Tinjauan Hukum Terhadap Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Antara PT.PLN (PERSERO) Dengan Pelanggan.

29

BAB II
PELAKSANAAN PERJANJIAN JUAL BELI TENAGA
LISTRIK ANTARA PT. PLN (PERSERO) DENGAN PELANGGAN

A. Sejarah Perusahaan PT. PLN (PERSERO)
Sejarah keberadaan PT PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara berawal dari
dimulainya usaha kelistrikan di Sumatera Utara pada Tahun 1923, yakni ketika
perusahaan swasta belanda bernama NV NIGEM / OGEM membangun sentral listrik
di tanah pertapakan yang saat ini menjadi lokasi kantor PLN Cabang Medan di Jl.
Listrik No. 12 Medan. Kemudian menyusul pembangunan kelistrikan di Tanjung
Pura dan Pangkalan Brandan pada Tahun 1924, di Tebing Tinggi Tahun 1927, di
Sibolga (oleh NV ANIWM) Berastagi dan Tarutung Tahun 1929, di Tanjung Balai
Tahun 1931, di Labuhan Bilik Tahun 1936 dan Tanjung Tiram pada Tahun 1937.
Setelah proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, bergeraklah
aksi karyawan perusahaan listrik di seluruh penjuru tanah air untuk mengambil alih
perusahaan listrik bekas milik swasta Belanda dari tangan Jepang. Perusahaan listrik
yang diambil alih itu kemudian diserahkan kepada Pemerintah RI yakni kepada
Departemen Pekerjaan Umum. Untuk mengenang peristiwa ambil alih itu maka
dengan Penetapan Pemerintah No.1 SD/45 ditetapkanlah tanggal 27 Oktober sebagai

Hari Listrik.48

48

PT.PLN (Persero) Wilayah Sumatera Utara, http://www.pln.co.id/sumut/, diakses tanggal
10 Januari 2013

29

Universitas Sumatera Utara

30

Dalam suasana hubungan antara Indonesia dan Belanda yang makin
memburuk, maka pada tanggal 3 Oktober 1953 terbitlah Surat Keputusan Presiden
No. 163 yang memuat ketentuan Nasionalisasi Perusahaan Listrik milik swasta
Belanda sebagai bagian dari perwujudan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945. Setelah aksi
ambil alih itu maka sejak Tahun 1955 berdiri Perusahaan Listrik Negara Distribusi
Cabang Sumatera Utara (yang meliputi daerah Sumatera Timur dan Tapanuli) yang
berpusat di Medan.

Pada bulan Maret 1958 dibentuk Penguasa Perusahaan-Perusahaan Listrik dan
Gas (P3LG) yang merupakan gabungan antara pengusahaan listrik dan pengusahaan
gas. Dalam perjalanannya, pada Tahun 1959 P3LG berubah menjadi Direktorat
Djenderal PLN (DDPLN). Pada tanggal 1 Januari 1961 dibentuklah Badan Pimpinan
Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU –PLN) yang bergerak di bidang listrik, gas
dan kokas. Setelah BPU PLN berdiri dengan SK Menteri PUT No. 16/1/20 tanggal 20
Mei 1961, maka organisasi kelistrikan pun berubah. Perusahaan listrik di Sumatera
Utara, Aceh, Sumatera Barat dan Riau diubah namanya menjadi PLN Eksploitasi.
Pada tanggal 1 Januari 1965, BPU-PLN dibubarkan melalui Peraturan Menteri PUT
No. 9 /PRT/64 dan kemudian dibentuklah 2 perusahaan negara yaitu Perusahaan
Listrik Negara (PLN) yang mengelola tenaga listrik dan Perusahaan Gas Negara
(PGN) yang mengelola gas. Kemudian dengan terbitnya Peraturan Menteri No.
1/PRT/65 ditetapkanlah pembagian daerah kerja PLN secara nasional menjadi 15

Universitas Sumatera Utara

31

Kesatuan daerah Eksploitasi, dimana PLN Sumatera Utara ditetapkan menjadi PLN
Eksploitasi I. 49

Sebagai tindak lanjut dari pembentukan PLN Eksploitasi I Sumatera Utara
tersebut, maka dengan Surat Keputusan Direksi PLN No. KPTS 009/DIRPLN/1966
tanggal 14 April 1966, PLN Eksploitasi I dibagi menjadi empat cabang dan satu
sektor, yaitu Cabang Medan, Binjai, Sibolga, dan Pematang Siantar (yang
berkedudukan di Tebing Tinggi). Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1972
mengubah bentuk perusahaan menjadi Perusahaan Umum (PERUM) yang isinya
mempertegas kedudukan PLN sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara dengan hak,
wewenang dan tanggung jawab yuntuk membangkitkan, menyalurkan dan
mendistribusikan tenaga listrik ke seluruh Wilayah RI. Dalam Surat Keputusan
Menteri PUTL No. 01/PRT/73 menetapkan PLN Eksploitasi I Sumatera Utara diubah
menjadi PLN Eksploitasi II Sumatera Utara. Menyusul kemudian terbit Peraturan
Menteri PUTL No. 013/PRT/75 yang mengubah PLN Eksploitasi menjadi PLN
Wilayah, dimana PLN Eksploitasi II berubah namanya menjadi PLN Wilayah II
Sumatera Utara.
Dengan

berlakunya

Undang-undang


No.

