NUR ANIS ELFA WALUYA
“FENOMENA FOBIA”
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Psikoterapi
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Disusun oleh:
NUR ANIS ELFA WALUYA
N1M: 15010110120055
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
1
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan
berkah dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul :
“Fenomena Fobia”
Penulis sadar bahwa tanpa bantuan dari pihak lain, rasanya sulit dapat
menyelesaikan tugas ini. Maka pada kesempatan kali ini atas bantuan dan
dorongan moril maupun materiil, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang mendalam kepada Ibu Farida Hidayati, S. Psi, M.Si selaku dosen
pengampu mata kuliah Pengantar Psikoterapi, terimakasih pula kepada orang tua
dan keluarga, serta rekan-rekan yang selalu memberikan semangat dan perhatian.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan remaja saat ini begitu komplek dengan jumlah
remaja yang semakin banyaknya. Jumlah remaja yang semakin banyak ini
merupakan potensi bagi pembangunan, mengingat remaja merupakan
penerus bangsa di masa depan. Namun ternyata, ada sisi lain dari
gambaran remaja Indonesia yang membuat para orang tua dan orang
disekitar merasakan ketidaknyamana dengan suatu perilaku yang
dimunculkan oleh remaja yaitu masalah fobia. Fobia merupakan rasa takut
yang berlebih-lebihan dan berkepanjangan karena rasa takut yang sangat
tidak rasional. Fobia kebanyakan dialami oleh perempuan meskipun para
laki-laki pun juga ada yang mengalami phobia. Orang yang mengalami
fobia biasanya ketika bertemu dengan benda atau hal yang ditakutinya
maka ia akan berteriak sekeras mungkin, berlari, mencari perlindungan
kepada orang lain, menangis, bahkan sampai pingsan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai hal-hal sebagai
berikut.
1.
Masalah psikologis apa yang terjadi?
2.
Pendekatan apa yang paling sesuai digunakan untuk mengatasi
masalah psikologis tersebut?
3.
Bagaimana aplikasi psikoterapi untuk penderita fobia?
C. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui hal-hal yang
terkait dengan aplikasi psikoterapi dalam kehidupan sehari-hari kita, serta
pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah psikologis
tersebut.
3
D. Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat memberikan
berbagai macam manfaat bagi pembaca, diantaranya yaitu:
1. Memahami masalah psikologis yang terjadi di lingkungan kita, yaitu
masalah fobia dikalangan remaja.
2. Mampu memahami penjelasan mengenai fenomena fobia.
3. Mampu memahami pendekatan yang digunakan untuk mengatasi
masalah psikologis tersebut.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika makalah dibagi dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan, bab ini menguraikan Latar belakang masalah,
tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan makalah.
Bab II Isi, bab ini menguraikan teori yang hendak dipakai untuk
meninjau kasus dalam makalah ini.
Bab III Pembahasan, bab ini berisi fenomena mengenai phobia
yang terjadi dikalangan remaja, serta pendekatan yang digunakan untuk
mengatasi masalah psikologis tersebut.
Bab IV Penutup, bab ini berisi simpulan.
Bab V Daftar Pustaka, bab ini berisi referensi-referensi seperti
buku dan jurnal yang telah diperoleh.
4
BAB II
TEORI
1.
FENOMENA FOBIA
Gangguan Anxietas Fobix (Panduan Diagnostik-PPDGJ)
Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari luar
individu itu sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian ini tidak
membahayakan.
Kondisi lain (dari diri individu itu sendiri) seperti perasaan takut akan
adanya penyakit (nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk
badan (dismorfofobia) yang tak realistik dimasukkan dalam klasifikasi
F45.2 (gangguan hipokondrik).
Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi
dengan rasa terancam.
Secara subjektif, fisiologik dan tampilan perilaku, anxietas fobik tidak
berbeda dari anxietas yang lain dan dapat dalam bentuk yang ringan
sampai yang berat (serangan panik).
Anxietas fobik seringkali berbarengan (coexist) dengan depresi. Suatu
episode depresif seringkali memperburuk keadaan anxietas fobik yang
sudah ada sebelumnya. Beberapa episode depresif dapat disertai
anxietas fobik temporer, sebaliknya afek depresif seringkali menyertai
berbagai fobia, khususnya agorafobia. Pembuatan diagnosis tergantung
darimana yang jelas-jelas timbul lebih dahulu dan mana yang lebih
dominan pada saat pemeriksaan.
1) F40.0 Agorafobia
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosa
pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
5
b) Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi
dalam hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut:
banyak orang/ keramaian, tempat umum, bepergian keluar
rumah, dan bepergian sendiri; dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala
yang menonjol (penderita menjadi “house-bound”).
2) F40.1 Fobia sosial
Semua karakter dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosa
pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
b) Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial
tertentu (outside the family circle); dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala
yang menonjol.
Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan
agorafobia, hendaknya diutamakan diagnosis agorafobia
(F40.0).
3) F40.2 Fobia khas (Terisolasi)
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis
pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
b) Anxietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik
tertentu (highly specific situasions); dan
6
c) Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik
lain, tidak seperti halnya agorafobia dan fobia sosial.
2.
PENDEKATAN BEHAVIORISTIK
Pendekatan Behavioral
Konseling behavior tidak dapat dipisahkan dengan riset-riset perilaku
belajar pada binatang, sebagaimana yang dilakukan Ivan Pavlov (abad ke19) dengan teorinya classical conditioning. Berikutnya adalah Skinner yang
mengembangkan teori belajar operan, dan sejumlah ahli yang secara terusmenerus melakukan riset dan mengembangkan teori belajar berdasarkan
hasil eksperimennya (Hackmann, 1993).
Teori belajar itu menjadi mantap untuk diterapkan ke perilaku
manusia setelah behaviorisme yang dipelopori oleh psikolog Amerika, J. B.
Watson melakukan riset terhadap anak yang bernama Albert dan publikasi
artikelnya “Psychology as the behaviorist views it”. Publikasi dan penelitian
yang dilakukan oleh Watson dan lainnya secara sistematik mengembangkan
dan
menyempurnakan
prinsip-prinsip
behaviorisme.
Teori-teori
behaviorisme menjadi amat populer dan memberi inspirasi bagi upayaupaya pengubahan perilaku, termasuk di dalamnya melalui proses
konseling.
Sejalan dengan pendekatan yang digunakan dalam teori behavioral,
konseling behavioral menaruh perhatian pada upaya perubahan perilaku.
Sebagai sebuah pendekatan yang relatif baru, perkembangannya sejak 1960an, konseling behavioral telah memberi implikasi yang amat besar dan
spesifik pada teknik dan strategi konseling dan dapat diintegrasikan ke
dalam pendekatan lain.
Konseling behavioral ini dikembangkan atas reaksi terhadap
pendekatan psikoanalisis dan aliran-aliran Freudian (Rachman, 1963).
Ranchman
mengemukakan
bahwa
7
teknik
asosiasi
bebas,
analisis
transferensi dan teknik-teknik analisis sebagaimana yang diterapkan
psikoanalisis tidak banyak membantu mengatasi masalah perilaku klien.
Saat ini konseling/terapi behavioral berkembang pesat dengan
ditemukannya sejumlah teknik-teknik pengubahan perilaku, baik yang
menekankan pada aspek fisiologis, perilaku, maupun kognitif (Hackmann,
1993). Rachman (1963) dan Wolpe (1963) mengemukakan bahwa terapi
behavioral dapat menangani masalah perilaku mulai kegagalan individu
untuk belajar merespon secara adaptif hingga mengatasi gejala neurotik.
Konselor yang mengambil pendekatan behavioral membantu klien
untuk belajar cara bertindak yang baru dan pantas, atau membantu mereka
untuk memodifikasi atau mengeliminasi tingkah laku yang berlebih. Dengan
perkataan lain, membantu klien agar tingkah lakunya menjadi lebih adaptif
dan menghilangkan yang maladaptif (Gladding, 2004).
