48. Social Entrepreneurship Harus Mengikuti Hukum Pasar

Imam Pituduh:

”Social Entrepreneurship Harus
Mengakui Hukum Pasar”
Sumber:
Judul buku
Ditulis ulang dari

: Menggali Konsep ‘Social Entrepreneurship’, Suatu Riset
Pustaka
: Jurnal Galang, Vol.1 No.4 Juli 2006, PIRAC, 2006, Opini
Hal 125 – 133

Kewiraswastaan sosial (social entrepreneurship) secara umum dimaknai sebagai pelaku
organisasi nirlaba dalam menggabungkan konsep bisnis dan sosial dengan lebih
mengedepankan nilai sosial dan pemberdayaannya. Kewiraswastaan sosial diyakini mampu
mendatangkan perubahan-perubahan yang signifikan baik dalam konteks sosial, politik, dan
ekonomi bagi kelompok-kelompok miskin dan terpinggirkan. Sayangnya, kewiraswastaan
sosial baik dalam konsep maupun praktiknya masih belum mengacu pada suatu
kesepahaman. Beberapa lembaga nirlaba di dalam negeri sudah mempraktikkan konsep ini
dengan tingkat keberhasilan yang berbeda-beda. Apakah konsep ini secara lebih terbuka

menawarkan alternatif pemecahan masalah pemberdayaan lembaga dan masyarakat?
Bagaimana prospeknya di Indonesia? Kendala apa saja yang mungkin muncul dihubungkan
dengan pengalaman konkrit sebuah lembaga? Berikut petikan wawancara Redaktur Galang,
Hamid Abidin dan Yuni Kusumastuti, dengan Direktur Yayasan Pekerti, Imam Pituduh.

Bagaimana Anda memaknai konsep kewiraswastaan sosial (social entrepreneurship)?
Kita awali dari entrepreneur, yaitu orang yang menyukai risiko untuk mendapatkan
keuntungan. Nah, kalau ditambahi ‘sosial’ artinya kemudian ada beban dan batasan bahwa
keuntungan itu harus kembali kepada masyarakat. Misalnya, koperasi tidak membagi
deviden. Kalaupun keuntungan itu dibagi, tentu saja harus ada yang diinvestasikan kembali,
kemudian ada yang dibayarkan bagi orang-orang yang terlibat, di antaranya pengurus,
pelaksana, perajin, dan lainnya. Selain itu social entrepreneurship juga mengupayakan
adanya dana pengembangan untuk keberlanjutan usaha dan organisasi. Sehingga
pengembangan usaha tersebut nantinya mampu memberdayakan masyarakat yang lebih
luas.
Apa nilai lebih yang ditawarkan oleh konsep ini jika dibandingkan dengan usaha yang
dilakukan perusahaan dan kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan lembaga sosial?
Perbedaan mendasar antara konsep social entrepreneurship dengan perusahaan, misalnya,
keuntungan usaha yang didapat perusahaan akan kembali kepada pemilik modal. Jadi
keuntungan tersebut adalah mutlak menjadi hak pemilik modal, tentunya setelah dikurangi

biaya-biaya operasional, gaji karyawan, dan sebagainya. Sebaliknya, kegiatan-kegiatan
sosial merupakan kegiatan derma, hibah, dan setelah itu hilang. Batasan social

