BAB I PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELECTORAL - ISI BUKU PARTAI POLITIK4

BAB I PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELECTORAL

  

P OLA H UBUNGAN P ARTAI DAN P EMILIH

KOMPETENSI

Dalam bab ini mahasiswa diharapkan dapat menggambarkan dan memahami konteks

sosial, budaya, dan politik masyarakat di tingkat lokal. Dalam konteks sosial, mahasiswa

diharapkan mampu menggambarkan dan memahami realitas sosial baik dari sisi

pendidikan, ekonomi maupun relasi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Lebih jauh

mahasiswa diharapkan dapat memahi peran masyarakat sesuai dengan kondisi sosial

masing-masing. Dalam konteks budaya, mahasiswa diharapkan dapat menggam-

barkan dan memahami norma, adat, dan kebiasaan masyarakat di tingkat lokal.

Selanjutnya, dengan memahami budaya masyarakat, mahasiswa mampu memahami

dinamika kehidupan khas masyarakat di tingkat lokal. Dalam konteks politik,

mahasiswa dihapkan dapat menggambarkan dan memahami realitas politik di tingkat

lokal baik itu pola afiliasi maupun perilaku politik yang terjadi dalam setiap pemilu.

BAB I PARTAI POLITIK: POLITIK ALIRAN DAN KONDISI ELECTORAL P ETA

  politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

A. Politik Aliran

  Politik aliran merupakan istilah umum yang dipakai ketika merujuk pada term “political cleavages”, walau sebenarnya agak kurang tepat namun karena ketiadaan padanan kata yang serupa, politik aliran dipakai untuk memberi arti pada term political cleavages tersebut. Sejak pertama kali konsep politik aliran ini dikemukakan oleh penemunya yaitu Cliford Geertz, walau dengan beragam kritik, sampai sekarang politik aliran terus menjadi alat utama dalam studi politik Indonesia. Dalam rangka menjelaskan kesinambungan politik aliran ini, hal pertama yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita mendefinisikan dan menjelaskan politik aliran secara jernih. Geertz memberi pemahaman secara inplisit pada pola politik aliran

  

P OLA H UBUNGAN P ARTAI DAN P EMILIH

  sebagai bentuk pentranlasian pembilahan socio-religy yaitu: santri— abangan—priyayi kedalam bentuk institusi politik berupa partai politik Islam dan Nasionalis. Oleh karena itu juga menjadi penting bagaimana kita menjelaskan karakter partai Islam dan partai Nasionalis: asal usulnya ideologi, isu-isu apa yang diperjuangkannya serta siapa basis kelompoknya.

  Sejak pemilu demokratis pertama yang dilaksanakan tahun 1955 para ilmuan menganggap bahwa politik aliran tetap menjadi faktor utama yang mempengaruhi perilaku politik pemilih, dan berlangsung sampai pada pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 dibawah rezim represif Orde Baru. Melangkah ke paruh ketiga politik Indonesia (Orde Reformasi) kekuatan politik aliran masih dianggap punya pengaruh terhadap perilaku politik di Indonesia, namun sudah mulai terjadi polemik antara mereka yang mendukung dan yang membantah. Sebagai contoh kasus, kutub yang tetap mendukung politik aliran direpresentasikan Dwight King (2003), dalam bukunya, “Half-Hearted

  

Reform, Electoral Institutions and th Struggle fo Democracy in Indonesia ,

  dan Anis Baswedan (2004), dalam tulisannya yang berjudul “Sirkulasi

  

Suara Dalam Pemilu 2004 ”. Sementara kutub yang berlawanan

  direpsentasikan William Liddle dan Saiful Mujani dalam karyanya “Leadership, Party and Religion: Explaining Voting Behavior in Indonesia”.

  King (2003) menyajikan sebuah diskusi yang menarik, dengan menggunakan analisis statistik berupa teknik analisis bivariate dan

  

multiple regression untuk membandingkan hasil pemilu 1955 dan

  pemilu 1999. Data yang digunakan adalah data agregat nasional hasil pemilu, dan data geografis yang diuji dengan indikator-indikator seperti urbanisasi, akitivitas pemerintah, keislaman, angka melek hurup, faktor ketidak merataan (inequality), dan program pembangunan. Kesimpulan yang dihasilkan adalah “adanya keberlanjutan politik aliran seperti fenomena pemilu 1955 Orde Lama ke pemilu 1999 Orde Reformasi.” Begitu juga dengan Baswedan (2004), dengan meng- adopsi metodanya King berusaha membandingkan pola dukungan pemilih pada pemilu 1999 dan 2004. Baswedan menemukan adanya korelasi signifikan antara dukungan untuk partai Islam di setiap Kota dan Kabupaten selama dua pemilu. Secara sama, partai Nasionalis dan Kristen mendapat dukungkan kuat di daerah daerah yang merupakan basis dukungan PDI-P. Kesimpulan yang dikemukakan

  

P ARTAI P OLITIK : P OLITIK A LIRAN DAN K ONDISI E LEKTORAL

  adalah “pada tingkat masyarakat masih ditemukan pola politik berbasis aliran, perubahan politik lintas aliran tidak ditemukan dalam pemilu 2004.”

  Hasil yang berbeda dengan apa yang ditemukan King dan Baswedan, Liddle dan Mujani justru menemukan bahwa pengaruh orienasi keberagamaan atau aliran (pelaksanaan keberagamaan seorang muslim), pada suara hasil pemilu tahun 1999 dan 2004 sangat terbatas. Justru Liddle dan Mujani menemukan bahwa faktor kepe- mimpinan menjadi faktor signifikan yang mempengaruhi perilaku politik pemilih. Hal ini dijelaskan oleh Liddle dan Mujani sebagai dampak dari berkembangnya media massa khususnya televisi sampai ke pelosok-pelosok daerah. Temuan ini berusaha mematahkan pan- dangan umum yang selama ini berkembang dalam mengkaji Indonesia dari mulai Geertz 1950an sampai dengan King dan Baswedan.