Pendekatan behavioral merupakan pilihan untuk membantu klien yang
mempunyai masalah spesifik seperti gangguan makan, penyalahgunaan zat,
dan disfungsi psikoseksual. Juga bermanfaat untuk membantu gangguan
yang diasosiasikan dengan anxietas, stress, asertivitas, berfungsi sebagai
orang tua dan interaksi social (Gladding, 2004).
Ahli behavioral yang berjasa mengembangkan konseling di antaranya
adalah Wolpe, Lazarus, Bandura, Krumboltz, Rachman, dan Thoresen.
A. Tujuan Konseling
Corey (1997) dan George dan Cristiani (1990) mengemukakan bahwa
konseling behavioral itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Berfokus
pada perilaku yang tampak dan spesifik; 2) Memerlukan prosedur perlakuan
spesifik sesuai dengan masalah klien; dan 3) penaksiran objektif atas tujuan
terapeutik.
Berdasarkan karakteristik ini sangat jelas bahwa konseling behavioral
secara konsisten menaruh perhatian pada perilaku yang tampak. Perilaku
yang tidak tampak dan bersifat umum harus dirumuskan menjadi lebih
spesifik. Tujuan konseling harus cermat, jelas dan dapat dicapai dengan
8
prosedur tertentu. Kecermatan penentuan tujuan sangat membantu konselor
dan klien dalam memilih prosedur perlakuan yang tepat, dan sekaligus
mempermudah mengevaluasi keberhasilan konseling. Perumusan tujuan
secara spesifik dianggap lebih penting dibandingkan dengan proses
hubungan konseling.
Secara singkat dapat dipahami bahwa tujuan konseling behavior
adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu
kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku, yang dapat
membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang dan/atau mengalami konflik
dengan kehidupan sosial.
Secara khusus, tujuan konseling behavioral mengubah perilaku salah
dalam penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan,
dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu
menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.
Pada dasarnya tujuan konseling, rumusan tentang perilaku yang
hendak dicapai dirumuskan secara spesifik, dibuat secara berbeda pada
setiap klien sesuai dengan masalahnya. Kalangan penganut konseling
behavioral menegaskan bahwa tujuan konseling harus dirumuskan secara
spesifik, dapat diobservasi, dan terukur. Spesifik artinya rumusan
perilakunya khusus dan bukan yang bersifat umum, dapat diobservasi
(observable) artimya perilaku yang hendak diubah dan arah perubahannya
dapat dilihat atau diobservasi, sedangkan terukur (measurable) artinya
intensitas perilaku itu dapat diukur intensitasnya, kekuatannya atau
frekuensinya. Tujuan yang bersifat umum tidak akan dapat dicapai dalam
jangka yang singkat. Rumusan menjadi spesifik merupakan strategi untuk
mencapai tujuan-tujuan yang lebih umum.
Penganut behavioral juga berkeyakinan bahwa tujuan konseling dalam
batas-batas perilaku yang tampak adalah sangat berguna dibandingkan
tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam makna yang sangat luas, seperti
pemahaman diri atau penerimaan diri. Artinya, bahwa konseling diharapkan
9
dapat menghasilkan perubahan-perubahan perilaku yang jelas. Krumboltz
(Pietrofesa dkk., 1978) menegaskan tiga kriteria tujuan konseling, yaitu :
1. Tujuan konseling harus dibuat secara berbeda untuk setiap klien.
2. Tujuan konseling untuk setiap klien akan dapat dipadukan dengan nilainilai konselor, meskipun tidak perlu identik.
3. Tujuan konseling disusun secara bertingkat, yang dirumuskan dengan
perilaku yang dapat diamati dan dicapai klien.
Selanjutnya Krumboltz mengemukakan bahwa dengan dirumuskannya
perubahan perilaku dalam bentuk operasional sebagai tujuan konseling,
maka akan menimbulkan konsekuensi sebagai berikut :
1. Konselor dan klien akan lebih jelas mengantisipasi apa yang akan
diproses dalam konseling, yang telah dan yang tidak akan diselesaikan.
2. Psikologi konseling menjadi lebih terintegrasi dengan teori-teori
psikologi beserta hasil penelitiannya.
3. Perbedaan kriteria harus diaplikasikan secara berbeda dalam mengukur
keberhasilan konseling.
B. Peranan Konselor
Pada umumnya konselor yang mempunyai orientasi behavioral
bersikap aktif dalam sesi-sesi konseling. Klien belajar, menghilangkan atau
belajar kembali bertingkah laku tertentu. Dalam proses ini, konselor
berfungsi sebagai konsultan, guru, penasihat, pemberi dukungan dan
fasilitator. Ia bisa juga memberi instruksi atau mensupervisi orang-orang
pendukung yang ada di lingkungan klien yang membantu dalam proses
perubahan tersebut. Konselor behavioral yang efektif beroperasi dengan
perspektif yang luas dan terlibat dengan klien dalam setiap fase konseling
(Gladding, 2004).
Konselor behavioral memiliki peran yang sangat penting dalam
membantu klien. Wolpe mengemukakan peran yang harus dilakukan
konselor, yaitu bersikap menerima, mencoba memahami klien dan apa yang
dikemukakan tanpa menilai atau mengkritiknya.
10
Dalam hal ini menciptakan iklim yang baik adalah sangat penting
untuk mempermudah melakukan modifikasi perilaku. Konselor lebih
berperan sebagai guru yang membantu klien melakukan teknik-teknik
modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan yang hendak
dicapai.
C. Teknik-Teknik Konseling
1. Teknik-Teknik Tingkah Laku Umum
a. Skedul penguatan bila suatu tingkah laku baru saja dipelajari,
maka tingkah laku itu harus diperkuat setiap kali muncul – dengan
perkataan lain penguatan yang berlangsung terus. Setelah
terbentuk, frekuensi penguat dapat dikurangi – dengan perkataan
lain memakai penguat intermiten, supaya tingkah laku tetap
bertahan.
b. Shaping tingkah laku yang dipelajari secara bertahap dengan
pendekatan suksesif, disebut sebagai shaping. Untuk mempelajari
keterampilan baru, konselor dapat memecah-mecah tingkah laku ke
dalam unit-unit, dan mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
c. Ekstingsi eliminasi dari tingkah laku karena penguat tidak
diberikan lagi. Hanya sedikit individu yang mau melakukan
sesuatu yang tidak memberi keuntungan.
2. Teknik-Teknik Spesifik
a. Desensitisasi sistematik dirancang untuk membantu klien
mengatasi anxietas dalam situasi-situasi tertentu. Klien diminta
supaya menggambarkan situasi yang menimbulkan kecemasan dan
kemudian harus membuat urutan situasi yang paling menimbulkan
kecemasan (100), sampai yang tidak menimbulkan keprihatinan
(0). Konselor mengajar klien untuk rileks secara fisik dan mental.
b. Pelatihan asertivitas klien belajar untuk membedakan tingkah
laku agresif, pasif dan asertif. Tujuannya agar klien belajar
bertingkah laku asertif.
11
c. Time-out teknik aversif yang sangat ringan. Klien dipisahkan
dari kemungkinan mendapatkan penguat positif. Sangat efektif bila
digunakan untuk waktu ang singkat, misalnya 5 menit.
d. Implosion dan flooding Gladding (2004) menjelaskan terapi
implosif sebagai suatu teknik yang sudah lanjut (advanced) yang
mencakup mendesensitisasi klien dengan cara meminta klien
membayangkan suatu situasi penimbul anxietas yang bisa
berakibat parah. Klien tidak diajarkan untuk rileks terlebih dahulu
(seperti dalam desensitisasi sistematik). Flooding lebih ringan
sifatnya, karena situasi penimbul anxietas yang dibayangkan tidak
menimbulkan konsekuensi yang parah.
e. Pengkondisian aversi dilakukan untuk meredakan perilaku
simptomatik dengan cara menyajikan stumulus yang tidak
menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak
dikehendaki (simptomatik) tersebut terhambat kemunculannya.
