Komoditi pertanian dan agro-
prestasi fisik, konsepsi swasembada dan teknis
industri telah menjadi bagian dari komoditas
Salah satu indikator penting untuk melihat
kondisi ketahanan pangan suatu negara secara
yang menjadi altematif portofolio perdagangan
agregat adalah melalui angka rata-rata
saham dan mata uang. Fenomena ini
menjadikan kita perlu untuk melihat secara
ketersediaan pangan. Mengingat keragaman
pangan adalah merupakan bagian penting dari
jernih problematika pangan kita secara
mutu pangan serta keragaman budaya dan
menyeluruh.
status sosial ekonomi rumah tanggga atau
masyarakat, maka terjadi keanekaan pula
Dalam makalah ini akan dikupas beberapa
dalam konsumsi bahan makanan. Oleh karena
aspek untuk menuntun arah Politik Pangan
Indonesia yang semakin kompleks, posisi
ketahanan pangan Indonesia setelah sepuluh
tahun menghadapi krisis multi dimensi.
itu angka ketersediaan biasanya dinyatakan
dalam bentuk ketersediaan kalori, protein,
Kemudian akan dilihat kecenderungan pasar
dan realitas dualisme pasar bahan pangan
dan kupasan tentang fenomena meningkatnya
ketergantungan global pangan, energi dan
keuangan yang memerlukan cara pandang
yang lebih luas. Dari kupasan tersebut
dan protein. Angka ketersediaan yang dianggap
memenuhi kecukupan bagi kehidupan yang
sehat ditetapkan oleh Widyakarya Pangan dan
Gizi yang terakhir (VIM) dilaksanakan pada
diharapkan akan memberikan landasan untuk
menyusun pokok-pokok arah baru Politik
Pangan Indonesia.
PANGAN
4
lemak dan unsur lain. Namun dalam analisis
ini hanya akan dilihat dari ketersediaan kalori
tahun 2004. Untuk ketersediaan kalori
ditetapkan angka kecukupan sebesar 2.000
kalori/kapita/hari pada tingkat konsumsi atau
2.200kal/kapita/hari pada tingkat ketersediaan.
Sementara untuk protein ditetapkan sebesar
Edisi No. 56/XVIII/Oktobcr-Desember/2009
55 gram/kapita. Angka ketersediaan rata-rata
untuk berbagai sumber karbohidrat, protein,
lemak
dan
vitamin
dan
mineral
tetapi akan terfokus pada faktor akses dan
emergensi (kedaruratan).
90-an ketersediaan kalori sangat tinggi karena
tingginya tingkat konsumsi beras, meskipun
Kecukupan penyediaan kalori pada sekitar
3.000 kal/kapita/hari yang lebih rendah
dibanding periode 1985-1995 yang mencapai
antara 3.100-3.200 kal/kapita/hari sangat boleh
jadi dipengaruhi oleh semakin tingginya
konsumsi protein dan lemak, sehingga terjadi
perbaikan mutu makanan penduduk yang telah
mampu mencapai kecukupan pangan. Karena
dalam pandangan kecukupan gizi, komposisi
protein terutama hewani masih belum cukup
konsumsi bahan makanan yang sesuai dengan
ketika itu. Gambaran pada periode 2005-2007
Pola Pangan Harapan (PPH) atau standard
mutu yang baik akan mengoptimalkan
penyediaan bahan pangan. Dengan demikian
konsumsi komoditas bahan pangan dapat
menggambarkan bahwa pada tingkat nasional
maupun daerah dalam kecukupan.
Dilihat dari angka ketersediaan kalori ratarata sebenarnya tingkat kecukupan pangan di
Indonesia masih cukup bagus. Pada
dasawarsa 80-an sampai dengan pertengahan
menunjukkan perkembangan yang bagus di
mana angka ketersediaan kalori masih cukup
bagus dengan ketersediaan protein hewani
yang cukup baik nabati maupun hewani (Tabel
1). Angka tersebut pada dasarnya memberikan
pelajaran baru, bahwa kondisi rawan pangan
dalam arti kurang gizi (kalori maupun protein)
muncul karena faktor fundamental dari "food
insecurity" yaitu kemiskinan (akses) bukan
faktor kekurangan pangan.
dijaga pada tingkat yang lebih rendah tetapi
mencapai kecukupan pangan dengan mutu
gizi yang baik bagi cara hidup yang sehat.
Pelajaran berharga selama sepuluh tahun
terakhir Indonesia dalam menangani masalah
kemiskinan juga menonjolkan pentingnya
pengurangan beban biaya hidup. Salah satu
Tabel 1. Angka Ketersediaan Rata-Rata/Kapita Untuk Kalori Dan Protein Serta Persentase
Penduduk Miskin Periode 1995-2007
Kalori
Protein (Gram/Kapita)
Tahun
(Gram)
Total
1995-97
3063
2913
69,48
64,22
10,72
9,98
3077
2934
75,96
11.99
77,59
13,09
1998-99
2000-04
2005 07
Hewani
Penduduk Miskin*
13,63%
19,41 %
17,97%
16,00 %
Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 1999, 2004 dan 2008.
* Angka kemiskinan untuk Kota dan Desa, untuk 1995-97 digunakan angka
tahun 1996, tahun 1998-99 digunakan angka 1999 dan 2005-07 digunakan
angka 2006-2007.
Gambaran naik turunnya persentase
instrumen pentingnya adalah penyediaan beras
penduduk miskin mendukung pandangan itu.
Kesimpulan semacam ini juga telah
mengemuka dalam Widyakarya Pangan dan
Gizi ke VII pada tahun 1997, bahwa tantangan
ketahanan pangan penduduk Indonesia ke
depan (pasca 1997) adalah faktor kemiskinan
dan isolasi serta gangguan bencana. Secara
keseluruhan faktor yang harus diperhatikan
bukan lagi faktor produksi dan ketersediaan,
bersubsidi bagi penduduk miskin, di samping
penyediaan pengobatan dan pendidikan gratis
serta berbagai subsidi lainnya. Raskin sebagai
bagian dari mengatasi rawan pangan bagi
penduduk miskin mempunyai tingkat effektifitas
yang tinggi. Raskin sebagai bagian dari
kebijakan mengatasi kurang gizi di masa krisis
tahun 1998 memang dirancang sebagai
kebijakan penyediaan pangan terarah pada
Edisi No. 56/XVII!.'Oktober-Desember/2009
PANGAN
5
rumah tangga rawan pangan. Memang pada
awalnya dirancang hanya mengatasi semasa
krisis dan situasi kegagalan pencapaian target
peningkatan produksi beras secara beruntun
terjadi pada tahun 1997 dan 1998, dalam masa
2-3 tahun sampai tahun 2000.
Penyediaan Raskin sebagai model awal
pelaksanaan foodstamp bila infrastruktur
administratif telah siap memang dapat
dibenarkan. Masalah mendasar yang
melemahkan politik Raskin adalah target tetap
yang digunakan dan jangka lama adalah tidak
mendidik dan menimbulkan ketergantungan.
Kritik lain adalah kenyataan bahwa politik
penyediaan Raskin adalah bagian dari strategi
menjaga kelangsungan aktivitas lembaga
pangan. Dengan format yang baru azas dan
strategi sudah selayaknya menyesuaikan,
karena lembaga ini bukan menjadi faktor kunci
ketahanan pangan, tetapi faktor penyangga.
Sehingga cara pandang yang dikembangkan
seharusnya kompatibel dengan tuntutan itu.
Secara keseluruhan persoalan ketahanan
pangan telah melewati masa krisis dan
memasuki periode pemulihan kembali pada
sebelum krisis. Sejak 2004 menunjukkan
bahwa secara makro dan agregat Indonesia
memiliki ketahanan pangan yang bagus
dengan susunan yang semakin baik dari segi
penyediaan kalori, protein dan sumber lainya.
Pada sisi lain isu rawan pangan semakin
mengarah pada faktor akses yang terhalang,
karena mereka tidak memiliki daya beli. Isu ini
memang bukan isu penyediaan saja apalagi
stok, tetapi adalah masalah ketahanan pangan
pada tingkat rumah tangga.
Dari kacamata ketersediaan memang
belum cukup kuat bukti kestabilan laju
peningkatan produksi, selain faktor kesesuaian
dan kecukupan, faktor iklim sebagaimana
perkembangan pergerakan produksi selama
beberapa dasawarsa. Masa sepuluh tahun
terakhir lebih diwarnai oleh keluhan terhadap
pengaruh pelaksanaan otonomi daerah dan
kesungguhan daerah dalam pengerahan
pengamanan produksi. Di bidang beras
seharusnya secara politik kita sudah dapat
mengambil kebijakan yang lebih maju, karena
PANGAN
6
RPJM Pemerintahan SBY-JK 2004-2009
seperti tertuang dalam Perpres No. 7/2005,
menetapkan bahwa tingkat kemandirian
pangan untuk beras cukup pada angka 90%.
Namun dalam praktek politikanggaran maupun
pemyataan resmi soal beras tetap saja tidak
merasa yakin (percaya diri) kalau tidak
mengklaim swasembada beras.
Perjalanan selama sepuluh tahun ini juga
menunjukkan impor beras tetap merupakan
unsur penting pemeliharaan ketersediaan
pangan di saat (negara) mengalami gangguan
ketersediaan. Tetapi sampai saat ini polemik
angka kekurangan produksi beras selalu
muncul ketika impor terjadi, sehingga impor
lebih merupakan refleksi kekurangan stok
pemerintah ketimbang refleksi keadaan
kekurangan ketersediaan pangan di
masyarakat. Paling tidak isu ini tidak pernah
dikupas secara tuntas dengan jawaban yang
memuaskan. Sehingga impor tidak selalu
menjadi isu pasar domestik tetapi isu
kecukupan stok pemerintah, baik untuk
keperluan penyangga {iron) maupun komitmen
anggaran (Raskin) tetapi usulannya selalu
menggunakan argumentasi penjagaan pasar.
Dengan berkembangnya media yang
meliput isu kerawanan pangan, corak isu yang
muncul memang menjadi sangat menyebar.
