IDENTIFICATION PATTERN RUGAE PALATINE FOR GENDER CLASSIFICATION WITH DIGITAL IMAGE PROCESSING USING GABOR WAVELET AND FUZZY K-NN

ISSN : 2355-9365

e-Proceeding of Engineering : Vol.3, No.2 Agustus 2016 | Page 1846

IDENTIFIKASI POLA RUGAE PALATINA UNTUK KLASIFIKASI JENIS KELAMIN
MANUSIA DENGAN CITRA DIGITAL MENGGUNAKAN METODE GABOR WAVELET
DAN FUZZY K-NN
IDENTIFICATION PATTERN RUGAE PALATINE FOR GENDER CLASSIFICATION
WITH DIGITAL IMAGE PROCESSING USING GABOR WAVELET AND FUZZY
K-NN
Mentari Pangestu 1, Dr. Ir. Bambang Hidayat, DEA.2, drg H. Fahmi Oscandar,M.Kes., Sp.RKG3
1,2

Prodi S1 Teknik Telekomunikasi, Fakultas Teknik, Universitas Telkom
3
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Padjadjaran
1

2

mentaripangestu@gmail.com, bbhtelkom@gmail.com, fahmi.oscandar@fkg.unpad.ac.id


3

Abstrak
Kerap terjadinya bencana yang disebabkan oleh manusia ataupun yang disebabkan oleh alam menimbulkan korban
jiwa. Korban tersebut akan diidentifikasi guna mengetahui identitas diri. Proses mengidentifikasi terkadang mengalami
beberapa kendala, yaitu kurangnya sumber daya manusia, keterbatasan alat, dan juga keterbatasan pada korban. Para peneliti
menemukan bahwa rugae palatina dapat mengidentifikasi identitas seseorang seperti sidik jari dilihat dari pola rugae
palatina. Proses identifikasi rugae palatina sekarang ini masih secara manual dan belum dapat membedakan jenis kelamin
manusia dari pola rugae palatina. Sehingga penulis mengusulkan sistem untuk mengidentifikasi pola rugae palatina
menggunakan citra digital dengan metode Gabor wavelet dan Fuzzy K-NN. Pada tugas akhir ini menggunakan ekstraksi
ciri metode Gabor wavelet dan Fuzzy K-NN sebagai klasifikasinya. Adapun tahapan yang dilakukan adalah pre- processing,
kemudian ekstraksi ciri, dan tahap terakhir merupakan tahap klasifikasi. Pengujian dan pengambilan data dilakukan di dalam
ruangan oleh data sample cetakan rahang atas beserta rugae palatina berjumlah 44 sample. Dari hasil pengujian penelitian
Tugas Akhir ini didapat akurasi dengan pixel 50x50 saat K=1 54,545%, saat K=3 45,45%, saat dan K=5 36,364%, dengan
pixel 100x100 saat K=1 54,545%, saat dan K=3 42.857 %, saat K=5 54.545 %, dan dengan pixel
256x256 saat K=1 63.636 %, saat K=3 45.455%, dan K=5 45.455%
Kata Kunci : Rugae Palatina, Gabor Wavelet, Fuzzy K-NN

Abstract

Frequent occurrence of disasters caused by humans or caused by natural, cause casualties. The victim will be
identified in order to determine their identity. The process of identifying occasionally having some prob lem, a lack of
human resources, limited tools, and also limitations on the victim. The researchers found that the palatine rugae can identify
a person's identity such as fingerprints seen from palatine rugae pattern. The identification process palatine rug ae have still
manually and not be able to distinguish the gender of the human palatine rugae pattern. So the authors propose a system to
identify the palatine rugae pattern using digital image with Gabor wavelet and Fuzzy K-NN method. In this thesis using
Gabor wavelet feature extraction methods and Fuzzy K- NN as classification. The steps being taken are pre- processing,
feature extraction and then, and the last stage is classification. Testing and data collection was done by the sample data
of the upper jaw mold along the palatine rugae totaling 44 samples From the results of research testing this Final accuracy
obtained with 50x50 pixels when K=1 54.545% , when K=3 45.45% , and when K=5 36.364% , with a
100x100 pixel when K=1 54.545% , when K=3 42 857% , and when K=5 54.545 % , and with a 256x256 pixel when K=1
63.636% , when K=3 45.455% , and when K=5 45.455%.
Keyword : Rugae Palatine, Gabor Wavelet, Fuzzy K-NN
1.