entrepreneurship selain profit itu kembali kepada masyarakat adalah proses bisnis yang
dilakukan bersama-sama masyarakat merupakan salah satu bentuk pemberdayaan. Selain
itu sustainability merupakan aspek kunci. Sustainability baik dari bisnis itu sendiri maupun
partisipan, siapapun yang terlibat. Jadi dua-duanya harus sustain, walaupun mungkin tetap
ada beberapa hal yang tidak bisa berlanjut, misalnya karena ketidakmampuan. Misalnya,
seperti yang terjadi pada kelompok-kelompok Pekerti. Pekerti mengeluarkan kebijakankebijakan tertentu, misalnya sekarang ini tidak memakai uang muka pada item tertentu.
Setiap orang yang membutuhkan dana harus pinjam kepada koperasi. Nah, kebijakan ini
tentunya akan memakan ‘korban’ di mana ada beberapa orang yang kemudian tidak bisa
memenuhinya. Dalam hal ini persoalan tersebut selanjutnya menjadi kewajiban dari institusi
atau lembaga untuk memberikan subsidi silang. Jadi, misalnya produk-produk yang
dihasilkan belum bisa masuk pasar, karena harganya dianggap belum efisien dan
sebagainya, tentunya harus ada subsidi silang. Hal itu satu di antara upaya-upaya
sustainability yang nantinya dapat meningkatkan partisipasi mereka.
Satu hal upaya yang bisa dilakukan untuk peningkatan kapasitas dan menjadi kunci
sustainability dalam social entrepreneurship adalah pelatihan. Selain itu lembaga juga harus
menyamakan visi di antara karyawan, pengurus dan partisipan. Kalau dalam Pekerti
partisipannya kelompok-kelompok perajin. Penyamaan visi penting sekali agar ada pihakpihak tersebut dapat saling memahami karena jika Pekerti hancur, maka hancurlah mereka.

Sebaliknya, jika mereka hancur, Pekerti juga tidak akan memperoleh keuntungan.
Konsep social entrepreneurship masih dianggap rancu. Apa saja yang membuat hal
itu masih sulit didefinisikan secara jelas?
Bagi kami sudah jelas sebenarnya. Tetapi karena ini sebuah konsep baru, ada beberapa
pihak yang belum mengakuinya. Misalnya, social entrepreneurship itu harus mengakui
hukum pasar. Namun, pihak lain mengatakan “Wah, tidak bisa begitu. Itu namannya
kapitalis jika mengikuti hukum pasar. Kita harus menciptakan hukum pasar kita sendiri.”
Dalama hal ini akhirnya butuh kesepakatan. Kalau kita sudah punya pasar sendiri, supply
sendiri, semua unsur bisnis itu kita miliki sendiri, barangkali kita boleh berdiri sendiri. Tetapi
kalau kita menjual barang itu juga pada mainstream pasar umum, maka mau tidak mau
hukum pasar harus diberlakukan. Jadi, misalnya, produk yang ditolak pasar harus kita
kembalikan ke perajin untuk memberi pelajaran kepada mereka dalam hal quality control.
Namun, ini ternyata belum banyak dipahami. Misalnya, pada waktu Pekerti harus
mengembalikan satu truk hasil perajin, mereka merasa Pekerti tidak lagi menjalankan fair
trade, bukan bisnis sosial tetapi kapitalis. Mereka membandingkan kebijakan kontrol kualitas
supermarket di Jakarta dengan ekspor. Jelas berbeda, kan? Padahal hal ini sudah
dijelaskan di awal kerjasama. Penolakan atau pengembalian produk ini juga merupakan
sebuah pendidikan sekaligus punishment. Hal-hal semacam ini merupakan contoh masih
agak rancunya pemahaman social entrepreneurship.
Kalau dari positioning-nya, kewiraswastaan sosial berada di tengah-tengah antara

market (kapitalis) dengan lembaga sosial. Dalam konteks lembaga, apakah bentuknya
lembaga komersial tapi punya aspek sosial lembaga sosial tapi punya usaha
komersial?
Itu tinggal pengertian atau cara pandang kita tentang sosial dan komersial. Bagi saya
sebenarnya dua-duanya tidak ada masalah, apakah organisasi sosial yang sangat

profesional atau komersial tetapi berjiwa sosial, yang penting adalah output dan manfaat
yang didapat. Katakanlah setiap perusahaan besar itu biasanya mereka mempunyai
kegiatan-kegiatan sosial yang cukup tinggi. Nah, sekarang tinggal diukur saja berapa “darah
yang sudah mereka hisap” dari masyarakat, kemudian berapa yang sudah mereka
kembalikan kepada masyarakat. Kalau itu lebih kecil, hal itu artinya sebuah strategi public
relation (PR). Kemudian, siapa yang bisa mengukur? Ini perlu penelitian yang lebih konkrit.
Social enterprise lebih mengedepankan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan bersama
daripada yang harus dikembalikan kepada pemilik modal. Jadi, bagi saya sejauh yang
berkuasa itu adalah modal maka itu bukan social entreprise atau social entrepreneurship.
Dalam konteks social entrepreneurship salah satu cirinya lebih banyak motif ke
pengembangan masyarakat daripada pembagian modal. Kalau dari aspek
manajemennya, bagaimana membedakannya dengan lembaga sosial secara umum
atau lembaga komersial? Dalam konteks pengalaman Pekerti, manajemen seperti apa
yang diterapkan?

