BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Landasan Teori 2.1.1. Teori Agensi (Agency Theory) - Analisis Komparasi Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Audit Fees Selama Masa Pengadopsian Ifrs Di Indonesia Dan Malaysia
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Landasan Teori 2.1.1. Teori Agensi (Agency Theory)
Teori ini menjelaskan hubungan antara pemilik usaha (principal) dan manajemen (agen). Teori ini dikembangkan oleh Jensen dan Meckling (1976). Teori Keagenan (Agency Theory) menjelaskan adanya konflik antara manajemen (agen) dengan pemilik (principal) yang berpotensi untuk merugikan kedua belah pihak. Manajemen cenderung untuk melakukan perilaku menyimpang untuk mencapai kepentingannya dan melupakan kepentingan dari principal.
Asumsi utama dari teori agensi adalah semua individu bertindak atas kepentingan mereka sendiri. Manajemen menginginkan kompensasi yang tinggi atas hasil pekerjaan yang dilakukan oleh mereka. Kompensasi ini berupa gaji, tunjangan, bonus, dan berbagai bentuk insentif lainnya yang diberikan oleh principal sehingga mendorong agen untuk terus mempertahankan dan meningkatkan kinerjanya sehingga pengembalian untuk
principal mencapai angka yang maksimum. Sementaraprincipal
menginginkan pengembalian yang maksimum atas semua modal yang telah diberikan kepada perusahaan. Realisasi atas pengembalian dari modal ini secara ekonomis terlihat dari deviden yang dibagikan yang harusnya terus mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Dengan deviden yang terus meningkat biasanya akan mempengaruhi harga saham yang biasanya juga untuk memberikan kesejahteraan kepada pemilik perusahaan.
Manajemen selaku agen sebelum diganjar imbalan yang tinggi oleh
principal terlebih dahulu haruslah berhasil memenuhi tuntutan dari pihak
principal. Namun, Manajemen mempunyai keuntungan yang lebih dalam
mengakses informasi yang ada dalam perusahaan. Kelompok agen dan
principal tidaklah memiliki jumlah informasi yang sama. Apalagi, sumber
informasi utama yang dimiliki oleh principal adalah laporan keuangan perusahaan yang dibuat oleh manajemen selaku agen. Sudah pasti manajemen memiliki informasi menyangkut perusahaan lebih banyak dan mendalam dibandingkan dengan apa yang diterima oleh principal. Jika asumsinya semua individu bertindak untuk memaksimalkan kepentingan masing-masing, celah ini pasti akan dimanfaatkan oleh manajemen dengan cara memberikan informasi yang menunjukkan superioritas dari agen sehingga principal memberi insentif yang tinggi. Namun, hal ini tentu merugikan bagi pihak
principal.
Oleh karena itu, perlu diadakan pengawasan atas kinerja dari agen, sehingga risiko yang akan diterima oleh principal atas segala modal yang ditanamkan menjadi minimal. Anthony dan Govindarajan (2009) menyatakan
principal dapat merancang sistem pengendalian yang memantau tindakan
agen, menghalangi tindakan yang meningkatkan kekayaan agen dengan mengorbankan kepentingan principal. Bisa dikatakan bahwa agen secara alamiah akan berusaha untuk terlihat sempurna di mata principal karena sistem pengendalian untuk agen, maka semakin besar peluang agen untuk melakukan kecurangan. Mengandalkan peluang yang ada, bisa saja agen melakukan Creative Accounting yang menyimpang, yaitu dengan melakukan manajemen laba (Earnings Management).
Salah satu sistem pengendalian yang dilakukan adalah membuat laporan keuangan yang diaudit. Namun demikian membuat laporan keuangan yang diaudit akan menimbulkan konsekuensi baru bagi principal yaitu menambah biaya yang harus ditanggung oleh principal. Biaya ini dikategorikan ke dalam biaya agensi. Salah satu bentuk biaya agensi adalah biaya pengawasan.
Biaya pengawasan merupakan bagian dari biaya agensi. Menurut Anthony dan Govindarajan (2009), biaya agensi merupakan upaya principal untuk menyelaraskan sistem pengendalian perusahaan yang terdiri dari (1) biaya kompensasi insentif atau bonding costs, (2) biaya pemantauan, dan (3) kerugian residual akibat perbedaan preferensi.
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan pemantauan terkait dengan
bonding costs. Bonding costs adalah keadaan dimana agen dapat
menyediakan laporan keuangan sebagai sarana pemantauan principal dengan biaya yang rendah. Agen tentu lebih mudah mengumpulkan informasi internal yang ada di perusahaan dan dapat bergerak lebih cepat dibandingkan dengan principal sehingga dapat membuat keputusan yang terbaik untuk perusahaan. Maka dari itu, agen bertugas untuk membuat laporan keuangan rangka menambah tingkat assurance dari laporan keuangan, dilakukan pengujian dari laporan keuangan dengan menggunakan jasa dari auditor eksternal sebagai pihak pengawas eksternal yang independen atas kedua belah pihak. Dapat dikatakan bahwa auditor eksternal adalah pihak perantara yang mengurangi kesenjangan informasi diantara principal dan agen.
2.1.2. Teori Regulasi
Teori regulasi menyatakan perekonomian terpusat adalah alasan dalam melindungi kepentingan umum. Secara teori, legislatif membuat peraturan untuk melindungi kepentingan ekonomi. Dapat dikatakan bahwa pembentukan regulasi yang ada itu didasarkan atas kepentingan-kepentingan setiap kelompok secara keseluruhan. Regulasi dibentuk tidak berdasarkan hanya satu kepentingan saja. Setiap konsekuensi dari regulasi haruslah diterima oleh setiap kepentingan ekonomi yang terkait (pengguna). Menurut Hendriksen dan Van Breda (1991) konsekuensi ekonomi yang diterima oleh pengguna adalah sebagai berikut:
Tabel 2.1 Konsekuensi EkonomiPengguna Konsekuensi Perusahaan/korporasi Biaya penerbitan laporan keuangan
Perbedaan volatilitas angka laporan keuangan Manajemen Perilaku manajemen Masyarakat Persepsi atas perusahaan Investor dan kreditor Keputusan keuangan
Pengadopsian IFRS adalah sebuah kebijakan yang diambil oleh masing- masing pembuat kebijakan di setiap negara. Wong (2009) menyatakan signifikan dalam meningkatkan biaya pengauditan karena adanya pembentukan ulang pada profesi pengauditan. Perubahan regulasi dalam suatu negara memberikan domino effect yang tidak hanya berdampak pada pihak-pihak tertentu saja. Oleh karena itu, regulasi dibentuk berdasarkan kepentingan publik, bukan hanya kepentingan pribadi semata.