  Apakah temuan Liddle dan Mujani ini akan menjadi sebuah para- digma baru dalam menjelaskan perilaku politik Indonesia, akan sangat bergantung pada seberapa besar dukungan dari masyarakat, khusus- nya masyarakat akademis sebagaimana yang dikemukakan Khun.

1. Aliran Geertz

  Jika partai politik menginginkan dirinya relevan secara sosial, dan secara demikian bisa membangun basis sosialnya, maka partai harus mengaitkan dirinya dengan cleavages yang ada. Secara umum cleavages bisa bersumber dari agama, etnik, bahasa, budaya, maupun geografis. Di Indonesia, tidak seperti di negara Barat, dimana cleavage berdasar kelas tidak begitu berpengaruh, justru cleavage agamalah 1 1 (aliran) yang paling dominan dibanding dengan cleavages yang lain.

  

Kajian mengenai hubungan anatra cleavage dan partai politik banyak dilakukan oleh para

ilmuwan politik, seperti Seymour Lipset dan Stein Rokkan, Bartolini, dan Sartori. Seymour

Lipset dan Stein Rokkan meyakini bahwa partai politik memainkan peran signifikan dalam

terbentuknya political cleavages. Karena mereka menganggap bahwa perbedaan struktur sosial

tidak serta merta ditranslasi menjadi perbedaan politik yang signifikan. Mobilisasi oleh partai-

partai politik justru merupakan bagian yang amat penting dalam transformasi struktur sosial

yang berbeda menjadi mengeras dan mendorong terbentuknya political cleavages. Studi Bartolini

yang lebih kontemporer, misalnya, menunjukkan bahwa ketika sebuah cleavage (kelas, agama,

atau etnik misalnya) menjadi terorganisasi, maka cleavage ini akan menjelma menjadi kekuatan

politik yang otonom dan berpengaruh. Studi klasik Sartori juga menunjukkan bahwa partai

politik (kiri) bukanlah ‘akibat’ dari eksistensi kelas ekonomi. Sebaliknya, partai politik lah yang

mengeraskan perbedaan kelas, melalui proses sosialisasi politik yang membentuk kesadaran kelas.

  

P OLA H UBUNGAN P ARTAI DAN P EMILIH

  Pengaruh kelas terhadap perilaku politik tidak signifikan karena di Indonesia tidak mengenal stratifikasi kelas berdasarkan pada status sosial ekonomi, dan persepsi kelas secara subjektif tidak dikenal dalam masyarakat desa, khususnya dalam istilah Marxis. Jika dipahami, konteks kelas dalam masyarakat Jawa, mungkin dapat dijelaskan 2 dalam kerangka birokrasi, bukan dalam kontek Marxis. Orang-orang hanya mengenal dua pembeda mengenai individu dalam masyarakat yaitu wong cilik (orang kecil) dan wong gedhe (orang besar), yaitu orang- orang yang berkerja di birokrasi atau priyayi. Oleh karena itu, istilah seperti “kiri,” “liberal,” tidak dipahami dalam istilah tata bahasa di 3 Indonesia.

  Melalui pendekatan Budaya, Clifford Geertz (1960) dalam pene- litiannya di Mojokuto Jawa Timur, menyusun kategorisasi masyarakat kedalam trikotomi yaitu Santri, Priyayi, dan Abangan. Penelitian jenis antropologi yang dilakukan Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953 4 sampai September 1954 ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Trikotomi Agama Jawa itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa adalah kemampuan mendes- kripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh 2 atas ketiga varian tersebut.

  

Lihat Afan Gaffar, Javanese Voters, A Case Study of Election Under s Hegemonic Party

3 System , Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. Hlm. 9.

  

Hilang nya istilah kiri bisa ditelusuri kebelakang ketika massa Soekarno dan Soeharto. Partai

Komunis Indonesia (PKI) sebagai partai ‘kiri’ hilang di Indonesia setelah dihancurkannya pada

tahun 1965. Juga dengan ditekannya Partai Sosialis Indonesia (PSI) oleh Sukarno dan juga

Suharto. Dampak dari hilangnya elemen kiri ini, partai dengan ideologi yang programatik menjadi

tidak ada Karena itu, attachment agama atau attachment yang bersifat primordial lain menjadi

lebih dominan. Literatur mengenai sistem politik yang mapan, terutama di Eropa, selalu

menampakan spektrum ideologis partai-partai politik yang konsisten: kiri-tengah-kanan. ‘Kiri’

berarti mendukung peran negara yang dominan dalam ekonomi dan kesejahteraan (bersifat

sosialistik, belum tentu sinonim dengan komunis), ‘tengah’ adalah moderat, dan ‘kanan’ adalah

kelompok liberal yang berusaha mengeliminir peran negara (singkatnya tidak setuju subsidi dan

4

pajak yang tinggi misalnya) dan berusaha mengembalikan kapital lewat aktifitas masyarakat (pasar).

