BAB II AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI PEMBATALAN KERJASAMA CV.BINTANG MANDIRI IN7 WEDDING ORGANIZER - Analisis Yuridis Atas Pembatalan Perjanjian Kerjasama Event Organizer Dengan Pengguna Jasa ( Studi Pada CV. Bintang Mandiri IN7 Wedding Organizer & D

30 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT. RajaGrafindo, 1997,

  hal 10

BAB II AKIBAT HUKUM YANG DITIMBULKAN DARI PEMBATALAN KERJASAMA CV.BINTANG MANDIRI IN7 WEDDING ORGANIZER& DECORATION DENGAN PENGGUNA JASA BILA TERJADI WANPRESTASI YANG DIKARENAKAN OLEH SALAH SATU PIHAK A. Sejarah Wedding Organizer Perkembangan sektor ekonomi yang sangat pesat, di segala bidang membuat

  hukum perjanjian turut berkembang pesat, dimana masyarakat semakin banyak mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian dengan masyarakat lainnya, yang kemudian menimbulkan berbagai perjanjian ( kontrak ) termasuk salah satunya adalah perjanjian kerjasama yang dilakukan event organizer.

  Event organizer atau biasa disebut dengan EO, dalam bahasa Inggris disebut

  dengan “ Phrase “ yang artinya adalah penyelenggaraan acara, di Indonesia pola kerja EO sudah ada lama dimulai dari pesta- pesta adat dimana panitia pesta tersebut mulai membagi tugas masing- masing untuk mendukung suksesnya suatu acara.

  Sedangkan istilah event organizer di Indonesia mulai populer sekitar tahun 1990 yang semakin popular lagi pada tahun 1998 pasca era krisis dimana begitu banyak tenaga kerja yang keluar dari perusahaan tempatnya bekerja dengan berbagai alasan dan mulailah mencari alternativ penghasilan lain yang salah

  31 satunya melalui dengan membuat EO.

  31 diakses pada tanggal, 23 November 2012

  Jasa event organizer sendiri adalah jasa penyelenggaraan sebuah acara atau kegiatan yang terdiri dari serangkaian mekanisme yang sistematis dan memerlukan ketekunan serta kesungguhan dan kekompakan tim.Salah satu perkembangan event organizer adalah dengan hadirnya wedding organizer sebagai salah satu kategori yang dapat memperluas ruang lingkup event organizer tersebut.

  Wedding organizer adalah suatu jasa khusus yang secara pribadi membantu

  calon pengantin dan keluarga dalam perencanaan dan supervisi pelaksanaan

  32 rangkaian pernikahan sesuai jadwal yang ditetapkan.

  Wedding organizer membidangi jasa penyelenggaraan acara pesta

  perkawinan yang dalam hal ini bertanggung jawab atas segala kelancaran serta keperluan dalam suatu pesta perkawinan.

  Wedding organizer juga harus bisa memberikan pelayanan danrasa aman

  serta nyaman terhadap calon pasangan pengantin yang sering kalimerasa sangat tertekan, frustasi, dan gelisah dalam menghadapi hari besar disepanjang hidupnya.

  Dengan banyaknya permintaan dari masyarakat untuk menangani kegiatan perhelatan mereka saat ini mendorong munculnya beragam lembaga yang bergerak dibidang wedding organizer.

  Dengan demikian wedding organizer sangat dekatdan erat kaitannya dengan konsumen. Karenasebuah wedding organizer harus mampu untuk dapat menghadirkan setiap keinginandan impian calon pasangan pengantin pada pesta

   diakses pada tanggal 23 November 2012 pernikahan, meskipunharus tetap dalam koridor sebuah perjanjian (kontrak) yang sudah disepakatibersama.

  Dengan menghadirkan semua itu kedalam suatu perjanjian ( kontrak ) yang akan disepakati bersama yang bertujuan untuk mengatur interaksi tersebut dengan segala akibat hukum yang akan ditimbulkan dalam suatu perjanjian, maka

  wedding organizer memiliki peranan penting dalam merencanakan dan mengatur acara pernikahan selama proses berlangsung.

  Karena wedding organizer secara sah ditunjuk oleh pengguna jasa guna mengorganisasikan seluruh rangkaian acara guna mewujudkan tujuan yang diharapkan oleh pengguna jasa yang semua itu tertuang dalam perjanjian antara pengguna jasa dengan wedding organizer tersebut.

  Wedding organizer sebagai pelaku usaha sering mendapati pasang surut,

  sehingga tidak jarang juga melakukan tindakan yang terkadang dapat merugikan pengguna jasa begitu juga sebaliknya ,dalam keadaan yang sulit itu maka perlu mengadakan tindakan perikatan yang dalam hal ini disebut perjanjian.

  Dengan tujuan demi melindungi kepentingan masing- masing pihak, maka perlu adanya suatu kesepakatan yang bertujuan mengatur interaksi tersebut dengan segala akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh perjanjian tersebut, karena mungkin saja masalah belumlah timbul dalam waktu dekat, akan tetapi masalah akan timbul seiring berjalannya perjanjian di masa yang akan datang.

  Apabila terjadi permasalahan dalam pelaksanaannya perjanjian tersebut,dapat dengan seksama melindungi semua pihak yang terkait didalam perjanjian tersebut.

