Mengapa Toko Modern Harus Dibatasi

Mengapa “Toko Modern” Harus Dibatasi?1
Oleh : Puthut Indroyono2
Minggu lalu beberapa media lokal dan nasional sempat memuat berita cukup kontroversial
tentang perlunya penambahan toko modern di kota Jogja, dari 52 menjadi 60 outlet. Berita ini
mengundang reaksi keras dan beragam tidak hanya pedagang, tetapi juga para akademisi di
lingkungan UGM, dimana rekomendasi berasal.
Misalnya dalam diskusi minggu lalu di fakultas ekonomi UGM, ada pakar yang menyayangkan
rekomendasi itu. Seorang ahli manajemen menyatakan toko modern di era global sekarang telah
menggerogoti “pangsa pasar” produk lokal dan industri rakyat. Hasil peneliannya mengungkap
peran perusahaan multinasional telah mendorong masyarakat miskin makin mengkonsumsi
produk-produk yang bukan berasal dari lingkungan mereka sendiri. Ada korelasi yang
menimbulkan masyarakat makin konsumtif yang berujung pada pemiskinan. Bukti ironis bahwa
sampah komunitas masyarakat miskin, justru makin banyak berasal dari perusahaan
multinasional.
Ada pula yang mengamini dengan memberi ilustrasi bahwa toko/warung rakyat atau
“angkringan” kini telah menjadi outlet produk instan dari perusahaan global. Hampir semua
produk paling pribadi di “kamar mandi” dan “meja makan” rumah tangga sudah bukan lagi
produk lokal.
Jika kecenderungan ini tidak diantisipasi, dikawatirkan kemampuan masyarakat memproduksi
barang dalam mewujudkan kemandirian bangsa akan makin jauh dari kenyataan. Yang juga
sangat menyedihkan adalah apabila kecenderungan ini justru “melibas dalam sekejap” hasil-hasil

program pemberdayaan dan penanggulangan kemiskinan yang susah payah dikembangkan
berbagai pihak selama bertahun-tahun.
Pasar Rakyat
Pasar rakyat atau yg sering disebut “pasar tradisional” seharusnya menjadi wadah bagi produsen
rakyat dan komunitas lokal dalam menjajakan barangnya. Sayangnya, keberadaannya kini makin
terancam oleh ekspansi pasar/toko modern. Berdasarkan studi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan
UGM dan Lembaga Ombudsman Swasta tahun 2011, ditemukan bukti menurunnya pangsa pasar
(market share) pedagang pasar rakyat.

1

Warta Pasar Vol II No. 6 Juni 2013

2

Ketua Program “Sekolah Pasar” dan Peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

Terdesaknya pedagang pasar rakyat atau pebisnis retail lokal, antara lain dalam bentuk
menurunya omset penjualan. Hasil survei di DIY menunjukkan ada penurunan rata-rata –5,9%,
namun yang lebih besar dialami kelompok pedagang dengan aset Rp 5-15 juta, Rp 15-25 juta,

dan di atas Rp 25 juta. Mereka mengalami penurunan omset –14,6%, –11%, dan – 20,5%.
Berdasarkan kewilayahan, penurunan omset tertinggi dialami pedagang di kota Yogyakarta dan
Sleman, masing-masing sebesar – 25,5% dan – 22,9%.
Lebih khusus, yang paling menderita adalah mereka yang pasokan dagangannya berasal dari
industri/pabrikan dan lokasinya berdekatan dengan toko modern. Sementara pedagang yang
menjual barang mentah atau produk pertanian atau industri desa cenderung tidak separah
kelompok di atas. Terungkap pula bahwa pedagang pasar rakyat yang menjual produk pabrikan
sebesar 34%, kombinasi pabrikan dan produk desa 18%, produk impor 3%, dan produk desa
sebesar 45%.
Angka nasional menyebut, saat ini 28 toko/ritel modern utama menguasai 31% pangsa pasar
dengan total omset sekitar Rp. 70,5 trilyun. Artinya satu perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5
trilyun omset/tahun atau Rp. 208,3 milyar/bulan. Padahal kalau ditelusuri omset ritel modern
tersebut hanya terkonsentrasi pada segelintir peritel besar.
Hal ini kontras dengan ritel rakyat yang memiliki total omset Rp. 156,9 trilyun namun dibagi
kepada 17,1 juta pedagang, 70%-nya masuk kategori informal. Dengan demikian satu usaha
pedagang rata-rata hanya menikmati omset Rp. 9,1 juta /tahun atau Rp. 764,6 ribu/bulan.
Dengan bukti-bukti tersebut, maka kebijakan penambahan toko modern sebagaimana disinggung
di atas, justru akan makin memperparah keadaan.
Sekolah Pasar Rakyat
Benarkah kebijakan “proteksi” melalui pembatasan dapat menimbulkan inefisiensi?