  

Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan

penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi

  

P ARTAI P OLITIK : P OLITIK A LIRAN DAN K ONDISI E LEKTORAL

  Hasil perenungan Geertz sampai pada kesimpulan bahwa santri adalah kelompok muslim yang taat dalam menjalankan perintah agama. Bagi santri pada tahun 1950-an, taat terhadap agama berarti mengupayakan agar Islam menjadi landasan atau asas bagi penge- lompokan politik, seperti parpol dan negara. Karena itu, mereka men- dirikan parpol berasas Islam, dan pada tahun 1950-an mereka juga mengupayakan agar Indonesia berasaskan Islam. Sebaliknya, Abangan adalah kelompok Muslim yang tidak taat menjalankan kewajiban agama Islam, apalagi memperjuangkan agar negara berasaskan Islam. Bagi Kelompok Abangan, Islam tidak penting dalam kehidupan sosial- politik. Dengan demikian tidak heran apabila kemudian kelompok Abangan lebih terbuka terhadap ideologi politik lain yang dominan di dunia pada waktu itu, yakni komunisme. Sementara Priyayi adalah kelompok Muslim yang secara kultural dekat dengan Abangan, namun yang membedakan mereka adalah dari cara berperilaku yang lebih halus dan datang dari pegawai pemerintah.

  Dikotomi yang terjadi antara Santri (tradisional) dan Abangan, dalam prakteknya keseharian tidaklah ekstrim, karena ada titik temu

  

etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan

birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: Abangan, Santri dan Priyayi.

Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil—

yang penuh dengan tradisi animisme seperti upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk

halus, tradisi pengobatan, sihir dan magis menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan Abangan.

Sementara pasar terlepas dari penguasaan etnis Cina yang tidak menjadi pengamatan Geertz—

diasosiasikan kepada petani kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi

historis dan sosial di mana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan, dan kenyataan

yang menguasai ekonomi Mojokuto. Mereka itulah yang memunculkan subvarian keagamaan

Santri. Terakhir adalah subvarian Priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan

dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis),

maka Priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan

mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk

mengisi birokrasi pemerintahannya. Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan

data-data selama penelitiannya di Mojokuto, kota kecil di Jawa Timur, adalah penguasaan

bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas dengan tim peneliti lain,

pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik.

Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif. Prinsip kerjanya

berdasarkan proposisi bahwa ahli etnografi itu mampu mencari jalan keluar dari datanya, untuk

membuat dirinya sendiri jelas agar para pembaca dapat melihat sendiri bagaimana tampaknya

fakta-fakta itu, dan dengan demikian bisa menilai kesimpulan dan generalisasi ahli etnografi itu

sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri (hal. 9). Meskipun Jawa adalah Jawa yang stereotip

penunjukannya jelas, namun perhatian Geertz mengungkap adanya varian agama Jawa lebih

kepada adanya kompleksitas masyarakat Jawa.

  

P OLA H UBUNGAN P ARTAI DAN P EMILIH

  diantara kedua kutub tersebut. Baik Santri maupun Abangan, kedua- duanya adalah Islam, sehingga dalam kehidupan praktis keagamaan ada momen dan aktivitas yang mempersatukan mereka terutama pada 5 kelompok Santri Islam Tradisional (warga Nahdliyin). =====================================================

  Ortodoks Ortodoks Modern Tradisional Sinkretis

  ____________________________________________________________ Santri Abangan

  Sumber: Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan Pemberontakan, Kasus Darul Islam Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.

  Lebih Jauh Karl D. Jacktion (1978) menempatkan varian Santri kedalam dikotomi Modernis dan Tradisionalis ortodok, dan varian lainnya ditempatkan sebagai sinkretis. Dalam hal ini kelompok Modernis secara politik direpresentasikan oleh Masyumi, PMI (Partai Muslimin Indonesia), dan Muhammadiyah, sementara Tradisionalis 6 ortodok direpresentasikan oleh Nahdatul Ulama. Format politik aliran sebagai mana dikemukakan Geertz, bisa ditelusuri ketika ia mendiskusikan hubungan antara agama dan politik 5 dengan santri jawa di mojokuto sebagai berikut:

  

Peneliti melakukan observasi kedalam masyarakat yang merepresentasikan dari kelompok

Abangan dan Santri. Dari hasil observasi menunjukkan bahwa baik mereka yang Abangan

maupun yang Santri pada acara ritual keagamaan seperi acara tahlilan, yasinan, kajatan, acara

kematian mereka bersatu. Apalagi dalam acara kematian, baik yang Abangan maupun yang

Santri melakukan kerja sama dan sebenarnya masyarakat Abangan secara tidak langsung dalam

acara-acara seperti kematian dan perkawinan mau tidak mau harus bekerja sama dengan yang

Santri untuk mengurus upacaranya. Yang membedakan mereka adalah pada pelaksanaan ajaran

Islam seperti shalat, puasa atau naik haji. Bagi yang Abangan, umumnya mereka tidak menjalankan

shalat dan puasa dalam bulan Ramadhan, apalagi melakukan ibadah Haji. NU mampu

menciptakan mekanisme inklusi sosial yang smooth. Orang Abangan masuk dalam komunitas

Santri secara halus tanpa harus melepas identitasnya semula. Sebab pada praktiknya di desa-

desa, mereka hampir tidak pernah mempermasalahkan secara vulgar apakah sholat lima waktu

atau tidak; puasa penuh di bulan ramadhan atau tidak. Meski hampir selalu ada ceramah agama

6 di dalam forum tahlilan, namun tidak dalam seruan yang keras.

  

Karl D. Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam, Dan Pemberontakan, Kasus Darul Islam

Jawa Barat, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990.