Pendahuluan
Semakin berkembangnya ilmu kedokteran terutama dalam bidang forensik membuat banyak peneliti yang
menginginkan sebuah teknologi pendukung agar dapat lebih efisien dalam menjalankan proses penelitian. Salah satu
penelitian di bidang forensik yang membutuhkan teknologi pendukung yaitu, penelitian identifikasi rugae palatina.
Rugae palatina adalah tonjolan pada anterior langit-langit mulut yang bersifat unik serta individual. Semakin spesifik

keunikan tersebut maka dalam proses identikasi akan menjadi lebih mudah karena semakin kecil peluang bertemunya
rugae palatina yang sama pada beberapa orang.
Para peneliti meyakini bahwa rugae palatina dapat menjadi tambahan metode dalam proses identifikasi forensik. Untuk
saat ini dokter spesialis forensik biasa menggunakan metode identifikasi sidik jari, metode identifikasi gigi, dan metode
identifikasi DNA. Rugae Palatina terpilih karena memiliki posisi yang sangat aman yaitu, berada di dalam mulut yang
dilindungi oleh rahang, bantalan lemak, dan juga tengkorak. Dalam pengambilan data untuk rugae palatina ini didapat
dari hasil foto cetakan rahang atas beserta rugae palatina dengan teknik foto yang mencakup seluruh bentuk. Dalam
identifikasi rugae palatina saat ini masih dikembangkan, cara paling sederhana yaitu dengan mengukur cetakan rahang
atas beserta rugae menggunakan jangka dan dalam perhitungannya masih secara manual.

ISSN : 2355-9365

e-Proceeding of Engineering : Vol.3, No.2 Agustus 2016 | Page 1847

Dengan menggunakan pengolahan citra digital dari hasil identifikasi rugae palatina klasifikasi jenis kelamin diharapkan
dapat membantu dalam proses identifikasi forensik yang menjadikan proses identifikasi tersebut menjadi lebih efisien dan
hasil dari identifikasi forensik valid. Oleh karena itu, demi menghasilkan tingkat akurasi yang baik, identifikasi rugae
palatine klasifikasi jenis kelamin didasarkan pada metode Gabor wavelet. Selain itu digunakan metode klasifikasi Fuzzy
K-NN. Dengan identifikasi dan klasifikasi tersebut, dapat dilakukan dan menghasilkan suatu keluaran dengan
membedakan rugae palatine milik laki-laki dan perempuan berdasarkan pada pola rugae.

2. Dasar Teori
2.1 Odontologi Forensik
Odontologi forensik merupakan salah satu bagian dari ilmu forensik yang dapat dikatakan sebagai suatu bentuk
aplikasi ilmu kedokteran gigi dalam kepentingan peradilan. Contoh dari aplikasi tersebut diantaranya adalah membantu
proses identifikasi dalam kasus bencana masal atau kriminal [1]. Ilmu forensik kedokteran gigi memiliki nama lain yaitu
forensic dentistry dan forensic odontology. Istilah odontologi forensik berasal dari kata yunani yaitu “odons” yang berarti
gigi, “logos” yang berarti pengetahuan, serta “forensis” atau “forum” yang artinya pengadilan, jadi odontologi forensik
dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang membahas tentang gigi dalam keperluan atau kepentingan pengadilan [2].
Ilmu forensik kedokteran gigi berkembang berdasarkan pada kenyataannya bahwa: gigi, struktur rongga rahang atas,
rahang, pola penumpukan karang gigi, bentuk rugae palatina, sidik bibir, bentuk anatomi dari keseluruhan mulut dan
penampilan morfologi wajah merupakan karakteristik yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam proses identifikasi
individu yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam penyidikan [3].
2.2 Rugae Palatina
Palatal rugae bisa disebut juga dengan rugae palatina. Rugae palatina merupakan tonjolan-tonjolan pada bagian
anterior dari langit-langit mulut. Rugae palatina terletak pada bagian anterior langit-langit mulut keras dimana rugae di
bagian anterior umumnya lebih menonjol daripada bagian posterior dan tidak pernah melintasi median raphe [4]. Seperti
terlihat pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Rugae Palatina Pada Langit-langit Mulut [5]


