Mengapa Dinastokrasi Harus presentasi Ditolak

Mengapa Dinastokrasi Harus Ditolak ?
Oleh Agus Sutisna
Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 7 huruf r UU
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah, diskursus tentang
dinasti politik praktis berakhir jika gejala dinasti politik dilihat dan difahami
secara simplistik dalam konteks norma hukum belaka sebagaimana para
hakim MK melihat dan memahaminya, dan menegasikan konteks praksis
sosiopolitik dimana dinasti itu hidup sebagai bentuk operasi kekuasaan.
Dalam amar putusannya, MK berpendapat bahwa Pasal 7 huruf r yang
mengatur tentang syarat pencalonan, dimana dinyatakan bahwa calon
kepala daerah tidak boleh ada konflik kepentingan dengan petahana, yakni
gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, maupun wali kota dan
wakil wali kota yang masih memegang jabatan, bertentangan dengan Pasal
28 i ayat (2) UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Pasal 7 huruf r
UU Pilkada 2015 dianggap diskriminatif dan dengan demikian melanggar hak
azasi manusia.
MK menafikan fakta-fakta sosiopolitik bahwa praktik dinasti telah
membawa implikasi buruk yang meluas dalam kehidupan masyarakat,
bertentangan dengan cita-cita luhur reformasi, kontraproduktif terhadap
kebutuhan memperkuat demokrasi substansif, serta mendistorsi pesanpesan mulia yang terkandung dalam prinsip-prinsip desentralisasi dan

otonomi.
Dalam kasus Pilgub Banten 2017, selain karena alasan tersebut diatas,
perbincangan dinasti politik juga menjadi tidak relevan jika gejala dinasti
hanya dilihat dan difahami dengan merujuk kepada pandangan para ilmuwan
politik yang memberikan batasan pemahaman terhadap dinasti hanya dalam
kerangka adanya praktik pewarisan (langsung atau melalui proses
elektorasi). Dalam pemahaman demikian, saat ini tidak ada satupun figur
bakal calon yang tersangkut kasus dinasti, bahkan juga Andika dan Jaman.
Karena Ratu Atut, ibunda Andika sekaligus kakaknya Jaman, tidak lagi dalam
posisi sebagai gubernur Banten. Rantai estafeta kekuasaan dari Atut ke
Andika atau Jaman sedang terputus. Jadi posisi mereka berdua sama saja
dengan WH, Anton, JB, Aeng, Eden, Tantowi, Marissa dan Soleh Majid (aktifis
Lebak yang berminat maju dan sudah mulai selfi-selfi bersama timsesnya di
alun-alun Rangkasbitung).
Dinastokrasi berdiaspora
Tetapi isu dinastokrasi akan tetap relevan dan penting dipersoalkan
oleh sebab fakta-fakta fenomenologisnya bahwa ia, khususnya di Banten,
telah mengalami proliferasi (berdiaspora, menyebar) di banyak ranah

kehidupan masyarakat, meski estafeta kekuasaan dinastik saat ini sedang

terputus. Lantas, mengapa ia harus ditolak ? Tentu saja ditolak dalam
pengertian sosiopolitik, bukan dalam konteks hukum. Sebab putusan MK
bersifat final and binding (akhir dan mengikat).
Pertama, dinastokrasi paradoks dengan ikhtiar bangsa ini untuk
mengkonsolidasikan demokrasi deliberatif, dimana ruang partisipasi harus
dibuka seluas dan selebar mungkin bagi setiap warga. Dinastokrasi
mempersempit peluang bagi kemungkinan hadirnya calon-calon pemimpin
yang unggul integritas dan kompetensi terutama di daerah lantaran pintu
masuk ke arena kontestasi kekuasaan didominasi oleh trah dan jaringan
keluarga dan kerabat dinasti. Situasi ini sudah barang pasti merugikan
masyarakat yang sejatinya menghendaki perubahan dan pembaruan tata
kehidupannya dari waktu ke waktu. Padahal naluri purba kekuasaan
cenderung konservatif, pro-kemapanan, bahkan anti-perubahan. Naluri
model ini menjadi absolut di tangan dinastokrasi.
Kedua, dinastokrasi menyuburkan oligarki dimana operasi kekuasaan
hanya didominasi oleh pikiran, ambisi dan kepentingan segelintir aktor
politik di lingkaran dinasti dan para kroninya. Situasi ini buruk dilihat dari sisi
kebutuhan melahirkan produk-produk kebijakan publik yang mewakili
semangat dan aspirasi masyarakat luas. Gejala oligarkis juga dengan mudah
dapat menegasikan prinsip-prinsip mekanisme check and balances diantara

cabang-cabang kekuasaan. Maka tidak mengherankan jika berbagai macam
proyek misalnya, diukur dari sisi manapun, lebih mencerminkan pemenuhan
kepentingan pribadi, kroni dan kelompok ketimbang kepentingan warga.
Ketiga, dinastokrasi, terlebih lagi jika gejala-gejala faktualnya sudah
merambah (berdiaspora) ke berbagai arena kehidupan publik (bisnis, sosial,
pendidikan, keagamaan, pemuda dll) cenderung menyuburkan perilaku dan
budaya koruptif, kolutif dan nepotistik yang sangat kental. Prinsip-prinsip
luhur
tatakelola
kekuasaan
dan
governance
seperti
integritas,
profesionalitas, meritokritas dan sejenisnya sama sekali tidak populer dalam
tradisi yang dibangun dan dikembangkan oleh dinastokrasi, siapa pun yang
mengaktori dan menjadi kroninya.
Keempat, berbagai riset menunjukkan bahwa dinastokrasi selalu
bersitemali kuat dengan nafsu penguasaan atas aset-aset dan resources
negara/daerah (Dal Bo, Snyder, Thompson, Sidel, Migdal, Okamoto, Hamid,

dll). Karena dengan memaksimalkan penggunaan secara tak halal dan jauh
dari prinsip keadilan aset dan rosources itulah pula dinasti dirawat dan
dikembangkan, kemudian terus beranak-pinak. Dinastokrasi, seperti
disimpulkan banyak peneliti, pada umumnya dimana-mana gejalanya
sebangun : melahirkan para bandit yang memeras dan predator yang
menguras kekayaan negara/daearah.

Kelima, hipotesa penulis, ke depan dinastokrasi akan menumbuhsuburkan mindset publik (khususnya generasi muda) yang tidak sehat, yang
dengan mudah bisa dideteksi dalam ragam ekspresi dan artikulasi budaya
serba instan; mentalitas pragmatis dan oportunis; culas dan khianat; tak
menganggap penting integritas, kejujuran dan keluhuran akan budi dan
sejenisnya.
Nah, dengan deretan implikasi buruk itu : anti-demokrasi; oligarki yang
super egois; perilaku koruptif, kolutif dan nepotistik; rezim bandit dan
predator; serta racun mindset bagi generasi muda, saya gagal faham jika
orang Banten masih rela memberikan pijakan bagi dinastokrasi untuk naik
panggung 2017 mendatang.
Penulis adalah Direktur Eksekutif
Pusat Studi Politik Pemerintahan dan Kebijakan (PSPPK) FISIP UMT