Analisis Faktor Faktor yang mempengaruhi

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
TIDAK DITERAPKANNYA PEMBIAYAAN AKAD BAY’ ALSALAM DI PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA
Abrista Devi, SEI
Kandidat Megister Program Studi Ekonomi Islam Universitas Ibnu Khaldun

Abstract
During the past seven years, Bay’ Al-Salam as a mode of financing has not been applied in Islamic banking.
This research analyses the above mentioned problem in Indonesian Islamic banks using Analytic Network
Process (ANP) in three steps. First, decompose the problem to formulate ANP network. Second, conduct pair
wise comparison. Third, synthesize the whole network to solve the problem.
The results show that main problem can divided into two aspects, namely internal and external. Internal
aspect includes internal banking, human resources, and technical salam contract. External aspect includes
customer (farmer), authority, and alternatif financing. The results indicate that internal and external aspect
almost have similar priorities, internal (0,51) and external (0,49). The main internal problem is internal
banking (business oriented), while the main external problem is authority (lack of supporting policy). The
strategies that should be prioritized include, first, socialization, education, and communication program,
second, founding agricultural bank.
Keyword: ANP, Islamic Banking, Bay’ Al-Salam Financing

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Keberadaan perbankan syariah merupakan sebuah alternatif bagi praktik
perbankan konvensional. Pesatnya pertumbuhan perbankan syariah sudah
seharusnya diiringi dengan perkembangan jenis produk dan variasi akad yang
sesuai dengan prinsip syariah. Perkembangan produk ini diharapkan mampu
memenuhi kebutuhan transaksi nasabah. Salah satu masalah penting yang
dihadapi perbankan syariah adalah masalah variasi produk pembiayaan yang
masih didominasi oleh murabahah, musyarakah, dan mudharabah. Padahal masih
ada beragam akad lainnya yang bisa diimplementasikan.
Seiring dengan berjalannya waktu, perbankan syariah pun semakin
berkembang. Bank syariah semakin mendapat dukungan sejak disahkannya
undang-undang perbankan syariah No.21 tahun 2008 tentang perbankan syariah
pada 17 Juni 2008 lalu. Data awal tahun 2009 menunjukkan bahwa bank syariah
telah memiliki lima BUS (Bank Umum Syariah), yaitu BMI, BSM, BSMI, BRI
Syariah (sejak November 2008 BRI Syariah di spin-off menjadi BUS), dan Bank
Bukopin Syariah, serta 24 UUS dan 134 BPRS. Terlihat pula dalam data statistik
perbankan syariah pada bulan Februari tahun 2009 tercatat total asset bank syariah
sebesar Rp 52 triliun yang meliputi pangsa pasar bank syariah 2,10%. Dari sini
pula dapat terlihat bagaimana prospek perbankan syariah di Indonesia sangat
bagus sehingga harus diiringi pula dengan kemajuan perkembangan produk

perbankan agar mampu bersaing dengan industri perbankan konvensional serta
mampu memenuhi kebutuhan transaksi nasabah dewasa ini.
Islam sebagai agama universal dan komprehensif pun memahami betul
bagaimana kebutuhan manusia. Sejarah menceritakan banyak cara yang dilakukan
oleh nabi Muhammad SAW beserta para sahabat hingga tabi’in dalam berniaga.
Islam juga memberikan instrumen-instrumen bersifat teknis praktis berupa akad.
Diantaranya akad-akad itu adalah jual beli dalam bentuk ”salam”.

Pembiayaan dengan akad salam sebenarnya diakui eksistensinya di
perbankan syariah. Hal ini ditunjukkan dalam data statistik perbankan syariah
yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia mulai tahun 2003 hingga tahun 2011,
pembiayaan dengan akad salam selalu ditampakkan dalam setiap laporan
tahunannya. Sayangnya data menunjukkan bahwa akad salam sudah tidak lagi
diterapkan diperbankan syariah (0,00%). Tidak hanya itu, Bank Indonesia selaku
otoritas industri perbankan juga telah menetapkan standarisasi bagi akad salam
dalam PBI (Peraturan Bank Indonesia) tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah, yang tercantum dalam pasal 11 dan pasal 12. Disamping itu juga
disertai adanya aturan baku tentang penerapan akuntansi akad salam, yang
tercantum dalam PSAK No.103 tentang Akuntansi Salam.

Sebagaimana disebutkan dalam data BI dari tahun 2002 hingga akhir tahun
2009, komposisi pembiayaan perbankan syariah berdarkan akad dapat terlihat
pada gambar 1.1 berikut:
Gambar 1.1 Komposisi Pembiayaan Perbankan Syariah Berdasarkan Akad
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

Others
Istihna'
Salam
Murabahah

Mudharabah
Musyarakah

Sumber diperoleh dan diolah dari: Data Statistik Perbankan Syariah 2002-2009

Dari trend data di atas dapat dilihat bahwa pembiayaan dengan akad
salam di perbankan syariah sama sekali tak terlihat, kecuali pada bulan ke 3 tahun

2002 sebesar 0,02% (Rp 392 juta). Sementara itu BPRS juga menerapkan akad
salam dengan proporsi pembiayaan yang terus menurun. Menurut data BPRS
pada tahun 2005, pembiayaan dengan akad salam sebesar Rp 90 juta dan angka
ini menurun drastis di awal tahun 2009 yang hanya sebesar Rp 38 juta. Meskipun
demikian, hal ini haruslah diapresiasikan karena lembaga keuangan mikro ini
masih mau menyalurkan pembiayaan dengan akad salam. Padahal akad salam
yang merupakan jual beli dengan pembayaran dimuka ini cukup applicable jika
diaplikasikan sebagai salah satu produk perbankan khususnya di sektor pertanian.
Jika ditelusuri lebih lanjut, salam sudah diterapkan pada zaman Rasulullah
SAW. Salam diperbolehkan oleh Rasulullah SAW dengan beberapa syarat yang
harus dipenuhi. Ketentuan syarat yang ditetapkan dalam akad salam tersebut
bukanlah untuk mempersulit penerapannnya. Namun, lebih kepada bagian dari

transaksi jual beli untuk menjunjung tinggi nilai kepercayaan. Kuantitas dan
kualitasnya pun harus jelas tertera dalam akad. Hal ini guna menghindari bentuk
moral hazard yang rentan sekali dihadapi dalam transaksi salam.
Transaksi salam juga sangat populer pada zaman Imam Abu Hanifah (80150 H/699-767M). Abu Hanifah mengkritisi prosedur kontrak tersebut yang
cenderung mengarah kepada perselisihan antara yang memesan barang dengan
cara membayar lebih dulu, dengan orang yang membelikan barang. Abu Hanifah
mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih jauh apa yang
harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam kontrak, seperti jenis
komoditas, kualitas, kuantitas, waktu, dan tempat pengiriman. Beliau memberikan
persyaratan bahwa komoditas tersebut harus tersedia di pasar selama waktu
kontrak dan waktu pengiriman1.
Salam bermanfaat bagi penjual karena mereka menerima pembayaran di
muka. Akad salam juga bermanfaat bagi pembeli karena pada umumnya harga
dengan akad salam lebih murah daripada harga dengan akad tunai 2. Perbedaan
akad salam dan istishna’ adalah lebih memberikan kemudahan dalam bertransaksi
baik bagi penjual maupun pembeli apabila dibandingkan dengan jual beli
1

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta dan Bank
Indonesia, 2008, ”Ekonomi Islam”, PT Rajagrafindo Persada: Jakarta

2
Ascarya, 2007, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

murabahah3. Pensyariatan akad salam tidak lain untuk mencapai kemudahan
dalam

bertransaksi

dengan penangguhan

terutama

untuk barang-barang

berdasarkan pesanan. Sebab kadang seseorang memiliki modal pada suatu waktu
tetapi ia butuh barang di waktu yang akan datang. Disisi lain ada orang yang
butuh modal pada saat itu, tetapi ia hanya mampu menyerahkan barang pada masa
yang akan datang. Dari unsur perbedaan kebutuhan dan dengan adanya
kemudahan itulah yang membuat akad salam sangat prospektif jika diterapkan di
dunia perbankan syariah.