Rugae palatina berfungsi memfasilitasi transportasi makanan serta membantu proses pengunyahan makanan [6].
Dalam persepsi rasa, persepsi posisi lidah dan juga tekstur makanan rugae palatina ikut berkontribusi. Pertumbuhan dan
perkembangan dari rugae palatina berada dibawah kontrol genetik dimana pola pada setiap keturunan mungkin akan sama
namun tidak identik pada setiap individu. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan langit-langit mulut, rugae
palatina akan mengalami perubahan jumlah dan ukuran yang bervariasi pada setiap individu, namun bentuk dan pola yang
khas dari rugae palatina sejak saat lahir akan tetap dipertahankan [7].
2.3 Klasifikasi Rugae Palatina
Sejumlah klasifikasi untuk menilai rugae palatina telah dikembangkan, mulai dari yang sederhana hingga kompleks
[6]. Pengembangan klasifikasi didasari untuk memperudah proses identifikasi individu. Penelitian menunjukan rugae
palatina dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran, arah dan bentuk, beberapa diantaranya yaitu klasifikasi Lysell,
klasifikasi Martin dos Santos, dan klasifikasi Carrea.
2.3.1 Klasifikasi Martin dos Santos
Pada rugae palatina di sisi kanan, rugae palatina yang terletak pada posisi paling anterior diberi simbol dengan
huruf kapital, sedangkan rugae dengan posisi lainnya diberikan simbol angka, begitu juga dengan rugae palatina di sisi
kiri, pada rugae palatina yang posisinya terletak paling anterior diberi symbol huruf kapital sedangkan lainnya dengan
angka [8].
Tabel 2.1 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan bentuk menurut Martin dos Santos

Point


Posisi Rugae
Palatina Anterior
P

Line

L

1

Curve
Angle

C
A

2
3

Circle


0

4

Sinous

S

5

Bifurcated

B

6

Trifurcated

T


7

Interrupt

I
An

8

Tipe Rugae Palatina

Anomaly

Posisi Lainnya
0

9

Bentuk Rugae

Palatina

ISSN : 2355-9365

e-Proceeding of Engineering : Vol.3, No.2 Agustus 2016 | Page 1848

2.3.2 Klasifikasi Lysell
Klasifikasi Lysell merupakan salah satu klasifikasi yang digolongkan berdasarkan ukuran. Ukuran rugae palatina
dapat diukur dengan menghitung panjang rugae palatina dari origin atau ujung terdalam (terdekat dengan median raphe)
rugae palatina ke terminal atau ujung terluar rugae palatina [9].
Tabel 2.2 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan ukuran menurut Lysell

Rugae palatina

Ukuran

Primary

≥ 5 mm


Pr

Secondary

3-5 mm

Sc

Fragmented

2-3 mm

Fg

Simbol

2.3.3 Klasifikasi Carrea
Klasifikasi Carrea merupakan salah satu klasifikasi yang digolongkan berdasarkan arah. Arah rugae palatina
ditentukan dengan mengukur sudut yang dibentuk oleh garis yang menghubungkan asal dan akhir terhadap garis tegak
lurus ke median raphe [9].

