92649875 Analisis Teori Hubungan Internasional

Ringkasan, Perenungan, dan Analisis Teori Hubungan Internasional I
Nama: Tangguh Dept. Ilmu Hubungan Internasional NPM:
0706291426 Universitas Indonesia
Realis-Liberal-Neorealis-Neoliberal-Strukturalis
Sek
ilas
Rin
gka
san
Rea
lis
me
Realisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang menganggap
bahwa sifat manusia belum tentu baik baik: kemungkinan terbaik, manusia memiliki
kapasitas baik dan buruk yang sama; kemungkinan terburuk, manusia memiliki
hasrat instingtif untuk mendominasi orang lain. Sehingga, perang selalu menjadi
kemungkinan. Tanggung jawab tiap negara adalah menyediakan pertahanan dan
keamanannya. Kebijaksanaan atau tindakan nasional diukur dari apakah ia menjadi
perpanjangan kepentingan nasional, yang paling sering didefinisikan sebagai
penambahan kekuatan dalam berbagai bentuk, yang paling khusus kekuatan militer.
Perdamaian tidak dapat dijamin, namun dapat diperoleh karena balance of power

akan membuat negaranegara mencari jaminan keamanan dan kepentingan mereka
dengan bersekutu dengan negara lain yang lebih kuat. Realisme mengutamakan
kebijakan luar negeri daripada kebijakan domestik, pemeliharaan kekuatan militer
yang besar, dan penekanan pada nasionalisme. Realisme juga mengutamakan
negara sebagai aktor internasional uniter dengan proses pembuatan keputusan
tunggal, pada pokoknya rasional dalam tindakannya, dan berargumen bahwa
keamanan nasional adalah isu internasional paling penting. 1
Liberalisme
Liberalisme adalah pendekatan dalam ilmu hubungan internasional yang,
secara ontologis, memiliki asumsi-asumsi dasar sebagai berikut. Pertama, sifat
manusia dalam hukum alam adalah baik, rasional, dan mampu bekerja sama.
Kedua, manusia lebih memilih damai daripada konflik. Ketiga, demokrasi adalah
sistem pemerintahan terbaik. Keempat, negara dibentuk oleh manusia dan oleh
karena itu mampu menuruti hukum alam yang sama dengan manusia. Liberalisme
mempertanyakan batas-batas kewajiban negara dalam alam domestik dan
Hal. 1

internasional;

membawa


kemungkinan

sistem

internasional

yang

damai;

membutuhkan pertanyaan tentang aktor utama, keuntungan, dan level analisis dalam
ilmu hubungan internasional; menekankan pentingnya internasionalisme melalui
tajuk liberalisme internasional; dan sangat erat dengan studi etika politik
internasional dan keadilan internasional.
Secara epistemologis, liberalisme mengelaborasi hubungan negara dengan
masyarakat serta pengaruhnya terhadap perilaku negara dalam politik dunia. Individu
dan perilaku mereka dalam berbagai level masyarakat menjadi domain penjelasan
atas tindakan negara. Dinamika masyarakat menciptakan preferensi negara, yang
amat penting dalam politik dunia. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, aktor

nonnegara adalah entitas yang penting dalam politik dunia. Kedua, negara bukanlah
aktor uniter. Ketiga, negara bukanlah aktor rasional. Keempat, politik internasional
memiliki banyak agenda yang dapat menjadi bahasan. 2
Neorealisme
Neorealisme menjawab tantangan liberalisme dengan revisi terhadap teori
realisme secara radikal. Neorealisme terinspirasi dari model konstruksi teori Imre
Lakatos dan teori mikroekonomi; yang pertama membawa teori asumsi minimal
sementara yang kedua membawa determinan struktural terhadap perilaku negara.
Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, sistem internasional bersifat anarki,
karena tidak ada otoritas sentral untuk memaksakan tata tertib. Kedua, dalam sistem
yang demikian, kepentingan utama negara adalah keberlangsungannya sendiri,
sehingga negara akan memaksimalisasi power mereka khususnya kekuatan militer.
Karena power tersebut bersifat zero-sum, negara menjadi ‘posisionalis defensif’,
sehingga struggle for power adalah karakteristik permanen hubungan internasional
dan konflik bersifat endemik. Dan oleh karena itu, kerja sama antarnegara menjadi
sulit atau bahkan tidak mungkin sama sekali. Kalaupun ada, itu pun di bawah kondisi
hegemoni suatu negara dominan yang menggunakan power-nya untuk menciptakan
dan memaksakan peraturan institusional.3
Neoliberalisme
Neoliberalisme memiliki dasar yang serupa dengan neorealisme, pertama,

karena ia menganggap anarki internasional sangat penting dalam membentuk
perilaku negara, namun anarki bukanlah satu-satunya penentu tingkat maupun sifat
kerja sama internasional. Kedua, negara juga tetap menjadi aktor paling penting
Hal. 2

dalam politik dunia. Ketiga, asumsi bahwa negara secara esensial hanya memiliki
kepentingan terkait dirinya sendiri juga tidak berubah. Namun, sebagai perpanjangan
dari asumsi pertama, interdependensia dan kepentingan bersama pun bukanlah
satu-satunya, melainkan bahwa tidak adanya otoritas sentral dunia membuat
perjanjian-perjanjian rawan cheating, biaya kerja sama menjadi tinggi, dan informasi
menjadi sangat terbatas. Sehingga, negara-negara membentuk institusi atau rejim
internasional untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut. 4
Strukturalisme
Strukturalisme adalah perspektif ‘bottom up’ ilmu hubungan internasional yang
dipengaruhi Marxisme. Asumsi-asumsi dasarnya adalah, pertama, ‘sifat dasar
manusia’ tidak tetap maupun esensial, namun terkondisikan melalui masyarakat.
Kedua, subjek dapat dikelompokkan menjadi kolektivitas yang dapat diidentifikasi
dan dapat pula dikatakan memiliki kepentingan konkrit. Ketiga, ‘strukturalisme adalah
sains’. Keempat, tidak ada perbedaan jelas antara nasional (dalam negeri) dan
internasional


(luar

negeri).