Permasalahan lainnya mengenai akad salam adalah sejauh ini akad salam
hanya dianggap cocok untuk industri pertanian. Namun besarnya risiko yang
terkandung dalam sektor pertanian mempengaruhi keengganan pihak perbankan
dalam penyaluran modal kerja ke sektor pertanian. Padahal, berdasarkan definisi
yang terkandung dari bay’ al salam itu sendiri tidaklah sesempit sebagaimana
pihak perbankan mengaplikasikan akad salam dalam penyaluran pembiayaannya.
Akad salam adalah perjanjian pembiayaan berupa transaksi jual beli
barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran
tunai terlebih dahulu secara penuh. Artinya, jenis kontrak seperti ini tidak hanya
untuk bertransaksi di sektor pertanian saja. Sektor lain pun yang merupakan
transaksi jual beli dapat menggunakan akad salam sebagai alternatif.
Misalnya, untuk industri-industri kecil atau yang lebih dikenal dengan
UMKM. Model pembiayaan salam bisa disentuh oleh perbankan dengan cara
memberikan modal kepada UMKM, sehingga industri kecil ini mampu melakukan
ekspansi usaha. Modal juga bisa diberikan oleh bank dalam bentuk alat, mesin,
dan semua kebutuhan produksi. Dalam hal ini pihak perbankan bertindak sebagai
muslim (pemesan). Cara lain, pihak bank bertindak sebagai marketing yang
memasarkan produk-produk UMKM. Jika ini bisa ditempuh dengan baik, angka
pengangguran dapat ditekan dan pengusaha-pengusaha kecil yang selama ini


3

Ali, Mahbubi, 2007 ”Optimalisasi Peran Akad Salam salam Pengembangan Produk Perbankan Syariah”, Makalah pada
tugas akhir mata kuliah Fiqh Muamalah, Bogor: Tidak diterbitkan

kerap mengalami permasalahan klasik, yaitu kekurangan modal dapat
diberdayakan4.
Jika memang akad salam dianggap tepat untuk pembiayaan di sektor
pertanian, maka hal ini seharusnya menjadi peluang dalam rangka memperluas
pangsa pasar yang harus dimanfaatkan oleh industri perbankan syariah.
Negara Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar
penduduknya bermata-pencaharian sebagai petani. Pada perkembangan sektor
pertanian di Indonesia, beberapa literatur mengungkapkan bahwa salah satu yang
menjadi penghambat perkembangan dan pertumbuhan sektor pertanian adalah
masalah permodalan. Salam pun bisa menjadi alternatif dari solusi untuk
mengatasi masalah ini.
Berdasarkan data statistik perbankan syariah dari tahun 2007 hingga bulan
Juli tahun 2009, komposisi pembiayaan untuk sektor pertanian tidak pernah lebih
dari 5% (referensi). Proporsi pembiayaan bank syariah ke sektor pertanian pun
mengalami perubahan yang tidak terlalu signifikan dari tahun ke tahun. Tercatat

pembiayaan bank syariah untuk sektor pertanian di tahun 2007 sebesar 3,49% dari
keseluruhan total pembiayaan bank syariah, lalu menurun hingga 3.04% di
pertengahan tahun 2009. Pembiayaan ke sektor pertanian pun masih belum
sebesar pembiayaan ke sektor jasa, perdagangan dan konstruksi. Pembiayaan bank
syariah yang lebih mendominasi adalah ke sektor pelayanan bisnis (business
services).

4

Ali, Mahbubi, 2007 ”Optimalisasi Peran Akad Salam salam Pengembangan Produk Perbankan Syariah”, Makalah pada
tugas akhir mata kuliah Fiqh Muamalah, Bogor: Tidak diterbitkan

Gambar 1.2 Komposisi Pembiayaan Perbankan Syariah Berdasarkan Sektor Usaha
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%

30%
20%
10%

Others
Social Serv
Bussns Serv
Trans/Comm
Trade/rest/htl
Construction
Wtr/Gas/Elctrc
Manuf
Mining
Agr/forest

0%
2007/1
2 3 4 5 6 7 8 910112008/1
12 2 3 4 5 6 910112009/1
12 7

Sumber diperoleh dan diolah dari: Data Statistik Perbankan Syariah 2007-2009

Banyak faktor yang dapat menyebabkan tidak diterapkannya akad salam
di dunia perbankan syariah, diantaranya kurangnya pemahaman para praktisi
perbankan tentang aplikasi akad salam, kurangnya pengetahuan serta pengenalan
masyarakat akan seluk beluk bank syariah, serta besarnya risiko yang terkandung
dalam akad salam itu sendiri. Manurut konsep akad salam ini sudah sangat sesuai,
namun belum banyak yang mengaplikasikannya di sektor pertanian.
Adanya ketimpangan itulah yang membuat penulis tertarik untuk menulis
paper ini guna mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi tidak diterapkannya
akad salam diperbankan syariah sehingga nantinya dapat dicari solusi dan strategi
kebijakan terbaik bagi industri perbankan syariah dalam pengembangan
produknya, terutama terhadap akad salam. Setelah faktor-faktor tersebut
diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah bagaimana mencari solusi serta strategi
untuk menjadikan akad salam sebagai salah satu produk pembiayaan yang
applicable, bankable, serta marketable untuk diterapkan di industri perbankan
syariah.

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tidak diterapkannya konsep akad
salam pada pembiayaan di bank syariah?
2. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab utama (yang paling
berpengaruh) sehingga pembiayaan dengan akad salam menjadi sulit untuk
diaplikasikan di bank syariah hingga angka komposisi pembiayaan dengan
akad salam di bank syariah mencapai 0,00%.
3. Solusi apa yang dapat diberikan guna mendongkrak penerapan akad salam
sebagai salah satu instrumen pembiayaan di perbankan syariah.
1.3 Tujuan Penelitian
Dengan memecahkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka hasil
yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi tidak diterapkannya
konsep akad salam di perbankan syariah Indonesia sehingga nantinya dapat
dijadikan sebagai landasan dalam memberikan alternatif solusi dan strategi
kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut.
b. Mengidentifikasikan faktor-faktor utama (yang paling berpengaruh) sehingga
pembiayaan dengan akad salam menjadi sulit untuk diaplikasikan di industri
perbankan syariah hingga angka komposisi pembiayaan dengan akad salam di
bank syariah mencapai 0%.
c. Merekomendasikan solusi yang tepat guna mendongkrak penerapan akad
salam sebagai salah satu instrumen pembiayaan di perbankan syariah.