Tabel 2.3 Klasifikasi rugae palatina berdasarkan arah menurut Carrea dengan modifikasi [5][14]

Klasifikasi

Karakteristik

Simbol

Keterangan

Tipe I

Postero-anterior

PA

Sudut positif

Tipe II

Perpendikular

P

Sudut nol

Tipe III

Antero-posterior

AP

Sudut negatif

Tipe IV

Berbagai arah

R

-

2.4 Konsep Dasar Citra Digital
Citra digital adalah sebuah fungsi f(x,y), yang merupakan fungsi intensitas cahaya, dimana nilai x dan y merupakan
koordinat spasial dan nilai fungsi di setiap titik (x,y) merupakan tingkat keabuan citra pada titik tersebut. Citra digital
dinyatakan dengan matriks dimana baris dan kolomnya menyatakan suatu titik pada citra tersebut dan elemen matriksnya
(yang disebut sebagai elemen gambar atau pixel) menyatakan tingkat keabuan pada titik tersebut.
2.4.1 Citra Biner (Monochrome)
Citra biner merupakan citra digital dimana setiap pixelnya berupa informasi intensitas tunggal. Citra biner memiliki
2 buah warna, yaitu hitam dan putih.Warna hitam bernilai 1, sedangkan warna putih bernilai 0. Contoh dari susunan pixel
pada citra monokrom adalah sebagai berikut:

Gambar 2.2 Citra Biner

2.4.2 Citra Keabuan (Grayscale)
Grayscale adalah representasi citra biner yang hanya memiliki satu layer. Jumlah warna pada grayscale adalah 256
karena jumlah bitnya adalah 8, nilainya berada pada jangkauan 0-255.

Gambar 2.3 Citra Grayscale

2.4.3 Citra Warna (True Color)
Setiap pixel pada citra warna mewakili warna yang merupakan kombinasi tiga warna dasar, yaitu merah, hijau, dan
biru (RGB = Red, Green, Blue). Setiap pixel dari citra grayscale, 256 gradasi warna diwakili oleh 1 byte [10]. Sedangkan
tiap pixel citra warna diwakili oleh 3 byte yang merepresentasikan tiap warna. Model warna RGB berdasarkan pada sistem
koordinat Castesian.
2.5 Gabor Wavelet
Pada tugas akhir ini digunakan pendekatan algoritma Gabor Wavelet. Penggunaan metode gabor memiliki relevansi
biologis karena sebuah ciri biologi dapat memberikan informasi yang unik berkaitan dengan identif ikasi masing-masing
individu [11]. Daugman memelopori penggunaan representasi 2D Gabor wavelet dalam computer vision pada tahun
1980an [11].
Tujuan utama dari Gabor Wavelet adalah untuk memunculkan ciri-ciri dari citra yang telah dikonvolusi terhadap
kernel. Digunakan Gabor Wavelet kernel 2D sebagai filter yang diperoleh dengan memodulasi gelombang sinus 2D pada

ISSN : 2355-9365

e-Proceeding of Engineering : Vol.3, No.2 Agustus 2016 | Page 1849

frekuensi dan orientasi tertentu dengan Gaussian envelope. Kumpulan koefisien untuk kernel dari beberapa sudut
frekuensi di satu pixel dalam gambar disebut Jet.
Jet merupakan potongan kecil dari grey values dalam sebuah gambar mengelilingi pixel yang diberikan X=(x ⃗,y ⃗).
Dengan persamaan Gabor Filter yang biasa digunakan adalah seperti berikut
(2 - 4)
Dimana µ dan v adalah orientasi dan skala dari Gabor Filter, z=(x,y) dan kµ,v.

(2 - 5)
(2 - 6)
(2 - 7)
kmax adalah frekuensi maksimum dan f adalah spacing factor diantara kernel dalam domain frekuensi. Dengan nilai
umum σ=2π, kmax=π/2 dan f=√2. Dalam tugas akhir ini akan digunakan µ Є {0,1,…,7} dan v Є {0,1,2,3,4}
Jika semua Gabor filter dengan variasi frekuensi (f) dan orientasi (θ) diterapkan pada satu titik tertentu (x,y), maka
didapatkan banyak respon filter untuk titik tersebut, misal: digunakan lima frekuensi (f = 0, 1, 2, 3, 4) dan delapan
orientasi (θ), maka akan dihasilkan 40 respon filter untuk tiap titik citra yang dikonvolusikan dengan filter tersebut. Citra
database dan citra yang akan dikenali dikonvolusi lebih dahulu dengan Gabor Filter. Konvolusi tersebut akan
menghasilkan titik titik dengan nilai tertentu yang disebut sebagai gabor jet response.