15

Tahun

1985

tentang

Ketenagalistrikan yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009,
Perusahaan Umum (PERUM) Listrik Negara ditetapkan sebagai Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan (PKUK). Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan
efektifitas usaha penyediaan tenaga listrik, maka pada tanggal 16 Juni 1994 terbitlah
49

Ibid

Universitas Sumatera Utara


32

Peraturan Pemerintah No.23/1994 yang isinya menetapkan status PLN yang berubah
dari Perusahaan Umum (PERUM) Listrik Negara dialihkan bentuknya menjadi
Perusahaan Perseroan (PERSERO).
Sejak status perusahaan berubah, perkembangan kelistrikan di Sumatera Utara
terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang begitu pesat. Hal ini ditandai
dengan semakin bertambahnya jumlah pelanggan, perkembangan fasilitas kelistrikan,
kemampuan pasokan listrik dan indikasi-indikasi pertumbuhan lainnya. Untuk
mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kelistrikan Sumatera Utara dimasa
mendatang serta sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan jasa
kelistrikan, maka berdasarkan Surat Keputusan Direksi Nomor 078.K/023/DIR/1996
tanggal 8 Agustus 1996, dibentuklah organisasi baru bidang jasa pelayanan
kelistrikan yaitu PT PLN (Persero) Pembangkitan dan Penyaluran Sumatera Bagian
Utara.
Dengan pembentukan Organisasi baru PT PLN (Persero) Pembangkitan dan
Penyaluran Sumatera Bagian Utara yang terpisah dari PT PLN (Persero) Wilayah II,
maka fungsi-fungsi pembangkitan dan penyaluran yang sebelumnya dikelola oleh PT
PLN (Persero) Wilayah II berpisah tanggung jawab pengelolaannya ke PLN
Pembangkitan dan Penyaluran Sumbagut. Sementara itu, PT PLN (Persero) Wilayah

II berkonsentrasi pada bidang distribusi dan penjualan tenaga listrik. Pada Tahun
2003 PT PLN (Persero) Wilayah II berubah namanya menjadi PT PLN (Persero)
Wilayah Sumatera Utara.

Universitas Sumatera Utara

33

B. Kedududukan Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik
1.

Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak ini dapat dijadikan dasar perikatan bagi

kedua belah pihak. Hal ini seperti yang disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari Perjanjian yang dibuat
ini, maka akan timbul suatu hubungan antara 2 (dua) orang tersebut. Hubungan inilah
yang dinamakan perikatan. Pada dasarnya perjanjian menerbitkan suatu perikatan
antara dua orang (pihak) yang membuatnya.

Berdasarkan peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu
perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu
berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang diucapkan atau ditulis. Pengertian perjanjian adalah suatu perbuatan yang
terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau
lebih.

50

Defenisi perjanjian yang terdapat dalam ketentuan tersebut adalah tidak

lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap oleh karena yang dirumuskan itu hanya
mengenai perjanjian sepihak saja.
Menurut R. Subekti Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana orang lain saling berjanji untuk melaksanakan

50

Lihat Pasal 1313, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


Universitas Sumatera Utara

34

sesuatu hal.51 Selanjutnya menurut KRMT Tirtadiningrat perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.52
Didalam Pasal 1338 kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-undang yang berlaku
sebagai Undang-undang bagi yang membuatnya, bahwa pada prinsipnya perjanjian
yang telah disepakati merupakan hukum bagi yang membuatnya dan kepada hukum
itulah mereka tunduk dan mematuhinya. Setiap perjanjian yang dibuat dan disepakati
terdapat diantaranya yaitu hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua
belah pihak, dengan dipenuhinya hak-hak dan kewajiban tersebut maka terciptalah
suatu keadilan bagi kedua belah pihak.
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan yang mana pihak yang satu berhak menunutut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Maka
hubungan hukum antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian

itu menerbitkan perikatan. Hubungan hukum adalah hubungan yang menimbulkan
akibat hukum. Akibat hukum disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban,
dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban.
Perjanjian-perjanjian yang dibuat tersebut pada dasarnya bersifat bebas,
sehingga tidak terikat pada suatu bentuk tertentu. Perjanjian ini dapat dibuat secara
51

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Penerbit PT. Pembimbung Masa, 1997), hal. 1
Mulyadi Nur, 2008, (Online, http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/standardcontract.html), diakses pada tanggal 8 April 2012
52

Universitas Sumatera Utara

35

lisan maupun secara tertulis. 53 Perjanjian yang dibuat secara tertulis, maka perjanjian
ini dapat dijadikan alat bukti jika ternyata di kemudian hari terjadi perselisihan.
Perjanjian menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua
pihak, atau dengan kata lain perjanjian berisi perikatan-perikatan. Untuk mengatur
tentang perikatan ini maka diperlukan hukum. Hukum diperlukan untuk mengatur

tingkah laku manusia.54
Permasalahan hukum akan timbul jika sebelum perjanjian tersebut sah dan
mengikat para pihak, yaitu dalam proses perundingan atau preliminary negotiation,
salah satu pihak telah melakukan perbuatan hukum seperti meinjam uang, membeli
tanah, padahal belum tercapai kesepakatan final antara mereka mengenai kontrak
bisnis yang dirundingkan. Hal ini dapat terjadi karena salah satu pihak begitu percaya
dan menaruh pengharapan terjadap janji-janji yang diberikan oleh rekan bisnisnya. 55
Apabila seseorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, janji ini dalam hukum
pada hakekatnya ditujukan pada orang lain. Karena itu dapat dikatakan bahwa sifat
pokok dari hukum perjanjian adalah semula mengatur hubungan hukum antara orangorang, jadi bukan antara orang dan suatu benda.
Tentang hubungan dengan hukum benda, Wirjono Prodjodikoro menyatakan:
Dalam hal suatu perhubungan hukum mengenai suatu benda, hukum perdata
membedakan hak terhadap benda (zakelijk recht) dengan hak terhadap orang
53
Ridwan Khairandy, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: PascaSarjana
Fakultas Hukum UI, 2003), hal. 190
54
Wirjono Prodjodikoro. R. Azas-azas Hukum Perjanjian. (Bandung: Sumur, 1981), hal. 34.
55
Suharnoko. 2009. Hukum Perjanjian. Teori dan Analisa Kasus. (Jakarta: Prenada Media

Group), hal. 2

Universitas Sumatera Utara

36

(persoonlijk recht), sedemikian rupa bahwa meskipun suatu perjanjian (verbintenis)
adalah mengenai suatu benda, perjanjian itu tetap merupakan perhubungan hukum
antara orang dan orang, lebih tegas lagi antara seorang tertentu dan orang lain
tertentu. 56
Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata bahwa terdapat empat syarat untuk
menentukan sahnya perjanjian tersebut, yaitu:
a.

Sepakat mereka yang mengikat dirinya;

b.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c.

