ARSITEK INTELEKTUAL ULAMA BUGIS ABAD 20 (1)

ARSITEK INTELEKTUAL ULAMA BUGIS ABAD 20:
(Dari Haramain ke Kota Sengkang)1
Oleh:
Muhammad Irfan Hasanuddin, M.A.

A. PENDAHULUAN
Meskipun

geneologi

dunia

kiai-pesantren

di

Sulawesi

Selatan

mempunyai mata rantai keilmuan sampai ke walisongo, 2 namun studi

tentang kiai dan pesantren di Sulawesi Selatan tampaknya tidak seintensif
dengan kiai-pesantren di Jawa-Madura. Sampai pada akhir abad ke 20,
daya tarik kajian kiai-pesantren di Sulawesi Selatan belum banyak menarik
sarjana asing maupun sarjana lokal, kecuali segelintir nama seperti
Wahyuddin Halim (2013), Afifuddin Harisah (2013), Azyumardi Asra
(1994),3 Martin van Bruinessen (1995),4 Andi Faisal Bakti (2005),5 Abdul

1Makalah ini dipresentasikan pada acara “AICIS Tahun 2014” yang dilaksanakan
oleh Kementerian Agama RI bekerjasama dengan STAIN Samarinda.
2Pengaruh Walisongo bukan hanya dirasakan oleh Muslim Jawa abad ke 16, akan
tetapi juga mempunyai pengaruh yang kuat pada pengembangan Islam di Sulawesi
Selatan abad kw 17. Salah satu murid Sunan Giri (wafat 1530) yakni Abdul Makmur
Khatib Tunggal yang lebih dikenal dengan nama Datuk ri Bandang merupakan salah satu
di antara tiga penyebar Islam yang berjasa di Sulawesi Selatan pada abad 17. Lihat, M.
Tolhah Hasan “Prolog: Hibrida Kultural dan Tradisi Intelektual Pesantren dari Masa-ke
Masa” dalam Mastuki H.S. dan M. Isho al-Saha, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh
dan Cakrawal Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, (Jakarta; Diva Pustaka, 2003).
3Kajian Azyumardi Azra tentang Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulaian
Nusantara Abad XVII- XIX (Jakarta: logos Wacana Ilmu, 1994). Dalam kajiannya, Azra
menyimpulkan bahwa pembaharuan pemikiran jauh dimulai sejak munculnya Syeikh

Yusuf al-Makassari, salah satu ulama Sulawesi Selatan yang menjadi icon tarekat
khalwatiah dan penyebaran Islam di daerah Banten dan Cirebon.
4Martin van Bruinessen, salah seorang pengkaji isu-isu keislaman termasuk duni
kiai dan pesantren, sempat menyebut beberapa kiai pesantren pionir seperti Gurutta H.M.
As’ad dan muridnya Gurutta H. Ambo Dalle. Lihat,
Martin van Bruinessen, Kitab
Kuning,Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1995)
5Andi Faisal Bakti menulis beberapa artikel berkenaan dengan Gurutta H.M. As’ad
dan Gurutta Ambo Dalle tentang perkembangan pesantren As’adiyah dan DDI di Sulawesi
Selatan.

1

2

Karim Hafid (1997),6 dan Abu Hamid (1983).7 Makalah ini paling tidak akan
menjelaskan salah satu figur kunci kebangkitan intelektualisme pesantren
abad ke 20 yang luput dari perhatian indonesianis, khususnya di luar pulau
Jawa-Sumatera. Lebih detail lagi paper ini akan menjelaskan akar
genealogis keilmuan Gurutta H.M. As’ad yang menghubungkan beberapa

ulama besar Nusantara seperti K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul
Ulama).
Eksistensi kiai dan komunitas pesantren di Sulawesi Selatan
menunjukkan hal yang relatif berbeda dibanding di Jawa-Madura. Paling
tidak ada tiga hal yang merupakan keunikan dunia pesantren di Sulawesi
Sealatan. Pertama, pesantren pada umumnya tidak dibangun sebagai
properti pribadi melainkan atas nama umat Muslimin. Karena itu, hampir
jarang ditemukan pesantren yang dibangun oleh keluarga tertentu atau
tidak diwariskan pada keturunan kiai pendiri pesantren. Hal inilah yang
menyebabkan kultus terhadap kiai di Sulawesi Selatan bukan hal yang
umum. Kedua,

pesantren di Sulawesi Selaatan pada umumnya tidak

terfokus pada spesifikasi keilmuan tertentu seperti di Jawa-Madura. Jarang
ditemukan pesantren dengan penamaan khusus seperti pesantren tafsirhadis, pesantren tahfiz, pesantren fiqih, atau pesantren tasawuf. Paling
tidak, kondisi ini tidak seramai seperti yang dipraktekkan di Jawa. Ketiga,
alumni pesantren di Sulawesi Selatan pada umumnya menghindari sikap
ekstrim dalam beragama dan memilih jalan tengah dalam konteks
beragama. Keadaan ini bisa dilacak pada kurangnya alumni pesantren

yang tergabung dalam gerakan radikal di Indonesia.
Menurut Hairus Salim (2001), setidaknya terdapat tiga faktor yang
berkontribusi terhadap pentingnya dunia kiai dan pesantren. Pertama,
pesantren merupakan sarana dan instrumen bagi perkembangan tradisi
Muslim. Pesantren secara tradisional telah melegitimasi masyarakat desa
dan diakui sebagai simbol budaya dan media efektif dalam mempengaruhi
perubahan sosial. Kedua, studi tentang pesantren belum banyak dilakukan
6Abdul Karim Hafid menulis Laporan Penelitian berjudul, K.H.M. As’ad dan
Peranannya terhadap Pemurnian Akidah Islam di Wajo, (Sengkang: STAI As’adiyah: 1997)
7Abu Hamid, Antropolog Universitas Hasanuddin, menulis karya tentang Sistem
Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan” dalam Taufik Abdullah (ed),
Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali dan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983)

3

khususnya oleh sarjana Barat. Dalam hal ini, Abdurrahman Wahid (Gusdur)
percaya bahwa terjadi kesalahpahaman dalam memaknai peran pesantren
karena kurangnya studi yang serius. Karena itu, penelitian ilmiah pada
satu sisi harus berusaha keras memberikan gambaran yang jelas
mengenai kekuatan dan potensi pesantren dalam menginisiasi perubahan,

dan menawarkan kritik konstruktif terhadap peran kiai dan pesantren di
sisi lain.

Ketiga, tradisi pesantren tidaklah statis melainkan dinamis

karena ia telah menjaga kontinuitas tradisi dan menerima perubahan.8
Peran kiai-pesantren dalam memberi warna identitas keislaman
menarik untuk dikaji. Kiai bukan hanya tampil sebagai sosok tafaqquh f
al-di>n

yang otoritatif menerjemahkan teks agama (al-Qur’an-Hadis),

tetapi juga sekaligus sebagai vigur elit sosial masyarakat muslim yang
melampaui

batas-batas

keagamaan.

Kiai


dalam

konteks

ini

dapat

berfungsi sebagai “cultural broker” (Clifford Geertz), “cultural maker”
(Hiroko Horikoshi), dan banyak lagi peran lainnya. Sebagai vigur elit sosial,
kiai tentu dapat memainkan peran sebagai seorang pemimpin yang
diteladani

dan

diikuti.

