Kebijakan Hukum Pidana Tentang Euthanasia Khususnya Euthanasia Pasif
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya
penemuan-penemuan
teknologi
modern,
mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial
budaya manusia. Semua problema, ruang gerak dan waktu telah dapat terpecahkan
oleh teknologi dan modernitas yang menyebabkan manusia menjadi semakin
cakap menyelenggarakan hidupnya, dan meningkat pula kemakmuran hidup
materiilnya, berkat makin cepatnya teknologi modern tersebut. Sekian banyak
penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan
teknologi di bidang medis. Perkembangan ini bukan mustahil akan mengundang
masalah pelik dan rumit. Pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju
tersebut, mengakibatkan diagnosa mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna
dilakukan. Pengobatan penyakitpun dapat berlangsung secara efektif, dengan
peralatan kedokteran yang modern itu. Rasa sakit seorang penderita dapat
diperingan, hidup seseorang dapat juga diperpanjang untuk jangka waktu tertentu
dan bahkan perhitungan kematian seseorang yang menderita suatu penyakit
tertentu dapat diketahui lebih tepat. Masalah cepat atau lambatnya proses
kematian seseorang pasien, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi yang modern
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Ilmu pengetahuan membagi cara terjadi kematian dalam 3 jenis yaitu: 1
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter.
Masalah kematian yang dikenal dengan “euthanasia” atau mercy killing
mulai dikenal dewasa ini baik di dunia maupun di Indonesia. Dunia mulai
mengenal euthanasia setelah dilangsungkannya Konferensi Hukum sedunia, yang
diselenggarakan oleh World Peace Though Law Centre di Manila (Filipina)
tanggal 22-23 Agustus 1977. Konferensi tersebut di dalamnya telah diadakan
Sidang Peradilan Semu (Peradilan Tiruan) mengenai hak manusia untuk mati atau
the right to die. Sidang tersebut di dalamnya berperan tokoh-tokoh dibidang
hukum dan kedokteran dari berbagai dunia, sehingga mendapat perhatian yang
besar 2.
Jenis kematian “euthanasia” yang menjadi permasalahan sudah ada sejak
para pelaku kesehatan menghadapi penyakit yang tidak bisa disembuhkan dimana
pasien dalam keadaan sekarat dan merana. Situasi yang demikian tidak jarang
pasien meminta agar dibebaskan dari penderitaan seperti itu, atau dalam kondisi
lain dimana si pasien sudah tidak sadar dan keluarga si pasien tidak tega melihat
penderitan yang dialami menjelang ajalnya sehingga meminta kepada dokter
1
Djoko Prakoso, Euthanasia,Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia
Indonesia,1984,hal 9-10
2
Ibid
Universitas Sumatera Utara
untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang
mempercepat kematiannya.
Ditemukannya alat-alat kedokteran modern, seperti “respirator” (alat bantu
pernapasan) dan sistem transplantasi, maka kriteria kematian justru lebih sulit
ditetapkan. Pengadilan selalu beranggapan bahwa selama orang masih bernapas,
maka orang tersebut tidak dapat dikatakan telah meninggal dunia, namun dalam
perkembangannya, dimana defenisi kematian merupakan persoalan medis maka
orang yang dalam keadaan tersebut diatas belum tentu sudah meninggal karena
jika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut produksi listrik pada otak masih
merangsang. Lain halnya jika produksi listrik pada otak sudah tidak merangsang
lagi atau disebut dengan braindeath barulah dikatakan telah terjadi kematian 3.
Perbuatan euthanasia ini merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
hukum karena merenggut nyawa manusia dengan menghentikan pengobatan
kepada pasien yang sedang menderita tersebut namun ada juga yang perlu
diperhatikan bahwa pembahasan tentang euthanasia yang paling menentukan
adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (the rightof self-determination) 4
Masalah-masalah euthanasia
ini semakin berkembang namun tidak
memiliki kepastian hukum. Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang untuk
dilakukan pembahasan didalam skripsi ini. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang
timbul, mengapa muncul permintaan euthanasia ini . Permintaan-permintaan
3
Ibid, hal 56
Chrisdiono M achadiat, Dinamika Etika & Hukum kedokteran dalam Tantangan Zaman,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004, hal 181
4
Universitas Sumatera Utara
tersebut menunjukkan bahwa belum adanya pemahaman yang baik mengenai
euthanasia
tersebut.
Pemahaman-pemahaman
tersebut
juga
harus
mempertimbangkan dampak dari segi hukum, segi moral, segi agama dan dari
segi etika kedokteran.
Ada beberapa pendapat mengenai euthanasia: 5
1. Pendapat yang pertama adalah golongan yang tidak menyetujui tindakan
euthanasia karena euthanasia merupakan pembunuhan terselubung. Oleh
karena itu tindakan ini secara tidak langsung bertentangan dengan
kehendak Tuhan.
2. Pendapat yang kedua adalah golongan yang menyetujui tindakan
euthanasia dengan pertimbangan bahwa tindakan tersebut disetujui oleh
pasien, keluarga, dan dokter yang menanganinya.
Salah satu yang menjadi permasalahan sekarang adalah bagaimana jika
seorang pasien yang sudah sekarat dan tidak sadar selama berbulan-bulan,
kemudian mengetahui pula bahwa tidak lama lagi dia akan meninggal dunia. Baik
penderita maupun keluarganya telah berkali-kali mendesak dokter yang
merawatnya supaya mengakhiri penderitaan yang dialami pasien tersebut karena
sakitnya dengan mencabut “respirator”(alat bantu pernapasan) tersebut.