Gambar 2.4 Representasi Nilai Real Gabor Kernel

2.6 Fuzzy K-Nearest Neighbor
Fuzzy k-NN classifier (FKNN), sebuah kombinasi dari fuzzy logic dan k-NN classifier [12]. FKNN adalah sebuah
metode yang digunakan untuk pengklasi-fikasian ketepatan suatu data uji dengan mencari perbedaan jarak terdekat antara
satu objek dengan objek lainnya. Pencarian jarak dalam kasus ini menggunakan persamaan Euclidian Distance:
d ( x i , x j ) 

N

x
l 1

il

 x jl

2

(2 - 8)

Metode ini adalah penggabungan algoritma k-Nearest Neighbor klasik dengan konsep fuzzy [13]. FKNN terdiri dari
dua langkah: fuzzy labeling yang menghitung vektor fuzzy dari sampel training dan fuzzy classification yang menghitung
vektor fuzzy dari sampel masukan [12]. Pada klasifikasi dengan fuzzy, akan ditentukan sebuah nilai keanggotaan atau
membership fuzzy μ(x,c_i), persamaannya sebagai berikut:
K

u( x, ci ) 

 (u( x , c ))(d ( x, x )
k 1

k

i

k

 2
( m 1)

)

(2 – 9)

 2

K

 d ( x, x )

( m 1)

k

k 1

Dimana μ(x,c_i) adalah nilai keanggotaan data tetangga, dalam K tetangga pada kelas ci, nilainya 1 jika data latih xk
milik kelas ci atau 0 jika bukan milik kelas ci. d(x, xk) adalah jarak dari data x ke data xk dalam K tetangga terdekat. m
adalah bobot pangkat (weight exponent) yang besarnya m > 1. M yang digunakan pada penelitian ini adalah m=2.
Nilai keanggotaan suatu data pada kelas sangat dipengaruhi oleh jarak data itu ke tetangga terdekatnya, semakin dekat ke
tetangganya maka semakin besar nilai keanggotaan data tersebut pada kelas tetangganya, begitu pula sebaliknya. Jarak
tersebut diukur dengan N dimensi (fitur) data [20].

3. Pembahasan
3.1. Deskripsi Sistem
Deskripsi sistem ini menjelaskan alur pembuatan program dan menjelaskan detail pada setiap tahapan. Pada
perancangan sistem dapat digambarkan dalam blok diagram sebagai berikut:
Cetakan Rahang Atas
Beserta Rugae Palatina

Akuisisi Citra

Gambar 3.1 Diagram Blok Model Sistem

Identifikasi Citra

ISSN : 2355-9365

e-Proceeding of Engineering : Vol.3, No.2 Agustus 2016 | Page 1850

3.2. Perancangan Sistem
Sistem yang dirancang terdiri dari dua bagian yaitu: proses pengambilan ciri acuan dan pengujian.
Penjelasan proses pengambilan ciri acuan dipaparkan pada diagram alir berikut.
Mulai

Mulai

Data Latih

Data Uji

Pre-Processing

Pre-Processing

Labeling

Labeling

Ciri Latih

Ekstraksi Ciri

Database

Ciri Uji

Klasifikasi

(a)

Proses Latih
Hasil Klasifikasi

Selesai

(b)

Proses Uji

Gambar 3.3 Diagram Alir Proses

3.1.2.1

Pre-processing
Preprocessing merupakan tahap selanjutnya dalam mengolah data mempersiapkan citra agar dapat diolah pada
ekstraksi ciri. Tujuan dari pre-processing ini untuk meningkatkan kualitas dari citra masukan yang diperoleh
Mulai
Ambil Gambar

Cropping

Grayscale

Deteksi Tepi

Morfologi Citra

Segmentasi Citra

Selesai

Citra
Preprocessing

Gambar 3.4 Diagram Alir Proses Pre-processing

3.1.3 Ekstraksi Ciri
Proses ini merupakan cara untuk mendapatkan nilai ciri pada citra dan proses ekstraksi ciri ini merupakan tahap yang
penting dalam mendeteksi pola rugae palatina. Oleh karena itu, pada proses ekstraksi ciri dengan menggunakan metode
gabor wavelet. Dengan mengkonvolusi hasil gabor kernel dengan citra rugae.
Mulai