Strukturalisme

memandang

bahwa

tata

dunia

kontemporer dikonstruksi oleh sistem kapitalis global dan sistem antarnegara yang
berhubungan. Ciri fundamental tata dunia ini adalah ketidaksamaan yang didasarkan
eksploitasi kapitalisme. Strukturalisme memandang kelas sebagai aktor dominan
dalam hubungan internasional, namun tidak melupakan peran negara sebagai
perpanjangan kepentingan kelas. Aktor-aktor institusional dipandang berperan

membantu melegitimasi dan memelihara struktur yang ada. Berbagai varian
strukturalisme adalah teori dependensia dan teori world-systems.
Assessment: The Clash of Perspectives
Sebagaimana epistemologi ilmu Barat yang menganut pendekatan dikotomis,
ilmu hubungan internasional, terutama American school, selalu terstruktur atas debat
antara dua perspektif utama yang paling signifikan pada masanya. Pascaperang
Dunia II hingga 1980-an, debat tersebut berkisar antara realisme dan liberalisme,
dua perspektif yang mengaplikasikan teori rational choice namun mencapai
kesimpulan yang secara radikal berbeda tentang hubungan internasional. Pada
1980-an, terjadi pergeseran menuju dua debat utama antara, pertama, neorealisme
dengan neoliberalisme, yang sama-sama teori rasionalis namun berbeda secara
ideasional, dan kedua, rasionalisme dengan critical theory, yang berbeda secara
holistik dari asumsiasumsi epistemologis, metodologis, ontologis, maupun normatif.
Hal. 3

Bahkan Pascaperang Dingin, poros debat ini masih mengalami pergeseran menuju
dua debat baru antara, pertama, rasionalisme dengan konstruktivisme dan, kedua,
konstruktivisme dengan critical theory, yang memunculkan antitesis terhadap
rasionalisme dan positivism serta kritik metateoritis. (Setelah ini pun, penulis
berasumsi bahwa debat ilmu hubungan internasional ini akan terus mengalami

pergeseran, seiring aplikasi metode inkuiri Socrates dalam bidang ilmu ini yang akan
selalu menghasilkan sintesis teori baru setelah dua perspektif yang saling antitesis
saling dibenturkan.)
Mengapa selalu terjadi debat? Karena metode inkuiri Socrates? Karena
dialektika Hegel? Karena pemahaman postpositivis? Karena relativitas ilmu sosial
yang rentan menghadirkan krisis dan anomali, yang pada akhirnya akan selalu
melahirkan paradigma baru? Karena teori-teori ini bersifat konfliktual? Karena ada
kepentingan-kepentingan yang bersifat soft power, sehingga langkah-langkah
intervensionis dalam diskursus ilmu pun diambil (seperti “pembersihan” terhadap
para guru besar universitas)? Entahlah. Yang pasti, penulis sangat meyakini bahwa
tradisi debat dalam ilmu hubungan internasional ini akan terus berlanjut.
Karena sifatnya yang sangat inheren dalam ilmu hubungan internasional, mengikuti
perkembangan debat ini menjadi sangat menarik. Dalam esai ini, penulis akan
menitikberatkan fokus analisis pada debat yang mengawali tradisi debat dalam ilmu
hubungan internasional: “bapak”-nya debat HI, realisme-liberalisme.
Realisme vs Liberalisme: Nasib Dua Perspektif Konfrontatif
Realisme dan liberalisme sepertinya memang sudah ditakdirkan untuk menjadi
pasangan tesis-antitesis sempurna. Dimensi ontologis kedua perspektif ini nyaris
bertolak belakang satu sama lain, meskipun mungkin pada awal kelahirannya kedua
perspektif ini tidak dimaksudkan untuk saling berlawanan. Thomas Hobbes, sebagai

pelopor intelektual perspektif realisme, menulis di Inggris abad ke-17 yang sedang
dilanda perang saudara. Hobbes, yang terkonstruksi oleh lingkungan yang teringkas
sebagai state of war, pada akhirnya menekankan ke(tidak)amanan, force, dan
keberlangsungan hidup sebagai salah satu derivasi pandangan pesimisnya terhadap
sifat dasar manusia di tengah sistem yang anarkis. Setengah abad berikutnya,
kesengsaraan yang dirasakan Inggris sudah tidak seperti dahulu lagi, sehingga
kondisi anarki tidak terlalu mengancam seperti dahulu, dan John Locke dapat
berpandangan lebih optimis dengan argumennya bahwa walaupun state of nature
tidak memiliki kedaulatan bersama, masyarakat tetap dapat mengembangkan
Hal. 4

hubungan dan membuat perjanjian. 6 Dapat kita lihat bahwa sejak prekursor awal
terbentuknya kedua perspektif ini sudah sangat berlawanan.
Dalam perkembangannya, kedua perspektif ini pun bagai air dengan minyak.
Dalam tataran asumsi dasar, realisme menyatakan bahwa manusia tidak selamanya
baik, sementara liberalisme menyatakan bahwa manusia bersifat baik secara
inheren. Realisme meyakini bahwa konflik sangat inheren dalam sifat dasar manusia
karena perbedaan kepentingan, sementara liberalisme meyakini bahwa manusia
lebih memilih damai daripada konflik. Nicollo Machiavelli, merepresentasi kalangan
realis, menganjurkan bahwa politik harus dibedakan secara jelas dari moralitas, dan

menekankan politik di atas moralitas (manifestasi politik imoral). Immanuel Kant,
merepresentasi kalangan liberalis, menekankan moralitas di atas politik. Realisme
menekankan konsepsi kedaulatan nasional, sementara liberalisme memandangnya
sebagai sesuatu yang ambigu dan rapuh.
(Senada dengan kritik liberalisme ini, kita dapat melihat bahwa realisme, sebaku
apapun teori umumnya, tetap saja dapat dikatakan tidak matang secara konseptual.
Hal ini dapat ditinjau dari tidak adanya suatu formulasi standar serta adanya suatu
ambiguitas mengenai konsep-konsep fundamental dalam perspektif ini, seperti
power, balance of power, dan kepentingan nasional. Kalangan realis memahami
sistem dunia hierarkis berdasarkan kepemilikan sumber-sumber power. Namun, apa
yang dimaksud dengan power ini? Hans J. Morgenthau membedakannya dengan
influence dan force serta membedakan antara usable dengan unusable power dan
legitimate dengan illegitimate power.7 Namun, perbedaan yang diungkapkannya
setipis kertas, sulit untuk akhirnya sampai pada persetujuan bersama tentang
konsepsi power yang standar.)
(Sama seperti istilah balance of power. Joseph S. Nye mendefinisikannya
antara lain sebagai distribusi power, kebijakan, maupun sistem multipolar. 8 Namun,
Daniel S. Papp mengungkapkan bahwa pengertian pasti istilah ini masih dalam
perdebatan: dalam satu kasus, balance of power berarti dua negara memiliki
kapabilitas yang kira-kira seimbang; namun dalam kasus lain, ia justru berarti ada

suatu ketidakseimbangan; dan dalam kasus lain, ia menggambarkan hubungan yang
dinamis dan berubah.9)
(Serupa dengan konsepsi kepentingan nasional. Papp mengajukan berbagai
pertanyaan yang menunjukkan ambiguitas konsepsi ini, seperti, Siapa di dalam
negara yang mendefinisikan kepentingan nasional? Apakah kepentingan nasional
berubah ketika pemerintahan bertransisi, baik secara damai atau melalui kudeta?
Hal. 5

Kelompok mana di dalam negara yang mendefinisikan negara mana yang
merupakan kawan maupun lawan suatu negara? 10 Dapat kita lihat bahwa
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Papp memiliki gaung liberalisme, yang
berasumsi bahwa negara adalah aktor yang nonuniter dan terfragmentasi. Padahal,
konsepsi kepentingan nasional merupakan konsepsi tolak ukur mendasar dalam
realisme.)
Menjawab kritik di atas, kalangan realis balik menyerang liberalisme. Agenda
politik internasional liberalisme yang sangat plural membuyarkan fokus analisis. Unit
analisis yang sangat jamak dalam negara menjadikan kalangan liberalis sulit
mengagregasi faktor-faktor yang

berperan dalam mengelaborasi fenomena.