1.4 Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Analytic
Network Process (ANP). Dalam rangka menyelesaikan penelitian ini, ada beberapa
langkah yang harus ditempuh, dan diantaranya adalah5:

1) Melakukan wawancara yang mendalam tentang permasalahan yang dikaji
kepada pakar dan praktisi yang memahami dan menguasai masalah secara
komprehensif;
2) Dekomposisi untuk mengidentifikasi, menganalisa, dan menstruktur
kompleksitas masalah ke dalam jaringan ANP;
3) Menyusun/membuat kuesioner perbandingan (pair-wise comparison)
berdasarkan pada jaringan ANP yang telah dibuat;
4) Melakukan wawancara kedua berupa pengisian kuesioner kepada pakar
dan praktisi; dan
5) Melakukan sintesis dan proses data (hasil survey dalam bentuk pengisian
kuesioner) dengan menggunakan software ANP yaitu superdecisions;
Menganalisa hasil dan mengajukan rekomendasi strategi.

Metode analisis ini merupakan metode analisis kuantitatif dengan
menggunakan pendekatan ANP untuk mencari faktor-faktor utama yang memiliki
pengaruh paling dominan serta menentukan urutan prioritasnya, sehingga dapat
digunakan untuk mencari prioritas alternatif solusi dan strategi kebijakan yang
tepat dan akhirnya dapat memberikan masukan rekomendasi-rekomendasi yang
tepat dan optimal. Hasil sintesa komputer ini akan diolah dan diinterpretasikan
untuk menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.

5

Ascarya, 2009, ”The Lack of Profit-and-Loss Sharing Financing in Indonesia Islamic Banks”: Revisited

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Identifikasi Masalah
Ada beberapa faktor yang menjadi alasan kenapa pembiayaan dengan akad
bay’ al salam tidak diterapkan di perbankan syariah semenjak tahun 2003 hingga
sekarang. Faktor-faktor tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi atau aspek, antara
lain:
3.1.1 Aspek Internal
a. Internal Perbankan
1.

Akad salam tidak diprioritaskan
Di perbankan syariah ada beberapa akad yang menjadi dominan dalam

penyaluran

pembiayaannya

yang

diantaranya

adalah

akad

murabahah,

musyarakah, dan mudharabah. Karena culture bisnis di Indonesia lebih
cenderung ke trading dan home industri, sehingga yang menjadi sangat populer
sekali adalah akad murabah. Dalam penyaluran pembiayaannya ke sektor
pertanian, bank dirasa tidak perlu lagi menggunakan akad salam karena sudah
dapat diakomodir melalui akad perbankan lainnya. Karena tidak perlu lagi akan
keberadaan akad salam, maka bank tidak menetapkan target pembiayaan untuk
akad salam.
Bank syariah seringkali membatasi instrumen produknya hanya pada
produk

tertentu,

sehingga

bank-bank

syariah

kesulitan

dalam

mengembangkannya, bahkan terjebak dalam siklus investasi yang sempit6.
Seharusnya peluang ini harus dimanfaatkan oleh perbankan syariah guna meraih
pangsa pasar. Perbankan syariah harus dapat memenuhi kebutuhan nasabah
dewasa ini dengan menyediakan bentuk instrumen investasi dan pembiayaan yang
beragam, sehingga tidak hanya mengandalkan pada instrumen yang tersedia saja.
6

http://www.ads.kompas.com Ditulis oleh Agif, 2009. SWOT Analysis Perbankan Syariah di Indonesia. Diakses
tanggal 11 September 2009.

Seperti misalnya murabahah, bank syariah masih banyak yang mengandalkan
sistem murabahah sebagai instrumen atau produk unggulan dalam penyaluran
pembiayaannya. Padahal, banyak sistem investasi yang lebih unggul dan aman
seperti mudharabah, musyarakah, salam, istishna’, dan sebagainya. Hal ini
disebabkan posisi perbankan syariah yang berusaha untuk bermain aman dalam
penyaluran dana nasabahnya. Karena sistem murabahah merupakan sistem yang
lebih memberikan pengembalian pasti dengan tingkat margin tertentu dan lebih
gampang dihitung. Dengan kenyataan ini terjawab jika pembiayaan dengan akad
salam tidak menjadi prioritas diperbankan syariah.
2.

Kurangnya dana jangka panjang
Masalah yang kedua adalah membiayai sektor pertanian (sektor usaha

yang cocok dalam pembiayaan dengan akad salam) membutuhkan jangka waktu
yang tidak sebentar, dalam arti berdasarkan karakteristik dari sektor pertanian,
sektor tersebut akan menghasilkan sesuatu dalam jangka waktu yang cukup
panjang (3 bulan, 6 bulan, bahkan bisa lebih dari 2 tahun).
Berdasarkan data statistik perbankan syariah di tunjukkan bahwa
komposisi dana pihak ketiga yang dimiliki oleh Bank Umum Syariah maupun
Unit Usaha Syariah yang menjadi mayoritas adalah deposito dengan akad
mudharabah. Akan tetapi komposisi terbanyak adalah deposito dengan jangka
waktu 1 bulan. Data perbankan syariah bulan Juli 2009 menunjukkan deposito 1
bulan sebesar 63,41%, selanjutnya diikuti oleh deposito dengan jangka waktu 12
bulan 15,5% dimana mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun
sebelumnya, 3 bulan 14,34%, dan deposito dengan jangka waktu 6 bulan 6,74%.
Untuk deposito dengan jangka waktu di atas 12 bulan di bulan Juli 2009 hanya
menyumbang 0,008% dari total deposito secara keseluruhan. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada gambar grafik di bawah ini:

Gambar 4.1. Komposisi DPK pada BUS dan UUS
80
70
60
1 Bulan
3 Bulan
6 Bulan
12 Bulan
> 12 Bulan

50
40
30
20
10
0
2007/12

2008/12

2009/7

Sumber diperoleh dan diolah dari: Data Statistik Perbankan Syariah 2007-2009

Gambar 4.1. di atas menunjukkan bahwa, bank tidak memiliki cukup
banyak simpanan uang untuk pembiayaan dalam jangka panjang. Fakta ini jelas
sangat memiliki risiko yang tinggi bagi pihak perbankan, mengingat bank
merupakan lembaga bisnis yang juga dituntut untuk menyerahkan return bagi
hasil secara berkala sesuai dengan jangka waktu deposito yang ada. Seperti
misalnya bank banyak memiliki deposito jenis jangka waktu 1 bulan. Sehingga
setiap bulan bank harus mengembalikan dana plus return bagi hasil kepada
nasabah. Oleh sebab itu, bank harus mampu menghasilkan dalam tempo yang
singkat, solusinya bagi pihak perbankan adalah melalui penyaluran pembiayaan
dengan akad murabahah/ bermudharabah pada sektor-sektor yang cepat sekali
menghasilkan. Inilah salah satu faktor yang mempengaruhi pihak perbankan untuk
tidak menyalurkan akad salam karena masih dianggap bank tidak memiliki cukup
dana untuk pembiayaan jangka panjang.
3.

