Prinsip Prinsip Epikeia id. docx

Prinsip Prinsip Epikeia
Epikeia adalah sebuah interpretasi terhadap hokum positif, tidak menurut katakatanya, melainkan menurut “semangatnya” atau suasana kebatinannya. Epikeia ini
dipergunakan bila dalam menangani kasus-kasus yang dibatasi oleh sesuatu hukum
mengalami kesulitan penanganannya atau perapan hukum positif tidak pernah mencapai
sasarannya. Epikeia inidapat pula diartikan sebagai upayaorang untuk membebaskan diri
dari beban yang harus ditanggungnya setelah ia dengan jujur menganggap bahwa
sebenarnya pembentuk hukum tidak bermaksud memaksakan beban itu dalam setiap
kasus khusus macam apa pun atau setidak-tidaknya dalam hal-hal khusus yang diatur
oleh peraturan hukum positif
Dari uraian tersebut, kini jelas bahwa epikeia bukan merupakan dalih atau
pengingkaran atas hukum, melainkan justru merupakan suasana kebatinan dari kebebasan
atau perasaan terbebas dari pernyataan hukum yang bersifat intrinsik dan tidak tertulis,
yang di dalam kodrat manusia bersifat “inheren”, atas kodifikasi norma-norma dalam
hukum positif.
Uraian tentang epikeia tersebut ialah uraian dalam arti luas. Dalam arinya yang
lebih sempit, epikeia adalah penafsiran terbatas terhadap hukum yang dilakukan oleh
pemegang kekuasaan dalam bidang perdata dengan maksud untuk “memaafkan”
seseorang dari keberlakuan hukum karena kesulitan-kesulitan khusus subjek hukum
dalam usahanya menyesuaikan diri makna asli dari sebuah legislasi. Pegangan atau
petunjuk moral biasanya memperjelas arti sempit epikeia ini.
Banyak terjadi bahwa epikeia dianggap interpretasi terhadap hukum menurut

gagasan dasar legislator. Kiranya memang dinilai lebih baik jika legislator sendiri suatu
saat juga menyadari keterbatasan pengertiannya tentang hukum yang dibuatnya sendiri,
dan dari sini orang dapat melihat adanya “pengecualian yang sah” yang mungkin
legislator sendiri tidak bersedia untuk mengakuinya.
Jika dalam sistem legislasi modern ini, terutama dalam negara demokratis,
legislator biasanya tidak dijabat oleh satu orang secara individual melainkan dalam
bentuk sebuah lembaga yaitu legislative, maka hukum-hukum yang terbentuk biasanya
merupakan kompromi dari berbagai gagasan anggota lembaga. Oleh karena itu cukup
sulit bagi kita untuk mengidentifikasi apa yang menjadi gagasan utama dari legislator di
balik hukum yang berlaku tersebut.

Intisari pertimbangan-pertimbangan dari epikeia adalah sebagai berikut:
a. Legislator tidak dapat meramalkan keadaan lingkungan atau ruang lingku yang
mungkin terjadi pada masing-masing individu, dan seandainya ia telah melihat
hal itu ia sering tidak dapat mengatasinya atas dasar semua pernyataan hukum
umum
b. Banyak hukum seringkali tidak dapat mengikuti perkembangan hidup manusia
yang maju dengan pesatnya, demikian juga dengan perubahan-perubahan yang
terjadi di dalam masyarakat, karena terikat pada keadaan dan persyaratan pada
masa lalu, banyak peraturan perundangan selalu tidak dapat mendatangkan

keadilan sepenuhnya sesuai dengan kebutuhuan kebutuhan yang ada pada masa
sekarang ini. Jadi, sebenarnya bentuk bentuk hukum positif selalu mengandung
cacat di dalamnya. Oleh karena ini maka legislasi hukum positif selalu
memerlukan Epikeia
Meskipun demikian, untuk dapat melaksanakan epikeia, syarat- syarat berikut ini
harus dipenuhi:
a. Epikeia hanya dapat diterapkan pada hukum positif.
b. Hambatan-hambatan yang muncul dalam upaya pemenuhan tuntutan hukum
benar-benar dirasakan berat dan tidak sebanding dengan keuntungan yang
diharapkan
c. Dalam kaitannya dengan konsultasi yang dirasakan sangat mendesak, terutama
tentang hal-hal yang menyangkut pengecualian yang dipandang penting, banyak
orang sering menipu diri mereka sendiri dengan berpandangan seakan-akan
penalaran yang dilakukannnya itu valid atau memadai.
d. Dalam perkara-perkara yang masih menimbulkan keraguan, maka upaya untuk
mencari penjelasan pada instansi yang lebih tinggi adalah perlu. Namun bila
epikeia dapat dilaksanakan, konsultasi ke atas kiranya tidak diperlukan lagi
e. Epikeia tidak dapat diterapkan pada hukum-hukum yang berfungsi membatalkan
sebuah pernyataan hukum dan juga tidak dapat diterapkan pada hukum yang
menyebabkan subjek “tidak mampu” melakukan perbuatan hukum.

Kesejahteraan umum menuntut adanya pengakuan atas perbuatan-perbuatan
hukum yang dilakukan oleh setiap anggota masyarakat.

Jadi atas dasar tulisan tersebut, epikeia dapat dipandang sebagai sebuah hak yang
hanya diterapkan pada ruang lingkup manusia secara individual dan pribadi. Dalam
keadaan darurat, pemerintah sebuah negara demokraasi berhak untuk menempatkan diri
melampaui kekuasaan tertinggi sebagaimana diatur oleh UUD, asal saja hal ini memang
diperlukan demi tercapainya atau terselenggaranya stabilitas nasional. Jika hal ini tidak
mungkin untuk dilakukan, maka pemerintah berkewajiban untuk menyerahkan atau
mempertanggungjawabkan semua kegiatannya kepada lembaga legislated secepatcepatnya.
Dengan kata lain, prinsip epikeia ini berlaku dalam penafsiran hukum oleh aparat
penegak hukum. Agar dalam penafsiran suatu naskah hukum, mereka tidak hanya terpaku
pada penemuan kebenaran formal, tetapi terlebih berupaya mencari kebenaran material
(keadilan hukum). Professional hukum dituntut untuk menegakkan keadilan hukum.
Mereka mesti tetap mengusahakan kesucian antara kebenaran formal dan kebenaran
material, yakni mengacu pada cita-cita masyarakat tentang keadilan dan martabat
manusia.
Untuk itu para profesionak hukum harus menghargai kemanusiaan klien/pencari
keadilan, yaitu dalam menegakkan hukum klien/pencari keadilan harus diperlakukan
sebagai manusia sebab ia memiliki keluhuran pribadi sebagai ciptaan tuhan, sebagai

makhluk yang otonom (memiliki akal budi dan kehendak bebas) dan makhluk social.
Mengupayakan keadilan, akni memberikan kepada klien apa yang menjadi haknya.
Bersikap jujur dengan terus terang kepada klien mengenai masalah hukum tersebut, dan
Mengutamakan kepatutan atau kepantasan bagi klien dan profesinya seturut hukum dan
kode etik profesinya.