Isu yang berkaitan faktor fundamental terekpos
sangat terbuka. Sementara fungsi untuk dapat
membantu petani yang memerlukan coverage
kondisi pertanian secara baik untuk keperluan
perkiraan pasar kurang mendapatkan bagian,
bahkan cenderung diabaikan. Padahal
dukungan semacam itu diperlukan untuk
membuat petani tercukupi informasi ketika
mengambil keputusan berproduksi dalam
suasana pasar yang terbuka.
EKONOMI
DUALISTIK
KETAHANAN PANGAN
DAN
Meskipun pangan sebagai kebutuhan
pokok yang harus dipenuhi setiap hari dalam
kenyataannya pasar produk pangan dan
sebagian bahan pangan bergerak melalui dua
jalur pasar dan pola permintaan yang berbeda,
yakni pasar tradisional dan sistem distribusi
Edisi No. 56/XVIII/Oktober-Desember/2009
modem. Sebenarnya hal ini tidak terlepas dari
ciri ekonomi dualistik Indonesia yang
dikemukakan Boeke pada abad 19 (Mubyarto
2000). Pada sisi penyediaan bahan pangan
pokok beras adalah produk yang penyediaan
primernya (padi) menggambarkan corak
produksi skala kecil yang melibatkan
pengerahan kegiatan produksi masal yang
dikomandoi secara pasti oleh perguliran iklim,
kecuali sebagian kecil daerah irigasi teknis.
Pada tingkatan selanjutnya yakni industri
pengolahan corak pertanian kita, termasuk
padi yang paling tradisional, sudah mulai
mengenal model persaingan yang tidak
sempuma di mana beberapa pengusaha besar
bersaing dengan banyak perusahaan kecil
berebut pelayanan kepada petani kecil yang
tidak berdaya. Petani tidak berdaya karena
alasan likuiditas hingga alasan teknologi yang
diperlukan untuk mengatasi faktor alam (cuaca)
bukan hanya pada saat tanam tapi saat panen.
Kemajuan industri pengolahan ini tidak terlepas
dari revolusi hijau yang dimulai akhir 60-an
dengan pengenalan alat mesin pertanian.
Persoalan corak pasar dualistik ini
merupakan sumbat yang selalu akan muncul
dan makin menajam dengan adanya
keterbukaan dan kesadaran baru akan hak
warga negara dari sebuah negara demokratis.
Teori konvensional melalui pengembangan
koperasi tidak dapat lagi berguna dalam
memecahkan masalah ini, karena fraksinasi
lahan menjadikan petani produsen pangan
semakin kecil unit ekonominya, dalam ukuran
volume bisnis maupun nilai tambah. Koperasi
memerlukan syarat total skala harus layak dan
prinsip demokratis terjaga, karena hak petani
tidak boleh dilepas. Hal ini juga terjadi pada
pasar masukan (input) dan keluaran (output).
Bagi pertanian berbasis padi yang diusahakan
petani kecil semakin luas pilihan kombinasi
pergiliran tanaman antar musim yang
menghindari pengulangan padi di luar musim
hujan semakin tinggi tingkat pendapatan
petaninya. Sehingga kebijakan pengenalan
Indek Pertanaman Padi lebih dari 1 bagi suatu
daerah dapat menghalangi petani
memaksimalkan pendapatan (Saptana, dkk
2005). Tulisan dari studi di dua daerah
Edisi No. 56/XVIII/Oktober-Desember/2009
pertanian maju Kediri dan Klaten tersebut juga
dilaporkan usaha tani hortikultura mencatat
sumber penyumbang pendapatan tinggi,
meskipun dengan resiko tinggi pula.
Persoalan corak ekonomi dualistik di
dalam pertanian (produksi pangan) sendiri
telah membawa perbedaan perlakuan dalam
banyak hal yang dilakukan oleh Pemerintah
di bidang fiskal dan perizinan. Akhir-akhir ini
masalah pupuk (bersubsidi maupun tidak
bersubsidi) pengenaan PPn atas produk hasil
industri pertanian, hingga politik anggaran dan
pembinaannyapun
menimbulkan
kesimpangsiuran. Apalagi pendekatan
pembinaan kita menganut target obyek
(komoditi) bukan subyek (petani) nya. Sebagai
contoh rasa aman petani membawa pupuk
menjadi sangat situasional, karena sewaktuwaktu bisa diancam penyelewengan subsidi
kalau salah guna dan salah tempat. Demikian
juga status sebuah komoditas (gula pasir tebu)
statusnya terkena atau tidak terkena PPn
hanya ditentukan oleh dia milik siapa atau
yang memiliki bahan baku siapa (petani atau
perusahaan). Keadaan semacam ini tidak
menguntungkan untuk pengembangan
perdagangan bahan pangan yang baik.
Pada industri penghasil protein dan lemak
keadaannya sudah jauh lebih jelas lagi, bahwa
sektor modern padat modal, baik lokal, nasional
maupun multi nasional menentukan arah
penyediaan bahan pangan. Masalah kita pada
saat ini bukan lagi masalah kecukupan
ketersediaan, dalam arti pasar dapat
menyelesaikan untuk pemenuhan kecukupan
ketersediaan tersebut, tetapi mengarah pada
mutu gizi yang memerlukan produksi protein,
lemak, vitamin dan mineral yang dibutuhkan
secara seimbang. Untuk dapat memikirkan
suatu politik pangan yang kompatibel dengan
tujuan peningkatan mutu gizi pangan dan
kesejahteraan petani, faktor struktur pelaku
dan struktur pasar masing-masing industri
menjadi semakin penting.
Secara garis besar penyediaan
karbohidrat pokok sampai saat ini masih tetap
bertumpu pada penyediaan yang semakin
terfraksinasi (mikro dan gurem), sementara
PANGAN 7
pasar yang melayani kebutuhan jasa untuk
mereka (input dan output) semakin oligopolistik
atau persaingan monopolistik. Kehadiran
rice estate memang sedang ditunggu, agar
Indonesia keluardari dari kungkungan tersebut.
Sementara untuk produksi protein dan lemak
(bahan pangan penghasil protein dan lemak)
agak lebih menggembirakan, karena produksi
primer (bahan baku seperti perkebunan sawit,
jangka panjang tekanan beras, kebutuhan
jagung untuk mendukung produksi daging,
susu dan telur akan meningkat pesat pada
saat tingkat pendapatan/kapita berada pada
US S 1.600 - US$ 2.000. Model untuk melihat
kebutuhan pangan dari perspektif pemenuhan
gizi yang seimbang juga dapat dijadikan acuan
perencanaan dan menempatkan kerawanan
peternakan dan perikanan) mulai dilakukan
oleh pertanian rakyat, skala kecil dan
pangan dalam kontek invidu rumah tangga
bukan dalam bilangan agregasi akan mampu
mengenali peta persoalan pangan dan segala
menengah bukan mikro. Respon terhadap
pasar dari kelompok ini cukup dinamis dan
intensitas modal dari masing-masing usahanya
inilah yang belum banyak dimanfaatkan untuk
mengembangkan kebijakan penyediaan.
ke-rawanan-nya menjadi semakin mudah. Cara
cukup tinggi. Paling tidak yang terakhir ini ada
keseiringan antara perkembangan pasar
dengan kemajuan bisnis dan tingkat
kesejahteraan pelaku.
Corak penyediaan ini juga akan semakin
diikuti oleh berkembangnya sistem distribusi
yang menekankan pada kehandalan supply
chain management untuk melayani segmen
konsumen khusus di perkotaan dengan
penghasilan tinggi. Sejak akhir dekade 1990an Indonesia telah memasuki kelompok
berpenghasilan menengah di atas US $ 1000,/kapita. Meskipun krisis ekonomi 1998 pernah
menghempaskan dari posisi itu, tetapi kini
telah diraih kembali. Bahkan dalam kurun
waktu yang lama pertumbuhan ekonomi kita
tergantung pada pertumbuhan konsumsi
agregat. Hal ini juga menyebabkan konsumsi
pangan terus mengalami peningkatan, dan
membaiknya komsumsi pangan rata-rata
penduduk. Patut diingat krisis juga terjadi pada
saat Indonesia memasuki jumlah penduduk
200 juta, sehingga segmen sempit kelompok
pendapatan atas jumlahnya sangat besar dan
merupakan pasar yang besar. Inilah
pergeseran struktural dalam sisi penawaran
dan permintaan yang telah berubah pesat,
tetapi mempunyai corak dualistik.
Dilihat dari tren pola konsumsi sumber
karbohidrat terutama beras yang semakin
efisien dengan menyempitnya diskrepansi
antara angka ketersediaan dan angka
konsumsi menggambarkan bahwa pola
konsumsi masyarakat sudah semakin
menyesuaikan dengan pola hidup sehat. Tren
PANGAN 8
IV. KOMPETISI PANGAN-ENERGI, KAITAN
PASAR KEUANGAN DAN POLITIK
PANGAN
Komoditi pangan sampai dengan saat ini
masih dilihat dalam konteks komoditi strategis
yang Pemerintah selalu perlu hadir untuk
menjamin kondisi ketahanan pangan. Sejak
akhir tahun lalu dengan diselenggarakanya
Konferensi Dunia tentang Perubahan Iklim,
muncul kesadaran baru akan pentingnya
sumber energi alternatif yang ramah
lingkungan. Semua ini dilakukan untuk
mengontrol polusi yang menimbulkan
pemanasan global sehingga menghindarkan
dunia dari keruntuhan. Dengan
berkembangnya industri bioenergi di banyak
negara maju dan berkembang, dengan indikasi
permintaan produk pertanian sebagai bahan
baku bio-etanol dan bio-diesel, maka muncul
persaingan penggunaan pangan untuk pangan
dan energi. Bahkan ketika harga pangan
sempat naik secara tajam menimbulkan
kekhawatiran akan kelangsungan pemenuhan
pangan, terutama bagi masyarakat miskin di
negara berkembang.
