Kuliah Etika Hand out Mahasiswa

  

MATA KULIAH

ETIKA

SEKOLAH TINGGI KATEKETIK PASTORAL

KATOLIK

“BINA INSAN” REFERENSI: Suseno, F.Magnis, Etika Dasar, Kanisius, Yogyakarta, 1987 Bertens,K., Etika. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993 Bertens,K., Perspektif Etika, Kanisius, Yogyakarta, Cet. Ke-5, 2005

Sugiharto,B.I., Wajah Baru Etika dan Agama, Kanisius, Yogyakarta, Cet. Ke-6, 2009

Haryatmoko, Etika Komunikasi, Kanisius Yogyakarta, Cet. Ke-5, 2011 Sinaga, A.B., Etos dan Moralitas Politik, Kanisius, Yogyakarta, Cet. Ke-5, 2008 Suseno, F.Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta, Cet. Ke-9, 2003 Widjaja H.A.W. Prof. Drs., Etika Pemerintahan, Bumi Aksara, Jakarta, 1997 Kleden, Leo, Kuliah Etika (Materi Kuliah Etika STF Ledalero), Ledalero, 1992

  

PENGANTAR

I. Beberapa Contoh Kasus:

  Euthanasia (eu: tenang; thanasia: kematian): • kasus dr. Kevorkian (News Week) : menolong sektr 15 pasien untuk mengakhiri hidup mereka, dgn alas an: lebih baik mengakhiri hidup mereka dengan lebih tenang. Pemerintah US mengambil tindakan tindakan legal dengan menuduh dokter tersebut melanggar UU Negara itu. Sementara Kevorkian merasa dia buat yang terbaik, yakni membantu mereka meninggal, karena sakit yang tidak dapat disembuhkan. Apakah secara moral tindakan itu dapat dibenarkan ? Membandingkan: antara tindakan legal (melanggar/tdk melanggar aturan/hukum) dan tindakan moral (menurut HN, norma objektif dan maksud perbuatan) Seorang Janda mempunyai 5 org anak, 1 org kuliah di PT, 1 org sekolah di SMA, 1 • org sekolah di SMP, 1 orang sekolah di SD dan yg bungsu masih usia 3 tahun. Mendiang Suaminya tdk meninggalkan apa-apa untuk mereka, selain hutang yang bertumpuk pada Tengkulak. Semasa suaminya masih hidup, sang Janda adalah seorang Ibu RT yang hanya tahu urusan dapur dan rumah, tidak terbersit sedikit pun bayangan bahwa suatu saat dia harus bekerja, memikirkan nasib dan kebutuhan anak-anaknya dan dia sendiri. Maka dia sangat terpukul dan bingung dengan kepergian suaminya. Dia dihadapkan pada dua masalah yang sama-sama penting: melunasi hutang mereka pada tengkulak dan membiayai hidup dan sekolah anak-anaknya. Dalam kondisi itu, sang Tengkulak menawarkan pilihan untuk menjadi istri simpanannya, asal bisa menjaga sikap dan rahasia, dan semua keperluan dan kebutuhannya dipenuhi serta hutangnya dihapus. Sang Janda tsb dihadapkan pada pilihan dilematis: jika dia menolak tawaran sang Tengkulak, bagaimana dia bisa melunasi hutang yang bertumpuk-tumpuk itu dan biaya hidup serta pendidikan anak-anaknya. Di lain pihak, jika dia setuju dengan tawaran sang Tengkulak, dia merasa melawan SHnya, dan bagaimana kalau anak-anaknya tahu hal itu; bagaimana juga nanti kalau suatu saat istri dan keluarga Tengkulak itu tahu, dan bagaimana nanti kalau masyarakat di lingkungannya tahu tentang hal itu. Lalu, dalam kebingungannya, sang Janda memutuskan untuk rela menjadi simpanan seorg tengkulak, demi kelangsungan hidup keluarga dan biaya pendidikan anak- anaknya. (Obyektif: salah; subyektif: tdk tahu, karena harus melihat latarbelakang tindakannya, HN sang Janda. Penilaian: a. Langgar HN scr sadar: salah, tetapi di bawah tekanan. b. yakin bahwa tindakan itu heroik: bernilai. Seorang Bapak memiliki 5 orang anak, semuanya sedang duduk di bangku • sekolah, dan dia sedang mengembalikan pinjaman dari Bank untuk rumah sederhana mereka yang dibeli secara kredit. Bapak tsb adalah seorang pegawai yg rajin dan jujur, tetapi karena sikapnya itu dia dikucilkan oleh rekan dan atasannya.

II. Kesimpulan: Apa yg disebut moral selalu berhubungan dgn praksis, dgn tindakan manusia • (baik-buruk tindakan manusia). Cth I: terlihat bahwa sifat legal sebuah tindakan tidak sama dengan nilai • moralnya. Sifat legal hanya ditentukan oleh pertanyaan: apakah suatu

  tindakan itu sesuai dgn aturan & hukum yg berlaku atau tidak. Motivasi dan ditentukan oleh keyakinan HN, tujuan yang hendak dicapai dan cara yang digunakan. Secara moral, tujuan tidak menghalalkan cara. Cth II & III: ditemukan sejumlah faktor lain yang ikut menentukan nilai moral • suatu perbuatan: situasi dan kondisi yang melingkungi suatu perbuatan (circumstantia)

BAB I PENDAHULUAN I Latar Belakang : Perubahan pandangan hidup • Pergeseran Nilai dan Krisis • Etika adalah sebuah disiplin filsafat yang menyelidiki kewajiban moral serta baik-

  buruknya tindakan manusia. Akan tetapi kewajiban moral dan baik-buruknya tindakan manusia itu selalu ditemukan dan dinilai dalam situasi konkret di mana manusia itu hidup.

  Nilai moral tidak pernah boleh dibicarakan dalam situasi netral atau vacuum, tetapi selalu berdasarkan situasi konkret / situasi tertentu. Nilai dan Penilaian Moral pada situasi konkret dipengaruhi oleh adanya perubahan pandangan hidup. Perubahan pandangan hidup mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai yang dihayati dalam kehidupan masyarakat. Perubahan pandangan hidup dan pergeseran nilai tersebut, di satu pihak disebabkan oleh adanya krisis kebudayaan, namun di lain pihak, krisis juga menyebabkan perubahan pandangan hidup dan pergeseran nilai. Maka, krisis bisa menjadi sebab dan bisa menjadi akibat.