  

P ARTAI P OLITIK : P OLITIK A LIRAN DAN K ONDISI E LEKTORAL

  He went on to talk about the ideology and said that Islam means slamet (well being). Thus Islam means to wish in the heart intensely so as to reach slamet. He said (the Islamic Leader): ‘if we want a slamet life we must go by the Islamic ideology which is based on the Koran and Hadist. To do this.... we struggle in three arenas in the home, in society, and in politics. Politics concerns with how we will be able to group the state. This must be done both by revolt by election. And if be done not by revolt but by election. And if the state police, the civil service, the national radio, the national news paper...and obviously this will be much faster than merely struggling in the home. The change one person can make in twenty years of effort in the 7 home can be made one year through politics”.

  Dengan demikian sangat dipahami apabila orang santri melihat hubungan antara agama dan politik bagaikan hubungan manis dan 8 gula seperti Kyai Besar Isya Anshari kemukakan. Alasan bahwa Islam merupakan petunjuk yang lengkap bagi dunia modern; ini meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Bagi seorang santri untuk menja- lankan Islam secara lengkap mereka harus juga mendukung organisasi sosial politik yang dapat mendukung nilai-nilai Islam dalam masyarakat.

  Dalam pandangan tersebut diatas kita dapat melihat bahwa faktor relogio-kultural dapat menjadi dasar identifikasi untuk seseorang dengan partai politik tertentu. Santri akan mengidentifikasi mereka dengan partai politik yang merefleksikan nilai-nilai ajaran agama, atau paling tidak dengan sebuah partai yang memperjuangkan pelaksanaan nilai-nilai keislaman dalam masyarakat, sementara abangan akan cenderung mengidentifikasikan diri dengan partai politik yang punya pandangan sekuler dan paling tidak menunjukkan budaya abangan atau merefleksikan non-Islam/orientasi politik non- 7 santri. 8 Clifford Geertz, The Religion of Java ( Glencoe, Illiones: The Free Press,1960), p. 368.

  

Alan Samson, Religious Beleifs and Political Action in Indonesia Islamic Modernism, in R.

William Liddle, ed., Political Participation in Modern Indonesia (Yale University Southeast

Asia Studies, Monograph Series, 1973).

  

P OLA H UBUNGAN P ARTAI DAN P EMILIH

2. Potret Aliran Di Tengah Masyarakat Malang

  Di tinjau dari segi keberagamaan, khususnya pemeluk Islam, masyarakat Kota dan Kabupaten Malang terbagi ke dalam dua kelom- pok besar yaitu kelompok masyarakat yang tingkat keberagamaannya minimal (Abangan), dan masyarakat dengan tingkat keberagamaan yang taat (Santri). Lebih jauh, dalam kelompok masyarakat Santri terbagi lagi ke dalam dua kelompok yaitu Santri Modernis dan Santri 9 Tradisional. Santri Modernis biasanya diidentikan dengan Muham- madiyah, sementara Santri Tradisional diidentikan dengan NU.

  Sebagaimana umumnya Daerah di wilayah Provinsi Jawa Timur, Malang memiliki banyak pondok pesantren, mulai dari yang 10 tradisional sampai pesantren modern. Pesantren tidak hanya tempat untuk melakukan transfer ilmu keagamaan, namun juga sekaligus mewariskan kultur kepada Santri dan masyarakat dilingkungan pesantren itu. Dalam kultur pesantren, kyai merupakan tokoh sentral sekaligus figure kharismatik yang segala perkataan dan perbuatan menjadi contoh dan panutan masyarakat. Legitimasi religius yang dimiliki oleh sosok kyai, secara sosial sangat penting dalam menjamin ketertiban dalam masyarakat, namun karena sifat kepemimpinannya yang patron-client sangat sulit untuk menumbuhkan kehidupan demokratik yang menjamin adanya independensi dari Pemilih.

  Walaupun kultur masyarakat Santri kelihatan semarak, namun sisi lain masyarakat Kota dan Kabupaten Malang masih banyak sekali perilaku abangan. Bahkan dalam realitasnya, antara mereka yang tergolong Santri dibanding dengan Abangan, secara kuantitatif masih 9 sedikit lebih banyak masyarakat yang teridentifikasi sebagai abangan.

  

Terkait dengan Santri Modernis di Kota dan Kabupaten Malang, yang paling menojol adalah

Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Hijbutahrir, sementara Persis tidak begitu menonojol. Namun

dalam aktivitas politik Hijbutahrir tidak berperan aktif. Hijbutahrir berpendapat bahwa politik

sekarang tidak cocok dengan syariat Islam, karena bagi mereka konsep khilafah paling sesuai

dengan Islam. Hasil wawancara dengan salah satu anggota Hijbutahrir pada bulan Desember

10 2008, di rumahnya di Taman Embong Anyar I Kabupaten Malang.

  

Yang dimaksud dengan pesantren tradisional adalah pesantren yang dalam pengelolaannya

sangat sederhana baik dari segi bangunan fisik maupun teknik pengajarannya. Umumnya

pesantren tradisional ini sangat mengandalkan pada kyai dalam pengelolaan pesantren, sementara

pesantren modern sudah baik dalam sarana dan prasarana maupun dalam sistem pengajaran,

akan tetapi kultur pesantren masih melekat. Sebagai contoh Pesantren modern Al-hikam yang

ada di Jengger Ayam Lowok Kota Malang yang didirikan oleh Ketua Umum PB NU, KH.

Hasyim Mujadi.