Stimulus dapat berupa sengatan listrik atau ramuan-ramuan yang
membuat mual.
f. Pembentukan perilaku model perilaku model digunakan untuk :
(1) membentuk perilaku baru pada klien, dan (2) memperkuat
perilaku yang sudah terbentuk. Konselor menunjukkan kepada
klien tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio,
model fisik, model hidup, atau lainnya yang teramatu dan dipahami
jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil
dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat
berupa pujian sebagai ganjaran social.
g. Kontrak perilaku didasarkan atas pandangan bahwa mwmbantu
klien untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan
memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang
disepakati. Individu mengantisipasi perubahan perilaku mereka
atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi akan muncul.
Kontrak perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih
12
(konselor dan klien) untuk mengibah perilaku tertentu pada klien.
Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan dapat diterima
oleh kedua belah pihak. Setelah perilaku dimunculkan sesuai
dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada klien.
Ganjaran
positif
terhadap
perilaku
yang
dibentuk
lebih
dipentingkan daripada pemberian hukuman jika kontrak perilaku
tudak berhasil.
D. Prosedur dan Tahapan Konseling Behavioral
Untuk para ahli behavioris, konseling dilakukan dengan menggunakan
prosedur yang bervariasi dan sistematis yang disengaja secara khusus untuk
mengubah perilaku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersamasama konselor dan klien. Tokoh aliran psikologi behavioral John D.
Krumboltz dan Carl Thoresen (Gibson dan Mitchell, 1981) menempatkan
prosedur belajar dalam empat kategori, sebagai berikut :
1. Belajar operan (operant learning) belajar didasarkan atas
perlunya
pemberian
ganjaran
(reinforcement)
untuk
menghasilkan
perubahan perilaku yang diharapkan. Ganjaran dapat diberikan dalam
bentuk dorongan dan penerimaan sebagai persetujuan, pembenaran atau
perhatian konselor terhadap perilaku yang dilakukan klien.
2. Belajar mencontoh (imitative learning) cara dalam memberikan
respon baru melalui menunjukkan atau mengerjakan model-model perilaku
yang diinginkan sehingga dapat dilakukan oleh klien.
3. Belajar kognitif (cognitive learning) belajar memelihara respon
yang diharapkan dan boleh mengadaptasi perilaku yang lebih baik melalui
instruksi sederhana.
4. Belajar emosi (emotional learning) cara yang digunakan untuk
mengganti respon-respon emosional klien yang tidak dapat diterima menjadi
respon emosional yang dapat diterima sesuai dengan konteks classical
conditioning.
13
Teori behavioral berasumsi bahwa perilaku klien adalah hasil kondisi
konselor. Oleh karena itu, konselor dalam setiap menyelenggarakan
konseling harus beranggapan bahwa setiap reaksi klien adalah akibat dari
situasi (stumulus) yang diberikannya.
Tujuan konseling behavioral dalam pengambilan keputusan adalah
secara nyata membuat keputusan. Konselor behavioral bersama klien
bersepakat menyusun urutan prosedur pengubahan perilaku yang akan
diubah, dan selanjutnya konselor menstimulasi perilaku klien.
kONKKpembicaraan
Konselor memulai
dan merespon secara sensitif
untuk menangkap masalah utama
Klien menyatakan masalah dalam
istilah behavioral atau menyetujui
deskripsi oleh konselor
Konselor dan klien menyetujui
masalah mana yang akan diatasi
Klien menyatakan masalah lain
yang
berhubungan
dengan
masalah utama
Klien
setuju
dengan
tujuan
konseling
termasuk
memperhitungkan perubahan dan
faktor-faktor lain
Tindakan alternatif pemecahan
masalah dipertimbangkan klien
dan konselor
Konselor dan klien menyetujui sub
tujuan sebagai prasyarat mencapai
tujuan akhir
Klien menyediakan bukti bahwa
dia menyadari konsekuensi setiap
tindakan yang dipertimbangkan
Konselor dan klien menyetujui
terhadap
evaluasi
kemajuan
pencapaian tujuan
Konselor dan klien menyetujui
tindakan mana yang akan dicoba
pertama kali
Menyusun
dikembangkan
tujuan
dan
Tindakan klien yang
bersama dan disetujui
Klien dan konselor memonitor
kemajuan (perilaku klien)
baru
disetujui
baru
diseleksi
Klien dan konselor memonitor
kemajuan (perilaku klien)
Konselor dan klien menyetujui bahwa
tujuan telah tercapai
Klien dan konselor menerapkan
perubahan
dari
belajar
ke
pemeliharaan perubahan
Konselor membuktikan bahwa
perubahan perilaku telah dipelihara
tanpa konselor
14
(Sumber: Pietrofesa 1978)
Authentic Counselor. Chicago: Rand McNally College Publishing
Company, hlm. 100-101)
E. Aplikasi Konseling
Konseling behavioral ini dalam berbagai eksperimen mampu
mengatasi masalah-masalah klien yang mengalami berbagai hambatan
perilaku seperti : fobia, cemas, gangguan seksual, penggunaan zat adiktif,
obsesi, depresi, gangguan kepribadian, serta sejumlah gangguan pada anak
(Hackmann, 1993). Lebih dari itu sebagai sanggahan terhadap kritik-kritik
yang ditujukan kepada pendekatan ini, Rachman (1963) dan Wolpe (1963)
menegaskan bahwa konseling behavioral tidak hanya mengatasi simptom
yang bersifat permukaan saja, tetapi juga mengatasi masalah-masalah yang
mendalam, bahkan dapat mengubah perilaku dalam jangka panjang.
15
BAB III
PEMBAHASAN
A. Aplikasi dengan Terapi Behavioristik
Terapi behavioristik merupakan suatu usaha untuk memahami dan
menyembuhkan pola tingkah laku abnormal yang terjadi pada seseorang.
Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom-simptom maladaptif
dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks, serta membentuk
tingkah laku baru yang sesuai. Prinsip utama dari terapi ini ialah
reinforcement (penguatan) sebagai alat pengatur pembentukan tingkah
laku baru. Dalam terapi ini, konselor behavioral bersama klien bersepakat
menyusun urutan prosedur pengubahan perilaku yang akan diubah, dan
selanjutnya konselor menstimulasi perilaku klien.
Fobia adalah ketakutan yang disebabkan oleh adanya situasi atau
objek yang jelas, yang sebenarnya tidak berbahaya. Adanya situasi atau
objek yang jelas (dari luar individu itu sendiri), yang sebenarnya tidak
membahayakan.
Kondisi lain (dari diri individu itu sendiri) seperti perasaan takut
akan adanya penyakit (nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk
badan (dismorfofobia) yang tak realistik. Penanganan yang dapat
dilakukan pada individu yang mengalami fobia yaitu dengan terapi
behavioristik, dimana subjek diberi stimulus dan respon. Stimulus yang
diberikan bertahap dan caranya pun disesuaikan dengan objek atau situasi
yang ditakuti. Kemudian selain itu dapat juga diberikan terapi dengan
menggunakan beberapa teknik spesifik dalam terapi behavioristik
diantaranya yaitu:
a) Desensitisasi sistematik
Dirancang untuk membantu klien mengatasi anxietas dalam
situasi-situasi tertentu. Desensitisasi membuat klien lebih tidak sensitif
terhadap suatu hal, keadaan atau pendapat. Sistematik berarti memiliki
urutan tertentu atau secara bertahap (Wiramihardja, 2006, h. 96).
16
Desensitisasi sistematik merupakan proses penggalian individu
terhadap apa yang ditakutinya pada objek atau situasi dan proses tersebut
mengubah perilaku yang spesifik dari individu tersebut (National Institute
of Mental Health, 2006).