  Secara negatif: Perubahan yang terlalu cepat bisa menimbulkan krisis: disorientasi

  (kehilangan arah/tdk tahu arah yg jelas) dan disintegrasi (nilai-nilai yang dianut hilang/ mengalami keterpecahan, dan muncul nilai-nilai baru yang belum ada sebelumnya dan belum jelas). Secara positif: krisis dilihat sbg suatu fase dalam perkembangan kebudayaan, suatu fase peralihan untuk mencari dan menciptakan sesuatu yang baru.

  Sebab yang paling mendasar dari krisis adalah pergeseran paradigma kebudayaan.

  1.1 Pergeseran Paradigma Kebudayaan

1 Paradigma : model, pola, kerangka

  Di atas sudah disebutkan berbagai perubahan dalam bidang moral. Namun sebenarnya yang terjadi adalah bahwa ada begitu banyak pergeseran dlm bidang-bidang kehidupan: sosial, politik, ekonomi dan agama. Semua bidang ini termasuk kebudayaan bila memahami kebudayaan dlm arti seluas-seluasnya, yaitu sebagai keseluruhan proses

  dan hasil budi daya manusia. Jd, kebudayaan sekaligus verb & noun (sbg hasil: meja,

  kursi, buku, dll; sbg proses: bagaimana buat rumah, proses belajar, bagaimana orang

  

  Perubahan memiliki dua basis, yaitu, basis rasional (perubahan begitu cepat karena arus informasi yang begitu cepat); dan basis material (perlatan yang berubah krn perkmbgn & kemajuan teknologi: ex. Sekop ke traktor, parang ke chainsaw, dll )

  Secara garis besar, perubahan paradigma itu terjadi dalam tiga tahap/kategori: paradigma pra-modern, paradigma modern & paradigma post-modern. Yang akan menjadi fokus perhatian dalam pembahasan setiap paradigma itu adalah pandangan ttg dunia, ttg masyarakat & ttg perwujudan pribadi manusia di tengah dunia.

  1.1.1 Paradigma Kebudayaan Pra-Modern Beberapa ciri khas kebudayaan Pra-Modern adalah :

  1.1.2 Paradigma Kebudayaan Modern Beberapa ciri khas kebudayaan Modern adalah sebagai berikut:

  

4 Moralitas statis: 1). terbatas pada satu masyarakat saja dan tidak berlaku untuk seluruh umat

manusia. 2).Cenderung mempertahankan status quo. 3). Bersifat impersonal, karena lebih

  Karena itu, bisa diselidiki, dieksploitasi, direkayasa dan digunakan untuk kepentingan manusia. Jika dalam kebudayaan Pra-Modern waktu bersifat siklis, maka dalam kebudayaan Modern waktu bersifat linear, yang diukur secara matematis dan waktu matematis itu tidak akan berulang, sehingga ada ungkapan “Time is money, dll”. Jika dalam

  

objek penelitian rasional yang melahirkan ilmu dan teknologi. Maka, dunia tidak lagi

kosmos-sakral, melainkan alam-sekular yang dikuasai oleh hukum-hukum mekanistik.

  2 Prinsip masyarakat Modern adalah: jika aku menjadi subjek, maka dunia menjadi

  (beranilah berpikir sendiri) menjadi pedomaan dan prinsip berpikir sebagai awal lahirnya paradigma ini.

  

  

  

  1 Kebudayaan Modern lahir sebagai afirmasi diri “AKU” sebagai ”Subjek”. Secara epistemologis, semua yang lain bisa disangsikan, kecuali AKU. AKU Subjek ini dibimbing oleh ratio dengan hukum akal budi yang universal. Cogito ergo Su

  

  1. Dalam kebudayaan Pra-Modern, dunia adalah kosmo

  5. Secara keseluruhan, kebudayaan Pra-Modern bersifat statis. Juga moralitasnya adalah moralitas stati

  Orang hidup dalam semangat kekeluargaan yang kental.

  4. Dalam kebudayaan Pra-Modern, masyarakat merupakan satu-kesatuan hidup yang dilukiskan sebagai organisme, di mana setiap anggota mempunyai peran tertentu.

  hak dan kepentingan individu. Tingkah laku yang baik dan benar dihayati menurut figure mitologi yang dikisahkan dalam hikayat, puisi, wayang, dst…

  khusus dalam orde sakral. Harmoni kolektif ditempatkan jauh lebih penting daripada

  3. Bagi manusia Pra-Modern, perwujudan diri yang ideal berarti menemukan tempat

  2. Dalam masyarakat Pra-Modern, kosmos bersifat sacral, sebab tertib semesta alam ini terjelma melalui perwahuan diri Yang Kudus. Manusia hidup dalam kedekatan dengan Yang Kudus. Dunia sakral dan dunia profan saling meresapi dan melengkapi. Kehadiran Tuhan, Dewa atau Yang Kudus tidak dipersoalkan sama sekali, karena manusia Pra-Modern mengalaminya secara langsung dalam kehidupan sehari-hari.

   Dari arti katanya sudah menunjukkan bahwa untuk manusia pra-modern, alam semesta ini merupakan susunan yang teratur dan indah. Di tengah kosmos, tatanan yang teratur itu, setiap benda atau makhluk memiliki nilai dan artinya masing-masing dalam harmony dengan

  

3 Arti kata Kosmos adalah alam semesta, susunan yang teratur, keindahan

  

  kebudayaan Pra-Modern, perkumpulan sebagai tujua sedangkan dalam

  

  3 Dalam masyarakat Modern, perwujudan diri berarti menemukan dan merealisasikan

  AKU yang unique (aku sebagai individu yang unik). Perwujudan diri ini dibimbing oleh

  rationalitas universal, dengan cita-cita kemajuan terus-menerus, menuju kesempurnaan dan kebahagiaan manusia. utama, maka eksistensi masyarakat dilihat sebagai sesuatu yang sekunder. Memahami adanya masyarakat sebagai wadah tempat individu berkumpul untuk mencapai kepentingan tertentu.

  5 Dalam masyarakat Modern, hubungan AKU – ENGKAU bersifat fungsional. Karena itu, para teoritisi sosial dari zaman modern spt.. John Lock, Hobbes, Jean Jack Rousseau mengajarkan teori kontrak sosial mengenai timbulnya masyarakat.

