KONSEP AL-ASHÎL DAN AL-DAKHÎL DALAM TAFSIR ALQURAN

KONSEP AL-ASHÎL DAN AL-DAKHÎL DALAM TAFSIR ALQURAN

Muhammad Ulinnuha

Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta Jl. Ir.Juanda No.70 Ciputat, Jakarta E-mail: maznuha@gmail.com

Abstract: The Concept of al-Ashîl and al-Dakhîl in the Quranic Exegesis. This study examined the concept of al-ashîl

and al-dakhîl in the Quranic exegesis. These two issues were important to discuss because in the books of exegesis there were many data and information that were irrelevant to the content of verses and sublime messages of the Quran. Even authoritative exegesis books were also not sterile from the infiltration of interpretation, either in the form of historical data, ra’y (the result of ijtihad) or inner cues. Based on this, this study aimed to explain the concept of ashâlat al-mashdar (source authenticity) so that al-dakhîl fî al-tafsîr (infiltration of interpretation) could be known, criticized and evaluated. Criticism of the infiltration of quranic interpretation was necessary so that the exegesis books—as a work in direct contact with the main source of Islam—were completely cleansed from the reality of al-dakhîl.

Keywords: al-dakhîl ; infiltration of exegesis; al-ashîl; exegesis criticism.

Abstrak: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran. Penelitian ini menguji konsep al-ashîl dan al-dakhîl dalam tafsir Alquran. Kedua isu ini penting untuk didiskusikan karena dalam kitab tafsir banyak data dan informasi yang tidak relevan dengan isi ayat dan pesan luhur Alquran. Bahkan kitab-kitab tafsir yang otoritatif juga tidak steril dari infiltrasi penafsiran, baik dalam bentuk data historis, ra’y (hasil ijtihad) atau isyarat batin. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan konsep ashâlat al-mashdar (keaslian sumber) sehingga al-dakhîl fî al-tafsîr ( infiltrasi interpretasi) dapat diketahui, dikritik dan dievaluasi. Kritik terhadap infiltrasi interpretasi Alquran diperlukan agar kitab-kitab tafsir—sebagai karya yang berhubungan langsung dengan sumber utama Islam—benar-benar dibersihkan dari kenyataan al-dakhîl.

Kata kunci: al-dakhîl; infiltrasi penafsiran; al-ashîl; kritik tafsir.

Pendahuluan

saja terjadi pada era kontemporer, tapi secara Tafsir adalah produk pemikiran manusia. 1 genealogis sudah terjadi sejak masa-masa klasik

Sepanjang tafsir merupakan produk manusia, seiring dengan penyebaran Islam ke berbagai maka hal itu tidak akan lepas dari kekurangan

penjuru dunia.

atau bahkan penyelewengan. Di antara bentuk Hal itu dapat dijumpai dalam beberapa karya penyelewengan (inhirâf) itu adalah dimasukkannya

tafsir klasik maupun modern, dengan adanya data-data yang tidak valid ke dalam pembahasan

sistem, orientasi dan metode penafsiran yang tafsir Alquran yang kemudian disebut dengan

tidak sesuai (incompatible). Kecenderungan- istilah al-dakhîl ( infiltrasi). Menurut Abdul Wahhab

kecenderungan itu semakin tampak seiring dengan Fâyed, 2 praktek infiltrasi penafsiran itu tidak

munculnya pola-pola baru dalam menafsirkan Alquran, terutama dengan semakin menguatnya

gairah untuk memberikan makna yang lebih

Tafsir disebut dengan hasil pemikiran karena semua produk penafsiran (baik yang terkategori tafsir bi al-ma’tsur,

memuaskan keinginan mufasir dalam memahami

bi al-ra’yi maupun bi al-isyârah) tidak ada yang steril dari

Alquran, dengan berusaha mengelaborasi

kontribusi akal/ijtihad penulisnya.

metodologi tafsir yang tidak seluruhnya steril

Baca selengkapnya pada Abdul Wahhab Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Matba’ah al-Hadharah al-

dari semangat kepentingan.

‘Arabiyah, 1978), Juz I, h. 102-108.

MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

tafsir yang dihasilkan mencapai titik objektifnya penyelewengan tafsir. Contohnya adalah pe-

Pada era sahabat sendiri 3 sudah terjadi

di sisi yang lain.

nafsiran Qudâmah ibn Mazh’ûn al-Khâthi’ (w.36 Objektifitas dalam penafsiran tidak mungkin

H) terhadap Q.S. al-Mâ’idah [5]:93. Qudâmah dapat dilakukan seratus persen. Maka benar menganggap bahwa khamr boleh dikonsumsi

pernyataan Hasan Hanafi (l. 1935 M) bahwa dengan dua syarat; pelakunya memiliki keimanan

setiap penafsiran, baik yang menggunakan dan rajin beramal saleh, bertakwa dan berbuat

pendekatan rasional (bi al-‘aql) maupun riwayat kebajikan secara terus menerus. Belakangan

(bi al-naql), selalu berangkat dari kepentingan, terungkap bahwa penafsiran Qudâmah atas

tidak ada penafsiran yang sepenuhnya objektif, Q.S. al-Mâ’idah [5]:93 itu dilakukan dalam rangka

absolut dan universal. 6 Kendatipun demikian, menjustifikasi kegiatan pesta khamr yang kerap ia

subjektifitas penafsiran bukan berarti tidak dapat lakukan ketika menjadi Amîr (gubernur) di daerah

diminimalisir dan dikendalikan. Abou el-Fadl (l. Bahrayn pada era Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab. 4 1963 M) misalnya, menawarkan hermeneutika

Benih-benih penyelewengan penafsiran seperti negosiasi 7 untuk mengendalikan subjektifitas ini terus berlangsung pada masa tabiin, tabi’

dan kepentingan mufasir tersebut. Itu artinya, tabiin, generasi pertengahan hingga sekarang.

penafsiran dapat didekatkan kepada titik Fenomena di atas mendorong para ahli

objektifitas nya dengan menggunakan metode Alquran untuk melakukan kritik evaluatif dengan

dan pendekatan ilmiah.

mem buat metode dan prosedur kritiknya. Sementara Fayed (1936-1999 M) juga me- Diantara nya adalah metode kritik terhadap hadis

nawarkan pendekatan ashâlat al-mashdar maudlu’, kritik isra’iliyat dan kritik al-dakhîl dalam

(otentisitas sumber) untuk mengetahui dan me- karya-karya tafsir. Tulisan ini secara spesifik

ngukur tingkat objektifitas penafsiran. Secara berusaha untuk menjelaskan hal ihwal metode

singkat, pendekatan ini meniscayakan verifikasi kritik al-dakhîl ( infiltrasi) penafsiran Alquran.

sumber data penafsiran; apakah sumbernya termasuk al-ashîlah (otentik) ataukah al-dakhîlah

Definisi Otentisitas dan Infiltrasi Penafsiran

(terkontaminasi/terinfiltrasi dimensi lain). Dalam menafsirkan Alquran, mufasir sering

Orisinalitas dan otentisitas sumber penafsiran terpengaruh oleh latar belakang keilmuan dan

itu disebut dengan istilah al-ashîl. 8 Al-ashîl inilah ideologinya. Mufasir yang ahli bahasa cenderung

6 menafsirkan Alquran secara lingustik, seorang Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion,

Ideology and Development, (Kairo: Anglo-Egyptian Bookshop,

sufi cenderung menafsirkan secara intuitif

1995), Vol I, h. 184. Lihat juga Ilham B. Saenong, Hermeneutika

dan begitu seterusnya. 5 Tafsir yang diwarnai

Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hasan Hanafi

secara kuat oleh background keilmuan dan (Jakarta: Teraju, 2002), h. 168.

