PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 138 TAHUN 2000
TENTANG
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

: bahwa dalam rangka memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 7
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah
tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan
Dalam Tahun Berjalan;

Mengingat


: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun
2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3986);


MEMUTUSKAN : …

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -

MEMUTUSKAN :

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA
PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN.

BAB I
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK

Pasal 1

Dalam menghitung penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g
Undang-undang Pajak Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa

penyetoran yang berasal dari:
a.

Kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal/membeli saham di
atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian
saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan

b.

Kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1)
Undang-undang Pajak Penghasilan.

Pasal 2

Biaya pengembangan hutan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu)
kali memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga
pokok produk yang diproduksi atau dijual.

Pasal 3


(1)

Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8)
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali:
a.

Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g
Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, sepanjang tidak dapat dibuktikan bahwa Pajak Masukan tersebut
benar-benar telah dibayar;

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -

b. Pajak Masukan …

b.


Pajak Masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dalam
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) Undang-undang Pajak Penghasilan.

(2)

Pajak Masukan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan atau harta tidak
berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-undang Pajak Penghasilan,
terlebih dulu harus dikapitalisasi dengan pengeluaran/biaya tersebut dan dibebankan melalui
penyusutan atau amortisasi.

Pasal 4

Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena
Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk:
a.

Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek

Pajak;

b.

biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya
bersifat final;

c.

biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak
berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan
Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang Pajak
Penghasilan;

d.

Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan,

kecuali pajak atas penghasilan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan tetapi tidak
termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar
untuk pemotongan pajak; dan
e.

kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
Pajak.

Pasal 5

Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -

antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.

Pasal 6 …


Pasal 6

(1)

Laba bruto usaha dalam suatu tahun pajak yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang
berusaha di bidang jasa konstruksi yang proses pekerjaan fisiknya meliputi masa beberapa tahun
pajak dihitung berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan.

(2)

Untuk menghitung penghasilan neto, laba bruto usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikurangi dengan biaya atau pengeluaran lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
Undang-undang Pajak Penghasilan.

Pasal 7

Dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya
dalam hal-hal tertentu dan atau bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah.


BAB II
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN
MELALUI PIHAK LAIN

Pasal 8

(1)

Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
Undang-undang Pajak Penghasilan terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau
pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.

(2)

Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada saat pembayaran, kecuali ditetapkan lain oleh
Menteri Keuangan.

(3)


Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau
akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih
dahulu.

(4)

Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -

dan ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya
pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa
yang terjadi terlebih dahulu.
Pasal 9 …

Pasal 9


(1)

Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-undang
Pajak Penghasilan harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah
tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan
disampaikan, kecuali Wajib Pajak tersebut mendapat kemudahan berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

(2)

Dalam hal Wajib Pajak memperoleh izin perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan, Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) yang terutang berdasarkan
penghitungan sementara harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga
setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir bersamaan dengan pengajuan permohonan
perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.

(3)

Dalam hal Wajib Pajak memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pelunasan
kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan,
angsuran atau penundaan tersebut juga berlaku untuk pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan
Pasal 26 ayat (4).

Pasal 10

(1)

Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak
Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal atau berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal,
atau Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang,
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak
Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.

(2)

Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan yang
dikenakan pajak tersendiri yang bersifat final.

(3)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -

BAB III …

BAB III
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN
OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI

Pasal 11

Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari
badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, wajib memiliki NPWP dan
melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun
berjalan serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.

BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 12

(1)

Dalam hal Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan Direktur
Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-undang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan, penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun buku
yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru harus dilaporkan dengan Surat Pemberitahuan
tersendiri dengan melampirkan neraca dan laporan laba-rugi.