Konstelasi pengaruh yang terfragmen dalam aktor-aktornya membuat proses
decision making dalam liberalisme tidak praktis. Asumsi bahwa negara bukanlah
aktor rasional, negara tidak predetermined, dan variasi pada tujuan membuat fungsi
prediksi perspektif ini tidak sepraktis realisme. Banyaknya varian liberalisme, baik
secara filosofis (seperti pasifisme liberal, imperialism liberal, dan internasionalisme
liberal; liberalisme sosial dan liberalisme kosmopolitan; kosmopolitanisme moral dan
komunitarianisme moral; serta liberalisme restraint dan imposition) maupun secara
epistemologis (liberalisme

ideasional,

liberalisme komersial, dan

liberalisme

republikan) membuat sulit menyintesis suatu analisis bersama antara seluruh varian
tersebut, sehingga tidak dapat dilakukan generalisasi.
Kalangan realis menglaim bahwa kalangan liberalis tidak dapat menjelaskan
kontinuitas konflik dan perang yang inheren dalam kehidupan manusia sebagaimana
juga

dalam

pergaulan

internasional

antarnegara.

Mereka

tidak

menerima

argumentasi liberalis yang membedakan fenomena-fenomena yang terjadi dalam
zone of war dan yang terjadi dalam zone of peace. Hal ini disebabkan kalangan
realis meyakini pentingnya satu teori umum yang universal, yang dapat menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional, di manapun ia
terjadi. Kalangan liberalis, sebaliknya, menglaim bahwa kalangan realis cenderung
menjustifikasi dan melegitimasi validitas teorinya melalui fenomena yang terjadi.
Menurut mereka, realis akan terus mempertahankan gagasan ideasionalnya bahwa
manusia akan cenderung berkonflik satu sama lain dengan menyodorkan contoh
berbagai peperangan yang terjadi secara kontinu di dunia, yang bagi liberalis
hanyalah satu aspek dalam politik antarnegara. Liberalis tidak dapat menerima
pandangan

realis

yang

abai

terhadap

berbagai

ancaman

nonmiliter

dan

nontradisional, di mana asumsi liberalis menglaim ekstensivitas agenda yang dapat
Hal. 6

menjadi bahasan politik internasional serta tidak ada dikotomi antara high politics
dengan low politics.

Hal. 7

Realisme dan Liberalisme: Konfrontatif, Mungkinkah Disintesis?
Menurut

penulis,

perspektif

realisme

dan

liberalisme

tidak

selalu

harus

dikonfrontasikan karena berbagai hal. Dalam dimensi ideasional, kita dapat melihat
beberapa overlap dalam konsepsi dasar kedua perspektif ini, salah satunya adalah
gaung realisme dalam pemikiran para pelopor intelektual liberalisme. Kita dapat
melihat bahwa tokoh-tokoh seperti Thomas Hobbes dan Nicollo Machiavelli, tokohtokoh yang berpandangan sangat realis, pun turut menyumbang pemikiran mereka
dalam dimensi ontologis liberalisme. Selain itu, perspektif realisme dan liberalisme
adalah dua pendekatan yang mengadopsi dasar yang sama, yaitu perspektif pilihan
rasional. Sehingga, dalam perbedaan mendasar antara kedua perspektif ini, dapat
dicari peluang sintesis melalui metode inkuiri Socrates. Penulis memandang bahwa
kita tidak dapat memisahkan begitu saja moralitas dan politik, sebagaimana kita
memisahkan kolektivitas, kaidah-kaidah hukum, demokratisasi, dan harmoni dasar
kepentingan antara manusia dan negara dengan konsepsi konkret kepentingan
nasional. Kita memerlukan realisme yang bermoral, realistis, berprinsip, dan
demokratis.
Sebenarnya, usaha serupa pernah dilakukan oleh Robert G. Kaufman. Kaufman
berpendapat bahwa

perhatian

realisme

atas pentingnya

power, geopolitik,

kekurangan manusia, dan ketidakleluasaan anarki membutuhkan faktor-faktor
tambahan dari tradisi kaum idealis. Ia memilih tiga figur penting dalam debat realisidealis: E. H. Carr, dengan argumennya yang menentang Wilson yang memengaruhi
realisme pasca-Perang Dunia II dan perkembangan neorealisme; Winston Churchill,
yang dengan teori kebijakan luar negerinya berhasil mempersatukan aspek-aspek
realisme dan idealisme; serta Reinhold Niebuhr, yang menyumbangkan matriks kritis
tentang disposisi untuk menghubungkan norma-norma moral dengan pertimbangan
kebijakan luar negeri tanpa tergelincir menjadi sinisme maupun utopianisme. Kaum
realis pada masa Morgenthau memahami politik internasional sebagaimana adanya
dan seharusnya dalam pandangan sifat ekstrinsiknya daripada sebagaimana orang
ingin melihatnya, sehingga lembaga domestik tidak boleh dipungkiri. Diskusi
Kaufman mengidentifikasi titik temu pemikiran Carr, Niebuhr, dan Churchill yang
dianggap sebagai kaum realis yang paling menonjol dan ketegangan dengan
pemikiran kaum realis lainnya.11
Bagaimana hasil sintesis ini? Kita belum dapat menyaksikan hasilnya karena
usaha ini masih dalam tahap eksperimental. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa dari

masa ke masa, perkembangan ilmu sosial terjadi melalui proses dialektis sintesis
antara dua pendekatan yang dikotomis. Apalagi, realisme dan liberalisme masih
sangat relevan dalam memandang politik dunia ini, di mana masih banyak akademisi
maupun praktisi yang menggunakannya.

Lampiran
Bagian ini didedikasikan untuk elaborasi teori hubungan internasional yang
berorientasi rekreasi, bukan prokreasi
Masih ingatkah ucapan Ben Parker terhadap keponakannya, Peter Parker,
dalam film Spider-Man? “With great power, comes great responsibility.” Dalam film
tersebut, dikisahkan bahwa Peter menerima kekuatan super dari gigitan seekor labalaba. Ia pun mulai menggunakannya demi kesenangannya sendiri, ia mengikuti suatu
turnamen bela diri untuk mendapatkan hadiah uang yang akan ia gunakan untuk
membeli mobil dan membuat gadis idamannya, Mary Jane Watson, terkesan.
Namun, setelah ia ditipu oleh penyelenggara turnamen tersebut, ia pun mulai
mendengarkan

nasihat

pamannya

tersebut

dan

menggunakannya

untuk

menegakkan kedamaian di kota New York dengan menjadi seorang superhero
berkedok kostum ketat berjaring laba-laba.
Sampai di sini, mari kita identifikasi relevansi film box office ini dengan teori
hubungan internasional. Gunakan perspektif realisme dan analogikan Peter Parker
sebagai suatu negara. Kekuatan laba-labanya merupakan power source-nya. Mobil
dan Mary Jane adalah kepentingan nasionalnya. Penyelenggara turnamen bela diri
tersebut adalah negara lain yang melakukan cheating terhadapnya dalam suatu
perjanjian internasional. Akhirnya, negara “Parker” menjadi polisi dunia dan
menegakkan kedamaian, mulai dari sini gunakan perspektif liberalisme.