Dalam


spektrum

lebih

luas,

kiai-pesantren

menemukan tantangannya ketika mengahadapi isu-isu global seperti
sekularisme, pluralisme, demokrasi, dan multikulturalisme. Kelompok elit
muslim ini dipaksa untuk membaca dua teks sekaligus yakni teks agama
dan teks empirik (realitas sosial).

Menurut hemat penulis, keberadaan

Gurutta H.M. As’ad sejak tahun 1928 telah memberikan warna baru bagi
kebangkitan

intelektualisme


di

tanah

Bugis-Makassar.

Sebelum

kedatangan Gurutta pendidikan Islam diajarkan dalam bentuk tradisional
dan belum terorganisir dengan baik. Pengajian kitab kuning dilaksanakan
di rumah-rumah para guru agama. Dengan keberadaan Gurutta, pengajian
kitab kuning menjadi lebih variatif dan lebih modern dengan bentuk dan
model klasikal. Kreatifitas kiai-pesantren dalam memberikan warna
identitas keislaman yang bisa jadi moderate respectfull (mengahargaimoderat), fundamentalis dan radikal.

8Hairus Salim H.S, “pengantar editorial dalam karya Abdurrahman Wahid”,
Menggerakkan Tradisi: Esesi-esei Pesantren, (Yogyakarta: LKIS, 2001), h. ix.

4


Peran kiai dan kaum santri cukup senteral dalam kehidupan sosial
masyarakat Muslim. Otoritas kiai (ulama) sebagai figur penting dalam
Islam mempunyai landasan teologis karena telah dilegitimasi oleh hadis
Nabi. Karena itu, konsideran teologis atas posisi ulama sebagai pewaris
Nabi menempatkan kiai secara tidak langsung pada posisi elit yang
dihormati. Kiai (ulama) dalam batas tertentu menjadi cermin sekaligus
penafsir ajaran agama di tengah kaum Muslim. Dalam konteks yang lebih
luas, kiai akan memerankan fungsi agama seperti dalam nalar Emile
Durkheim sebagai; 1] membentuk solidaritas sosial, 2] sumber makna 3]
kontrol sosial, 4] agen dan inspirator perubahan sosial, 5] dukungan
psikologis. Meminjam teori fungsional Emile Durkheim, agama adalah hal
universal dalam kehidupan manusia karena agama memiliki fungsi yang
sangat penting dalam mempertahankan sistem sosial secara keseluruhan.
Lebih lanjut tentunya signifikansi klaim

Clifford Geerzt dan Hiroko

Horikoshi semakin teruji.
Secara historis, institusi pesantren dan kiai telah berfungsi sebagai
agen perubahan sosial dalam pembentukan budaya pada masyarakat. Kiai

dan

pesantren

memiliki

tanggung

jawab

berkelanjutan

dalam

mempertahankan ajaran Islam dan membentuk identitas nasional di
bawah payung tradisi Islam. Karena itu, penelitian ini berusaha melihat
bagaimana peran

Gurutta


H.M. As’ad dalam membentuk jaringan

intelektualisme pesantren di Sulawesi Selatan abad ke 20 yang pada
akhirnya turut memperkaya dan memberikan kontribusi positif bagi
terbentuknya identitas nasional.
Tipologi intelektualisme yang diemban Gurutta H.M. As’ad sejalan
dengan prinsip-prinsip Ahlu Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Meskipun beliau
adalah pengikut kental faham syafiiyah dalam bidang fiqh, namun Ia tidak
ekstrim dalam pandangan keagamaannya. Gurutta cukup arif menyikapi
tradisi lokal namun tetap tegas dalam hal menjaga akidah umat dari
perbuatan

syirik.

Beliau

sendiri

pernah

memerintahkan

untuk

“membersihkan” kuburan para raja di Sengkang-Wajo dari praktik syirik. Di
awal kedatangannya di Sengkang, Gurutta

aktif memberikan dakwah

secara langsung dan melakukan observasi keagamaan di masyarakat guna

5

menemukan dan sekaligus mengidentifikasi problem masyarkat secara ril.
Dengan menggusung prinsip moderasi dalam beragama, eksistensinya
mendapatkan tempat

di masyarakat Muslim Wajo. Bahkan, tidak lama

kemudian Gurutta mendirikan madrasah pertama di Sulawesi Selatan
yakni Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) tahun 1930.
Gurutta H.M. As’ad membangun fondasi keilmuan melalui otoritas
keilmuan para syeikh di Mekkah dan Medinah. Dengan mengkaji dan
menguasai kitab-kitab yang dipelajarinya, Ia memperoleh pengakuan dan
ijazah dari para gurunya, khususnya ketika menyelesaikan pendidikan di
Madrasah al-Falah Mekkah. Dalam konteks nasional, peran Gurutta H.M.
As’ad dalam memperkaya identitas nasional,9 sangat signifikan. Hampir
pada umumnya santri-santri Gurutta

menjadi tokoh penting dan elit

agama baik di tingkat lokal maupun nasional. 10 Oleh karena itu, makalah
ini diproyeksikan untuk mengisi kekosongan kajian akademis tentang
dunia kiyai dan pesantren di Sulawesi Selatan khususnya pada abad ke 20.

B. LATAR SOSIAL GURUTTA H.M. AS’AD
1. Kelahiran Gurutta
Terlahir dengan nama lengkap Muhammad As’ad al-Bugisi tahun
1907 dari pasangan Gurutta H.Abd Rasyid dan Hj. Sitti Saleha binti Abdul
Rahman,

seorang

ulama

Bugis

yang

bermukim

di

Mekkah. 11

Ia

9Identitas nasional adalah sesuatu yang diambil dan digali dari akar budaya,
bahasa, suku, bahasa bangsa Indonesia. Identitas nasional bangsa Indonesia mengkristal
dalam Pancasila sebagai berikut: 1] Ketuhanan Yang Maha Esa, 2] Kemanusiaan yang Adil
Beradab, 3] Persatuan Indonesia, 4] Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan 5] Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji peran kiai-pesantren di
Sulawesi Selatan dalam memberikan sumbangan positif bagi identitas keislaman
Indonesia yang moderat.
10Sebahagian besar murid-murid Gurutta H.M.As’ad adalah pendiri beberapa
pesantren terkemuka di Sulawesi Selatan yang kemudian cabang-cabangnya menyebar
ke berbagai propinsi di Seluruh Indonesia, misalnya Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan, Palangkaraya, Sumatera, Jambi, Sulawesi, Flores dan beberap wilayah di Maluku,
Papua dan Sorong.
11Ada beberapa nama yang berbeda untuk memanggil nama Gurutta H.M. As’ad.
Di antaranya adalah Anre Gurutta Puang Haji Sade, Gurutta Haji Sade, Gurutta Sade dan
Gurutta Sade al-Marhum. M. Yunus Pasanreseng, “wawancara” pada tanggal 15 Agustus
2012 di Kampus As’adiyah Pusat Sengkang.