Dalam manajemen kami, hal-hal yang besar seperti laporan keuangan, berapa persen
Pekerti mengambil untung, berapa subsidi silangnya, berapa persen yang harus
dikembalikan kepada perajin, termasuk kita masih memerlukan reward dan punishment atau
tidak, semua itu kita bicarakan dalam annual meeting yang biasanya kita laksanakan di
Yogya karena berada di tengah-tengah selain murah. Kemudian semua permasalahan
tersebut kita diskusikan bersama, apa yang akan dilakukan berikutnya, dan sebagainya.
Kebijakan-kebijakan yang diperlukan kita susun bersama, kecuali misalnya tentang hal-hal
yang sifatnya teknis bisa diserahkan pada Pekerti. Segala hal yang dikomunikasikan antara
Pekerti dan perajin sedapat mungkin diakomodasi di forum tahunan tersebut. Kalau
perusahaan, misalnya Astra, apakah pernah bertanya kepada konsumennya? Pekerti juga
tidak langsung bertanya kepada konsumen, tetapi konsumen kita diwakili oleh beberapa
kelompok. Setiap tahun kita melakukan semacam evaluasi pertumbuhan mitra. Jadi kita
bagikan kuesioner dan meminta anggota untuk mengisi. Misalkan tahun kemarin
pendapatan berapa-sekarang berapa, dulu karyawan berapa-sekarang berapa, bagaimana
pengaruh pelatihan yang kita lakukan. Kemudian hal itu sebagai bahan dan laporan tahunan
kita sebagai bahan untuk pertemuan tahunan. Di samping itu kita juga melakukan selfassessment, mengukur keberhasilan kita dengan sebuah perangkat, 9 prinsip fair trade
Pekerti. Hasil itu semua selanjutnya kita evaluasi, kemudian kita kirimkan kepada seluruh
buyer kita. Kalau buyer kita datang kemari, mereka kita persilakan untuk menilai. Misalnya,
dia akan datang ke perajin, menanyakan penghasilannya berapa kemudian dia akan
mencocokkan itu dengan hasil survei kita tahun kemarin.

Dalam konteks SDM, kalau di LSM secara umum dikelola orang-orang yang punya
kapasitas sosial, sementara di perusahaan lebih banyak dikelola orang profesional
murni. Bagaimana menentukan kapasitas karyawan dalam lembaga yang menerapkan
konsep social entrepreneurship?
Bagi saya lebih baik dikombinasikan. Nomer satu bisnis dulu. Jadi biasanya calon karyawan
Pekerti diberikan psikotes pada awalnya, kemudian dilakukan orientasi, ada penilaianpenilaian karya satu tahun sekali untuk kemampuan bisnisnya. Selanjutnya beberapa kali
dalam satu tahun kita melakukan assessment untuk kepekaan sosial mereka. Puncaknya
pada saat annual meeting itu. Di sana kita mengadakan diskusi-diskusi bersama, memang

metodologinya tidak dengan memberikan nilai sekian, tapi lebih pada penyadaran. Tentunya
si karyawan itu nantinya memiliki kemampuan bisnis yang ditunjang oleh kemampuan
sosialnya. Ia harus menguasai betul 9 prinsip fair trade Pekerti. Karena kemampuan itu
nantinya akan mempengaruhi kondite seseorang itu naik jabatan atau tidak, berapa persen
ia akan mendapatkan bonus dan berapa range kenaikan gajinya. Walaupun sudah dilakukan
hal-hal demikian, masih cukup tinggi juga turn-over-nya. Setidaknya metode yang kita
terapkan ini mampu juga mengurangi hal itu.
Bagaimana dengan aspek permodalannya?
Mengenai permodalan kita menerapkan prinsip dari, oleh, dan untuk anggota. Di dunia
bisnis internasional, keberadaan bank merupakan kunci dan mutlak dibutuhkan
keberadaannya. Namun, belum tentu kita harus menggantungkan pendanaan dari bank