Terbatasnya jaringan perbankan syariah.
Mayoritas sektor pertanian berada di desa, sedangkan perbankan berada di

kota. Dalam menjangkau dunia perbankan, menjadi salah satu kendala bagi petani
untuk mendapatkan modal. Susahnya akses ke kota guna menjangkau perbankan
syariah yang ada di kota juga menimbulkan cost yang harus dikeluarkan oleh
petani. Belum lagi akan ada banyak hal yang harus diurus oleh petani seperti

misalnya urusan administrasi dan sebagainya, sehingga double cost bisa saja
terjadi. Hal inilah yang menyebabkan petani lebih senang memilih alternatif
pembiayaan yang lebih mudah dan murah untuk dijangkau seperti rentenir.
Masalah ini juga diperkuat dengan adanya hasil penelitian yang pernah
dilakukan oleh Bank Indonesia untuk melihat preferensi masyarakat terhadap
bank syariah dimana hasil penelitian dan permodelan potensi serta preferensi
masyarakat terhadap bank syariah menunjukkan tingginya minat masyarakat
terhadap perbankan syariah7. Namun, sebagian besar responden mengeluhkan
kualitas pelayanan, termasuk keterjangkauan jaringan yang rendah. Kelemahan
inilah yang salah satu caranya di atasi dengan office channeling, yaitu bank
konvensional yang memiliki unit usaha syariah dapat membuka konter layanan
syariah di cabang konvensionalnya.
4.

Orientasi bisnis.
Bank merupakan lembaga keuangan yang beriorientasi pada bisnis. Dalam

berbisnis, hal yang menjadi prioritas utama adalah mencari keuntungan. Sehingga
bank sangat selektif dalam membiayai sektor usaha, dan tentunya sektor usaha
yang dibiayai adalah sektor usaha yang lebih menguntungkan serta memberikan
hasil cepat dan pasti. Dalam penyaluran pembiayaannya, pada umumnya akad
salam membiayai sektor petanian. Ketergantungan sektor pertanian pada alam
serta ketidakpastian kuantitas dan kualitas yang dihasilkan, menjadi faktor utama
alasan bank yang sangat prudent untuk membiayai sektor ini.
b. Sumber Daya Manusia
1.

Kurangnya pemahaman.
Kurangnya pemahaman, kemampuan serta keahlian para officer perbankan

tentang penyaluran pembiayaan dengan akad salam. Mereka juga dianggap belum siap
dalam melakukan pembiayaan dengan akad salam ke sektor pertanian yang sangat
berisiko tinggi. Kurangnya pengetahuan serta pemahaman officer perbankan tentang
sektor pertanian juga merupakan salah satu kendala mengapa salam tidak diterapkan,
mengingat salam identik sekali dengan sektor pertanian. Lebih khususnya, praktisi
7

idle

perbankan butuh sumber daya manusia yang paham tentang aktifitas sektor usaha yang
potential termasuk pertanian.

Disamping itu, salah satu kendala kurangnya pemahaman officer
perbankan tentang akad salam juga disebabkan karena kurangnya sumber daya
manusia lulusan syariah yang paham betul tentang ekonomi syariah termasuk
mengenai perbankan syariah dengan segala produk-produknya. Bank syariah
seolah-olah disibukkan oleh jargon “How to Islamize our Banking Sistem” dan
lupa akan wacana “How to Islamize the People Involved in the Banking Industri”.8
Banyak masalah bank syariah disebabkan pemahaman dan kesadaran para praktisi
perbankan syariah akan prinsip-prinsip ekonomi Islam (bank syariah) belum
sepenuhnya dimengerti. Bank syariah saat ini masih kekurangan sumber daya
manusia yang menguasai aspek fiqh tentang perbankan syariah dan pengetahuan
manajemen pebankan praktis, khususnya pembiayaan dengan akad salam.
2.

Menghindari risiko.
Masalah selanjutnya adalah officer perbankan bekerja untuk menciptakan

keuntungan bagi perusahaan yang menaunginya. Sehingga mereka akan bekerja
sangat hati-hati terutama dalam hal memilih sektor usaha yang akan dibiayai.
Mengingat akad salam cocok untuk membiayai sektor pertanian, serta
karakteristik sektor pertanian sangat berisiko tinggi, sehingga bank menghindari
membiayai sektor ini.
3.

Tidak mau repot.
Dengan adanya alternatif produk yang dapat disalurkan dengan lebih

mudah, cepat dan murah, maka bank menghindari penggunaan produk yang
menyulitkan. Tanggung jawab bank dalam penyaluran pembiayaan dengan akad
salam tergolong lebih tinggi dari pada penyaluran dengan akad bank syariah
lainnya. Pembayaran uang dimuka secara tunai kepada nasabah secara tidak
langsung menjadi kewajiban pihak bank untuk mengontrol kegiatan usaha
nasabah. Selain membutuhkan waktu dan tenaga, aktifitas ini juga membutuhkan
biaya tambahan, seperti untuk transport, pelatihan, dan sebagainya.

8

Agif (2009)

4.

Orientasi pada target.
Para officer perbankan bekerja lebih menekankan pada target bisnis dan

keuntungan. Sehingga officer perbankan syariah akan melakukan apa saja untuk
mencapai target yang telah ditetapkan, baik target dari kantor pusat maupun dari
direksi kantor cabang. Dalam arti mereka lebih prefer untuk membiayai sektor
usaha yang lebih menguntungkan dan menghasilkan cepat.
c. Teknis Pembiayaan Bay’ Al-Salam
1.

Rumit diaplikasikan.
Menurut beberapa praktisi perbankan syariah, salah satu kendala tidak

diterapkannya akad salam diperbankan syariah adalah karena akad salam
termasuk rumit diaplikasikan. Rumit disini bagi pihak bank khususnya, bank
harus menyerahkan dana diawal ke nasabah, artinya bank menanggung risiko
sepenuhnya apabila dana tersebut tidak kembali. Guna meminimalisir risiko
tersebut bank harus melakukan pemantauan secara berkala ke petani, pemantauan
disini baik dari aspek keuangan maupun produktifitas serta kinerja petani. Karena
jika tidak demikian, akan sangat beresiko terjadi moral hazard maupun side
streaming dari dana yang telah disalurkan ataupun jenis penyimpanganpenyimpangan lainnya. Disamping itu, dalam menentukan hasil panen, kualitas
yang tidak sesuai dengan standar juga menjadi masalah dalam aplikasi akad
salam. Sehingga produk yang dibiayai haruslah sudah terstandarisasi dengan jelas
agar dapat diukur.
2.

Biaya yang tinggi.
Dalam aplikasinya, pembiayaan dengan akad salam juga membutuhkan

biaya operasional yang tinggi, seperti biaya survey diawal sebelum melakukan
akad, biaya pengontrolan dan pengawasan pada saat proses, biaya premi untuk
menanggung jika usaha tani gagal panen, biaya transportasi dan sebagainya.
3.