  6 Secara keseluruhan, kebudayaan Modern bersifat dinamis. Moralitasnya adalah

  

  

  1.1.3 Paradigma Kebudayaan Post-Moder

  A. Latar-belakang Munculnya Paradigma Kebudayaan Post-Modern

  1 Post-Modernisme sebagai kritik rasionalitas Kebudayaan Post-Modern lahir partama-tama sebagai reaksi dan kritik terhadap modernisme. Rationalisme universal manusia modern dengan cita-cita penyempurna- an manusia oleh manusia akhirnya menemui keterbatasannya yang paling spektakuler dalam abad yang lalu, bisa dilihat dalam contoh fakta berikut: Pertama, Dalam abad 20 manusia membuat tindakan yang sangat irasional dengan membunuh puluhan juta bahkan ratusan juta orang dalam PD I & II dan pembantaian dalam kamp-kamp konsentrasi. Kedua, Pengolahan alam untuk kepentingan manusia yang menemui keterbasannya dalam dampak-dampak negative seperti menipisnya lapisan ozon, perubahan iklim global, pencemaran lingkungan, dst, dst… yang ternyata manusia tidak sanggup/tidak mudah untuk mengatasinya. d/l: tindakan manusia demi penyempurnaan dirinya justru mendatangkan malapetaka bagi dirinya sendiri.

  2 Post-Modernisme sebagai kritis ilmu Dari segi ilmunya sendiri, muncul reaksi-reaksi yang menunjukkan keterbatasan radikal rasio manusia. Misalnya muncul dalam beberapa penemuan dan pemikiran

  

7 Ingat dalam pepatah Jawa: mangan ora mangan asal kumpul. Hidup berkumpul dan berada

bersama sebagai tujuan hidup masyarakat.

  8 Organisasi atau komunitas sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi atau bersama. Jika tidak mencapai itu, maka perkumpulan itu harus dibubarkan karena dianggap tidak ada gunanya.

  9 Ciri moralitas dinamis dalam kebudayaan Modern: 1). Terbuka untuk semua manusia. 2). Diarahkan terus-menerus kepada penyempurnaan manusia itu. 3). Bersifat personal 4). Perintah dan larangan hanya ditaati sejauh bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.

  10 Istilah Post-Modernisme baru muncul tahun 1980-an dalam tulisan J.F. Lyotard dalam beberapa ahli berikut: pertama, Menurut Sigmund Freud, bagian terbesar dari hidup psikis manusia adalah lapisan tak sadar, dan karena itu tindakan manusia seringkali dilandasi motif-motif irasional. Kedua, Strukturalisme berhasil menyadarkan kita bahwa pola hidup dan tingkah laku manusia selalu dikondisikan oleh kerangka

  

  struktural di mana dia hidupKetiga, J. Habermas (seorang Filsuf yang terkemuka diabad ini) membuka kedok prasangka-prasangka yang ada di balik ilmu yang paling murni sekali pun. Contoh: seluruh teori ekonomi berdasarkan hukum kekuasaan (yang kuat menguasai yang lemah). Jadi, ilmu yang paling rasional sekalipun, ternyata mengandung latar-belakang irasional.

  B. Beberapa Ciri Khas Kebudayaan Post-Modern

  1 Jika manusia Pra-Modern melihat diri sebagai bagian dari kosmos-sakral dan seorang Modern melihat diri sebagai subjek dalam hubungan dengan dunia sebagai objek, maka seorang Post-Modern melihat diri sebagai makhluk yang mengada bersama

  

yang lain dalam duni Hubungan dengan dunia ditandai dengan dialektika antara

  

belongingness dan distanciatio Oleh karena keterlibatan ontologis (berdasarkan

  struktur ada) dinia ini bukanlah objek, melainkan lingkup hidup di mana manusia mewujudkan diri. Tetapi oleh distansi (penjarakan) manusia sanggub mengubah dan

  

  mengembangkan dunia terber Dalam pemahaman tentang waktu: jika orang Pra- Modern memahami waktu sebagai sesuatu yang siklis, orang Modern memahami waktu sebagai sesuatu yang linear-matematis, maka orang Post-Modern memahami

  

  2 Hubungan AKU – SESAMA dan AKU – DUNIA ditandai oleh bahasa. Bahasa bukan lagi sekedar alat (instrument) melainkan sebagai mediasi eksistensial: Mediasi AKU & DUNIA : sebagai refensi, Mediasi AKU & SESAMA: sebagai komunikasi, dan Mediasi AKU & DIRIKU SENDIRI: sebagai pengenalan diri. Jika dalam Pra-Modern pola hubungannya garis komando tertenu, dan dalam Modern ada pola komando secara organisatoris, maka dalam Post-Modern polanya adalah dialog. Dalam dialog dibutuh- kan kerelaan untuk memikul tanggung jawab, sehingga dalam decade-dekade awal munculnya paham Post-Modern muncul conciliar process, yaitu, gerakan yang

  

menekankan keadilan, perdamaian dan lingkungan, yang merupakan manifestasi

  

  3 Manusia Post-Modern menemukan lagi symbol-symbol dan mythos-mythos purba (Pra-Modern), menafsirkannya secara kritis (Modern) untuk menemukan lagi arti baru

  11 Ingat pepata: masuk kandang kambing mengembik, masuk kandang kuda meringkik 12 Lihat catatan dalam Filsafat Manusia “Aku dan Yang Lain Saling Mengadakan”.

  13 Keterlibatan dan penjarakan

  14 Dunia sebagai Yang Lain, yang turut menentukan secara mutlak eksistensi AKU. Tanpa dunia AKU tidak ada.

  

15 Siklis: sesuatu yang terus-menerus berulang dan kembali. Linear: sesuatu yang yang terus

berjalan ke depan dan tidak pernah berulang & kembali. Spiral: waktu yang berjalan ke depan menunjukkan perkembangan tetapi juga perulangan sekaligus. Di sini dipakai “perulangan” bukan “pengulangan”, sebab sesuatu yang lama diulang secara baru (bisa caranya, isi-nya, dll). bagi manusia saat ini (Post-Modern). Karena manusia tidak mungkin hidup tanpa symbol dan mytho

  

  4 Bertolak dari bahasa sebagai kondisi eksistensial, Post-Modernisme sangat meng- hargai pluralitas kebudayaan. Tiap keudayaan bersifat khas / unik, tetapi sekaligus ada kesamaan antara kebudayaan yang berbeda itu. Sebab, jika hanya ada keunikan, maka dialog antar budaya tidak mungkin, demikian pula, jika hanya ada persamaan, maka dialog tidak perlu. Maka di sini perlu ditekankan bahwa cita-cita universalitas ilmu pengetahuan selalu harus dihubungkan secara dialektis dengan pluralitas kebudayaan.