6

menghabiskan masa kecil dan remajanya menuntut ilmu di Mekkah
sebelum hijrah ke Indonesia, Sulawesi Selatan tahun 1928. Selama
hidupnya, Gurutta H.M. As’ad. Di usianya yang masih mudah Ia pernah
dipercayakan untuk menjadi imam shalat Tarwih di Masjidil Haram. Selama
hidupnya,

Gurutta

H.M>

As’ad

pernah

menikah

tiga

kali

dengan

perempuan yang berbeda. Pertama, ketika berumur 17 tahun, Ia menikah
dengan St. Hawa Daeng Mattejo dan dikaruniai seorang anak. Kedua,
setalah tiba di Sengkang-Sulawesi Selatan Ia menikahi Syahribanong dan
dikaruniai seorang anak. Ketiga, pada perkawinan kali ini Ia dikaruniai 8
orang anak dari istrinya bernama Daeng Haya. 12 Suasana batin Gurutta
dipengaruhi oleh latar belakang sosial yang berbeda yakni kehidupan Arab
(Mekkah-Medinah) yang pada saat itu dikuasai oleh kelompok Wahabi dan
kehidupan sosial masyarakat Bugis-Makassar yang masih rentang dengan
animisme dan dinamisme dalam praktek kehidupan sosial beragama.
2. Genealogi Keilmuan
Pada mulanya, Gurutta H.M. As’ad mempelajari beberapa kitab dari
ayahnya antara lain kitab Saf>nah al-Najah, Subdah al-‘Aka>id Sala>m
al-Aka>id, al-Juru>miyah, Ilmu Sharf, dan Syarh Dahla>n. Pada pengajian
umum yang dilaksanakan ayahnya, Gurutta H.Abd. Rasyid, Ia mempelajari
Syarh al-Azhariyah, Syarh Ibn Aqil, dan al-Jala>la>yn. Pada tahun 1921,
Gurutta telah menguasai dan menghafal beberapa matan kitab seperti
Sullam al-Mantiq, Manzu>ma>t Ibn Sya>niah, dan al-Nuhbat al-Ashriyah.
Kitab-kitab ini Ia pelajari dari Gurutta Syeikh Ambo Wellang, ulama Bugis
yang bermukim di Mekkah.13
Pada tahun 1924, Gurutta H.M> As’ad dikirim ke beberapa ulama
untuk mempelajari secara khusus beberapa kitab. Dari Allamah

Syeikh

Abbas Abdul Jabbar, Ia mempelajari Tafsir Jala>layn, Syarh Ibn Akil, Syarh
al-Fawa>kih, Syarh al-Baiqu>ni, dan Mallawi. Setahun kemudian, 1925 Ia
belajar dari seorang ulama Bugis, Syeikh H. Mallawa, beberapa kitab yakni
al-Rawa>kihah, Fath al-Mui>n, Syarh al-Hika>m dan Tanwi>r al-Qulu>b.
12Muhammad Yunus Pasanreseng, Sejarah Lahir dan Perkembangan Pondok
Pesantren As’adiyah Sengkang, (Sengkang: Adil, 1992), h. 45. Dari perkawinannya
dengan Daeng Haya dikaruniai 8 orang anak yakni Abu Hamid, Abdul Rahman, Abdul
Rasyid, Ahmad Ridha, Muhammad Radhi, Syamsuduha, Umm al-Khair, dan Rasyidah.
13Ibid., 45.

7

Selain itu, Ia juga mempelajari kitab Subul al-Sala>m
Nuhbah

dan Syarh al-

dari seorang ulama besar Syeikh Umar Hamdani dan kitab al-

Mahalli dari Syeikh Ahmad Nadzirin di Mekkah. Pada periode yang hampir
bersamaan, Gurutta H.M. As’ad memperdalam kitab Mutammimah,
Mukhtasar al-Ma’a>ni dan al-Samu>ni dari Syeikh Jama>l al-Ma>kki.14
Gurutta H.M. As’ad menguasai kitab ilmu mantiq seperti Isa>guji,
Qa>la Yaqu>lu, Hida>yah al-Nahwi, Syarh Damhu>ri,

dan Jauha>r al-

Mangku>ni.15 Gurutta menyelesaikan Pendidikan Tinggi formalnya dan
memperoleh ijazah pada Madrasah al-Falah sebelum hijrah ke Indonesia,
Sulawesi Selatan pada tahun 1928. Hanya saja, Ia tidak menyebutkan
nama guru-guru yang mengajarnya ketika memperdalam ilmu agama di
Madrasah al-Falah.16 Selain itu, Gurutta juga pernah menjadi sekretaris
pribadi

seorang

pemimpin

tarekat

Sanusiyah

(Idrisiyah)

sebelum

kepulanngannya ke Indonesia. Ia memperdalam ilmu tarekat
3. Karya Akademis
Ia menulis beberapa karya akdemis berkaitan dengan bidang akidah,
fiqh, sejarah, tafsir baik dalam bahasa Bugis maupun dalam bahasa Arab.
Karya-karyanya antara lain yakni Izha>r al-Haqi>qah

berisi tentang

teologi dan akidah berbahasa Bugis (terbit di Makassar 1931), Tuhfah alFaqir ‘ala Nazm Usul al-Tafsir
Nabawiyah

(terbit di Kairo-Mesir, 1940), Sirah al-

menjelaskan sejarah hidup Nabi dalam bahasa Bugis,

al-‘Aqa>id (Bugis), al-Zakah (Bugis), al-Kaukab al-Muni>r (Arab), Irsya>d
al-Ammah (Arab), al-Ibrahi>m al-Ja>liyah (Arab), al-Ajwibah al-Mardiyah
ditulis

dalam bahasa Arab, Bugis, Indonesia (terbit di Makassar, 1940),

Tafsir Surah al-Naba’ (Bugis-Indonesia), Nibrah al-Nasi>k (Bugis), Sabi>l

14Ibid., h. 46-47.
15Ibid., h. 47. Ilmu mantiq ini masih diajarkan sampai sekarang meskipun hanya
menggunakan kitab pengantar. Kecenderungan santri pesantren As’adiyah Pusat
Sengkang sekarang tidak cukup tertarik mendalami ilmu ini.
16Gurutta H.M. As’ad memperdalam ilmu agama di Madrasah al-Falah selama 7
tahun. Madrasah al-Falah adalah lembaga pendidikan moderen yang didirikan oleh orang
India. Madrasah al-Falah tergolong madrasah moderen karena mengajarkan pengetahuan
umum seperti sains, geografi, biologi, kimia tentu saja di samping pengetahuan Islam
klasik. Lihat, Martin van Bruinessen, Pesantren dan Kitab Kuning, h. 202. Lihat pula,
Sirojuddin Abbas dalam Transformasi Otoritas Keagamaan, editor Jajat Burhanuddin dan
Ahmad Baedhowi (2003), h. 99, Lihat pula, Hatta Walinga, Kiyai Haji Muhammad As’ad:
Hidup dan Perjuangannya, (1981), h. 30.