(2)

Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 13

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -

(1)

Terhadap Wajib Pajak yang tahun pajak/tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim,
ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 berlaku sampai dengan tahun pajak/tahun
buku 2000 yang berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2001, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14.
(2) Wajib Pajak …

(2)

Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan sebelum atau pada tanggal 31 Desember
2000 yang jangka waktunya terbatas, dapat menikmati fasilitas tersebut sampai dengan jangka
waktu tersebut habis.
Pasal 14

Kewajiban pajak dalam tahun berjalan untuk tahun pajak/tahun buku 2001 yang meliputi masa
pajak/pembukuan sampai dengan Desember 2000 dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1), tetap dihitung berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan beserta Perubahannya sebelum diubah berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 15

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3579)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3798), dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 16

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -

ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 253

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 138 TAHUN 2000
TENTANG
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

UMUM

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, hal-hal yang belum
cukup diatur dalam Undang-undang tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Beberapa
hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini adalah ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan. Selain itu, diatur juga
ketentuan peralihan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan mulai tanggal 1
Januari 2001.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Pemberian saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk
dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang
saham di atas nilai nominal saham yang diperolehnya. Oleh karena itu apabila saham bonus
dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang menjadikan jumlah nilai nominal seluruh
saham termasuk saham bonus yang diperolehnya lebih besar dari jumlah setoran modalnya,
pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam
pengertian pembagian laba atau dividen. Namun demikian apabila saham bonus dimaksud
diberikan kepada pemegang saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai
seluruh saham (termasuk saham bonus) yang diperoleh/dimilkinya lebih besar dari jumlah setoran
modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak
termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.

Pasal 2 …

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -

Pasal 2
Hutan tanaman industri dari jenis-jenis tertentu yang hanya dapat memberikan hasil satu kali saja
yaitu berupa batang tanaman yang ditebang setelah mencapai umur tertentu (lebih dari satu
tahun), pada dasarnya bukan merupakan aktiva tetap berwujud yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan melainkan merupakan produk dari industri kehutanan. Oleh karena itu, atas
pengeluaran yang langsung berkaitan dengan pengembangan tanaman industri tersebut,
diperlakukan sebagai bagian dari biaya produksi langsung yang pembebanannya dalam harga
pokok produk yang diproduksi/dijual dilakukan dalam tahun pada saat produk batang tanaman
tersebut dihasilkan/dijual.

Pasal 3
Ayat (1)
Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak yang tidak
dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, merupakan bagian
dari harga perolehan barang dan jasa. Oleh karena itu, apabila Pajak Masukan tersebut berkenaan
dengan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan
Objek Pajak, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Sedangkan Pajak Masukan yang
berkenaan dengan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang
Pajak Penghasilan, tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam hal Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g Undang-undang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yaitu apabila
Faktur Pajak Masukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)
dan ayat (6) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah, pengurangan dari penghasilan bruto tetap dapat dilakukan sepanjang dapat
dibuktikan bahwa Pajak Masukan tersebut telah dibayar.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -

Huruf b dan huruf c …

Huruf b dan huruf c
Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri,
baik penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan atau pembayaran Pajak
Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) maupun
penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 Undang-undang Pajak Penghasilan, telah diperhitungkan dalam
tarif pajak ataupun norma penghitungan yang berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh
karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh lagi dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya
yang pengenaan pajaknya dilakukan berdasarkan tarif umum.

Huruf d
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh
Pasal 26 dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan/pemberi kerja. Dalam hal PPh Pasal
21 ditanggung oleh pemberi penghasilan/kerja, sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku, pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya
pemberi kerja dan bukan penghasilan pegawai yang menerimanya. Pajak Penghasilan
yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali
dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai biaya
sepanjang pajak tersebut ditambahkan (gross-up) pada penghasilan yang dipakai sebagai
dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.

Contoh:
PT. ABC membayar bunga pinjaman kepada Bank di luar negeri sebesar Rp
100.000.000,00 yang sesuai dengan perjanjian Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan
tersebut. Tarif pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku

adalah 20%.