Bagaimana sikap seorang dokter dalam menghadapi kenyataan seperti itu.
Masalah euthanasia timbul dari persoalan diatas, apakah seorang dokter
mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seorang pasien walaupun atas
5
Ibid, hal 88
Universitas Sumatera Utara
permintaan pasien ataupun keluarganya dengan dalih untuk menghilangkan atau
mengakhiri penderitaan yang dialami oleh pasien tanpa dokter itu sendiri
mengetahui konsekuensi hukum. 6
Ada beberapa jenis euthanasia yang umum dikenal,yaitu: 7
1. Euthanasia aktif, yaitu: tindakan yang secara sengaja dilakukan dokter
atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek hidup si pasien
2. Euthanasia Pasif, yaitu: dimana dokter atau tenaga kesehatan secara
sengaja
tidak
(lagi)
memberikan
bantuan
medis
yang
dapat
memperpanjang hidup pasien
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tidak memberikan
pengaturan yang jelas tentang euthanasia. Satu-satunya landasan hukum yang
dapat dipakai adalah Pasal 344 KUHP yang berbunyi: “ Barang siapa yang
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara
selama-lamanya 12 tahun.” 8 Pasal inilah yang dianggap mendekati masalah
euthanasia.
Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan
kesungguhan hati, mengakibatkan sulitnya pembuktian penuntutan bahwa seorang
dokter tersebut telah melakukan euthanasia, terlebih jika si pasien dalam keadaan
incompetent (tidak mampu berkomunikasi) sehingga si pasien tidak dapat
6
Ibid, hal 57
Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Yogyakarta: CV.Andi
Offset, 2010, hal 57-58
8
Ibid, hal 69
7
Universitas Sumatera Utara
menyatakan kehendaknya. Keadaan seperti itu tidak mungkin untuk membuktikan
adanya permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati. 9
Oleh karena itu dalam permasalahan euthanasia ini jika dilihat kaitannya
dengan hukum pidana haruslah mengacu pada tiga pokok permasalahan yaitu
adanya perbuatan yang dilarang, adanya orang yang melakukan perbuatan yang
dilarang tersebut, dan adanya ancaman pidana. Tiga pokok permasalahan hukum
pidana yang terdapat dalam pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tersebut yaitu: pertama adanya perbuatan yang dilarang yaitu menghilangkan
nyawa orang lain, kedua adanya orang yang melakukan perbuatan yang dilarang
tersebut yaitu dokter ataupun tenaga medis lainnya, ketiga adanya ancaman
pidana yaitu pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun sudah memenuhi
ketiga permasalahan tersebut namun dalam kenyataannya sangat sulit diterapkan
untuk menyaring euthanasia sebagai tindak pidana. Hal itu disebabkan
permasalahan euthanasia yang sering terjadi di Negara ini adalah Euthanasia
Pasif. Sedangkan kasus euthanasia sampai saat ini sangat jarang sampai pada
tahap ke pengadilan. 10
Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai euthanasia maka diangkat menjadi sebuah tulisan skripsi dengan judul
”KEBIJAKAN
HUKUM
PIDANA
TENTANG
EUTHANASIA
KHUSUSNYA EUTHANASIA PASIF”
9
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara,1987, hal 19
Universitas Sumatera Utara
B. PERUMUSAN MASALAH
Adapun hal-hal yang diangkat menjadi rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana perkembangan euthanasia dewasa ini ?
2. Bagaimana kebijakan hukum pidana tentang euthanasia ?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana tentang euthanasia pasif ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa itu sebenarnya euthanasia, sejarah terjadinya
euthanasia,
euthanasia,
jenis-jenis euthanasia, Negara-negara yang
Negara
yang
tidak
menganut
menganut
euthanasia
dan
perkembangannya
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan euthanasia dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana serta bagaimana penerapan pengaturan
tersebut di Indonesia dewasa ini
3. Untuk
mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap
euthanasia pasif, perbuatan yang dimaksud dengan euthanasia pasif serta
perkembangan euthanasia pasif di Indonesia, dan bagaimana kebijakan
hukum pidana mengenai euthanasia pasif saat ini dan yang akan datang
Universitas Sumatera Utara
D. KEASLIAN PENULISAN
Penulisan skripsi ini merupakan hasil dari gagasan pemikiran yang
dilakukan melalui penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara,
walaupun ada beberapa yang membahas euthanasia namun yang membedakan
tulisan ini dengan tulisan yang lain adalah penulisan skripsi ini membahas
bagaimana pengaturan yang diharapkan kedepannya mengenai euthanasia, selain
itu dalam penulisan skripsi ini juga membahas tentang bagaimana perkembangan
euthanasia terkhususnya euthanasia pasif di Indonesia. Adapun beberapa
pendapat atau kutipan dalam penulisan ini semata-mata adalah sebagai faktor
pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan
untuk penyempurnaan tulisan ini.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1.