  Dengan demikian perjanjian kerjasama yang dilakukan wedding organizer dengan pengguna jasa dalam hal ini konsumen dapat memberikan batasan- batasan hukum yang harus dipenuhi oleh masing- masing pihak.

B. Pengertian Perjanjian

  Perjanjian adalah suatu peristiwa seseorang berjanji kepada seseorang lain atau orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa itu timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

  Perikatan adalah suatu keadaan hukum yang mengikat satu atau lebih subjek hukum dengan kewajiban- kewajiban yang berkaitan satu sama lain.

  33 Dalam hal ini perikatan diartikan sebagai isi dari sebuah perjanjian yang memiliki sifat yang terbuka artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak.

  Dengan beberapa syarat yaitu tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan undang- undang.

  Dari perikatan yang terjadi itu, maka akan menimbulkan adanya suatu hak dan kewajiban yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana termasuk dalam KitabUndang- undangHukumPerdata Pasal 1338 :

  34

  “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan- alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu, dan perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.

33 Hasanudin Rahman, Legal Drafting. Seri Keterampilan Mahasiswa Fakultas Hukum Dalam

  Merancang Kontrak Perorangan/ Bisnis , ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000 ), hal 4

  34 Ahmadi Miru dan Sakka Pati, hukum Perikatan“ Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2008), hal 78

  Dari keterangan diatas dapat dilanjutkan bahwa ada beberapa macam

  35

  perikatan yang bisa dipergunakan dalam sebuah perjanjian : 1.

  Perikatan bersyarat ( voorwaardelijk ) Adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan terjadi.

  2. Perikatan yang digantungkan pada ketetapan waktu ( tijdsbepaling ) Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya.

  3. Perikatan yang memperbolehkan memilih ( alternatief ) Suatu perikatan dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi.

  4. Perikatan tanggung- menanggung ( hoofdelijk atau solidair ) Adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama- sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan.

  5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi Perikatan yang menentukan apakah sebuah perikatan itu dapat dibagi atau tidak semua tergantung prestasi yang dibagi atau tidak.

  6. Perikatan dengan penetapan hukuman ( strafbeding ) Dimana seseorang tidaklah boleh melalaikan kewajibannya, karena dalam prakteknya banyak dipakai perjanjian dimana seseorang dikenakan suatu hukuman akan tetapi tidak memenuhi kewajibannya.

35 Subekti, Pokok- Pokok Hukum Perdata, ( Jakarta : Intermasa, 2001 ), hal 128

  Terkait dengan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perikatan sedikit berbeda dari perjanjian yang bersifat terbuka dalam mengatur hak- hak dan kewajiban para pihak.

  Ketentuan yang mengatur mengenai masalah perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata ( KUHPerdata ) tentang Perikatan.

  Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdatadijelaskan bahwa : “ Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satuorang atau lebih

  36

  mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”

  37 Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah :

  “ Suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melepaskan sesuatu hal.

  Jika diperhatikan, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KitabUndang- Undang Hukum Perdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwaperjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya kepada orang lain,apabila kita perhatikan perumusan dari perjanjian, dapat kita simpulkan unsur perjanjian sebagai berikut: a.

  Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang Para pihak yang melakukan perjanjian ini disebut sebagai subjek perjanjian, adapun subyek perjanjian tersebut dapat berupa manusiapribadi atau badan hukum. Subyek hukum harus mampu untuk melakukanperbuatan hukum seperti

  36 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003, hal 91

  37 Subekti, Hukum Perjanjian, ( Jakarta : Intermasa, 1996 ), hal 1 yang ditetapkan dalam Undang-undang,kedudukannya pasif sebagai debitur atau

  38 dalam kedudukannya yang aktifatau sebagai kreditur.

  b.

  Adanya pesetujuan antara pihak-pihak tersebut Dalam perjanjian itu tentunya ada suatu persetujuan, persetujuan di sinibersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam taraf berunding. Perundinganitu sendiri merupakan tidakan- tindakan yang dilakukan untuk menujukepadaadanya persetujuan.Persetujuan itu sendiri dapat dicapai denganadanya penerimaan dari salah satu pihak atas tawaran dari pihak lainnya,dan pada umumnya mengenai syarat yang ada dalam perjanjian mengenaiobyek perjanjian itu, maka timbullah persetujuan dan persetujuan inimerupakan salah satu syarat untuk sahnya perjanjian.

  c.

  Adanya tujuan yang akan dicapai Guna memenuhi kebutuhan pihak-pihak perlu adanya tujuan di dalammengadakan perjanjian, adapun tujuan dari perjanjian itu sendiri haruslahmemenuhi syarat dari kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam

  Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu tidak boleh dilarang Undang-undang, tidakbertentangan dengan kesusilaan dan tidak bertentangan dengan kepentinganumum.

  d.

  Adanya prestasi yang akan dicapai Bila perjanjian tersebut telah ada suatu persetujuan, maka dengansendirinya akan timbul suatu kewajiban untuk melaksanakannya,pelaksanaan di sini tentu saja dapat diwujudkan dengan suatu prestasi yangharus dipenuhi oleh pihakyang

  38 Suharnoko, Hukum Perjanjian, ( Jakarta : Kencana, 2004 ), hal 15

  melakukan perjanjian, antara lainmeliputi untuk memberikan sesuatu, untuk

  39 berbuat sesuatu, dan untuk tidakberbuat sesuatu.

  e.