Dasar pengenaan PPh Pasal 26 =
100
--- x Rp. 100.000.000,00 = Rp. 125.000.000,00
80
PPh Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp 125.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT. ABC
adalah sebesar Rp 125.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 + Rp 25.000.000,00).

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -

Huruf e …

Huruf e
Kerugian dari harta atau utang yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan,
menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak tidak boleh
dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Contoh:
Kerugian selisih kurs yang timbul dari pinjaman dalam mata uang asing
yang dipergunakan untuk membiayai pembangunan lapangan golf untuk kepentingan
pegawai (benefit in kind) tidak boleh dikurangkan untuk menentukan besarnya
Penghasilan Kena Pajak.

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1)
Undang-undang Pajak Penghasilan, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dalam suatu
tahun pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dilakukan sesuai
dengan prinsip persandingan biaya dengan penghasilan (matching cost against revenue).
Namun bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang
berusaha di bidang jasa konstruksi yang mengerjakan proyek-proyek konstruksi berjangka
waktu lebih dari satu tahun, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dapat menggunakan
metode lain yang lazim dalam praktek akuntansi, seperti metode persentase penyelesaian
(percentage of completion method). Dengan metode ini, pengakuan penghasilan tahunan
didasarkan atas penghitungan secara proporsional sesuai dengan tahap penyelesaian
pekerjaan.
Dalam

penerapan

metode

tersebut,

biaya-biaya

yang

dapat

diperhitungkan adalah biaya-biaya yang langsung dan semata-mata berhubungan dengan
pelaksanaan proyek tersebut, yaitu : biaya pemakaian material, upah buruh langsung,
serta biaya-biaya lainnya dengan karakteristik yang sama.
Contoh:
Suatu proyek konstruksi yang bernilai Rp. 1.000.000.000,00 dengan jangka waktu
pelaksanaan pekerjaan tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 (lima tahun). Keterangan

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -

biaya yang terjadi pada tiap-tiap tahun adalah sebagai berikut:

2001 Akumulasi …

2001 Akumulasi biaya sampai dengan akhir tahun buku ............... Rp 150.000.000,00
Perkiraan sisa biaya penyelesaian proyek .......................... Rp 700.000.000,00
2002 Akumulasi biaya sampai dengan akhir tahun buku ............... Rp 400.000.000,00
Perkiraan sisa biaya penyelesaian proyek .......................... Rp 450.000.000,00
2003 Akumulasi biaya sampai dengan akhir tahun buku ............... Rp 600.000.000,00
Perkiraan sisa biaya penyelesaian proyek .......................... Rp 250.000.000,00
2004 Akumulasi biaya sampai dengan akhir tahun buku ............... Rp 750.000.000,00
Perkiraan sisa biaya penyelesaian proyek .......................... Rp 100.000.000,00
2005 Total biaya proyek ..................... Rp 875.000.000,00
(total perkiraan semula Rp 850.000.000,00).

Laba bruto usaha setiap tahun dihitung sebagai berikut :

Tahun 2001
Harga kontrak ..................... Rp 1.000.000.000,00
Akumulasi biaya s.d. akhir tahun 2001 ...... Rp. 150.000.000,00
Perkiraan sisa biaya penyelesaian proyek Rp. 700.000.000,00
-----------------------------Rp 850.000.000,00
Perkiraan laba bruto usaha proyek ......................... Rp. 150.000.000,00
Laba bruto usaha tahun 2001:
Rp 150.000.000,00
---------------------------- x Rp 150.000.000,00 = Rp 26.470.588,23
Rp 850.000.000,00

Tahun 2002
Harga kontrak ................... Rp 1.000.000.000,00
Akumulasi biaya s.d. akhir tahun 2002 ....... Rp 400.000.000,00
Perkiraan sisa biaya penyelesaian proyek Rp 450.000.000,00
-----------------------------Rp 850.000.000,00

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -

Perkiraan laba bruto usaha proyek ................... Rp 150.000.000,00

Laba bruto …
Laba bruto usaha sampai dengan tahun 2002
Rp 400.000.000,00
-------------------------- x Rp 150.000.000,00 = Rp 70.588.235,29
Rp 850.000.000,00