Suatu hal tertentu ; dan

d.

Suatu sebab yang halal.
Syarat pertama dan kedua mengenai subjeknya atau pihak-pihak yang

menentukan dalam perjanjian sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat
objektif karena mengenai objek dari suatu perjanjian.
Harus dibedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Jika syarat
objektif tidak terpenuhi maka dengan sendirinya perjanjian tersebut batal demi
hukum, sehingga dianggap dari awal tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan
tidak pernah ada suatu perikatan. Namun dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi,
maka perjanjian tersebut bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai
hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta
pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya
secara tidak bebas.
56

Wirjono Prodjodikoro R. Op. Cit, hal.5

Universitas Sumatera Utara

37

Mengenai syarat-syarat untuk sahnya perjanjian seperti yang disebutkan di
atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Sepakat mereka mengikat dirinya.
Dalam sebuah perjanjian paling sedikit harus melibatkan dua orang, sebab
tidak dikenal perjanjian dengan diri sendiri. Orang dikatakan telah memberikan
persetujuannya/kesepakatannya kalau orang memang menghendaki

apa yang

disepakati. Untuk pengertian sepakat ini disebutkan: “Sepakat sebenarnya
merupakan pertemuan antara kedua kehendak, di mana kehendak orang yang satu
saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain”.57
Persesuaian kehendak saja belum cukup dinamakan dengan kesepakatan.
Kesepakatan merupakan suatu penawaran yang diakseptir (diterima) oleh lawan
janjinya.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan tentang yang dikatakan belum dewasa
adalah jika belum genap berumur 21 tahun atau tidak telah menikah. Kedewasaan
yang ditentukan oleh undang-undang ini diartikan sebagai syarat bagi seseorang
untuk dikatakan cakap bertindak.
Tentang kecakapan bertindak ini diungkapkan J. Satrio yaitu :
Kecakapan bertindak merupakan suatu istilah teknik hukum, bukan sifat
pembawaan, karenanya tidak tertutup kemungkinan bahwa ia tidak sesuai
dengan kenyataannya; orang yang secara yuridis tidak cakap, ada

57

J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,Cita Aditya Bakti, 2001,

hal. 165

Universitas Sumatera Utara

38

kemungkinan dalam kenyatannya adalah orang yang tahu/sadar akan
akibat/konskuensi atas tindakannya.58
Dari pernyataan di atas dibedakan antara tidak cakap dengan tidak wenang,
karena tidak wenang dapat berarti cakap secara umum, namun tidak “cakap”
dalam hal tertentu.
c. suatu hal tertentu
Persyaratan suatu hal tertentu artinya adalah untuk membuat perjanjian harus
ada objek dari perjanjian tersebut. Objek perjanjian merupakan isi dari prestasi
yang menjadi pokok perjanjian yang

bersangkutan. Benda yang dimaksud

sebagai objek perjanjian bukan harus sejak semula telah ditentukan jenis dan
jumlahnya, namun dapat juga berupa barang-barang yang akan ada.
d. suatu sebab yang halal
Pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan sebab (kausa) yang halal sama
sekali tidak ada disebutkan oleh undang-undang. Namun untuk mengartikan
kausa ini disepakati oleh para sarjana bahwa: “Kausa disini bukan merupakan
sebab dalam arti sebagai lawan dari akibat. Kausa dalam arti yuridis berbeda
dengan ajaran kausa dalam ilmu alam.
Perjanjian jual beli tenaga listrik antara PLN dan pelanggan dilakukan dengan
kontrak standar atau perjanjian baku. Setelah pelanggan memenuhi syarat yang
ditetapkan PLN, maka para pihak harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

58

Ibid, hal. 3

Universitas Sumatera Utara

39

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dinyatakan bahwa klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak
oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Tahap perjanjian jual beli tenaga listrik dilakukan oleh Calon Pelanggan
dengan mengajukan permintaan Pelanggan Baru kepada PT PLN (PERSERO) dan
untuk memenuhi persyaratan Penandatanganan Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga
Listrik dilakukan evaluasi teknis, yaitu adanya jaringan dan beban trafo serta
persediaan material bila tidak mencukupi akan dilakukan penangguhan untuk
sementara waktu dan bila mencukupi akan dibuatkan Surat Persetujuan, kemudian
dilakukan pembayaran Biaya Penyambungan dan Uang Jaminan Langganan yang
kemudian dilakukan Penandatanganan Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik.
Setelah instalasi terpasang, maka pelanggan sudah bisa menerima haknya
yaitu memakai tenaga listrik. Setelah pelanggan menerima haknya,ia harus
melaksanakan kewajibannya membayar jumlah tagihan yang digunakannya dengan
tarif dasar listrik yang dimuat dalam Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2011 tentang
Tarif Tenaga Listrik yang Disesuaikan dengan Perusahaan Perseroan (Persero).
Pasal 2 Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2011 menyebutkan:
Tarif Dasar Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, terdiri atas:
a. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Pelayanan Sosial, terdiri atas:
1. Golongan tarif untuk keperluan pemakaian sangat keeil pada tegangan
rendah, dengan daya 220 VA (S-l ITR);

Universitas Sumatera Utara

40

2.

b.

c.

d.

e.

f.

g.