Defenisi Hukum Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan
istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum
sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. 11
Ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian ataupun defenisi
hukum pidana, diantaranya yaitu:
a. Hukum pidana menurut C.S.T. Kansil adalah:
Hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatankejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam
dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan,
11
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta, 2007, hal 24
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu
hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya
mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
norma-norma hukum mengenai kepentingan umum 12.
b. Menurut Simons Hukum Pidana adalah:
1. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam
dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati;
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk
penjatuhan pidana dan;
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan
dan penetapan pidana 13.
c. Hukum Pidana termasuk dalam hukum publik. Menurut Simorangkir,
hukum pidana ada 2 (dua) pengertian. Pengertian secara obyektif dan
subyektif:
1. Hukum pidana (subyektif), adalah semua larangan atau perintah,
yang mengakibatkan dijatuhkannya suatu penderitaan atau siksaan
sebagai
hukuman
oleh
negara
kepada
siapa
saja
yang
melanggarnya. Hukum ini juga disebut hukum pidana positif (ius
peonale)
2. Hukum pidana (obyektif), adalah dalam arti luas meliputi hukum
pidana materiil (memuat uraian tindak pidana, siapa yang dapat
12
http://www.Shvoong.com, La Ode Ali Alfin,Pengertian Hukum Pidana Menurut
Beberapa Ahli, , diakses tanggal 22 Februari 2012
13
Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1A, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum
UNDIP, Semarang, 2009, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
dihukum, besarnya hukuman) dan hukum pidana formil (cara
mempertahankan dan melaksanakan hukum pidana materiil),
dalam arti sempit hanya hukum pidana materiil saja 14
2. Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dalam rumusan tersebut, bahwa yang
dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang
diancam sanksi pidana ialah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan
akibat yang dilarang tersebut. Menurut Prof. Moeljatno, SH kata perbuatan dalam
perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang
menunjuk pada dua kejadian yang kongkrit,yaitu: 15
a. Adanya kejadian yang tertentu.
b. Adanya
orang
yang
berbuat
yang
menimbulkan
kejadian
itu.
Perbuatan pidana ini kiranya dapat kita samakan dengan istilah Inggris,
“criminal act”. Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan
akibat, atau dengan lain perkataan: akibat dari suatu kelakuan, yang
dilarang
oleh
hukum.
Criminal
act
ini
juga
dipisahkan
dari
pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau
responsibility. Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat
dipidananya seseorang) selain daripada melakukan criminal act (perbuatan
pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan (guilt). Antara
14
C.S.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Peladjaran Hukum Indonesia,
Jakarta: Gunung Agung, 1959 hal. 219
15
Moeljatno,Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
perbuatan dan orang yang berbuat ada hubungan yang erat, dan tak
mungkin dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.
3. Pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana yang disebut juga criminal responsibility
adalah menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas
suatu tindakan pidana atau tidak. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada
alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum terhadap perbuatan pidana
yang dilakukannya.
Dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang
telah diatur, tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan pidana tersebut
orang tersebut memiliki kesalahan.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan maka untuk
membuktikannya harus adanya pembuktian lagi. Dalam KUHP masalah
kemampuan bertanggungjawab terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yaitu “barang
siapa mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak
boleh dihukum 16”
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP atau WvS di Belanda)
sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai kemampuan bertanggungjawab
16
R.Soesilo, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
ini, namun KUHP hanya memuat alasan-alasan yang terdapat pada diri pelaku
sehingga oleh karenanya perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Alasan tersebut berupa keadaan pribadi pelaku karena penyakit. Dalam keadaan
demikian pelaku tidak mempunyai kebebasan kehendak , oleh karena itu tidak
dapat menentukan kehendaknya atas perbuatannya.
Sehubungan
dengan
kemampuan
bertanggungjawab
ini,
dalam
menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak , menurut hukum ditentukan
oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: 17
Kesatu, keadaan batin orang yang melakukan itu, erat berkait dengan kemampuan
bertanggungjawab. Yang dimaksudkan dengan keadaan batin orang yang
melakukan perbuatan ialah apabila pelaku tidak menyadari bahwa perbuatannya
itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang (wet).
Kedua, adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang
dilakukannya. Yang dimaksudkan dengan hubungan batin antara pelaku dengan
perbuatan
yang
dilakukannya
itu
dapat
berupa:
kesengajaa
(dolus),
kealpaan/kelalaian (culpa). Kesengajaan dan kealpaan penting terutama dalam
menentukan hukumannya.
Ketiga, tidak adanya alasan pemaaf. Yang dimaksudkan dengan alasan pemaaf
ialah dalam hal misalnya pembelaan diri dalam hal melampaui batas (noodweer
exes)
4. Defenisi Euthanasia
17
Adami Chazawi. Op.cit hal 30
Universitas Sumatera Utara
Euthanasia berasal dari kata eu dan thanatos (Yunani). Eu artinya baik
dan thanatos artinya kematian atau mati. 18 Dengan demikian euthanasia secara
harafiah berarti kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan. Seutinius
dalam buku Vitaceasarum merumuskan bahwa euthanasia adalah mati cepat
tanpa derita. Menurut Richard Lamerton, euthanasia pada abad ke 20 ditafsirkan
sebagai pembunuhan atas dasar belas kasihan (mercy killing), selain itu juga
diartikan sebagai perbuatan membiarkan seseorang mati dengan sendirinya, atau
tanpa berbuat apa-apa membiarkan orang mati19.
Berdasarkan caranya, euthanasia dapat digolongkan dalam dua kelompok,
yaitu euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Euthanasia pasif adalah mempercepat
kematian dengan cara menolak memberikan tindakan pertolongan biasa atau
dengan menghentikan tindakan pertolongan biasa yang sedang berlangsung,
misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan. Sedangakan euthanasia aktif
adalah mengambil
tindakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan
kematian.
5. Dasar Hukum Euthanasia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengaturan yang
pasti mengenai euthanasia. Satu-satunya landasan hukum yang dapat dipakai
adalah Pasal 344 KUHP yang berbunyi : “ Barang siapa yang menghilangkan
jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan
18
http://infoini.com/tag/Pengertian Euthanasia diakses tanggal 30 Juni 2012
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum,
Malang: Bayu Media Publishing, 2007, Hal 5
19
Universitas Sumatera Utara
nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun.”20 Pasal inilah yang dianggap mendekati masalah euthanasia.
Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan
kesungguhan hati, mengakibatkan sulitnya pembuktian penuntutan bahwa seorang
dokter tersebut telah melakukan euthanasia, terlebih jika si pasien dalam keadaan
incompetent (tidak mampu berkomunikasi) sehingga si pasien tidak dapat
menyatakan kehendaknya. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin untuk
membuktikan adanya permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan
kesungguhan hati.
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
yang dilakukan secara normatif juridis ( penelitian hukum doktrinal ). Penelitian
hukum normatif disebut juga dengan penelitian kepustakaan atau studi dokumen.
Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktriner,
karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut
dengan penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini
lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di
perpustakaan.
20
R.Soesilo, Op.cit hal 243
Universitas Sumatera Utara
Langkah pertama yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang
didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu iventarisasi peraturanperaturan yang berkaitan dengan euthanasia. Selain itu dipergunakan juga bahanbahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.
Penelitian ini juga bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas
dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana, yang kemudian
dikaitkan dengan penelitian hukum empiris yaitu untuk melihat bagaimana pihakpihak yang terkait seperti dokter, masyarakat, dan pemuka agama yang terkait
dengan hal tersebut.
2. Data dan Sumber Data
Sumber data terdiri dari 2 yaitu: data primer dan data sekunder. Adapun
dalam penulisan skripsi ini menggunakan kedua data diatas.
Data primer yang terdiri dari hasil wawancara dengan beberapa dokter
praktek yang ada di Medan, beberapa masyarakat di Medan dan beberapa tokoh
ataupun pemuka agama di Medan.
A. Dokter :
a. dr.Rita Mawarni.SpF
b. dr.Kartika br Karo
c. dr.Linda Zahara Khairiza
B. Pemuka Agama:
Islam
: Ust. Fauzi Rahman, Drs Zakiah
Kristen
: Pdt. Arif Bangun, Pdt. Larena Sinuhaji, Pdt. Obeth Ginting
Universitas Sumatera Utara
C. Masyarakat/Lembaga Masyarakat:
a. Bapak Yoe Anto
b. Bapak Atan
c. Bapak Thomas
d. Ibu Eintin
Data sekunder terdiri dari :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat dan
berkaitan erat dengan masalah yang diteliti, berupa peraturan perundangundangan di bidang hukum yang mengikat
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya di kalangan hukum yang
ada relevansinya dengan masalah-masalah yang diteliti berupa buku-buku,
pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu bahan hukum
yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan
hukum primer dan atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum,
ensiklopedia, majalah, media massa, internet dan sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan
skripsi ini, maka didalam penulisan skripsi ini menggunakan metode
pengumpulan data dengan cara sebagai berikut :
a. Dengan mengunakan metode studi kepustakaan yaitu mencari dan
mengumpulkan data dari perpustakaan berupa buku-buku, media
Universitas Sumatera Utara
elektronik,
internet,
tulisan
ilmiah
yang
berhubungan
dengan
permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini.
b. Dengan melakukan wawancara untuk mengumpulkan data-data yang
mendukung penulisan ini.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 bab, dimana tiap-tiap babnya akan
menguraikan :
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan
hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
dan sedikit tinjauan kepustakaan yang akan membahas
mengenai defenisi hukum pidana, defenisi tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana, defenisi euthanasia, dasar
hukum euthanasia dan diakhiri oleh metode penelitian dan
sistematika penulisan
BAB II
TINJAUAN UMUM EUTHANASIA
Pada bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan pengertian euthanasia, sejarah terjadinya
euthanasia, jenis-jenis euthanasia, Negara-negara yang
menganut dan yang tidak menganut euthanasia dan
perkembangannya.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
KEBIJAKAN
HUKUM
PIDANA
TENTANG
EUTHANASIA
Pada bagian ini akan dibahas bagaimana pengaturan
kebijakan pengaturan euthanasia dalam KUHP dan RUU
KUHP penerapan ketentuan euthanasia di Indonesia.
BAB IV
KEBIJAKAN
HUKUM
PIDANA
TENTANG
EUTHANASIA PASIF
Pada bagian ini akan dibahas bagaimana perkembangan
euthanasia pasif di Indonesia, klasifikasi perbuatan yang
dikategorikan euthanasia pasif, dan kebijakan hukum
pidana saat ini dan yang akan datang menegenai euthanasia
pasif.
BAB IV
PENUTUP
Pada bab ini akan dibahas kesimpulan dan saran sebagai
hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi secara
keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pesatnya
penemuan-penemuan
teknologi
modern,
mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial
budaya manusia. Semua problema, ruang gerak dan waktu telah dapat terpecahkan
oleh teknologi dan modernitas yang menyebabkan manusia menjadi semakin
cakap menyelenggarakan hidupnya, dan meningkat pula kemakmuran hidup
materiilnya, berkat makin cepatnya teknologi modern tersebut. Sekian banyak
penemuan-penemuan teknologi tersebut, tidak kalah pesatnya perkembangan
teknologi di bidang medis. Perkembangan ini bukan mustahil akan mengundang
masalah pelik dan rumit. Pengetahuan dan teknologi kedokteran yang sangat maju
tersebut, mengakibatkan diagnosa mengenai suatu penyakit dapat lebih sempurna
dilakukan. Pengobatan penyakitpun dapat berlangsung secara efektif, dengan
peralatan kedokteran yang modern itu. Rasa sakit seorang penderita dapat
diperingan, hidup seseorang dapat juga diperpanjang untuk jangka waktu tertentu
dan bahkan perhitungan kematian seseorang yang menderita suatu penyakit
tertentu dapat diketahui lebih tepat. Masalah cepat atau lambatnya proses
kematian seseorang pasien, seolah-olah dapat diatur oleh teknologi yang modern
tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Ilmu pengetahuan membagi cara terjadi kematian dalam 3 jenis yaitu: 1
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak
dengan pertolongan dokter.