7 Menurut Abou el-Fadl, dengan hermeneutika negosiasi,

ideologi mufasirnya disinyalir tidak lagi objektif.

penafsir/pembaca tidak saja mampu mengungkap makna teks,

Oleh karenanya, ulama meletakkan dasar dan

tapi juga dapat membongkar kepentingan yang tersimpan

metodologi penafsiran secara ketat agar mufasir dalam teks. Dalam konteks ini, ia menawarkan lima syarat

yang harus dimiliki mufasir untuk menjaga dan mengendali-

tidak terjebak pada romantisme pra-konsepsi dan

kan libido subjektifitasnya yaitu; kejujuran intelektual

ideologi yang dimilikinya di satu sisi, dan supaya

(honesty/amânah), kesungguhan (diligence ), kom prehensifitas ( comprehensiveness/kâffah), rasionalitas (reasonableness) dan pengendalian diri (self restrain). Lihat Khaled Abou el-Fadl, Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women

3 Nama lengkapnya adalah Ibrahim ‘Abd al-Rahman

(England: Oneworld, 2003), h. 99.

Muhammad Khalîfah. Guru Besar dan mantan Ketua Prodi 8 Sebelum membedah hakekat al-dakhîl, Fâyed terlebih Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.

dulu memulai penjelasannya tentang al-ashîl atau al-ashâlah 4 Ibrahim ‘Abd al-Rahman Muhammad Khalifah,

(otentisitas) dalam penafsiran Al-Qur’an. Karena al-ashîl (selanjutnya disebut Ibrahim Khalifah), al-Dakhîl fî al-Tafsîr,

merupakan antonim dari al-dakhîl, maka persoalan al-ashâlah (Kairo: Universitas Al-Azhar, 1996), h. 11 dan 118-122.

ini dijelaskan lebih dulu dengan harapan agar antonimnya 5 Model-model penafsiran yang terpengaruh dengan

(al-dakhîl) dapat diketahui secara baik oleh pembaca. Dalam latarbelakang keilmuan mendapat kritik tajam dari Amin al-

perspektif filsafat, metode semacam ini dikenal dengan ta‘rîf Khuli. Sebab penafsiran semacam itu tidak mampu menge-

al-ashyâ’ bi adhdadihâ (mendefinisikan sesuatu dengan cara tengahkan Al-Qur’an secara objektif dan universal. Karena itu

menjelaskan antonimnya). Tim Penulis, ‘Âlam al-Ghayb wa ia menawarkan konsep kritik penafsiran dengan pendekatan

al-Shahâdah (Tehran: Markaz al-Nûn Jam‘îyah al-Ma‘ârif wa literary criticism. Lihat Amin al-Khuli, al-Tafsîr: Ma‘âlim Hayâtih,

al-Tsaqâfah, 2012), h. 15. Lihat juga ‘Abdul Wahhab Fayed, al- Manhajuhu al-Yawm, (Kairo: Dâr al-Ma’rifah, 1962), h. 40-46.

Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 13.

Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

yang kemudian dijadikan sebagai parameter untuk Jika diperhatikan, definisi Fâyed di atas ter- mengukur sejauhmana kualitas penafsiran. Jika

lihat hanya mencakup satu jalur tafsir saja yaitu sejalan dengan teori al-ashîl, maka sebuah tafsiran

bi al-ma’thûr dan belum mengakomodir tafsir bi dapat dikatakan sahih dan objektif. Sebaliknya,

al-ra’y . Oleh karenanya, definisi al-ashîl fî al-tafsîr bila berlawanan, maka tafsir dapat dikategorikan

yang jâmi‘ dan mâni‘ (komprehensif) adalah tafsir sebagai al-dakhîl yang subjektif sehingga perlu

yang memiliki sumber rujukan dan dasar yang dilihat, diteliti, dievaluasi dan pada tahap tertentu,

jelas serta dapat dipertanggungjawabkan, baik jika perlu, direkonstruksi.

sumber itu berasal dari Alquran, hadis sahih, Dalam konteks ini, mengetahui hakekat al-

pendapat sahabat dan tabiin yang valid, atau ashâlah (otentisitas) dalam tafsir Alquran menjadi

berasal dari rasio sehat yang memenuhi kriteria penting. Sebab dengan mengetahui hakekat

dan prasyarat ijtihad. 14

al-ashâlah—antonim al-dakhîlah—maka secara Adapun ad-dakhîl secara etimologi bermakna otomatis akan diketahui hakekat teori kritik al-

antara lain; (a) orang yang berafiliasi kepada dakhîl.

yang bukan komunitasnya, (b) tamu, disebut Secara etimologi, al-ashîl berasal dari bahasa

dakhîl karena ia masuk ke rumah orang lain Arab al-ashl yang berarti asal, valid, dasar, pokok

yang dikunjunginya, (c) kata serapan, karena dan sumber. 9 Dalam bahasa Inggris, al-ashîl

ia berasal dari bahasa asing, dan (d) orang asing yang datang untuk tujuan eksploitasi. sepadan dengan kata authentic yang berarti asli, 15

Bahkan Ibn Manzhûr (630-711 H) mengatakan dikatakan, shay’un ashîlun berarti sesuatu yang

orisinil, valid dan genuine. 10 Dalam bahasa Arab

bahwa al-dakhîl adalah semua unsur eksternal memiliki asal usul kuat, rajulun ashîlun adalah

yang masuk ke dalam diri manusia, dan ia dapat pemuda yang memiliki asal-usul/silsilah yang jelas, 16 merusak akal, mental dan fisiknya. Sementara

bagi al-Râghib al-Ashfihânî (w.502 H/1108 M), Âbâdî (w.817 H) dalam al-Qâmûs mengatakan

dan memiliki akal yang kuat dan sehat. 11 Fayrûz

kata al-dakhîl yang terdiri dari huruf dâl, khâ’ bahwa al-ashl adalah dasar atau pondasi, al-

dan lâm berpusat maknanya pada aib dan cacat

12 internal. ashîl adalah orang yang memiliki asal usul jelas. 17 Menurut Ibrahim Khalifah, aib dan Dengan demikian, secara bahasa al-ashîl adalah

cacat itu karena beberapa faktor, antara lain: segala sesuatu yang memiliki asal usul yang pasti,

(a) keterasingan, seperti kata serapan dan tamu jelas, otentik, orisinil dan valid.

yang tidak diundang; (b) cacat inderawi dan cacat lainnya yang terselubung dan tidak diketahui

Secara terminologi, ahli ilmu Alquran berbeda pendapat dalam mendefinisikan term al-ashîl.

kecuali setelah diteliti dengan seksama, seperti Namun menurut ‘Abd al-Wahhâb Fâyed, secara

penyakit, usaha makar, penipuan, keraguan, ulat dalam batang pohon dan lain lain. 18

garis besar pendapat itu dapat dikerucutkan menjadi dua definisi: pertama, tafsir yang memiliki

Padanan kata al-dakhîl dalam bahasa Inggris asal-usul, dalil-dalil dan argumentasi yang jelas

adalah outsider yang berarti orang luar 19 dan dari agama. Kedua, tafsir yang ruh, dan nafasnya

infiltration yang berarti peresapan, penyusupan dan perembesan. bersandarkan kepada Alquran, sunah, pendapat 20 Berdasarkan pemaknaan ini,

para sahabat, dan tabiin. 13

1, h. 13.

9 Lihat misalnya Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Ali al- 14 Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad ‘Umar, al- Fayyûmî, al-Mishbâh al-Munîr fî Gharîb al-Sharh al-Kabîr (Kairo:

Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Universitas Al-Azhar, al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 2000), h. 119.

t.th.), h. 11.

10 Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris 15 Lihat misalnya Ibrahim Mushthafa, et.all., al-Mu‘jam al- Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 1975), h. 21.