  Adanya bentuk tertentu, baik lisan maupun tulisan Dalam suatu perjanjian bentuk itu sangat penting , dengan adanya bentuktertentu maka suatu perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat dansebagai bukti, bentuk tertentu biasanya dalam bentuk akta sedangkanperjanjian ada yang secara lisan biasanya dilakukan terhadap perikatanmurni.

  f.

  Adanya Syarat tertentu Isi dari perjanjian tersebut biasanya mengenai syarat tertentu, karenadengan syarat-syarat itulah dapat diketahui adanya hak dan kewajiban daripihak-pihak, biasanya syarat tersebut dapat kita bedakan ada syarat pokokdan syarat tambahan.

  Hubungan kedua orang yang bersangkutan mengakibatkan timbulnya suatu ikatan yang berupa hak dan kewajiban kedua belah pihak atas suatu prestasi atau tindakan yang telah diperbuat kedua belah pihak.

  40 Selanjutnya menurut KRMT Tirtadiningrat, perjanjian adalah :

  “suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara kedua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat- akibat hukum yang diperkenankan undang- undang “.

  39 Subekti, Aneka Perjanjian, ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995 ), hal59

40 Mulyadi Nur, 2008, Online, http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/standar

  diakses pada tanggal 10 juni 2012

  Sementara menurut Mariam Darus Badrulzaman :

  41

  “ perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu yang dibuat secara lisan dan andai kata dibuat secara tertulis maka ia bersifat sebagai alat pembuktian apabila terjadi perselisihan “

  Untuk beberapa perjanjian tertentu undang- undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Pada bentuk tertulis itu tidaklah hanya semata- mata merupakan alat pembuktian saja akan tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian.

  Sudikno Mertokusumo juga mengemukakan pendapat bahwa :

  42

  “ perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum “ Apabila dilihat dari bentuknya perjanjian dibedakan menjadi 2 ( dua ) macam, yaitu : Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan.

  1) Perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan yaitu berupa kesepakatan saja dari para pihak.

  Dalam hal mengenai terbentuknya perjanjian Sri Soedewi Masjchun Sofwan mengemukakan bahwa perjanjian apabila dilihat secara formal mempunyai 3 ( tiga ) tipe yaitu :

  43

  41 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001 ), hal 65

  42 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, ( Yogyakarta : Liberty, 1988 ), hal 70

  43 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Perjanjian,( Yogyakarta : Gadjah Mada, 1980 ), hal 59

  a) Contracts underseal, yaitu adalah perjanjian ini tertulis dan bercap (seal) yang dibutuhkan yang dibubuhkan diatas kertas.

  b) Recognizance adalah perjanjian yang mencakup suatu janji di hadapan pengadilan oleh pemberi janji ( promisor ) untuk pemenuhan suatu pembayaran tertentu tanpa diperlukan ada tindakan khusus.

  c) Negotiabe contracts adalah perjanjian yang menembus dan fundamental bagi bisnis.

  Hukum perjanjian pada dasarnya memberikan kebebasan yang seluas- luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang bersifat apa saja selama perjanjian itu tidak melanggar ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan.

  Dalam membuat suatu perjanjian banyak cara atau jenis yang diperlukan dalam masyarakat, baik hal itu telah diatur dalam undang- undang maupun hanya berupa kebiasaan yang dilakukan sehari- hari.

  Salah satunya yang dikemukakan oleh Abdulkadir Muhammad yang

  44

  menyebutkan beberapa jenis perjanjian yaitu : 1.

  Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak a.

  Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.

  b.

  Perjanjian Sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada pihak lainnya.

  2. Perjanjian Percuma dan Perjanjian Alas Hak yang Membuatnya

  a. Perjanjian Percuma adalah perjanjian yang hanya memberikankeuntungan kepada satu pihak saja b. Perjanjian Alas Hak yang Membuatnya adalah perjanjian dimana

44 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti,

  1993, hal 50

  didalamnya terdapat prestasi dari pihak satu selalu terdapat kontrak- prestasi dari pihak lainnya, sedangkan antara kedua prestasi itu ada hubungan menurut hukum.

  3. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama a.

  Perjanjian Bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian- perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas.

  b.

  Perjanjian Tidak Bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.

  4. Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir a.

  Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual- beli sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir.

  b.

  Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan yang artinya sejak terjadi perjanjian timbullah hak dan kewajiban pihak- pihak.

  5. Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real a.

  Perjanjian Konsensual adalah perjanjian yang timbul karena adanya persetujuan kehendak antara pihak- pihak b.

  Perjanjian Real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barangnya. Berdasarkan jenis perjanjian yang dikemukakan diatas perjanjian kerjasama biasanya memakai perjanjian sepihak karena memberikan kewajiban pada seseorang sekaligus memberikan hak kepada seseorang lain untuk menerima prestasi yang telah dibuat, atau bisa juga memakai perjanjian timbal balik karena dalam perjanjian tersebut memberikan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.

  Dengan demikian tujuan perjanjian adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap pihak- pihak yang melakukan perjanjian sehingga ketentuan yang diatur didalam sebuah kontrak dapat terlaksana dengan baik dan mempunyai batasan- batasan hak dan kewajiban bagi para pihak yang terlibat didalam perjanjian suatu kontrak tersebut.