Joseph Wolpe menyatakan dari hasil eksperimen yang telah
dilakukan terhadap binatang membuatnya menyatakan bahwa individu
menghadapi situasi yang serentak membangkitkan sejumlah respon yang
bersaing kuat dapat mengakibatkan ketakutan ataupun kecemasan
neurotik. Bagi Wolpe, terapis dan klien harus membentuk hubungan
pribadi yang baik karena hal ini merupakan satu aspek esensial dalam
proses terapeutik.
Desensitasi sistematik diperkenalkan pertama kali oleh Joseph
Wolpe pada tahun 1958 (Rainey, 1997) dimana tahap-tahap yang
dilakukan Wolpe yaitu melatih pasien relaksasi fisik, membangun hirarki
kecemasan dari stimulus yang ada dan yang terakhir melakukan relaksasi
counter-conditioning sebagai respon atas stimulus yang muncul pada
ketakutannya pertama kali. Relaksasi counter-conditioning diharapkan
klien dapatr mengurangi intensitas kecemasan dengan melakukan proses
relaksasi pada objek yang ditakuti (Richmond, 2007). Adapun prosedurprosedur yang dapat dilakukan dalam Desensitasi sistematik yaitu:
1) Relaksasi.
Relaksasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode relaksasi
yang mampu merelaksasikan pikiran dan melawan kecemasan misalnya
dengan progressive muscle relaxation. Disini konselor dapat meminta
klien untuk rileks secara fisik dan mental.
2) Membentuk hirarki kecemasan.
Hirarki kecemasan menggambarkan situasi-situasi yang dihasilkan
dari
bermacam-macam
tingkat
kecemasan.
Disini
klien
menggambarkan aitem-aitem yang cukup detil untuk memungkinkan
klien membuat nyata pada objek yang ditakutinya. Disini terapis
diharapkan dapat membangun pengalaman atau kejadian yang
17
merupakan sumber ketakutan dari klien agar mampu berimajinasi.
Terapis membuat kartu-kartu indek dari nol (tanpa kecemasan sampai
seratus (sangat cemas) untuk mengetahui seberapa besar ketakutan yang
dimiliki klien.
3) Memasangkan relaksasi dengan situasi yang tergambar dalam hirarki
kecemasan.
Pada
tahap
terakhir
ini,
klien
harus
dapat
mengurangi
kemampuannya dalam menghadapi situasi yang membuatnya cemas
dan diharapkan dapat menyelesaikannya dengan mengkonfrontasikan
beberapa aitem pada hirarki kecemasan yang telah dibuat saat klien
berada dalam tingkat relaksasi.
Pengaruh dari desentisasi sistematik mampu memberikan kepastian
pada kien untuk membentu kekuatan yang ada dalam dirinya dalam
menghadapi ketakutan. Klien diharapkan mampu mengkonfrontasi
ketakutan dan mengurangi simptom-simptom ketakutannya sendiri.
Proses relaksasi sangat berpengaruh pada gangguan kecemasan fobia.
Relaksasi mampu memutuskan kecemasan yang terjadi pada diri klien.
Saat klien melihat objek yang ditakutinya, kecemasan dan ketegangan
yang dimiliki klien bertahap dapat mulai berkurang hingga akhirnya
bisa hilang.
b) Implosion dan flooding
Gladding (2004) menjelaskan terapi implosif sebagai suatu teknik
yang sudah lanjut (advanced) yang mencakup desensitisasi klien dengan
cara meminta klien membayangkan suatu situasi penimbul anxietas yang
bisa berakibat parah. Klien tidak diajarkan untuk rileks terlebih dahulu
(seperti dalam desensitisasi sistematik). Flooding lebih ringan sifatnya,
karena situasi penimbul anxietas yang dibayangkan tidak menimbulkan
konsekuensi yang parah.
18
c) Kontrak perilaku
Kontrak perilaku ini didasarkan atas pandangan bahwa membantu
klien untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh
ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang disepakati. Individu
mengantisipasi perubahan perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa
beberapa konsekuensi akan muncul. Kontrak perilaku adalah persetujuan
antara dua orang atau lebih (konselor dan klien) untuk mengubah perilaku
tertentu pada klien. Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan
dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setelah perilaku dimunculkan
sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada klien.
Ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih dipentingkan
daripada pemberian hukuman jika kontrak perilaku tudak berhasil.
19
20
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari
luar individu itu sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian ini tidak
membahayakan. Kondisi lain (dari diri individu itu sendiri) seperti perasaan
takut akan adanya penyakit (nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk
badan (dismorfofobia) yang tak realistik. Anxietas dibagi menjadi tiga
pembagian, diantaranya yaitu:
a. Agorafobia
b. Fobia Sosial
c. Fobia Khas
Terapi behavioristik merupakan suatu usaha untuk memahami dan
menyembuhkan pola tingkah laku abnormal yang terjadi pada seseorang.
Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom-simptom maladaptif dari
yang sederhana sampai dengan yang kompleks, serta membentuk tingkah
laku baru yang sesuai. Prinsip utama dari terapi ini ialah reinforcement
(penguatan) sebagai alat pengatur pembentukan tingkah laku baru. Dalam
terapi ini, konselor behavioral bersama klien bersepakat menyusun urutan
prosedur pengubahan perilaku yang akan diubah, dan selanjutnya konselor
menstimulasi perilaku klien. Fobia termasuk abnormal dan merupakan
gangguan kecemasan. Disebut gangguan karena mengganggu kegiatan seharihari individu.
Salah satu teknik spesifik terapi behavioristik yang diguanakan untuk
mengatasi gangguan kecemasan seperti fobia ini yaitu desensitisasi
sistematik. Desensitisasi sistematik merupakan proses penggalian individu
terhadap apa yang ditakutinya pada objek atau situasi dan proses tersebut
mengubah perilaku yang spesifik dari individu tersebut (National Institute of
21
Mental Health, 2006). Adapun prosedur-prosedur yang dapat dilakukan
dalam Desensitasi sistematik yaitu:
a. Relaksasi.
b. Membentuk hirarki kecemasan.
c. Memasangkan relaksasi dengan situasi yang tergambar dalam hirarki
kecemasan.
22
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. (2010). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
Refika Aditama.
Cottone,
R.R.
(1992). Theories
and
Paradigms
of
Counseling
and
Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Gunawinata, Vensi Anita Ria. (2011). Terapi Perlaku untuk Fobia Lift.
http://repository.ubaya.ac.id/2942/1/Terapi20Perilaku_Abstract_2011.pdf.
Diunduh pada tanggal 30 April 2013.
Hartono dan Soedarmadji, B. (2012). Psikologi Konseling. Jakarta:Kencana
Prenada Media Group.
Komalasari, G. Wahyuni, E. dan Karsih. (2011). Teori dan Teknik Konseling.
Jakarta: Indeks.
Latipun. (2011). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Lesmana, J.M. (2006). Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Tarsidi, Iding. (2002). Jawaban Ujian Tengah Semester (Aplikasi Statistik
Penelitian.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196601041993
011-IDING_TARSIDI/BEHAV_TRP.pdf.
Diunduh pada tanggal 30 April 2013.
Vitaanjarpalupi, Dinar. (2009). Pengaruh Desensitisasi Sistematik pada Zoofobia.
http://eprints.unika.ac.id/1409/1/06.92.0084_Dinar_Vita_Anjar_Palupi.pdf.
Diunduh pada tanggal 30 April 2013.