Adapun jika dilihat dari sisi ekonomis, pengadopsian IFRS akan menambah biaya pembuatan laporan keuangan yang disebabkan dari perlunya adaptasi perubahan-perubahan dan pembelajaran-pembelajaran terkait dengan peraturan yang baru. Namun demikian hal ini tentunya sebanding dengan manfaat yang diperoleh dari pengadopsian IFRS itu sendiri. Horton et al. (2013) menyatakan bahwa pengadopsian IFRS telah meningkatkan kualitas dari informasi dari pasar modal dan hasil akhir berupa informasi lingkungan perusahaan yang meningkatkan kualitas informasi dan komparabilitas akuntansi.
2.1.3. Teori Deep Pocket (Deep Pocket Theory)
Teori ini menjelaskan hubungan cateris paribus antara insentif yang diterima auditor dengan opini yang diberikan. Teori ini dikembangkan oleh Simunic (1980). Dalam teori ini, risiko litigasi lebih besar terjadi pada auditor
Big Four daripada Non Big Four apabila auditor memiliki kesalahan dalam
memberikan opini “ Wajar Tanpa Pengecualian”.Chrisnoventie dan Raharja (2012) menyebutkan auditor yang memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi memiliki insentif yang lebih besar khususnya memonitor sistem pelaporan keuangan untuk menghindari atau mengurangi kerugian moneter. Hal ini terkait pada biaya audit yang akan dikeluarkan oleh perusahaan. Tentunya perusahaan yang besar memiliki risiko litigasi yang besar sehingga untuk mengauditnya KAP butuh insentif yang lebih besar lagi karena jika dikemudian hari terjadi hal-hal yang merugikan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan, KAP dapat meminimalkan kerugian yang akan dideritanya terkait reputasi KAP, dan tuntutan lainnya. Risiko litigasi ini dinilai dengan menilai risiko perusahaan. Yaacob dan Che- Ahmad (2012) menyatakan risiko perusahaan dan pekerjaan yang lebih tinggi akan berkaitan dengan tingginya audit fees dan audit report lag.
2.1.4. IFRS (International Financial Reporting Standards)
IFRS (International Financial Reporting Standards) merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh International Accounting
Standards Board (IASB). Ada empat organisasi utama dunia yang menyusun
standar akuntansi internasional yang terdiri dari (1) IASB, (2) Komisi Masyarakat Eropa (EC), (3) Organisasi Internasional Pasar Modal (IOSOC), dan (4) Federasi Akuntansi Internasional. Sebelum standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh IASB ini bernama IFRS, standar ini dikenal dengan nama International Accounting Standards (IAS). Adapun
IASB sebelumnya bernama IASC (International Accounting Standard Committee ). diterbitkan diadopsi oleh IASB. Martani et al. (2012) menyebutkan beberapa tujuan dari IASB yaitu:
1. untuk mengembangkan satu set standar akuntansi yang berkualitas tinggi, yang dapat dipahami dan diterapkan secara internasional yang diperlukan sebagai prasyarat dihasilkannya laporan keuangan dan laporan keuangan lain yang berkualitas, transparan, dan dapat dibandingkan untuk membantu pemakai laporan keuangan dan partisipan dari berbagai pasar modal seluruh dunia mengambil keputusan ekonomi; 2. untuk mempromosikan penggunaan standar kepada para pengguna; 3. untuk bekerja sama dengan dewan standar nasional dari berbagai negara untuk melakukan konvergensi dan menjadikan IFRS sebagai standar akuntansi yang berkualitas.
Kim et al. (2012) menyatakan negara dengan pasar modal yang menjanjikan, seperti, Australia, negara-negara anggota Uni Eropa, Hongkong, Filipina, dan Afrika Selatan, telah mewajibkan perusahaan-perusahaan yang terdaftar di bursa efek negara masing-masing untuk membuat laporan keuangan konsolidasi yang berbasis IFRS untuk setiap tahun keuangannya yang dimulai setelah 1 Januari 2005. Hal ini berarti, pada tahun 2005 beberapa negara telah mewajibkan pengadopsian IFRS di negaranya masing- masing. IFRS. Pada negara seperti Amerika Serikat, Mexico, Cina, Malaysia, dan Brazil belum mewajibkan IFRS sebagai standarnya. Adapula negara yang belum mewajibkan pengadopsian IFRS, namun mengizinkan pengadopsian
IFRS secara sukarela. Maka, Kim et al. (2012) membagi perusahaan- perusahaan di dunia menjadi 3 kelompok: (i) bukan pengadopsi IFRS; (ii) mengadopsi IFRS ketika dipaksa untuk mengadopsinya; dan (iii) mengadopsi IFRS secara sukarela.
Pengadopsian IFRS di setiap negara memiliki metode yang berbeda- beda. Metode pengadopsian IFRS terdiri atas dua bagian yaitu big bang
strategy dan gradual strategy.Big bang strategy adalah metode pengadopsian
IFRS yang dilakukan dengan cara mengadopsi standar-standar sekaligus tanpa adanya tahapan-tahapan. Metode ini biasanya dilakukan oleh negara- negara maju. Gradual strategy adalah metode pengadopsian IFRS yang dilakukan dengan cara mengadopsi standar-standar secara bertahap mengikuti kondisi lingkungan akuntansi negara tersebut. Metode ini biasanya dilakukan oleh negara berkembang.