Pangan sekarang ini menyatu dengan
pasar energi, secara lebih spesifik minyak
bumi. Karena minyak bumi bukan saja menjadi
bahan bakar bagi mesin-mesin dan alat
pertanian, tetapi juga bahan baku pembuatan
bio-diesel dan bio-etanol, sehingga
perkembangan harga minyak bumi akan
menyeret harga produk-produk pertanian
Edisi No. 56/XVIII/Oktober-Desember.'2009
secara langsung. Fluktuasi harga minyak akan
secara lebih langsung mempengaruhi harga
produk pertanian (bahan pangan), terutama
minyak makan dan gula yang langsung menjadi
pengganti solar dan bensin. Terkait dengan
komoditas pangan yang lain, karena sensitifitas
pada dua kelompok bahan pangan penghasil
minyak/lemak dan gula ini juga mempunyai
kaitan langsung dengan usaha peternakan
dan perikanan, sudah barang tentu
berpengaruh terhadap penyediaan protein
yang langsung mempengruhi mutu pangan
penduduk. Dengan demikian sangat jelas mata
rantai keterkaitan ini menjadi sangat panjang
dan semakin sensitif terhadap pemenuhan
kecukupan ketersediaan pangan dalam bentuk
jumlah dan mutunya.
Di sisi lain usaha pertanian skala besar
seperti perkebunan dan peternakan sudah
mulai masuk ke dalam pasar modal sebagai
sumber pembiayaan jangka panjang mereka,
sehingga dengan sendirinya akan sangat
dipengaruhi oleh keinginan pemegang
sahamnya. Mereka akan mengarahkan strategi
bisnisnya untuk dapat menghasilkan
keuntungan dan dividen yang besar bagi para
pemilik modalnya. Ini tidak terkecuali untuk
status kepemilikan, negara atau swasta dan
asing atau nasional, karena ada mekanisme
lain yang mempengaruhi keputusan produksi.
Sehingga tarikan ini menjadikan usaha
pertanian (perkebunan dan peternakan) juga
Dari gambaran diatas terlihat jelas, bahwa
pertanian (industri pangan) akan semakin
terkait dengan sensitifitas pasar keuangan,
sementara pasar keuangan sendiri sudah
menyatu secara global. Sehingga krisis
keuangan di suatu negara, seperti yang terjadi
pada akhir 2008 ini terhadap perekonomian
Amerika menyeret perekonomian dunia melalui
pasar uang dan energi. Sebagai catatan pada
tahun 2007 Amerika dengan besaran
ekonominya sebesar US $ 14 Trilyun
(bandingkan Indonesia US S 425 Milyar dan
ASEAN US S 1,25 Trilyun), dengan dukungan
stok riel hanya sekitar 40-60% dari total
perdagangan dunia, sangat sensitif dengan
pasar keuangan sebagai bagian dari portofolio
pialang saham di dunia. Dengan demikian
pada saat ini tarikan antara pasar komoditi
(industri dan pertanian) mau tidak mau
bergerak mengikuti pasar minyak bumi dan
pasar keuangan global. Seandainya terjadi
krisis pangan, maka akan selalu menjadi pintu
masuk sektor kapital besar ke dalam pertanian
pangan.
Inilah gambaran ke depan, perhatikan
fenomena baru Timur Tengah dengan ekonomi
yang memiliki GDP sekitar US $ 1 trilyun (lebih
kecil dari ASEAN), tetapi memiliki potensi
surplus modal yang besar, sedang meiirik
investasi jangka panjang untuk ketahanan
pangan (menanam padi) di Asia, terutama
Indonesia. Bahkan sasaran mereka mencapai
semakin dipengaruhi oleh pasar keuangan
area ratusan atau jutaan hektar yang sama
(perbankan dan pasar modal) dan semakin
lama akan semakin dalam dengan semakin
berkembangnya agro-industri di tanah air kita.
Bahkan untuk usaha menengah-kecil sekalipun
dianjurkan memanfaatkan pasar modal sebagai
kuatnya dengan program negara melalui
instrumen pencarian dana pembiayaan
investasi alternatif yang murah bagi
pengembangan usahanya. Hal itu dikarenakan
masa mengejar modal atau sering dinamakan
Capital Chasm, merupakan tahap yang harus
dilalui oleh setiap industri dalam membiayai
pengembangan usahanya apakah memilih
pembiayaan perbankan yang mahal atau keluar
ke jalur pasar modal yang murah tetapi
memerlukan persyaratan dan kualitas
pengelolaan yang super ketat (UNCTAD 2001).
Edisi No. 56/XVIII/Oktober-Desember/2009
pembukaan lahan gambut 1 juta hektar di
Kalteng, tanpa perlu anggaran negara. Jika
ini terealisir maka lahirnya korporasi dengan
kekuatan antara 7-15% penyediaan beras oleh
seluruh ekonomi akan mempunyai kedudukan
penting.
Hal serupa pernah dipikirkan oleh Korea
Selatan untuk mengirim petaninya yang
berketrampilan tinggi dengan semangat kerja
keras untuk berinvestasi ke Siberia atau
Indonesia dengan dukungan modal sektor
keuangan mereka yang ketika itu sangat kuat.
Salah satu tujuannya adalah untuk
mengantisipasi penyatuan Korea apabila
mereka harus menyediakan beras dalam
PANGAN 9
jumlah yang sangat besar. Diperkirakan
investasi trans negara untuk memproduksi
beras akan berkembang di masa depan.
orang miskin melalui cara ini secara terus
Pertanyaan selanjutnya apakah akibatnya
akan jelek terhadap perangsang berproduksi
dengan bergeraknya waktu. Di luarsoal beras
dan pupuk, kini hampir tiap tahun muncul
bagi bahan pangan sehingga mengganggu
penyediaan pangan? Jawabnya jelas tidak,
apalagi dalam jangka menengah dan panjang,
karena akan membebaskan petani dari
kewajiban memikul tanggung jawab nasional
menyediakan pangan dengan harus berkutat
di usaha bemilai tambah rendah dengan lahan
sempit. Dalam jangka pendek? Mungkin ya,
dan dapat memilukan bagi sebagian (terbesar)
masyarakat dunia. Fluktuasi harga minyak
maupun gangguan pasar modal secara cepat
akan dipindahkan ke pasar komoditas
(termasuk pangan), sehingga kelompok miskin
akan memikul beban yang lebih besar.
Tantangan terbesar akan dihadapi oleh
menerus? Sungguh tidak masuk akal, dan
kesenjangan iniakan cenderung semakin besar
komoditi tersubsidi yang baru untuk berbagai
sasaran seperti minyak goreng, kedele dan
yang akan semakin menambah kerumitan
pemahaman kita akan pola subsidi kita untuk
"siapa" dan melalui instrumen "apa" yang
semakin mengacaukan.
Gambaran diatas mengharuskan kita
untuk meluruskan kembali makna subsidi yaitu
mendorong produksi dan mengurangi beban.
Meskipun mendorong produksi ternyata
sasarannya sangat parsial. Subsidi pupuk
misalnya, bukan untuk semua petani. Tetapi
pembuat keputusan bisnis berada di luar kontrol
hanya petani tanaman tertentu terutama padi.
Jadi pada dasarnya ini bukan subsidi sektor
dan bukan subsidi harga komoditi yang sama,
tetapi subsidi untuk kelompok sasaran tertentu
yaitu "petani padi". Kalau itu yang dimaksud,
maka subsidi yang dibayar melalui industri
menjadi salah jalan dan sulit dijamin
pemerintah. Justru reformasi yang harus
dilakukan bukan pada tataran memperdalam
dan memperbanyak intervensi (atau
mengembalikan pola intervensi masa ORBA),
transparansinya, karena perhitungan biaya
tidak bisa parsial. Inilah alasan perlunya
penyatuan seluruh subsidi perlu di reorientasi
dari industri dan komoditi kelompok sasaran
tetapi pembaruan instrument intervensi yang
langsung. Serahkan mekanisme ini sebagai
kompatibel dengan kebutuhan kelompok
mekanisme subsidi biasa bukan mekanisme
Pemerintah, karena instrumen intervensi
melalui subsidi dan intervensi pasar menjadi
tidak efektif dan biayanya mahal, karena
sasaran dan pasar.
politik harga secara sektoral dan parsial
Intervensi subsidi industri input maupun
penguasaan stok pemerintah menjadi mahal
dan pengaruhnya tetap tidak efektif. Sebagai
contoh untuk tahun 2009 dalam upaya menjaga
(input/output).
produksi beras tetap berswasembada (tahun
2008 tanpa impor) dibutuhkan subsidi
pertanian, untuk subsidi pupuk dan Raskin
akan terekpos semakin mahal. Untuk sasaran
penyaluran sebanyak 3,4 juta ton beras dengan
biaya Rp 14,5 triliun untuk Raskin (KOMPAS,
September 2008) berarti subsidi Raskin akan
senilai Rp 4.265,- per kilogram, sementara
harga beras termurah di PIC atau di pasar
desa yang biasa dibeli kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah masih ada yang djual
dengan harga lebih murah dari Rp 4.000,-.
Apakah rasional untuk mempertahankan cara
pengelolaan stok dan subsidi beras untuk
PANGAN 10
Politik pangan ke depan memang harus
tetap ramah pasar dan instrumen intervensi
harga melalui pasar akan menjadi kurang
efektif. Bahkan pada sektor energi yang dahulu
menjadi simbol monopoli negara secara
perlahan terus diserahkan melalui pasar,
sehingga tidak mungkin memikirkan politik
pangan tanpa melihat kondisi ideal yakni pasar
yang efisien dan bekerja secara maksimal. UU
No. 7 tahun 1996 tentang pangan telah
meletakkan dasar yang baik untuk keinginan
tersebut, karena pangan ditempatkan sebagai
komoditas perdagangan dan tujuan politik
pangan adalah ketahanan pangan.
Ketersediaan adalah penggabungan kekuatan
produksi dan perdagangan, serta hadirnya
cadangan pangan pemerintah (untuk berjagaEdisi No. 56/XVIII/Oktober-Desember/2009
jaga atau iron stock) sebagai pilamya menuju
ketahanan pangan dan ekonomi melalui
pengelolaan atas dasar prinsip kemandirian,
tidak mutlak swasembada apalagi menjadikan
surplus fisik at all cost sebagai guiding principle
keliru, karena
dapat mengorbankan
kesejahteraan petani.