8

al-Shawa>b (Bugis-Indonesia), al-Qaul al-Maqbu>l, Majallah al-Mauidsah
al-Hasanah. Karya al-Maba>his ‘Ilmiyah liman Radda al-Bara>hi>n alJa>liyah

(terbit 1941) adalah jawaban khusus Gurutta H.M. As’ad

terhadap diskusinya dengan Dr. Hamka, salah seorang ulama besar
Muhammadiyah dari Sumatera.17 Gurutta cukup prolific dalam menulis
karya-karyanya.
C. GURUTTA H.M. AS’AD DAN ARSITEK JARINGAN INTELEKTUAL
ABAD 20
1. Jaringan Intelektual Nusantara
Jaringan intelektual Gurutta H.M. As’ad pertama kali dibangun di
Mekkah melaui guru-guru Bugis mupun orang Arab. Beberapa guru utama
ketika Gurutta menutut ilmu di Mekkah-Medinah tidak bisa dipungkiri
merupakan sumber otoritas keilmuan yang menghubungkannya dengan
beberapa ulama Nusantara yang kemudian beberapa di antaranya
mendirikan dan terlibat aktif dalam pengembangan organisasi keislaman
di Indonesia. Otoritas keilmuan yang Gurutta

peroleh bukan hanya

meneguhkan mata rantai keilmuannya sampai ke Rasulullah tetapi juga
sekaligus memberikan “mandat” berupa pengukuhan sekaligus pengakuan
atas keilmuan yang dimilikinya. Sumber keilmuan Gurutta relatif lebih
lengkap karena Ia memperoleh dari sumber-sumber utama baik dari guru
Bugis seperti Gurutta Abdul Rasyid, H. Mallawa, H. Ambo Wellang,
maupun para allamah “grand syeikh” seperti Syeikh Abdul Jabbar, Syeikh
Muhammad Said al-Yamani, Syeikh Umar Hamdani, Syeikh Ahmad
Nadzirin, Syekh Jamal al-Makki dan Syeikh Hasan al-Yamani, Syeikh Abrar.
Syeikh Muhammad al-Yamani dan Syeikh Umar Hamdani merupakan
dua guru utama Gurutta H.M. As’ad sekaligus menjadi sumber keilmuan
beberapa ulama terkemuka di Indonesia. Beberapa ulama nusantara
pernah berguru pada dua syeikh utama tersebut antara lain Syeikh
Hasyim Asy’ari (Jombang,1871), Anwar Musaddad (Garut, 1903), Zain
Mun’im (Probolinggo, 1906), Muhammad As’ad al-Bugisi (Mekkah, 1907),

17Hatta Walinga, Kiyai Haji Muhammad As’ad: Hidup dan Perjuangannya,
(Ujungpandang-Makassar: Skripsi IAIN Alauddin, 1981.

9

Zainuddin Abdul Madjid (Sumbawa, 1908), Ali Maksum (Rembang, 1915). 18
Sanad dan mata rantai keilmuan para ulama nusantara abad 20 tersebut
meneguhkan keilmuan Islam tradisional yang mengental pada faham
akidah Asy’ari, mazhab fiqh Sya>fiiyah, dan ajaran akhlah dan tasawuf alGaza>li. Dengan ungkapan lain, para ulama tersebut pada gilirannya
merupakan penafsir otoritatif sekaligus penerus tradisi keilmuan Islam
klasik.
Beberapa

ulama

nusantara

tersebut

merupakan

agen-agen

pembaharuan Islam di Indonesia awal abad ke 20. Hampir semua dari
mereka

kemudian

mendirikan

pesantren

yang

menjadi

pionir

di

daerahnya. Silang saling keilmuan para ulama nusantara yang pernah
berguru di Mekkah merupakan satu ikatan jaringan yang dalam jangka
panjang

melampaui

bangunan

“intelektualisme”

pesantren.

Ikatan

jaringan kemudian berkembang menjadi jaringan ideologi ahlu sunnah wal
jama>ah yang salah satunya direpresentasikan oleh organisasi keislaman
Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tahun 1926. Lebih jauh dapat
disebutkan

bahwa

para

ulama

nusantara

berperan

aktif

dalam

memberikan warna dan identitas keislaman yang moderat bagi muslim
Indonesia.
Dalam konteks lahirnya Indonesia, peran jaringan ideologi dan
keilmuan ini tidak bisa dinafikan. Semangat “jihad” yang diajarkan untuk
membela kebenaran “Islam” menjadi spirit perjuangan bagi para ulama
nusantara bersama komunitas muslim lainnya. Tidak salah kalau dikatakan
bahwa “imagine community” yang pernah diperkenalkan Bennedict
Anderson menemukan signifikansinya dalam konteks ini. Betapa tidak,
dengan kekuatan jaringan ideologi dan keilmuan yang diajarkan para
ulama

membentuk

semangat

dan

pengetahuan

kolektif

untuk

memepertahankan hak dan menjadi orang merdeka di bawah penjajahan
kolonialisme. Jadi, ulama nusantara punya andil dalam membentuk
nasionalisme bangsa Indonesia.
2. Gambaran Awal Pendidikan Islam di Wajo, Sulawesi Selatan

18Muhammad Irfan Hasanuddin, Jaringan Pesantren Nusantara, (Palopo: Laporan
Penelitian P3M STAIN Palopo, 2011), h. 37.

10

Belum ditemukan institusi pendidikan di kerajaan Wajo yang
mengajarkan ilmu umum dan agama sampai akhir abad ke 19 dan
permulaan abad ke 20. Secara umum, para santri belajar secara secara
personal dari guru agama dan para ustaz cara membaca dan menulis. Di
samping kegiatan belajar tersebut, para santri juga dilatih dengan
keterampilan beladiri “pencak silat”
Tampaknya, gelombang pembaharuan Islam merupakan fenomena
global pada saat itu. Gelombang pembaharuan Islam di semenajung
Arabiah dengan naiknya dinasti Ibnu Saud yang berpaham Wahabi 19
menggantikan Syari>f Husein turut mempengaruhi dunia Islam di
Nusantara melalui organisasi Muhammadiyah 20 yang berdiri pada tahun
1912. Organisasi Muhammadiyah secara resmi eksis di Sulawesi Selatan
pada tahun 1926 dibawa oleh seorang ulama pedagang dari Surabaya,
Mansur al-Yamani. Pada perkembangan selanjutnya, K>.H> Abdullah,
ulama lokal yang lahir di Maros, memimpin organisasi Muhammadiyah. Ia
berguru selama 10 tahun di Mekkah kemudian pulang ke Makassar pada
tahun 1914.21 Di sinilah cikal bakal munculnya gerakan pembaharuan via
Muhammadiyah yang kemudian berkembang ke seluruh wilayah Sulawesi
Selatan, termasuk di Kabupaten Wajo.

19Ajaran Wahabiyah pada mulanya dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul
Wahab (1703-1787) di Semenanjung Arabiah. Doktrin utama Wahabiyah adalah
penentangan keras terhadap praktik bid’ah dan syirik. Muhammad bin Abdul Wahab
pernah berguru pada seorang ulama ahli hadis yakni Muhammad Hayyat. Muhammad
Hayyat dianggap berpengaruh pada Muhammad bin Abdul Wahab, tetapi tidak cukup
data yang menunjukkan bahwa gerakan radikal Wahabi dipengaruhi oleh Muhammad
Hayyat. Lihat, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Islam di Nusantara, (Cet. I;
Bandung: Mizan, 1999), h. 136-137. Lihat, Badri Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah
Suci, (Jakarta: Logos, 1999), h. 104-107. Lihat pula, Nurhayati Djamas, Dinamika
Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009),
h. 63.

20Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah
1330 H atau bertepatan dengan 18 Nopember 1912 oleh KH Ahmad Dahlan, atau
Muhammad Darwis.
Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta oleh K.H Amad Dahlan pada tahun 1912.
21K.H. Abdullah lahir di Labuang Maros, anak dari kepala desa Labuang, Abdul
Rahman. K.H. Abdullah pertama-tama belajar al-Qur’an, Nahwu dan Sharf dari ayahnya
sendiri. Setelah mendapat pengetahuan dasar agama dan bahasa, Ia menuntut ilmu di
Mekkah al-Mukarramah selama 10 tahun dan kembali ke Makassar pada tahun 1914.
Lihat, Mattulada, “Gerakan Pembaharuan Masyarakat Islam”, dalam Taufik Abdullah,
Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 380.