23
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Psikoterapi
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Disusun oleh:
NUR ANIS ELFA WALUYA
N1M: 15010110120055
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
1
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan
berkah dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul :
“Fenomena Fobia”
Penulis sadar bahwa tanpa bantuan dari pihak lain, rasanya sulit dapat
menyelesaikan tugas ini. Maka pada kesempatan kali ini atas bantuan dan
dorongan moril maupun materiil, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih yang mendalam kepada Ibu Farida Hidayati, S. Psi, M.Si selaku dosen
pengampu mata kuliah Pengantar Psikoterapi, terimakasih pula kepada orang tua
dan keluarga, serta rekan-rekan yang selalu memberikan semangat dan perhatian.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari masih banyak
kekurangan. Maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permasalahan remaja saat ini begitu komplek dengan jumlah
remaja yang semakin banyaknya. Jumlah remaja yang semakin banyak ini
merupakan potensi bagi pembangunan, mengingat remaja merupakan
penerus bangsa di masa depan. Namun ternyata, ada sisi lain dari
gambaran remaja Indonesia yang membuat para orang tua dan orang
disekitar merasakan ketidaknyamana dengan suatu perilaku yang
dimunculkan oleh remaja yaitu masalah fobia. Fobia merupakan rasa takut
yang berlebih-lebihan dan berkepanjangan karena rasa takut yang sangat
tidak rasional. Fobia kebanyakan dialami oleh perempuan meskipun para
laki-laki pun juga ada yang mengalami phobia. Orang yang mengalami
fobia biasanya ketika bertemu dengan benda atau hal yang ditakutinya
maka ia akan berteriak sekeras mungkin, berlari, mencari perlindungan
kepada orang lain, menangis, bahkan sampai pingsan.
B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai hal-hal sebagai
berikut.
1.
Masalah psikologis apa yang terjadi?
2.
Pendekatan apa yang paling sesuai digunakan untuk mengatasi
masalah psikologis tersebut?
3.
Bagaimana aplikasi psikoterapi untuk penderita fobia?
C. Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui hal-hal yang
terkait dengan aplikasi psikoterapi dalam kehidupan sehari-hari kita, serta
pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah psikologis
tersebut.
3
D. Manfaat
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat memberikan
berbagai macam manfaat bagi pembaca, diantaranya yaitu:
1. Memahami masalah psikologis yang terjadi di lingkungan kita, yaitu
masalah fobia dikalangan remaja.
2. Mampu memahami penjelasan mengenai fenomena fobia.
3. Mampu memahami pendekatan yang digunakan untuk mengatasi
masalah psikologis tersebut.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika makalah dibagi dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I Pendahuluan, bab ini menguraikan Latar belakang masalah,
tujuan, manfaat, dan sistematika penulisan makalah.
Bab II Isi, bab ini menguraikan teori yang hendak dipakai untuk
meninjau kasus dalam makalah ini.
Bab III Pembahasan, bab ini berisi fenomena mengenai phobia
yang terjadi dikalangan remaja, serta pendekatan yang digunakan untuk
mengatasi masalah psikologis tersebut.
Bab IV Penutup, bab ini berisi simpulan.
Bab V Daftar Pustaka, bab ini berisi referensi-referensi seperti
buku dan jurnal yang telah diperoleh.
4
BAB II
TEORI
1.
FENOMENA FOBIA
Gangguan Anxietas Fobix (Panduan Diagnostik-PPDGJ)
Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari luar
individu itu sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian ini tidak
membahayakan.
Kondisi lain (dari diri individu itu sendiri) seperti perasaan takut akan
adanya penyakit (nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk
badan (dismorfofobia) yang tak realistik dimasukkan dalam klasifikasi
F45.2 (gangguan hipokondrik).
Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi
dengan rasa terancam.
Secara subjektif, fisiologik dan tampilan perilaku, anxietas fobik tidak
berbeda dari anxietas yang lain dan dapat dalam bentuk yang ringan
sampai yang berat (serangan panik).
Anxietas fobik seringkali berbarengan (coexist) dengan depresi. Suatu
episode depresif seringkali memperburuk keadaan anxietas fobik yang
sudah ada sebelumnya. Beberapa episode depresif dapat disertai
anxietas fobik temporer, sebaliknya afek depresif seringkali menyertai
berbagai fobia, khususnya agorafobia. Pembuatan diagnosis tergantung
darimana yang jelas-jelas timbul lebih dahulu dan mana yang lebih
dominan pada saat pemeriksaan.
1) F40.0 Agorafobia
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosa
pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
5
b) Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi
dalam hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut:
banyak orang/ keramaian, tempat umum, bepergian keluar
rumah, dan bepergian sendiri; dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala
yang menonjol (penderita menjadi “house-bound”).
2) F40.1 Fobia sosial
Semua karakter dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosa
pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
b) Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial
tertentu (outside the family circle); dan
c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala
yang menonjol.
Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan
agorafobia, hendaknya diutamakan diagnosis agorafobia
(F40.0).
3) F40.2 Fobia khas (Terisolasi)
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis
pasti:
a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan
sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau
pikiran obsesif;
b) Anxietas harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik
tertentu (highly specific situasions); dan
6
c) Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya.
Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik
lain, tidak seperti halnya agorafobia dan fobia sosial.
2.
PENDEKATAN BEHAVIORISTIK
Pendekatan Behavioral
Konseling behavior tidak dapat dipisahkan dengan riset-riset perilaku
belajar pada binatang, sebagaimana yang dilakukan Ivan Pavlov (abad ke19) dengan teorinya classical conditioning. Berikutnya adalah Skinner yang
mengembangkan teori belajar operan, dan sejumlah ahli yang secara terusmenerus melakukan riset dan mengembangkan teori belajar berdasarkan
hasil eksperimennya (Hackmann, 1993).
Teori belajar itu menjadi mantap untuk diterapkan ke perilaku
manusia setelah behaviorisme yang dipelopori oleh psikolog Amerika, J. B.
Watson melakukan riset terhadap anak yang bernama Albert dan publikasi
artikelnya “Psychology as the behaviorist views it”. Publikasi dan penelitian
yang dilakukan oleh Watson dan lainnya secara sistematik mengembangkan
dan
menyempurnakan
prinsip-prinsip
behaviorisme.
Teori-teori
behaviorisme menjadi amat populer dan memberi inspirasi bagi upayaupaya pengubahan perilaku, termasuk di dalamnya melalui proses
konseling.
Sejalan dengan pendekatan yang digunakan dalam teori behavioral,
konseling behavioral menaruh perhatian pada upaya perubahan perilaku.
Sebagai sebuah pendekatan yang relatif baru, perkembangannya sejak 1960an, konseling behavioral telah memberi implikasi yang amat besar dan
spesifik pada teknik dan strategi konseling dan dapat diintegrasikan ke
dalam pendekatan lain.
Konseling behavioral ini dikembangkan atas reaksi terhadap
pendekatan psikoanalisis dan aliran-aliran Freudian (Rachman, 1963).
Ranchman
mengemukakan
bahwa
7
teknik
asosiasi
bebas,
analisis
transferensi dan teknik-teknik analisis sebagaimana yang diterapkan
psikoanalisis tidak banyak membantu mengatasi masalah perilaku klien.
Saat ini konseling/terapi behavioral berkembang pesat dengan
ditemukannya sejumlah teknik-teknik pengubahan perilaku, baik yang
menekankan pada aspek fisiologis, perilaku, maupun kognitif (Hackmann,
1993). Rachman (1963) dan Wolpe (1963) mengemukakan bahwa terapi
behavioral dapat menangani masalah perilaku mulai kegagalan individu
untuk belajar merespon secara adaptif hingga mengatasi gejala neurotik.
Konselor yang mengambil pendekatan behavioral membantu klien
untuk belajar cara bertindak yang baru dan pantas, atau membantu mereka
untuk memodifikasi atau mengeliminasi tingkah laku yang berlebih. Dengan
perkataan lain, membantu klien agar tingkah lakunya menjadi lebih adaptif
dan menghilangkan yang maladaptif (Gladding, 2004).
Pendekatan behavioral merupakan pilihan untuk membantu klien yang
mempunyai masalah spesifik seperti gangguan makan, penyalahgunaan zat,
dan disfungsi psikoseksual. Juga bermanfaat untuk membantu gangguan
yang diasosiasikan dengan anxietas, stress, asertivitas, berfungsi sebagai
orang tua dan interaksi social (Gladding, 2004).
