Kekerasan Terhadap Anak Di Dunia

Kekerasan Terhadap Anak Di Dunia Pendidikan
Banyk kasusu kekerasan yang terjadi di indonesia dari kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan dalam masyarakat,
kekerasan militer terhadap sipil bahkan sampai dalam kekerasan
terhadap anak didik. KEKERASAN guru terhadap siswa bukan cerita
lama. Terakhir kasus seorang guru Bahasa Inggris di Karanganyar yang
menendang siswanya hingga gegar otak, masih segar dalam ingatan
masyarakat pemerhati pendidikan. Beban tugas guru yang berat,
kesejahteraan yang belum baik, rendahnya “kecerdasan” emosional, dst,
merupakan salah satu sebab mengapa guru bisa berbuat khilaf dengan jalan
menebarkan aroma kekerasan di dalam kelas. Pada sisi yang lain pengaruh
gaya hidup TV, rendahnya perhatian orangtua terhadap para kelakuan dan
sopan santun anaknya, perilaku konsumtifisme, narkoba, minuman keras,
dan perilaku ”ngoboy” lainnya, merupakan sederetan sebab mengapa para
siswa zaman sekarang juga susah di atur.
Dua sisi yang sangat ekstrem dari si guru dan siswa tersebut jika bertemu,
maka akan terjadi benturan (fisik).
Singkatnya banyak siswa yang stres dan mencoba bunuh diri, sementara
yang lain mencoba membakar dan merusak gedung sekolahnya, ketika tidak
lulus ujian. Tampak bahwa dunia pendidikan di tanah air seakan tidak ramah
terhadap perasaan dan nurani para siswa. Salah satu tujuan

diselenggarakannya pendidikan sebagai sarana pemerdekaan dan
pembebasan, hanya akan berada di awang-awang.
Pendidikan ahirnya hanya menghasilkan manusia cerdas namun seperti
robot di satu sisi, dan manusia stres pada sisi lain. Sistem ranking, sistem
penilaian, kebijakan yang tidak pernah konsisten, sistem dan proses
pembelajaran yang monoton searah dan instruktif dari guru, menyebabkan
anak-anak merasa tidak lagi “at home” di sekolahnya.
Stres itu belum usai, di rumah sudah menanti ”monster” yang bernama
ambisi orang tua. Di teras sudah menunggu guru les, ada les bahasa Inggris,
piano, matematika, tari, dst, dengan setumpuk buku dan latihan soal yang
membosankan.
Benar kata Wapres bahwa untuk bisa menjadi bangsa yang maju arus ada
kerja keras. Namun pertanyaannya, apakah sekolah dan sistem ujian
sekarang ini sudah menunjukkan ke arah usaha kerja keras yang
sesungguhnya? Sikap kerja keras tidak bisa dijalani dengan cara meniadakan
rasa bahagia anak. Kerja keras bukan sekadar menghafal ratusan definisi

dan latihan soal ala LKS (Lembar Kerja Siswa), namun juga melibatkan
kecerdasan emosi anak.
Pembinaan kecerdasan emosi dilakukan dalam rangka untuk : 1).

Menemukan pribadi, yakni memfasilitasi siswa untuk mengenali kekuatan
dan kelemahan dirinya sendiri. Siswa menerimanya secara positif dan
dinamis dalam rangka pengembangan dirinya lebih lanjut; 2). Mengenal
lingkungan: guru memfasilitasi siswa agar mengenal lingkungannya seperti
lingkungan sosial, ekonomi, budaya, dst dan menerima sebagai berbagai
kondisi lingkungan itu secara positif dan dinamis; 3).
Merencanakan masa depan: guru memfasilitasi siswa agar mereka dapat
merencanakan masa depannya. Menurut Carl Witherington, ada empat hal
yang harus diketahui guru untuk mengetahui emosi siswanya, yakni: 1).
Aspek emosi yang terlihat oleh mata seperti gemetar, takut sehingga
matanya terbelalak, menggeretakkan gigi untuk mengekspresikan rasa
marah dst; 2). Emosi yang ditunjukkan oleh sikap kurang senang, senang,
benci; 3). Ungkapan-ungkapan atau umpatan dari siswa; dan 4).
Kecenderungan emosi yang bersifat kualitatif, misalnya dirangsang oleh
individu lain hingga timbul rasa senang, benci, jijik, malu, marah, dan
sebagainya. Umumnya anak-anak dari golongan ekonomi lemah yang mudah
tersulut emosinya, meskipun anak dari keluarga mampu, juga
memperlihatkan gejala serupa.
Anak-anak dari golongan ekonomi lemah akhirnya harus putus di tengah
jalan, atau “layu sebelum berkembang”. Hasil penelitian Silverstein dan