Ralisme, Pluralisme dan Strukturalisme
Beberapa teori dalam HI berkonsentrasi pada aktor dalam sistem internasional, dan
hal ini memiliki konsekuensi terhadap pemikiran yang lebih lanjut. Perbedaan pada

actor mana yang lebih dianggap penting dan konsentrasi pada apa yang menjadi
tujuan dari aktor-aktor ini tentu membuat teori seakan tidak menemui kesepakatan
mutlak bahkan bisa jadi bertantangan satu sama lain.
Realisme misalnya berkonsentrasi pada Negara sebagai aktor utama dan tujuan dari
Negara tak lain ada untuk mendapatkan ‘power’ yang sebesar-besarnya. Terkait
dengan realis para pemikir neo-realis (atau realisme baru) dan struktural realis, juga
masih melihat Negara sebagai aktor utama dalam HI, meski pemikiran realisme baru
ini sudah mulai menerima adanya aktor lain yang punya peran di pinggiran.
Berbeda dengan perspektif realis yang percaya bahwa untuk memahami HI, kita
harus memahami tingkahlaku Negara, pemikir pluralis tidak setuju jika aktor
signifikan yang utama dalam HI adalah Negara. Mereka melihat Negara hanyalah
salah satu dari banyak aktor yang sama-sama punya peran penting dalam studi HI.
Mereka tidak hanya menekankan pada pentingnya aktor lain selain Negara seperti
MNCs misalnya, mereka juga skeptis terhadap kekuasaan dan keamanan Negara
terlalu dianggap memiliki peran sentral.
Selain dua pendekatan diatas kita juga mengenal apa yang disebut dengan
pendekatan strukturalis. Strukturalis menekankan pada hal yang berbeda dari kedua
pemikiran diatas. Dari pada berkonsentrasi pada aktor HI, ilmuwan strukturalis lebih
berkonsentrasi pada struktrur dari sebuah sistem. Mereka melihat negara dan aktor
lainnya bertindak dalam batasan sistem yang ada dan karenanya mereka tidak
memiliki kebebasan yang mutlak dalam bertindak. Oleh karena itu para pembuat
keputusan harus berfikir dalam bertindak. Untuk memahami sistem internasional,
bagi strukturalis, kira harus berkonsentrasi pada struktur-struktur yang ada bukan
pada tingkah laku dan pilihan-pilihan tindakan para aktor tersebut.
Realisme dan Peran Sentral Negara
Secara singkat dapat dikatakan bahwa Realisme merupakan pendekatan yang
menekankan pada Power (kekuatan/kekuasaan) dan menganggap negara sebagai
aktor dominan dalam sistem internasional. Power bisa didefinisikan sebagai
kemampuan total dari suatu negara yang meliputi kekayaan alam, kekayaan sintetis
(buatan) hingga kemampuan sosio-psikologi.
Hans J Morgenthau mengatakan pada dasarnya setiap manusia (negara) ingin
mendapatkan power, mempertahankan, dan memperluas kekuasaan jika hal ini
berbenturan dengan yang lain maka akan menimbulkan ’struggle for power’.
Mengacu pada banyak pemikir yang terkait dengan realisme seperti Hans J

Morgenthau, Thomas Hobbes, Thucydides, dan lain-lain, maka pendekatan ini
disebut pula sebagai pendekatan pragmatis dalam politik internasional. Pendekatan
ini pun banyak diperbaharui oleh para teoritisi HI yang bisa dikelompokkan dalam
neo-realisme:
Inti pemikiran Realisme dalam HI dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Negara sebagai pemegan peranan dominan selalu mempunyai kepentingan yang
berbenturan. Perbedaan kepentingan akan menimbulkan perang atau konflik.
2. Power yang dimiliki oleh suatu negara sangat mempengaruhi penyelesaian konflik,
dan menentukan pengaruhnya atas negara lain.
3. Politik

didefinisikan

sebagai

memperluas

power,

mempertahankan,

dan

menunjukkan power.
4. Setiap negara dianjurkan untuk membangun kekuatan, beraliansi dengan negara
lain, dan memecah belah kekuatan negara lain (devide and rule).
5. Perdamaian akan tercapai jika telah terwujud

Balance of Power

atau

Keseimbangan Kekuatan yaitu keadaan ketika tidak ada satu kekuatan yang
mendominasi system internasional.
6. Setiap negara akan selalu bergerak dan berbuat berdasarkan kepentingan
nasionalnya (national interest).
Sementara itu pemikiran neo-realis dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendekatan ini seperti halnya Realisme menekankan pada peranan negara dalam
hubungan internasional tetapi, tetapi mulai mengakui adanya aktor lain yang juga
berperan di pinggiran. Negara memiliki peran sentral sementara aktor lain bersifat
peripheral.
2. Mereka juga melihat power dalam konteks yang berbeda dengan pendahulunya.
Power didefinisikan sebagai konsep relasional. Jadi Negara tidak dianggaap
punya
power dengan sendirinya, melainkan dalam hubungannya dengan Negara lain.
Negara selalu ingin memiliki power lebih dari Negara lainnya.
Pluralisme dan Keberagaman Aktor
Pluralisme tidak puas pada versi pemikiran realis terutama mengenai penekanan
pada actor Negara sebagai pusat dalam HI. Menurut pluralis saat ini Negara tidak
lagi memiliki peran sentral dalam HI, karena banyak aktor lain yang juga memiliki
peranan penting terutama aktor-akor ekonomi .