Ahli behavioral yang berjasa mengembangkan konseling di antaranya
adalah Wolpe, Lazarus, Bandura, Krumboltz, Rachman, dan Thoresen.
A. Tujuan Konseling
Corey (1997) dan George dan Cristiani (1990) mengemukakan bahwa
konseling behavioral itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Berfokus
pada perilaku yang tampak dan spesifik; 2) Memerlukan prosedur perlakuan
spesifik sesuai dengan masalah klien; dan 3) penaksiran objektif atas tujuan
terapeutik.
Berdasarkan karakteristik ini sangat jelas bahwa konseling behavioral
secara konsisten menaruh perhatian pada perilaku yang tampak. Perilaku
yang tidak tampak dan bersifat umum harus dirumuskan menjadi lebih
spesifik. Tujuan konseling harus cermat, jelas dan dapat dicapai dengan
8
prosedur tertentu. Kecermatan penentuan tujuan sangat membantu konselor
dan klien dalam memilih prosedur perlakuan yang tepat, dan sekaligus
mempermudah mengevaluasi keberhasilan konseling. Perumusan tujuan
secara spesifik dianggap lebih penting dibandingkan dengan proses
hubungan konseling.
Secara singkat dapat dipahami bahwa tujuan konseling behavior
adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami perilaku simtomatik, yaitu
kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan perilaku, yang dapat
membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang dan/atau mengalami konflik
dengan kehidupan sosial.
Secara khusus, tujuan konseling behavioral mengubah perilaku salah
dalam penyesuaian dengan cara-cara memperkuat perilaku yang diharapkan,
dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta membantu
menemukan cara-cara berperilaku yang tepat.
Pada dasarnya tujuan konseling, rumusan tentang perilaku yang
hendak dicapai dirumuskan secara spesifik, dibuat secara berbeda pada
setiap klien sesuai dengan masalahnya. Kalangan penganut konseling
behavioral menegaskan bahwa tujuan konseling harus dirumuskan secara
spesifik, dapat diobservasi, dan terukur. Spesifik artinya rumusan
perilakunya khusus dan bukan yang bersifat umum, dapat diobservasi
(observable) artimya perilaku yang hendak diubah dan arah perubahannya
dapat dilihat atau diobservasi, sedangkan terukur (measurable) artinya
intensitas perilaku itu dapat diukur intensitasnya, kekuatannya atau
frekuensinya. Tujuan yang bersifat umum tidak akan dapat dicapai dalam
jangka yang singkat. Rumusan menjadi spesifik merupakan strategi untuk
mencapai tujuan-tujuan yang lebih umum.
Penganut behavioral juga berkeyakinan bahwa tujuan konseling dalam
batas-batas perilaku yang tampak adalah sangat berguna dibandingkan
tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam makna yang sangat luas, seperti
pemahaman diri atau penerimaan diri. Artinya, bahwa konseling diharapkan
9
dapat menghasilkan perubahan-perubahan perilaku yang jelas. Krumboltz
(Pietrofesa dkk., 1978) menegaskan tiga kriteria tujuan konseling, yaitu :
1. Tujuan konseling harus dibuat secara berbeda untuk setiap klien.
2. Tujuan konseling untuk setiap klien akan dapat dipadukan dengan nilainilai konselor, meskipun tidak perlu identik.
3. Tujuan konseling disusun secara bertingkat, yang dirumuskan dengan
perilaku yang dapat diamati dan dicapai klien.
Selanjutnya Krumboltz mengemukakan bahwa dengan dirumuskannya
perubahan perilaku dalam bentuk operasional sebagai tujuan konseling,
maka akan menimbulkan konsekuensi sebagai berikut :
1. Konselor dan klien akan lebih jelas mengantisipasi apa yang akan
diproses dalam konseling, yang telah dan yang tidak akan diselesaikan.
2. Psikologi konseling menjadi lebih terintegrasi dengan teori-teori
psikologi beserta hasil penelitiannya.
3. Perbedaan kriteria harus diaplikasikan secara berbeda dalam mengukur
keberhasilan konseling.
B. Peranan Konselor
Pada umumnya konselor yang mempunyai orientasi behavioral
bersikap aktif dalam sesi-sesi konseling. Klien belajar, menghilangkan atau
belajar kembali bertingkah laku tertentu. Dalam proses ini, konselor
berfungsi sebagai konsultan, guru, penasihat, pemberi dukungan dan
fasilitator. Ia bisa juga memberi instruksi atau mensupervisi orang-orang
pendukung yang ada di lingkungan klien yang membantu dalam proses
perubahan tersebut. Konselor behavioral yang efektif beroperasi dengan
perspektif yang luas dan terlibat dengan klien dalam setiap fase konseling
(Gladding, 2004).
Konselor behavioral memiliki peran yang sangat penting dalam
membantu klien. Wolpe mengemukakan peran yang harus dilakukan
konselor, yaitu bersikap menerima, mencoba memahami klien dan apa yang
dikemukakan tanpa menilai atau mengkritiknya.
10
Dalam hal ini menciptakan iklim yang baik adalah sangat penting
untuk mempermudah melakukan modifikasi perilaku. Konselor lebih
berperan sebagai guru yang membantu klien melakukan teknik-teknik
modifikasi perilaku yang sesuai dengan masalah, tujuan yang hendak
dicapai.
C. Teknik-Teknik Konseling
1. Teknik-Teknik Tingkah Laku Umum
a. Skedul penguatan bila suatu tingkah laku baru saja dipelajari,
maka tingkah laku itu harus diperkuat setiap kali muncul – dengan
perkataan lain penguatan yang berlangsung terus. Setelah
terbentuk, frekuensi penguat dapat dikurangi – dengan perkataan
lain memakai penguat intermiten, supaya tingkah laku tetap
bertahan.
b. Shaping tingkah laku yang dipelajari secara bertahap dengan
pendekatan suksesif, disebut sebagai shaping. Untuk mempelajari
keterampilan baru, konselor dapat memecah-mecah tingkah laku ke
dalam unit-unit, dan mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
c. Ekstingsi eliminasi dari tingkah laku karena penguat tidak
diberikan lagi. Hanya sedikit individu yang mau melakukan
sesuatu yang tidak memberi keuntungan.
2. Teknik-Teknik Spesifik
a. Desensitisasi sistematik dirancang untuk membantu klien
mengatasi anxietas dalam situasi-situasi tertentu. Klien diminta
supaya menggambarkan situasi yang menimbulkan kecemasan dan
kemudian harus membuat urutan situasi yang paling menimbulkan
kecemasan (100), sampai yang tidak menimbulkan keprihatinan
(0). Konselor mengajar klien untuk rileks secara fisik dan mental.
b. Pelatihan asertivitas klien belajar untuk membedakan tingkah
laku agresif, pasif dan asertif. Tujuannya agar klien belajar
bertingkah laku asertif.
11
c. Time-out teknik aversif yang sangat ringan. Klien dipisahkan
dari kemungkinan mendapatkan penguat positif. Sangat efektif bila
digunakan untuk waktu ang singkat, misalnya 5 menit.
d. Implosion dan flooding Gladding (2004) menjelaskan terapi
implosif sebagai suatu teknik yang sudah lanjut (advanced) yang
mencakup mendesensitisasi klien dengan cara meminta klien
membayangkan suatu situasi penimbul anxietas yang bisa
berakibat parah. Klien tidak diajarkan untuk rileks terlebih dahulu
(seperti dalam desensitisasi sistematik). Flooding lebih ringan
sifatnya, karena situasi penimbul anxietas yang dibayangkan tidak
menimbulkan konsekuensi yang parah.
e. Pengkondisian aversi dilakukan untuk meredakan perilaku
simptomatik dengan cara menyajikan stumulus yang tidak
menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak
dikehendaki (simptomatik) tersebut terhambat kemunculannya.