Mulai

Input Citra Uji

Inisialisasi u dan v

Kernel Gabor

Kernel Gabor

Konvolusi 2D

Pisahkan Magnitut
dan Fasa

Penyusutan
Dimensi

Sesuaikan Kernel Gabor

Fitur Citra

Selesai

Selesai

(a)

Proses Latih

(b)
Gambar 3.6 Diagram Alir Ekstraksi Ciri

Proses Uji

ISSN : 2355-9365

e-Proceeding of Engineering : Vol.3, No.2 Agustus 2016 | Page 1851

3.1.4 Klasifikasi

Seluruh parameter dari hasil ekstraksi ciri yang telah dilakukan digunakan untuk melakukan deteksi pola pada
rugae menggunakan FKNN. Dalam mendeteksi pola rugae dikelompokkan menjadi 10 kelas, yaitu pola point, pola
line, pola curve, pola angle, pola circle, pola sinous, pola bifurcated, pola trifurcated, pola interrupt, dan pola
anomaly. Hasil dari ekstraksi ciri disimpan dalam database array pada saat tahap latih. Ciri hasil dari ekstraksi ciri
pada tahap latih yang telah disimpan dalam database array dibandingkan dengan hasil dari ciri uji kemudian
diklasifikasikan dengan menggunakan FKNN. Pada proses klasifikasi FKNN menggunakan toolbox FKNN yang
telah tersedia pada Matlab. Parameter FKNN pada Matlab ada yang perlu diatur demi mencapai hasil yang kualitatif
dan akurat. Parameter yang diatur adalah nilai K. Parameter tersebut diatur secara manual melalui perintah pada
matlab. Pada tahap klasifikasi, hasil dari ciri ekstraksi ciri uji akan dihitung jaraknya berdasarkan jarak terdekat
dengan hasil dari ciri latih. Jika hasil dari ciri uji mendekati nilai dari ciri latih pada database array yang tersedia,
maka akan masuk kedalam kelas yang sesuai dari nilai ciri latih tersebut baik masuk kedalam pola point, pola line,
pola curve, pola angle, pola circle, pola sinous, pola bifurcated, pola trifurcated, pola interrupt, dan pola anomaly.
3.2 Performansi Sistem
Dilakukan pengujian terhadap data latih dan data uji menggunakan software Matlab berdasarkan metode Gabor wavelet
dan FKNN untuk mengevalui performansi system yang dibahas. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kelebihan dan
kekurangan sistem. Performansi sistem diukur berdasarkan parameter sebagai berikut :
1. Akurasi Sistem
Akurasi merupakan ukuran ketepatan sistem dalam mengenali masukan yang diberikan sehingga
menghasilkan keluaran yang benar. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:
(3 - 1)

2.

Waktu Komputasi
Waktu komputasi adalah waktu yang dibutuhkan sistem melakukan suatu proses. Pada sistem ini, waktu
komputasi dihitung dengan menggunakan waktu selesai dikurangi waktu mulai, sehingga akan didapatkan waktu
komputasi sistem.
(3 - 2)

4. Implementasi dan Analisis
4.1 Lingkup Pengujian
Pengujian pada tugas akhir ini menggunakan 8 buah citra rugae dengan kombinasi 4 citra rugae laki-laki dan 4
citra rugae perempuan.
4.2 Skenario Pengujian Sistem
Skenario yang dilakukan untuk melakukan pengujian sistem yang sudah dirancang
1. Ukuran Gambar.
2. Parameter K pada FKNN.
3. Ukuran Gambar dan Parameter K pada FKNN.
4.3 Hasil Pengujian
4.3.1
Analisis Pengaruh Ukuran Gambar Terhadap Akurasi dan Waktu Komputasi