Berikut inti pemikiran Pluralis:
1. Jika realis berasumsi bahwa Negara ada secara independent dan memiliki
kepentingan sendiri, pluralis menawarkan konsep complex interdependence.
Complex Interdependence bisa diumpamakan seperti jaring laba-laba, yang
dikarakterkan sebagai jaringan yang banyak antara banyak aktor dimana tidak
terdapat hirarki dalam isu yang ada.
2. Pluralis juga menekankan bahwa aktivitas internasional tidak hanya melulu
tentang tingkah-laku Negara akan tetapi juga tingkah laku aktor lain. Kepentingan
Negara juga bukan hanya soal keamanan dan power. Banyak isu lain yang bisa
diambil oleh actor non-state, misalnya saja soal isu kelangkaan minyak, karena
minyak merupakan hal penting ekonomi modern baik Negara mupun MNCs bisa
mengambil keputusan secara berbeda dalam porsi masing-masing.
3. Meski menekankan pada aktor ekonomi namun merreka tidak mengesampingkan
internasional aktor lainnya. Misalnya gerakan religius, gerakan nasional dan lain
lain, mereka tidak bertindak atas nama negara seperti yang diasumsikan realis.
4. Meski Organisasi internasional seperti PBB dibentuk dan beranggotakan secara
resmi negara-negara berdaulat, namun pemikir pluralis tetap berpandangan
bahwa organisasi internasional bukan aktor utama dalam HI.
Strukturalisme dan Sistem Internasional
Berbeda dengan dua pendekatan diatas, yang lebih menekankan pada aktor HI,
strukturalisme lebih menekankan pada struktur dalam sistem internasional dan
menggapnya bisa memberikan penjelasan aspek mana yang signifikan dalam
menggambarkan HI. Strukturalisme tampaknya lebih terlihat sebagai sebuah
pendekatan dari pada teori itu sendiri. Karenanya strukturalisme bisa dianggap
mengepalai banyak varian teori dibawahnya.

Berikut pandangan singkat tentang strukturalisme:
1.

Menekankan pada struktur dalam sebuah sistem internasional bukan pada aktor
yang

bermain didalamnya. Fokus pada struktur dipandang lebih baik

dibandingkan dengan pendekatan aktor dalam melihat HI.

2.

Strukturalisme skeptis terhadap adanya pengaruh organisasi-organisasi dalam
HI termasuk negara, orgnasisasi internasional dan aktor lainnya

terhadap

struktur luar.
3.

Analisis struktural dapat dibedakan tergantung pada beberapa varian yang ada,
seperti.:
·

Realisme strukturalis dapat dikatakan sebagai strukturalis yang memandang
negara sebagai aktor sentral.

· Marksis strukturalis menekankan pada struktur kelas dan sosial yang banyak
terpengaruh oleh sistem ekonomi.
· Feminist structuralis merupakan strukturalis yang fokus pada isu gender dalam
hubungan sosial.

Neorealisme
Sebagai varian dari realisme, neorealisme seringkali dikenal dengan realisme
struktural, yang dibedakan dengan realisme tradisional. Sebagaimana realisme,
neorealisme menjadikan negara dan perilaku negara fokusnya dan berusaha
menjawab pertanyaan mengapa perilaku negara selalu terkait dengan kekerasan.

Semua tradisi realis berangkat dari filsafat keharusan (the philosophy of necessity)1
yakni melihat perilaku negara sebagai produk dari sebuah kondisi yang tak
terelakkan. Dalam pemikiran realis, baik tradisional maupun struktural, perilaku
negara yang keras merupakan konsekuensi dari endemiknya kekuasaan dalam
politik internasional, seperti secara jelas diekspresikan oleh Morgenthau,
,international politics is... struggle for power’ (1985). Dalam artian filsafat keharusan
ini, politik internasional bersifat amoral.
Tetapi, realisme tradisional dan realisme struktural menjelaskan secara berbeda
mengapa politik internasional memiliki karakter endemik yang ditandai dengan
perebutan kekuasaan. Bagi realis tradisional, perebutan kekuasaan yang
berlangsung terus menerus dalam politik internasional bersumber pada hakekat
manusia. Berangkat dari pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh antara lain
Tucydides, Machiavelli dan Hobbes, yang melihat pada dasarnya manusia bersifat
self-interested dan dalam kondisi state of nature akan berperang satu sama lain,
realis tradisional memproyeksikan negara akan memiliki karakter yang sama, karena
politik internasional pada dasarnya adalah gambaran dari state of nature dalam arti
yang sebenarnya, tidak lagi merupakan kondisi hipotetis sebagaimana yang
digambarkan oleh Hobbes dalam Leviathan.
Bagi realisme struktural, penjelasan terhadap endemiknya perebutan kekuasaan
dalam politik internasional bukan berasal dari hakekat manusia (negara), melainkan
dari struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara. Dalam sebuah
sistem yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata
berdasarkan kepentingannya sendiri, yang berarti mengejar kekuasaan sebesarbesarnya. Dalam sistem yang anarkhi, negara tidak bisa menggantungkan
keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan
pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai sarana
terutama (tetapi bukan satu-satunya) militer untuk berperang melawan negara lain.
Tetapi, kebutuhan sebuah negara untuk mempertahankan diri dengan memperkuat
kekekuatan militernya, bagi negara lain merupakan sumber acaman dan menuntut
negara lain tersebut melakukan hal yang sama, dan dikenal sebagai dilema
keamanan (security dilemma).
Untuk menekankan pentingnya struktur sebagai pembentuk perilaku negara,
neorealis membedakan secara tegas karakter politik internasional yang anarkhis
dengan politik domestik yang hirarkhis, yang menggambarkan dua prinsip
pengorganisasian sistem yang berbeda (the ordering principle of the system). Dua
karakteristik lain yang membentuk pemikiran neorealis adalah karakter unit dalam
sistem dan distribusi kapasitas unit dalam sistem (Waltz, 1979). Karakter unit dalam
sistem mengacu pada fungsi yang dijalankan oleh unit-unit dalam sistem, yakni
negara. Dalam pandangan neorealis, semua unit memiliki fungsi yang sama yakni
menjamin kelangsungan hidupnya. Tetapi, sekalipun semua negara memiliki fungsi
1

Dalam filsafat, dalam kaitannya dengan upaya untuk melihat moralitas sebuah perilaku
atau tindakan, dikenal dua prinsip: filsafat keharusan - the philosophy of necessity dan
filsafat pilihan -the philosophy of choice (Arnold Wolfers, Discord and Collaboration).