  

P ARTAI P OLITIK : P OLITIK A LIRAN DAN K ONDISI E LEKTORAL

  Bukti nyata dari besarnya kaum Abangan ini, ketika pemilu, mayoritas dari masyarakat memilih partai Nasionalis, khususnya PDIP dalam pemilu 1999 maupun 2004. Sementara, kalau dilihat dari sisi kultur, Santri yang banyak di temui di Kota dan Kabupaten Malang adalah Santri Tradisional yang umumnya berafiliasi dengan partai-partai yang punya kedekatan secara sosiologis maupun historis dengan 11 organisasi Islam Tradisional yaitu NU. Selain punya banyak varian dalam perilaku keberagamaan, masyarakat Kota dan Kabupaten Malang juga punya keragamaan dalam etnis, seperti Arab, Cina, Madura, Sunda, Bugis Makasar, ter- masuk etnis utamanya yaitu Jawa. Walaupun pluralitas etnis di Kota dan Kabupaten Malang tergolong tinggi, namun konflik horizontal 12 yang melibatkan etnis boleh dibilang jarang terjadi. Walaupun demikian, masih terdapat sekat-sekat yang membatasi komunikasi sosial dan politik antar etnis ini, sehingga perlu adanya pengembangan 13 wacana multi-kulturalisme di Kota dan Kabupaten Malang. Disamping mempunyai tingkat keragaman sosial, ekonomi, budaya, suku/ras, dan agama yang tinggi, Malang juga mempunyai letak geografis yang upayas bagi pertahanan dan keamanan serta 11 faktor historis politis yang penting khususnya masa Orde Lama. Oleh

  

Pada pemilu 1999 dan 2004 umumnya kelompok Santri Tradisional di Kota dan Kabupaten

Malang berafiliasi dengan Partai Kebangkitab Bangsa. Hal ini bisa dibuktikan dari kemenangan

12 signifikan PKB dibanding dengan partai-partai lain yang punya kedekatan dengan NU.

  

Menurut hasil observasi penulis, selama tinggal di Malang, etnis pendatang yang paling

dominan adalah etnis Madura. Kelompok etnis ini tidak hanya berhasil masuk dan sukses di

dunia perdagangan, namun juga di bidang politik, birokrasi, dan pendidikan. Di bidang pendidikan

misalnya di Unibraw, pimpinan tertingginya, hampir tidak pernah diganti oleh orang selain dari

etnis madura, di birokrasi pemerintahan, pada tahun 2002 sampai dengan 2008, dan di Kabupaten

Malang Wakil Bupati peride 2005-2010 yang sekaligus sebangai Ketua DPD Golkar termasuk

etnis Madura. Menurut saya, yang menjadikan etnis Madura bisa diterima di Kota dan

Kabupaten Malang, walaupun ada resistensi secara laten akibat perilaku yang sedikit agresif,

dikarenakan adanya kesamaan agama dan kesamaan kultur yaitu kultur pesantren yang sangat

13 menghargai kyai.

  

Wacana multikulturalisme, khsusunya mulai pasca reformasi sebenarnya sudah banyak

dilakukan baik oleh generasi muda NU maupun Muhammadiyah. Generasi NU dalam

pengembangan Multikulturalisme ini dilakukan dengan membuat sekolah demokrasi, sementara

generasi muda Muhammadiyah banyak dilakukan di Kampus-kampus dengan menyelenggarakan

berbagai seminar dan diskusi yang melibatkan berbagai tokoh dari beragam agama. Hasil observasi

terhadap generasi muda NU yang dimotori aktivis PMI dan pemuda Muhammadiyah di Kota

dan Kabupaten Malang.

  

P OLA H UBUNGAN P ARTAI DAN P EMILIH

  karena itu Kota dan Kabupaten Malang menjadi tolak ukur keamanan dan ketertiban baik di tingkat regional Jawa Timur maupun Nasional. Kondisi tersebut membawa Malang menjadi tempat bagi lokasi 14 penempatan kekuatan militer dan pemusatan latihan.

  

3. Fondasi Sosial Budaya Yang Menopang Berkembangnya Politik

Aliran di Malang

  Kota dan Kabupaten Malang merupakan bagian dari wilayah provinsi Jawa Timur. Berdasarkan karakter budaya yang dimilikinya, provinsi Jawa Timur dapat dibagi menjadi 10 wilayah kebudayaan, yaitu tlatah kebudayaan besar ada empat; Jawa Mataraman, Arek, Madura kepulauan, Pandalungan. Sementara tlatah yang kecil terdiri atas Jawa Ponoragan, Samin (sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), 15 dan Madura Kangenan (Ayu Sutarto, 2004). Masing-masing kelompok etnik tersebut memiliki identitas masing-masing, disamping keung- gulan atau kelebihan baik yang terkait dengan produk maupun kinerja kulturalnya.

  Tlatah kebudayaan Jawa Mataraman berada di sebelah barat. Wilayahnya paling luas, membentang dari perbatasan Provinsi Jawa Tengah hingga kabupaten Kediri. Wilayah ini mendapat pengaruh kuat dari kerajaan Mataram, baik pada masa Hindu-Budha maupun era kesultanan Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta dan Surakarta. Karena itu wilayah ini mempunyai kemiripan dengan budaya masyarakat Yogyakarta dan Surakarta. Wilayah Budaya Mataraman dibagi lagi menjadi Mataraman Kulon, Mataraman Wetan, dan Mataraman Pesisir. Pembagian ini didasarkan pada jejak sejarah dan budaya lokal yang berkembang. Ciri yang paling mudah untuk mengenali ketiga wilayah Mataraman ini bisa dikenali melalui 14 bahasa yang dipergunakan. Dari segi kedekatan budaya dengan Jawa

  

Beberapa instalasi militer yang ada di Kota dan Kabupaten Malang, antara lain Korem 083

Baladhika Jaya, Kodim Kota, Kodim Kabupaten, Ajudan Jenderal Kodam, Resimen Induk

Milliter Kodam V Brawijaya, Hukum Kodam Brawijaya, Dodik Bela Negara Kodam Brawijaya,

Bataliyon Pembekalan dan Angkutan Divisi 2 Kostrad, Bataliyon Infanteri 512/QY, Perhubungan

Kodam V Brawijaya, Bataliyon Altileri Medan I, Divisi Infanteri 2 Kostrad. Bataliyon Kavaleri

Serbu, Bataliyon Infanteri 502 Kostrad, Brgadir Infanteri 18 Kostrad. Hasil Observasi selama

15 penelitian ini dilaksanakan di Kota dan Kabupaten Malang.