  Karena setiap kontrak pasti dimulai dengan adanya penawaran ( offer ) dan penerimaan ( acceptance ). Penawaran ( offer ) diartikan sebagai suatu perjanjian untuk melakukan sesuatu secara khusus pada masa yang akan datang. Pada prinsipnya, penawaran tetap terbuka sepanjang belum berakhirnya waktu atau belum dicabut.

  45 Suatu penawaran akan berakhir, apabila : 1.

  Penawaran dicabut, dalam hal ini pihak penawar harus memberitahukan sebelum penawaran tersebut tidak dapat dicabut lagi sebelum waktunya berakhir.

2. Penerima tawaran tidak menerima tawaran, tetapi membuat suatu kontrak penawaran.

  Dengan demikian, unsur yang menentukan agar penawaran mempunyai kekuatan hukum adalah dengan adanya kepastian penawaran dan keinginan untuk terikat.

45 Taryana Soenandar, Op.cit. hal 47

  Sedangkan dalam Teori Penerimaan terjadi pada saat yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan. Penerimaan adalah kesepakatan dari pihak penerima dan penawar tawaran untuk menerima persyaratan yangdiajukan penawar tawaran. Penerimaan yang belum disampaikan kepada pemberi tawaran, belumlah berlaku sebagai penerimaan tawaran bilamana memungkinkan, baik tawaran maupun penerimaan tawaran sebaiknya dinyatakan secara tertulis dan jelas.

  Untuk menunjukkan adanya penerimaan, pihak yang ditawari harus menunjukkan adanya persetujuan atas penawaran. Semata- mata pemberitahuan tentang didapatnya penawaran, atau pernyataan tertarik terhadapnya, tidaklah cukup.

  Persetujuan harus diberikan tanpa syarat, yakni persetujuan ini tidak boleh digantungkan pada syarat- syarat yang harus dipenuhi baik oleh pihak yang menawarkan atau oleh pihak yang ditawari. Dengan kata lain, isi penerimaan tidak boleh memuat variasi atau jenis dan syarat dari penawaran atau mengubah secara materil syarat tersebut.

  Dengan disetujuinya penawaran oleh pihak penerima tawaran atau yang disebut dengan penerimaan penawaran, maka persetujuan tersebut menjadi kesepakatan yang ditegaskan dalam suatu perjanjian atau kontrak oleh para pihak. Sehingga berlakulah Teori Pacta Sunt Servanda ( kekuatan mengikat )

  46

  , yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.

46 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, ( Jakarta : PT. RajaGrafindo

  Persada, 2008 ), hal 33

  Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan- alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu.

  Sementara itu menurut Rahman Hasaudin, kontrak adalah :

  47

  “ perjanjian yang dibuat secara tertulis.Sebagai perwujudan tertulis dari perjanjian. Kontrak adalah salah satu dari dua dasar hukum yang ada selain undang- undang ( Kitab Undang- Undang Hukum Perdata Pasal 1233 ) yang dapat menimbulkan perikatan “.

  Perjanjian tertulis yang dimaksud dalam hal ini adalah : 1.

  Perjanjian Standar yaitu, disebut juga perjanjian baku dimana perjanjian ini berbentuk tertulis berupa formulir yang isinyatelah distandarisasikan ( dibakukan ) terlebih dahulu secara sepihak oleh produsen, serta bersifat masal tanpa mempertimbangkankondisi yang dimiliki oleh konsumen.

  48 2.

  Perjanjian Formal yaitu, perjanjian yang telah ditetapkan dengan formalitas tertentu.

49 Dengan demikian maka kesepakatan lisan saja

  yang dihasilkan dari tercapainya perjanjian mengenai pokokperjanjian, yang terwujud dalam bentuk penerimaan oleh salah satu pihak dalam perjanjian.

  47 Budiono Kusumohamidjojo, Paduan Untuk Merancang Kontrak, Jakarta : Gramedia Widiasarana, 2001, hal 7

  48 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, ( Edisi ke- 3, Yogyakarta : Liberty, 1988 ) , hal 116

  49 Djaja S.Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, ( Bandung: Nuansa Aulia, 2008 ), hal 90

  50 Menurut Sultan Remi Sjahdeini perjanjian standar, yaitu :

  “ perjanjian yang hampir seluruh klausula- klausulanya dibakukan oleh pemakainya dan para pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang dilakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang dijanjikan “. Oleh sebab itu dalam hal ini perjanjian yang banyak dipergunakan dalam masyarakatadalah perjanjian standar( baku ) karena sifatnya membatasi asas kebebasan berkontrak. Adanya kebebasan ini sangat berkaitan dengan kepentingan umum agar perjanjian baku itu diatur dalam undang- undang dan diawasi oleh pemerintah.

  Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku didalam masyarakat disebabkan karena keadaan sosial ekonomi, perusahaan besar dan perusahaan pemerintah yang mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingandan, ditentukan syarat- syarat secara sepihak . Pemakaian perjanjian baku tersebut sedikit banyaknya telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat untuk kepentingan perjanjian yang dibuat didalam masyarakat.Itu berarti perjanjian atau kontrak yang telah dilangsungkan dan telah mengikat dengan tercapainya kata sepakat dan tidak dapat dibatalkan secarasepihak oleh pemberi jasa atau pengguna jasa.