Masalah kematian yang dikenal dengan “euthanasia” atau mercy killing
mulai dikenal dewasa ini baik di dunia maupun di Indonesia. Dunia mulai
mengenal euthanasia setelah dilangsungkannya Konferensi Hukum sedunia, yang
diselenggarakan oleh World Peace Though Law Centre di Manila (Filipina)
tanggal 22-23 Agustus 1977. Konferensi tersebut di dalamnya telah diadakan
Sidang Peradilan Semu (Peradilan Tiruan) mengenai hak manusia untuk mati atau
the right to die. Sidang tersebut di dalamnya berperan tokoh-tokoh dibidang
hukum dan kedokteran dari berbagai dunia, sehingga mendapat perhatian yang
besar 2.
Jenis kematian “euthanasia” yang menjadi permasalahan sudah ada sejak
para pelaku kesehatan menghadapi penyakit yang tidak bisa disembuhkan dimana
pasien dalam keadaan sekarat dan merana. Situasi yang demikian tidak jarang
pasien meminta agar dibebaskan dari penderitaan seperti itu, atau dalam kondisi
lain dimana si pasien sudah tidak sadar dan keluarga si pasien tidak tega melihat
penderitan yang dialami menjelang ajalnya sehingga meminta kepada dokter
1
Djoko Prakoso, Euthanasia,Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia
Indonesia,1984,hal 9-10
2
Ibid
Universitas Sumatera Utara
untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang
mempercepat kematiannya.
Ditemukannya alat-alat kedokteran modern, seperti “respirator” (alat bantu
pernapasan) dan sistem transplantasi, maka kriteria kematian justru lebih sulit
ditetapkan. Pengadilan selalu beranggapan bahwa selama orang masih bernapas,
maka orang tersebut tidak dapat dikatakan telah meninggal dunia, namun dalam
perkembangannya, dimana defenisi kematian merupakan persoalan medis maka
orang yang dalam keadaan tersebut diatas belum tentu sudah meninggal karena
jika dilakukan pemeriksaan lebih lanjut produksi listrik pada otak masih
merangsang. Lain halnya jika produksi listrik pada otak sudah tidak merangsang
lagi atau disebut dengan braindeath barulah dikatakan telah terjadi kematian 3.
Perbuatan euthanasia ini merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
hukum karena merenggut nyawa manusia dengan menghentikan pengobatan
kepada pasien yang sedang menderita tersebut namun ada juga yang perlu
diperhatikan bahwa pembahasan tentang euthanasia yang paling menentukan
adalah hak untuk menentukan nasib sendiri (the rightof self-determination) 4
Masalah-masalah euthanasia
ini semakin berkembang namun tidak
memiliki kepastian hukum. Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang untuk
dilakukan pembahasan didalam skripsi ini. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang
timbul, mengapa muncul permintaan euthanasia ini . Permintaan-permintaan
3
Ibid, hal 56
Chrisdiono M achadiat, Dinamika Etika & Hukum kedokteran dalam Tantangan Zaman,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004, hal 181
4
Universitas Sumatera Utara
tersebut menunjukkan bahwa belum adanya pemahaman yang baik mengenai
euthanasia
tersebut.
Pemahaman-pemahaman
tersebut
juga
harus
mempertimbangkan dampak dari segi hukum, segi moral, segi agama dan dari
segi etika kedokteran.
Ada beberapa pendapat mengenai euthanasia: 5
1. Pendapat yang pertama adalah golongan yang tidak menyetujui tindakan
euthanasia karena euthanasia merupakan pembunuhan terselubung. Oleh
karena itu tindakan ini secara tidak langsung bertentangan dengan
kehendak Tuhan.
2. Pendapat yang kedua adalah golongan yang menyetujui tindakan
euthanasia dengan pertimbangan bahwa tindakan tersebut disetujui oleh
pasien, keluarga, dan dokter yang menanganinya.
Salah satu yang menjadi permasalahan sekarang adalah bagaimana jika
seorang pasien yang sudah sekarat dan tidak sadar selama berbulan-bulan,
kemudian mengetahui pula bahwa tidak lama lagi dia akan meninggal dunia. Baik
penderita maupun keluarganya telah berkali-kali mendesak dokter yang
merawatnya supaya mengakhiri penderitaan yang dialami pasien tersebut karena
sakitnya dengan mencabut “respirator”(alat bantu pernapasan) tersebut.
Bagaimana sikap seorang dokter dalam menghadapi kenyataan seperti itu.