  

Untuk lebih lengkapnya lihat Ayu Sutarto, Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan, http//

catalogue.nla.gov.au

  

P ARTAI P OLITIK : P OLITIK A LIRAN DAN K ONDISI E LEKTORAL

  Tengah, Mataraman Kulon lebih kuat. Bahasa jawa yang diperguna- kan lebih halus jika dibanding dengan bahasa Jawa Mataraman Wetan, yang wilayahnya bekas Keresidenan Madiun.

  Samping Timur Mataraman merupakan tlatah budaya Arek. Sisi Timur Kali Brantas menjadi batas antara wilayah Mataraman dan Arek. Tlatah budaya Arek membentang dari utara ke Selatan, dari Surabaya hingga Malang. Setelah industrialisasi masuk, menjadi tempat tujuan bagi pendatang yang menjadikannya daerah ini sebagai tempat peleburan budaya di Jatim. Meski luas wilayahnya hanya 17% dari keseluruhan luas Jatim, hampir 49% aktivitas ekonomi Jatim ada di wilayah arek. Dengan demikian budaya Arek ini merupakan sentuhan dari aneka kultur baik lokal maupun asing, dan membentuklah komunitas Arek. Masyarakat yang berkultur Arek ini terkenal dengan semangat juang tinggi, mempunyai solidaritas kuat, terbuka terhadap perubahan, mau mendengarkan saran orang lain, dan mempunyai tekad dalam menyelesaikan segala persoalan melalui cara yok opo

  enake , ( baca: solusi agar sama-sama senang). 16 Komunitas budaya terbesar ke tiga adalah Madura. Wilayah-

  nya adalah Madura. Karakteristik kultur warganya pun berbeda dengan masyarakat di tlatah Mataraman. Menurut Kuntowijoyo (2002), keunikan Madura adalah bentukan ekologis tegal yang khas, yang berbeda dari ekologis sawah di Jawa. Pola pemukiman terpencar, tidak memiliki solidaritas desa, sehingga membentuk ciri hubungan sosial terpusat pada individual, dengan keluarga inti sebagai dasarnya. Karakteristik lingkungan dan budaya inilah yang membuat banyak orang madura berimigrasi ke daerah lain, terutama Jawa Timur bagian Timur. Oleh karena itu dari Jawa Timur bagian timur ini bisa dikatakan sebagai tanah tumpah darah kedua orang Madura Pulau. Lingkungan bermukim orang Madura yang berdampingan dengan orang Jawa, kawasannya disebut Pandalungan. Menurut Prawiroatmojo (1985), kata pandalungan berasal dari kata dasar “dhalung” artinya periuk besar. Wadah bertemunya budaya sawah dengan budaya tegal 16 atau budaya Jawa dengan budaya Madura, yang membentuk budaya

  

Orang-orang Madura dikenal sebagai pekerja keras, tekun, dan ulet sehingga menarik perhatian

Pemerintah Kolonial Belanda (Sutjipto, 1983; Kusnadi, 2001) dalam Ayu Sutarto, Sekilas

Tentang Masyarakat Pandalungan, http//catalogue.nla.gov.au

  

P OLA H UBUNGAN P ARTAI DAN P EMILIH

  Pandalungan. Hasilnya, masyarakat yang berciri agraris-egaliter, bekerja keras, agresif, ekspansif, dan memiliki solidaritas yang tinggi, tetapi masih menempatkan pemimpin agama Islam sebagai tokoh sentral. Daerahnya meliputi Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, 17 Bondowoso, Lumajang, dan Jember. Sementara wilayah di ujung Timur, yaitu Banyuwangi. Daerah ini merupakan pertemuan tiga budaya yaitu Jawa, Madura, dan Osing. Budaya Osing merupakan warisan kebudayaan Kerajaan Blambangan (abad ke-12) merupakan sentuhan dari budaya Jawa Kuno dan Bali. Orang-orang Osing dikenal sebagai petani rajin dan seniman andal. Tari Gandrung merupakan simbol dari budaya Osing. Komunitas budaya lainnya adalah Tengger dan Samin. Orang Tengger tinggal di dataran tinggi Tengger dekat gunung Bromo. Mereka mepertahan- kan adat istiadat Hindunya, sedangkan orang samin tinggal di daerah Bojonegoro yang berbatasan dengan Jawa Tengah.