Tyrall et al. (2007) menyebutkan beberapa keuntungan dalam mengadopsi IFRS yaitu:
1. meningkatkan status dan kualitas yang diterima dari laporan keuangan;
2. mengeliminasi biaya dari pengembangan standar lokal; meningkatkan nilai dari efisiensi dari pasar keuangan nasional maupun internasional dikarenakan meningkatnya tingkat pemahaman, komparabilitas, dan reliability dari laporan keuangan.
IFRS tentunya memiliki perbedaan dengan standar akuntansi internasional lainnya, namun demikian tidak semuanya memiliki dampak material pada persiapan laporan keuangan.Ernst & Young (2005) dan Jubb (2005) dalam Pawsey (2010) sebelumnya telah meneliti mengenai pemahaman atas standar IFRS dan standar IFRS yang memiliki pengaruh yang paling besar secara konsisten menemukan enam kunci kebijakan akuntansi dari IFRS yang memiliki pengaruh paling material dalam persiapan pelaporan keuangan. Adapun standar-standar yang dimaksud adalah: 1.
IFRS 2 (Share-Based Payments); 2.
IAS 12 (Income Taxes); 3.
IAS 19 (Employee Benefits); 4.
IAS 36 (Impairment); 5.
IAS 38 (Intangibles); 6.
IAS 32/39 (Financial Instruments).
2.1.5. Perkembangan Pengadopsian IFRS di Indonesia
Negara Indonesia saat ini telah mengadopsi IFRS sebagai standar akuntansi keuangannya. Negara Indonesia menggunakan gradual strategy sebagai metode pengadopsiannya. Ikatan Akuntan Indonesia pada tahun 2008 mengeluarkan keputusan untuk melakukan konvergensi dengan IFRS yang akan diberlakukan secara efektif pada tahun 2012.
1994, Indonesia sebenarnya telah mengadopsi sebagian besar IAS. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) dan Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) yang diberlakukan sejak tahun 1994 adalah saduran dari IAS dan interpretasi SIC yang diterbitkan sebelum tahun 1994.
Namun, pengadopsian IAS ini dapat dikatakan jalan di tempat, tidak semua revisi IAS, perubahan maupun interpretasi SIC diperbaharui pula di Indonesia.
Indonesia adalah anggota dari IFAC yang diwakili oleh IAI. Sebagai anggota IFAC, Indonesia wajib memenuhi kewajibannya. Salah satu kewajiban anggota IFAC yang tertuang dalam SMO (Statement of
Membership Obligation) adalah mengadopsi IFRS sebagai standar akuntansi
internasional. Ini berarti, pengadopsian IFRS di Indonesia juga tidak hanya murni sukarela saja, ada faktor-faktor lain yang terlibat dalam pengadopsian ini. Tuntutan untuk mengadopsi IFRS ternyata tidak hanya datang dari internal negara Indonesia, namun juga berasal dari luar. Desakan pengadopsian IFRS dalam waktu yang secepatnya ini juga diperkuat dengan hasil forum G20 di Washington DC pada tanggal 15 September 2008 yang inti keputusannya adalah mengadopsi IFRS sebagai standar akuntansi internasional yang demokratis. Hal ini merupakan kewajiban bagi negara Indonesia selaku anggota dari G20 untuk melaksanakan keputusan itu.
Tingkatan pengadopsian IFRS di setiap negara adalah berbeda-beda. Hal ini tergantung kepada kebijakan yang dianut oleh negara itu. Menurut dapat dibedakan menjadi 5 tingkat: 1.
Full Adoption; suatu negara mengadopsi seluruh standar IFRS dan menerjemahkan IFRS sama persis ke dalam bahasa yang negara tersebut gunakan.
2. Adopted; program konvergensi PSAK ke IFRS telah dicanangkan
IAI pada Desember 2008. Adopted maksudnya adalah mengadopsi IFRS namun disesuaikan dengan kondisi di negara tersebut.
3. Piecemeal; suatu negara hanya mengadopsi sebagian besar nomor
IFRS yaitu nomor standar tertentu dan memilih paragraph tertentu saja.
4. Referenced; sebagai referensi, standar yang diterapkan hanya mengacu pada IFRS tertentu dengan bahasa dan paragraf yang disusun sendiri oleh badan pembuat standar.
5. Not adopted at all; suatu negara sama sekali tidak mengadopsi IFRS.
Indonesia mulai mencapai tahapan full adoption IFRS sejak tahun 2012. Meskipun sudah memasuki tahapan ini tentunya masih ada beberapa standar
IFRS yang sudah di adopsi namun belum resmi digunakan. Salah satu contohnya adalah PSAK 1 mengenai penyajian laporan keuangan. Standar ini telah direvisi pada tahun 2013, namun demikian pelaksanaannya baru akan dimulai pada 1 Januari 2015.
Perkembangan Pengadopsian IFRS di Malaysia
Di Malaysia, standar akuntansi keuangan yang berlaku dipublikasikan oleh organisasi Malaysian Accounting Standards Board (MASB). MASB dibentuk berdasarkan Financial Reporting Act 1997 sebagai otoritas yang independen untuk mengembangkan dan mengeluarkan isu terkait standar pelaporan keuangan dan akuntansi. Pakta ini membuat standar yang dipublikasikan oleh MASB mempunyai otoritas yang legal.
Sama halnya dengan negara Indonesia, negara Malaysia juga menerapkan gradual strategy untuk melakukan pengadopsian IFRS di negaranya. Malaysia juga merupakan anggota dari IFAC yang diwakili oleh MASB yang menyebabkan timbulnya kewajiban untuk mengadopsi IFRS bagi negara Malaysia. Desakan kewajiban ini juga semakin diperkuat dengan keanggotaan Malaysia dalam G20.
Bagi perusahaan yang telah terdaftar di Bursa Malaysia, ada pengadopsian 21 standar IFRS yang efektif berlaku tanggal 1 Januari 2006.