Risiko yang tinggi.
Lamanya waktu menghasilkan, kualitas dan kuantitas yang dihasilkan dari

sektor pertanian sangat tergantung pada musim dan cuaca, serta harga komoditas
pertanian yang fluktuatif dianggap sektor ini penuh risiko bagi pihak perbankan.

Risiko yang tinggi itulah yang menjadi alasan keengganan pihak perbankan dalam
penyaluran pembiayaan ke sektor pertanian dengan akad salam.
4.

Kurangnya teknologi/fasilitas pendukung.
Masalah teknis lainnya yang menjadi hambatan akad salam secara khusus

belum terkomputerisasinya sebagian besar bisnis pertanian di Indonesia. Padahal,
Perubahan teknologi adalah sumber pertumbuhan produktivitas utama. Apapun
yang kita kembangkan tidak lepas dari pertumbuhan teknologi. Sehingga
pentingnya dukungan pada aspek teknologi dalam dunia perbankan seperti
komputerisasi dan IT untuk mendukung penerapan teknis akad salam.
3.1.2 Aspek Eksternal
a. Nasabah (petani)
1.

Kurangnya informasi.
Mayoritas petani yang ada di pedesaan beserta usaha mikro yang tidak

terjamah oleh bank syariah dikarenakan mereka belum tahu tentang bank syariah
khususnya produk-produk bank syariah, terutama akad salam. Hal ini karena
kurangnya informasi yang didapat oleh petani, kurangnya sosialisasi perbankan ke
petani-petani juga menjadi salah satu faktor petani tidak tahu tentang akad salam.
Kurangnya informasi ini juga menyebabkan tidak adanya permintaan akad salam
di perbankan syariah.
2.

Petani kecil tidak bankable.
Petani kecil dalam kaca mata bank sangat tidak bankable, hal ini

dikarenakan petani kecil tidak memiliki pengetahuan yang baik dalam hal
pembukuan serta pelaporan aktifitas pertanian. Disamping itu, aspek legal juga
menjadi alasan bahwa petani kecil tidak bankable yang meliputi ketidakmampuan
petani dalam menunjukkan izin usaha serta memberikan agunan tambahan.
Agunan tambahan ini ada untuk menutupi risiko pembiayaan. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar bank pemberi pembiayaan belum
mendasarkan pada analisis kelayakan usaha. Selain penuh risiko, mereka juga
menganggap sektor pertanian tidak efisien, dimana output yang dihasilkan tidak
memberikan pengembalian/keuntungan yang layak bagi bank.

b. Otoritas
1.

Kurangnya kebijakan pendukung.
Regulasi maupun kebijakan pemerintah mempunyai kontribusi paling

besar dalam perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Demikian halnya
dalam operasional penyaluran pembiayaan salam perlu kebijakan khusus guna
mendukung penerapan akad salam. Seperti misalnya melalui kebijakan tersebut
bank harus menyalurkan pembiayaan minimal 10% ke sektor pertanian dengan
akad salam dari total pembiayaan keseluruhan.
2.

Kurangnya keberpihakan pemerintah.
Kebijakan-kebijakan regulasi di atas perlu dituntun ke arah yang sinergis

sehingga menimbulkan pemahaman yang syumuliyah dan berkelanjutan dalam
menciptakan pembiayaan dengan akad salam agar dapat kompetitif dengan
produk perbankan syariah lainnya. Bank merupakan intensitas bisnis yang profit
oriented tentunya lebih bersikap prudent dalam penyaluran pembiayaan ke sektor
usaha. Demikian halnya ketika bank menyalurkan pembiayaannya ke sektor
pertanian, bank harus selektif mengingat sektor pertanian penuh dengan risiko.
Artinya, bisa saja bank sengaja menghindari sektor-sektor usaha yang penuh
risiko termasuk pertanian. Oleh sebab itu perlu adanya keberpihakan pemerintah
dalam mengatasi hal ini melalui kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya.
misalnya melalui pemberian subsidi untuk sektor pertanian, atau pembenahan
fasilitas dan infrastruktur dan sebagainya.
Konsep trias politika yang berdasarkan nilai ta’awun, dapat diterapkan
dalam hal ini, dimana praktisi berperan sebagai eksekutifnya, lalu pemerintah
bersama MUI mempunyai peran fungsi legislatif dan akademisi bersama MUI
mempunyai fungsi yudikatif yang senantiasa menilai perkembangannya9.
3.

Pajak.
Meskipun UU Perbankan syariah telah disahkan, tetapi pengenaan pajak

berganda (double taxation) pada transaksi berbasis syariah masih menjadi
kendala. Dalam pandangan Direktorat Jenderal Pajak, akad murabahah dianggap
9

Hamzah, Maulana, 2008, ”Pengembangan Perbankan Syariah Secara Obyektif dan Rasional dengan Pendekatan
Mekanisme Pasar”. Jurnal Ekonomi Islam La Riba Vol.II

sebagai transaksi ganda10. Akad salam merupakan salah satu jenis pembiayaan
dengan sistem jual beli. Dalam jual beli tentu dikenakan pajak. Pajak dapat
menjadi biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh bank.
c. Pembiayaan alternatif
Banyak alternatif pembiayaan yang dapat dilakukan oleh petani dalam
mendapatkan modal. Seperti melalui rentenir, BRI unit (yang sudah merambah ke
desa-desa), lembaga keuangan mikro syariah seperti BPRS/BMT, serta
pembiayaan melalui program pemerintah.
3.1.3 Solusi Aspek Internal
a. Internal Perbankan
1.

Komitmen.
Salah satu hal yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional

selain instrumen yang digunakan adalah bahwa bank syariah lebih pro UMKM.
Hal ini harus dibuktikan oleh bank syariah dengan mewujudkan komitmen dalam
membiayai sektor riil, termasuk sektor pertanian. Jika sudah ada komitmen dari
para officer bank syariah, maka apapun akan dilakukan dalam rangka
mewujudkan komitmen tersebut. Termasuk diantaranya memperluas jangkauan
perbankan syariah hingga ke desa-desa, maupun membuat target untuk
pembiayaan akad salam dan sebagainya.
2.

Merubah struktur portfolio pendanaan.
Sudah seharusnya bank syariah berpihak ke sektor pertanian dengan

membiayai usaha pertanian. Karakteristik sektor pertanian yang menghasilkan
dalam jangka panjang membutuhkan modal pendanaan yang juga jangka panjang.
Dimana bank hanya akan memberikan return bagi hasil setelah sampai pada
jangka waktu yang telah ditentukan. Sehingga sudah saatnya bank merubah
struktur portofolio pendanaannya dengan lebih memberi ruang untuk deposito
dengan jangka waktu 3 hingga 12 bulan. Untuk menarik pihak investor, banyak
hal yang dapat dilakukan oleh pihak perbankan, yang salah satunya adalah dengan
menawarkan tingkat bagi hasil yang lebih kompetitif dibandingkan deposito
10

http://www.ads.kompas.com Ditulis oleh Agif, 2009. SWOT Analysis Perbankan Syariah di Indonesia. Diakses tanggal
11 September 2009

jangka waktu 1 bulan, atau dengan insentif menarik lainnya. Disamping itu, bank
juga dapat mengeluarkan produk pendanaan baru dengan jangka waktu relatif
lama yang ditujukan khusus untuk sektor pertanian disertai dengan tingkat bagi
hasil yang kompetitif, seperti misalnya sukuk salam seperti yang ada di Sudan dan
Negara timur lainnya.
3.