Upaya mengatasi kemiskinan semakin
rumit karena kelompok hampir miskin sangat
besar jumlahnya, di mana intervensi universal
sangat baik dan efektif tetapi mahal biayanya.
Menurut Bayu Krisnamurti (KOMPAS 8/1/09),
penduduk miskin di Indonesia dengan kriteria
garis kemiskinan US$1.-/hari hanya mencapai
sekitar 14 juta jiwa jumlahnya, tetapi jika
digunakan ukuran USS2.- angka itu
membengkak menjadi 100 juta jiwa lebih. Hal
itu menunjukkan betapa sensitifnya jumlah
penduduk miskin yang berada di sekitar garis
kemiskinan. Apabila kebijakan universal Raskin
diterapkan pada mereka, maka paling tidak
dibutuhkan subsidi raskin 3-4 kali lipat dari
sekarang. Namun intervensi universal melalui
ibu hamil, ibu baru melahirkan, dan bayi yang
jumlahnya lebih sedikit, dapat mengatasi 20%
persoalan kemiskinan seperti yang
diungkapkan Pathel, UNDP Report, 2008
(Harian Kompas, 2008). Intervensi
pengurangan beban sosial masyarakat miskin
harus tidak lagi bertumpu pada beras murah,
tetapi penanganan langsung kasus kurang gizi
melalui program intervensi gizi yang lebih
terpadu dan terarah. Banyak ahli gizi yang
meragukan efektifitas penangan rawan pangan
harga pangan berkelanjutan dikarenakan oleh
beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, sifat pergerakan harga pangan
di pasar global tidak hanya ditentukan oleh
produksi dan stok dunia, tetapi semakin terkait
erat dengan pasar minyak dan keuangan dunia,
sehingga kemampuan pemerintah untuk
mengisolasi pasar domestik dari pasar
internasional semakin kecil dan tidak efektif.
Kedua, perspektif sistem anggaran,
pergeseran struktur kekuatan politik yang
merata cenderung memilih kebijakan anggaran
kompromistik dan mudah berubah yang sulit
menuju pemihakan pertanian yang konsisten
berkelanjutan, disertai keragaman kepentingan
daerah yang semakin mengarah pada
decoupling antara kebijakan produksi dan
ketahanan pangan di tingkat daerah
(kabupaten/kota).
Ketiga, terdapat kesenjangan antara apa
yang diinginkan mayarakat dan idealisasi cara
mengatasi persoalan pangan yang tumbuh
dan berkembang. Persoalan ini berpangkal
dari kerancuan pemahaman pengertian dan
aplikasi kebijakan ketahanan pangan yang
dipersempit pada persoalan kemandirian
produksi pangan dan lebih sempit lagi jika
hanya diartikan identik dengan swasembada
beras. Arah politik pangan masa depan
seharusnya adalah ketahanan pangan rumah
tangga yang berpangkal pada sumber hakiki
kerawanan pangan yaitu daya beli (kemiskinan)
dan isolasi (akses) baik karena bencana
maupun faktor sosial.
(terutama rawan gizi) yang tidak terpadu dan
berjalan sendiri-sendiri. Politik penanganan
kurang gizi harus menjadi komando
penanganan kekurangan pangan dan
intervensinya harus selektif. Ke depan Politik
Pangan harus dipandu dan dikomandoi oleh
Politik Penangangan Kekurangan Gizi. Politik
ketersediaan sebaiknya diserahkan kepada
pasar dan keswadayaan masyarakat dalam
pengelolaan cadangan pangan melalui
kelembagaan atas dasar kearifan lokal sesuai
kebutuhan setempat seperti lumbung desa
dan Iain-Iain.
Politik pangan ke depan tidak mungkin
dirancang untuk mendukung politik stabilisasi
Edisi No. 56/XVIII/Oktober-Desembcr/2009
V.
PENUTUP
Indonesia pada dasarnya masih tetap
berada pada kestabilan ketersediaan pangan
yang baik serta keragaman pangan yang
membaik, meskipun pernah dihempas krisis
yang mengenai sekelompok golongan
penduduk. Arah politik pangan yang kompatibel
pada persoalan kerawanan pangan pada
kelompok rentan seharusnya tidak dikaburkan
dengan isu ketersediaan semata apalagi isu
sempit swasembada (beras), tetapi melalui
strategi penanganan kelompok sasaran dengan
intervensi gizi dan kesehatan, serta bukan
semata intervensi ketersediaan. Demikian juga
PANGAN 11
politik pertanian kita harus ditujukan pada
politik pendapatan dan kesejahteraan petani,
intervensi penyediaan dan stok yang
dipraktekan sekarang ini pedu dilihat kembali
dan bukan politik komoditi yang semakin
efisiensi dan daya saing, Kajian kemangkusan
fungsinya sebagai iron stock sejalan dengan
perkembangan pertanian dan industri pangan
secara nasional dan global, yang semakin
tidak bisa dipisahkan dari keterkaitan foodfuel-finance dalam pasar pangan-energi-pasar
(efektifitas)
modal global.
menjadi kepentingan produsen dan pasar
keseluruhan, apalagi politik swasembada
komoditas yang cenderung mengabaikan
dan kesangkilan (efisiensi)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Anatomi Sistem Pangan Nasionl dalam
Majalah Prisma, Edisi Hari Pangan 1993.
Prisma. Jakarta. 1993.
Anonim. Rekonstruksi dan Restrukturisasi Pertania.
PERHEPI. Jakarta. 2004.
Anonim. Statistik Indonesia 2008. BPS. Jakarta,
Indonesia. 2008.
Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia 1998,
BPS. Jakarta, Indonesia. 1998.
United
Nation
Conference on Trade and
Development (UNCTAD). Improving the
Competitiveness of SMEs in Developing
Countries: The Role of Finance to Enhance
Enterprise Developmen.
UNCTAD. Genenve.
2001.
World Bank, lndonesia:Maintaining Stability,
Deepening Refor: World Bank. January. 2003.
Harian Kompas. KOMPAS. 28 September
2008. Jakarta. 2008.
Mubyarto. Membangun Sistem Ekonom. Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi
BPFE-UGM.
Yogyakarta. 2000.
Noer Soetrisno. Rekonstruksi Pemahaman Koperasi:
Merajut Kekuatan Ekonomi Rakyat. INTRANS
Center
for
Transformation
Studies.
Jakarta, 2001.
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia
(PERHEPI). Agro Ekonomik. Majalah Edisi
BIODATA PENULIS :
Noer Soetrisno lahir di Blitar 25 Desember
1949 menyelesaikan pendidikan tinggi pada
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada
jurusan Ekonomi Pertanian awal tahun 1976.
Pada saat ini aktif sebagai komisaris salah satu
BUMN dan menjabat sebagai Ketua
MUBYARTO Institut berkedudukan di Jakarta
yang didirikan pada tanggal 15 Januari 2009.
No 1-Tahun XXXV. PERHEPI. Jakarta. 2005.
PANGAN 12
Edisi No. 56/XVIIL'Oktober-Desember/2009
Politik Pangan Menghadapi Tantangan Krisis Energi dan
Finansial Global
Oleh:
Noer Soetrisno
RINGKASAN
Tulisan ini mencoba memberikan ulasan posisi ketahanan pangan Indonesia serta
memahami problema mendasar persoalan pangan dan instrumen kebijakan pangan
yang ada terutama politik produksi dan stabilisasi harga. Kemudian memberikan gambaran
akan fenomena perubahan lingkungan intemasional di bidang perdagangan dan investasi
terkait dengan semakin berhimpitnya pasar komoditi pangan-energi-pasar finansial.
Selanjutnya dicari arah bagaimana seharusnya Indonesia menanggapi perubahan
tersebut dengan merumuskan politik pertanian untuk ketahanan pangan yang beriandaskan
pada politik pendapatan dan kesejahteraan petani, bukan politik komoditas, serta
menjadikan gizi dan kesehatan penduduk menjadi arah politik intervensi pangan. Orientasi
stabilisasi harus dikembalikan pada orientasi ketahanan pangan rumah tangga, didukung
fungsi penyangga (iron stock) pemerintah, dan status gizi masyarakat.
I.
PENDAHULUAN
O ebagai negara agraris Indonesia memang
^ tumbuh dan berkembang dari tumbuhkembang sektor pertanian. Pertanian tidak
pernah bisa dilepaskan dari masalah pangan,
karena tugas utama pertanian adalah untuk
menyediakan pangan bagi penduduk suatu
negara. Sejak Indonesia merdeka sampai saat
ini, gravitas politik pangan Indonesia selalu
berat menuju politik beras. Persoalan ini pada
awalnya adalah sangat beralasan karena beras
pernah menempati sepertiga belanja rumah
tangga buruh di Jakarta pada akhir tahun
limapuluhan (Indek Biaya Hidup disingkat IBH
Jakarta), dan menempati hampir seperlima
PDB Indonesia pada akhir tahun 1960-an.
Pada pertengahan 1990-an bangsa
Indonesia sebenamya telah menyiapkan sikap
antisipatif ke depan, karena keharusan sebagai
konsekuensi sikap politik yang diambil untuk
menjadi pelopor keterbukaan ekonomi negara
berkembang dengan menjadikan APEC Bogor
(1994) melahirkan cetak biru liberalisasi
perdagangan di kawasan Asia Pasifik.
Edisi No. 56/XVIIl/Oktober-Desember'2009
Persiapan ini ditanggapi dengan sikap yang
serupa di bidang pertanian dengan lahirnya
UU No.12 tahun 1992 tentang Budidaya
Tanaman yang menempatkan kebebasan
petani dalam pilihan tanaman yang diusahakan.
Di bidang Pangan, UU No. 7 tahun 1996 yang
merupakan UU Pangan pertama sejak
Indonesia merdeka dalam konsiderannya juga
menempatkan pangan sebagai komoditas
dagang, di samping pemenuhan kebutuhan
dasar dan merupakan hak asasi manusia.