Hal ini berarti pengadopsian IFRS yang belum penuh telah dimulai pada negara Malaysia. Pada bulan November 2011, MASB mengeluarkan MFRS
Framework yang berisi Malaysian Financial Reporting Standards (MFRS)
yang merupakan sebuah bentuk perjanjian tertulis bagi negara Malaysia bahwa IFRS akan diadopsi secara penuh secara efektif pada 1 Januari 2012.
. Berdasarkan profil yurisdiksiyang dipublikasikan di situs IFRS tertanggal 2 September 2014, Malaysia telah mengadopsi IFRS dan IFRS untuk SMEs untuk semua perusahaan. Hampir sama dengan kondisi yang ada antaranya belum efektif diberlakukan. Contohnya yaitu MFRS 15 mengenai
Revenue from Contracts with Customers , yang baru akan efektif berlaku
tanggal 1 Januari 2017. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa di negara Malaysia memiliki periode pengadopsian awal (early adoption)
IFRS yang lebih dahulu dibangdingkan Indonesia.
2.1.7. Audit Report Lag
Audit Report Lag disebut juga audit delay.Audit delay menunjukkan
jumlah hari dari tanggal laporan keuangan sampai dengan tanggal laporan audit (Ashton et al., 1987). Ketika terjadi keterlambatan dalam proses pengauditan yang menunda penerbitan laporan keuangan yang diaudit, perusahaan yang diaudit akan menghadapi konsekuensi berupa reaksi negatif dari pasar dan meningkatnya tinggak asimetri informasi (Bronson et al. 2011). Dapat dikatakan bahwa audit report lag juga merupakan faktor penting yang menentukan kualitas laporan keuangan. Logikanya, sebanyak apapun informasi yang dimiliki oleh laporan keuangan yang diaudit, hal itu tentunya menjadi tidak berguna bila pemberian informasinya terlambat.
Stakeholders tentu menginginkan informasi yang tepat di waktu yang tepat
pula, khususnya investor yang ingin menginvestasikan uangnya. Apalagi pada era globalisasi ini, investor-investor itu akan dengan mudah mengalihkan perhatiannya pada perusahaan-perusahaan lain yang mampu menyediakan kebutuhannya pada waktu yang tepat. dasarnya, ada banyak faktor yang mempengaruhi audit report lag. Salah satu faktor ini adalah ketersediaan personel audit yang memadai dan mumpuni.
Knetchel dan Payne (2001) menemukan bahwa penggunaan staf yang kurang berpengalaman berhubungan dengan waktu penundaan yang lebih lama.
Lebih lanjut, Behn et al. (2006) juga menemukan kekurangan staf yang berpengalaman baik dari sisi klien maupun auditor akan menjadi penghambat untuk mempercepat penerbitan laporan keuangan yang diaudit.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, perubahan regulasi akan meningkatkan biaya. Pengadopsian IFRS tentunya akan menimbulkan biaya, yang disebabkan adanya perbedaan-perbedaan antara IFRS dengan standar akuntansi yang sebelumnya. Baik klien, selaku pembuat laporan keuangan, maupun auditor, selaku pengaudit suka tidak suka harus mempelajari standar ini. Bila klien dan auditor tidak memiliki pemahaman yang cukup mumpuni terkait dengan standar-standar baru yang berbeda ini, tentunya akan semakin lama pula laporan keuangan yang diaudit ini diterbitkan.
Hassan dan Nasser (2013) menyatakan lamanya audit report lag mencerminkan kesulitan-kesulitan dalam mengaudit perusahaan, yang akan membawa pada peningkatan audit fees dikarenakan lebih banyak pekerjaan audit yang dilakukan ataupun dikarenakan adanya risiko tambahan yang terlibat. Auditor disini tentunya akan semakin berhati-hati dalam mengaudit laporan keuangan, apalagi untuk bagian-bagian yang berbeda dengan standar yang sebelumnya. Hal ini dikarenakan auditor haruslah memikirkan adanya ini. Apabila gagal ditemukan auditor tentu ini akan merusak reputasi auditor dan bahkan akan timbul tuntutan dari klien maupun pihak luar ke auditor.
Kehati-hatian auditor ini membawa pada tambahan waktu untuk melakukan pengauditan yang akan meningkatkan audit fees yang diminta klien.
2.1.8. Batas Waktu Penyampaian Laporan Keuangan
Berdasarkan keputusan BAPEPAM Nomor: Kep – 36/PM/2003 tentang kewajiban penyampaian laporan berkala di Indonesia mengungkapkan bahwa perusahaan yang melaporkan laporan tahunan harus menyertakan laporan pendapat dengan pendapat yang lazim dan disampaikan kepada BAPEPAM, penyampaiannya selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan. Laporan yang disampaikan harus terdiri dari: Neraca, Laporan laba rugi, Laporan perubahan ekuitas, Laporan arus kas, laporan lain dan, catatan atas laporan keuangan.
Batas waktu penyampaian laporan keuangan di Malaysia diperoleh berdasarkan informasi dari Ummi dan Rashidah (2011) dalam Indriyani (2012). Bursa Malaysia Listing Requirement chapter 9.23 mengungkapkan bahwa perusahaan yang tercatat di Bursa Malaysia harus mengajukan laporan tahunannya kepada bursa Malaysia 6 bulan setelah akhir periode.
2.1.9. Risiko Perusahaan
Hassan et al. (2013) menyatakan risiko perusahaan sebagai salah satu faktor penting dalam audit fees. Lebih lanjut, Hassan et al. (2013) kondisi keuangan yang lebih jelek untuk menghindari tuntutan hukum terhadap auditor di masa depan, yang akhirnya menyebabkan audit fees yang lebih tinggi. Apalagi ketika masa kebangkrutan Enron, WorldCom yang menyebabkan semakin tingginya tuntutan hukum pada auditor dikarenakan opini yang diberikan.