Masalah euthanasia timbul dari persoalan diatas, apakah seorang dokter
mempunyai hak untuk mengakhiri hidup seorang pasien walaupun atas
5
Ibid, hal 88
Universitas Sumatera Utara
permintaan pasien ataupun keluarganya dengan dalih untuk menghilangkan atau
mengakhiri penderitaan yang dialami oleh pasien tanpa dokter itu sendiri
mengetahui konsekuensi hukum. 6
Ada beberapa jenis euthanasia yang umum dikenal,yaitu: 7
1. Euthanasia aktif, yaitu: tindakan yang secara sengaja dilakukan dokter
atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek hidup si pasien
2. Euthanasia Pasif, yaitu: dimana dokter atau tenaga kesehatan secara
sengaja
tidak
(lagi)
memberikan
bantuan
medis
yang
dapat
memperpanjang hidup pasien
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tidak memberikan
pengaturan yang jelas tentang euthanasia. Satu-satunya landasan hukum yang
dapat dipakai adalah Pasal 344 KUHP yang berbunyi: “ Barang siapa yang
menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang
disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara
selama-lamanya 12 tahun.” 8 Pasal inilah yang dianggap mendekati masalah
euthanasia.
Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan
kesungguhan hati, mengakibatkan sulitnya pembuktian penuntutan bahwa seorang
dokter tersebut telah melakukan euthanasia, terlebih jika si pasien dalam keadaan
incompetent (tidak mampu berkomunikasi) sehingga si pasien tidak dapat
6
Ibid, hal 57
Ari Yunanto dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik, Yogyakarta: CV.Andi
Offset, 2010, hal 57-58
8
Ibid, hal 69
7
Universitas Sumatera Utara
menyatakan kehendaknya. Keadaan seperti itu tidak mungkin untuk membuktikan
adanya permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati. 9
Oleh karena itu dalam permasalahan euthanasia ini jika dilihat kaitannya
dengan hukum pidana haruslah mengacu pada tiga pokok permasalahan yaitu
adanya perbuatan yang dilarang, adanya orang yang melakukan perbuatan yang
dilarang tersebut, dan adanya ancaman pidana. Tiga pokok permasalahan hukum
pidana yang terdapat dalam pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
tersebut yaitu: pertama adanya perbuatan yang dilarang yaitu menghilangkan
nyawa orang lain, kedua adanya orang yang melakukan perbuatan yang dilarang
tersebut yaitu dokter ataupun tenaga medis lainnya, ketiga adanya ancaman
pidana yaitu pidana penjara paling lama dua belas (12) tahun sudah memenuhi
ketiga permasalahan tersebut namun dalam kenyataannya sangat sulit diterapkan
untuk menyaring euthanasia sebagai tindak pidana. Hal itu disebabkan
permasalahan euthanasia yang sering terjadi di Negara ini adalah Euthanasia
Pasif. Sedangkan kasus euthanasia sampai saat ini sangat jarang sampai pada
tahap ke pengadilan. 10
Berdasarkan latar belakang tersebut, untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai euthanasia maka diangkat menjadi sebuah tulisan skripsi dengan judul
”KEBIJAKAN
HUKUM
PIDANA
TENTANG
EUTHANASIA
KHUSUSNYA EUTHANASIA PASIF”
9
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara,1987, hal 19
Universitas Sumatera Utara
B. PERUMUSAN MASALAH
Adapun hal-hal yang diangkat menjadi rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana perkembangan euthanasia dewasa ini ?
2. Bagaimana kebijakan hukum pidana tentang euthanasia ?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana tentang euthanasia pasif ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN
Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa itu sebenarnya euthanasia, sejarah terjadinya
euthanasia,
euthanasia,
jenis-jenis euthanasia, Negara-negara yang
Negara
yang
tidak
menganut
menganut
euthanasia
dan
perkembangannya
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan euthanasia dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana serta bagaimana penerapan pengaturan
tersebut di Indonesia dewasa ini
3. Untuk
mengetahui bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap
euthanasia pasif, perbuatan yang dimaksud dengan euthanasia pasif serta
perkembangan euthanasia pasif di Indonesia, dan bagaimana kebijakan
hukum pidana mengenai euthanasia pasif saat ini dan yang akan datang
Universitas Sumatera Utara
D. KEASLIAN PENULISAN
Penulisan skripsi ini merupakan hasil dari gagasan pemikiran yang
dilakukan melalui penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara,
walaupun ada beberapa yang membahas euthanasia namun yang membedakan
tulisan ini dengan tulisan yang lain adalah penulisan skripsi ini membahas
bagaimana pengaturan yang diharapkan kedepannya mengenai euthanasia, selain
itu dalam penulisan skripsi ini juga membahas tentang bagaimana perkembangan
euthanasia terkhususnya euthanasia pasif di Indonesia. Adapun beberapa
pendapat atau kutipan dalam penulisan ini semata-mata adalah sebagai faktor
pendukung dan pelengkap dalam penulisan yang memang sangat dibutuhkan
untuk penyempurnaan tulisan ini.
E. TINJAUAN PUSTAKA
1.
Defenisi Hukum Pidana
Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan
istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum
sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. 11
Ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian ataupun defenisi
hukum pidana, diantaranya yaitu:
a. Hukum pidana menurut C.S.T. Kansil adalah:
Hukum yang mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatankejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam
dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan,
11
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta, 2007, hal 24
Universitas Sumatera Utara
selanjutnya ia menyimpulkan bahwa hukum pidana itu bukanlah suatu
hukum yang mengandung norma-norma baru, melainkan hanya
mengatur pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap
norma-norma hukum mengenai kepentingan umum 12.
b. Menurut Simons Hukum Pidana adalah:
1. Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam
dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati;
2. Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk
penjatuhan pidana dan;
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan
dan penetapan pidana 13.