  5 Perwujudan diri sebagai makhluk yang mengada bersama yang lain dalam dunia adalah anugerah (Gabe) dan sekaligus tugas (Aufgabe

  

   Manusia pertama-tama harus menerima diri sebagai keterberian di tengah situasi sosiao-kultural yang konkret, dan baru dari titik inilah dia sanggup mengembangkan diri dan dunianya. Maka, di sini, kebudayaan harus dipahami serentak sebagai warisan dan proses

  

penciptaan baru. Sebab, warisan tanpa penciptaan baru akan mati, dan sebaliknya,

  penciptaan baru tanpa warisan mustahil, karena tidak seorang pun sanggup menciptakan dari titik zero.

  6 Secara keseluruhan kebudayaan Post-Modern bersifat dinamis, tetapi sekaligus menekankan keterbatasan manusia. Di bidang moralitas, Post-Modernisme memberi- kan kualifikasi khusus (pembatasan khusus) terhadap moralitas dinamis. Kualifikasi khusus tersebut adalah: pertama, moralitas itu terbuka untuk seluruh umat manusia, tetapi bertolak dari pluralitas kebudayaan yang berbeda. Kedua, moralitas itu bersifat personal, tetapi dikondisi oleh lingkungan sosial. Dan Ketiga, moralitas itu terarah kepada penyempurnaan manusia, sambil mengakui secara realistis keterbatasan manusia.

  1.1.4 Perbenturan Paradigma Kebudayaan di Indonesia Pertanyaan mendasar yang menantang pemikian kebudayaan saat ini adalah: Apa dampak sosio-kultural yang diakibatkan oleh benturan kebudayaan yang terjadi pada zaman teknologi informasi saat ini. Bagaimana konsekuensi pembauran lapisan kebudayaan Pra-Modern, Modern dan Post-Modern. Di belahan dunia yang lain, seperti Eropa, Amerika Utara hal ini berlangsung perlahan dan berabad-abad. Tetapi di Indonesia terutama di pedesaan dan pelosok, sesuatu yang berlangsung sangat cepat, sulit sekali bagi orang untuk dapat mencerna dengan baik, tetapi perubahan yang cepat itu terus berlangsung dan melaju.

  Tumpang-tindihnya paradigma kebudayaan mengakibatkan disorientasi ataupun

  

disintegrasi kultural, yang biasanya dialami sebagai krisis. Tetapi krisis dapat pula dihayati

  secara positif sebagai peralihan menuju transformasi kebudayaan. Asal saja kita sungguh menjadi pelaku aktif / pencipta kebudayaan itu sendiri, dan tidak hanya menjadi pasien atau resipien yang pasif.

  17 Symbol : struktur penandaan makna yang memiliki arti jamak, di mana arti yang lebih

dalam hanya bisa dimengeri melalui arti harafiah. Mythos: symbol dalam bentuk cerita; Mythos

  Di bidang moral itu berarti memikirkan dan merumuskan pendirian-pendirian moral

  kita secara kritis rasional. Inilah ikhtiar yang hendak kita coba / usahakan dalam kuliah

  ini…

  1.2 Sebab-Sebab Krisis Moral dari dalam Bidang Filsafat

  

20 Setiap pandangan filsafat bersifat radikal dan setiap pandangan filosofis tentang manusia itu secara langsung atau tidak langsung memiliki konsekuensi etis.

  1.2.2 Dalam bidang etika sendiri pun ada beberapa system yang berbeda dan bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Misalnya: Hedonisme, yang berpandangan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah kesenangan dan kenikmatan. Eudaimmonisme, yang berpandangan bahwa tujuan akhir hidup manusia adalah kebahagiaan, sebagai penyempurnaan diri manusia. Deontologisme, yang berpandangan bahwa manusia harus melakukan kewajiban moral demi kewajiban moral itu sendiri. Dan Utilitarianisme, yang berpandangan bahwa tindakan moral ditentukan oleh manfaat tindakan itu.

19 Bandingkan dengan macam-macam aliran yang memiliki pendapat dan pandangan berbeda

II. Pembatasan Ruang Lingkup Etika

  2.1 Pengertian

  2.1.1 Etimologis Etika dari kata ethos- ta etha (G): kebiasaan, adat-istiadat (Pl), padang rumput, cara berpikir (Sg). Moral dr kt Mos-mores (L): kebiasaan, adat-istiadat.

  Pengertian etimologis sudah menunjukkan bahwa refleksi filsafat (etika) tidak pernah mulai dari titik zerro, melainkan dari apa yang sudah ada dalam masyarakat. Etika bertolak dari situasi pra-refleksif: dari kebiasaan atau tindakan manusia yg sudah terpola, sehingga menjadi semacam norma dari tingkah laku manusia yang hidup dalam suatu lingkungan masyarakat.

  Bila dalam refleksi selanjutnya, contoh diambil dari satu tindakan konkret, maka tindakan ini pun mengandaikan seluruh jaringan kebiasaan & adat-istiadat yang melingkunginya, sehingga tindakan itu menjdi bermakna (baik-buruk). Kebiasaan/adat- istiadat menjadi norma tingkah laku dalam masyarakat tradisional. Tetapi hidup masyarakat modern pun terikat pada banyak aturan yg menjadi norma tingkah laku anggotanya. Bila dikatakan bahwa Etika itu bersifat kritis, minimal terhadap dua hal:

  Pertama, Etika secara kritis memeriksa segala norma yang berlaku dalam

   masyarakat. Terhdp norma-norma yang de facto berlaku, etika mengajukan pertanyaan legitimasi rasionalnya. Norma yg tidak tahan terhadap ujian kritis etika, harus ditolak.  Kedua, Etika bersifat kritis terhadap setiap lembaga & pranata sosial yang memberikan perintah dan larangan untuk ditaati. Etika tidak menolak adanya norma atau pun pranata sosial, tetapi Etika menuntut pertanggung-jawaban rasional, mengapa suatu lembaga berhak menentukan orang lain untuk melakukan atau tdk melakukan suatu tindakan.