karena administrasinya cukup rumit dan sulit. Di level internasional kita mempunyai
kelompok dan mengupayakan adanya lembaga semacam bank, namanya Shared Interest.
Lembaga tersebut merupakan media bagi anggotanya untuk berbagi risiko, artinya kita
menanamkan modal di sana, kita bisa pinjam dari mereka, perajin juga bisa pinjam dari
mereka. Kedua, kita sendiri di sini juga punya koperasi, KOPERTI (Koperasi Pengembangan
Kerajinan Rakyat). Jadi seluruh karyawan, pengurus, dan seluruh mitra kita menjadi
anggota. Kita mengumpulkan dana, kemudian ditambahi dengan berbagai pinjaman, yang
pasti tidak dari bank. Dari koperasi ini, anggota bisa meminjam dengan agunan (tanah atau
rumah), tetapi kita tidak menerima agunan STNK atau BPKB dan anggota membayar
dengan bunga. Kemudahan lain yang kita berikan kepada anggota adalah peminjaman bisa
disesuaikan dengan kebutuhan, tidak selalu untuk kepentingan bisnis, misalnya untuk
renovasi rumah, pendidikan anak, kecelakaan ataupun bencana banjir.
Dikaitkan dengan problem LSM mengenai keberlanjutan pendanaan, apakah konsep
ini bisa menjadi semacam alternatif buat LSM agar mereka tidak tergantung pada
lembaga donor?
Saya kira persoalan ini bukan sekarang saja terjadi, dari dulu Bina Swadaya, LP3ES sudah
memikirkan persoalan itu. Beberapa lembaga pernah mencoba konsep ini, namun tidak
semuanya berhasil. Saya dengar, misalnya Dian Desa sudah tidak jalan lagi, penerbitan
LP3ES juga tidak semaju dulu. Sayangnya memang kemudian teman-teman di dunia LSM
ada yang mengelompokkan diri, sangat puritan. Ia tidak mau mengelola bisnis. Menurut

saya hal itu berarti ia telah menggantungkan, menggadaikan visi mereka kepada pemberi
dana.
Faktor apa yang menjadi kendala selama ini sehingga LSM kurang begitu familiar
dengan social entrepreneurship?
Pertama, mereka memang mengususkan diri untuk tidak mau terlibat, mereka takut
tenggelam. Mereka takut tenggelam karena semua hal diukur dari efisiensi, semua diukur
dari untung rugi. Kedua, kurangnya kapasitas SDM. Menurut pengalaman saya di Pekerti,
karyawan yang kita rekrut haruslah orang-orang yang terpilih sesuai dengan seleksi yang
banyak dipakai oleh perusahaan-perusahaan. Kebanyakan LSM setahu saya tidak melalui
sistem seleksi semacam itu. Sebagian besar masih menggunakan sistem yang kurang
profesional misalnya, kebetulan teman baik kemudian di-interview kira-kira cocok, pinter

berbicara (berorasi) dan lain sebagainya, akhirnya menjadi karyawan. Padahal kalau
dilakukan psikotes untuk pekerjaan yang ditawarkan, ia belum tentu cocok. Ketiga,
pendidikan-pelatihan. Pelatihan itu pada prinsipnya harus terencana dan urut. Jadi misalnya
kalau yang di bagian keuangan, mereka harus menguasai betul tehnologinya, skill-nya,
kemudian didukung oleh brain; begitu pula bidang yang lain. Kebanyakan teman-teman LSM
lebih banyak mengikuti pelatihan di bidang yang bersifat sosial. Pelatihan yang bersifat
praktis dan ekonomis itu sangat sedikit. Coba kalau misalnya ada pelatihan-pelatihan
tentang jurnalistik atau PRA (Participatory Rural Appraisal), biasanya banyak sekali peserta