11

Perkembangan Muhammadiyah di beberapa distrik (kabupaten)
cukup pesat. Pada tanggal 15 Juli 1928 Muhammadiyah resmi didirikan di
bawah kepemimpinan H. Andi Muri (ketua) dan Andi Juranga (wakil ketua).
Tidak lama setelah berdirinya pada tahun yang sama, Muhammadiyah
membuka sekolah pertama yang mengajarkan pengetahuan umum dan
agama

dengan

sistim

klasikal

meniru

sekolah

Belanda. 22

Menurut

Azyumardi Azra, model sekolah yang dikembangkan Muhammadiyah
dapat dikategorikan sebagai “Sekolah Belanda Plus”, sekolah yang
mengintegrasikan pendidikan agama dan umum dalam kurikulum. 23
Awalnya, sekolah ini merupakan kursus tablig, salah satu divisi dibawah
bidang pendidikan dan pengajaran yang diketuai oleh Abdul Latif dan
dibantu oleh Daeng Madimeng, Andi Baso Melle, dan Daeng Mattata.24
Perkembangan pesat organisasi Muhammadiyah di Wajo dapat
dijelaskan dalam dua hal. Pertama, semangat pembaharuan Islam yang
dibawa Muhammadiyah merupakan mata rantai gerakan pembaharuan di
dunia Islam secara umum, Saudi Arabiyah, Turki dan Mesir. Tidak bisa
dipungkiri bahwa faham Wahabi sangat kental berpengaruh pada gerakan
dakwah Muhammadiyah. Hal tersebut dapat dilihat dari slogan dan icon
yang digunakan cenderung mirip, misalnya kembali ke al-Qur’an dan
Sunnah dan perang melawan bid’ah, khurafat dan syirik. Kedua, dalam
konteks nusantara, terjadi rivalitas otoritas dan pengaruh antara kelompok
pembaharu (Muhammadiyah) dan kelompok tradisional. Kedua kelompok
tersebut cenderung ingin meneguhkan pengaruh dan otoritas agama
melalui faham yang dimilikinya. Kondisi tersebut di atas merupakan latar
sosial keagamaan sebelum kedatangan Gurutta H.M. As’ad. Bisa dikatakan
bahwa Ia muncul ditengah “rivalitas” kedua kelompok tersebut.
3. As’adiyah dan Jaringan Pesantren Sulawesi Selatan Abad 20
Kontinuitas tradisi pesantren secara implisit menunjukkan bahwa
tradisi pesantren masih relevan di abad moderen. Untuk mempertahankan
22Mattulada, “Gerakan Pembaharuan Masyarakat Islam”, dalam Taufik Abdullah,
Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1983), h. 266-267.
23Azyumardi Azra, Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam,
Logos Wacana Ilmu), h. 91.

(Jakarta:

24Mattulada, ““Gerakan Pembaharuan Masyarakat Islam”, op. cit., h. 266-267.

12

eksistensinya pesantren melakukan strategi dalam bentuk akomodasi,
penyesuaian

dalam

menghadai

masyarakat.

Misalnya,

modernisasi

perubahan

yang

dan

perubahan

dalam

dialami

pesantren

pasca

kemerdekaan 1945 terus meningkat. Ekspansi sekolah umum yang
diperkenalkan Pemerintah sedikit banyaknya telah mengancam eksistensi
dunia pesantren. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali melakukan
perubahan, akomodasi, serta penyesuaian dalam sistem pendidikan
pesantren yakni membangun institusi baru dalam pesantren berupa
sekolah, madrasah dan perguruan tinggi.25
Lahirnya pesantren As’adiyah yang berpusat di Sengkang-Sulawesi
Selatan, tidak luput dari setting sosial-keagamaan pada saat itu. Pertama,
secara internal, kondisi masyarakat Muslim Bugis di Sengkang-Wajo masih
rentang dengan praktik syirik seperti suburnya praktik sesembahan, serta
ritual berkaitan dengan kematian, perkawinan, syukuran dan keselamatan.
Bisa jadi situasi politik kala itu tidak memberikan kesempatan yang luas
bagi guru-guru agama untuk menyebarkan syiar Islam. Selang rentang
1928-1942, sejak kedatangan Gurutta H.M. As’ad, wilayah nusantara
khususnya kerajaan Wajo masih dikuasai oleh Belanda. Kondisi tersebut
tidak dapat dipungkiri berpengaruh pada perkembangan dakwah Islam di
tanah Bugis-Wajo. Kedua, polarisasi praktik keagamaan masyarakat
Muslim Wajo terbelah menjadi dua kelompok besar yakni tradisional dan
moderen. Salah satu alasan kedatangan Gurutta H.M. As’ad ke SengkangWajo disebabkan panggilan para ulama tradisional yang merasa gerakan
dakwah Muhammadiyah telah menimbulkan “riak-riak” bagi kelompok
tradisional. Tradisi keislaman yang selama ini dipraktekkan, tahlilan,
pembacaan kitab al-Barzanji, tarwih 20 rakaat, pembacaan al-Qur’an
untuk orang meninggal, digugat oleh kelompok Muhammadiyah. Paling
tidak

hal

tersebut

menimbulkan

ketidaknyamanan

bagi

kelompok

tradisional. Oleh karena itu, pesan dan amanah dari beberapa ulama
tradisional melalui kelompok jamaah haji untuk meminta Gurutta H.M.
As’ad untuk pulang ke tanah leluhurnya di Sengkang.

25Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium
Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 102-108.

13

Kelahirnya Pesantren As’adiyah mirip dengan Nahdlatul Ulama (NU),
organisasi Islam terbesar di Indonesia, terutama pada latar setting sosial
keagamaan yang terjadi di Wajo sebelum kedatangan Gurutta H.M. As’ad.
Kelahiran NU merupakan reaksi terhadap dinamika internal dan eksternal
umat Islam di Indonesia dan Saudi. Meluasnya gerakan pembaharuan
pemikiran Islam di Indonesia melalui Muhammadiyah yang berdiri pada
tahun 1912 dengan ideologi yang dipengaruhi pemikiran Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha serta paham Wahabi memunculkan kehawatiran
di kalangan ulama terhadap praktik keagamaan yang dijalankan selama ini
seperti zikir, wirid, ziarah kubur, wasilah, shalat tarwih 20 rakaat. 26
Pengaruh paham dan tokoh Muhammadiyah melalui para kadernya
menimbulkan kehawatiran tersendiri bagi kelompok kiyai tradisional,
sebagaimana juga terjadi di Sengkang-Wajo tempat kelahiran pesantren
As’adiyah. Dalam konteks ini, H. Abdul Rahman (Imam Belawa) meminta
kepada Gurutta H. Abdul Rasyid yang sudah lama menetap dan bermukim
di Mekkah untuk mendidik dan mengajar di Sengkang-Wajo. Akhirnya, Ia
mengutus anaknya, Gurutta H.M. As’ad, untuk membuka pengajian dan
menyebarkan faham ahlu sunnah wal jamaah di Sengkang. Karena itu,
kedatangan Gurutta H.M. As’ad ke Sengkang merupakan salah satu respon
kelompok kiyai terhadap gerakan pembaharuan tersebut.27
Polarisasi kelompok muslim tradisional dan moderen di SengkangWajo idak luput dari situasi ini. Muncul dan berkembangnya paham
Muhammadiyah dianggap sebagai “ancaman” bagi kelompok tradisional
muslim Sengkang. Klaim-klaim kebenaran ke dua kelompok muslim
tersebut

tidak

bisa

dihindari.