50 Sultan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

  ,(Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1995), Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank diIndonesia hal 66

  Karena itu tujuan dibuatnya perjanjian standar ( baku ) untuk memberikan kemudahan ( kepraktisan ) bagi para pihak yang bersangkutan. Bertolak dari tujuan itu, Mariam Darus Badruzzaman lalu mendifinisikan perjanjian standar

  51 sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.

  Dari penjelasan yang telah dipaparkan diatas dapatlah diketahui bahwa perjanjian kerjasama pada umumnya berlandaskan pada perjanjian standar ( baku) karena memberikan kemudahan bagi para pihak. Dalam perjanjian standar biasanya memakai perjanjian sepihak dan timbal balik.

C. Syarat Sahnya Suatu PerjanjiandanAsas Suatu Perjanjian

1. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

  Perjanjian yang sah artinya, perjanjian yang memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang- undang sehingga perjanjian tersebut diakui oleh hukum.Oleh karena tidak semua perjanjian yang dibuat oleh setiap orang sah dalampandangan hukum. Untuk itu ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang- UndangHukum Perdata menentukan untuk sahnya perjanjiandiperlukan empat syarat yaitu : a.

  Sepakatnya Mereka Mengikatkan Dirinya mereka yang mengikatkan dirinya dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau sepaham mengenai hal-hal pokok yang diperjanjikan.Maksud sepakat yang terdapat dalam

  Pasal 1320 KUHPerdatayaitu sepakat yang tidak pincang atau bebas, artinya tidak boleh dilakukandengan kekhilafan ( dwaling ), paksaan ( dwang ) dan

51 Mariam Darus Badruzzaman, Perlindungan Terhadap Konsumen dilihat dari Perjanjian

  baku ( standar) , ( Bandung : Bina Cipta,1986 ), hal 58

  penipuan ( bedrog ),dalam Pasal 1321 KUHPerdata kalau perjanjian itu dilakukan denganadanya kekhilafan, paksaan atau penipuan berarti persesuaian kehendak itutidak bebas dan dianggap tidak sah, sehingga perjanjian dapat

  52 dimintakanpembatalan.

  b.

  Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perikatan Di dalam Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan, bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian jika ia oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tak cakap. Dari pasal tersebut setidak-tidaknyadapat dirumuskan bahwa mereka yang dinyatakan cakap :

  1) Mereka yang telah dewasa

  2) Sehat akal pikiran

  3) Tidak dilarang atau dibatasi oleh undang-undang dalam melakukan perbuatan hukum .

  4) Meskipun belum memenuhi persyaratan umur kedewasaan tetapi sudah kawin.

  Karena dalam membuat suatu perjanjian seseorang haruslah cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Karena dalam perjanjian itu seseorang terikat untuk melaksanakan suatu prestasi dan harus dapat mempertanggung jawabkan.

  Mengenai kecakapan telah ditegaskan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “ bahwa setiap orang adalah cakap untuk mengadakan persetujuan, kecuali orang- orang yang oleh undang- undang dinyatakan tidak cakap “

  52 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, ( Bandung : Alumni, 1983 ), hal 64

  Oleh karena itu subjek atau para pihak dalam suatu perjanjian harus cakap bertindak menurut hukum. Kecakapan ini diperlukan karena subjek hukum terikat dengan segala ketentuan yang telah disepakati bersama, maka ia harus mampu bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Orang yang tidak sehat pikirannya ataupun belum dewasa tidak dapat menyelenggarakan kepentingannya dengan baik dan memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menyelenggarakan kepentingannya.

  Ketidakcakapan ini disebut tidak cakapuntuk mengadakan hubungan hukum, hal ini dikarenakan tidak dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.

  Kriteria mereka yang tidak cakap membuat suatu perjanjian menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah : 1) Orang yang belum dewasa.

  Untuk lebih jelasnya kriteria bagi mereka yang belum dewasa adalah mereka yang belum usia 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin, apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan.

  Sementara itu Menurut Pasal 433 KUH Perdata menyatakan : “ mereka yang ditaruh di bawah pengampuan adalah setiap orang yang telah dewasa yang selalu di dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap juga ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang- kadang cakap menggunakan pikirannya “

  3) Orang- orang perempuan dalam hal- hal ditetapkan oleh undang- undang dan pada umumnya semua orang melarang membuat perjanjian atau persetujuan tertentu. Untuk lebih jelasnya kriteria bagi mereka yang belum dewasaadalah mereka yang belum usia 21 tahun dan tidak lebih dahulu telahkawin, apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.Menurut Pasal 433 KUH Perdata, mereka yang ditaruh di bawahpengampuan adalah setiap orang yang telah dewasa yang selalu di dalamkeadaan dungu, sakit otak atau mata gelap juga pemboros, sehingga setiaptindakannya selalu lepas dari kontrolnya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

  Khusus untuk ketidakcakapan perempuan dalam melakukan perbuatan hukum yang harus diwakili suaminya dipandang tidak adil, maka sejak adanya Surat Edaran Mahkamah Agung nomor 3 Tahun 1963yang menyatakan, bahwa kedudukan wanita sama dan sederajat dengankedudukan laki-laki, semua Warga Negara Indonesia.