Gambar 4.1 Perbandingan Akurasi Ukuran Pixel

Gambar 4.2 Perbandingan Waktu Komputasi Ukuran Pixel

Dari hasil pengujian pixel diperoleh hasil akurasi maksimal untuk rugae laki-laki didapat 87.5% dan untuk
rugae perempuan didapat 90%. Pada rugae laki-laki didapat akurasi maksimal saat pixel citra berukuran 100x100
dengan waktu komputasi 4.424 detik. Pada rugae perempuan didapat akurasi maksimal saat pixel citra berukuran
50x50 dengan waktu komputasi 5.23 detik. Semakin tinggi resolusi suatu citra maka semakin banyak ciri yang didapat
saat ekstraksi ciri oleh metode gabor wavelet sehingga proses kerja sistem memakan waktu dan berbanding lurus
dengan waktu komputasi.

ISSN : 2355-9365

4.3.2

e-Proceeding of Engineering : Vol.3, No.2 Agustus 2016 | Page 1852

Analisis Pengaruh Parameter K Terhadap Akurasi

Gambar 4.3 Perbandingan Akurasi

Dari hasil pengujian pada table 4.3 dan table 4.4 diperoleh hasil akurasi maksimal untuk rugae milik laki-laki adalah
87.5% saat nilai K = 1 dan K=3 dengan waktu komputasi 4.424 detik saat K=1 dan saat K=3 dengan waktu komputasi
8.734 detik. Dan akurasi maksimal untuk rugae milik perempuan adalah 100% pada saat nilai K=3 dan K=5 dengan
waktu komputasi saat K=3 7.557 detik dan waktu komputasi saat K=5 7.793 detik.

4.3.3

Analisis Pengaruh Ukuran Gambar dan Parameter K Terhadap Akurasi dan Waktu Komputasi

Gambar 4.4 Perbandingan Akurasi Pixel Citra Pada K = 1

Gambar 4.6 Perbandingan Akurasi Pixel Citra Pada K = 5

Gambar 4.5 Perbandingan Akurasi Pixel Citra Pada K = 3

Gambar 4.6 Perbandingan Waktu Komputasi Pixel Citra Pada K = 1

Dari hasil pengujian pada table 4.5 dan table 4.6 untuk rugae laki-laki diperoleh hasil akurasi maksimal adalah
87.5% saat pixel citra 100x100 dengan nilai K=1 dan K=3 dengan waktu komputasi 4.424 detik saat K=1 dan waktu
komputasi saat K=3 8.734 detik. Untuk rugae perempuan didapat nilai akurasi tertinggi adalah 100% saat pixel citra
100x100 dengan nilai K=3 dan K=5 dengan waktu komputasi saat K=3 7.557 detik dan waktu komputasi saat K=5 7.793
detik.

5

Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan
Dari hasil pengujian yang dilakukan pada tugas akhir ini, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.

Implementasi pengambilan gambar cetakan rahang atas beserta rugae palatina menggunakan metode Gabor Wavelet
dan FKNN belum cukup mampu mendeteksi pola rugae palatina dengan akurasi minimum 54.545% dan akurasi
maksimum 100% saat citra 100x100 pixel dengan K=5.

2.

Proses pendeteksian dapat dipengaruhi oleh kualitas dari hasil gambar yang telah diambil, dapat berupa jarak
maupun stabilitas dari pengambilan gambar. Selain itu besarnya resolusi juga mempengaruhi jumlah pola rugae yang
terdeteksi. Namun penambahan resolusi selain dapat menambah jumlah pola yang dideteksi juga menambah jumlah
bukan pola rugae yang menjadikannya salah dalam mendeteksi.

3.

Banyaknya jumlah pixel pada citra mempengaruhi banyaknya ciri yang dihasilkan oleh ekstraksi ciri metode Gabor
Wavelet. Semakin banyak ciri yang dihasilkan maka akan semakin mendekati ciri dari citra asli sehingga hasil dari
proses klasifikasi dengan menggunakan metode FKNN akan semakin akurat. Namun banyaknya ciri juga
mempengaruhi waktu komputasi, sehingga dalam memproses akan memakan waktu lebih lama.