Golongan tarif untuk keperluan pelayanan sosial kecil sampai dengan
sedang pada tegangan rendah, dengan daya 450 VA s.d. 200 kVA (S2/TR);
3. Golongan tarif untuk keperluan pelayanan sosial besar pada tegangan
menengah, dengan daya di atas 200 kVA (S-3/TM).
Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Rumah Tangga, terdiri atas
1. Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga kecil pada tegangan rendah,
dengan daya 450 VA s.d. 2.200 VA (R-1/TR);
2. Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga menengah pada tegangan
rendah, dengan daya 3.500 VA s.d. 5.500 VA (R-2/TR);
3. Golongan tarif untuk keperluan rumah tangga besar pada tegangan
rendah, dengan daya 6.600 VA ke atas (R-3/TR).
Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Bisnis, terdiri atas:
1. Golongan tarif untuk keperluan bisnis keeil pada tegangan rendah, dengan
daya 450 VA s.d. 5. 500 VA (B-1 ITR);
2. Golongan tarif untuk keperluan bisnis menengah pada tegangan rendah,
dengan daya 6.600 VA s.d. 200 kVA (B-2/TR);
3. Golongan tarif untuk keperluan bisnis besar pada tegangan menengah,
dengan daya di atas 200 kVA (B-3/TM).
Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Industri, terdiri atas:
1. Golongan tarif untuk keperluan industri keeill industri rumah tangga pada
tegangan rendah, dengan daya 4 50 VA s.d. 14 kV A (I-1/TR);
2. Golongan tarif untuk keperluan industri sedang pada tegangan rendah,
dengan daya di atas14 kVA s.d. 200 kVA (I-2/TR);
3. Golongan tarif untuk keperluan industri menengah pada tegangan
menengah, dengan daya di atas 200 kVA (I-3/TM);
4. Golongan tarif untuk keperluan industri besar pada tegangan tinggi,
dengan daya 30.000 kVA ke atas (I-4/TT).
Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Kantor Pemerintah dan Penerangan Jalan
Umum, terdiri atas:
1. Golongan tarif untuk keperluan kantor pemerintah kedl dan sedang pada
tegangan rendah, dengan daya 450 VA s.d. 200 kVA (P-1/TR);
2. Golongan tarif untuk keperluan kantor pemerintah besar pada tegangan
menengah, dengan daya di atas 200 kVA (P-2/TM);
3. Golongan tarif untuk keperluan penerangan jalan umum pada tegangan
rendah (P-3/TR).
Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Traksi pada tegangan menengah, dengan
daya di atas 200 kV A (T /TM) diperuntukkan bagi Perusahaan Perseroan
(Persero) PT Kereta Api Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Lampiran
VI;
Tarif Dasar Listrik untuk keperluan penjualan Curah (bulk) pada tegangan
menengah, dengan daya di atas 200 kVA (C/TM) diperuntukkan bagi
Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik;

Universitas Sumatera Utara

41

h. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Layanan Khusus pada tegangan rendah,
tegangan menengah, dan tegangan tinggi (L/TR,TM,'IT), diperuntukkan hanya
bagi pengguna listrik yang memerlukan pelayanan dengan kualitas khusus dan
yang karena berbagai hal tidak termasuk dalam ketentuan golongan tarif
Sosial, Rumah Tangga, Bisnis, Industri, dan Pemerintah.
2.

Perjanjian Baku Pada Kontrak Jual Beli Tenaga Listrik
Tumbuhnya perjanjian baku disebabkan karena keadaan sosial ekonomi.

Perusahaan besar, dan perusahaan pemerintah mengadakan kerja sama dalam suatu
organisasi dan untuk kepentingan mereka, ditentukan syarat-syarat secara sepihak.
Pihak lawannya (wederpartij) pada umumnya mempunyai kedudukan lemah baik
karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya, dan hanya menerima apa yang
disodorkan.

Pemakaian

perjanjian

baku

tersebut

sedikit

banyaknya

telah

menunjukkan perkembangan yang sangat membahayakan kepentingan masyarakat,
terlebih dengan mengingat bahwa awamnya masyarakat terhadap aspek hukum secara
umum, dan khususnya pada aspek hukum perjanjian.
Secara sepintas, terkesan bahwa perjanjian baku bertentangan atau tidak
sejalan dengan asas-asas umum perjanjian seperti asas sepakat dan konsensual,
mengingat terms and conditionnya telah ditetapkan (pre determined) secara sepihak.
Namun demikian, bahwa dengan diterimanya syarat syarat tersebut oleh pihak
lainnya dapat diartikan bahwa secara sukarela yang bersangkutan telah mengikatkan
diri untuk menerima persyaratan persyaratan dimaksud.
Mengingat penundukan sukarela yang demikian, maka penting dijaga bahwa
terms and

condition

tersebut

memenuhi

unsur-unsur

keadilan,

kepatutan,

keseimbangan dan perlindungan bagi pihak yang secara objektif faktual berada dalam

Universitas Sumatera Utara

42

posisi yang tidak seimbang. Kondisi objektif faktual tersebut antara lain dapat berupa
tidak adanya alternatif untuk mendapatkan pilihan-pilihan yang terbuka, atau tidak
adanya waktu yang cukup bagi satu pihak untuk merundingkan terms and conditions
atau posisi tawar yang relatif lebih lemah baik karena kedudukan monopolistis atau
karena sifat barang dan/atau jasa yang menjadi objek perjanjiannya.
Kontrak baku adalah kebutuhan nyata dalam sebuah bisnis. Kebutuhan
tersebut timbul mengingat sifat-sifat dari transaksi seperti berulang-ulang dan relatif
homogen, berlaku umum dan massal serta telah merupakan kebiasaan dalam dunia
perdagangan. Namun demikian, Undang-undang membatasi kebebasan dari satu
pihak untuk mendiktekan ketentuan dan syarat-syaratnya untuk tidak bertentangan
dengan asas-asas umum pada perikatan.
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 dalam konsideransnya menyatakan bahwa
untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran,
pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab.
Selain itu juga dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa penting untuk menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha;
Berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat 1 Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999, pembatasan-pembatasan pada kontrak baku justru diperlukan untuk melindungi
asas kebebasan berkontrak yang berlaku secara universal itu.