Tradisi-tradisi

yang

sering

dilakukan

kebanyakan kelompok tradisional seperti pembacaan Kitab al-Barzanji
pada saat acara dan even syukuran, tahlilan dan pembacaan al-Qur’an
secara berkelompok untuk orang meninggal, tarwih 20 rakaat dianggap
bid’ah

oleh

kelompok

Muhamadiyah.

Pada

satu

sisi,

tujuan

baik

26Nuhayati Djamas, op. cit., h. 62-68. Bandingkan dengan, Abdul Karim Hafid,
K.H. Muhammad As’ad dan Peranannya terhadap Pemurnian Akidah Islam di Wajo,
(Sengkang: STAIN As’adiyah, 1997), h. 40. Lihat pula, Abdul Aziz al-Bone, Lembaga
Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan: Studi Kasus di Perguruan Tinggi As’adiyah
Sengkang, (Jakarta: YIIS, 1986), h. 13.
27Muhamad Irfan Hasanuddin, op. cit., h. 76.

14

uhammadiyah patut dinilai positif. Dengan simbol perang melawan “TBC”,
akronim

dari

takhayul,

bid’ah

dan

churafat,

gerakan

dakwah

Muhammadiyah tidak pandang kompromi karena tradisi masyarakat waktu
itu diklaim berbau syirik. Kekuatan dakwah Muhammadiyah seperti ini bisa
jadi sekaligus titik lemahnya karena apresiasi terhadap kearifan lokal
masyarakat Bugis-Wajo belum tentu berbau “syirik” tidak dapat dilakukan.
Dari latar sosio-religio inilah Gurutta H.M. As’ad hadir memberikan nuansa
baru beragama bagi kalangan tradisional. Bukan hanya kedatangannya
untuk memberikan “legalitas agama” bagi praktik kaum tradisional BugisMuslim, Gurutta

lebih jauh berpandangan ke depan dengan membuka

pengajian kitab di rumah kediamannya.
Pada tahun 1928, pengajian kitab kuning rutin dilaksanakan di
rumah kediaaman Gurutta. Kedalaman ilmunya menjadi daya tarik para
santri dari berbagai penjuru di Sulawesi. 28 Tidak lama setelah pengajian
berlangsung, pengajian dipindahkan ke Mesjid Jami Sengkang dan
tidaBahkan, pemerintah kerajaan Wajo turut andil dalam merintis lahirnya
perguruan ini. Sinergitas antara raja, ulama, dan masyarakat Muslim Wajo
dapat ditemukan pada lahir dan berkembangnya perguruan Madrasah
Arabiyah Islamiyah (MAI) Wajo yang dibangun pada tahun 1930.
4. Jaringan Keilmuan Pesantren
Sebelum kedatangan Gurutta H.M. As’ad di Sengkang pada tahun
1928, sudah beberapa pusat-pusat pengajian kitab di rumah para ulama
lokal antara lain: Gurutta H.Abdul Aziz Gobe (Sengkang, 1910), H. Ambo
Emme (Sengkang, 1910-1920), H. Maratang (Belawa, 1920), H. Makkatu
(Tosora, 1920), H. Katu Ganra (Soppeng), H. Husein bin Umar, H. Sulaiman,
H. Kudaedah, H. Ahmad, H. Mekkah (Bone), H. Katu, H. Petta Buraerah, H.
Daeng, H. Mahmud (Soppeng), H. Ambo Umme, dan H. Hasanuddin. 29
Meskipun guru-guru masa awal telah membuka pengajian kitab pada awal
28Gurutta H.M. As’ad sudah mendapat pengakuan dari para syeikh di Mekkah
pada umur 21 tahun. Itulah sebabnya ketika Gurutta membuka pengajian di Sengkang
banyak santri yang tertarik untuk belajar pada guru muda yang keilmuannya mendalam.
Bahkan, konon, Gurutta Ambo Dalle sebelum menjadi santrinya pernah menguji keilmuan
Gurutta H.M. As’ad dan kemudian berguru dan menjadi murid utama beliau.
29Lihat, Hatta Walinga, op. cit., h. 43. Lihat pula, Abdul Razak Dg. Patunru,
“Sejarah Wajo” (1964).

15

abad ke 20 di Wajo, namun demikian, eksistensi pengajian ini tidak
mengalami perkembangan yang signifikan sampai setelah datangnya
Gurutta H.M. As’ad.
Setelah pengajian halaqah kitab “mangaji tudang” dibuka pada
tahun 1928, akhirnya Gurutta

mendirikan Madrasah Arabiyah Islamiyah

(MAI) Wajo secara resmi pada tahun 1930. Pengalamannya menjadi santri
di Madrasah al-Falah memberikan pengalaman dalam mengorganisir dan
memanaj pendidikan dan pengajian pesantren. Perkembangan madrasah
ini sangat pesat karena santrinya semakin bertambah dari berbagai
pelosok pulau Sulawesi.

Di samping itu, daya tarik Gurutta menjadi

jaminan keilmuan lembaga pendidikan ini di samping keterlibatan
beberapa ulama Medinah, Mekkah dan Mesir. Beberapa santri awal telah
menjadi pilar utama pengembangan pendidikan Islam dan pendiri
pesantren yang tersebar di pulau Sulawesi, Kalimantan, Sorong, Maluku,
Sumbawa, Sumatera dan Jakarta.
Para santri awal di bawah bimbingan langsung Gurutta H.M. As’ad
dan beberapa ulama lainnya antara lain: Gurutta Ambo Dalle (Pesantren
DDI Mangkoso, Pare-pare dan Pinrang), Gurutta Daud Ismail (Pesantren
Yastrib-Soppeng), Gurutta H.M. Yunus Maratan (As’adiyah-Sengkang),
Gurutta Abduh Pabbaja (Pesantren al-Furqan, Pare-pare), Gurutta Abdul
Muin Yusuf30 (Pesantren al-Urwatul Wutsqa, Sidrap), Gurutta H. L. Said
(Pesantren Tahfiz 77 Biru-Bone), Gowa-Makassar), Gurutta H. Hamzah
Badawi (As’adiyah-Sengkang), Gurutta H. Hamzah Manguluang (As’adiyah
Sengkang), Gurutta H. Abdul Malik Muhammad (As’adiyah-Sengkang), dan
Gurutta H. Abdullah Maratan, (As’adiyah-Sengkang) dan Gurutta H.M.
Hasyim (PMDS Putera, Luwu-Palopo).
Lapisan

kedua

alumni

Pesantren

As’adiyah

yang

kemudian

mendirikan pesantren mandiri antar lain: Gurutta H. M Haritsah (Pesantren
al-Nahdah-Makassar), Gurutta

Abdul Aziz (Pesantren Nurul Junaidiyah-

Luwu Utara), Gurutta H. Bustani Syarif (Pesantren Bahr al-‘Ulum, Gurutta
H>.Abunawas Bintang (As’adiyah, Sengkang), Gurutta Muh. Ilyas Salewe

30Gurutta H. Abdul Muin Yusuf adalah mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia
Sulawesi Selatan tahun 1990an.