yang sama, negara-negara tersebut berbeda dalam kemampuan, sebagaimana
tercermin dalam distribusi kekuasaan yang seringkali tidak seimbang dan sering
berubah. Singkatnya, seperti ditulis oleh Waltz, semua negara ‚memiliki kesamaan
tugas, tetapi tidak dalam kemampuan untuk menjalankannya. Perbedaannya
terletak pada kapabilitas, bukan pada fungsi mereka’ (h. 96).
Beberapa tokoh utama neorealisme antara lain Kenneth Waltz, Stephen Krasner,
Robert Gilpin, Barry Buzan, Richard Little dan Charles Jones. Diantara tokoh-tokoh
ini, Kenneth Waltz merupakan yang paling menonjol dalam kaitannya dengan
perkembangan teoretis studi hubungan internasional. Karyanya, Theory of
International Politics, bukan hanya dianggap sebagai karya yang paling
komprehensif dan elaboratif yang menggambarkan pemikiran dan posisi neorealism,
tetapi juga merupakan produk dari upaya yang sangat ambisius untuk menjadikan
Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin yang mapan, yang sederajat
dengan disiplin lain.
Theory of Internasional Politics dimaksudkan oleh Waltz untuk memberikan
kemampuan eksplanasi yang sangat tinggi (dalam bentuk hubungan kausalitas antar
variabel) terhadap fenomena-fenomena politik internasional. Kemampuan ini
merupakan kriteria yang sangat penting yang harus dimiliki oleh Hubungan
Internasional sebagai sebuah disiplin, tetapi gagal ditunjukkan oleh realisme.
Realisme gagal menjelaskan mengapa berbagai negara yang berbeda atau bahkan
bertentangan, misalnya, secara ideologis ataupun politik, tetap berperilaku sama.
Mengapa Uni Soviet yang komunis dan Amerika yang liberal kapitalis sama-sama
teribat dalam kompetisi merebut kekuasaan, membangun kekuatan militer, atau
mengembangkan pengaruh (sphere of influence)? Menurut Waltz, kegagalan
realisme menjelaskan kesamaan perilaku berasal dari metodologi yang
digunakannya, yakni metodologi behaviouris. Metodologi ini terlalu mengabaikan
aspek faktor penting yang menjadi batas-batas kebijakan luar negeri atau perilaku
negara. Aspek penting yang menjadikan perilaku negara homogin, dalam pemikiran
Waltz, terletak pada kekuatan sistemik, yakni struktur internasional.
Secara metodologis, pemikiran Waltz berbeda dengan metodologi behaviouris dalam
artian bahwa mereka memberi penekanan pada peringkat analisa yang berbeda: unit
dan struktur. Metodologi behaviouris berusaha menjelaskan produk politik (perilaku
atau kebijakan negara) dengan jalan mengamati unit-unit atau bagian-bagian yang
membentuk sistem. Dengan cara ini, semua yang terjadi dalam politik internasional
dijelaskan dengan melihat perilaku dan hubungan antar unit dalam politik
internasional (negara), yakni perilaku dan interaksi yang didasari oleh tuntutan alami
yang dimiliki oleh negara (prinsip-prinsip hakekat manusia) untuk berperilaku sesuai
dengan kepentingannya (self-interested), yang dalam prakteknya didefinisikan
dengan kekuasaan. Metodologi behaviouris oleh Waltz dikategorikan sebagai teori
yang reduksionis.
Metodologi strukturalis Waltz bersifat sistemik, yakni menempatkan sistem sebagai
unit analisanya. Karakter sistemik lebih menjanjikan daripada karakter reduksionis

karena mampu menjelaskan politik internasional, melalui hubungan kausal, yang
sangat membatasi dan menentukan perilaku negara.
Ambisi Waltz untuk menghasilkan sebuah teori Hubungan Internasional yang
sederajat dengan teori dalam disiplin-disiplin yang lebih mapan, menghasilkan reaksi
yang sangat keras dari para ilmuwan Hubungan Internasional. Bahkan, tidak terlalu
berlebihan juga ada kecenderungan untuk melihat perdebatan ketiga dalam
Hubungan Internasional pada dasarnya adalah perdebatan antara Waltz dengan
hampir semua teoritisi lain dengan tradisi pemikiran yang sangat berbeda-beda.

STRUKTURALISME DAN IMPLIKASINYA
Pengantar
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok
pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang
sama dan tetap.

Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek
melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh
waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut
melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari
suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat)
(Bagus, 1996: 1040)
Gagasan-gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam
memajukan

studi

interdisipliner

tentang

gejala-gejala

budaya,

dan

dalam

mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Akan tetapi introduksi
metode struktural dalam bermacam bidang pengetahuan menimbulkan upaya yang
sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status sistem filosofis. (Bagus, 1996:
1040)
Ferdinand de Saussure
Untuk mengenal lebih lanjut tentang strukturalisme maka ada baiknya untuk
menyimak pemikiran Ferdinand de Saussure yang banyak disebut orang sebagai
bapak strukturalisme, walaupun bukan orang pertama yang mengungkapkan
strukturalisme.
Banyak hal yang menunjukkan Ferdinand de Saussure adalah bapak strukturalisme.
Selain ia sebagai bapak strukturalisme ia juga sebagai bapak linguistik yang
ditunjukkan dengan mengadakan perubahan besar-besaran di bidang lingustik. Ia
yang pertama kali merumuskan secara sistematis cara menganalisa bahasa, yang
juga dapat dipergunakan untuk menganalisa sistem tanda atau simbol dalam
kehidupan masyarakat, dengan menggunakan analisis struktural. Ia mengatakan
bahwa linguistik adalah ilmu yang mandiri, karena bahan penelitiannya, yaitu
bahasa, juga bersifat otonom. Bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap.
Menurutnya ada kemiskinan dalam sistem tanda lainnya, sehingga untuk masuk ke
dalam analisis semiotik, sering digunakan pola ilmu bahasa. De Saussure
mengatakan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang mengungkapkan gagasan,
dengan demikian dapat dibandingkan dengan tulisan, abjad orang-orang bisu tuli,
upacara simbolik, bentuk sopan santun, tanda-tanda kemiliteran dan lain
sebagainya. Bahasa hanyalah yang paling penting dari sistem-sistem ini. Jadi kita
dapat menanamkan benih suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda di tengahtengah kehidupan kemasyarakatan; ia akan menjadi bagian dari psikologi umum,
yang nantinya dinamakan oleh de saussure sebagai semiologi. Ilmu ini akan

mengajarkan kepada kita, terdiri dari apa saja tanda-tanda itu, kaidah mana yang
mengaturnya. Karena ilmu ini belum ada, maka kita belum dapat mengatakan
bagaimana ilmu ini, tetapi ia berhak hadir, tempatnya telah ditentukan lebih dahulu.
Linguistik hanyalah sebahagian dari ilmu umum itu, kaidah-kaidah yang digunakan
dalam semiologi akan dapat digunakan dalam linguistik dan dengan demikian
linguistik akan terikat pada suatu bidang tertentu dalam keseluruhan fakta manusia.
Gagasan yang paling mendasar dari de Saussure adalah sebagai berikut:
1. Diakronis dan sinkronis: penelitian suatu bidang ilmu tidak hanya dapat dilakukan
secara diakronis (menurut perkembangannya) melainkan juga secara sinkronis
(penelitian dilakukan terhadap unsur-unsur struktur yang sezaman).
2. Langue dan parole: langue adalah penelitian bahasa yang mengandung kaidahkaidah, telah menjadi milik masyarakat, dan telah menjadi konvensi. Sementara
parole adalah penelitian terhadap ujaran yang dihasilkan secara individual.
3. Sintagmatik dan Paradikmatik (asosiatif): sintagmatik adalah hubungan antara
unsur yang berurutan (struktur) dan paradikmatik adalah hubungan antara unsur
yang hadir dan yang tidak hadir, dan dapat saling menggantikan, bersifat
asosiatif (sistem).
4. Penanda dan Petanda: Saussure menampilkan tiga istilah dalam teoi ini, yaitu
tanda bahasa (sign), penanda (signifier) dan petanda (signified). Menurutnya
setiap tanda bahasa mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan yaitu penanda
(imaji bunyi) dan petanda (konsep). Sebagai contoh kalau kita mendengan kata
rumah langsung tergambar dalam pikiran kita konsep rumah.
Strukturalisme

termasuk

dalam

teori

strukturalisme

mengkaji

pikiran-pikiran

kebudayaan
yang

terjadi

yang

idealistik

dalam

diri

karena
manusia.