c. Hukum Pidana termasuk dalam hukum publik. Menurut Simorangkir,
hukum pidana ada 2 (dua) pengertian. Pengertian secara obyektif dan
subyektif:
1. Hukum pidana (subyektif), adalah semua larangan atau perintah,
yang mengakibatkan dijatuhkannya suatu penderitaan atau siksaan
sebagai
hukuman
oleh
negara
kepada
siapa
saja
yang
melanggarnya. Hukum ini juga disebut hukum pidana positif (ius
peonale)
2. Hukum pidana (obyektif), adalah dalam arti luas meliputi hukum
pidana materiil (memuat uraian tindak pidana, siapa yang dapat
12
http://www.Shvoong.com, La Ode Ali Alfin,Pengertian Hukum Pidana Menurut
Beberapa Ahli, , diakses tanggal 22 Februari 2012
13
Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1A, Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum
UNDIP, Semarang, 2009, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
dihukum, besarnya hukuman) dan hukum pidana formil (cara
mempertahankan dan melaksanakan hukum pidana materiil),
dalam arti sempit hanya hukum pidana materiil saja 14
2. Perbuatan Pidana
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dalam rumusan tersebut, bahwa yang
dilarang adalah perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan yang
diancam sanksi pidana ialah orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan
akibat yang dilarang tersebut. Menurut Prof. Moeljatno, SH kata perbuatan dalam
perbuatan pidana mempunyai arti yang abstrak yaitu suatu pengertian yang
menunjuk pada dua kejadian yang kongkrit,yaitu: 15
a. Adanya kejadian yang tertentu.
b. Adanya
orang
yang
berbuat
yang
menimbulkan
kejadian
itu.
Perbuatan pidana ini kiranya dapat kita samakan dengan istilah Inggris,
“criminal act”. Pertama, karena criminal act ini juga berarti kelakuan dan
akibat, atau dengan lain perkataan: akibat dari suatu kelakuan, yang
dilarang
oleh
hukum.
Criminal
act
ini
juga
dipisahkan
dari
pertanggungjawaban pidana yang dinamakan criminal liability atau
responsibility. Untuk adanya criminal liability (jadi untuk dapat
dipidananya seseorang) selain daripada melakukan criminal act (perbuatan
pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan (guilt). Antara
14
C.S.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Peladjaran Hukum Indonesia,
Jakarta: Gunung Agung, 1959 hal. 219
15
Moeljatno,Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
perbuatan dan orang yang berbuat ada hubungan yang erat, dan tak
mungkin dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan
perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut.
3. Pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana yang disebut juga criminal responsibility
adalah menentukan apakah seseorang tersebut dapat dipertanggungjawabkan atas
suatu tindakan pidana atau tidak. Seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada
alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum terhadap perbuatan pidana
yang dilakukannya.
Dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang
telah diatur, tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan pidana tersebut
orang tersebut memiliki kesalahan.
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan maka untuk
membuktikannya harus adanya pembuktian lagi. Dalam KUHP masalah
kemampuan bertanggungjawab terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yaitu “barang
siapa mengerjakan suatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit berubah akal tidak
boleh dihukum 16”
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP atau WvS di Belanda)
sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai kemampuan bertanggungjawab
16
R.Soesilo, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
ini, namun KUHP hanya memuat alasan-alasan yang terdapat pada diri pelaku
sehingga oleh karenanya perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Alasan tersebut berupa keadaan pribadi pelaku karena penyakit. Dalam keadaan
demikian pelaku tidak mempunyai kebebasan kehendak , oleh karena itu tidak
dapat menentukan kehendaknya atas perbuatannya.
Sehubungan
dengan
kemampuan
bertanggungjawab
ini,
dalam
menentukan apakah seseorang itu salah atau tidak , menurut hukum ditentukan
oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: 17
Kesatu, keadaan batin orang yang melakukan itu, erat berkait dengan kemampuan
bertanggungjawab. Yang dimaksudkan dengan keadaan batin orang yang
melakukan perbuatan ialah apabila pelaku tidak menyadari bahwa perbuatannya
itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang (wet).
Kedua, adanya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatan yang
dilakukannya. Yang dimaksudkan dengan hubungan batin antara pelaku dengan
perbuatan
yang
dilakukannya
itu
dapat
berupa:
kesengajaa
(dolus),
kealpaan/kelalaian (culpa). Kesengajaan dan kealpaan penting terutama dalam
menentukan hukumannya.
Ketiga, tidak adanya alasan pemaaf. Yang dimaksudkan dengan alasan pemaaf
ialah dalam hal misalnya pembelaan diri dalam hal melampaui batas (noodweer
exes)
4. Defenisi Euthanasia
17
Adami Chazawi. Op.cit hal 30
Universitas Sumatera Utara
Euthanasia berasal dari kata eu dan thanatos (Yunani). Eu artinya baik
dan thanatos artinya kematian atau mati. 18 Dengan demikian euthanasia secara
harafiah berarti kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan. Seutinius
dalam buku Vitaceasarum merumuskan bahwa euthanasia adalah mati cepat
tanpa derita. Menurut Richard Lamerton, euthanasia pada abad ke 20 ditafsirkan
sebagai pembunuhan atas dasar belas kasihan (mercy killing), selain itu juga
diartikan sebagai perbuatan membiarkan seseorang mati dengan sendirinya, atau
tanpa berbuat apa-apa membiarkan orang mati19.
Berdasarkan caranya, euthanasia dapat digolongkan dalam dua kelompok,
yaitu euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Euthanasia pasif adalah mempercepat
kematian dengan cara menolak memberikan tindakan pertolongan biasa atau
dengan menghentikan tindakan pertolongan biasa yang sedang berlangsung,
misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami
kesulitan dalam pernapasan. Sedangakan euthanasia aktif
adalah mengambil
tindakan yang baik secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan
kematian.