Younas et al (2014) dalam penelitiannya menemukan, bahwa risiko perusahaan merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan
audit fees yang dibayarkan kepada auditor di Pakistan. Namun demikian,
hasil yang berbeda diperoleh di Cina, dimana risiko perusahaan bukan faktor yang menentukan audit fees di Cina. Berdasarkan penelitian ini ditemukan fakta bahwa dalam penentuan nilai audit fees berbeda-beda di setiap negara, tergantung perspektif dari negara itu.
Dalam kasus pengadopsian IFRS, De George et al. (2013) menyatakan peningkatan usaha untuk mengaudit disebabkan oleh dua faktor. Pertama, auditor akan melakukan usaha tambahan untuk memahami standar yang baru sehingga auditor dapat mengases apakah standar sudah benar berlaku atau tidak. Biaya berulang akan meningkat jika auditor menilai bahwa butuh usaha yang lebih dalam pelaporan dengan standar IFRS.
Alasan kedua yaitu, auditor cenderung untuk menambah usaha audit untuk mengelola risiko dari pengadopsian IFRS dalam hal (1) kemungkinan laporan keuangan disajikan salah secara material, dan (2) risiko litigasi (kemungkinan timbulnya pembayaran kewajiban atau kerugian akibat secara material.
Juanda (2007) mengartikan risiko litigasi sebagai risiko yang melekat pada perusahaan yang memungkinkan terjadinya ancaman litigasi oleh pihak- pihak yang memungkinkan terjadinya ancaman litigasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan yang merasa dirugikan. Adapun pihak- pihak yang dimaksud Juanda (2007) meliputi kreditor, investor, dan regulator. Juanda (2009) menilai risiko litigasi ini dari beberapa faktor, volatilitas saham, risiko keuangan (perusahaan), dan risiko politik.
Secara konsep, semakin tinggi risiko litigasi, akan mengakibatkan semakin besar audit fees yang diminta oleh klien. Dalam penelitian Badertscher et al. (2014) yang menemukan bahwa semakin tinggi risiko litigasi audit yang dari kepemilikan perusahaan yang terbuka yang akhirnya berdampak pada audit fees. Ini berarti, tingkat risiko litigasi yang diterima auditor akan berbeda antara perusahaan yang masih tertutup dibandingkan dengan yang terbuka.
Konvergensi IFRS berkontribusi terhadap peningkatan biaya kepatuhan oleh perusahaan (De George et al, 2013). Hal ini tentu akan membuat auditor harus berhati-hati sehingga tidak lalai dalam melaksanakan tugasnya. Perusahaan yang sudah mengeluarkan biaya yang lebih tinggi tentu akan menuntut kinerja auditor yang lebih baik. Kehati-hatian auditor ini sangat diperlukan karena untuk melindungi reputasinya, auditor harus melakukan peningkatan upaya audit akan meningkatkan audit fees.
2.1.10. Litigasi Auditor
Reputasi dari kantor akuntan publik mempengaruhi audit litigation yang mempengaruhi audit fees. Eu-Jin dan Houghton (2000) menyatakan pemodelan audit fee dan audit litigation adalah dua topik yang terpisah namun berhubungan. Litigasi auditor terjadi pada saat manajemen, pemegang saham, kreditur, atau pihak ketiga lainnya berusaha menuntut kerugian yang mereka alami dengan menghubungkan “kecacatan” dalam laporan keuangn yang diaudit dan menetapkan tanggung jawab atas kerugian kepada auditor (Sheetaraman et al. 2002).
Litigasi melibatkan persepsi dari kegagalan audit, dimana adanya kegagalan untuk mendeteksi atau mengungkapkan penyajian laporan keuangan secara material ataupun kesalahan penyajian dalam laporan keuangan (Eu-Jin dan Houghton, 2000).
Risiko litigasi yang dihadapi auditor rendah bila terjadi di negara yang memiliki peraturan hukum yang kuat sehingga upaya audit akan menurun (Kim et al, 2012). Litigasi auditor menimbulkan kerugian pada auditor maupun kantor akuntan publik antara lain menurunnya reputasi auditor atau KAP sampai mengakibatkan kebangkrutan KAP.
Kompleksitas Audit
Kompleksitas audit dinilai berdasarkan jumlah anak perusahaan yang dimiliki entitas baik di dalam maupun di luar negeri. Hassan dan Naser (2013) menyatakan perusahaan dengan jumlah anak perusahaan yang banyak lebih kompleks dibandingkan dengan perusahaan yang mempunyai anak perusahaan yang lebih sedikit atau tidak ada sama sekali. Alasan utama yang menjadi penyebab hal ini adalah semakin banyak jumlah anak perusahaan maka waktu kegiatan pengauditan semakin lama dan semakin dibutuhkan keahlian yang tinggi dalam memastikan akurasi dari laporan keuangan konsolidasinya.
Friis dan Nielsen (2010) menyatakan kompleksitas perusahaan disebabkan oleh faktor-faktor yang melekat pada perusahaan tersebut. Faktor- faktor tersebut terdiri dari (1) jumlah anak perusahaan; (2) apakah perusahaan menjalankan program berbasis saham insentif atau tidak; (3) jenis industri; (4) ukuran perusahaan; (5) jenis perusahaan, terbuka atau tertutup.
2.1.12. Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan yang besar tentunya memiliki aktivitas yang lebih banyak. Hassan dan Nasser (2013) menyatakan perusahaan yang besar cenderung untuk melakukan pengungkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Akibatnya diperlukan jasa pengauditan yang lebih banyak. Lebih lanjut, perusahaan besar tentunya memiliki sumber keuangan yang lebih banyak sehingga dapat membayar kantor akuntan publik yang sudah berafiliasi dengan internasional. perusahaan terkait kebutuhan auditor untuk lebih banyak menggunakan waktu, sumber daya dan upaya dalam menyiapkan, menganalisa dan menguji informasi perusahaan sebelum penerbitan opini audit. Kebutuhan tersebut berhubungan dengan informasi mengenai jumlah aktiva dan jumlah kewajiban yang dimiliki oleh perusahaan.