  Di samping mereka yang Ketidakcakapan ( Onbekwaan) masih ada lagikategori mereka yang tidak diperkenankan membuat perjanjian tertentu,yaitu mereka yang Tidakwenang ( Onbevoegd ). Mereka yang tidakwenang ini misalnya, seorang hakim tidak diperkenankan untukmelakukan jual beli terhadap barang / benda yangdipersengketakan, karena ia berkedudukan sebagai hakim yang mengadilipersengketaan tersebut.

  c. Adanya Objek Perjanjian ( Suatu hal tertentu ) Suatu hal tertentu, adalah obyek dari perikatan yangmenjadi kewajiban dari para pihak dalam arti prestasi. Prestasi itu harustertentu dan dapat ditentukan harus ada jenis dari prestasi itu sendiri yangselanjutnya dapat ditentukan berapa jumlahnya.

  Akibat syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur maka perjanjian tidak dapat dilaksanakan dan dianggap batal.

  Persyaratan yang demikian sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan :

  “ Hal- hal yang diperjanjikan dalam perjanjian haruslah tertentu barangnya atau sekurang- kurangnya ditentukan jenisnya “ d. Suatu Sebab yang Halal( Legal Cause ) Didalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi ( pokok perjanjian ). Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan. Menurut

  Pasal 1320 KUHPerdata pengertian sebab di sini ialahtujuan dari pada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya suatu perjanjian. Sedangkan yang dimaksud dengan “sebab” sebagaimana di dalam Pasal 1335 KUHPerdata bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atauyang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidakmempunyai kekuatan, jadi jelaslah tidak ada suatu perjanjian yang sah, jikatidak mempunyai sebab.

  Dengan demikian apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu sebab yang halal, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang dan

  53 jelas apa yang diperjanjikan.

53 Gunawan Widjaya, Memahami Prinsip Keterbukaan dalam Hukum Perdata, Jakarta :

  PT.Raja Grafindo Persada, 2006, hal 263

  Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang- undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

  Keempat unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang , digolongkan ke dalam : (1)

  Dua unsur pokok menyangkut subyek ( pihak ) yang mengadakan perjanjian (Unsur Subyektif ) : unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak yang melaksanakan

  54

  55

  perjanjian. adapun syarat subjektif sahnya perjanjian ada dua macam yaitu : (a)

  Kesepakatan Bebas Adalah terjadinya kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang mengadakan atau melangsungkan perjanjian. Kesepakatan bebas diantara para pihak ini pada prinsipnya adalah dari asas konsesualitas. (b)

  Kecakapan Pihak yang Melaksanakan Adalah kecakapan pihak untuk bertindak melakukan perbuatan hukum.

  (2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan

  56

  obyekperjanjian (unsur obyektif ) : unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang dapat

  54 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal 94

  55 Ibid hal 95

  56 Ibid , hal 255

  disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum dan tidak terpenuhinya salah satu unsur darikeempat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjiantersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan ( jikaterdapat pelanggaran terhadap unsur subjektif ), maupun batal dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

  Syarat objektif sahnya perjanjian dapat ditemukan dalam : (a)

  Tentang Hal Tertentu Dalam Perjanjian

  Pasal 1332 sampai Pasal 1334 KUHPerdata mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian. KUHPerdata menjelaskan maksud hal tertentu, terdapat pada Pasal 1333 KUHPerdata yang berbunyi :

  “ suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung ”.

  (b) Tentang Sebab Yang Halal

  Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga pasal 1337 KUHPerdata pada Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa:

  “ suatu perjanjian tanpa sebab, atau telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan “.

  Dengan demikian jelaslah bahwa perjanjian yang dilakukan oleh pihak yang sama- sama mengikatkan dirinya pada pihak lain haruslah sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian.

  Dari keterangan yang disampaikan diatas dapat kita simpulkan syarat sahnya suatu perjanjian secara umum adalah dengan berpedoman pada Pasal 1320 KUHPerdata.

2. Asas Suatu Perjanjian

  Sistem pengaturan hukum kontrak adalah sistem terbuka ( open system ), artinya bagi bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur Undang- Undang. Bila dalam perjanjian tidak sesuai dengan maksud para pihak, maka kita harus berpaling pada ketentuan

  Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata agar perjanjian yang patut dan pantas sesuai dengan asas kepatutan yang membawa pada keadilan. Karena pada hakekatnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu

  57

  karena menurut Ridwan Khairandy ada tiga ( 3) asas yaitu : a.

  Asas Konsensualisme ( The Principles Of The Consensualism ) b.

  Asas Kekuatan mengikat Kontrak (The Principles Of The Binding Force

  Of Contract ) c.

  Asas Kebebasan Berkontrak (The Principles Of The Freedom Of

  Contract )

  Sementara itu Indonesia menganut beberapa asas yang dalam hukum

  58

  perjanjian, namun secara umum asas perjanjian ada lima, yaitu :

  57 Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, ( Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia , 2004 ), hal 38

  58 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung : Alumni, 1983 ), hal 108 a.