16

(As’adiyah, Sengkang), Gurutta Muhammad Hasan (As’adiyah, Sengkang),
Gurutta Abdul Gani (As’adiyah, Sengkang) dan sebagainya.
Pesatnya perkembangan santri MAI Wajo menunjukkan bahwa
Gurutta H.M. As’ad adalah seorang manajer dalam bidang pendidikan. Ia
melibatkan beberapa ulama seperti Syeikh Muhammad Abdul Jawwad
(Medinah), Syeikh Ahmad al-Afifi (Mesir), Syeikh Sulaiman, Syeikh M. Ya’la
(Makassar)

dan

Syeikh

Abdul

Sadaqah

Dahlan

(Garut)

untuk

membantunya mengajar.31 Bahkan beberapa di antara ulama dari JawaSumatera pernah bertemu dan berdiskusi dengan Gurutta antara lain:
Hamka (ulama Muhammadiyah), Sayyid Salim bin Jindan (Ahli hadis,
Jakarta), Syeikh Abdul Rahman Firdaus dan Syeikh Amudi (Pare-pare).32
5. Gurutta H.M. As’ad dan Tipologi Pemikiran Islam
Tipologi pemikiran Islam Gurutta H.M. As’ad dapat digolongkan
sebagai pemikir muslim moderat. Dalam bidang dakwah Islamiyah, beliau
cukup tegas namun bijaksana dalam bertindak. Dalam bidang tasawuf, Ia
tidak menonjolkan diri menjadi sumber kultus seperti kebanyakan
pemimpin tarekat lainnya. Dalam bidang fiqh, Ia cukup toleran dengan
kearagaman praktek fiqh pada zamannya. Meskipun Ia dikenal sebagai
ulama pembela kelompok tradisional, namun upaya dan karya-karyanya
dalam bidang dakwah dan pendidikan sudah maju. Ia termasuk ulama
pertama yang mendirikan perguruan Islam moderen dalam bentuk
madrasah yakni Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Wajo pada tahun
1930. Dalam pergaulannya dengan para ulama, Ia menjalin hubungan erat
dengan pemuka Muhammadiyah. Bahkan, Gurutta H.M. As’ad memperistri
anak seorang tokoh Muhammadyah di Sengkang-Wajo. Lebih detail
mengenai corak pemikirannya dapat ditelusuri dari karya-karya Gurutta.
Menurut Zainuddin Hamka, corak pemikiran keagamaan Gurutta
H.M.

As’ad

dapat

digolongkan

“eklektik”

yang

tergambar

dalam

31Syeikh Muh. Abdul Jawwad adalah mantan mufti Medinah kemudian ke Bone
untuk mendirikan Madrasah Amiriyah Bone atas permintaan raja Bone. Syeikh Afifi adalah
seorang ulama hafiz alumin al-Azhar dari Mesir. Ia tinggal lama di Sengkang sampai
wafatnya. Salah seorang ulama dari Jawa yang kemungkinan besar merupakan salah satu
penerus tarikat Sanusiyah-Idrisiyah di Indonesia. Lihat Abu Hamid, “Sistem Pendidikan
Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan” (Makassar: LP. UNHAS, 1977), h. 75.
32Lihat, M. Yunus Pasanreseng, op. cit., h. 75.

17

pandangannya mengenai al-Qur’an, Hadis, Mazhab, Kalam, Fiqh, Tasawuf
dan adat istiadat. Pandangan Gurutta terhadap al-Qur’an dan Hadis sama
dengan pendapat para ulama salaf yang memposisikan al-Qur’an dan
Hadis dalam melaksanakan ajaran agama, menetapkan hukum dan
melaksanakan ibadah. Gurutta H.M. As’ad berbeda dengan Ibn Taimiyah
yang sama sekali tidak menggunakan takwil. Bagi Gurutta, takwil dapat
digunakan selama ia tidak bertentangan dengan dalil al-Qur’an dan
Hadis.33 Dalam bidang kalam, Ia berpendapat bahwa iman dan islam harus
sejalan sedangkan dalam masalah mazhab Gurutta sangat moderat yakni
tidak fanatik pada mazhab tertentu dan tidak menjelek-jelekkan mazhab
lain. Selanjutnya, Gurutta H.M. As’ad sangat mendorong kaum muslim
untuk melakukan ijtihad bagi yang memenuhi persyaratan. Adapun dalam
masalah tasawuf, Gurutta hanya mengikuti tasawuf sunni yakni tasawuf
yang medamaikan antara tarekat dengan syariah. Ia sendiri adalah
pengamal tarekat sanusiyah yang dikenal luas di Sulawesi Selatan dengan
nama tarekat “muhammadiyah”. Dalam hal pengamalan adat istiadat,
Gurutta sangat selektif dalam menerpakan adat istiadat. Jika adat istiadat
tidak bertentangan dengan syariah maka adat istiadat tersebut dibiarkan
tumbuh.34
Salah satu karya terbesar Gurutta H.M. As’ad adalah lembaga
pendidikan pesantren yang dirintis sejak tahun 1928 yang dalam
perkembangannya, telah menjadi salah satu corong Islam sunni yang
damai dengan segala karakteristik tradisi Islamnya yang kental misalnya:
wiridan, doa berasama, tahlil, talqin, yasinan dan membaca kitab alBarzanji. Pesantren As’adiyah Sengkang tetap mempertahankan sikap
egalitarian khususnya dalam menerima santri dari berbagai suku di
Nusantara: Bugis, Makassar, Mandar, Jawa, Kalimantan, dan Sumbawa.
Warisan Gurutta H.M. As’ad cukup menjawab stigma negatif yang
dilekatkan pada dunia kiai dan pesantren sebagai komunitas anti
perubahan, rigid (kaku), sarungan, dan agen gerakan radikal. Penglabelan
33Zainuddin Hamka, Corak Pemikiran Keagamaan Gurutta H. Muh. As’ad al-Bugisi,
(Jakarta: Departemen Agama RI Badang Litbang dan Diklat Puslitbang Lektur Keagamaan,
2009), h. 317.
34Lihat, Zainuddin Hamka, Corak Pemikiran Keagamaan Gurutta H. Muh. As’ad alBugisi, h. 318-321.

18

tersebut

dibentuk

sangat

generalis

sekali

dengan

menghubungkan

sebahagian aktifistas kaum muslim yang dicap sebagai “santri” dengan
aksi kekerasan dan radikalisme di Indonesia. Lebih lanjut, kajian ini akan
mengungkapkan bagaimana peran mereka dalam memperkaya identitas
nasional serta respon kiai dan komunitas pesantren terhadap wacana
global seperti multikulralisme, pluralisme, gender, dan kemiskinan. Dalam
kondisi “contested identity” inilah, kiai dan pesantren menggali falsafah
budaya lokal seperti kejujuran (alempureng), kecerdasan (amaccangeng),
kepatutan (asitinajangeng), keteguhan dan ketegasan (agettengeng), dan
usaha keras (reso temmangingngi)35 yang diinternalisasi melalui contoh
teladan kiai dan pengajian “kitab kuning”.
Paling tidak, Pesantren As’adiyah Sengkang yang damai cukup
menjadi jawaban atas pandangan pejoratif Barat melihat pesantren
sebagai ladang subur bagi terorisme dan radikalisme.36 Kekeliruan Barat
dalam

memandang

Westergaard

(koran

Islam

seperti

Jyllands-Posten,

Salman

Rushdie

Denmark),

dan

(Inggris),
Geertz

Kurt

Wilders

(Belanda)37 menjadi bukti nyata bagaimana Islam dipahami secara keliru.
Karena itu, potret wajah dunia Muslim Indonesia, khususnya dunia kiai dan
pesantren tetap menarik dikaji dan diangkat ke permukaan. Oleh karena
itu, perlu upaya memperkenalkan dunia pesantren yang damai secara
terus menerus kepada masyarakat Muslim secara luas mengingat jumlah