Strukturalisme menganalisa proses berfikir manusia dari mulai konsep hingga
munculnya simbol-simbol atau tanda-tanda (termasuk didalmnya upacara-upacara,
tanda-tanda kemiliteran dan sebagainya) sehingga membentuk sistem bahasa.
Bahasa yang diungkapkan dalam percakapan sehari-hari juga mengenai proses
kehidupan yang ada dalam kehidupan manusia, dianalisa berdasarkan strukturnya
melalui petanda dan penanda, langue dan parole, sintagmatik dan paradikmatik serta
diakronis dan sinkronis. Semua relaitas sosial dapat dianalisa berdasarkan analisa
struktural yang tidak terlepas dari kebahasaan.

Dalam memahami kebudayaan kita tidak bisa terlepas dari prinsip-prinsip dasarnya.
de Saussure merumuskan setidaknya ada tiga prinsip dasar yang penting dalam
memahami kebudayaan, yaitu:
1.

Tanda (dalam bahasa) terdiri atas yang menandai (signifiant, signifier,
penanda) dan yang ditandai (signifié, signified, petanda). Penanda adalah citra
bunyi sedangkan petanda adalah gagasan atau konsep. Hal ini menunjukkan
bahwa setidaknya konsep bunyi terdiri atas tiga komponen (1) artikulasi kedua
bibir, (2) pelepasan udara yang keluar secara mendadak, dan (3) pita suara yang
tidak bergetar.

2.

Gagasan penting yang berhubungan dengan tanda menurut Saussure adalah
tidak adanya acuan ke realitas obyektif. Tanda tidak mempunyai nomenclature.
Untuk memahami makna maka terdapat dua cara, yaitu, pertama, makna tanda
ditentukan oleh pertalian antara satu tanda dengan semua tanda lainnya yang
digunakan dan cara kedua karena merupakan unsur dari batin manusia, atau
terekam sebagai kode dalam ingatan manusia, menentukan bagaimana unsurunsur realitas obyektif diberikan signifikasi atau kebermaknaan sesuai dengan
konsep yang terekam.

3.

Permasalahan yang selalu kembali dalam mengkaji masyarakat dan
kebudayaan adalah hubungan antara individu dan masyarakat. Untuk bahasa,
menurut Saussure ada langue dan parole (bahasa dan tuturan). Langue adalah
pengetahuan dan kemampuan bahasa yang bersifat kolektif, yang dihayati
bersama oleh semua warga masyarakat; parole adalah perwujudan langue pada
individu. Melalui individu direalisasi tuturan yang mengikuti kaidah-kaidah yang
berlaku secara kolektif, karena kalau tidak, komunikasi tidak akan berlangsung
secara lancar.

Gagasan kebudayaan, baik sebagai sistem kognitif maupun sebagai sistem
struktural, bertolak dari anggapan bahwa kebudayaan adalah sistem mental yang
mengandung semua hal yang harus diketahui individu agar dapat berperilaku dan
bertindakj sedemikian rupa sehingga dapat diterima dan dianggap wajar oleh
sesama warga masyarakatnya.
Pierre Bourdieu

Bourdieu pada awalnya menghasilkan karya-karya yang memaparkan sejumlah
pengaruh teoritis, termasuk fungsionalisme, strukturalisme dan eksistensialisme,
terutama pengaruh Jean Paul Sartre dan Louis Althusser.
Pada tahun 60an ia mulai mengolah pandangan-pandangan tersebut dan
membangun suatu teori tentang model masyarakat. Gabungan antara pendekatan
teori obyektivis dan teori subyektivis sosial yang dituangkan dalam buku yang
berjudul ”outline of a theory of practice” dimana didalamnya ia memiliki posisi yang
unik

karena

berusaha

mensintesakan

kedua

pendekatan

metodologi

dan

epistemologi tersebut.
Dalam karyanya ini ia menyerang pemahaman kaum strukturalis yang menciptakan
obyektivisme yang menyimpang dengan memposisikan ilmuwan sosial sebagai
pengamat. Menurutnya pemahaman ini mengabaikan peran pelaku dan tindakantindakan praktis dalam kehidupan sosial.
Kelebihan Bourdieu adalah menghasilkan cara pandang dan metode baru yang
mengatasi berbegai pertentangan di antara penjelasan-penjelasan sebelumnya.
Pemikirannya bukan hanya menjawab pertanyaan tentang asal usul dan seluk beluk
masyarakat tetapi lebih pada menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan
dari pemikiran-pemikiran terdahulu.
Terdapat 3 konsep penting dalam pemikiran Bourdieu yaitu Habitus, Field dan Modal.
Berikut ini akan dibahas ketiga konsep tersebut dan akan dijelaskan interaksi ketiga
konsep ini dalam masyarakat. Habitus adalah “struktur mental atau kognitif” yang
digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial. Setiap aktor dibekali
serangkaian skema atau pola yang diinternalisasikan yang mereka gunakan untuk
merasakan, memahami, menyadari, dan menilai dunia sosial. Melalui pola-pola itulah
aktor memproduksi tindakan mereka dan juga menilainya. Secara dialektis habitus
adalah ”produk internalisasi struktur” dunia sosial. Atau dengan kata lain habitus
dilihat sebagai ”struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwujudkan”.
Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas seperti umur, jenis
kelamin, kelompok dan kelas sosial. Habitus diperoleh sebagai akibat dari lamanya
posisi dalam kehidupan sosial diduduki. Habitus berbeda-beda pada setiap orang
tergantung pada wujud posisi seseorang dalam kehidupan sosial; tidak setiap orang
sama kebiasaannya; orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan
sosial, cenderung mempunyai kebiasaan yang sama.
Habitus lebih didasarkan pada keputusan impulsif, dimana seorang individu bereaksi
secara efisien dalam semua aspek kehidupan. Habitus menghasilkan dan dihasilkan

oleh kehidupan sosial. Disatu pihak habitus adalah struktur yang menstruktur artinya
habitus adalah sebuah struktur yang menstruktur kehidupan sosial. Dilain pihak
habitus adalah struktur yang terstruktur, yaitu habitus adalah struktur yang distruktur
oleh dunia sosial.
Habitus menjadi konsep penting baginya dalam mendamaikan ide tentang struktur
dengan ide tentang praktek. Ia berusaha mengkonsepkan kebiasaan dalam berbagai
cara, yaitu:


Sebagai kecenderungan-kecenderungan empiris untuk bertindak dalam cara-cara
yang khusus (gaya hidup)



Sebagai motivasi, preferensi, cita rasa atau perasaan (emosi)



Sebagai perilaku yang mendarah daging



Sebagai suatu pandangan tentang dunia (kosmologi)



Sebagai keterampilan dan kemampuan sosial praktis



Sebagai aspirasi dan harapan berkaitan dengan perubahan hidup dan jenjang
karier.