De George et al (2013) juga mengungkapkan bahwa perusahaan kecil tidak memiliki departemen akuntansi yang besar dan berketrampilan khusus untuk menerapkan sistem akuntansi pada level tinggi. Akibatnya biaya pengadopsian IFRS ini akan menjadi mahal pada perusahaan kecil. Oleh karenanya IASB mengembangkan IFRS khusus untuk Small Medium-sized
Entities (SMEs). Adapun tujuan ini menurut De George et al (2013) yaitu
untuk mengurangi biaya persiapan dan kepatuhan yang terkait dengan skala adopsi penuh IFRS.
2.1.13. Akuntan Publik, dan Kantor Akuntan Publik
Akuntan publik bersertifikat menurut Arens, Elder, dan Beasley (2006) didefinisikan sebagai berikut: “Akuntan publik bersertifikat adalah seseorang yang telah memenuhi persyaratan peraturan negara bagian, termasuk lulus ujian sertifikasi akuntan publik, dan dengan demikian telah bersertifikat; seorang akuntan publik mungkin memikul tanggung jawab utama untuk melakukan fungsi audit atas laporan keuangan historis yang diterbitkan entitas-entitas keuangan yang bersifat komersial maupun non komersial.” Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang akuntan publik mendefinisikan Kantor Akuntan Publik (KAP) adalah undangan dan mendapatkan izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini. Kantor akuntan publik melaksanakan empat jenis jasa utama yaitu jasa akuntansi dan pembukuan, jasa perpajakan, jasa konsultasi manajemen dan jasa auditing (Mulyadi, 2005). Kantor akuntan publik di Indonesia terdiri dari
Big Four dan Non Big Four. KAP Big Four merupakan kantor akuntan publik
internasional yang berafiliasi dengan KAP lokal. Sedangkan kantor akuntan publik internasional yang berafiliasi dengan KAP lokal. Sedangkan kantor akuntan publik Non Big Four merupakan kantor akuntan publik lokal yang didirikan atas izin dari Menteri Keuangan atau pejabat berwenang setelah melalui tahap ujian pendirian KAP.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Younas et al. (2014) jenis KAP merupakan faktor yang mempengaruhi dalam penilaian audit fees di negara Cina. Negara Indonesia dan negara Malaysia adalah negara berkembang seperti Cina. Jika bercermin dari negara Cina, dimana jenis KAP sangat mempengaruhi audit fees, maka terdapat kemungkinan bagi jenis KAP sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi audit fees di negara Indonesia dan Malaysia.
2.1.14. Audit Fees
Imbalan atas jasa yang diterima oleh auditor atas jasa auditnya ini disebut audit fee. Friis dan Nielsen (2010) mendefinisikan audit fees sebagai pembayaran yang legal atas jasa audit atau total pembayaran kepada auditor dalam rangka memberikan jasa selain jasa audit. Besarnya audit Publik (2000) menyebutkan besarnya audit fee yang diterima oleh auditor dapat bervariasi dan dipengaruhi oleh: (i) risiko penugasan, (ii) kompleksitas jasa yang diberikan, (iii) tingkat keahlian yang diperlukan untuk melaksanakan jasa tersebut, (iv) struktur biaya KAP yang bersangkutan, dan (v) pertimbangan professional lainnya.
Auditor mengharapkan untuk menerima audit fees yang sesuai dengan pelayanan yang diberikannya. Di sisi lain, perusahaan juga menginginkan jumlah audit fees yang tidaklah memberatkan keuangan perusahaannya. Pengungkapan audit fees masih bersifat voluntary disclosure di kedua negara. Konsekuensi dari sifat pengungkapan ini yaitu tidak semua perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia dan di Bursa Malaysia mencantumkan besarnya audit fees di laporan keuangannya. Jumlah audit fees disajikan dalam professional fees di laporan keuangan Indonesia. Sementara, jumlah
audit fees di laporan keuangan Malaysia disajikan dalam auditor
remuneration. Maka, secara sekilas, pengungkapan untuk negara Malaysia
jauh lebih baik dibandingkan di Indonesia. Adanya perbedaan pengungkapan ini merupakan salah satu keterbatasan penelitian.
Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) menerbitkan Surat Keputusan No. KEP.024/IAPI/VII/2008 tentang Kebijakan Penentuan Fee Audit.
Menurut surat keputusan tersebut, peentuan audit fees selain terkait dengan perikatan audit, sebaiknya mempertimbangkan antara lain sebagai berikut:
1. Kebutuhan klien;
Tugas dan tanggung jawab menurut hukum (statutory duties); 3. Independensi; 4. Tingkat keahlian (levels of expertise); 5. Tanggung jawab yang melekat pada pekerjaan yang dilakukan; 6. Tingkat kompleksitas pekerjaan; 7. Banyaknya waktu yang diperlukan dan secara efektif digunakan oleh akuntan publik dan stafnya untuk menyelesaikan pekerjaan;
8. Basis penetapan fee yang disepakati.
Sementara itu, Malaysian Institute of Accountants (MIA) menerbitkan
Recommended Practice Guide 7 (RPG 7) mengenai panduan untuk
menentukan tagihan jasa assurance professional kepada klien yang diberlakukan secara efektif pada 1 Maret 2010. Dalam RPG 7 ini dijelaskan bahwa jasa professional untuk audit yang bernilai dibawah RM 800 adalah nilai yang tidak realistis. Hal ini berarti, pada negara Malaysia terdapat pengukuran nilai minimum pada audit fees. Namun, untuk negara Indonesia nilai minimum ini belum diterbitkan oleh regulator.
2.2.Peneltian Terdahulu
Banyak penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
audit fees. Berikut ini adalah ringkasan penelitian terdahulu terkait penelitian ini:
Ringkasan Penelitian Terdahulu
Penyesuaian standar akuntansi Finnish dengan IFRS secara positif dan siginifikan mempengaruhi jumlah
IFRS expertise expertise yang lebih tinggi.
3. Vieru dan Schade witz (2010)
Impact of
IFRS Transition on Audit and non- Audit fees: Evidence from Small and Medium- sized Listed Companies in Finland
Audit Fees
dan Non-
audt Fees
Karakteristik KAP, Karakteristik Klien, Audit
Risk
audit fees yang dibayar
audit fees dibandingkan
dan meningkatkan audit risk .