35A. Rahman Rahim, Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis, (Cet.I; Ujungpandang:
LEPHAS, 1985), h. 83. Lihat pula, Abu Hamid, Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Suf dan
Pejuang, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 46-47. Menurut Abu Hamid,
nilai utama orang Bugis-Makassar antara lain; jujur (malempu), berkata benar (ada
tongeng), keteguhan hati (getteng), rasa malu (siri), kecerdasan (amaccang), dan usaha
keras (makkareso).
36Dunia Islam kembali menjadi bahan pembicaraan hangat sejak terjadinya
peristiwa “Black September” 2001 di Amerika. Hampir seluruh belahan dunia mengutuk
kejadian itu, dan imbasnya tidak bisa dipungkiri dirasakan kaum Muslim di seluruh dunia
termasuk dunia pesantren di Indonesia. Tidak lama setelah itu, kejadian Bom Bali meletus
(2002), J.W. Marriot (Jakarta, 2003), Kafe Raja (Bali, 2005), dan Pengemboman di Musalah
Kantor Polisi (Serang-Banten, 2011). Meskipun kejadian ini merupakan hasil tangan orang
Islam, namun demikian tidak ada bukti cukup mengenai keterlibatan para kiai dan dunia
pesantren. Aksi radikal ini tentu saja tidak menguntungkan kalangan kiai, santri dan
pesantren yang telah lama dikenal sebagai salah satu agen penting dalam membentuk
dan memperkaya identitas nasional bangsa Indonesia.
37Muhyar Fanani, Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai
Cara Pandang, (Cet. II; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. xiii.

19

terbesar penduduk Muslim, menurut hitungan John L.Esposito, yakni
seperlima penduduk Muslim dunia tinggal di Indonesia.38
D. Penutup
Gurutta H.M. As’ad beserta para kiai awal yang belajar di Makkah alMukarramah pertengahan abad ke 19 merupakan arsitek intelektualisme
Tanah Bugis abad ke 20. Dinamika intelektualisme di kalangan orang Bugis
merupakan kelanjutan dan bagian dari tradisi keilmuan Islam Nusantara
yang bersumber dari Makkah al-Mukaramah. Syeikh Muhammad al-Yamani
dan Syeikh Umar Hamdani merupakan dua guru utama Gurutta H.M. As’ad
yang sekaligus menghubungkannya dengan beberapa ulama Nusantara
Syeikh Hasyim Asy’ari (Jombang,1871), Anwar Musaddad (Garut, 1903),
Zain Mun’im (Probolinggo, 1906), Muhammad As’ad al-Bugisi (Mekkah,
1907), Zainuddin Abdul Madjid (Sumbawa, 1908), Ali Maksum (Rembang,
1915.
Jaringan keilmuan yang terbentuk baik dari guru-guru Bugis maupun
para syeikh tanah Arab telah dirangkum oleh Gurutta H.M. As’ad kemudian
dikembangkan melalui perguruan Islam dalam betuk madrasah moderen,
Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) Wajo. Pengalaman Gurutta H.M. As’ad
berguru cukup panjang menjadi jaminan keilmuan dan otoritas keagamaan
di Tanah Bugis. Jaringan keilmuan ini kemudian dikembangkan melalui
murid utama beliau yakni Gurutta H. Daud Ismail (Soppeng), Abdurrahman
Ambo

Dalle

(Sengkang),

(Mangkoso,
Hamzah

Pare-pare

Badawi

dan

Pinrnag),

(Sengkang),

Abdul

Yunus
Malik

Maratang

Muhammad

(Sengkang), dan H.M. Rafi’I Yunus (Sengkang). Usaha Gurutta H.M. As’ad
dalam

menyemai

dan

memproduksi

kiai-santri

kelas

menengah

dikembangkan melalui tiga tradisi yakni tradisi intelektualisme, tradisi
menghafal al-Qur’an dan tradisi sufisme.

DAFTAR PUSTAKA
38Ibid., h. 6. Untuk pembacaan lebih lanjut lihat, John L. Esposito (ed), The Oxford
Encyclopedia of the Modern Islamic World, (New York-Oxford: Oxford University Press,
1995).

20

Abbas, Sirojuddin. Transformasi Otoritas Keagamaan,
Burhanuddin dan Ahmad Baedhowi. 2003.

(ed)

Jajat

Al-Bone, Abdul Aziz. Lembaga Pendidikan Islam di Sulawesi Selatan: Studi
Kasus di Perguruan Tinggi As’adiyah Sengkang. Jakarta: YIIS, 1986.
Azra, Azyumardi. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
-------., Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Islam di Nusantara. Cet.
I; Bandung: Mizan, 1999.
-------., Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002.
Djamas, Nurhayati. Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca
Kemerdekaan. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009.
Esposito, John L. (ed), The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic
World. New York-Oxford: Oxford University Press, 1995.
Fanani, Muhyar. Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan
Sebagai Cara Pandang. Cet. II; Jakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Hafid, Abdul Karim. K.H.M. As’ad dan Peranannya terhadap Pemurnian
Akidah Islam di Wajo, (Sengkang: Laporan Penelitian, STAI As’adiyah:
1997.
Hamid, Abu. “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi
Selatan” dalam Taufik Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial.
Jakarta: Rajawali dan Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1983.
-------., “Sistem Pendidikan Madrasah dan Pesantren di Sulawesi Selatan”
Makassar: LP. UNHAS, 1977.
-------., Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Suf dan Pejuang. Cet. I; Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 1994.
Hasan, M. Tolhah “Prolog: Hibrida Kultural dan Tradisi Intelektual Pesantren
dari Masa-ke Masa” dalam Mastuki H.S. dan M. Isho al-Saha,
Intelektualisme Pesantren : Potret Tokoh dan Cakrawal Pemikiran di
Era Pertumbuhan Pesantren. Jakarta; Diva Pustaka, 2003.
Hasanuddin, Muhammad Irfan. Jaringan Pesantren Nusantara. Palopo:
Laporan Penelitian P3M STAIN Palopo, 2012.

21

Martin van Bruinessen. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia. Jakarta: Mizan, 1995.
Mattulada, “Gerakan Pembaharuan Masyarakat Islam”,
dalam Taufik
Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali, 1983.
Pasanreseng, Muhammad
Yunus. Sejarah Lahir dan Perkembangan
Pondok Pesantren As’adiyah Sengkang. Sengkang: Adil, 1992.
Rahim, A. Rahman. Nilai-nilai Utama
Ujungpandang: LEPHAS, 1985.

Kebudayaan

Bugis.

Cet.I;

Salim, Hairus H.S, “pengantar editorial dalam karya Abdurrahman Wahid”,
Menggerakkan Tradisi: Esesi-esei Pesantren. Yogyakarta: LKIS, 2001.
Walinga, Hatta. Kiyai Haji Muhammad As’ad: Hidup dan Perjuangannya.
Ujungpandang-Makassar: Skripsi IAIN Alauddin, 1981.
Yatim, Badri. Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci. Jakarta: Logos, 1999.