Wasîth, (Istanbul: Dâr al-Da‘wah, 1990), h. 275. 11 Abu al-Fadhl Muhammad ibn Makram ibn Manzhûr

16 Ibn Mazhûr, Lisân al-‘Arab, (Bayrut: Dâr Shâdir, 1956), (selanjutnya disebut Ibn Mazhûr), Lisân al-‘Arab, ditahqiq oleh

Jilid 11, h. 241.

‘Abdullah ‘Ali al-Kabîr, dkk., (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif), Juz 13, h. 16. 17 al-Râghib al-Ashfihânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân 12 Majd al-Dîn Muhammad ibn Ya‘qûb ibn Muhammad

(Libanon: Dâr al-Ma‘rifah, t.th.), h. 166. ibn Ibrahim ibn ‘Umar al-Shayrâzî al-Fayrûz Âbâdî (selanjutnya

18 Ibrahim Khalifah, al-Dakhîl fî al-Tafsîr disebut Fayrûz Âbâdî), al-Qâmûs al-Muhîth wa al-Qâbûs al-

Al-Azhar, 1996), Jilid 1, h. 2.

Wasîth al-Jîmi‘ li Mâ Dzahaba min Kalâm al-‘Arab Shamâmîth, 19 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris (Bayrut: Mu’assasah al-Risalah, 1407 H), Cet. II, h. 4.

Indonesia..., h. 39.

13 Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 20 Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus

MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

maka secara bahasa, virus atau bakteri penyakit Kelompok Bâthinîyah mengatakan bahwa dapat disebut al-dakhîl karena ia merupakan unsur

Alquran dan hadis memiliki makna lahir dan batin. eksternal yang meresap ke dalam tubuh manusia.

Makna batin merupakan inti dan esensi ajaran Kata serapan juga dapat disebut al-kalimah al-

Islam. Karena itu, orang-orang yang ber henti pada dakhîlah karena ia tidak berasal dari rahim atau

pemahaman makna lahiriah, maka hidupnya akan rumpun bahasa aslinya.

berada di bawah belenggu syariat. Sementara yang Sementara secara terminologis, al-dakhîl adalah

berani melampauinya dan mampu menangkap penafsiran Alquran yang tidak memiliki sumber,

makna batinnya, maka ia akan keluar dari belenggu argumentasi dan data yang valid dari agama. 21 syariat tersebut dan dapat beristirahat dari beban

Dengan kata lain, al-dakhîl adalah penafsiran yang

perintah-perintah agama.

tidak memiliki landasan yang valid dan ilmiah, baik Dari penjelasan di atas dapat ditarik beberapa dari Alquran, hadis sahih, pendapat sahabat dan

kesimpulan penting. Pertama, otentisitas tafsir tabiin, maupun dari akal sehat yang memenuhi

Alquran sangat bergantung kepada validitas data kriteria dan prasyarat ijtihad. 22 dan sumber yang digunakan mufasir. Kedua,

Sumber al-dakhîl dapat berasal dari dua penafsiran yang berlandaskan kepada data- sisi; eksternal dan internal. Secara eksternal,

data yang valid dan dapat dipertanggungjawab- penafsiran semacam ini berasal dari sebagian

kan secara ilmiah dapat dikategorikan sebagai kelompok outsider yang dengan sengaja ingin

penafsiran objektif. Ketiga, sumber-sumber mem porandakan ajaran Islam. Mereka menyerang

otentik penafsiran Alquran terdiri dari Alquran, Islam dari berbagai lini, termasuk Alquran.

sunah Nabi, pendapat sahabat dan tabiin, kaidah Bangunan peradaban yang dibangun baginda

bahasa Arab dan akal sehat yang memenuhi Nabi Saw melalui ajaran Alquran dirongrong

kriteria dan prasyarat ijtihad. Keempat, penafsiran- sedemikian rupa dengan cara misalnya, me-

penafsiran yang tidak bersumber dari hal-hal masukkan penafsiran-penafsiran berbau mistis

di atas dikategorikan sebagai al-dakhîl (tafsir dan khurafat yang tidak mempunyai sumber dan

infiltratif) yang patut dikaji, dievaluasi, dikritisi data yang jelas dari doktrin agama. Penafsiran

dan direkonstruksi.

semacam itu mereka gelindingkan ke dalam Alquran dengan maksud untuk memecah belah

Sejarah dan Bentuk-Bentuk al-Dakhîl

dan merusak teologi umat. 23 Sementara secara

1. Sejarah Munculnya al-Dakhil

internal, al-dakhîl berasal dari sebagian kelompok Embrio al-dakhîl sejatinya telah muncul sejak insider. Mereka mengaku bagian dari Islam, tapi

sebelum Islam lahir di jazirah Arab. Pasalnya, sesungguhnya secara politis mereka berorientasi

sebelum Islam datang di Jazirah Arab, telah untuk merusak ajaran Islam dari dalam. Salah

ada sekelompok Ahli Kitab yang sebagian besar satu kelompok yang dikategorikan berbahaya

beragama Yahudi. Mereka berhijrah dan masuk adalah kelompok Bâthinîyah. Dengan alibi Alquran

jazirah Arab pada sekitar tahun 70 Masehi. Mereka memiliki makna lahir dan batin, kelompok ini

ber mukim di sebuah lembah yang dikelilingi oleh kemudian mencetuskan beragam penafsiran

pegunungan serta terdapat banyak pohon kurma, yang akhirnya ingin mendegradasi dan bahkan

tempat itu dinamakan Yatsrib. 25 Mereka datang menafikan syariat Islam. 24 berbondong-bondong ke Jazirah Arab karena

ramalan para pemuka agama mereka tentang

Inggris Indonesia..., h. 63. Kata ilfiltration sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “ infiltrasi” yang diartikan

diutusnya Nabi akhir zaman sebagai penerus Musa

penyusupan dan perembesan. Lihat Tim Penulis, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), h. 586.

25 Kota Yatsrib diubah oleh Nabi Saw menjadi Madinah 21 Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz

beberapa saat setelah kedatangan beliau di kota tersebut. Nama 1, 13.

Madinah mengisyaratkan bahwa di tempat baru itu hendak 22 Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, 13.

diwujudkan suatu masyarakat teratur dan berperadaban. 23 Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, 14.

Dengan demikian, konsep Madinah adalah pola kehidupan 24 Kelompok Bathiniyah mengatakan bahwa Al-Qur’an

sosial yang sopan yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan dan hadis memiliki makna lahir dan batin. Lihat Fâyed, al-Dakhîl

kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum. fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Juz 1, h. 14-15; dan Ibn al-Qayyim al-

Lihat Muhammad Syafii Antonio, Muhammad SAW: The Super Jawzi, Talbîs Iblîs (Iskandariyah: Dâr ibn Khaldun, t.th.), h. 100.

Manager, The Super Leader, (Jakarta: Tazkia Publishing, 2007)

Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

yang akan mengembalikan mereka kepada tanah Yahudi memeluk Islam dan sebagian sahabat suci sebagaimana telah dijanjikan Tuhan. Selain

bertanya kepada mereka mengenai isi Taurat dan tinggal di Yatsrib, sebagian ada juga yang hidup

Injil, terutama mengenai cerita umat terdahulu berkelompok di Yaman dan Yamamah. 26 yang disebutkan secara global dalam Alquran,

Interaksi sosial yang berlangsung lama inilah maka terjadilah kontak pengetahuan diantara yang menyebabkan pertukaran kultur dan budaya

mereka. Pada awalnya, Rasul memang melarang, di antara kaum Yahudi dan bangsa Arab. Ketika

bahkan marah ketika melihat ‘Umar ibn al-Khattab Rasul Saw datang dengan syariat Islam dan

datang dengan membawa lembaran-lembaran memperluas medan dakwah hingga menjamah

kitab suci yang diperoleh dari Ahli Kitab. 29 Tetapi Yatsrib, kemudian diikuti para sahabat yang

seiring perjalanan waktu, ketika Islam sudah kuat berhijrah dari Mekah menuju Madinah. Mulai

dan tersebar ke seluruh penjuru Madinah dan dari sinilah beberapa orang Yahudi masuk Islam,

sekitarnya, Rasul pun mengizinkan sahabat untuk diantaranya adalah Ka‘b ibn Mâti‘ al-Humayrî al-

meriwayatkan cerita-cerita isra’iliyat selama tidak Ahbâr (w. 32 H), ‘Abdullah ibn Salâm (w. 43 H) dan 30 bertentangan dengan ajaran Islam.