Stimulus dapat berupa sengatan listrik atau ramuan-ramuan yang
membuat mual.
f. Pembentukan perilaku model perilaku model digunakan untuk :
(1) membentuk perilaku baru pada klien, dan (2) memperkuat
perilaku yang sudah terbentuk. Konselor menunjukkan kepada
klien tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio,
model fisik, model hidup, atau lainnya yang teramatu dan dipahami
jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil
dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat
berupa pujian sebagai ganjaran social.
g. Kontrak perilaku didasarkan atas pandangan bahwa mwmbantu
klien untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan
memperoleh ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang
disepakati. Individu mengantisipasi perubahan perilaku mereka
atas dasar persetujuan bahwa beberapa konsekuensi akan muncul.
Kontrak perilaku adalah persetujuan antara dua orang atau lebih
12
(konselor dan klien) untuk mengibah perilaku tertentu pada klien.
Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan dapat diterima
oleh kedua belah pihak. Setelah perilaku dimunculkan sesuai
dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada klien.
Ganjaran
positif
terhadap
perilaku
yang
dibentuk
lebih
dipentingkan daripada pemberian hukuman jika kontrak perilaku
tudak berhasil.
D. Prosedur dan Tahapan Konseling Behavioral
Untuk para ahli behavioris, konseling dilakukan dengan menggunakan
prosedur yang bervariasi dan sistematis yang disengaja secara khusus untuk
mengubah perilaku dalam batas-batas tujuan yang disusun secara bersamasama konselor dan klien. Tokoh aliran psikologi behavioral John D.
Krumboltz dan Carl Thoresen (Gibson dan Mitchell, 1981) menempatkan
prosedur belajar dalam empat kategori, sebagai berikut :
1. Belajar operan (operant learning) belajar didasarkan atas
perlunya
pemberian
ganjaran
(reinforcement)
untuk
menghasilkan
perubahan perilaku yang diharapkan. Ganjaran dapat diberikan dalam
bentuk dorongan dan penerimaan sebagai persetujuan, pembenaran atau
perhatian konselor terhadap perilaku yang dilakukan klien.
2. Belajar mencontoh (imitative learning) cara dalam memberikan
respon baru melalui menunjukkan atau mengerjakan model-model perilaku
yang diinginkan sehingga dapat dilakukan oleh klien.
3. Belajar kognitif (cognitive learning) belajar memelihara respon
yang diharapkan dan boleh mengadaptasi perilaku yang lebih baik melalui
instruksi sederhana.
4. Belajar emosi (emotional learning) cara yang digunakan untuk
mengganti respon-respon emosional klien yang tidak dapat diterima menjadi
respon emosional yang dapat diterima sesuai dengan konteks classical
conditioning.
13
Teori behavioral berasumsi bahwa perilaku klien adalah hasil kondisi
konselor. Oleh karena itu, konselor dalam setiap menyelenggarakan
konseling harus beranggapan bahwa setiap reaksi klien adalah akibat dari
situasi (stumulus) yang diberikannya.
Tujuan konseling behavioral dalam pengambilan keputusan adalah
secara nyata membuat keputusan. Konselor behavioral bersama klien
bersepakat menyusun urutan prosedur pengubahan perilaku yang akan
diubah, dan selanjutnya konselor menstimulasi perilaku klien.
kONKKpembicaraan
Konselor memulai
dan merespon secara sensitif
untuk menangkap masalah utama
Klien menyatakan masalah dalam
istilah behavioral atau menyetujui
deskripsi oleh konselor
Konselor dan klien menyetujui
masalah mana yang akan diatasi
Klien menyatakan masalah lain
yang
berhubungan
dengan
masalah utama
Klien
setuju
dengan
tujuan
konseling
termasuk
memperhitungkan perubahan dan
faktor-faktor lain
Tindakan alternatif pemecahan
masalah dipertimbangkan klien
dan konselor
Konselor dan klien menyetujui sub
tujuan sebagai prasyarat mencapai
tujuan akhir
Klien menyediakan bukti bahwa
dia menyadari konsekuensi setiap
tindakan yang dipertimbangkan
Konselor dan klien menyetujui
terhadap
evaluasi
kemajuan
pencapaian tujuan
Konselor dan klien menyetujui
tindakan mana yang akan dicoba
pertama kali
Menyusun
dikembangkan
tujuan
dan
Tindakan klien yang
bersama dan disetujui
Klien dan konselor memonitor
kemajuan (perilaku klien)
baru
disetujui
baru
diseleksi
Klien dan konselor memonitor
kemajuan (perilaku klien)
Konselor dan klien menyetujui bahwa
tujuan telah tercapai
Klien dan konselor menerapkan
perubahan
dari
belajar
ke
pemeliharaan perubahan
Konselor membuktikan bahwa
perubahan perilaku telah dipelihara
tanpa konselor
14
(Sumber: Pietrofesa 1978)
Authentic Counselor. Chicago: Rand McNally College Publishing
Company, hlm. 100-101)
E. Aplikasi Konseling
Konseling behavioral ini dalam berbagai eksperimen mampu
mengatasi masalah-masalah klien yang mengalami berbagai hambatan
perilaku seperti : fobia, cemas, gangguan seksual, penggunaan zat adiktif,
obsesi, depresi, gangguan kepribadian, serta sejumlah gangguan pada anak
(Hackmann, 1993). Lebih dari itu sebagai sanggahan terhadap kritik-kritik
yang ditujukan kepada pendekatan ini, Rachman (1963) dan Wolpe (1963)
menegaskan bahwa konseling behavioral tidak hanya mengatasi simptom
yang bersifat permukaan saja, tetapi juga mengatasi masalah-masalah yang
mendalam, bahkan dapat mengubah perilaku dalam jangka panjang.
15
BAB III
PEMBAHASAN
A. Aplikasi dengan Terapi Behavioristik
Terapi behavioristik merupakan suatu usaha untuk memahami dan
menyembuhkan pola tingkah laku abnormal yang terjadi pada seseorang.
Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom-simptom maladaptif
dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks, serta membentuk
tingkah laku baru yang sesuai. Prinsip utama dari terapi ini ialah
reinforcement (penguatan) sebagai alat pengatur pembentukan tingkah
laku baru. Dalam terapi ini, konselor behavioral bersama klien bersepakat
menyusun urutan prosedur pengubahan perilaku yang akan diubah, dan
selanjutnya konselor menstimulasi perilaku klien.
Fobia adalah ketakutan yang disebabkan oleh adanya situasi atau
objek yang jelas, yang sebenarnya tidak berbahaya. Adanya situasi atau
objek yang jelas (dari luar individu itu sendiri), yang sebenarnya tidak
membahayakan.
Kondisi lain (dari diri individu itu sendiri) seperti perasaan takut
akan adanya penyakit (nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk
badan (dismorfofobia) yang tak realistik. Penanganan yang dapat
dilakukan pada individu yang mengalami fobia yaitu dengan terapi
behavioristik, dimana subjek diberi stimulus dan respon. Stimulus yang
diberikan bertahap dan caranya pun disesuaikan dengan objek atau situasi
yang ditakuti. Kemudian selain itu dapat juga diberikan terapi dengan
menggunakan beberapa teknik spesifik dalam terapi behavioristik
diantaranya yaitu:
a) Desensitisasi sistematik
Dirancang untuk membantu klien mengatasi anxietas dalam
situasi-situasi tertentu. Desensitisasi membuat klien lebih tidak sensitif
terhadap suatu hal, keadaan atau pendapat. Sistematik berarti memiliki
urutan tertentu atau secara bertahap (Wiramihardja, 2006, h. 96).
16
Desensitisasi sistematik merupakan proses penggalian individu
terhadap apa yang ditakutinya pada objek atau situasi dan proses tersebut
mengubah perilaku yang spesifik dari individu tersebut (National Institute
of Mental Health, 2006).