  Dalam peta budaya masyarakat Malang masuk dalam wilayah “Mataraman” akan tetapi secara kultural lebih banyak dan dekat dengan budaya “Arek”. Menurut sejarah kerajaan, Malang masuk 18 17 dalam daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. Oleh karena itu

  

Dalam konsteks geopolitik dan geokultural, masyarakat pandalungan merupakan bagian dari

masyarakat tapal kuda. Masyarakat tapal kuda adalah masyarakat yang bertempat tinggal di

daerah tapal kuda, yakni suatu kawasan di Provinsi Jawa Timur yang membentuk lekukan

mirip ladam atau kasut besi kaki kuda. Kawasan ini memiliki karakteristik tertentu dan telah

lama menjadi kantong pendukung Islam kultural dan kaum abangan. Pendukung Islam kultural

dimotori oleh para kyai dan ulama, sementara kaum abangan dimotori oleh tokoh-tokoh politik

dan tokoh-tokoh yang tegabung dalam aliran kepercayaan. Secara garis besar ciri-ciri masyarakat

pandalungan adalah sebagai berikut: 1). Sebagian besar agraris tradisional, berada dipertengahan

jalan antara masyarakat tradisional dan masyarakat industri; dan tradisi dan mitos mengambil

tempat yang dominan dalam kesehariannya. 2). Sebagian besar masih terkungkung tradisi lisan

tahap pertama (primary orality) dengan ciri-ciri suka mengobrol, ngerasani (membicarakan aib

orang lain), takut menyimpang dari pikiran dan pendapat yang berlaku umum. 3). Terbuka

terhadap perubahan dan mudah beradaptasi. 4). Ekspresif, transparan, tidak suka memendam

perasaan atau berbasa basi. 5). Paternalistik: keputusan bertindaknya mengikuti keputusan

yang diambil oleh para tokoh yang dijadikan panutan. 6). Ikatan keluarga sangat solid sehingga

penyelesaian masalah seringkali dilakukan dengan cara keroyokan. 7). Sedikit keras dan

18 temparamental. Lihat Ayu Sutarto, Ibid.

  

Oleh karena itu ketika membicarakan budaya arek tidak lepas dari kebudayaan mataraman,

karena kerajaan Mataram juga memberikan kontribusi. Di antaranya, munculnya ragam bahasa

bertingkat karena munculnya raja-raja baru yang mendorong posisi mereka yang berbeda dari

rakyat jelata -terlepas dari dampak baik atau buruk. Hal itulah yang memunculkan perdebatan

sekaligus ambiguitas berbahasa dalam wilayah budaya Arek. Mataram berhasil menaklukkan

Surabaya pada 1625 Masehi, setelah 30.000 orang Surabaya dihadapkan kepada 70.000 tentara

  

P ARTAI P OLITIK : P OLITIK A LIRAN DAN K ONDISI E LEKTORAL

  masyarakat Malang memiliki produk kebudayaan yang tidak jauh berbeda dari komunitas Jawa yang tinggal di Surakarta dan Yogyakarta yang juga merupakan daerah kekuasaan Kerajaan Mataram. Masya- rakat Jawa Mataraman ini pada umumnya masyarakat yang tinggal di wilayah Kabupaten Ngawi, Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Magetan, Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten dan Kota Blitar, Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tuban, Kabupaten Lamongan, dan Kabupaten Bojonegoro.

  Dilihat dari pola kehidupan sehari-harinya masyarakat Malang mempunyai sebagaimana pola kehidupan seperti orang Jawa pada umumnya. Pola bahasa Jawa yang digunakan, meskipun tidak sehalus masyarakat Surakarta dan Yogyakarta, mendekati kehalusan dengan masyarakat Jawa yang terpengaruh kerajaan Mataram di Yogyakarta. Begitu pula pola cocok tanam dan sistem sosial yang dianut sebagai- mana pola masyarakat Surakarta dan Yogyakarta. Pola cocok tanam dan pola hidup di pedalaman Jawa Timur, di sebagian besar, memberi warna budaya Mataraman tersendiri bagi masyarakat ini. Sedangkan selera berkesenian masyarakat ini sama dengan selera berkesenian masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam masyarakat Jawa Mataraman ini banyak jenis kesenian seperti ketoprak, wayang purwa, campur sari, tayub, wayang orang, dan berbagai tari yang berkait dengan keraton seperti tari Bedoyo Keraton. Sementara, sebagai masyarakat yang mempunyai kultur areknya, masyarakat Malang dikenal mem- punyai semangat juang tinggi, terbuka terhadap perubahan, dan mudah beradaptasi. Komunitas Arek juga dikenal sebagai komunitas 19 yang berperilaku bandha nekat. Malang juga merupakan kota tujuan

  

Mataram. Di situlah awal hegemoni Kerajaan Mataran dengan segala konsekuensi budayanya

dimulai. Pembukaan lahan untuk permukiman maupun untuk penanaman pohon yang bisa

diperdagangkan merupakan awal terbentuknya kampung. Pada era kolonialis Belanda, kampung

terbentuk sebagai manifestasi segregasi kelompok etnik agar mudah dikendalikan. Untuk lebih

19

jelasnya lihat Autur Abdillah, Perjalanan Panjang Budaya Arek, Jawa Pos, Selasa, 30 Oktober 2007.

  

Perilaku bandha nekat ini disatu sisi bisa mendorong munculnya perilaku patriotik, tetapi di

sisi lain juga menimbulkan sikap destruktif. Semenjak adanya kompetisi sepak bila Nasional

(Liga Indonesia), perilaku bonek sangat bisa ditemui pada saat laga sepak bola yang melibatkan

kesebelasan AREMA. Para suporter Arema dalam mendukung tim kesayangannya sangat tinggi,

namun juga kerap menimbulkan masalah karena sering terjadi tawuran bahkan tindakan destruktif.

Hasil observasi pada pendukung kesebelasan Arema, ketika melakukan pertandingan di stadion

Gajayana Kota Malang, pada tahun 2004-2007.

  

P OLA H UBUNGAN P ARTAI DAN P EMILIH

  dari daerah lain seperti Gresik, Mojokerto, Jombang, Sidoarjo, Blitar, Probolinggo, Jember, dan sebagainya.