Habitus membekali seseorang dengan hasrta. Motivasi, pengetahuan, keterampilan,
rutinitas dan strategi untuk memproduksi status yang lebih rendah. Bagi Bourdieu
keluarga dan sekolah merupakan lembaga penting dalam membentuk kebiasaan
yang berbeda.
Field bagi Bourdieu lebih bersifat relasional ketimbang struktural. Field adalah
jaringan hubungan antar posisi obyektif di dalamnya. Keberadaan hubungan ini
terlepas dari kesadaran dan kemauan individu. Field bukanlah interaksi atau ikatan
lingkungan bukanlah intersubyektif antara individu. Penghubi posisi mungkin agen
individual atau lembaga, dan penghubi posisi ini dikendalikan oleh struktur
lingkungan.
Bourdieu melihat field sebagai sebuah arena pertarungan. Struktur Field lah yang
menyiapkan dan membimbing strategi yang digunakan penghuni posisi tertentu yang
mencoba melindungi atau meningkatkan posisi mereka untuk memaksakan prinsip
penjenjangan sosial yang paling menguntungkan bagi produk mereka sendiri. Field
adalah sejenis pasar kompetisi dimana berbagai jenis modal (ekonomi, kultur, sosial,
simbolik) digunakan dan disebarkan. Lingkungan adalah lingkungan politik
(kekuasaan) yang sangat penting; hirarki hubungan kekuasaan di dalam lingkungan
politik membantu menata semua lingkungan yang lain.
Bourdieu menyusun 3 langkah proses untuk menganalisa lingkungan, pertama,
menggambarkan keutamaan lingkungan kekuasaan (politik). Langkah kedua,

menggambarkan struktur obyektif hubungan antar berbagai posisi di dalam
lingkungan tertentu, ketiga, analis harus mencoba menetukan ciri-ciri kebiasaan
agen yang menempati berbagai tipe posisi di dalam lingkungan.
Dengan kata lain, Field adalah wilayah kehidupan sosial, seperti seni, industri,
hukum, pengobatan, politik dan lain sebagainya, dimana para pelakunya berusaha
untuk memperoleh kekuasaan dan status.
Bourdieu menganggap bahwa modal memainkan peranan yang penting, karena
modallah

yang

memungkinkan

orang

untuk

mengendalikan

orang

untuk

mengendalikan nasibnya sendiri maupun nasib orang lain.
Ada 4 modal yang berperan dalam masyarakat yang menentukan kekuasaan sosial
dan ketidaksetaraan sosial, pertama modal ekonomis yang menunjukkan sumber
ekonomi. Kedua, modal sosial yang berupa hubungan-hubungan sosial yang
memungkinkan seseorang bermobilisasi demi kepentingan sendiri. Ketiga, modal
simbolik yang berasal dari kehormatan dan prestise seseorang. Dan keempat adalah
modal budaya yang memiliki beberapa dimensi, yaitu:


Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya



Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi



Kualifikasi-kualifikasi formal (seperti gelas-gelar universitas)



Kemampuan-kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis.



Kemampuan untuk dibedakan dan untuk membuat oerbedaan antara yang baik
dan buruk.

Modal kultural ini terbentuk selama bertahun-tahun hingga terbatinkan dalam diri
seseorang. Setelah dibahas tentang ketiga konsep diatas maka akan dijelaskan
hubungan ketiga konsep tersebut.
Habitus dan ranah merupakan perangkat konseptual utama yang krusial bagi karya
Bourdieu yang ditopang oleh sejumlah ide lain seperti kekuasaan simbolik, strategi
dan perbuatan beserta beragan jenis modal.
Seperti telah diungkapkan diatas bahwa habitus adalah struktur kognitif yang
menghubungkan individu dan realitas sosial. Habitus merupakan struktur subyektif
yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam
jaringan struktur obyektif yang ada dalam ruang sosial. Habitus adalah produk
sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat
dalam ruang dan waktu tertentu, dengan kata lain habitus adalah hasil pembelajaran
lewat

pengasuhan,

aktivitas

bermain,

dan

juga

pendidikan

masyarakat.

Pembelajaran ini berjalan secara halus sehingga individu tidak menyadari hal ini
terjadi pada dirinya, jadi habitus bukan pengetahuan bawaan.
Habitus mendasari field yang merupakan jaringan relasi antar posisi-posisi obyektif
dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individu. Field
semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi
individu dan kelompok dalam tatanan masyarakatyang terbentuk secara spontan.
Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan
dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak diluar dirinya. Dalam proses interaksi
dengan pihak luar tersebut terbentuklah Field.
Dalam suatu Field ada pertarungan kekuatan-kekuatan antara individu yang memiliki
banyak modal dengan individu yang tidak memiliki modal. Diatas sudah di singgung
bahwa modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik
yang beroperasi di dalam field dimana di dalam setiap field menuntut untuk setiap
individu untuk memiliki modal gara dapat hidup secara baik dan bertahan di
dalamnya.
Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumusan generatif yang menerangkan praktis
sosial dengan rumus setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan
relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.

Strukturalisme dalam Kerangka Marxisme
Revolusi Perancis dan Revolusi Industri yang terjadi di Eropa telah mengubah sistem
feodalisme ekonomi, yang dulunya kekuasaan dipegang oleh pemilik tanah, menjadi
kapitalisme ekonomi dimana tujuan penyelenggaraan kegiatan ekonomi adalah
akumulasi modal sebanyak-banyaknya. Dalam kapitalisme terjadi apa yang
dinamakan dengan ketidaksederajatan sosial (social inequalities), yaitu keadaan
dimana satu pihak akan diuntungkan dan pihak lain dirugikan oleh usaha-usaha
untuk akumulasi modal. Keadaan ini membuat kaum buruh yang tidak memiliki alat-

alat produksi menjadi tergantung dengan kaum pemilik modal.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan Karl Marx atas nasib yang dialami oleh para
buruh dan mendorongnya untuk untuk menulis Des Kapital dan Communist
Manifesto pada pertengahan abad 19. Dalam tulisannya, Marx mengkritik kapitalisme
sebagai sebuah sistem dimana kaum borjuis yang memiliki

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Hubungan Antara Kepercayaan Diri DenganMotivasi Berprestasi Remaja Panti Asuhan

17 116 2

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63

Hubungan Antara Kompetensi Pendidik Dengan Kecerdasan Jamak Anak Usia Dini di PAUD As Shobier Kecamatan Jenggawah Kabupaten Jember

4 116 4

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5