Universitas Sumatera Utara

43

Selengkapnya bunyi Pasal 18 Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada
setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen;
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh
konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap
barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen
atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
Sebenarnya pengaturan perundang-undangan perlindungan konsumen ini
adalah semacam lex specialist dari pengaturan umum yang ada pada perikatan dalam
KUHPerdata, pada Pasal 1493 dan Pasal 1494 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal
1493 Kedua belah pihak, dengan persetujuan-persetujuan istimewa boleh memperluas

Universitas Sumatera Utara

44

atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh undang-undang ini dan bahkan
mereka boleh mengadakan persetujuan bahwa penjual tidak wajib menanggung
sesuatu apa pun.
Pasal 1707 KUHPerdata, ketentuan dalam pasal di atas ini wajib diterapkan
secara lebih teliti:
1. Jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan
barang itu;
2. Jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu;
3. Jika penitipan itu terjadi terutama untuk kepentingan penerima titipan;
4. jika diperjanjikan dengan tegas, bahwa penerima titipan bertanggung jawab
atau semua kelalaian dalam menyimpan barang titipan itu. Dari pemaparan
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian penitipan
barang adalah hal hal yang lumrah dan telah mendapat pengaturan dasar
dalam KUHPerdata.
Pengaturan lanjut seperti dalam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah
mengenai hal ikhwal perparkiran pada umumnya atau parkir pada khususnya harus
memperhatikan ketentuan hukum-hukum dasar dan hukum lainnya yang secara
khusus mengatur mengenai perlindungan konsumen.
Dalam perkembangannya, model kontrak yang tercipta di antara para pihak
demikian beragam, salah satu model kontrak yang berkembang seiring dengan
kebutuhan pelaku bisnis modern. Seiring dengan kebutuhan pelaku bisnis modern
adalah model kontrak standar/kontrak baku. Dalam pembahasan sering digunakan

Universitas Sumatera Utara

45

contoh pada kontrak standar atau dalam hukum konsumen disebut dengan klausula
baku, sebab perjanjian standar ini yang paling sering merugikan konsumen dengan
tidak menempatkan konsumen pada posisi yang seimbang dengan pelaku usaha.
Dalam kontrak bisnis yang pada umumnya berbentuk standar, senantiasa
dikesankan sebagai kontrak yang berat sebelah dan tidak seimbang. Banyak fakta
yang menunjukkan dalam berbagai kontrak yang berat sebelah dan tak seimbang,
karena didominasi dengan ”optie” yang menguntungkan salah satu pihak.59.
Dari kacamata hukum pun ternyata model kontrak standar masih sering
diperdebatkan (bahkan menjadi polemik) bagi pihak yang mendukungnya.
Keberadaan kontrak standar dipandang sebagai bagian dari dinamika perkembangan
masyarakat modern. pada sisi lain, pihak yang mempermasalahkan keberadaan
kontrak standar ini dilatarbelakangi oleh fenomena masih banyaknya kontrak standar
yang berat sebelah, pincang dan tak seimbang. 60
Pihak PLN sendiri juga memberlakukan kontrak standar dalam melakukan
perjanjian jual beli tenaga listrik. Mendapatkan tenaga listrik di rumah, tentu saja
harus mengikuti tahapan-tahapan yang dilalui.
Pertama, calon pelanggan dapat mengajukan permohonan ke kantor PLN
terdekat dan isilah formulir pendaftaran dengan menyertakan foto kopi KTP dan
denah lokasi atau foto kopi rekening listrik tetangga. Di kantor PLN, calon pelanggan
akan memperoleh informasi proses pengajuan pasang baru secara transparan. Yang
59

Shidarta,Op. Cit. hal. 97
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2001), hal. 78.
60

Universitas Sumatera Utara

46

perlu dipahami, dalam melayani pasang baru, PLN melayani berdasarkan urutan
pendaftar. Juga jangan mengira, jika lewat pihak ketiga (calo) proses penyambungan
baru dapat lebih cepat.61
Setelah calon pelanggan mendaftar, PLN akan melakukan beberapa tahap.
Yang pertama adalah melaksanakan evaluasi teknis, yang meliputi evaluasi terhadap
jaringan maupun beban trafo. Hal ini dilakukan guna mencari tahu apakah trafo yang
ada masih mampu menyuplai tenaga bila diadakan pemasangan baru. Selain itu, PLN
perlu mengecek ketersediaan material untuk pasang baru. Berikutnya, hasil evaluasi
akan disampaikan kepada calon pelanggan dalam bentuk surat jawaban. Jika hasil
evaluasi teknis dan ketersediaan material memenuhi,maka PLN akan membuat Surat
Izin Penyambungan. Sebaliknya jika belum memenuhi,maka akan ditangguhkan dan
calon pelanggan dimasukkan ke dalam daftar tunggu.62
Jika permohonan calon pelanggan sudah disetujui, maka calon pelanggan
harus menandatangani Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (SPJBTL),
membayar biaya pemasangan, Uang Jaminan Langganan (UJL) serta biaya Konsuil,
dan memilih Biro Teknik Listrik (BTL). BTL yang dipilih akan memasang instalasi
rumah, membuat gambar instalasi rumah, dan membuat surat jaminan instalasi rumah
untuk diserahkan ke PLN.63

61
Hasil wawancara dengan Bapak Khairuddin, Kepala Pelaksanaan Harian P2TL PT. PLN
(Persero) Medan, tanggal 4 Januari 2013, di Medan
62
Ibid
63
Lukman
Ismail.
“Mudahnya
Pasang
Baru
Listrik”,
http://lukmanismailae.blogspot.com/2011/01/pasang-baru-listrik.html , diakses tanggal 05 Januari 2013

Universitas Sumatera Utara

47

Perikatan yang timbul dari perjanjian merupakan keadaan yang dikehendaki
oleh para pihak yang bersangkutan karena mereka terikat satu sama lain atas dasar
kehendak mereka, sehingga konsumen dan PLN terikat oleh hak-hak dan kewajibankewajiban yang dituangkan dalam perjanjian. Perjanjian jual beli tenaga listrik adalah
berbentuk perjanjian baku/kontrak baku. Karakter kontrak baku menempatkan
konsumen pada posisi menerima atau menolak kontrak (take it or leave it) karena
konsumen tidak dapat menentukan isi, bentuk, dan prosedur pembuatan perjanjian.
Secara faktual yang tampak justru bukan nuansa kontrak win-win solution
yang merugikan salah satu bahkan para pihak, tapi justru kontrak win-lose solution
yang merugikan salah satu bahkan para pihak. Tentunya bagi kepentingan dunia
bisnis dan pelaku bisnis situasi ini jelas tidak mendukung terciptanya iklim usaha
yang tidak kondusif.
Kondisi seperti ini telah cukup dicermati oleh pembuat hukum di negeri ini.
Undan-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) sendiri telah memberikan
perlindungan kepada konsumen mengenai hal ini dengan dibuatnya hak-hak bagi
konsumen dan larangan-larangan bagi pelaku usaha.
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik
1.