5. Dasar Hukum Euthanasia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengaturan yang
pasti mengenai euthanasia. Satu-satunya landasan hukum yang dapat dipakai
adalah Pasal 344 KUHP yang berbunyi : “ Barang siapa yang menghilangkan
jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan
18
http://infoini.com/tag/Pengertian Euthanasia diakses tanggal 30 Juni 2012
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum,
Malang: Bayu Media Publishing, 2007, Hal 5
19
Universitas Sumatera Utara
nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun.”20 Pasal inilah yang dianggap mendekati masalah euthanasia.
Adanya unsur permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan
kesungguhan hati, mengakibatkan sulitnya pembuktian penuntutan bahwa seorang
dokter tersebut telah melakukan euthanasia, terlebih jika si pasien dalam keadaan
incompetent (tidak mampu berkomunikasi) sehingga si pasien tidak dapat
menyatakan kehendaknya. Dalam keadaan seperti itu tidak mungkin untuk
membuktikan adanya permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan
kesungguhan hati.
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
yang dilakukan secara normatif juridis ( penelitian hukum doktrinal ). Penelitian
hukum normatif disebut juga dengan penelitian kepustakaan atau studi dokumen.
Penelitian hukum normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktriner,
karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut
dengan penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini
lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di
perpustakaan.
20
R.Soesilo, Op.cit hal 243
Universitas Sumatera Utara
Langkah pertama yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif yang
didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu iventarisasi peraturanperaturan yang berkaitan dengan euthanasia. Selain itu dipergunakan juga bahanbahan tulisan yang berkaitan dengan persoalan ini.
Penelitian ini juga bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas
dalam meletakkan persoalan ini dalam perspektif hukum pidana, yang kemudian
dikaitkan dengan penelitian hukum empiris yaitu untuk melihat bagaimana pihakpihak yang terkait seperti dokter, masyarakat, dan pemuka agama yang terkait
dengan hal tersebut.
2. Data dan Sumber Data
Sumber data terdiri dari 2 yaitu: data primer dan data sekunder. Adapun
dalam penulisan skripsi ini menggunakan kedua data diatas.
Data primer yang terdiri dari hasil wawancara dengan beberapa dokter
praktek yang ada di Medan, beberapa masyarakat di Medan dan beberapa tokoh
ataupun pemuka agama di Medan.
A. Dokter :
a. dr.Rita Mawarni.SpF
b. dr.Kartika br Karo
c. dr.Linda Zahara Khairiza
B. Pemuka Agama:
Islam
: Ust. Fauzi Rahman, Drs Zakiah
Kristen
: Pdt. Arif Bangun, Pdt. Larena Sinuhaji, Pdt. Obeth Ginting
Universitas Sumatera Utara
C. Masyarakat/Lembaga Masyarakat:
a. Bapak Yoe Anto
b. Bapak Atan
c. Bapak Thomas
d. Ibu Eintin
Data sekunder terdiri dari :
a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat dan
berkaitan erat dengan masalah yang diteliti, berupa peraturan perundangundangan di bidang hukum yang mengikat
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer, yaitu hasil karya di kalangan hukum yang
ada relevansinya dengan masalah-masalah yang diteliti berupa buku-buku,
pendapat-pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yaitu bahan hukum
yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan
hukum primer dan atau bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum,
ensiklopedia, majalah, media massa, internet dan sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data
Adapun untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan
skripsi ini, maka didalam penulisan skripsi ini menggunakan metode
pengumpulan data dengan cara sebagai berikut :
a. Dengan mengunakan metode studi kepustakaan yaitu mencari dan
mengumpulkan data dari perpustakaan berupa buku-buku, media
Universitas Sumatera Utara
elektronik,
internet,
tulisan
ilmiah
yang
berhubungan
dengan
permasalahan yang dibahas didalam skripsi ini.
b. Dengan melakukan wawancara untuk mengumpulkan data-data yang
mendukung penulisan ini.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini terdiri dari 4 bab, dimana tiap-tiap babnya akan
menguraikan :
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan
hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan,
dan sedikit tinjauan kepustakaan yang akan membahas
mengenai defenisi hukum pidana, defenisi tindak pidana,
pertanggungjawaban pidana, defenisi euthanasia, dasar
hukum euthanasia dan diakhiri oleh metode penelitian dan
sistematika penulisan
BAB II
TINJAUAN UMUM EUTHANASIA
Pada bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan pengertian euthanasia, sejarah terjadinya
euthanasia, jenis-jenis euthanasia, Negara-negara yang
menganut dan yang tidak menganut euthanasia dan
perkembangannya.
Universitas Sumatera Utara
BAB III
KEBIJAKAN
HUKUM
PIDANA
TENTANG
EUTHANASIA
Pada bagian ini akan dibahas bagaimana pengaturan
kebijakan pengaturan euthanasia dalam KUHP dan RUU
KUHP penerapan ketentuan euthanasia di Indonesia.
BAB IV
KEBIJAKAN
HUKUM
PIDANA
TENTANG
EUTHANASIA PASIF
Pada bagian ini akan dibahas bagaimana perkembangan
euthanasia pasif di Indonesia, klasifikasi perbuatan yang
dikategorikan euthanasia pasif, dan kebijakan hukum
pidana saat ini dan yang akan datang menegenai euthanasia
pasif.
BAB IV
PENUTUP
Pada bab ini akan dibahas kesimpulan dan saran sebagai
hasil dari pembahasan dan penguraian skripsi secara
keseluruhan.
Universitas Sumatera Utara