Krate di lingkungan “ghetto” (dalam Megawangi, 1993) juga menunjukkan,
bahwa anak-anak dari golongan ekonomi lemah harus rela mendapatkan
lingkungan sekolah yang jelek. Demikian pula lingkungan tempat tinggal
yang kumuh menyebabkan mereka memiliki sifat ambivalen, terlalu cepat
dewasa (precocious independent), pasrah (submissive), dan kurang percaya
diri serta penghargaan pada diri rendah (low self esteem).
Hasil penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Goldens dan Birns
(dalam Megawangi, 1993) menunjukkan bahwa hasil tes IQ dari berbagai
kelompok strata sosialekonomi anak usia di bawah dua tahun tidak ada
perbedaan yang berarti. Dengan kata lain anak dari keluarga ekonomi lemah
memiliki potensi yang relatif sama dengan anak dari golongan ekonomi
mampu.
Dengan kata lain, siswa-siswa di kota-kota besar sangat rawan terhadap
pengaruh lingkungan yang buruk. Hal inilah yang menyulitkan guru-guru d
kota-kota besar untuk mendidik siswanya. Ivan Illich atau Paulo Freire pernah
mengkritik bahwa sekolah formal itu milik kaum pemodal dan tidak berpihak
kepada kaum papa. Sekolah formal pada akhirnya hanya alat legitimasi

untuk melanggengkan kekuasaan dengan jalan menciptakan kelas-kelas
sosial. Bahkan Freire menyebut sebagai kekuatan untuk melanggengkan

“kebudayaan bisu”.
Demikian pula Betrand Russell (1993) pernah mengatakan bahwa mestinya
pendidikan itu lebih mempertimbangkan hubungan komunitas daripada
hubungan individu, meskipun tujuan pendidikan untuk membudayakan
individu agar kapasitasnya berkembang maksimal.
Randall Collins dalam “The Credential Society: An Historical Sociology of
Education and Stratification” mengatakan bahwa bukti-bukti empiris
menunjukkan bahwa pendidikan formal merupakan awal dari proses
stratifikasi sosial.
Sketsa singkat di atas rasanya pantas untuk dijadikan renungan para
penentu kebijakan pendidikan, agar di masa depan generasi muda Indonesia
mendapatkan sistem pendidikan yang tidak saja mampu meningkatkan
kecerdasan hidup, namun juga mampu memberikan bekal keterampilan
hidup, pandangan hidup dan nilai-nilai kehidupan yang merangsang
kecerdasan emosi dan spiritualnya. Bangsa ini tidak ingin lagi mendengar
ada siswa bunuh diri gara-gara tidak lulus ujian atau tidak dapat membayar
SPP. UYA (https://sur1ya.wordpress.com/catatan-suriya/kekerasan-terhadapanak-di-dunia-pendidikan/)
Apakah memukul atau menampar siswa di sekolah diperbolehkan atas nama pendidikan? Apa
batasannya?
Pertanyaan inilah yang menjadi salah satu diskusi di media sosial setelah kasus ayah pukul guru

di Makassar mendapat perhatian di media sosial. Kasus penganiayaan guru tentu salah di mata
hukum, tetapi apakah guru memukul siswa dibenarkan?
Guru SMAN 2 Makassar bernama Dasrul dilaporkan mengalami pemukulan oleh Adnan Ahmad,
orang tua siswa yang tidak terima dengan cara Dasrul mendisplinkan anaknya di sekolah.
Dalam Facebook BBC Indonesia, pengguna dengan akun Jefri mengaku heran mengapa ada
orang-orang yang mengagungkan kekerasan sebagai pendisiplinan karena menurutnya kekerasan
tidak mendidik, malah hanya menciptakan ingatan buruk.


Kasus ayah pukul guru di Makassar picu debat soal kekerasan dan pendidikan



'Sekolah sehari penuh' dianggap kontraproduktif

"Saya tanya apa yang kalian dapat dari kekerasan itu? Kalian ingat tidak kalian dipukul karena
apa? Tidak kan? Karena yang kalian ingat itu seberapa keras pukulannya dan sesakit apa
rasanya," tulisnya.

Tapi ada pula yang berpendapat sebaliknya. Misalnya Ardhi Hakim Sidik: "Saya dipukul

perutnya sampai muntah sama senior dan guru [...] Saya tidak pernah mengadi ke orang tua
karena semua itu bagian dari pendidikan!"

Ditoleransi?
Hak atas foto Reuters Image caption Pendidikan keras, kata Mujahir, bisa
membentuk siswa yang 'tahan banting'.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendy, dikutip berbagai laporan menyatakan
bahwa 'sanksi fisik dapat ditoleransi' dalam batas tertentu. Pendidikan keras, kata Muhajir, bisa
membentuk siswa yang 'tahan banting'. Tidak dijelaskan secara pasti apa batas 'sanksi fisik'
tersebut namun pernyataan ini telah menuai berbagai kritik.
"Sanksi fisik OK?... jangan-jangan Pak Profesor ini mengira kita hidup di abad 19," kata penulis
Rene Suhardono dalam Twitternya. Dosen Filsafat Universitas Indonesia, Tommy F. Awuy
mengatakan, "saat dunia lagi dilanda teror kekerasan fisik, Mendikbud yang baru menyatakan
sanksi fisik di sekolah dalam batas tertentu bisa ditoleransi... ck ck ck."
Untuk mencari tahu lebih jauh apa batasnya, BBC Indonesia bertanya pada pakar pendidikan
Arief Rachman. Dia mengatakan kekerasan di sekolah dalam konteks apapun tidak
diperbolehkan. "Yang jelas menampar tidak boleh dong. Menjewer kalau kultur jaman dulu
masih bisa diterima sekarang ada hak asasi manusia, dianggap tidak (boleh)."
"Kekerasan di seluruh dunia tidak boleh. Definisi kekerasan dalam pendidikan adalah hukuman