Hak dan Kewajiban Pelanggan Pengguna Tenaga Listrik
Pelanggan pengguna listrik merupakan konsumen yang perlu mendapat

perlindungan. Menurut Pasal 29 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan, beberapa hak pelanggan pengguna tenaga listrik antara lain:
a.

Mendapat pelayanan yang baik;

Universitas Sumatera Utara

48

b.

Mendapat tenaga listrik secara terus-menerus dengan mutu dan keandalan yang
baik;

c.

Memperoleh tenaga listrik yang menjadi haknya dengan harga yang wajar;

d.

Mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik; dan

e.

Mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan
dan/atau kelalaian pengoperasian oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga
listrik sesuai syarat yang diatur dalam perjanjian jual beli tenaga listrik.64
Tenaga listrik dibangkitkan di pusat–pusat listrik (power station) seperti

PLTA, PLTU, PLTD, PLTP dan PLTG kemudian disalurkan melalui saluran
transmisi setelah terlebih dahulu dinaikkan tegagannya oleh transformator penaik
tegangan yang berada di pusat listrik. Saluran transmisi tegangan tinggi kebanyakan
mempunyai tegangan 30 kV, 66 kV, 150 kV dan 500 kV.
Khusus untuk tegangan 500 kV dalam prakteknya sering disebut tegangan
ekstra tinggi. Setelah melalui saluran transmisi maka tenaga listrik sampai ke gardu
induk (sub station) untuk diturunkan menjadi tegangan menengah atau tegangan
distribusi primer yang bertegangan 6 kV, 12 kV atau 20 kV. Yang terakhir di
sebutkan adalah yang cenderung di gunakan di indonesia. Jaringan setelah keluar dari
gardu induk biasa di sebut jaringan distribusi, sedangkan jaringan antara pusat listrik
dan gardu induk biasa disebut jaringan transmisi, baik saluran transmisi atau pun
saluran distribusi ada yang berupa saluran udara dan ada yang berupa kabel tanah.

64

Lihat Pasal 29 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

Universitas Sumatera Utara

49

Setelah melalui jaringan distribusi primer maka kemudian tenaga listrik
diturunkan tegangannya dalam gardu-gardu distribusi menjadi tegangan rendah atau
jaringan distribusi sekuder dengan tegangan 380 V atau 220 V. Melalui jaringan
tegangan rendah untuk selanjutnya disalurkan ke rumah–rumah pelanggan
(konsumen) melalui sambungan rumah hingga ke alat pengukur dan pembatas di
rumah-rumah pelanggan atau biasa di sebut KWh Meter.
Sebagai penikmat, konsumen pengguna tenaga listrik juga memiliki
kewajiban. kewajiban pelanggan pengguna tenaga listrik antara lain:
a.

Melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat
pemanfaatan tenaga listrik.

b.

Menjaga dan memelihara keamanan instalasi pelanggan.

c.

Menjaga keamanan alat pembatas dan atau pengukur (APP) Pengusaha yang
terpasang pada bangunan atau persil pelanggan.

d.

Menjaga keamanan sambungan listrik (SL) yang terpasang pada bangungan atau
persil pelanggan.

e.

Menggunakan tenaga listrik sesuai peruntukannya.

f.

Mengizinkan PLN untuk melaksanakan haknya.65
Sejalan juga dengan isi Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun

2009 tentang Ketenagalistrikan:

65

Hasil wawancara dengan Bapak Khairuddin, Kepala Pelaksanaan Harian P2TL PT. PLN
(Persero) Medan, tanggal 4 Januari 2013, di Medan

Universitas Sumatera Utara

50

a.

Melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat
pemanfaatan tenaga listrik;

b.

Menjaga keamanan instalasi tenaga listrik milik konsumen;

c.

Memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya;

d.

Membayar tagihan pemakaian tenaga listrik; dan

e.

Menaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.66
Mengingat arti penting tenaga listrik bagi negara dalam mewujudkan

kesejahteraan masyarakat dalam segala bidang dan sejalan dengan ketentuan dalam
Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Undang-Undang ini menyatakan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh
negara

dan

dipergunakan

untuk

sebesar-besar

kemakmuran

rakyat

yang

penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah. Pemerintah
dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan kebijakan,
pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik.
2.

Hak dan Kewajiban PT. PLN (PERSERO)
Mengingat begitu pentingnya manfaat dari tenaga listrik, maka Pemerintah

mengeluarkan suatu peraturan perundang- undangan untuk mengatur masalah
ketenagalistrikan, baik dari segi teknis, pengaturan, pelaksanaan, pengelolaan serta
sanksi pidana bagi yang melanggarnya. Dengan dikeluarkannya Undang- Undang
No.15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, diharapkan dapat mengatasi
permasalahan yang timbul terkait dengan tenaga listrik.
66

Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

Universitas Sumatera Utara

51

Sebenarnya Pemerintah telah mengeluarkan peraturan perundang- undangan
yang baru, yaitu Undang- Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan,
namun Undang- Undang tersebut dicabut kembali oleh oleh Mahkamah Konstitusi
karena Pasal 16, 17 dan 68, bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945
sehingga Undang- Undang No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan berlaku
kembali. Selain itu Pemerintah juga mengeluarkan suatu Peraturan Pemerintah No. 3
Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1989 tentang
Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik.
Adanya peraturan di atas belum dapat memberikan solusi terhadap krisis
energi listrik di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan, Undang-undang Nomor 15
Tahun 1985 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009
tentang Ketenagalistrikan belum mampu memberikan payung hukum yang kuat
dalam menyelesaikan masalah ketenagalistrikan.
Seyogyanya, pemerintah merancang suatu peraturan baru yang di dalamnya
mencakup aspirasi dari seluruh masyarakat serta di dalamnya melibatkan pihak
swasta untuk ikut serta dalam investasi dan pemecahan masalah krisis energi listrik.
Pihak swasta juga merupakan salah satu pengguna energi listrik terbesar di Indonesia.
Selain itu, diperlukan kebijakan

yang didalamnya mencakup keselamatan

ketenagalistrikan, sertifikasi tenaga teknik yang berupa sertifikat kompentensi, dan
izin layak operasi sehingga terdapat kejelasan mengenai mekanisme serta
pelaksanaan ketenagalistrikan.