Tamîm al-Dârî (w. 40 H/660 M). Setelah memeluk Kemudian pelansiran riwayat isra’iliyat dari Ahli Islam, mereka menjadi salah satu rujukan para

Kitab ini semakin marak pada masa tabiin sehingga sahabat dalam menafsirkan Alquran, terutama yang

seorang pembaca tafsir akan sulit membedakan berkaitan dengan kisah-kisah umat terdahulu. Abû

mana cerita yang sahih dan mana cerita yang Hurayrah (w.57 H/676 M), ‘Abdullah ibn ‘Abbas (w.

dibuat-buat oleh ahli kitab. Dan begitu seterusnya,

68 H/687 M) dan ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash dari generasi ke generasi, fenomena al-dakhîl dalam (w.63 H), adalah diantara sahabat yang kerap

tafsir Alquran—khususnya al-dakhîl bi al-ma’tsûr bertanya kepada Ahli Kitab. 27 yang berasal dari isra’iliyat—terus berkembang

Dari keterangan singkat di atas, dapat ditarik seiring dengan perkembangan zaman. benang merah bahwa, proses merasuknya al-dakhîl

Adapun terkait dengan al-dakhîl dalam tafsir ke dalam tafsir Alquran paling tidak melalui dua

bi al-ra’y, para ulama mencatat ada beberapa jalan. Pertama, ketika Rasulullah Saw tinggal di

sebab yang turut mendorong perkembangannya. Madinah, beliau mendakwahi Ahli Kitab dari bangsa

Antara lain, yang paling utama adalah pemahaman Yahudi (bani Qaynuqâ’, bani Nadhîr dan bani

mufasir yang sangat subjektif. Subjektifitas Qurayzhah) sehingga terjadilah pertemuan antara

pemahaman/penafsiran tersebut terjadi karena; Nabi Saw dan sahabat dengan Ahli Kitab. Proses

pertama, tidak terpenuhinya syarat-syarat sebagai pertemuan dan perhelatan intelektual inilah yang

penafsir Alquran. Karena itu, ketika ia bertemu menyebabkan masuknya al-dakhîl dalam tafsir. 28 dengan ayat yang secara zahir bertentangan

Kedua, masuknya sebagian orang Yahudi ke dengan akal, mufasir langsung mengambil ke- dalam Islam, seperti ‘Abdullah ibn Salâm (w.43

simpulan dan menerjemahkan ayat tersebut H), Mukhayrîq ibn al-Nadhîr (w.3 H/625 M) dan Ka‘b al-Ahbâr (w.32 H). Ketika segelintir orang

29 Hadis larangan melansir riwayat isra’iliyat dari Ahli Kitab selengkapnya dapat dilihat misalnya pada Imam Ahmad,

Musnad Ahmad, (Bayrut: Dar Shâdir, t.th.) Juz 3, h. 387. 26 Muhammad Husayn al-Dzahabi, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn,

30 Ada tiga tahapan yang dilakukan Rasul Saw dalam (Kairo: Dâr al-Kutub wa al-Hadîts, 1976), Jilid I, h. 25.

menyikapi al-dakhîl dari riwayat isra’iliyat ini. Pertama, pe- 27 Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz

larangan secara keras dan tegas bagi kaum muslimin untuk 1, h. 14-15.

membaca, bertanya dan mendengarkan kabar israiliyat. Hal 28 Ketika Nabi Saw tinggal di Madinah, interaksi antara

ini dilakukan pada awal-awal gerakan dakwah di Madinah. Ahli Kitab dengan umat Islam tidak dapat dihindari. Hanya saja,

Kedua, pemberian izin untuk mendengar riwayat isra’iliyat ketika baginda Nabi masih hidup, pergerakan al-dakhîl belum

dengan syarat tidak membenarkan atau mendustakan riwayat begitu massif karena dua alasan. Pertama, proses penurunan

tersebut, tapi cukup mengatakan “Kami beriman kepada Al-Qur’an masih terus berlangsung, sehingga berbagai

Allah dan apa-apa yang diturunkan kepada kami…” (Q.S. al- persoalan yang muncul tidak perlu dicarikan solusinya kepada

Baqarah [2]:136). Sikap seperti ini terjadi pada pertengahan Ahli Kitab, tapi langsung dapat diatasi oleh Rasul melalui

masa dakwah Nabi. Ketiga, pemberian izin untuk berdiskusi wahyu Allah. Kedua, umat Islam pada saat itu bersikap sangat

dan meriwayatkan isra’iliyat dengan syarat riwayat tersebut hati-hati dengan tradisi, kebudayaan dan ajaran Yahudi dan

benar-benar valid dan sesuai ajaran Islam. Sikap ini terjadi pada Nasrani, sebab terdapat informasi valid mengenai distorsi yang

akhir masa dakwah Nabi dimana umat Islam sudah sangat kuat menimpa kitab suci mereka. Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-

dan disegani banyak kalangan. Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al- Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 103.

Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 110-111.

MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

secara literal, tanpa memandang konteks dan mendukung mazhab mereka. kemungkinan makna lain yang dikandung

Setelah itu, datang masa-masa dinasti ayat itu. Kedua, penafsiran yang berorientasi

Umayyah dan Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah untuk menjustifikasi pandangan golongan atau

berdiri di atas puing-puing dinasti Umaiyah. kelompok tertentu, seperti yang dilakukan

Masa itu merupakan masa transisi tampuk sebagian sekte Mu’tazilah, Bâbiyah, Bahâ’iyah

kekuasaan dari rezim ke rezim lain. Sebagai- dan Ahmadiyah. 31 Mereka menyelewengkan

mana lazimnya masa transisi, maka tentu saja tafsir Alquran menurut hawa nafsu, dan menolak

tidak terjadi secara seketika, tapi dilakukan teks-teks yang bertentangan dengan akidah dan

dengan berbagai cara dan strategi. Salah keyakinan mereka.

satu strategi yang digunakan adalah dengan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa

kampanye terselubung atas nama agama. potensi al-dakhîl sudah ada sebelum Islam hadir di

Salah satunya adalah dengan manafsirakan jaziah Arab. Kemudian benih-benihnya mulai ada

ayat-ayat Alquran. Contoh penafsiran pada masa Rasul dan sahabat. Lalu benih-benih itu

infiltratif yang dilakukan adalah tafsir atas tumbuh pada masa tabiin dan terus berkembang

firman Allah Swt:

pada masa-masa setelahnya, terutama pada “Dan (ingatlah), ketika Kami wahyukan masa dinasti Umayyah (661-750 M) dan dinasti

kepadamu: “Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu ‘Abbasiyah (750-1258 M) ketika kebudayaan,

meliputi segala manusia”. Dan Kami tidak tradisi penerjemahan dan kajian-kajian ilmiah

menjadikan mimpi yang telah kami perlihatkan dalam berbagai disiplin ilmu ditumbuhsuburkan.

kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon kayu yang

2. Faktor Penyebab Berkembangnya al-Dakhîl

terkutuk dalam Al-Quran. Dan Kami menakut- Beberapa faktor yang melatari kemunculan

nakuti mereka, tetapi yang demikian itu dan perkembangan al-dakhîl dalam tafsir Alquran

hanyalah menambah besar kedurhakaan adalah:

mereka.” (Q.S. al-Isrâ’ [17]: 60)

a. Faktor Politik dan Kekuasaan Diriwayatkan dari Ya‘lâ ibn Murrah bahwa yang dimaksud dengan al-shajarah al-

Pertentangan politik yang timbul sejak akhir kekhalifahan ‘Ustman ibn ‘Affan dan awal

mal‘ûnah adalah Bani Umayyah. Mereka meriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa dia berkata

kekhalifahan ‘Ali ibn Abi Thalib bisa dikatakan kepada Marwan ibn Hakam (w. 65 H), “Saya

sebagai sebab munculnya sekte-sekte yang mendengar Rasul Saw berkata kepada ayah

saling menyerang dengan cara membuat dan kakekmu, (wahai Marwan), kalian (Bani

hadis-hadis dan beragam penafsiran sektarian.