Membentuk unit khusus pembiayaan salam.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan oleh pihak internal perbankan

untuk mewujudkan pembiayaan dengan akad salam adalah dengan membentuk
unit khusus pembiayaan akad salam. Mengingat pembiayaan dengan akad salam
disalurkan ke sektor pertanian maka bank ditantang untuk menghadapi tingginya
risiko dalam pertanian. Oleh sebab itulah, sumber daya manusia yang
berkecimpung dalam unit ini pun tidak hanya mereka yang paham aplikasi teknis
akad salam, akan tetapi juga memiliki kemampuan dalam analisa kelayakan
sektor usaha yang dibiayai.
4.

Membangun mitra.
Agar lebih dapat memberikan kemudahan bagi pihak perbankan untuk

menyalurkan pembiayaannya dengan akad salam, bank dapat membangun
kerjasama dengan beberapa pihak terkait. Misalnya, jika dirasa petani kecil tidak
bankable bagi bank, bank dapat menyalurkan pembiayaan akad salam kepada
kelompok tani. Pada dasarnya petani-petani kecil juga memiliki organisasi khusus
pertanian. Melalui organisasi kelompok tani inilah biasanya petani-petani
mendapatkan modal serta edukasi mengenai segala hal tentang bertani. Selain itu,
bank juga dapat bermitra dengan BPRS/BMT guna memperluas jaringan hingga
ke desa-desa. Sehingga dapat dengan mudah diakses oleh petani-petani yang
mayoritas bermukim di pedesaan. Dalam lingkup yang lebih luas lagi, bank dapat
bermitra dengan Bulog, dimana bulog dapat menjadi pihak ketiga yang akan
membeli hasil panen petani atau menjadi lembaga penjamin atas penjualan hasil
pertanian. Dan ini lebih dapat memudahkan bank dalam mencari pembeli untuk
barang salam.
Disamping membangun mitra dengan bulog departemen pertanian dapat
menyediakan modal untuk sektor pertanian jika bank merasa keberatan untuk

menyalurkan pembiayaannya ke sektor ini. Sehingga nantinya dapat dibangun
akad baru dari hubungan kemitraan antara bank dengan departemen pertanian,
misalnya dengan bermudharabah atau bermusyarakah. Untuk lebih lengkapnya,
skema pembiayaan dengan bermitra dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 4.2. Skema Kemitraan dengan Akad Salam
6
Departemen Pertanian

3
Bank Syariah

Petani

1

2
4

5

3/4

BULOG
Catatan: selain departemen pertanian berkontribusi dalam modal, deptan juga dapat menjadi penjamin atas
dana bank syariah yang disalurkan ke sektor pertanian. Hal ini sebagaimana yang telah direncanakan oleh
menteri pertanian pada tahun 2005 lalu.

Keterangan Skema:
1. Departemen pertanian melakukan kerjasama dengan bank syariah dengan
skema Mudharabah/Musyarakah. Jika dengan skema mudharabah
muqayyadah, departemen pertanian sebagai shahibul mal (pemilik dana)
dan bank syariah sebagai mudharib. Sedangkan dengan skema
musyarakah, maka departemen pertanian dan bank syariah sama-sama
berkontribusi modal untuk membiayai sektor pertanian.
2. Bank syariah membiayai sektor pertanian dengan akad salam.
3. Setelah panen, petani menyerahkan hasil sesuai dengan kualitas dan
kuantitas yang telah ditentukan kepada bank.
4. Bank yang bekerjasama dengan BULOG melalui salam pararel, lalu
menyerahkan hasil/output pertanian ke BULOG.
(untuk memberikan kemudahan bagi bank, langkah dari alur ¾ dapat
diganti dengan bank memberikan kuasa penuh kepada petani untuk
menyalurkan hasil panen ke BULOG secara langsung)

5. BULOG membayar sejumlah uang tertentu plus margin yang telah
disepakati diawal.
6. Bank syariah mengembalikan dana pokok ke departemen pertanian dengan
bagi hasil.
b. Sumber Daya Manusia
1.

Pelatihan dan workshop.
Memberikan pelatihan dan workshop kepada para officer perbankan

syariah tentang pembiayaan dengan akad salam secara teori maupun praktek
dilapangan serta memberikan pelatihan dalam melakukan analisa usaha tentang
sektor yang akan dibiayai.
2.

Penyeleksian SDM.
Perlu adanya penyeleksian kepada para officer bank syariah yang capable

untuk masuk dalam industri perbankan syariah yang tidak hanya berfikir
konvensional (keuntungan) saja, akan tetapi juga memikirkan maslahah untuk
mencapai falah (right man in the right place).
3.

Insentif.
Memberikan insentif untuk para officer perbankan yang menyalurkan

pembiayaan dengan akad salam ke sektor pertanian. Dan dengan adanya insentif
tersebut, secara tidak langsung akan berdampak pada motivasi etos kerja untuk
bekerja lebih baik.
c. Teknis Bay’ Al-Salam
1.

Simplifikasi standar dan prosedur.
Harus ada simplifikasi standar dan prosedur dalam pengaplikasian akad

salam. Seperti misalnya dengan membedah konsep teoritis ke konsep aplikatif
sehingga mudah diimplementasikan. Serta dengan merumuskan skim salam yang
aplikatif dan dengan prosedur yang sederhana.
2.

Mengembangkan teknologi pendukung.
Teknologi pendukung yang dapat dikembangkan seperti misalnya layanan

komputerisasi yang canggih, serta sistem online guna memberikan kemudahan
transaksi dan sebagainya.
3.1.4 Solusi Aspek Eksternal

a. Nasabah (petani)
1.

Sosialisasi dan komunikasi.
Harus ada sosialisasi serta dilanjutkan dengan komunikasi yang intensif

agar informasi tentang perbankan syariah dapat sampai ke petani.
2.

Pembelajaran.
Untuk meningkatkan kelayakan usaha tani perlu adanya edukasi atau

pembelajaran baik itu dari praktisi maupun akademisi atau bahkan dari
pemerintah daerah terkait. Sehingga petani yang tidak bankable dapat menjadi
bankable untuk dibiayai.
b. Otoritas
1.

Membuat kebijakan pendukung.
Seperti misalnya melalui kebijakan penyaluran pembiayaan pertanian

dengan akad salam minimal 10% dari total pembiayaan keseluruhan, dan
sebagainya.
2.

Dukungan dan komitmen.
Untuk mewujudkan pembiayaan salam perlu adanya intervensi pemerintah

yang lebih besar. Harus ada komitmen dari pemerintah untuk membiayai sektor
pertanian melalui instrumen pembiayaan yang sesuai dengan syariah, salah
satunya adalah dengan akad salam. Komitmen ini dapat berbentuk modal support,
atau subsidi untuk sektor pertanian, fasilitas dan sebagainya.
3.