Joseph Wolpe menyatakan dari hasil eksperimen yang telah
dilakukan terhadap binatang membuatnya menyatakan bahwa individu
menghadapi situasi yang serentak membangkitkan sejumlah respon yang
bersaing kuat dapat mengakibatkan ketakutan ataupun kecemasan
neurotik. Bagi Wolpe, terapis dan klien harus membentuk hubungan
pribadi yang baik karena hal ini merupakan satu aspek esensial dalam
proses terapeutik.
Desensitasi sistematik diperkenalkan pertama kali oleh Joseph
Wolpe pada tahun 1958 (Rainey, 1997) dimana tahap-tahap yang
dilakukan Wolpe yaitu melatih pasien relaksasi fisik, membangun hirarki
kecemasan dari stimulus yang ada dan yang terakhir melakukan relaksasi
counter-conditioning sebagai respon atas stimulus yang muncul pada
ketakutannya pertama kali. Relaksasi counter-conditioning diharapkan
klien dapatr mengurangi intensitas kecemasan dengan melakukan proses
relaksasi pada objek yang ditakuti (Richmond, 2007). Adapun prosedurprosedur yang dapat dilakukan dalam Desensitasi sistematik yaitu:
1) Relaksasi.
Relaksasi dapat dilakukan dengan menggunakan metode relaksasi
yang mampu merelaksasikan pikiran dan melawan kecemasan misalnya
dengan progressive muscle relaxation. Disini konselor dapat meminta
klien untuk rileks secara fisik dan mental.
2) Membentuk hirarki kecemasan.
Hirarki kecemasan menggambarkan situasi-situasi yang dihasilkan
dari
bermacam-macam
tingkat
kecemasan.
Disini
klien
menggambarkan aitem-aitem yang cukup detil untuk memungkinkan
klien membuat nyata pada objek yang ditakutinya. Disini terapis
diharapkan dapat membangun pengalaman atau kejadian yang
17
merupakan sumber ketakutan dari klien agar mampu berimajinasi.
Terapis membuat kartu-kartu indek dari nol (tanpa kecemasan sampai
seratus (sangat cemas) untuk mengetahui seberapa besar ketakutan yang
dimiliki klien.
3) Memasangkan relaksasi dengan situasi yang tergambar dalam hirarki
kecemasan.
Pada
tahap
terakhir
ini,
klien
harus
dapat
mengurangi
kemampuannya dalam menghadapi situasi yang membuatnya cemas
dan diharapkan dapat menyelesaikannya dengan mengkonfrontasikan
beberapa aitem pada hirarki kecemasan yang telah dibuat saat klien
berada dalam tingkat relaksasi.
Pengaruh dari desentisasi sistematik mampu memberikan kepastian
pada kien untuk membentu kekuatan yang ada dalam dirinya dalam
menghadapi ketakutan. Klien diharapkan mampu mengkonfrontasi
ketakutan dan mengurangi simptom-simptom ketakutannya sendiri.
Proses relaksasi sangat berpengaruh pada gangguan kecemasan fobia.
Relaksasi mampu memutuskan kecemasan yang terjadi pada diri klien.
Saat klien melihat objek yang ditakutinya, kecemasan dan ketegangan
yang dimiliki klien bertahap dapat mulai berkurang hingga akhirnya
bisa hilang.
b) Implosion dan flooding
Gladding (2004) menjelaskan terapi implosif sebagai suatu teknik
yang sudah lanjut (advanced) yang mencakup desensitisasi klien dengan
cara meminta klien membayangkan suatu situasi penimbul anxietas yang
bisa berakibat parah. Klien tidak diajarkan untuk rileks terlebih dahulu
(seperti dalam desensitisasi sistematik). Flooding lebih ringan sifatnya,
karena situasi penimbul anxietas yang dibayangkan tidak menimbulkan
konsekuensi yang parah.
18
c) Kontrak perilaku
Kontrak perilaku ini didasarkan atas pandangan bahwa membantu
klien untuk membentuk perilaku tertentu yang diinginkan dan memperoleh
ganjaran tertentu sesuai dengan kontrak yang disepakati. Individu
mengantisipasi perubahan perilaku mereka atas dasar persetujuan bahwa
beberapa konsekuensi akan muncul. Kontrak perilaku adalah persetujuan
antara dua orang atau lebih (konselor dan klien) untuk mengubah perilaku
tertentu pada klien. Konselor dapat memilih perilaku yang realistik dan
dapat diterima oleh kedua belah pihak. Setelah perilaku dimunculkan
sesuai dengan kesepakatan, ganjaran dapat diberikan kepada klien.
Ganjaran positif terhadap perilaku yang dibentuk lebih dipentingkan
daripada pemberian hukuman jika kontrak perilaku tudak berhasil.
19
20
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari
luar individu itu sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian ini tidak
membahayakan. Kondisi lain (dari diri individu itu sendiri) seperti perasaan
takut akan adanya penyakit (nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk
badan (dismorfofobia) yang tak realistik. Anxietas dibagi menjadi tiga
pembagian, diantaranya yaitu:
a. Agorafobia
b. Fobia Sosial
c. Fobia Khas
Terapi behavioristik merupakan suatu usaha untuk memahami dan
menyembuhkan pola tingkah laku abnormal yang terjadi pada seseorang.
Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan simptom-simptom maladaptif dari
yang sederhana sampai dengan yang kompleks, serta membentuk tingkah
laku baru yang sesuai. Prinsip utama dari terapi ini ialah reinforcement
(penguatan) sebagai alat pengatur pembentukan tingkah laku baru. Dalam
terapi ini, konselor behavioral bersama klien bersepakat menyusun urutan
prosedur pengubahan perilaku yang akan diubah, dan selanjutnya konselor
menstimulasi perilaku klien. Fobia termasuk abnormal dan merupakan
gangguan kecemasan. Disebut gangguan karena mengganggu kegiatan seharihari individu.
Salah satu teknik spesifik terapi behavioristik yang diguanakan untuk
mengatasi gangguan kecemasan seperti fobia ini yaitu desensitisasi
sistematik. Desensitisasi sistematik merupakan proses penggalian individu
terhadap apa yang ditakutinya pada objek atau situasi dan proses tersebut
mengubah perilaku yang spesifik dari individu tersebut (National Institute of
21
Mental Health, 2006). Adapun prosedur-prosedur yang dapat dilakukan
dalam Desensitasi sistematik yaitu:
a. Relaksasi.
b. Membentuk hirarki kecemasan.
c. Memasangkan relaksasi dengan situasi yang tergambar dalam hirarki
kecemasan.
22
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. (2010). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung:
Refika Aditama.
Cottone,
R.R.
(1992). Theories
and
Paradigms
of
Counseling
and
Psychotherapy. Boston: Allyn and Bacon.
Gunawinata, Vensi Anita Ria. (2011). Terapi Perlaku untuk Fobia Lift.
http://repository.ubaya.ac.id/2942/1/Terapi20Perilaku_Abstract_2011.pdf.
Diunduh pada tanggal 30 April 2013.
Hartono dan Soedarmadji, B. (2012). Psikologi Konseling. Jakarta:Kencana
Prenada Media Group.
Komalasari, G. Wahyuni, E. dan Karsih. (2011). Teori dan Teknik Konseling.
Jakarta: Indeks.
Latipun. (2011). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Lesmana, J.M. (2006). Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Tarsidi, Iding. (2002). Jawaban Ujian Tengah Semester (Aplikasi Statistik
Penelitian.
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196601041993
011-IDING_TARSIDI/BEHAV_TRP.pdf.
Diunduh pada tanggal 30 April 2013.
Vitaanjarpalupi, Dinar. (2009). Pengaruh Desensitisasi Sistematik pada Zoofobia.
http://eprints.unika.ac.id/1409/1/06.92.0084_Dinar_Vita_Anjar_Palupi.pdf.
Diunduh pada tanggal 30 April 2013.
23