  Karena Etika bersifat kritis, maka Etika bisa juga dianggap subversif terhdp

  

  2.1.2 Beberapa Kemungkinan Definisi Sebelum berusaha merumuskan definisi sendiri tentang Etika, lebih dahulu kita memeriksa beberapa definisi yang pernah dirumuskan.

  a. “Ethics is the study of right or wrong” (Benar-salah di sini adalah tentang tindakan manusia). Definisi ini perlu diperika: Definisi ini terlalu sempit karena bersifat legalistik, hanya memperhatikan benar • dan salah tindakan manusia menurut peraturan/norma yang berlaku. Padahal, dalam etika yang dipersoalkan bukan hanya tentang salah-benar, melainkan juga nilai baik-buruknya suatu tindakan serta tujuan akhir yang dikejar manusia dalam segala tindakannya (mis. Kebahagiaan).

  Secara legal pun definisi ini masih dapat dipersoalkan, misalnya dalam contoh • berikut: “Engkau wajib membayar hutangmu !” (secara legal lebih tegas); “Tindakanmu itu benar !” (secara legal lebih lemah)

  b. “Ethics is study of morals” (Moral di sini adalah pandangan moral maupun tindakan yang merupakan konsekuensi pandangan tersebut). Jadi, dalam pengertian di atas, Etika adalah studi tentang pandangan moral dan tindakan yang merupakan konsekuensi pandangan moral (tindakan yang menyertainya). Periksa definisi ini:

  Definisi ini secara tepat menunjukkan objek material Etika, tetapi belum secara persis memberi pembatasan pada ojek formalnya. Karena moralitas sekelompok orang (manusia) bisa juga dipelajari oleh ilmu-ilmu lain, seperti Sosiologi dan Antropologi. Bedanya: Antropologi dan Sosiologi bersifat empiris deskriptif,

  

  c. “Ethics is not the study of what is, but what ought to be”. (Etika bukanlah studi tentang apa yang ada, tetapi tentang apa yang wajib secara moral). Periksa definisi ini:

  

  Namun definisi ini bisa menyesatkan. Dalam Etika kita tidak boleh memisahkan das

  

Sein dan das Sollen. Sebab Etika berurusan dengan praksis, dengan tindakan

manusia yang konkret. Dalam arti ini, Etika sungguh berurusan dengan apa yang ada.

  Jadi, Etika juga studi tentang what is (tindakan praksis manusia), bukan hanya tentang ought to be (kewajiban secara moral).

  2.2 Merumuskan Sebuah Definisi Etika Etika adalah sebuah disiplin filsafat yang mempelajari tindakan manusia dipandang

  dari segi kewajiban moral serta baik-buruknya tindakan tersebut sehubungan dengan penyempurnaan diri manusia sebagai manusia.

  Pertanggungjawaban Kritis Terhadapa Definisi ini: Definisi ini langsung menyebut Etika sebagai salah satu disiplin Filsafat. Berarti, • Etika adalah suatu penyelidikan ilmiah yang dilakukan secara metodis, sistematis, kritis dan radikal dengan menggunakan akal-budi. Dalam sejarah, ada aliran yang secara tegas menolak Etika sebagai ilmu. Statusnya sebagai penyelidikan ilmiah ditolak, misalnya oleh Positivisme, yang berpendapat bahwa ilmu adalah sesuatu yang berhubungan dengan realitas yang sungguh-sungguh ada, yang bisa diverifikasi secara empiris. Jawaban terhadap Positivisme:

  terhadap realitas. Padahal realitas lebih

  luas dari quantifiability dan tindakan manusia yang diselidiki Etika adalah realitas yang sungguh-sungguh ada. Apalagi, pengalaman akan kewajiban moral dan nilai baik-buruknya tindakan manusia adalah pengalaman manusia yang riil dan universal.

  Tesis dasar positivisme: Realitas yang benar adalah yang bisa quantifiability dan dapat diverifikasi secara empiris. Tetapi tesis ini sendiri tidak pernah bisa

22 Perskriptif: berhubungan dengan kewajiban, sesuatu yang mewajibkan, atau kewajiban berdasarkan norma. Preskriptif: mewajibkan manusia untuk mengikuti norma-norma moral.

  diverifikasi secara empiris (keyakinan dasar sebagai tesisnya). Oleh karena itu,

  maka, jika Positivisme benar, maka Positivisme salah. d/l Positivisme mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri.

  Tindakan Manusia: •

  Tindakan manusia (praksis) adalah objek material penyelidikan Etika. Tindakan kita semua tahu apa itu sebuah tindakan. Tetapi kalau diperiksa secara teliti, maka akan sulit sekali membatasi atau merumuskannya secara tepat. Jika kita membuat analisis struktural atas sebuah tindakan, maka kita akan menemukan unsur-unsur konstitutif suatu tindakan, sebagai berikut:

  Ada PELAKU Ada TUJUAN Ada MOTIF Ada KEADAAN SEKITAR (Sirkumstansia) Ada PELAKU SERTA (baik langsung maupun tidak langsung) Ada AKIBAT (bisa sama dengan tujuan, tetapi bisa berbeda dari tujuan).

  Semua unsur di atas bersama-sama membentuk jalinan makna yang membedakan

  

  Objek penelitian Etika adalah actus humanus. Actus hominis hanya disinggung sejauh menerangkan actus humanus.

  Dipandang dari segi kewajiban moral: • Inilah aspek khusus yang membedakan Etika dari Sosiologi dan Antropologi Budaya.

  Sosiologi dan Antropologi Budaya bersifat empiris deskriptif, sedangkan Etika bersifat empiris deskriptif dan sekaligus perskriptif atau normatif. Bila kita memeriksa pelbagai aturan dan norma yang mengatur tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat, maka kita dapat membedakan tiga macam aturan umum yang memberi kewajiban kepada anggota masyarakat, yaitu: Norma Sopan-Santun, Norma Hukum, dan Norma Moral/Etis.

  Norma Sopan-Santun: aturan dalam pergaulan antar manusia berdasarkan konvensi belaka. Karena itu gampang diubah. Aturan ini biasanya berlaku untuk masyarakat tertentu saja, bukan untuk semua manusia. Sedangkan Norma Moral mewajibkan manusia secara mutlak dan pada prinsipnya berlaku untuk semua manusia.