Syi’ah Rafidhah misalnya, 32 menafsirkan ayat

Umayyah) adalah al-shajarah al-mal‘ûnah (pohon terkutuk) yang disebutkan dalam

Tabbat Yadâ Abî Lahabin wa Tabb (Q.S. al- Q.S. al-Isrâ’ [17] ayat 60.” 34

Lahab [111]:1) sebagai Abu Bakar dan ‘Umar ibn al-Khattab, Maraj al-Bahrayn Yaltaqiyân

b. Faktor Kebencian Terhadap Islam (Q.S. al-Rahmân [55]:19) sebagai ‘Ali dan

Golongan yang tidak senang dengan Islam Fathimah, al-Lu’lu’ wa al-Marjân (Q.S. al-

sengaja membuat berbagai riwayat palsu Rahmân [55]:19) sebagai Hasan dan Husayn,

dengan tujuan untuk mengoyak Islam secara ‘An al-Naba’ al-‘Azhîm (Q.S. al-Naba’ [78]:2)

internal. Berbagai penafsiran yang tidak

memiliki dasar kuat mereka buat dan sebarkan lagi penafsiran-penafsiran subjektif yang

sebagai Ali ibn Abu Thalib, 33 dan masih banyak

di tengah-tengah umat. Salah satu contoh al-dakhîl melalui hadis palsu yang dibuat

31 Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz

dalam konteks ini adalah kisah Gharânîq 35

2, h. 193-224 32 Dalam konteks ini, Imam Syafi‘i mengatakan, “Saya

tidak melihat suatu kaum yang lebih berani berdusta kepada 34 Husayn Muhammad Ibrahim Muhammad ‘Umar, al- Rasul Saw selain kaum Rafidhah”.

Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Universitas Al-Azhar, 33 Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 2,

t.th.), h. 39-40.

h. 145; lihat juga Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr..., 35 Yang dimaksud gharânîq dalam konteks ini adalah salah h. 86.

satu jenis berhala yang disembah kaum kafir Quraisy. Gharânîq

Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

yang dikaitkan dengan asbab nuzul Q.S. al- datang seorang pengemis, maka Ali –yang Hajj [22]: 53

sedang dalam keadaan ruku’- memberikan “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu

cincin kepada si pengemis itu. Terkait dengan seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang

kejadian inilah, maka Q.S. al-Mâ’idah [5] nabi, melainkan apabila ia mempunyai se-

ayat 55 itu diturunkan. Contoh lain adalah suatu keinginan, setanpun memasukkan

penafsiran kaum Syi‘ah atas Q.S. Qâf [50]:24. godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allah

Mereka melansir sebuah riwayat palsu yang menghilangkan apa yang dimasukkan oleh

berbunyi: “Ketika kiamat datang, Allah setan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat-

berfirman kepadaku (Muhammad) dan ‘Ali Nya.” (Q.S. al-Hajj [22]:53) 36 ibn Abi Thalib: ‘Masukkanlah orang-orang yang

Tentu riwayat gharânîq ini dianggap tidak kalian cintai ke surga, dan masukkanlah orang- orang yang kalian benci ke neraka’. Riwayat ini

rasional dan bertentangan dengan logika hukum —menurut mereka—merupakan tafsiran ayat

‘ishmah al-nubûwah (perlindungan terhadap Alqiyâ fî Jahannama Kulla Kaffârin ‘Anîd (Q.S. Nabi Saw). Karenanya tidak ber lebihan jika Qâf [50]:24). para pakar hadis dan tafsir mem bantah status 38 Hal yang sama juga dilakukan

riwayat tersebut dan menggolongkannya ke oleh pengikut Muktazilah, Khawarij Murji’ah dan sekte-sekte lainnya.

dalam hadis palsu. Beberapa diantaranya adalah Ibn ‘Athiyah (481-541 H) dan Syihabuddin al-

d. Faktor Perbedaan Mazhab

Alûsî (1217-1270 H) 37 .

Perbedaan (ikhtilâf) adalah suatu kepastian,

c. Faktor Fanatisme sunnatullah, dan manusia tidak mungkin untuk menghindarinya. Ikhtilâf dapat di-

Fanatisme adalah sikap yang tidak baik, sebab sikap ini dapat merusak objektifitas mufasir.

benarkan selama tidak menyangkut masalah akidah yang prinsip, melainkan dalam

Diantara contoh al-dakhîl yang disebabkan masalah furû‘. Karena itu, kehadiran berbagai

faktor fanatisme adalah penafsiran sebagian macam sekte kerap menjadi bumerang bagi

kelompok Syi‘ah terhadap Q.S. al-Mâ’idah umat Islam. Mereka tidak segan-segan

[5]:55. Mereka mengatakan bahwa ketika ‘Ali ibn Abi Thalib sedang shalat tiba-tiba

menjadi kan Alquran sebagai alat justifikasi terhadap ajaran sekte mereka. Salah satu contonya adalah apa yang dilakukan

berasal dari kata gharnûq atau gharnîq. Ia merupakan nama

Ahmadiyah Qadyan. Karena meyakini bahwa

satu jenis burung air (sejenis burung pelikan) yang berkelamin

Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang nabi,

lelaki. Kaum kafir menjadikan berhala (gharânîq) sebagai sesembahan karena ia diyakini mampu memberi pertolongan

maka berbagai ayat yang memungkinkan

dan mampu membawa terbang doa-doa yang dipanjatkan

untuk dijadikan pembenar ajaran tersebut,

kepada Tuhan, seperti halnya burung yang mampu terbang ke angkasa. Lihat Ibn al-Atsîr, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-

mereka tafsirkan secara subjektif sesuai

Atsar, (Bayrut: al-Maktabah al-‘Ilmiyah, 1979), Juz 3, h. 69.

ajarannya. Ketika menafsirkan Q.S. al-Nisâ’

36 Sebagian mufasir meriwayatkan asbabun nuzul ayat

[5]:69 misalnya, mereka mengatakan bahwa

tersebut bahwa ketika Rasulullah mengalami masa-masa sulit, yakni ketika ditinggal oleh kaumnya. Nabi pun berharap

frase min al-nabîyîn wa al-shiddîqîn wa al-

kaumnya tidak diazab sebab beliau optimis suatu saat mereka

syuhadâ’ wa al-shâlihîn adalah penjelasan

akan menjadi orang-orang yang beriman. Pada saat beliau

(bayân) bagi frase sebelumnya; wa man

sedang duduk di salah satu tempat pertemuan kaum Quraisy, tiba-tiba Allah menurunkan surat al-Najm [53].

yuthi‘illah wa al-rasûl. Berdasarkan penjelasan

sesuatu yang tidak aku bacakan kepadamu (dan juga) bukan

semacam ini maka umat Muhammad sangat

berasal dari Allah?”. Nabi Saw pun bersedih dan sangat takut. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas (Q.S.