  Asas Kebebasan Berkontrak Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh tidak melanggar undang- undang, dan ketertiban umum dan serta kesusilaan.Dalam perkembangannyahalini tidak lagi bersifat muthlak tetapi relatif (kebebasan berkontrak yang dapatbertanggung jawab).Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistemterbuka. Pasal- pasal dalam hukum perjanjian sebagaian besar dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan- ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal- pasal hukum perjanjian, namun bila mereka tidak mengatur sendiri soal mereka ( para pihak ) mengenai soal itu tunduk padaundang- undang dalam hal ini Buku III KUHPerdata. Jika dipahami secaraseksama maka asas kebebasan berkontrakmemberikan kebebasan kepada para pihak untuk Membuat atau tidak membuat perjanjian :

  1) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya 2) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan Namun syarat tersebut boleh dilakukan dengan tidak melanggar undang- undang ketertiban umum, dan kesusilaan.

  b.

  Asas Konsensualisme Perjanjian lahir atau terjadi dengan adanya kata sepakat ( Pasal 1320, Pasal 1338 KUHPerdata ) hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak.

  c.

  Asas mengikat suatu perjanjian ( pacta sunt servanda ) Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi yang membuatnya ( Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata).

  d.

  Asas Iktikad Baik Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik ( Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata).

  Iktikad baik ada dua, yakni : 1) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan.

  2) Bersifat subjektif, artinya ditentukan sikap batin seseorang.

  e.

  Asas Kepribadian ( Personalitas) Asas ini diatur dan dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1315 Kitab

  Undang- Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “ Pada umumnya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian kecuali untuk dirinya sendiri” Pada Pasal 1315 menunjuk pada asas personalitas, namun lebih jauh dari itu,ketentuan Pasal tersebut menunjukkan kewenangan bertindak dari seorang yang membuat atau mengadakan perjanjian yang secara spesifik menunjuk pada kewenangan bertindak sebagai individu pribadi sebagai subjek hukum pribadi yang mandiri, yang memiliki kewenangan bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri.

  Pengecualian terdapat dalam Pasal 1317 KUHPerdata tentang janji untuk pihak ketiga.

  Namun, menurut Mariam Darus Badrulzaman ada 10 ( sepuluh ) asas

  59

  perjanjian yaitu :

59 Mariam Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan , ( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,

  2001), hal 93

  a. Kebebasan mengadakan perjanjian

  b. Konsensualisme

  c. Kepercayaan

  d. Kekuatan mengikat

  e. Persamaan hukum

  f. Keseimbangan

  g. Kepastian hukum

  h. Moral i. Kepatutan j. Kebiasaan

D. Berlakunya Perjanjian

  Di dalam KUHPerdata membedakan tiga Golongan untuk berlakunyaPerjanjian :

  60 1.

  Perjanjian berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian, pada asasnya perjanjian yang dibuat hanya berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian itu dan ini merupakan asas pribadi seperti apa yang tercantum Pasal 1315 jo Pasal 1340. Selanjutnya akan kita lihat lebih jelas pada Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata,bahwa persetujuan-persetujuan akan berlaku antara pihak-pihak yangmembuatnya. Oleh karena itu apa yang diperjanjikan oleh pihak-pihak merupakan undang- undang bagi pihak tersebut, setiap perubahan, pembatalan atau perbuatan-perbuatan hukum lainnya yang ada kaitannya dengan perjanjian itu harus mendapat persetujuan bersama dan sama sekali tidak diperkenankan dilakukan secara sepihak.

  2. Perjanjian berlaku bagi ahli waris dan mereka yang mendapat hak, yaitu perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak suatu saat kemungkinan dapat pula diberlakukan pada ahli waris, dan juga berlaku pada mereka yang mendapat hak.

60 Ibid, hal 122

  Berlakunya bagi ahli waris dengan asas hak umum dan sifatnya kuantitatif, artinya semua ketentuan yang ada dalam perjanjian segala akibatnya akan jatuh kepada ahli waris. Akibat tersebut bisa merupakan hak atau kewajiban.Berlakunya bagi mereka yang memperoleh Hak dengan asas hak khusus dan sifatnya kualitatif, artinya ketentuan dari perjanjian yang jatuh pada mereka yang memperoleh hak- haknya perjanjian dengan kualitas tertentu atau khusus hak-hak saja.

  3. Perjanjian berlaku bagi pihak ketiga, yaitu perjanjian berlakunya untuk pihak ke tiga dalam arti adanya janji bagi kepentingan pihak ke tiga (derdenbeding ).

  Pada asasnya perjanjian berlaku bagi mereka yang membuat dan merupakan asas pribadi. Namun bila kita lihat Pasal 1340 ayat (2)KUHPerdatadijelaskan bahwa persetujuan tidak boleh menguntungkan dan merugikan pihak ke tiga, kecualimengenai apa yang diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata, yaitu janji kepentingan bagi kepentingan pihak ketigadalam hal:

  a. Jika seorang memberi sesuatu pada orang lain

  b. Jika seseorang membuat janji demi kepentingan diri sendiri Dengan demikian dapat kita ketahui berlakunya perjanjian secara garis besar adalah perjanjian berlaku pada para pihak yang membuat perjanjian, dan berlaku bagi para ahli waris yang mendapatkan hak, serta perjanjian berlaku bagi pihak ketiga.

E. Pembatalan dan Hapusnya Suatu Perjanjian

1. Pembatalan Suatu Perjanjian

  Dalam pembahasan mengenai syarat- syarat sahnya suatu perjanjian telah disebutkan sebelumnya dikatakan bahwa apabila suatu syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian batal demi hukum, sedangkan tentang syarat subyektif, perjanjian baru dapat dibatalkan apabila diminta kepada hakim. Menurut KUHPerdata pengertian pembatalan perjanjian digambarkan dalam dua bentuk

  61

  yaitu : a.