Indonesia pernah dilanda krisis pada tahun
1997-1998 yang bersamaan dengan kegagalan
produksi pangan, sehingga melahirkan
berbagai keadaan rawan pangan bahkan
kurang gizi yang berat. Harga pangan yang
melonjak, tetapi lebih diwarnai oleh krisis nilai
tukar, ketimbang kegoncangan penawaran
pasar dunia. Pelajaran yang menarik adalah
kemiskinan yang parah dan meluas pada saat
itu menjadi kunci utama rawan pangan, namun
sifatnya sangat transitory (World Bank 2003).
Krisis sendiri terjadi pada saat ketersediaan
pangan Indonesia, telah melewati satu
PANGAN
3
dasawarsa namun kebanyakan orang
Indonesia urusan pangan belum selesai.
Pada
awal
tahun
2008
ini
kita
digoncangkan oleh naiknya harga minyak bumi
yang melampaui batas US $100,-/barel yang
mendorong ekspansi besar-besaran produksi
bio energi. Hal ini telah menimbulkan ketakutan
akan semakin sulitnya pemenuhan kebutuhan
pangan, karena adanya persaingan
penggunaan biji-bijian untuk energi. Hal yang
cukup menarik dari perkembangan terakhir ini
adalah justru kenaikan harga beras dan gula
pasir di pasar dunia sementara di di dalam
II.
POSISI
KETAHANAN
INDONESIA:
SEPULUH
PANGAN
TAHUN
PASCA KRISIS
Ketahanan Pangan dalam perspektif
Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang
Pangan, mempunyai beberapa dimensi penting
yakni, Ketersediaan, Mutu dan Keamanan
Pangan dan pada ujungnya adalah Akses
terhadap pangan sehingga setiap rumah
tangga terjamin. Perjalanan selama sepuluh
tahun terakhir ini, kerangka cara pandang
terhadap ketahanan pangan sudah ada
landasan baku UU Pangan. Di samping itu
perjalanan satu dasawarsa ini adalah Indonesia
negeri kenaikannya normal saja sekalipun
mempunyai kandungan politik tinggi di negeri
kita. Di sisi lain harga bahan pangan penghasil
lemak dan protein menjadi sangat bergejolak.
Hingga saat ini belum ada yang berani
terkena krisis. Dasawarsa ini juga menandai
Indonesia yang sudah pernah merasa bebas
dari kungkungan kegagalan memenuhi
menjamin bahwa krisis finansial global telah
berakhir dan krisis energi tidak akan muncul
swasembada beras pada tahun 1984 dan
yang terkena krisis dan kemudian kembali
kebutuhan beras penduduk dengan
lagi, bahkan kedua faktor tersebut menjadi
bagian dari resiko yang setiap saat dapat
kesulitan untuk mempertahankan dalam arti
muncul kembali.
operasionalnya. Tercatat sampai dengan
menjelang krisis Indonesia juga pernah
mengimpor kembali kebutuhan beras
(Pemerintah), setelah setahun sebelumnya
mengekspor karena stok berlimpah.
Masuknya industri agro ke dalam pasar
modal selain memperkuat perdagangan
internasional hasil pertanian juga menjadikan
pertanian semakin terkait dengan sistem
keuangan global. Komoditi pertanian dan agro-
prestasi fisik, konsepsi swasembada dan teknis
industri telah menjadi bagian dari komoditas
Salah satu indikator penting untuk melihat
kondisi ketahanan pangan suatu negara secara
yang menjadi altematif portofolio perdagangan
agregat adalah melalui angka rata-rata
saham dan mata uang. Fenomena ini
menjadikan kita perlu untuk melihat secara
ketersediaan pangan. Mengingat keragaman
pangan adalah merupakan bagian penting dari
jernih problematika pangan kita secara
mutu pangan serta keragaman budaya dan
menyeluruh.
status sosial ekonomi rumah tanggga atau
masyarakat, maka terjadi keanekaan pula
Dalam makalah ini akan dikupas beberapa
dalam konsumsi bahan makanan. Oleh karena
aspek untuk menuntun arah Politik Pangan
Indonesia yang semakin kompleks, posisi
ketahanan pangan Indonesia setelah sepuluh
tahun menghadapi krisis multi dimensi.
itu angka ketersediaan biasanya dinyatakan
dalam bentuk ketersediaan kalori, protein,
Kemudian akan dilihat kecenderungan pasar
dan realitas dualisme pasar bahan pangan
dan kupasan tentang fenomena meningkatnya
ketergantungan global pangan, energi dan
keuangan yang memerlukan cara pandang
yang lebih luas. Dari kupasan tersebut
dan protein. Angka ketersediaan yang dianggap
memenuhi kecukupan bagi kehidupan yang
sehat ditetapkan oleh Widyakarya Pangan dan
Gizi yang terakhir (VIM) dilaksanakan pada
diharapkan akan memberikan landasan untuk
menyusun pokok-pokok arah baru Politik
Pangan Indonesia.
PANGAN
4
lemak dan unsur lain. Namun dalam analisis
ini hanya akan dilihat dari ketersediaan kalori
tahun 2004. Untuk ketersediaan kalori
ditetapkan angka kecukupan sebesar 2.000
kalori/kapita/hari pada tingkat konsumsi atau
2.200kal/kapita/hari pada tingkat ketersediaan.
Sementara untuk protein ditetapkan sebesar
Edisi No. 56/XVIII/Oktobcr-Desember/2009
55 gram/kapita. Angka ketersediaan rata-rata
untuk berbagai sumber karbohidrat, protein,
lemak
dan
vitamin
dan
mineral
tetapi akan terfokus pada faktor akses dan
emergensi (kedaruratan).
90-an ketersediaan kalori sangat tinggi karena
tingginya tingkat konsumsi beras, meskipun
Kecukupan penyediaan kalori pada sekitar
3.000 kal/kapita/hari yang lebih rendah
dibanding periode 1985-1995 yang mencapai
antara 3.100-3.200 kal/kapita/hari sangat boleh
jadi dipengaruhi oleh semakin tingginya
konsumsi protein dan lemak, sehingga terjadi
perbaikan mutu makanan penduduk yang telah
mampu mencapai kecukupan pangan. Karena
dalam pandangan kecukupan gizi, komposisi
protein terutama hewani masih belum cukup
konsumsi bahan makanan yang sesuai dengan
ketika itu. Gambaran pada periode 2005-2007
Pola Pangan Harapan (PPH) atau standard
mutu yang baik akan mengoptimalkan
penyediaan bahan pangan. Dengan demikian
konsumsi komoditas bahan pangan dapat
menggambarkan bahwa pada tingkat nasional
maupun daerah dalam kecukupan.
Dilihat dari angka ketersediaan kalori ratarata sebenarnya tingkat kecukupan pangan di
Indonesia masih cukup bagus. Pada
dasawarsa 80-an sampai dengan pertengahan
menunjukkan perkembangan yang bagus di
mana angka ketersediaan kalori masih cukup
bagus dengan ketersediaan protein hewani
yang cukup baik nabati maupun hewani (Tabel
1). Angka tersebut pada dasarnya memberikan
pelajaran baru, bahwa kondisi rawan pangan
dalam arti kurang gizi (kalori maupun protein)
muncul karena faktor fundamental dari "food
insecurity" yaitu kemiskinan (akses) bukan
faktor kekurangan pangan.
dijaga pada tingkat yang lebih rendah tetapi
mencapai kecukupan pangan dengan mutu
gizi yang baik bagi cara hidup yang sehat.
Pelajaran berharga selama sepuluh tahun
terakhir Indonesia dalam menangani masalah
kemiskinan juga menonjolkan pentingnya
pengurangan beban biaya hidup. Salah satu
Tabel 1. Angka Ketersediaan Rata-Rata/Kapita Untuk Kalori Dan Protein Serta Persentase
Penduduk Miskin Periode 1995-2007
Kalori
Protein (Gram/Kapita)
Tahun
(Gram)
Total
1995-97
3063
2913
69,48
64,22
10,72
9,98
3077
2934
75,96
11.99
77,59
13,09
1998-99
2000-04
2005 07
Hewani
Penduduk Miskin*
13,63%
19,41 %
17,97%
16,00 %
Sumber: BPS, Statistik Indonesia, 1999, 2004 dan 2008.
* Angka kemiskinan untuk Kota dan Desa, untuk 1995-97 digunakan angka
tahun 1996, tahun 1998-99 digunakan angka 1999 dan 2005-07 digunakan
angka 2006-2007.
Gambaran naik turunnya persentase
instrumen pentingnya adalah penyediaan beras
penduduk miskin mendukung pandangan itu.
Kesimpulan semacam ini juga telah
mengemuka dalam Widyakarya Pangan dan
Gizi ke VII pada tahun 1997, bahwa tantangan
ketahanan pangan penduduk Indonesia ke
depan (pasca 1997) adalah faktor kemiskinan
dan isolasi serta gangguan bencana. Secara
keseluruhan faktor yang harus diperhatikan
bukan lagi faktor produksi dan ketersediaan,
bersubsidi bagi penduduk miskin, di samping
penyediaan pengobatan dan pendidikan gratis
serta berbagai subsidi lainnya. Raskin sebagai
bagian dari mengatasi rawan pangan bagi
penduduk miskin mempunyai tingkat effektifitas
yang tinggi. Raskin sebagai bagian dari
kebijakan mengatasi kurang gizi di masa krisis
tahun 1998 memang dirancang sebagai
kebijakan penyediaan pangan terarah pada
Edisi No. 56/XVII!.'Oktober-Desember/2009
PANGAN
5
rumah tangga rawan pangan. Memang pada
awalnya dirancang hanya mengatasi semasa
krisis dan situasi kegagalan pencapaian target
peningkatan produksi beras secara beruntun
terjadi pada tahun 1997 dan 1998, dalam masa
2-3 tahun sampai tahun 2000.
Penyediaan Raskin sebagai model awal
pelaksanaan foodstamp bila infrastruktur
administratif telah siap memang dapat
dibenarkan. Masalah mendasar yang
melemahkan politik Raskin adalah target tetap
yang digunakan dan jangka lama adalah tidak
mendidik dan menimbulkan ketergantungan.