dimungkinkan untuk mencapai empat derajat

Al-Hajj [53]: 52). Riwayat mengenai kisah gharânîq ini dapat

sebagaimana disebutkan pada ayat tersebut,

dilihat misalnya pada kitab tafsir Abu al-Qâsim Mahmud ibn

yakni; kenabian (al-nubûwah), kebenaran

‘Umar ibn Muhammad al-Zamakhsyari (selanjutnya ditulis al-Zamakhsyari), al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al- Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl (selanjutnya ditulis al-Kasysyâf), (Kairo:

38 Lihat contoh-contoh al-dakhîl berupa hadis palsu pada Dâr al-Kutub, t.th.), Juz 2, h. 65.

Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr, h. 78; Ibn Katsir, 37 Ibn ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-

Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm, (Kairo: Dâr al-Turâts, 2000), Juz 3, h. ‘Azîz, (Rabat: Maktabah al-Îmân, 1998), Juz 2, h. 136. Lihat juga

130; dan Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukânî, al- Syihabuddin al-Alûsî, Rûh al-Ma‘ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhîm

Fawâ’id al-Majmû‘ah fî al-Ahâdîts al-Maudhû‘ah, (Bayrut: Dâr wa al-Sab‘ al-Matsânî, (Kairo: Dar al-Manar, 2000), Juz 17, h. 182.

Shâdir, t.th.), h. 382.

MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

(al-shiddîqîyah), persaksian (al-syahâdah) Alquran. Riwayat-riwayat palsu itu kemudian dan kebaikan (al-shalâh). Dengan demikian,

dinukil oleh sebagian mufasir seperti al- semua orang yang taat kepada Allah dan

Zamakhsyari (467-538 H). Di dalam tafsirnya, Rasul-Nya dimungkinkan dapat mencapai

al-Zamakhsyari melansir berbagai riwayat derajat kenabian, seperti halnya Ghulam

mengenai keutamaan surat-surat Alquran Ahmad. 39

seperti surat al-Nâzi‘ât, al-Infithâr, al-Burûj, Tafsiran sektarian yang subjektif semacam

al-Fajr, al-Dhuhâ, al-Tîn, al-Takâtsur, al- inilah yang menjadikan al-dakhîl dalam tafsir

Kautsar, al-Kâfirûn 42 dan beberapa surat Alquran semakin tumbuh subur. Padahal

lainnya. Namun setelah diselidiki ternyata ketika mufasir melihat ayat di atas secara

status riwayat-riwayat tersebut tidak valid jujur dan objektif, tanpa terbelenggu dengan

dan karenanya dapat dikategorikan sebagai doktrin kenabian Ghulam Ahmad, maka ia

al-dakhîl ( tafsir ilfiltratif). akan mampu mempersembahkan penafsiran

yang universal dan kompatibel untuk semua

3. Klasifikasi Bentuk al-Dakhîl

anak zaman. Penafsiran-penafsiran mayoritas Dalam buku al-dakhîl karya Fâyed dijelaskan ulama menjelaskan bahwa ayat di atas

tujuh klasifikasi al-dakhîl (infiltrasi) penafsiran merupakan tafsiran bagi ayat ketujuh surat al-

yaitu; dakhîl yang berasal dari riwayat israiliyat, Fâtihah. Artinya, jalan bagi orang-orang yang

hadis maudhû‘ dan dha‘îf, infiltrasi penafsiran dari tidak tersesat dan tidak dimurkai Allah adalah

sekte Bâthiniyah, ilfiltrasi penafsiran sufistik yang ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya yang

mengabaikan makna eksoteris, infiltrasi penafsiran sudah direfleksikan dan diaplikasikan oleh

dari aspek linguistik, infiltrasi penafsiran dari sekte para Nabi, shiddîqîn, syuhadâ’ dan shâlihîn. 40 Bâbiyah, Bahâ’iyah dan Qadyâniyah, serta ilfiltrasi

e. Faktor Ketidaktahuan penafsiran dari sebagian pemikir kontemporer. 43 Niat baik yang tidak dilandasi pengetahuan

Namun dalam beberapa karya ulama lain, yang cukup tidak selamanya berimplikasi

al-dakhîl diklasifikasi menjadi tiga jalur yaitu jalur kepada kebaikan. Salah satu contohnya

al-ma’tsûr (riwayat), jalur al-ra’y (rasio) dan jalur adalah apa yang dilakukan sebagian muballigh

al-isyârah (intuisi). Masing-masing jalur kemudian yang dengan sengaja melansir riwayat tanpa

dibagi lagi menjadi beberapa bagian. mengetahui status dan validitas riwayat

Pertama, al-dakhîl jalur al-atsar (riwayat), tersebut. Alih-alih membawa kebaikan,

meliputi: hadis maudhû‘ (palsu), hadis dha‘îf riwayat-riwayat semacam itu bisa jadi malah

(lemah), riwayat isra’iliyat yang bertentangan me nimbulkan polemis yang berkepanjangan.

dengan Alquran dan sunah, pendapat sahabat Menurut catatan al-Suyûthî (849-911 H),

dan tabiin yang tidak valid, pendapat sahabat dan diantara orang-orang yang kerap membuat

tabiin yang bertentangan dengan Alquran, sunah, riwayat palsu dengan maksud baik tapi tidak

hukum logika dan tidak dapat dikompromikan. 44 dibarengi dengan ilmu yang mendalam adalah

Kedua, al-dakhîl dari jalur ra’y (rasio), meliputi: Abu ‘Ishmah Nuh ibn Abu Maryam (w.173

tafsir yang didasari niat buruk dan skeptisme H), Maysarah ibn ‘Abdi Rabbih, Bazî‘ ibn

terhadap ayat-ayat Allah, tafsir eksoteris tanpa Hassân dan Mukhlid ibn ‘Abd al-Wâhid. 41 mempertimbangkan sisi kepantasan bila disemat-

Mereka sengaja membuat riwayat-riwayat kan kepada Dzat Allah, penafsiran distorsif atas palsu mengenai keutamaan (fadhî’il) surat-

ayat-ayat dan syariat Allah dengan meng abaikan surat Alquran dengan tujuan agar umat

sisi literal ayat, tafsir esoteris yang tidak didukung Islam gemar membaca dan mengamalkan

42 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, terutama ketika me nafsir- 39 Lihat Shaykh Muhammad al-Khadhir Husayn, al-

kan juz ‘Amma. Lihat juga Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al- Qadyânîyah, (Kairo: al-Makatabah al-Salafîyah, 1932), h. 59-60.

Karîm..., Juz 2, h. 59-61.

Lihat juga Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 2, 43 Lihat Fâyed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz h. 233-234.

1, h. 102-108.

40 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-’Azhîm..., Juz 1, h. 75. 44 Jamâl Mushthafâ ‘Abd al-Hamîd ‘Abd al-Wahhâb al- 41 Jalaluddin al-Suyûthî, Tadrîb al-Râwî, (Kairo: Dâr al-

Najjâr, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Âyi al-Tanzîl, (Kairo: Universitas Manâr, 2000), Juz 1, h. 282-289.

Al-Azhar, 2009), h. 27.

Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

argumentasi yang kuat, penafsiran yang tidak

Sumber Otentik Tafsir sebagai Parameter

berbasis pada prinsip dan kaidah tafsir yang baku,

Kritik ad-Dakhil

penafsiran saintifik yang terlalu jauh dari konteks Secara umum, sumber otentik penafsiran linguistik, sosiologis dan psikologis ayat. 45 Alquran terdiri dari; (1) Alquran, (2) sunah yang

Ketiga, al-dakhîl dari jalur al-isyârah (intuisi), sahih, (3) pendapat sahabat dan tabiin yang meliputi antara lain: tafsir esoteris yang dilakukan

valid dan dapat dipertanggungjawabkan, (4) oleh sekte Bâthiniyah, tafsir sebagian kaum sufi

kaidah bahasa Arab yang disepakati mayoritas yang tidak mengindahkan makna eksoteris ayat.

ahli bahasa, (5) ijtihâd (rasio) yang berbasis pada Secara lebih detail, klasifikasi al-dakhîl di atas

data, kaidah, teori dan argumentasi yang dapat dapat dilihat pada tabel berikut:

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 46 Lima sumber penafsiran Alquran inilah

Tabel 1 : Klasifikasi Al-Dakhîl yang menjadi basis sekaligus parameter utama

No. Klasifikasi

Sumber

Bentuk/Macam

dalam kritik ad-dakhîl. Oleh karena itu, bila ada

al-Dakhîl

penafsiran-penafsiran yang kemudian tidak

1. bi al-Ma’tsûr Riwayat

1. Isra’iliyat;

(sunah,

2. Hadis maudhû‘ (palsu);

ber basis kepada lima sumber di atas, dapat di-

pendapat

3. Hadis dha‘îf (lemah);

kategori kan sebagai al-dakhîl yang harus dikritisi,

sahabat dan

4. Pendapat sahabat dan

dianalisis dan dievaluasi validitasnya.

tabiin serta

tabiin yang tidak valid;

isra’iliyat)

5. Pendapat sahabat

Karena sumber-sumber otentik tersebut juga

dan tabiin yang bertentangan dengan

berperan sebagai parameter kritik, maka dalam sub

Alquran, sunah, hukum

bahasan ini, akan diuraikan satu persatu bagaimana

logika dan tidak dapat dikompromikan.

cara kerja masing-masing komponen tersebut.

2. bi al-Ra’y Rasio/Ijtihad 1. Tafsir yang didasari niat

buruk dan skeptisme

1. Alquran

terhadap ayat-ayat Allah;

Alquran dijadikan sebagai sumber penafsiran

2. Tafsir eksoteris (tektualis) tanpa

pertama dan utama karena ia memiliki otoritas

mempertimbangkan

tertinggi untuk menjelaskan dirinya sendiri. Fungsi

sisi kepantasannya bila

Alquran sebagai penjelas bagi dirinya sendiri

disematkan kepada Dzat Allah;

terlihat dari beberapa ayat misalnya, Q.S. al-

3. Penafsiran distorsif

Qiyâmah [75]:16-19, Q.S. al-Hadîd [57]:17, Q.S. Âli

atas ayat-ayat dan syari’at agama;

‘Imrân [3]:138, Q.S. al-Baqarah [2]:99 & 219, Q.S.

4. Penafsiran yang tidak

al-Mâ’idah [5]:15 dan Q.S. al-Hijr [15]:1. 47 Ayat-

berbasis pada prinsip

ayat tersebut mempertegas bahwa salah satu

dan kaidah tafsir yang disepakati mayoritas

fungsi Alquran adalah menjelaskan dirinya sendiri.

ahli tafsir;

Karena itu, tidak berlebihan jika Ibn Taymiyah

5. Penafsiran saintifik yang terlalu jauh dari

pernah mengatakan bahwa metode tafsir terbaik

konteks linguistik,

adalah menafsirkan Alquran dengan Alquran. 48

sosiologis dan psikologis ayat.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana metode

3. bi al-Isyârah Hati/Intuisi

1. Tafsir esoteris yang

Alquran menjelaskan/menafsirkan dirinya sendiri.

dilakukan oleh sekte

Diantara caranya, yaitu: (1) tafshîl al-mûjaz 49

Bâthiniyah, Bahâ’iyah dan Qadyâniyah;

2. Tafsir sebagian kaum 46 Fayed, al-Dakhîl fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. sufi yang menafikan

15. Lihat juga Muhammad Husayn al-Dzahabî, al-Ittijâhât al-

makna eksoteris ayat

Munharifah..., h. 4-5.

dan tidak memiliki 47 Fâyed, al-Dakhîl..., Juz 1, h. 17-18. argumentasi yang kuat. 48 Lihat Ibn Taymiyah, Muqaddimah fî Ushûl al-Tafsîr..., h. 93.

Sumber: Diolah dari berbagai sumber 49 Contohnya adalah cerita tentang Nabi Adam. Kadangkala ia diceritakan secara ringkas seperti yang terlihat pada Q.S. al-

Kahfi [18] dan Q.S.al-Isrâ’ [17], terkadang diceritakan secara terperinci dan detail seperti pada Q.S. al-Baqarah [2] dan Q.S. al-A‘râf [7], dan ada juga yang diceritakan tidak terlalu ringkas juga tidak terlalu detail seperti yang terlihat pada Q.S. Thâhâ

45 al-Najjâr, Ushûl al-Dakhîl fî Tafsîr Âyi al-Tanzîl..., h. 28. [20], Q.S. Shâd [38] dan Q.S. al-Hijr [15]. Kisah nabi Adam yang

MADANIA Vol. 21, No. 2, Desember 2017

(merinci yang ringkas/global), (2) bayân al- bayna mâ yûhim al-ta‘ârudh 54 (mengkompromikan mujmal 50 (menjelaskan yang belum jelas/mujmal),

ayat-ayat yang seakan-akan berlawanan), (7)

(3) takhshîsh al-‘âm 51 (mengkhususkan yang

melalui qirâ’ât 55 (bacaan) Alquran. 56 Dengan

menggunakan tujuh model rumusan inilah, mufasir mutlak/tidak terbatas), (5) penjelasan dengan cara

umum), (4) taqyîd al-muthlaq 52 (membatasi yang

dapat menjelaskan/menafsirkan Alquran dengan naskh 53 (penghapusan/penggantian), (6) al-taufîq

Alquran.

mendetail tentu dimaksudkan untuk menjelaskan dan merinci

2. Sunah Nabi Saw 57

cerita yang ringkas. Lihat Fâyed, al-Dakhîl..., Juz 1, h. 18-19. Lihat juga al-Zarkasyri, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân..., Juz 2, h. 211.

Sumber kedua penafsiran Alquran adalah

50 Mujmal adalah kalimat atau ayat yang belum jelas

sunah Nabi Saw. Beberapa ayat yang mendasari

makna nya. Adapun mubayyan adalah kalimat yang sudah jelas maknanya. Ketidakjelasan makna itu disebabkan beberapa hal

hal ini adalah Q.S. al-Nahl [16]:44 & 64, Q.S.

antara lain; satu lafaz memiliki kemungkinan lebih dari satu

al-Hasyr [59]:7. Sementara diantara hadis Nabi

makna (musytarak), perbedaan terhadap lafaz yang terbuang

Saw yang melandasinya adalah: “Hendaklah

(hadzf), perbedaan tampat kembali kata ganti (dhamîr), per bedaan kemungkinan antara kata sambung (‘athaf)

kalian berpegang teguh pada sunahku dan sunah

dan permulaan kalimat (isti’nâf ), kata-kata asing (gharîb)

para khulafa’ rasyidin yang mendapat petunjuk

dan perbedaan taqdîm dan ta’khîr. Sementara penjelasan

sesudahku. Gigit (pegang erat) sunah tersebut

(bayân) terhadap ayat-ayat yang belum jelas (mujmal) ada-

dengan gigi geraham” (HR. Tirmidzi). kalanya dilakukan secara langsung dalam satu rangkaian 58 Dalam hadis

ayat (muttashil), ada juga yang terpisah (munfashil). Contoh

lain juga disebutkan: “Sesungguhnya kutinggalkan

penjelasan langsung dalam satu ayat seperti yang tergambar pada Q.S. al-Baqarah [2]:187. Pada ayat ini, yang dimaksud

pada kamu sekalian dua perkara yang kalian tidak

al-khayth al-abyadh dan al-khayth al-aswad adalah al-fajr.

akan sesat apabila kalian berpegang teguh kepada

Sementara model kedua seperti Q.S. al-Baqarah [2]:37 yang

keduanya, yaitu: Kitab Allah dan sunah Nabi-Nya,”

dijelaskan secara terpisah pada Q.S. al-A’râf [7]:23. Lihat Fâyed, al-Dakhîl..., Juz 1, h. 20-21.