Sebagaimana “terpampang nyata” di lapangan, sesungguhnya mayoritas pelaku pasar rakyat
berada di luar struktur ekonomi untuk mampu berkompetisi secara sehat (fair competition).
Sangat tidak masuk akal mendorong pelaku pasar rakyat untuk berkompetisi dengan peritel
modern yang memiliki segala akses terhadap sumber daya dan permodalan.
Berdasarkan identifikasi dalam penelitian kami sebelumnya, menunjukkan permasalahan pasar
rakyat ada beberapa hal: Pertama, aspek modal material, pelaku pasar rakyat memiliki
keterbatasan dalam permodalan meliputi aset, modal finansial, peralatan/teknologi yang
dipergunakan, dan lain-lain. Kedua, aspek modal intelektual, mereka juga memiliki keterbatasan
dalam aspek keahlian (know-how) menjalankan bisnis mereka. Hal ini menyangkut aspek
produk, kemasan, costumer service, dll. dan Ketiga, aspek modal institusional/modal sosial
adalah aspek kemampuan dalam berorganisasi dan melakukan tawar-menawar dalam berbisnis,

serta kemampuan dalam menjalin kerjasama untuk meningkatkan aspirasi dan kepentingan bisnis
mereka secara kolektif.
Untuk mengatasi masalah tersebut, lebih dari setahun ini Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan
UGM mencoba memberi solusi terutama masalah kedua dan ketiga. Program tersebut diberi
nama “Sekolah Pasar”. Melalui pilot project di pasar Kranggan, diikuti pasar-pasar
“percontohan” di Purworejo dan Klaten, sekolah pasar telah berhasil menghidupkan “pertemuan
kelas” lesehan di sela serambi atau kios, untuk membahas bersama pedagang tentang materi
pembukuan praktis, pengelolaan stok dagangan, menjaga kebersihan, melayani pelanggan dan

lain-lain. Untuk prakteknya, sekolah pasar juga membuat “klinik” sebagai wahana konsultasi dan
pendampingan.
Dari sisi kelembagaan, sekolah pasar juga mendorong penguatan paguyuban dan koperasi
“sejati” di pasar. Banyak koperasi pasar tidak mencerminkan semangat kerjasama, sehingga
perlu upaya untuk memajukan peranannya dalam pengelolaan pasar. Gagasan segar tentang
pengelolaan pasar oleh koperasi pasar telah bergulir. Demikian pula, sebagai “aset publik”,
pengelolaan pasar juga harus dikelola berdasarkan tata kelola yang baik. Oleh karena itu saat ini
Sekolah Pasar sedang mendorong diskusi tentang tata kelola “Anggaran dan Belanja Pasar
Rakyat” yang baik.
Masih banyak sebenarnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah maupun para ahli di
perguruan tinggi untuk memperbaiki struktur perekonomian lokal dan nasional. Sebagaimana
pernah dinyatakan oleh wakil menteri perdagangan, bahwa pasar rakyat bisa “modern”,
sebaliknya pasar swasta bisa “tidak modern”.

Yogyakarta, 19 April 2013