Kritik lain adalah kenyataan bahwa politik
penyediaan Raskin adalah bagian dari strategi
menjaga kelangsungan aktivitas lembaga
pangan. Dengan format yang baru azas dan
strategi sudah selayaknya menyesuaikan,
karena lembaga ini bukan menjadi faktor kunci
ketahanan pangan, tetapi faktor penyangga.
Sehingga cara pandang yang dikembangkan
seharusnya kompatibel dengan tuntutan itu.
Secara keseluruhan persoalan ketahanan
pangan telah melewati masa krisis dan
memasuki periode pemulihan kembali pada
sebelum krisis. Sejak 2004 menunjukkan
bahwa secara makro dan agregat Indonesia
memiliki ketahanan pangan yang bagus
dengan susunan yang semakin baik dari segi
penyediaan kalori, protein dan sumber lainya.
Pada sisi lain isu rawan pangan semakin
mengarah pada faktor akses yang terhalang,
karena mereka tidak memiliki daya beli. Isu ini
memang bukan isu penyediaan saja apalagi
stok, tetapi adalah masalah ketahanan pangan
pada tingkat rumah tangga.
Dari kacamata ketersediaan memang
belum cukup kuat bukti kestabilan laju
peningkatan produksi, selain faktor kesesuaian
dan kecukupan, faktor iklim sebagaimana
perkembangan pergerakan produksi selama
beberapa dasawarsa. Masa sepuluh tahun
terakhir lebih diwarnai oleh keluhan terhadap
pengaruh pelaksanaan otonomi daerah dan
kesungguhan daerah dalam pengerahan
pengamanan produksi. Di bidang beras
seharusnya secara politik kita sudah dapat
mengambil kebijakan yang lebih maju, karena
PANGAN
6
RPJM Pemerintahan SBY-JK 2004-2009
seperti tertuang dalam Perpres No. 7/2005,
menetapkan bahwa tingkat kemandirian
pangan untuk beras cukup pada angka 90%.
Namun dalam praktek politikanggaran maupun
pemyataan resmi soal beras tetap saja tidak
merasa yakin (percaya diri) kalau tidak
mengklaim swasembada beras.
Perjalanan selama sepuluh tahun ini juga
menunjukkan impor beras tetap merupakan
unsur penting pemeliharaan ketersediaan
pangan di saat (negara) mengalami gangguan
ketersediaan. Tetapi sampai saat ini polemik
angka kekurangan produksi beras selalu
muncul ketika impor terjadi, sehingga impor
lebih merupakan refleksi kekurangan stok
pemerintah ketimbang refleksi keadaan
kekurangan ketersediaan pangan di
masyarakat. Paling tidak isu ini tidak pernah
dikupas secara tuntas dengan jawaban yang
memuaskan. Sehingga impor tidak selalu
menjadi isu pasar domestik tetapi isu
kecukupan stok pemerintah, baik untuk
keperluan penyangga {iron) maupun komitmen
anggaran (Raskin) tetapi usulannya selalu
menggunakan argumentasi penjagaan pasar.
Dengan berkembangnya media yang
meliput isu kerawanan pangan, corak isu yang
muncul memang menjadi sangat menyebar.
Isu yang berkaitan faktor fundamental terekpos
sangat terbuka. Sementara fungsi untuk dapat
membantu petani yang memerlukan coverage
kondisi pertanian secara baik untuk keperluan
perkiraan pasar kurang mendapatkan bagian,
bahkan cenderung diabaikan. Padahal
dukungan semacam itu diperlukan untuk
membuat petani tercukupi informasi ketika
mengambil keputusan berproduksi dalam
suasana pasar yang terbuka.
EKONOMI
DUALISTIK
KETAHANAN PANGAN
DAN
Meskipun pangan sebagai kebutuhan
pokok yang harus dipenuhi setiap hari dalam
kenyataannya pasar produk pangan dan
sebagian bahan pangan bergerak melalui dua
jalur pasar dan pola permintaan yang berbeda,
yakni pasar tradisional dan sistem distribusi
Edisi No. 56/XVIII/Oktober-Desember/2009
modem. Sebenarnya hal ini tidak terlepas dari
ciri ekonomi dualistik Indonesia yang
dikemukakan Boeke pada abad 19 (Mubyarto
2000). Pada sisi penyediaan bahan pangan
pokok beras adalah produk yang penyediaan
primernya (padi) menggambarkan corak
produksi skala kecil yang melibatkan
pengerahan kegiatan produksi masal yang
dikomandoi secara pasti oleh perguliran iklim,
kecuali sebagian kecil daerah irigasi teknis.
Pada tingkatan selanjutnya yakni industri
pengolahan corak pertanian kita, termasuk
padi yang paling tradisional, sudah mulai
mengenal model persaingan yang tidak
sempuma di mana beberapa pengusaha besar
bersaing dengan banyak perusahaan kecil
berebut pelayanan kepada petani kecil yang
tidak berdaya. Petani tidak berdaya karena
alasan likuiditas hingga alasan teknologi yang
diperlukan untuk mengatasi faktor alam (cuaca)
bukan hanya pada saat tanam tapi saat panen.
Kemajuan industri pengolahan ini tidak terlepas
dari revolusi hijau yang dimulai akhir 60-an
dengan pengenalan alat mesin pertanian.
Persoalan corak pasar dualistik ini
merupakan sumbat yang selalu akan muncul
dan makin menajam dengan adanya
keterbukaan dan kesadaran baru akan hak
warga negara dari sebuah negara demokratis.
Teori konvensional melalui pengembangan
koperasi tidak dapat lagi berguna dalam
memecahkan masalah ini, karena fraksinasi
lahan menjadikan petani produsen pangan
semakin kecil unit ekonominya, dalam ukuran
volume bisnis maupun nilai tambah. Koperasi
memerlukan syarat total skala harus layak dan
prinsip demokratis terjaga, karena hak petani
tidak boleh dilepas. Hal ini juga terjadi pada
pasar masukan (input) dan keluaran (output).
Bagi pertanian berbasis padi yang diusahakan
petani kecil semakin luas pilihan kombinasi
pergiliran tanaman antar musim yang
menghindari pengulangan padi di luar musim
hujan semakin tinggi tingkat pendapatan
petaninya. Sehingga kebijakan pengenalan
Indek Pertanaman Padi lebih dari 1 bagi suatu
daerah dapat menghalangi petani
memaksimalkan pendapatan (Saptana, dkk
2005). Tulisan dari studi di dua daerah
Edisi No. 56/XVIII/Oktober-Desember/2009
pertanian maju Kediri dan Klaten tersebut juga
dilaporkan usaha tani hortikultura mencatat
sumber penyumbang pendapatan tinggi,
meskipun dengan resiko tinggi pula.
Persoalan corak ekonomi dualistik di
dalam pertanian (produksi pangan) sendiri
telah membawa perbedaan perlakuan dalam
banyak hal yang dilakukan oleh Pemerintah
di bidang fiskal dan perizinan. Akhir-akhir ini
masalah pupuk (bersubsidi maupun tidak
bersubsidi) pengenaan PPn atas produk hasil
industri pertanian, hingga politik anggaran dan
pembinaannyapun
menimbulkan
kesimpangsiuran. Apalagi pendekatan
pembinaan kita menganut target obyek
(komoditi) bukan subyek (petani) nya. Sebagai
contoh rasa aman petani membawa pupuk
menjadi sangat situasional, karena sewaktuwaktu bisa diancam penyelewengan subsidi
kalau salah guna dan salah tempat. Demikian
juga status sebuah komoditas (gula pasir tebu)
statusnya terkena atau tidak terkena PPn
hanya ditentukan oleh dia milik siapa atau
yang memiliki bahan baku siapa (petani atau
perusahaan). Keadaan semacam ini tidak
menguntungkan untuk pengembangan
perdagangan bahan pangan yang baik.
Pada industri penghasil protein dan lemak
keadaannya sudah jauh lebih jelas lagi, bahwa
sektor modern padat modal, baik lokal, nasional
maupun multi nasional menentukan arah
penyediaan bahan pangan. Masalah kita pada
saat ini bukan lagi masalah kecukupan
ketersediaan, dalam arti pasar dapat
menyelesaikan untuk pemenuhan kecukupan
ketersediaan tersebut, tetapi mengarah pada
mutu gizi yang memerlukan produksi protein,
lemak, vitamin dan mineral yang dibutuhkan
secara seimbang. Untuk dapat memikirkan
suatu politik pangan yang kompatibel dengan
tujuan peningkatan mutu gizi pangan dan
kesejahteraan petani, faktor struktur pelaku
dan struktur pasar masing-masing industri
menjadi semakin penting.
Secara garis besar penyediaan
karbohidrat pokok sampai saat ini masih tetap
bertumpu pada penyediaan yang semakin
terfraksinasi (mikro dan gurem), sementara
PANGAN 7
pasar yang melayani kebutuhan jasa untuk
mereka (input dan output) semakin oligopolistik
atau persaingan monopolistik. Kehadiran
rice estate memang sedang ditunggu, agar
Indonesia keluardari dari kungkungan tersebut.
Sementara untuk produksi protein dan lemak
(bahan pangan penghasil protein dan lemak)
agak lebih menggembirakan, karena produksi
primer (bahan baku seperti perkebunan sawit,
jangka panjang tekanan beras, kebutuhan
jagung untuk mendukung produksi daging,
susu dan telur akan meningkat pesat pada
saat tingkat pendapatan/kapita berada pada
US S 1.600 - US$ 2.000. Model untuk melihat
kebutuhan pangan dari perspektif pemenuhan
gizi yang seimbang juga dapat dijadikan acuan
perencanaan dan menempatkan kerawanan
peternakan dan perikanan) mulai dilakukan
oleh pertanian rakyat, skala kecil dan
pangan dalam kontek invidu rumah tangga
bukan dalam bilangan agregasi akan mampu
mengenali peta persoalan pangan dan segala
menengah bukan mikro. Respon terhadap
pasar dari kelompok ini cukup dinamis dan
intensitas modal dari masing-masing usahanya
inilah yang belum banyak dimanfaatkan untuk
mengembangkan kebijakan penyediaan.
ke-rawanan-nya menjadi semakin mudah. Cara
cukup tinggi. Paling tidak yang terakhir ini ada
keseiringan antara perkembangan pasar
dengan kemajuan bisnis dan tingkat
kesejahteraan pelaku.