(HR. Malik). 59 Di samping itu, ada juga beberapa

51 ‘Âm adalah kata yang memberi pengertian umum, meliputi segala sesuatu yang terkandung dalam kata itu tanpa terbatas.

Menurut para ulama, naskh merupakan penjelasan terhadap Sementara khâsh adalah kata khusus yang diperuntukkan untuk

masa berakhirnya satu hukum dan berlakunya hukum makna-makna tertentu saja. Dalam konteks Al-Qur’an, para

baru. Dua hukum tersebut (baik yang lama maupun baru) ulama ada yang berpendapat, hampir tidak ada kata yang umum

diketahui oleh Allah, hanya saja manusia tidak mengetahuinya kecuali ada kata yang mengkhususkannya. Yang mengkhusukan

karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki. Karena itu, kata umum itu adakalanya muttashil (tersambung/langsung),

Ibn Hazm (384-456 H) mengatakan bahwa naskh adalah adakalanya munfashil (terpisah). Yang muttashil berupa istithnâ’

salah satu metode penafsiran dengan cara menangguhkan (pengecuali) seperti Q.S. al-Syu‘arâ’ [26]:224-227, al-washf (sifat)

(mengakhirkan) penjelasan. Penangguhan penjelasan (ta’khîr seperti Q.S. al-Nisâ’ [4]:23, al-sharth (syarat) seperti Q.S. al-

al-bayân) itu ada yang terkait dengan kata/kalimat dan ada Baqarah [2]:180, al-ghâyah (tujuan/batas) seperti Q.S.al-Baqarah

yang terkait dengan perbuatan.

[2]:187, badl al-ba‘dh min al-kull (pengganti) seperti Q.S. Fâthir 54 Alquran adalah satu kesatuan yang tidak mungkin ter- [35]:10. Sementara yang munfashil seperti Q.S. al-Nisâ’ [4]:3

jadi perbedaan di dalamnya. Perbedaan itu sejatinya hanya ditakhshish oleh Q.S. al-Nisâ’ [4]:23-24. Lihat Fâyed, al-Dakhîl..., Juz

dalam perspektif kemanusiaan yang sangat nisbi dan terbatas. 1, h. 22-23. Lihat pula Muhammad Su’âd Jalâl, al-Bayân wa al-Naskh

Contohnya tentang penciptaan Adam yang disebutkan secara fî Ushûl al-Fiqh, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah, t.th.), h. 20.

berbeda dalam Q.S. Âli ‘Imrân [3]:59, Q.S. al-A‘râf [7]:12, Q.S. 52 Muthlaq adalah kata yang terlepas, tidak terikat.

al-Hijr [15], dan Q.S. al-Anbiyâ’ [21]:30. Artinya kata yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu

55 Qirâ’ât adalah ilmu untuk mengetahui cara baca tanpa ikatan/batasan apa-apa. Contonya adalah kata raqabah

(pengucapan) lafaz-lafaz Alquran, baik yang disepakati maupun (budak) pada Q.S. al-Mujâdalah [58]: 3. Kata itu tidak dibatasi

yang diperselisihkan oleh para ahli qira’at. Qira’at dibagi dengan kata apapun (muthlaq) sehingga budak yang dimaksud

menjadi dua yaitu shahîhah (sahih/sah) dan syâdzdzah (aneh/ pada ayat ini adalah semua jenis budak. Sementara muqayyad

jarang). Lihat Ibn Mujâhid, al-Sab‘ah fî al-Qirâ’ât (di-tahqîq oleh adalah kata yang menunjukkan hakikat sesuatu yang terikat

Shawqî Dhayf), (Kairo: Dâr al-Kutub, 1999), h. 47-50. dengan sesuatu yang lain. Contonya, kata raqabah mu’minah

56 Lihat Fâyed, al-Dakhîl..., Juz 1, 18-34. (budak mukmin) pada Q.S. al-Nisâ’ [4]: 92. Kata raqabah

57 Para ulama berbeda dalam mendefinisikan sunnah. di sini dibatasi dengan kata mu’minah, sehingga ia tidak

Namun menurut mayoritas ahli hadis, sunnah didefinisikan lagi muthlaq tapi sudah muqayyad (terbatas), yakni hanya

sama dengan hadis yakni; perkataan, perbuatan, ketetapan budak-budak yang mukmin saja. Menurut al-Zarkasyî, ketika

dan karakter Nabi Saw, baik yang bersifat bawaan (khalqiyah) ditemukan suatu dalil yang mengikat (men-taqyid) kata yang

maupun aplikasi keseharian (khuluqiyah). Lihat Muhammad muthlaq, maka yang muthlaq itu harus ditafsirkan denganya.

Abu Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsûn, (Kairo: Dâr al-Fikr al- Dan jika tidak ditemukan dalil, maka yang muthlaq tetap pada

‘Arabi, 1958), h. 10.

kemutlakanya dan yang muqayyad tetap pada maknanya. Lihat 58 Hadis ini dilansir dari al-‘Irbâdh ibn Sâriyah dan al-Zarkasyî, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, Juz 2, h. 15; al-Suyuthî,

statusnya dinilai hasan shahih oleh al-Tirmidzi. Lihat al-Tirmidzi, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Kairo: Dâr al-Manâr, 1999), Juz 2, h.

Sunan al-Tirmidzî..., Juz 3, h. 267.

31; dan Fâyed, al-Dakhil fî Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm..., Juz 1, h. 23. 59 Hadis ini merupakan penggalan dari isi khutbah Nabi 53 Naskh adalah menghapus atau mengganti hukum

Saw pada waktu haji wada, dan dilansir dari Ibn ‘Abbas. Lihat syar‘i dengan dalil hukum syar‘i lain yang datang kemudian.

Mâlik ibn Anas, al-Muwaththa’ ditahqiq Muhammad Fu’ad

Muhammad Ulinnuha: Konsep al-Ashîl dan al-Dakhîl dalam Tafsir Alquran

riwayat lain yang yang diceritakan oleh al-Awza‘i Alquran kecuali beberapa ayat yang diajari Jibril.” 64 (88-157 H) dari Hassan ibn ‘Athiyah (w.130 H),

Dalam hadis lain, Rasul Saw secara khusus juga ia berkata: “Wahyu diturunkan kepada Nabi Saw

mendoakan Ibn ‘Abbâs seraya berkata: “Ya Allah, dan Jibril kemudian menyiapkan sunah sebagai

berilah dia (Ibn ‘Abbas) pemahaman tentang agama penafsirnya.” Hal senada juga dikatakan Mak-hûl

dan ajarilah takwil/tafsir (Alquran).” 65 Seandainya (w.113 H) bahwa Alquran sangat butuh kepada

Rasul Saw menjelaskan seluruh isi Alquran, maka sunah. Bahkan Yahya ibn Abi Kathîr (w.132 H)

do’a dalam hadis ini tidak ada fungsinya, sebab mengatakan, sunah adalah penjelas dan penafsir

semua sahabat, termasuk Ibn ‘Abbas, akan dapat Alquran. 60 menafsirkan Alquran melalui penjelasan dan

penafsiran baginda Muhammad Saw. Namun demikian, ulama berbeda pendapat 66 Dengan mengenai berapa banyak ayat yang dijelaskan

demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa Nabi atau ditafsirkan Nabi Saw. Namun secara umum

tidak menafsirkan seluruh isi Alquran, tapi beliau dapat dikelompokkan menjadi dua golongan.