  Melihat kenyataan tersebut di atas, Kerajaan Majapahit dan Mataram menjadi penting dalam membicarakan masyarakat Malang yang mempunyai kultur “arek”. Kerajaan Majapahit memberikan kontribusi pada tiga hal: Pertama, bahasa tunggal yang tidak memiliki tingkatan dalam berbahasa yang digunakan dalam wilayah budaya Arek. Kedua, pola kekuasaan yang dipimpin atau diserahkan pada warga lokal. Ketiga, wilayah budaya Arek merupakan jangkar bagi Majapahit untuk menguasai wilayah lainnya di Jawa Timur dan sekitarnya. Kerajaan Mataram juga memberikan kontribusi, seperti munculnya ragam bahasa bertingkat karena munculnya raja-raja baru yang mendorong posisi mereka yang berbeda dari rakyat jelata, 20 terlepas dari dampak baik atau buruk.

  Dalam peta wilayah budaya Jawa Timur, budaya Arek terletak di sisi timur Kali Brantas. Dengan demikian, budaya Arek meliputi Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jombang, Malang, termasuk Kediri dan Blitar yang dibatasi oleh Pare ke timur. Meski tidak bersifat matematis, kedelapan wilayah tersebut—aliran Kali Brantas ke timur— menentukan lahirnya budaya Arek. Surabaya dan Malang dianggap sebagai pusat pusat budaya Arek, kedua wilayah tersebut memiliki beberapa kesamaan. Pada masa pemerintahan kolonial, Belanda memperlakukan konstruksi arsitekturnya secara sama dalam 21 beberapa hal, misalnya bentuk-bentuk bangunan dan nama daerah. Posisi Kota dan Kabupaten Malang menjadi pintu gerbang bagi arus informasi, pendidikan, perdagangan dari luar Malang, hal ini menyebabkan masyarakat Kota dan Kabupaten Malang relatif terbuka dan heterogen. Yang menarik komunitas Arek ini dengan sikap keterbukaaannya itu bisa menerima berbagai model dan jenis kesenian apa pun yang masuk ke wilayah ini. Berbagai kesenian Tradisional hingga modern cepat berkembang di wilayah ini. Kesenian Tradisional (rakyat) yang banyak berkembang di sini adalah Ludruk, Srimulat, wayang purwa Jawa Timuran (Wayang Jek Dong), wayang Potehi 20 (pengaruh kesenian Cina), Tayub, tari jaranan, dan berbagai kesenian 21 Kompas, 21 Juli 2008.

  Ayu Sutarto, Sekilas Tentang Masyarakat Pandalungan, http//catalogue.nla.gov.au

  

P ARTAI P OLITIK : P OLITIK A LIRAN DAN K ONDISI E LEKTORAL

  bercoral Islam seperti dibaan, terbangan, dan sebagainya. Sementara kesenian modern berbagai gaya, corak, dan paradigma berkembang pesat di Kota dan Kabupaten Malang. Seni rupa bergaya realisme, naturalisme, surialisme, ekspresionisme, pointilisme, dadaisme, dan instalasi berkembang pesat di wilayah ini. Begitu pula model teater, tari, musik, dan sastra kontemporer sangat pesat perkembangannya 22 di wilayah Arek ini. Sikap keterbukaan, egalitarian, dan solidaritas tinggi itu mendorong berbagai kesenian macam apa pun bisa berkembang di Kota dan Kabupaten Malang sebagai wadah budaya 23 Arek. Di sisi lain, agama Islam menjadi nilai dasar sosial yang penting di Kota dan Kabupaten Malang. Dimana dalam struktur sosial masyarakat Kota dan Kabupaten Malang, kyai ditempatkan menjadi aktor penting sekali dalam kehidupan masyarakat. Sistem pendidikan pesantren dan tradisi pendidikan pesantren, seperti sorogan dalam pelajaran di pesantren menempatkan kyai menjadi agen penting dari kehidupan sosial sosio-ekonomi masyarakat Kota dan Kabupaten Malang. Oleh karena itu tidak heran apabila kesenian yang berkem- bang di wilayah Kota dan Kabupaten Malang banyak diwarnai nilai- nilai Islam. Mulai dari tari Zafin, Sandur, Dibaan, dan sebagainya.

  Karena kyai dan pesantren ditempatkan sebagai posisi upayas dalam sistem sosial masyarakat Kota dan Kabupaten Malang, maka kyai dan pesantren seringkali menjadi agen penting dalam masyara- kat. Bahkan dalam banyak hal kyai dan pesantrennya, secara kultural, bisa pula sebagai agen pembaharuan dalam masyarakat Kota dan Kabupaten Malang. Oleh karena itu banyak sastra modern yang dipengaruhi sastra Timur Tengah berkembang di sekitar pesantren dan kyai ini. Para penyair modern dan sajak-sajak modernnya berkembang di sekitar komunitas Santri ini. 22 Ketika ditelusuri lebih jauh, budaya arek yang melatar belakangi budaya di kawasan Kota dan

  

Kabupaten Malang lahir dari perpaduan berbagai aliran budaya: Hindu, Budha, Islam,

Mataraman, Kristen, dan Kolonial. Perpaduan budaya tersebut, menurut Ratna Indraswati

Ibrahim, cerpenis Malang, membuat orang Malang lebih egaliter, terbuka, toleransi, dan memiliki

rasa percaya diri yang tinggi. Keterbukaan sikap masyarakat arek semakin terlihat setelah Kota

Malang berkembang menjadi kota pendidikan, pariwisata, peristirahatan, dan militer.

23 www.siwah.com Kompas, 21 Juli 2008.

  

P OLA H UBUNGAN P ARTAI DAN P EMILIH