Reformasi kebijakan pajak.
Reformasi kebijakan pajak untuk akad salam, agar bank lebih tertarik

untuk menyalurkan pembiayaan dengan akad salam.
c. Pembiayaan alternatif
Bank harus lebih giat bersosialisasi ke masyarakat disertai promosi produk
perbankan syariah terutama akad salam untuk sektor pertanian kepada petani di desadesa.

3.1.5 Strategi
1.

Penguatan permodalan.

Salah satu alasan perbankan syariah masih sedikit penyaluran pembiayaan
ke sektor pertanian melalui akad salam adalah karena bank syariah masih dalam
tahap pertumbuhan, sehingga kapasitas bank belum cukup untuk membiayai
sektor usaha yang berisiko tinggi. Penguatan modal ini dapat dilakukan melalui
kebijakan dividen dan rekapitalisasi dengan menambah investor baru. Hal ini
sebagaimana menjadi salah satu kebijakan Bank Indonesia untuk industri
perbankan syariah. Disamping itu, pembukaan modal asing untuk masuk dalam
industri perbankan syariah merupakan salah satu cara untuk mengatasi
permodalan syariah yang belum kuat.
2.

Pemetaan segmen pasar pertanian.
Menyusun peta usaha pertanian yang dapat dibiayai dengan skim bay’ al

salam. Pemetaan ini dapat berupa pemetaan tipe komoditas (seperti tanaman
pangan, holtikultura, peternakan dan sebagainya) wilayah potensial (seperti padi
dan palawija tumbuh baik di Jawa Barat), serta melakukan analisa volume bisnis.
Hal ini merupakan langkah dalam hal mitigasi risiko untuk akad salam.
3.

Mendirikan bank pertanian.
Peran sektor pertanian yang sangat strategis dalam perekonomian nasional

belum diimbangi dengan dukungan penyediaan modal yang memadai. Lembaga
perbankan formal yang ada saat ini cenderung bias dan lebih mengutamakan
pembiayaan non pertanian. Dengan memperhatikan fenomena tersebut, perlu
upaya pembentukan lembaga keuangan khusus bergerak dalam pembiayaan sektor
pertanian dengan skim syariah. Pembiayaan dengan skim syariah dianggap cocok
dengan karakteristik sektor pertanian, terutama akad salam. Sehingga akad salam
dapat diwujudkan/diterapkan di bank yang khusus membiayai sektor pertanian ini.
4.

Mendirikan lembaga penjamin.
Lembaga penjamin ini dapat berdiri secara independen yang khusus untuk

menjamin usaha sektor pertanian, atau melalui departemen pertanian dan
perusahaan asuransi.
5.

Pembenahan fasilitas dan infrastruktur pertanian.
Salah satu bentuk dukungan dan intervensi pemerintah ke sektor pertanian

adalah dengan melakukan pembenahan fasilitas dan infrastruktur pertanian.

Infrastruktur yang tidak mendukung usaha sektor pertanian menjadikan bank
menganggap bahwa sektor pertanian berisiko tinggi, sehingga dihindari untuk
dibiayai. Oleh sebab itu, perlu adanya bentuk dukungan pemerintah berupa
pembenahan infrastruktur seperti jalan, irigasi, dan sebagainya guna mendorong
bank merasa aman membiayai sektor pertanian.
6.

Program sosialisasi, edukasi dan komunikasi.
Program ini merupakan langkah untuk memberikan serta meningkatkan

pemahaman SDM, baik ditingkat pengusaha pertanian, pelaku perbankan syariah,
maupun policy maker terhadap prinsip pembiayaan syariah khususnya
pembiayaan akad salam.

Faktor-faktor Tidak Diterapkannya Akad Salam di Perbankan Syariah

Masalah
Masalah Internal
Internal Perbankan
Tidak menjadi prioritas
Kurangnya dana jangka panjang
Terbatasnya jaringan perbankan syariah

Masalah Eksternal
Nasabah (petani)
Kurangnya informasi
Petani kecil tidak bankable
Otoritas
Kurangnya kebijakan pendukung

Orientasi bisnis

Kurangnya keberpihakan pemerintah

Kurangnya pemahaman

Pembiayaan Alternatif

Menghindari risiko

Rentenir

Tidak mau repot

BRI unit
BMT/BPRS

rientasi pada target

Government program

Teknis pembiayaan salam
Rumit diaplikasikan
Biaya tinggi
Risiko tinggi
Kurangnya teknologi pendukung
Solusi
Solusi Internal

Solusi Eksternal
Nasabah (petani)

Internal Perbankan

Sosialisasi dan komunikasi

Komitmen

pembelajaran

Merubah struktur portofolio
pendanaan
Membentuk unit khusus pembiayaan salam

Otoritas

Membangun
mitra
Sumber Daya Manusia

Membuat kebijakan pendukung
Dukungan dan komitmen

Pelatihan dan workshop

Reformasi kebijakan pajak

Penyeleksian SDM

Pembiayaan Alternatif

Insentif

Soialisasi

Teknis Pembiayaan Salam

Promosi

Simplifikasi standard dan prosedur
Membangun teknologi pendukung

Pemetaan Segmen Pasar Pertanian
Penguatan Permodalan
Pembenahan Fasilitas dan Infrastruktur Pertanian

Mendirikan Bank Pertanian
Strategi

Mendirikan Lembaga Penjamin
Program Sosialisasi, Edukasi, dan Komunikasi

3.2 Menentukan Prioritas Masalah Utama
Mengacu pada metodologi yang digunakan yakni ANP untuk melihat
skala prioritas menurut kalangan pakar dan praktisi perbankan syariah maka hasil
dapat disimpulkan dalam tabel berikut:
Tabel 3.1 Ringkasan Hasil Analisa Faktor Menurut Pendapat Pakar
Aspect

Keterangan
1

Masalah Internal

Solusi Internal

Masalah Eksternal

Solusi Eksternal

Strategi

2

Internal Perbankan:

SDM perbankan:

Orientasi bisnis; Kurang

Menghindari risiko;

dana jangka panjang
Internal Perbankan:

Orientasi pada target
SDM perbankan:

Komitmen; Bentuk unit

Pelatihan dan workshop;

pembiayaan salam
Otoritas:

seleksi SDM
Nasabah:

Kurang kebijakan; Kurang

Petani kecil tidak bankable

keberpihakan pemerintah
Otoritas:

Nasabah:

Dukungan dan komitmen;

Sosialisasi dan komunikasi

Buat kebijakan pendukung
Mendirikan bank pertanian

Pemetaan segmen pertanian

Sedangkan ringkasan hasil menurut pendapat praktisi dapat dilihat dalam
tabel berikut:
Tabel 4.2: Ringkasan Hasil Analisa Faktor Menurut Pendapat Praktisi
Aspect

Keterangan
1

Masalah Internal

Solusi Internal

Masalah Eksternal

2

Internal Perbankan:

SDM perbankan:

Orientasi bisnis; Jaringan

Orientasi pada target;

terbatas
Internal Perbankan:

Kurangnya pemahaman
SDM perbankan:

Komitmen; Membangun

Pelatihan dan workshop;

mitra
Otoritas:

seleksi SDM
Nasabah:

Kurang kebijakan; Kurang

Kurang informasi

keberpihakan pemerintah

Solusi Eksternal

Strategi

Otoritas:

Nasabah:

Buat kebijakan pendukung;

Sosialisasi dan komunikasi

Dukungan dan komitmen
Program Sosialisasi,

Pembenahan fasilitas dan

edukasi, dan komunikasi

infrastruktur pertanian

Tabel 4.3 Ringkasan Hasil Analisa Faktor berdasarkan Pendapat Keseluruhan Responden
(gabungan)
Aspect

Keterangan
1

Masalah Internal

Solusi Internal

Masalah Eksternal

Solusi Eksternal

Strategi

Internal Perbankan:

SDM perbankan:

Orientasi bisnis; Jaringan

Orientasi pada target;

terbatas
Internal Perbankan:

Menghindari risiko
SDM perbankan:

Komitmen; Bentuk unit

Pelatihan dan workshop;

pembiayaan akad salam
Otoritas:

seleksi SDM
Nasabah:

Kurang kebijakan; Kurang

Petani kecil tidak bankable

keberpihakan pemerintah
Otoritas:

Nasabah:

Dukungan dan komitmen ;

Sosialisasi dan komunikasi

Buat kebijakan pendukung
Program sosialisasi,

Mendirikan bank pertanian

edukasi, dan komunikasi

BAB IV
PENUTUP
5.1

Kesimpulan

2

Berdasarkan pembahasan dan analisa faktor-faktor tidak diterapkannya
akad salam diperbankan syariah, berikut dapat ditarik beberapa kesimpulan
mengenai pembahasan ini, diantaranya adalah:
1. Sudah saatnya perbankan syariah mulai mengembangkan kembali produkproduk/ akad perbankan syariah guna memenuhi kebutuhan nasabah dewasa
ini.
2. Data menunjukkan pada tahun 2002 hingga tahun 2009 pembiayaan dengan
akad salam di perbankan syariah tidak terlihat sama sekali, kecuali pada bulan
3 tahun 2002 sebesar 0,02%.
3. Masalah tidak diterapkannya pembiayaan dengan Akad salam pada akhirnya
mengerucut pada dua masalah pokok yakni aspek internal dan aspek eksternal.
4. Aspek internal terbagi lagi menjadi dua masalah utama yakni internal
perbankan (orientasi bisnis; jaringan terbatas) dan SDM perbankan (orientasi
pada target; menghindari risiko). Aspek eksternal juga terbagi menjadi dua
masalah utama yaitu otoritas (kurang kebijakan pendukung; kurang
keberpihakan pemerintah), dan nasabah (petani kecil tidak bankable).
5. Sejalan dengan masalah, maka solusi yang lebih diprioritaskan berdasarkan
aspek internal meliputi, solusi internal perbankan (komitmen; bentuk unit
pembiayaan salam) dan solusi SDM perbankan (pelatihan dan workshop;
seleksi SDM). Disamping itu, solusi berkenaan dengan aspek eksternal
meliputi, solusi otoritas (dukungan dan komitmen; membuat kebijakan
pendukung) dan solusi nasabah (sosialisasi dan komunikasi).
6. Strategi yang dapat dilakukan untuk mewujudkan pembiayaan dengan akad
salam sesuai dengan urutan prioritas gabungan adalah melalui program
sosialisasi, edukasi, dan komunikasi serta mendirikan bank pertanian.
5.2 Rekomendasi
1. Masalah tidak diterapkannya pembiayaan akad salam di perbankan syariah
merupakan masalah yang multi dimensi yang mencakup berbagai pihak
terkait. Bagi para bankir perbankan syariah hendaknya memiliki komitmen
untuk mewujudkan pembiayaan dengan akad salam. Komitmen ini dapat

diwujudkan melalui pembentukan unit khusus pembiayaan salam dengan
sumber daya manusia yang paham akan akad salam dan sektor usaha yang
dibiayai. Bagi pemerintah hendaknya turut memiliki andil dan mendukung
dalam mewujudkan pembiayaan akad salam melalui kebijakan-kebijakannya.
Baik dari pemerintah, bankir, maupun akademisi hendaknya melakukan
strategi program sosialisasi, edukasi dan komunikasi ke nasabah (khususnya
nasabah yang akan dibiayai dengan akad salam). Karena program ini dapat
dilakukan oleh siapa saja, baik itu dari pihak eksternal dan internal. Sehingga,
melalui program ini, akan turut mendukung wujudnya kembali pembiayaan
dengan akad salam di perbankan syariah.
2. Perbankan syariah seyogyanya mengeksplorasi penyaluran pembiayaannya
dengan akad salam ke sektor usaha lainnya seperti sektor pertenakan,
perikanan, dan sebagainya.

REFERENSI
Antonio, Muhammad Syafi’ie, 2001, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek,
Jakarta: Gema Insani Press

Ascarya, 2007, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
______, 2005, ”Analytic Network Process (ANP): Pendekatan baru studi
kualitatif”, makalah disampaikan pada seminar intern program Magister
Akuntansi fakultas Ekonomi di Universitas Trisakti, Jakarta
______, 2009, ”The Lack of Profit-and-Loss Sharing Financing in Indonesia
Islamic Banks: Revisited
Ascarya dan Yumanita, 2006, ”The Lack of Profit and Loss Sharing Financing in
Indonesian Islamic Banks: Problems and Alternatif Solutions”, paper
presented at ”INCEIF Islamic Banking and Finance Educational
Colloquium: Creating Sustainable Development of Human Capital and
Knowledge in Islamic Finance through Education”, KLCC, Kuala
Lumpur, Malaysia
Ascarya, et al., 2004, ”Dominasi Pembiayaan Non-Bagi Hasil di Perbankan
Syariah Indonesia: Masalah dan Alternatif Solusi”, PPSK Working Paper
Series No: WP/04/02
Ashari dan Saptana, 2005, ”Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian”.
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Ali, Mahbubi, 2007 ”Optimalisasi Peran Akad Salam salam Pengembangan
Produk Perbankan Syariah”, Makalah pada tugas akhir mata kuliah Fiqh
Muamalah, Bogor: Tidak diterbitkan
Ali, Zainuddin, 2008, Hukum perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika Off-set
Bank Indonesia Bandung dan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007, Potensi
Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian Padi dan Palawija di Jawa
Barat, Jawa Barat.
Dahlan, Abdul Azis, et al., 1997, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 3, PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve, Jakarta.
Ebrahim, M. Shahid, 2001, ”Islamic Banking in Brunei Darussalam”. Jurnal
Internasional
Firdaus, Muhammad, et al., 2005, Konsep dan Implementasi Bank Syariah,
Jakarta: RENAISAN

Hamzah, Maulana, 2008, ”Pengembangan Perbankan Syariah Secara Obyektif
dan Rasional dengan Pendekatan Mekanisme Pasar”. Jurnal Ekonomi
Islam La Riba Vol.II
Haron dan Bala, 1997, Islamic Banking Sistem: Concepts and Applications,
Malaysia: Pelanduk Publications
Isriani dan Giharto, 2007, Kamus Perbankan Syariah, Jakarta: Penerbit M

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22