  Pembatalan Mutlak (absolute nietigheid ) Pembatalan mutlak (absolute nietigheid ) yang dimaksud adalah suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh salah satu pihak, dimana perjanjian seperti ini dianggap tidak pernah ada sejak semula terhadap siapapun juga. Misalnya, terhadap suatu perjanjian yang akan diadakan tidak mengindahkan

  61 cara yang dikehendaki oleh Undang- Undang secara mutlak.

  Suatu perjanjian adalah batal mutlak apabila kausa bertentangan dengan kesusilaan ( geode zeden ), bertentangan dengan ketertiban umum (openvareorde), ataupun dengan Undang- Undang. Misalnya, penghibahan benda tidakbergerak harus dengan akte notaries, perjanjian perdamaian harus dibuat secara tertulis, konsekuensinya adalah terhadap perjanjian- perjanjian tersebut batal demi hukum.

61 R. Subekti, Hukum Perjanjian, ( Jakarta : Pembimbing Masa, 1980), hal 36

  62 ibid hal 40 b.

  Pembatalan Relatif ( relatif nietigheid ) Pembatalan relatif ( relatif nietigheid ) adalah suatu perjanjian yang tidak batal dengan sendirinya, tetapi perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalan kepada hakim oleh pihak- pihak yang merasa dirugikan.

  Pembatalan relatif ini dapat dibagi menjadi dua macam pembatalan, yaitu : 1) Pembatalan atas kekuatan sendiri, maka kapan hakim diminta supaya menyatakan batal ( nieting verklaard ) misalnya dalam perjanjian yang diadakan oleh seorang yang belum dewasa atau dibawah umur, pengampuan atau yang berada dibawah pengawasan curatele.

  2) Pembatalan belaka oleh hakim yang putusannya harus berbunyi ‘ membatalkan’ misalnya dalam hal perjanjian yang terbentuk secara paksaan, kekeliruan ataupun penipuan.

  Pasal 1446 ayat ( 1 ) KUHPerdata menyatakan : “ semua perikatan yang dibuat oleh orang- orang yang belum dewasa atau orang- orang di bawah pengampuan adalah batal demi hukum dan atas penuntutan yang dimajukan oleh atau dari pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata- mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya “

  Pasal 1446 ayat ( 2) KUHPerdata menyatakan :

  “ perikatan- perikatan yang dibuat oleh orang- orang perempuan yang bersuami dan oleh orang- orang belum dewasa yang telah mendapat suatu pernyataan persamaan dengan dewasa, hanyalah batal demi hukum, sekedar perikatan- perikatan tersebut melampaui kekuasaan mereka “

  Jika pada waktu pembatalan ada kekurangan mengenai syarat subjektif, maka sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa perjanjian itu bukanlah batal demi hukum tetapi dapat diminta pembatalannya oleh salah satu pihak, pihak

  63 mana adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum.

  Dengan demikian ketidakcakapan dan ketidakbebasan seseorang dalam memberikan perizinan dalam suatu perjanjian memberikan hak kepada pihak yang tidakcakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakat untuk meminta pembatalan perjanjian, dengan pengertian bahwa pihak lawan dari orang- orang tersebut tidak boleh meminta pembatalan itu, sebab hak meminta pembatalan hanya ada pada satu pihak saja yaitu pihak yang oleh Undang- Undang diberi perlindungan itu.

  Adanya kekurangan tentang syarat subjektif adalah tidak dengan begitu mudah dapat diketahui, jadi harus dimajukan oleh pihak- pihak yang berkepentingan. Undang- Undang memberi kebebasan kepada pihak- pihak yang berkepentingan, apakah ia mengkehendaki pembatalan perjanjian atau tidak.

  Walaupun Undang- Undang telah memberikan hak untuk meminta pembatalan kepada pihak- pihak yang merasa dirugikan, namun hal tersebut akanhilang jika batas waktu yang ditentukan oleh Pasal 1456 KUHPerdata, tidak dipergunakan. Dimana hak meminta pembatalan itu oleh Pasal 1454 KUHPerdata dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu yaitu 5 ( lima) tahun, waktu mana mulai berlaku dalam hal ketidakcakapan suatu pihak sejak orang ini menjadi cakap menurut hukum.

63 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas- Asas Hukum Perdata, ( Bandung : Alumni,

  1992 ), hal 58

2. Hapusnya Suatu Perjanjian

  Dalam Pasal 1381 KUHPerdata disebutkan cara hapusnya perjanjian yaitu sebagai berikut : a.

  Pembayaran Istilah pembayaran tidak selalu harus diartikan terbatas pada pelunasan hutang semata- mata, karena bila ditinjau lebih jauh pembayaran tidak selamanya harus terbentuk sejumlah uang atau barang tertentu. Pembayaran dapat juga dilakukan dengan pemenuhan jasa atau pembayaran dalam bentuk yang tidak berwujud, pembayaran prestasi dapat pula dilakukan dengan melakukan sesuatu.

  Timbulnya alasan untuk melakukan pembayaran adalah adanya perjanjian itu sendiri. Pembayaran harus didahului oleh tindakan hukum yang menimbulkan hubungan hukum baik.