4. Friis dan Nielsen (2010)
Audit Fees and IFRS Accounting Is Information Costly?
IFRS dan
Audit Fees
Internal Kontrol Perusahaan, Ukuran Perusahaan,
Non-audit
Penerapan IFRS tidak meningkatkan Audit
Fees secara signifikan.
dengan auditor dengan
semakin meningkatkan
No. Peneliti (Tahun)
2. Chen (2014)
Judul Penelitian
Variabel Penelitian Hasil Penelitian Variabel
Dependen Variabel
Independen
1. De George et all.
(2013) How Much Does IFRS Cost? IFRS Adoption and Audit Fees
Audit Fees Ukuran
Klien, Kompleksitas Audit, Auditor- Client risk sharing, Pengadopsia n IFRS
Kenaikan biaya audit secara abnormal terjadi pada post-IFRS. Hal ini sesuai dengan risiko yang ditanggung baik oleh klien maupun auditor.
How Does Mandatory
expertise maka akan
IFRS Adoption Affect the Audit Service
IFRS
Expertise
Kompleksitas audit, Kualitas Audit, Audit
Fees, Audit Market Share
Setelah pengadopsian
IFRS, Big Four memiliki tingkat IFRS
expertise
yang lebih tinggi dibandingkan dengan non Big Four. Semakin rendah IFRS
Tetapi penerapan IFRS pada perusahaan besar dan lebih kompleks akan Kompleksitas Audit
fees premium daripada
Kompleksitas Audit, Tipe Industri, Jenis KAP,
akibat adopsi
Audit fees
Audit, Kualitas Laporan
IFRS Audit Fees Kompleksitas
The Impact of Mandatory
7. Kim, Liu, dan Zheng
audit report lag.
perusahaan, kompleksitas audit, dan
fees dengan ukuran
Adanya hubungan langsung antara audit
Audit Report Lag, Audit Committee Independenc e
Corporate
Risk,
perusahaan kecil dan tidak memiliki kegiatan operasi yang rumit. Studi ini dilakukan pada perusahaan-perusahaan Denmark yang tercatat di Bursa tahun 2008- 2011 mengindikasikan penerapan IFRS yang mengakibatkan meningkatkan biaya penerapan standar baru dan meningkatkan internal kontrol perusahaan.
Perusahaan, Keuntungan Perusahaan,
Audit Fees Ukuran
Determinan ts of Audit Fees: Evidence from Emerging Economy
6. Hassan dan Nasser (2013)
IFRS adalah standar yang kompleks sehingga butuh usaha audit yang lebih banyak
IFRS. Hal ini karena
Peningkatan audit fee terjadi secara signifikan pada masa pasca adopsi
IFRS, Struktur kepemilikan, Pergantian KAP, Jenis KAP
Audit Fee Kompleksitas Audit, Ukuran Perusahaan,
Audit Fees after IFRS Adoption: Evidence from Malaysia
5. Yaacob dan Che- Ahmad (2012)
IFRS berpengaruh secara signifikan terhadap kenaikan on Audit Fees: Theory and Evidence dan Sistem
Peraturan Hukum menurunkan kualitas laporan keuangan. Sistem peraturan hukum negara yang tinggi akan menurunkan audit fees
audit fees yang dibayarkan.
fees adalah kompleksitas
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pada negara Pakistan faktor-faktor yang mempengaruhi audit
Perusahaan, Profitabilitas Perusahaan, Risiko Klien, Likuiditas, Kompleksitas Bisnis, Jenis KAP, Komite Audit
Audit Fees Ukuran
(2014) Audit Pricing in China and Pakistan: A Comparativ e Review of Audit Practices
10. Younas et al.
KAP Atribut Hasil Penelitian menunjukkan bahwa setiap faktor yang dipakai pada grup adalah penting. Tingkat kepentingan faktor pada setiap kelompok adalah sama pentingnya.
Audit Fees Atribut klien,
Determinan ts of Audit Fees: Evidence from Lebanon
9. El- Gamma l (2012)
canggih sistem teknologi informasi maka semakin tinggi
premium meskipun
audit fee . Semakin
Kelima faktor berpengaruh secara signifikan terhadap
Sistem teknologi informasi, Regulasi
to the asset ,
dan inventory
account
receivable
transaksi, jumlah anak perusahaan, Jumlah
Audit Fees Jumlah
Determinan ts of Audit Fees in Bahrain
8. Amba dan Al- Hajeri (2013)
temuan baru terdeteksi oleh auditor.
bisnis dan risiko perusahaan. Namun, pada negara Cina faktor- faktor yang mempengaruhi audit fees adalah jenis KAP. Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi audit fees selama masa pengadopsian IFRS yang ada di Indonesia dan Malaysia. Setelah ditemukan faktor-faktor yang mempengaruhi audit fees selama masa pengadopsian IFRS di Indonesia dan Malaysia, maka dilakukan analisis komparatif diantara kedua negara. Oleh karenanya untuk mengukur masing- masing faktor yang mempengaruhi audit fees di Indonesia maupun Malaysia akan dilakukan pengolahan data dengan memisahkan sampel yang berasal dari Indonesia maupun Malaysia. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi audit fees yang menjadi fokus penelitian ini adalah audit report lag, risiko litigasi, kompleksitas audit, ukuran perusahaan, jenis KAP, pengadopsian IFRS. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada gambar 2.1 ini:
Kerangka Pemikiran
H2
Audit fees
di Indonesia Ada perbedaan faktor- faktor yang mempenga- ruhi audit
fees selama
masa pengadop- sian IFRS di
Indonesia dan Malaysia
Audit fees
di Malaysia
Audit Report Lag Kompleksitas Audit Risiko Perusahaan Ukuran Perusahaan Jenis KAP Skor Pengadopsian
IFRS Tahun Pengadopsian
IFRS
H1b H2b H1a H2a H1c H2c H1d H2d H1e H2e H1f H2f H1g
H2g H1
H3 Hipotesis merupakan pernyataan singkat mengenai permasalahan penelitian dan kesimpulan dari tinjauan pustaka yang telah disusun. Hipotesis diasumsikan sebagai jawaban sementara atas penelitian yang didukung oleh landasan teori dan penelitian-penelitian terdahulu.