  Norma Hukum: norma yang pelaksanaannya dituntut atau dipaksakan oleh penguasa yang sah dalam masyarakat dan pelanggarannya ditindak. Norma hukum biasanya berdasarkan aturan perundang-undangan. Norma moral tidak dipaksakan oleh penguasa dari luar, melainkan diwajibkan oleh HN manusia sendiri. Norma moral

25 Dalam bahasa Latin, secara lebih teliti dibedakan antara: ACTUS HUMANUS (perbuatan

  • • Baik-buruknya tindakan manusia

  Penyempurnaan diri manusia adalah kriteria terakhir kewajiban moral serta baik-

  4.2 Etika Khusus: membahas bagaimana prinsip-prinsip dasar moral diaplikasikan dalam pelbagai bidang hidup manusia:

  4.1 Etika Dasar: membahas masalah-masalah pokok moral, seperti soal kesadaran moral, kebebasan dan tanggung jawab HN, dan norma-norma dasar yang berlaku bagi semua manusia.

  (manusia sebagai substansi, manusia sebagai subjek, manusia sebagai makhluk unik- sosial, manusia sebagai makhluk menyejarah dan manusia sebagai makhluk jiwa- badan). Tetapi dalam Etika, semua dimensi tersebut harus dinilai dalam konteksnya yang paling konkret, berhubungan dengan tindakan manusia yang konkret.

  

  manusia menyangkut semua dimensi manusia sebagai makhluk multi-dimensional

  

buruknya tindakan itu. Tetapi apa arti penyempurnaan itu ? Penyempurnaan diri

  Dalam definisi ini kita menggunakan istilah baik & buruk juga untuk tindakan manusia, karena dalam analisis struktural yang sudah kita buat di atas, sebuah tindakan konkret langsung melibatkan pelaku, tujuan, motif dan akibat.

  yang baik atau buruk itu: orangnya atau maksudnya atau motifnya.

  

baik—uruk untuk tindakan manusia. Mereka hanya menggunakan istilah salah dan

benar. Maksudnya, tindakan itu salah atau benar menurut norma moral. Sedangkan

  Penilaian baik-buruk ini tidak terbatas pada satu bidang kehidupan tertentu saja, tetapi menyangkut seluruh priadi manusia. Para filsuf analitis tidak mau menyebut istilah

  Norma Hukum mempunyai batas waktu dan wilayah / tempat. Waktunya: sejak hukum itu disahkan dan berakhir ketika hukum itu dicabut kembali oleh penguasa yang sah. Tempat: hukum hanya berlaku dalam wilayah di mana wewenang penguasa yang mewajibkannya diakui. Misalnya dalam batas Negara. Sedangkan norma moral pada prinsipnya berlaku secara universal untuk manusia di mana pun tanpa batas waktu dan tempat.

  tidak semua norma moral dijadikan norma hukum.

  belum tentu dapat dituntut pelaksanaannya ataupun ditindak pelanggarannya. Perlu dikatakan bahwa tidak semua norma hukum sekaligus mengikat secara moral dan

  • “…. sehubungan dengan penyempurnaan diri manusia sebagai manusia.”

IV. Pembagian Etika

  • Etika Individual: membahas kewajiban manusia sebagai individu terhadap dirinya sendiri.
  • Etika Sosial: membahas kewajiban moral terhadap sesama manusia. Etika Sosial dibagi lagi dalam banyak bidang khusus, seperti misalnya Etika Keluarga, Etika Politik, Etika Lingkungan Hidup, Etika Profesi, dst…

III. Metode Etika

  3.1 Metode Umum Secara paling umum ada dua pendekatan yang dipakai dalam ilmu-ilmu: pendekatan

  

  filsafat yang meneliti praksis / tindakan manusia mau tidak mau Etika harus menggunakan metode induktif, agar tidak terlepas dari situasi manusia konkret. Di pihak lain, sebagai disiplin normatif, Etika menggunakan metode deduktif, yakni bertolak dari prinsip-prinsip moral dan mengaplikasikannya terhadap tindakan konkret. Dengan demikian Etika menggabungkan dua pendekatan ini.

  3.2 Metode Khusus (yang hendak dipakai)

  A. Fenomenologi : fenomenologi berusaha mendeskripsikan arti sesuatu sebagaimana ia muncul dalam kesadaran. Kesadaran manusia bersifat noetis – noematis. Itu berarti deskripsi fenomenologis sekaligus menyangkut aspek objektif dan aspek subjektif pengalaman manusia. Secara metodis, Husserl membedakan 3 langkah reduksi fenomenologis: Reduksi fenomenologis (zuruck zu dem Sachen Selbst), Reduksi Eidetis (untuk menemukan eudos – yg bersifat universal mengatasi ruang & waktu), Reduksi Transendental (menemukan suatu subjek transcendental). Dalam Etika, yang paling penting adalah Reduksi Eidetis dan Reduksi Fenomenologis.

  B. Metode Kritis: Metode ini dipakai ketika berbicara tentang norma-norma moral. Metode Kritis menyelidiki paham-paham filsafat moral, meneliti system dan teori yang sekarang ada,

  dan menyelidiki konsistensi dan koherensi system tersebut.

  C. Metode Metaetis Metode Metaetis adalah penelitian terhadap bahasa etis. Metode ini merupakan aplikasi dari metode analitika bahasa ke dalam bidang Etika, dengan maksud, supaya pengertian-pengertian moral dapat diungkapkan dalam bahasa yang tepat dan jelas. Metode ini mau membersihkan bahasa-bahasa moral dari kerancuan dan kekaburan arti.

  27 Metode deduktif: bertolak dari prinsip-prinsip, postula-postula atau aksioma-aksioma dan bergerak kea rah penerapan atau kepada peryataan yang lebih konkret dan rinci. Metode

induktif: bertolak dari fakta yang konkret dan particular kepada kesimpulan yang lebih umum

dan abstrak, atau dari yang individual kepada yang universal. Langkah-langkah induksi secara

garis besar: 1. pengamatan - pengumpulan data secara teliti, 2. hipotesis, 3. eksperimen

BAB II FENOMENOLOGI KESADARAN MORAL

  2.1.1 Persoalan Dalam definisi Etika telah diuraikan perbedaan Norma Moral dari Norma Sopan- santun dan Norma Hukum. Tetapi, apakah yang menjadikan sesuatu itu norma moral ?