(yang) terasa keras bagi anak sehingga anak merasakan sakit. Hukuman dalam pendidikan kan
harusnya memberikan kesadaran untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi."
Hak atas foto Getty Image caption Menurut Anda apakah menjewer anak di sekolah
diperbolehkan?

'Kedudukan guru itu mulia'
Tapi ini istilah kekerasan ini berbeda konteks dengan hukuman fisik. Hukuman fisik (bisa berarti
push-up, lari keliling lapangan, membersihkan atau menyapu perpustakaan) diperbolehkan dalam
konteks pendidikan dan sebaiknya disepakati bersama oleh guru dan murid serta diinformasikan
juga pada orang tua, kata Arief.
Dia mengatakan marah sekali dengan kejadian yang terjadi di Makassar. "Kalau guru dianiaya
orang tua, berarti orang tua tidak menghormati guru itu, anaknya juga tidak akan hormat dengan
guru. Tapi (di sisi lain) guru-guru juga harus dilatih bagaimana caranya menghukum."
"Guru yang profesional tidak boleh terbakar oleh emosi yang dirangsang dari lingkungan. Maka
itu guru kedudukannya mulia, karena walau dimaki dihina dia bisa menahan diri. Dua-duanya
mungkin ada kelirunya. Tapi saya lihat gurunya sampai (berdarah-darah) seperti itu, saya marah

betul. Keterlaluan."
(http://www.bbc.com/indonesia/majalah/2016/08/160812_trensosial_kekerasan_sekolah)


Abstrak
Pendidikan merupakan proses untuk mengembangkan potensi yang dimiliki
oleh manusia agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Guna mencapai tujuan tersebut,
diperlukan kondisi belajar yang kondusif dan jauh dari kekerasan. Namun dewasa ini kita sering
dikejutkan dengan berbagai macam kasus mengenai kekerasan yang terjadi dalam dunia
pendidikan (school bullying). Kasus ini seakan seperti fenomena gunung es yang terlihat sedikit
di permukaan, namun akan terlihat lebih besar jika kita teliti lebih dalam.
Penelitian ini mencoba mengungkap tentang fenomena kasus kekerasan
tersebut dengan menggunakan metode analisis isi dalam media news website
okezone.com. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana bentuk
kekerasan, faktor yang mendasari tindakan kekerasan, jenjang pendidikan yang
paling banyak terjadi kasus tindakan kekerasan serta siapa yang paling sering
menjadi korban dan pelaku kekerasan.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa bentuk
kekerasan yang sering terjadi dalam pendidikan adalah berupa kekerasan fisik, yang banyak
dilakukan di jenjang pendidikan SMA, sementara kekerasan psikis dan seksual banyak terjadi di
jenjang pendidikan SD dan SMP. Faktor yang paling
banyak berpengaruh adalah nafsu birahi. Kekerasan dalam dunia pendidikan lebih banyak

dilakukan oleh guru kepada anak didiknya dan laki-laki lebih banyak
berperan dalam terjadinya kasus-kasus kekerasan tersebut, baik sebagai korban maupun pelaku.
Selain hal tersebut diatas, penelitian ini juga memberikan solusi mengenai
bagaimana caranya untuk meminimalisir tindakan kekerasan dalam dunia
pendidikan. Salah satunya adalah dengan menerapkan konsep humanisasi dalam pendidikan.
Yaitu menjadikan anak didik sebagai subjek pendidikan, bukan sebagai objek. Serta peran
memaksimalkan kembali peran orang tua, guru, lingkungan, danmedia massa agar lebih berperan
aktif dan positif terhadap adanya kasus-kasus kekerasan tersebut.
(http://fisip.unsoed.ac.id/content/kekerasan-dalam-dunia-pendidikan-studi-analisis-isi-kasuskekerasan-dalam-dunia-pendidikan-p)

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

Analisis Konsep Peningkatan Standar Mutu Technovation Terhadap Kemampuan Bersaing UD. Kayfa Interior Funiture Jember.

2 215 9

ANALISIS PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP NILAI PERUSAHAAN (Studi Empiris Pada Perusahaan Property dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia)

47 440 21

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Efek Pemberian Ekstrak Daun Pepaya Muda (Carica papaya) Terhadap Jumlah Sel Makrofag Pada Gingiva Tikus Wistar Yang Diinduksi Porphyromonas gingivalis

10 64 5

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4