2.4.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Audit Fees Selama Masa Pengadopsian IFRS di Indonesia dan Malaysia
Dalam penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi audit fees selama masa pengadopsian IFRS yang diteliti yaitu:
1. Audit Report Lag terhadap Audit Fees
Lamanya audit report lag dapat mencerminkan tingkat kesulitan audit dalam perusahaan. Semakin sulit kegiatan audit yang dilakukan tentunya akan semakin banyak usaha audit yang dilakukan, yang pada akhirnya akan meningkatkan audit fees yang harus dibayarkan. Pada penelitian yang dilakukan oleh Hassan dan Nasser (2013) menemukan bahwa ukuran perusahaan, kompleksitas audit dan, audit report lag secara positif dan signifikan berhubungan dengan audit fees. Hal ini sejalan dengan penelitian terdahulu oleh Chan et al (1993), Ezzamel et al. (1996).
Berdasarkan penjelasan atas landasan teori dan penelitian sebelumnya, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: H1a: Audit report lag berpengaruh terhadap audit fees secara parsial selama masa pengadopsian IFRS di Indonesia. masa pengadopsian IFRS di Malaysia.
2. Kompleksitas Audit terhadap Audit Fees
Adopsi IFRS menimbulkan dua efek dalam hubungan kompleksitas audit dengan audit fees (Kim et al, 2012). Pertama, IFRS dapat memperbaiki kualitas laporan keuangan,dimana IFRS dapat meminimalisasi kesalahan penyajian (misstatement) pada laporan keuangan sehingga dapat mengurangi risiko. IFRS juga berfungsi mengisi “kekosongan” standar lokal dan memberikan perbandingan terhadap masalah akuntasi. Hal ini membuat pertimbangan menjadi lebih baik, berkurangnya misstatement, dan meningkatkan kepatuhan terhadap standar akuntansi lokal. Efek positif jika kompleksitas audit mendominasi, maka hal ini dapat meningkatkan kualitas pelaporan keuangan sehingga menyebabkan peningkatan audit fees. Kedua, efek negatif yang timbul jika kualitas laporan keuangan mendominasi. Maka,
audit fees akan menurun karena perbaikan kualitas laporan keuangan akan
menurunkan bukti atau temuan audit yang berpengaruh atas fee yang diterima.
Semakin rumit pekerjaan audit, tentunya akan semakin banyak upaya audit yang dilakukan oleh auditor. Hal ini tentunya akan berkorelasi positif terhadap audit fees yang diterima auditor. Salah satu hal yang menyebabkan peningkatan upaya audit adalah jumlah dan level kesulitan yang tinggi dari jasa audit yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Hasan dan Nasser (2013).
Berdasarkan penjelasan atas landasan teori dan penelitian sebelumnya, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: H1b: Kompleksitas audit berpengaruh terhadap audit fees secara parsial selama masa pengadopsian IFRS di Indonesia.
H2b: Kompleksitas audit berpengaruh terhadap audit fees secara parsial selama masa pengadopsian IFRS di Malaysia.
3. Ukuran Perusahaan terhadap Audit Fees
Ukuran Klien Audit merupakan salah satu variabel yang dianggap penting dalam menentukan besar audit fees. Hassan dan Naser (2013) telah meneliti Ukuran klien juga dinyatakan berpengaruh positif terhadap besar
audit fee s. Gammal (2012) yang meneliti fator-faktor yang menentukan audit
fees menyatakan bahwa dari semua variabel independen yang diuji dalam
penelitiannya, yang berpengaruh positif terhadap audit fees, ukuran perusahaan merupakan faktor yang paling mempengaruhi besar audit fees.
Berdasarkan penjelasan atas landasan teori dan penelitian sebelumnya, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: H1c: Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap audit fees secara parsial selama masa pengadopsian IFRS di Indonesia.
H2c: Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap audit fees secara parsial selama masa pengadopsian IFRS di Malaysia.
Risiko Perusahaanterhadap Audit Fees Seetharaman et al (2002) meneliti hubungan antara risiko litigasi dengan audit fees dengan menghubungkan dua faktor yaitu lingkungan yang mewajibkan pengungkapan audit fees dan lingkungan yang tidak mewajibkan. Seetharaman et al (2002) meneliti dengan memfokuskan perusahaan yang berasal dari UK yang cross-listed di US stock exchange, yang menghasilkan perusahaan UK dikenakan audit fees yang lebih tinggi untuk jasa audit ketika mereka cross-listed di US stock exchange.
Risiko Perusahaan memiliki hubungan positif jika auditor memberikan jasa auditnya untuk klien dengan risiko yang tinggi (Yaacob dan Che-Ahmad, 2012; De George et al, 2013). Berdasarkan teori Deep Pocket, risiko perusahaan dapat meningkatkan audit fees secara signifikan. Hal ini disebabkan jika risiko perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan tinggi, maka auditor akan semakin berhati-hati dan menambah upaya audit yang dilakukan untuk meminimalisasi ancaman risiko litigasi yang akan dituntut oleh pihak yang berkepentingan kepada auditor. Biaya audit untuk menanggung besarnya risiko litigasi yang ditanggung auditor tercermin dalam audit fees yang diberikan (De George et al, 2013).
Berdasarkan penjelasan atas landasan teori dan penelitian sebelumnya, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: H1d: Risiko perusahaan berpengaruh terhadap audit fees secara parsial selama masa pengadopsian IFRS di Indonesia. selama masa pengadopsian IFRS di Malaysia.
5. Jenis KAPterhadap Audit Fees
Hubungan positif antara jenis KAP dan audit fees terkait dengan Big
Four lebih sering memperoleh premium fees yang tidak mempengaruhi