ISSN : 2355-9365

4.

e-Proceeding of Engineering : Vol.3, No.2 Agustus 2016 | Page 1853

Dari penelitian yang telah dilakukan dan didasari oleh data yang didapat sebanyak 44 sample rugae dengan 18
sample rugae laki-laki dan 26 sample rugae perempuan, bahwa pola rugae subras deutromelayu pada perempuan
didominasi oleh pola Line atau Bifurcated dan pola rugae pada laki-laki didominasi oleh pola Sinous. Tanpa melihat
kehadiran pola Curve.

5.2 Saran
Adapun saran untuk pengembangan tugas akhir selanjutnya adalah
1.
Gunakan metode pre-processing lainnya untuk membuat citra dapat terdeteksi lebih baik sehingga pola interrupt
dapat terdeteksi.
2.

Diharapkan pola rugae tidak lagi harus digarisi dahulu pada cetakan rahang atas beserta rugae.

3.

Gunakan metode klasifikasi lain dan memakai lebih banyak sample rugae palatina yang dijadikan sebagai data latih
untuk mendapatkan hasil akurasi yang lebih baik.

4.

Agar lebih baik dalam mendeteksi gender pada rugae palatina sebaiknya dalam pengklasifikasiannya menggunakan
sebuah metode.

Daftar Pustaka
Chairani, S; Auerkari, E I. 2008. Pemanfaatan Rugae Palatal Untuk Identifikasi Forensik. Indonesian Journal of
Densitry;15 (3); 261-269.
[2]
Pelawi, T. Y. 2010. Pola Sidik Bibir dalam Lingkup Satu Keluarga sebagai Salah Satu Data Odontoogi Forensik.
Skripsi. Bandung: FKG Universitas Padjadjaran. hal. 44.
[3]
Wirasuta, I.M.A.G. tt. Pengantar Menuju Ilmu Forensik. Bukit Jimbaran : Lembaga Forensik Sains dan
Kriminologi, Universitas Udayana.
[4]
Manashvini, S; Patil; B, Sanjayagouda; A.B, Acharya. 2011. Palatal Rugae and Their Significance in Clinical
Dentistry. J Am Dent Assoc; 139;1471-1478.
[5]
Wichnieski, C.et al. 2012. Comparative Anaysis Between Dactiloscopy And Rugoscopy. J.Morphol.Sci. Vol.:29
No.:3.
[6]
Caldas, I. M.; M. Teresa; A. Americo. 2006. Establishing Identitiy Using Cheiloscopy and Palatoscopy. Journal
of Forensic Science International, 165(2007):1-9.
[7]
Venegas, V.H; J.S, Valenzuela; M.C, Lopez ; I.C, Galdames. 2009. Palatal Rugae: Systemic Analysis of Its
Shape Dimensions for Use in Human Identification. Int J Morphol, 27 : 819-25.
[8]
Krishnappa, S.,et al. 2013. Palatal Rugoscopy: Implementation in Forensic Odontology-A Riview. J. Adv. Med.
Dent. Science. 1(2):53-59
[9]
Patmasari, R.dkk. 2009. Perancangan Perangkat Lunak Rumus Sidik Jari Pada Bentuk Sidik Jari Jenis Whorl.
Fakultas Teknik Elektro dan Komunikasi, Institut Teknologi Telkom Bandung. Yogyakarta: Seminar Nasional
Aplikasi Teknologi Informasi.
[10]
T. Sutoyo, Teori Pengolahan Citra Digital, Yogyakarta: Andi, 2009.
[11]
Daubechies,I.1990. The Wavelet Transform, Time-Frequency Localization And Signal Analysis. IEEE Trans.
Information Theory 36 (1990) 961–1005.
[12]
Amarulhaq. E. Analisis Pengenalan Emosi Pada Music dengan Sistem Berbasis Fuzzy. Jurnal Universitas
Telkom.
[13]
Chaniago .R; Liong .T. H; Wardan .K. R. R. 2014. Prediksi Cuaca Menggunakan Metode Case Based Reasoning
dan Adaptive Neuro Fuzzy Inference System. Jurnal Informatika, Vol. 12, no 2, 90-95.
[1]