  Kita hendak memeriksa apa yang khas dalam Norma Moral.

  Larangan seperti: Jangan membunuh atau jangan mencuri atau jangan memfitna, dapat sekaligus menjadi norma hukum, norma sopan-santun dan norma moral. Secara lahirian (dari luar/dari rumusan atau isi pernyataan), kita tidak dapat langsung menentukan apakah suatu norma itu termasuk norma hukum, norma moral atau norma sopan-santun. Maka kekhususan Norma Moral tidak terletak dalam isi pernyataannya, sebab harus lebih dahulu diperiksa pandangan suatu masyarakat tentang apa yang baik, apa yang buruk,

  

apa yang benar dan apa yang salah; dan pandangan itu berdasarkan norma moral, norma

sopan-santun atau norma hukum.

  Sebagai pendahuluan, boleh kita mengatakan bahwa sifat norma moral bukanlah lahiriah, melainkan sesuatu yang berasal dari kesadaran bantin dan kesadaran ini mempunyai ciri khas. Etika harus bertolak dari fenomena kesadaran moral, karena itu kita menggunakan metode fenomenologi untuk mendeskripsikan pengalaman moral tersebut.

  

  2.1.2 Sebuah Contoh Kesadaran Moral Kesadaran moral muncul, misalnya, apabila saya memutuskan sesuatu yang

  menyangkut hak dan kebahagiaan orang lain. Mendapat lebih dari yang semestinya

  menjadi hak kita atau mendapat lebih dari yang semestinya menjadi kewajiban orang lain terhadap kita – secara tidak sengaja, apakah mesti dikembalikan ?

  2.1.3 Unsur Pokok Dalam Kesadaran Moral

  a) Saya merasa wajib (bdk dengan contoh di atas)

  b) Kewajiban yang dirasakan itu tidak dapat ditawar-tawar (bdk contoh di atas)

  c) Kewajiban itu berasal dari dalam diri saya, tetapi sekaligus mengatasi diri saya, karena saya tidak mengarangnya dan/atau tidak merumuskannya pada saat itu.

  d) Kewajiban yang saya rasakan itu tidak bersifat sewenang-wenang, melainkan sesuatu yang masuk akal (rasional).

  e) Saya juga merasa, kalau saya melakukan perbuatan tersebut, “saya berbuat baik”, meskipun perbuatan saya tersebut bertentangan dengan keinginan saya f) (Perbuatan) yang baik itu pada prinsipnya berlaku untuk semua orang dalam situasi yang sama. g) Saya mengalami bahwa saya tetap bebas untuk mengikuti atau menentang kewajiban tersebut.

  h) Saya menyadari bahwa dari keputusan saya itu, terkandung di dalamnya nilai pribadi saya, entah baik atau buruk.

  2.1.4 Struktur Dasar Kesadaran Moral Dari deskripsi panjang tentang kesadaran moral di atas, dapat disimpulkan struktur

  a) Kesadaran moral adalah kesadaran akan kewajiban yang bersifat mutlak (tanpa syarat).

  b) Kesadaran moral itu bersifat rasional (masuk akal).

  c) Kesadaran moral itu berhubungan dengan kebebasan dan tanggung jawab pribadi.

  d) Kesadaran moral itu menentukan nilai manusia sebagai manusia.

  2.2 KEMUTLAKAN KESADARAN MORAL

  2.2.1 Yang paling mencolok dari kesadaran moral adalah keinsafan bahwa saya berada

  di bawah kewajiban untuk melakukan sesuatu. Kewajiban ini tidak dipaksakan dari

  luar, sebagaimana hukum dipaksakan oleh otoritas penguasa yang sah, tetapi oleh batin saya sendiri. Kewajiban ini tidak bisa ditawar-tawar (d/l kewajiban moral bersifat mutlak).

  2.2.2 Imanuel Kant (1724 – 1804) membahas sifat mutlak kewajiban moral, dengan

  

  membedakan antara imperative hypotetis (perintah bersyaratdan imperative

   kategoris (perintah yang bersifat mutlak, tanpa syaratKewajiban moral selalu merupakan imperatif kategoris.

  2.2.3 Kesadaran moral itu begitu tegas, sehingga orang mengalaminya sebagai suatu “suara” yang memerintah dari dalam batinnya sendiri. Dalam bahasa sehari-hari, kesadaran akan kewajiban itu disebut Suara Hati / Suara Batin. “Suara” itu sekaligus berasal dari dalam diriku dan mengatasi diriku.

  

  2.2.4 Kesadaran moral itu merupakan pangkal otonomanusia, karena pada akhirnya pemenuhan kewajiban itu tergantung pada aku sendiri dan bukan pada perintah dari luar atau pada instansi tertentu.

  2.3 RASIONALITAS KESADARAN MORAL

  2.3.1 Kesadaran Moral Mengandung Pernyataan Tentang Realitas Ada dua kelompok filsuf yang berpendapat tentang hal ini:

  a) Kelompok yang berpendapat bahwa yang disebut kesadaran moral itu merupakan

  perasaan belaka, dan perasaan seseorang tidak membutuhkan pembenaran atau

  

  pendasaran rasional dan ilmia para filsuf kelompok ini pada akhirnya

  30 misalnya: “belajarlah kalau mau lulus ujian 31 misalnya: “jangan membunuh !” berpendapat bahwa baik atau buruk secara moral tergantung pada perasaan orang

  

  b) Kelompok filsuf yang berpendapat bahwa kesadaran moral mengadung pernyataan

  

tentang realitas, yang bisa diteliti kebenarannya dan dipersoalkan dalam suatu

argumenasi rasional. Jika diandaikan bahwa sesuatu itu benar atau salah, maka

  

  pernyataan itu bersifat universal Jadi, dengan istilah rasionalitas kesadaran

  moral dimaksudkan bahwa kesadaran moral itu pada hakekatnya bukan sekedar perasaan, melainkan pernyataan objektif.