Corak penyediaan ini juga akan semakin
diikuti oleh berkembangnya sistem distribusi
yang menekankan pada kehandalan supply
chain management untuk melayani segmen
konsumen khusus di perkotaan dengan
penghasilan tinggi. Sejak akhir dekade 1990an Indonesia telah memasuki kelompok
berpenghasilan menengah di atas US $ 1000,/kapita. Meskipun krisis ekonomi 1998 pernah
menghempaskan dari posisi itu, tetapi kini
telah diraih kembali. Bahkan dalam kurun
waktu yang lama pertumbuhan ekonomi kita
tergantung pada pertumbuhan konsumsi
agregat. Hal ini juga menyebabkan konsumsi
pangan terus mengalami peningkatan, dan
membaiknya komsumsi pangan rata-rata
penduduk. Patut diingat krisis juga terjadi pada
saat Indonesia memasuki jumlah penduduk
200 juta, sehingga segmen sempit kelompok
pendapatan atas jumlahnya sangat besar dan
merupakan pasar yang besar. Inilah
pergeseran struktural dalam sisi penawaran
dan permintaan yang telah berubah pesat,
tetapi mempunyai corak dualistik.
Dilihat dari tren pola konsumsi sumber
karbohidrat terutama beras yang semakin
efisien dengan menyempitnya diskrepansi
antara angka ketersediaan dan angka
konsumsi menggambarkan bahwa pola
konsumsi masyarakat sudah semakin
menyesuaikan dengan pola hidup sehat. Tren
PANGAN 8
IV. KOMPETISI PANGAN-ENERGI, KAITAN
PASAR KEUANGAN DAN POLITIK
PANGAN
Komoditi pangan sampai dengan saat ini
masih dilihat dalam konteks komoditi strategis
yang Pemerintah selalu perlu hadir untuk
menjamin kondisi ketahanan pangan. Sejak
akhir tahun lalu dengan diselenggarakanya
Konferensi Dunia tentang Perubahan Iklim,
muncul kesadaran baru akan pentingnya
sumber energi alternatif yang ramah
lingkungan. Semua ini dilakukan untuk
mengontrol polusi yang menimbulkan
pemanasan global sehingga menghindarkan
dunia dari keruntuhan. Dengan
berkembangnya industri bioenergi di banyak
negara maju dan berkembang, dengan indikasi
permintaan produk pertanian sebagai bahan
baku bio-etanol dan bio-diesel, maka muncul
persaingan penggunaan pangan untuk pangan
dan energi. Bahkan ketika harga pangan
sempat naik secara tajam menimbulkan
kekhawatiran akan kelangsungan pemenuhan
pangan, terutama bagi masyarakat miskin di
negara berkembang.
Pangan sekarang ini menyatu dengan
pasar energi, secara lebih spesifik minyak
bumi. Karena minyak bumi bukan saja menjadi
bahan bakar bagi mesin-mesin dan alat
pertanian, tetapi juga bahan baku pembuatan
bio-diesel dan bio-etanol, sehingga
perkembangan harga minyak bumi akan
menyeret harga produk-produk pertanian
Edisi No. 56/XVIII/Oktober-Desember.'2009
secara langsung. Fluktuasi harga minyak akan
secara lebih langsung mempengaruhi harga
produk pertanian (bahan pangan), terutama
minyak makan dan gula yang langsung menjadi
pengganti solar dan bensin. Terkait dengan
komoditas pangan yang lain, karena sensitifitas
pada dua kelompok bahan pangan penghasil
minyak/lemak dan gula ini juga mempunyai
kaitan langsung dengan usaha peternakan
dan perikanan, sudah barang tentu
berpengaruh terhadap penyediaan protein
yang langsung mempengruhi mutu pangan
penduduk. Dengan demikian sangat jelas mata
rantai keterkaitan ini menjadi sangat panjang
dan semakin sensitif terhadap pemenuhan
kecukupan ketersediaan pangan dalam bentuk
jumlah dan mutunya.
Di sisi lain usaha pertanian skala besar
seperti perkebunan dan peternakan sudah
mulai masuk ke dalam pasar modal sebagai
sumber pembiayaan jangka panjang mereka,
sehingga dengan sendirinya akan sangat
dipengaruhi oleh keinginan pemegang
sahamnya. Mereka akan mengarahkan strategi
bisnisnya untuk dapat menghasilkan
keuntungan dan dividen yang besar bagi para
pemilik modalnya. Ini tidak terkecuali untuk
status kepemilikan, negara atau swasta dan
asing atau nasional, karena ada mekanisme
lain yang mempengaruhi keputusan produksi.
Sehingga tarikan ini menjadikan usaha
pertanian (perkebunan dan peternakan) juga
Dari gambaran diatas terlihat jelas, bahwa
pertanian (industri pangan) akan semakin
terkait dengan sensitifitas pasar keuangan,
sementara pasar keuangan sendiri sudah
menyatu secara global. Sehingga krisis
keuangan di suatu negara, seperti yang terjadi
pada akhir 2008 ini terhadap perekonomian
Amerika menyeret perekonomian dunia melalui
pasar uang dan energi. Sebagai catatan pada
tahun 2007 Amerika dengan besaran
ekonominya sebesar US $ 14 Trilyun
(bandingkan Indonesia US S 425 Milyar dan
ASEAN US S 1,25 Trilyun), dengan dukungan
stok riel hanya sekitar 40-60% dari total
perdagangan dunia, sangat sensitif dengan
pasar keuangan sebagai bagian dari portofolio
pialang saham di dunia. Dengan demikian
pada saat ini tarikan antara pasar komoditi
(industri dan pertanian) mau tidak mau
bergerak mengikuti pasar minyak bumi dan
pasar keuangan global. Seandainya terjadi
krisis pangan, maka akan selalu menjadi pintu
masuk sektor kapital besar ke dalam pertanian
pangan.
Inilah gambaran ke depan, perhatikan
fenomena baru Timur Tengah dengan ekonomi
yang memiliki GDP sekitar US $ 1 trilyun (lebih
kecil dari ASEAN), tetapi memiliki potensi
surplus modal yang besar, sedang meiirik
investasi jangka panjang untuk ketahanan
pangan (menanam padi) di Asia, terutama
Indonesia. Bahkan sasaran mereka mencapai
semakin dipengaruhi oleh pasar keuangan
area ratusan atau jutaan hektar yang sama
(perbankan dan pasar modal) dan semakin
lama akan semakin dalam dengan semakin
berkembangnya agro-industri di tanah air kita.
Bahkan untuk usaha menengah-kecil sekalipun
dianjurkan memanfaatkan pasar modal sebagai
kuatnya dengan program negara melalui
instrumen pencarian dana pembiayaan
investasi alternatif yang murah bagi
pengembangan usahanya. Hal itu dikarenakan
masa mengejar modal atau sering dinamakan
Capital Chasm, merupakan tahap yang harus
dilalui oleh setiap industri dalam membiayai
pengembangan usahanya apakah memilih
pembiayaan perbankan yang mahal atau keluar
ke jalur pasar modal yang murah tetapi
memerlukan persyaratan dan kualitas
pengelolaan yang super ketat (UNCTAD 2001).
Edisi No. 56/XVIII/Oktober-Desember/2009
pembukaan lahan gambut 1 juta hektar di
Kalteng, tanpa perlu anggaran negara. Jika
ini terealisir maka lahirnya korporasi dengan
kekuatan antara 7-15% penyediaan beras oleh
seluruh ekonomi akan mempunyai kedudukan
penting.
Hal serupa pernah dipikirkan oleh Korea
Selatan untuk mengirim petaninya yang
berketrampilan tinggi dengan semangat kerja
keras untuk berinvestasi ke Siberia atau
Indonesia dengan dukungan modal sektor
keuangan mereka yang ketika itu sangat kuat.
Salah satu tujuannya adalah untuk
mengantisipasi penyatuan Korea apabila
mereka harus menyediakan beras dalam
PANGAN 9
jumlah yang sangat besar. Diperkirakan
investasi trans negara untuk memproduksi
beras akan berkembang di masa depan.
orang miskin melalui cara ini secara terus
Pertanyaan selanjutnya apakah akibatnya
akan jelek terhadap perangsang berproduksi
dengan bergeraknya waktu. Di luarsoal beras
dan pupuk, kini hampir tiap tahun muncul
bagi bahan pangan sehingga mengganggu
penyediaan pangan? Jawabnya jelas tidak,
apalagi dalam jangka menengah dan panjang,
karena akan membebaskan petani dari
kewajiban memikul tanggung jawab nasional
menyediakan pangan dengan harus berkutat
di usaha bemilai tambah rendah dengan lahan
sempit. Dalam jangka pendek? Mungkin ya,
dan dapat memilukan bagi sebagian (terbesar)
masyarakat dunia. Fluktuasi harga minyak
maupun gangguan pasar modal secara cepat
akan dipindahkan ke pasar komoditas
(termasuk pangan), sehingga kelompok miskin
akan memikul beban yang lebih besar.
Tantangan terbesar akan dihadapi oleh
menerus? Sungguh tidak masuk akal, dan
kesenjangan iniakan cenderung semakin besar
komoditi tersubsidi yang baru untuk berbagai
sasaran seperti minyak goreng, kedele dan
yang akan semakin menambah kerumitan
pemahaman kita akan pola subsidi kita untuk
"siapa" dan melalui instrumen "apa" yang
semakin mengacaukan.
Gambaran diatas mengharuskan kita
untuk meluruskan kembali makna subsidi yaitu
mendorong produksi dan mengurangi beban.
Meskipun mendorong produksi ternyata
sasarannya sangat parsial. Subsidi pupuk
misalnya, bukan untuk semua petani. Tetapi
pembuat keputusan bisnis berada di luar kontrol
hanya petani tanaman tertentu terutama padi.