Laba bruto usaha tahun 2001 .......... Rp 26.470.588,23
Laba bruto usaha tahun 2002 Rp 44.117.647,06

Tahun 2003
Harga kontrak ........... Rp 1.000.000.000,00
Akumulasi biaya s.d. akhir tahun 2003 ...... Rp 600.000.000,00
Perkiraan sisa biaya penyelesaian proyek Rp 250.000.000,00
---------------------------Rp 850.000.000,00
Perkiraan laba bruto usaha proyek ........................ Rp. 150.000.000,00
Laba bruto usaha sampai dengan tahun 2003
Rp 600.000.000,00
-------------------------- x Rp 150.000.000,00 = Rp105.882.352,94
Rp 850.000.000,00

Laba bruto usaha sampai dengan tahun 2002 ........... Rp 70.588.235,29
Laba bruto usaha tahun 2003 ................... Rp 35.294.117,65

Tahun 2004
Harga kontrak ............................ Rp 1.000.000.000,00
Akumulasi biaya s.d. akhir tahun 2004 .....Rp 750.000.000,00
Perkiraan sisa biaya penyelesaian proyek Rp 100.000.000,00
----------------------------Rp 850.000.000,00
Perkiraan laba bruto usaha proyek ......................... Rp 150.000.000,00
Laba bruto usaha sampai dengan tahun 2004

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -

Rp 750.000.000,00
-------------------------- x Rp 150.000.000,00 = Rp132.352.941,17
Rp 850.000.000,00

Laba bruto …

Laba bruto usaha sampai dengan tahun 2003 ........................... Rp
105.882.352,94
Laba bruto usaha tahun 2004 ............................ Rp 26.470.588,23

Tahun 2005
Harga kontrak ........... Rp.1.000.000.000,00
Total biaya proyek ...... Rp. 875.000.000,00
Laba bruto usaha proyek.. Rp. 125.000.000,00
Laba bruto usaha sampai dengan tahun 2004 .......................... Rp 132.352.941,17
Laba (rugi) usaha tahun 2005 (Rp7.352.941,17)

Ayat (2)
Untuk menghitung penghasilan neto, laba bruto usaha sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dikurangi dengan biaya-biaya lainnya yang diperkenankan sesuai
dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu : biaya-biaya
tidak langsung (termasuk penyusutan dan amortisasi) serta biaya umum dan administrasi.

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Ketentuan ini mengatur tentang batas waktu pelaksanaan kewajiban pemotongan dan pemungutan
pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26
Undang-undang Pajak Penghasilan yang dikaitkan dengan saat pembayaran atau saat
terutangnya penghasilan. Saat terutangnya penghasilan tersebut lazimnya adalah pada saat jatuh
tempo (seperti: bunga dan sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti : gaji dan dividen), saat
yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik/jasa
manajemen/jasa lainnya), atau saat tertentu lainnya. Saat terutangnya penghasilan tersebut juga
ditentukan berdasarkan saat pengakuan biaya sesuai dengan metode pembukuan yang dianut
oleh pihak yang berkewajiban memotong atau memungut Pajak Penghasilan. Pada prinsipnya,

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -

saat yang menentukan kapan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan harus
dilaksanakan adalah mana yang lebih dulu terjadi, saat pembayaran atau saat terutangnya
penghasilan. Untuk kemudahan, pelaksanaan pemotongan pajak dapat dilakukan pada saat terjadi
pembayaran, walaupun sesuai dengan ketentuan saat terutangnya pemotongan pajak tersebut
terjadi pada akhir bulan pembayaran.

Ayat (1) …

Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Badan perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek Pajak
tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, Wajib Pajak orang pribadi
dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan berupa gaji dan imbalan lain
sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut yang jumlahnya melebihi batas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan
sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.

Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup Jelas

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -

Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4055