  Persoalannya: bagaimana kita dapat memastikan bahwa kesadaran moral itu sungguh-sungguh suatu pernyataan objektif ? Caranya: dengan memeriksa apakah isi kesadaran tersebut berlaku umum atau

  

  

  tidaatau

  

  2.3.2 Kesadaran Akan Nilai Yang Luhur Dalam Kesadaran Moral Nilai adalah suatu kualitas yang menjadikan sesuatu itu baik atau berharga di

  

  dalam dirin Tinjauan fenomenologis di depan sedah menunjukkan bahwa kesadaran moral bersifat rasional. Karena itu, bertindak menurut kesadaran moral berarti bertingkah

  laku menurut tuntunan yang benar dari akal budi. Akan tetapi kesadaran moral

  mempunyai nilai yang lebih dalam lagi. dari pengalaman pribadi, kita tahu bahwa kewajiban moral itu sering terasa berat, menuntut pengorbanan kepentingan, keinginan dan perasaan pribadi. Namun (anehnya), jika kita melakukan kewajiban tersebut, kita

  

  Jadi, paradox nilai moral adalah bahwa saya menjadi bahagia justru pada saat

  saya melakukan kewajiban moral, tanpa mencari kesenangan atau kebahagiaanku sendiri.

  34 catatan untuk kelompok ini: perasaan biasanya dianggap sebagai sesuatu yang subjektif

dan tidak ada hubungannya dengan kenyataan objektif. Sebetulnya anggapan ini keliru, sebab

perasaan selalu menunjukkan realitas (keadaan sekitar). Bahwa perasaan bisa berbeda berarti

mengalami perasaan secara berbeda. 35 artinya berlaku bagi semua orang yang bisa mengerti. 36 berlaku untuk semua orang tanpa kecuali, dalam situasi yang sama 37 salah satu dari pernyataan yang benar dan langsung berargumentasi untuk membela pernyataan yang diterima sebagai benar tersebut.

  

38 Hipotesis I. Kant terhadap persoalan: “mengapa antara kenyataan dan harapan (universal,

verifikasi & falsifikasi) begitu berbeda ? Menurut Kant: pada prinsipnya, norma moral harus bisa

mengalami universalisasi (stilah Kant: universalizability of moral norms).

39 Spinoza mengatakan sesuatu yang bernilai itu sulit dan jarang diperoleh. Kant mengatakan

  

virtue is its own reward (kebaikan itu adalah ganjaran bagi dirinya sendiri (d/l kebaikan karena

  2.3.3 Menaati Suara Batin Sehubungan dengan kewajiban moral, di satu pihak, suara batin harus ditaati dalam keadaan apa pun; dan di pihak lain, kita pun mengatakan bahwa kewajiban moral harus dapat dipertanggung-jawabkan secara rasional. Itu berarti bahwa dalam keadaan tertentu,

  

  suara batin pun dapat disangkal/diperbaiki oleh pertimbangan akal-budiPersoalannya:

  pertentangan ?

  Dari cara dan proses dalam menyelesaikan persoalan yang melibatkan suara hati dan pertanggungjawaban rasional, maka pedomaan dalam menaati suara batin, sbb: a) setiap keputusan moral harus diambil menurut apa yang diperintahkan batin saat itu

  b) suara batin harus terus-menerus disesuaikan dengan pertimbangan rasional yang

  

  c) suara batin dapat keliru: saya dapat meyakini sesuatu secara jujur sebagai kewajiban saya, yang sebetulnya bukan merupakan kewajiban moral saya. Atau sebaliknya, apa yang sebenarnya merupakan kewajiban moral, tetapi tidak saya

   sadari. Misalnya karena salah pendidikan atau indoktrinasi paham tertentu.

  d) jika suara batin bisa keliru, apakah saya bersalah secara moral ? Dapat dikatakan bahwa “saya tidak bersalah”, kalau saya memang bertindak menurut suara batin saya saat itu. Meskipun kemudian ternyata suara batin saya keliru (secara objektif). Namun, saya dapat bersalah bila saya lalai mencari informasi yang relevan sebelum mengambil keputusan. Sesudah menyadari kekeliruan. saya wajib mengubah pandangan dan sikap saya sejauh mungkin.

  

41 Contoh kasus: ada seorang dokter diminta oleh seorang wanita Bosnia untuk menggugurkan

kandungannya yang merupakan hasil perkosaan tentara Serbia. Suami perempuan tersebut

adalah seorang tentara Bosnia yang sedang menunaikan tugas membela bangsanya di medan

perang. Menghadapi kasus tersebut, sang dokter mengalami dilemma. Di satu pihak, dokter

sadar bahwa pengguguran yang disengaja adalah sama dengan pembunuhan. Namun di pihak

lain, dokter itu pun dapat merasakan kesulitan dan penderitaan lahir-batin perempuan itu, yang mengandung anak terlarang. Dan situasi lainnya, ibu tersebut juga sangat cemas dan ketakutan dengan sikap dan tindakan suaminya (yang dia tahu aslinya adalah seorang pencemburu berat) ketika nanti pulang dari medan perang. Mengenai kasus seperti ini, kita tidak bisa memberikan jawaban yang siap pakai. Yang perlu dijawab adalah bagaimana seharus-nya sikap dokter itu supaya keputusannya dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Maka dalam hal ini, kita perlu membedakan 3 (tiga) hal: 1. keadaan sebelum

mengambil keputusan (dokter wajib mencari semua informasi yang relevan untuk mengambil

keputusan moral yang tepat. Ia tidak boleh mengandalkan suara batinnya sendiri). 2. Keadaan

pada saat mengambil keputusan (bila keputusan tidak bisa ditunda lagi, maka dokter berhak dan berwajib melakukan apa yang terbaik menurut suara hatinya pada saat itu). 3. Keadaan sesudah mengambil keputusan (sesudah keputusan itu, dokter tetap mempunyai tanggung jawab moral untuk mencari informasi yang lebih luas dan menolong perempuan yang dalam kesulitan itu.

  42 Dalam contoh kasus di atas: misalnya, memberi peneguhan bahwa suara batinnya keliru,

karena tidak sesuai dengan pertimbangan moral dan dia sebenarnya sedang mengalami rasa bersalah yang berlebihan e) sering kali, kita harus mengambil keputusan dalam situasi dilematis, di mana saya belum mencapai kepastian. Maka dalam kondisi seperti ini, apa pun risikonya,

  harus ikut suara hati.

  2.4 NILAI MORAL DAN SUARA BATIN

  

45 Ingat prinsip intensionalitas dalam metode fenomenologi ( intensional: bahwa kesadaran manusia itu

pertama: keluar, kedua: kembali kepadanya, ketiga: sadar bahwa sesuatu itu ada).

  44 Misalnya dalam semboyan kuno Jerman: Befehl ist Befehl (perintah adalah perintah)