Jadi pada dasarnya ini bukan subsidi sektor
dan bukan subsidi harga komoditi yang sama,
tetapi subsidi untuk kelompok sasaran tertentu
yaitu "petani padi". Kalau itu yang dimaksud,
maka subsidi yang dibayar melalui industri
menjadi salah jalan dan sulit dijamin
pemerintah. Justru reformasi yang harus
dilakukan bukan pada tataran memperdalam
dan memperbanyak intervensi (atau
mengembalikan pola intervensi masa ORBA),
transparansinya, karena perhitungan biaya
tidak bisa parsial. Inilah alasan perlunya
penyatuan seluruh subsidi perlu di reorientasi
dari industri dan komoditi kelompok sasaran
tetapi pembaruan instrument intervensi yang
langsung. Serahkan mekanisme ini sebagai
kompatibel dengan kebutuhan kelompok
mekanisme subsidi biasa bukan mekanisme
Pemerintah, karena instrumen intervensi
melalui subsidi dan intervensi pasar menjadi
tidak efektif dan biayanya mahal, karena
sasaran dan pasar.
politik harga secara sektoral dan parsial
Intervensi subsidi industri input maupun
penguasaan stok pemerintah menjadi mahal
dan pengaruhnya tetap tidak efektif. Sebagai
contoh untuk tahun 2009 dalam upaya menjaga
(input/output).
produksi beras tetap berswasembada (tahun
2008 tanpa impor) dibutuhkan subsidi
pertanian, untuk subsidi pupuk dan Raskin
akan terekpos semakin mahal. Untuk sasaran
penyaluran sebanyak 3,4 juta ton beras dengan
biaya Rp 14,5 triliun untuk Raskin (KOMPAS,
September 2008) berarti subsidi Raskin akan
senilai Rp 4.265,- per kilogram, sementara
harga beras termurah di PIC atau di pasar
desa yang biasa dibeli kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah masih ada yang djual
dengan harga lebih murah dari Rp 4.000,-.
Apakah rasional untuk mempertahankan cara
pengelolaan stok dan subsidi beras untuk
PANGAN 10
Politik pangan ke depan memang harus
tetap ramah pasar dan instrumen intervensi
harga melalui pasar akan menjadi kurang
efektif. Bahkan pada sektor energi yang dahulu
menjadi simbol monopoli negara secara
perlahan terus diserahkan melalui pasar,
sehingga tidak mungkin memikirkan politik
pangan tanpa melihat kondisi ideal yakni pasar
yang efisien dan bekerja secara maksimal. UU
No. 7 tahun 1996 tentang pangan telah
meletakkan dasar yang baik untuk keinginan
tersebut, karena pangan ditempatkan sebagai
komoditas perdagangan dan tujuan politik
pangan adalah ketahanan pangan.
Ketersediaan adalah penggabungan kekuatan
produksi dan perdagangan, serta hadirnya
cadangan pangan pemerintah (untuk berjagaEdisi No. 56/XVIII/Oktober-Desember/2009
jaga atau iron stock) sebagai pilamya menuju
ketahanan pangan dan ekonomi melalui
pengelolaan atas dasar prinsip kemandirian,
tidak mutlak swasembada apalagi menjadikan
surplus fisik at all cost sebagai guiding principle
keliru, karena
dapat mengorbankan
kesejahteraan petani.
Upaya mengatasi kemiskinan semakin
rumit karena kelompok hampir miskin sangat
besar jumlahnya, di mana intervensi universal
sangat baik dan efektif tetapi mahal biayanya.
Menurut Bayu Krisnamurti (KOMPAS 8/1/09),
penduduk miskin di Indonesia dengan kriteria
garis kemiskinan US$1.-/hari hanya mencapai
sekitar 14 juta jiwa jumlahnya, tetapi jika
digunakan ukuran USS2.- angka itu
membengkak menjadi 100 juta jiwa lebih. Hal
itu menunjukkan betapa sensitifnya jumlah
penduduk miskin yang berada di sekitar garis
kemiskinan. Apabila kebijakan universal Raskin
diterapkan pada mereka, maka paling tidak
dibutuhkan subsidi raskin 3-4 kali lipat dari
sekarang. Namun intervensi universal melalui
ibu hamil, ibu baru melahirkan, dan bayi yang
jumlahnya lebih sedikit, dapat mengatasi 20%
persoalan kemiskinan seperti yang
diungkapkan Pathel, UNDP Report, 2008
(Harian Kompas, 2008). Intervensi
pengurangan beban sosial masyarakat miskin
harus tidak lagi bertumpu pada beras murah,
tetapi penanganan langsung kasus kurang gizi
melalui program intervensi gizi yang lebih
terpadu dan terarah. Banyak ahli gizi yang
meragukan efektifitas penangan rawan pangan
harga pangan berkelanjutan dikarenakan oleh
beberapa alasan sebagai berikut:
Pertama, sifat pergerakan harga pangan
di pasar global tidak hanya ditentukan oleh
produksi dan stok dunia, tetapi semakin terkait
erat dengan pasar minyak dan keuangan dunia,
sehingga kemampuan pemerintah untuk
mengisolasi pasar domestik dari pasar
internasional semakin kecil dan tidak efektif.
Kedua, perspektif sistem anggaran,
pergeseran struktur kekuatan politik yang
merata cenderung memilih kebijakan anggaran
kompromistik dan mudah berubah yang sulit
menuju pemihakan pertanian yang konsisten
berkelanjutan, disertai keragaman kepentingan
daerah yang semakin mengarah pada
decoupling antara kebijakan produksi dan
ketahanan pangan di tingkat daerah
(kabupaten/kota).
Ketiga, terdapat kesenjangan antara apa
yang diinginkan mayarakat dan idealisasi cara
mengatasi persoalan pangan yang tumbuh
dan berkembang. Persoalan ini berpangkal
dari kerancuan pemahaman pengertian dan
aplikasi kebijakan ketahanan pangan yang
dipersempit pada persoalan kemandirian
produksi pangan dan lebih sempit lagi jika
hanya diartikan identik dengan swasembada
beras. Arah politik pangan masa depan
seharusnya adalah ketahanan pangan rumah
tangga yang berpangkal pada sumber hakiki
kerawanan pangan yaitu daya beli (kemiskinan)
dan isolasi (akses) baik karena bencana
maupun faktor sosial.
(terutama rawan gizi) yang tidak terpadu dan
berjalan sendiri-sendiri. Politik penanganan
kurang gizi harus menjadi komando
penanganan kekurangan pangan dan
intervensinya harus selektif. Ke depan Politik
Pangan harus dipandu dan dikomandoi oleh
Politik Penangangan Kekurangan Gizi. Politik
ketersediaan sebaiknya diserahkan kepada
pasar dan keswadayaan masyarakat dalam
pengelolaan cadangan pangan melalui
kelembagaan atas dasar kearifan lokal sesuai
kebutuhan setempat seperti lumbung desa
dan Iain-Iain.
Politik pangan ke depan tidak mungkin
dirancang untuk mendukung politik stabilisasi
Edisi No. 56/XVIII/Oktober-Desembcr/2009
V.
PENUTUP
Indonesia pada dasarnya masih tetap
berada pada kestabilan ketersediaan pangan
yang baik serta keragaman pangan yang
membaik, meskipun pernah dihempas krisis
yang mengenai sekelompok golongan
penduduk. Arah politik pangan yang kompatibel
pada persoalan kerawanan pangan pada
kelompok rentan seharusnya tidak dikaburkan
dengan isu ketersediaan semata apalagi isu
sempit swasembada (beras), tetapi melalui
strategi penanganan kelompok sasaran dengan
intervensi gizi dan kesehatan, serta bukan
semata intervensi ketersediaan. Demikian juga
PANGAN 11
politik pertanian kita harus ditujukan pada
politik pendapatan dan kesejahteraan petani,
intervensi penyediaan dan stok yang
dipraktekan sekarang ini pedu dilihat kembali
dan bukan politik komoditi yang semakin
efisiensi dan daya saing, Kajian kemangkusan
fungsinya sebagai iron stock sejalan dengan
perkembangan pertanian dan industri pangan
secara nasional dan global, yang semakin
tidak bisa dipisahkan dari keterkaitan foodfuel-finance dalam pasar pangan-energi-pasar
(efektifitas)
modal global.
menjadi kepentingan produsen dan pasar
keseluruhan, apalagi politik swasembada
komoditas yang cenderung mengabaikan
dan kesangkilan (efisiensi)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Anatomi Sistem Pangan Nasionl dalam
Majalah Prisma, Edisi Hari Pangan 1993.
Prisma. Jakarta. 1993.
Anonim. Rekonstruksi dan Restrukturisasi Pertania.
PERHEPI. Jakarta. 2004.
Anonim. Statistik Indonesia 2008. BPS. Jakarta,
Indonesia. 2008.
Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia 1998,
BPS. Jakarta, Indonesia. 1998.
United
Nation
Conference on Trade and
Development (UNCTAD). Improving the
Competitiveness of SMEs in Developing
Countries: The Role of Finance to Enhance
Enterprise Developmen.
UNCTAD. Genenve.
2001.
World Bank, lndonesia:Maintaining Stability,
Deepening Refor: World Bank. January. 2003.
Harian Kompas. KOMPAS. 28 September
2008. Jakarta. 2008.
Mubyarto. Membangun Sistem Ekonom. Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi
BPFE-UGM.
Yogyakarta. 2000.
Noer Soetrisno. Rekonstruksi Pemahaman Koperasi:
Merajut Kekuatan Ekonomi Rakyat. INTRANS
Center
for
Transformation
Studies.
Jakarta, 2001.
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia
(PERHEPI). Agro Ekonomik. Majalah Edisi
BIODATA PENULIS :
Noer Soetrisno lahir di Blitar 25 Desember
1949 menyelesaikan pendidikan tinggi pada
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada
jurusan Ekonomi Pertanian awal tahun 1976.
Pada saat ini aktif sebagai komisaris salah satu
BUMN dan menjabat sebagai Ketua
MUBYARTO Institut berkedudukan di Jakarta
yang didirikan pada tanggal 15 Januari 2009.
No 1-Tahun XXXV. PERHEPI. Jakarta. 2005.
PANGAN 12
Edisi No. 56/XVIIL'Oktober-Desember/2009