Universitas Sumatera Utara

52

Sesuai dengan ketentuan undang-undang, maka yang menjadi hak PLN
sebagai pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dalam melaksanakan usaha
penyediaan tenaga listrik berhak untuk:
a.

Melintasi sungai atau danau baik di atas maupun di bawah permukaan;

b.

Melintasi laut baik di atas maupun di bawah permukaan;

c.

Melintasi jalan umum dan jalan kereta api;

d.

Masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara
waktu;

e.

Menggunakan tanah dan melintas di atas atau di bawah tanah;

f.

Melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah
tanah; dan

g.

Memotong dan/atau menebang tanaman yang menghalanginya.67
Kewajiban awal PLN setelah adanya perjanjian awal adalah melakukan

penyambungan tenaga listrik sehingga aliran tenaga listrik dapat dimanfaatkan oleh
pelanggan. Hal ini dikarenakan PLN harus menyediakan material penyambungan.
Bila PLN belum bisa menyediakan material untuk penyambungan, maka
penyambungan belum bisa dilakukan.
Pengaturan tentang kewajiban dari PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan dapat ditemui dalam Pasal 28 Undang-undang Tentang Tenaga
Listrik yang menyatakan :
67

Yuliati, “Perlindungan Hak-hak Konsumen Listrik di Indonesia Menurut Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen”, Makalah , disampaikan dalam workshop
diselenggarakan oleh Komisi D DPRD Malang, Hotel Pelangi, Malang, 24 April, 2008, hal.4

Universitas Sumatera Utara

53

a) Menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang
berlaku;
b) Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada konsumen masyarakat ;
c) Memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan dan;
d) Mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.
e) Sebagaimana yang kita lihat bahwa peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Ketenagalistrikan telah memuat pengaturan kewajiban yang
berjalan sesuai paralel dan diharapkan pelaksanaan terhadap masyarakat
terutama pelanggan/ konsumen sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh
Perundang-undangan di bidang Ketenagalistrikan.
Seperti

diketahui

bahwa

Undang-Undang

Perlindungan

Konsumen

menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat
harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang
membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari
aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat
negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, Selain itu sebagai pelaku usaha,
maka undang-undang menentukan berbagai larangan PT. PLN (Persero), seperti yang
tercantum pada Pasal 8 UUPK sebagai berikut :
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang
dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang
tersebut;

Universitas Sumatera Utara

54

c.

Tidak sesuai dengan ukuran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses, pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatkan dalam label, etiket, keterangan,
iklan atau promosi penjulan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang,, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai,
tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha,
serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang
dalam bahas Indonesia sesuai dengan ketentuan undang-undang yang
berlaku;
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,
dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas
barang dimaksud.
Dalam penyediaan tenaga kelistrikan, maka kewajiban PT.PLN (Persero)
adalah sebagai berikut:
a. menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan keandalan yang
berlaku;
b. memberikan

pelayanan

yang

sebaik-baiknya

kepada

konsumen

dan

masyarakat;
c. memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan; dan

Universitas Sumatera Utara

55

d. mengutamakan produk dan potensi dalam negeri.68
Larangan-larangan yang tertuju pada “produk” sebagaimana dimaksudkan di
atas adalah memberikan perlindungan terhadap kesehatan/harta konsumen dari
pengguna barang denga kualitas yang dibawah standar atau kualitas yang lebih
rendah dari pada nilai harga yang dibayar. Dengan adanya perlindungan yang
demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang dengan kulitas yang lebih
rendah dari pada harga yang dibayarnya, atau yang tidak sesuai dengan informasi
yang diperolehnya.
Untuk melindungi konsumen agar tidak dirugikan dari segi mutu barang,
maka dapat ditempuh dengan berbagai cara antara lain dengan standar mutu.
Berkenaan dengan pengawasan kualitas/mutu barang, dalam WTO telah dicapai
persetujuan tentang Hambatan Teknis Dalam Perdagangan. 69
Persetujuan ini mengikat negara yang menandatangninya, untuk menjamin
bahwa agar bila suatu pemerintah atau instansi lain menentukan aturan teknis atau
standar teknis untuk keperlua keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadao
konsumen dan lingkungan hidup, atau untuk keperluan lain, maka peraturan standar
dan pengujian serta sertifikat yang dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang
tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional. Sedangkan untuk mengkaji
kemungkinan risiko, elemen terkait yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah

68
69

ibid
Az. Nasution, Op, Cit¸hal. 34

Universitas Sumatera Utara

56

tersedianya informasi ilmiah dan teknis, teknologi pemrosesan atau kegunaan akhir
yang dituju oleh produk.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka produk yang masuk dalam suatu negara
akan memenuhi ketentuan tentang standar kualitas yang diinginkan dalam suatu
negara. Hal ini berarti produk impor yang dikomsumsi oleh konsumen dan memenuhi
standar yang telah ditetapkan oleh masing-masing negara, sehingga konsumen akan
terlindungi baik dari segi kesehatan, maupun tentang jaminan diperolehnya produk
yang baik sesuai dengan harga yang dibayarkan. Oleh karena itu untuk mengawasi
kualitas/mutu barang, diperlukan adanya standardisasi mutu barang.
Menyadari peranan standardisasi yang penting dan strategus tersebut,
pemerintah dengan keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1984 yang kemudian
disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1989 membentuk Dewan
Standardisasi Nasional. Disamping itu telah dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indoneia (SNI) dan Keppres Nomor
12 Tahun 1991 tentang Penyusunan dan Pengawasan SNI dalam Rangka Pembinaan
dan Pengembangan Standardisasi Secara Nasional.
Dengan telah dibentuknya Dewan Standardisasi Nasional dan diterbitkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia, dan
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Pernerapan dan
Pengawasan SNI, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri

Universitas Sumatera Utara

57

Perdagangan Nomor 22/KP/II/95, maka mulai 1 Februari 1996 hanya ada satu
satandar mutu saja di Indonesia, yaitu Satandar Nasional Indoneia (SNI).70
Pengawsan mutu produk yang dilakukan oleh pemerintah (khususnya
Deperindag) tersebut jangkaunnya meliputi produk ekspor, produk dalam negeri da
produk impor yang beredar di pasar dalam negeri. Namun, peraturan teknis yang
diberlakukan terhadap produk yang diimpor dari negara lain (negara angota WTO)
harus diberikan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan dibandingkan dengan
perlakukan yang diberikan kepada produk nasional dan prosuk serupa yang berasal
dari negara lain.
Untuk lebih menjamin produk tersebut, yang diperlukan bukan hanya sampai
pada dipenuhinya spesifikasi dan pembubuhan tanda SNI, tapi masih perlu dilakukan
pengawasan oleh Departemen Perdagangan (sekarang Departemen Perindustrian dan
Perdagangan) terhadap produk yang telah memenuhi spesifikasi SNI yang beredar di
pasaran dalam negeri, maupun yang akan diekspor. Berkaitan dengan itu, maka
terhadap komoditi ekspor dan impor berlaku ketentuan:
a. standar komoditi ekspor tidak boleh lebih rendah daripada SNI, yang berarti
standar komoditi ekspor mempergunakan SNI atau dengan spesifikasi tambahan
non mandatory bila diperlukan,
b. standar komoditi impor minimal harus memenuhi SNI dan standar nasional
negara yang bersangkutan.
70

Zumrotin, K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, (Jakarta: Kerjasama YLKI dengan
Puspa Swara, 1996), hal. 76

Universitas Sumatera Utara

58

Pemberlakuan SNI, ini merupakan suatu usaha peningkatan mutu, yang
disamping menguntungkan produsen, juga menguntungkan konsumen, tidak hanya
konsumen dalam negeri tapi juga konsumen di luar neger, karena standar yang
berlaku di Indonesia telah disesuaikan dengan standar mutu intenasional, yaitu
dengan telah diadopsinya ISO 9000 oleh Dewan Standardisasi Nasional dengan
Nomor Seri SNI 19-9000:1992. Di mana ISO 9000 sendiri pada umumnya:
a. mengatur semua kegiatan dari perusahaan dalam hal teknis, administrasi dan
sumber daya manusia yang mempengaruhi mutu produk dan jasa yang dihasilkan;
b. memberikan kepuasan kepada para pelanggan dan pemakai akhir;
c. penerapan konsep penghematan biaya dengan cara pelaksanaan pekerjaan yang
benar pada setiap saat;
d. memberikan petunjuk tentang koordinasi antara manusia, mesin dan informasi
untuk mencapai tujuan standar;
e. mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen mutu untuk mencapai
tujuan mutu dari perusahaan.
Dengan demikian sasaran dari ISO 9000 mencakup kebutuhan dan
kepentingan perusahaan, yaitu untuk mencapai dan memelihara mutu yang diinginkan
dengan biaya yang optimum, yaitu dengan menggunakan sumber daya (teknologi,
bahan dan manusia) yang tersedia secara terencana dan efesien.
Sasaran lainnya adalah untuk kebutuhan dan harapan pelanggan, yaitu
kepercayaan terhadap kemampuan perusahaan untuk menghasilkan mutu yang
diinginkan dan pemeliharaannya secara konsisten. ISO 9000 akan menunjang

Universitas Sumatera Utara

59

program perbaikan mutu untuk mencapai mutu yang memenuhi keinginan konsumen
di seluruh dunia. Dengan diadopsinya ISO 9000 ini diharapkan dapat mengubah pola
fikir pengusaha di negara berkembang yang pada umunya berpendapat bahwa barang
yang baik dan seragam tidak menguntungkan perusahannya, karena berbagai alasan
seperti:
a. penerapan standar mutu yang tinggi akan menaikan ongkos produksi;’
b. penekana atas mutu suatu produk akan mengurangi produktivitas;
c. konsumen di dalam negeri tidak kriotis dengan standar mutu.
Padahal jika dicermati, pemenuhan standar sangat diperlukan dalam transaksi
perdagangan internasional karena menjamin keseragaman tingkat kualitas barang
yang diperdagangkan. Demikian pula pemenuhan standar juga dapat mengurangi
sengketa tentang kualifikasi dan kualitas barang yang diekspor atau diimpor.
D. Perlindungan Hukum Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Menurut
Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
Perjanjian jual beli tenaga listrik dilakukan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. bertindak sebagai pembeli tenaga listrik. Dari hubungan hukum
ini akan timbul hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang harus saling
dihargai dan dipenuhi. Dengan adanya hubungan hukum ini, apabila salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya, maka hukum dapat memberi paksaan terhadap pihak
tersebut untuk memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian yang telah disepakati.
Untuk melaksanakan ketentuan tersebut di atas, terutama dalam rangka penertiban

Universitas Sumatera Utara

60

pemakaian tenaga listrik oleh pelanggan, PT. PLN (PERSERO) secara reguler
melaksanakan penertiban pemakaian tenaga listrik.71
Pelaksanaan penertiban ini juga telah diketahui serta disepakati oleh
pelanggan, sebagaimana pencantuman klausula tentang penertiban pemakaian tenaga
listrik dalam perjanjian jual beli tenaga listrik antara PT. PLN (PERSERO) dengan
pelanggan, yaitu pencantuman pada Pasal 14 UU No. 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan.
Pelaksanaan pemeriksaan pemakaian tenaga listrik pada dasarnya adalah
pelaksanaan untuk menegakkan perjanjian jual beli tenaga listrik antara PT. PLN
(PERSERO) dan pelanggan. Pelaksanaan pemeriksaan pemakaian tenaga listrik
secara sempit dapat berfungsi sebagai penegakan hak dan kewajiban para pihak yang
terlibat dalam perjanjian. Da