yang mengikuti. Saya tidak pernah mendapat undangan untuk pelatihan, misalnya costing,
pricing, kemudian bagaimana menyeleksi produk baru, bagaimana market opprttunity-nya,
bagaimana pula membuat new market strategy. Dulu Pekerti pernah mengundang mereka
kalau kita melakukan pelatihan semacam itu. Ternyata peminatnya sangat kecil dan setelah
kembali ke lembaganya, orang tersebut tidak akan ditempatkan di tempat yang dilatihnya itu.
NGO secara kultur lebih banyak bergerak ke arah sosial. Seandainya ia ingin
menekuni social entrepreneurship, apakah lembaga tersebut lebih baik memiliki divisi
atau manajemen yang terpisah secara profesional?
Sebenarnya sangat tergantung pada komandannya, visi komandannya. Di Pekerti, kita
harus menguasai dua-duanya. Orang divisi pengembangan masyarakat harus paham juga
tentang aspek-aspek bisnis yang dipedomani, begitu juga sebaliknya. Kegiatan yang
dilakukan juga tidak jauh berbeda dengan LSM pada umumnya, seperti membuat proposal,
melakukan pelatihan-pelatihan. Tetapi lembaga yang menerapkan kewiraswastaan sosial
sangat tegas di dalam menganalisis waktu, output meskipun output-nya itu lebih bersifat
sosial, misalnya.
Mengenai pengelolaan memang mutlak harus terpisah, mulai dari administrasi,
manajemen. Bahwa orangnya, misalnya melakukan 50:50 atau paro waktu, hal tersebut
sangat tergantung pada beban pekerjaan yang ditangani. Kalau misalnya direktur tugasnya
rapat, memimpin rapat, juga lobi, ia bisa memegang LSM plus PT. Sebaliknya, apakah
marketing manager-nya bisa melakukan hal yang sama? Tentu saja tidak. Misalnya, di

Pekerti ada sekitar 9 orang yang tidak boleh diganggu gugat selain pengelolaan usaha.
Mereka setiap hari berada di depan komputer, yang satu mengelola bagaimana menangani
buyer, yang satu mengatur antara pembelian dengan bagian administrasi, juga ada bagian
gudang dan perangkat-perangkat lainnya. Mereka sama sekali tidak boleh diganggu, kecuali
jika diperlukan. Misalnya ada kegiatan-kegiatan di lapangan yang membutuhkan orientasi
sosial dan bisnis sekaligus, mereka bisa menjadi fasilitator. Dengan pekerjaan yang hampir
mirip dengan pekerjaan di perusahaan itu, Pekerti sangat memperhatikan kesejahteraan
mereka. Misalnya tunjangan keluarga (kesehatan, pendidikan, dsb.) sehingga karyawan
merasa aman dan tentram dalam bekerja. Pada prinsipnya kewiraswastaan sosial yang kita
lakukan harus mengupayakan kesejahteraan baik ke dalam maupun ke luar. Kita upayakan
agar usaha kita bisa sukses dan organisasi dapat pula menolong dan meringankan beban
kelompok sasaran.
Sebagai NGO yang mencoba masuk ke ranah social entrepreneurship merasa agak
gamang karena misalnya, ketika mereka mencoba menjual produk dan jasa,
masyarakat kemudian mempertanyakan, Anda ini lembaga sosial atau komersial?
Bagaimana menanggapi hal tersebut?

Sebenarnya kita bisa menjelaskan kepada mereka, mengapa kita menjual. Tentunya karena
kita ingin “merdeka”. Kedua, siapa yang dirugikan? Adakah yang dirugikan? Adakah yang
diuntungkan? Kita jelaskan hal-hal semacam itu. Pilihan lain adalah kita mau ikut arus atau

tidak. Arus di masyarakat itu membedakan antara trading (bisnis) dan karitatif. Tentunya
tidak bisa hitam-putih begitu. Kalau mau memantapkan untuk mandiri harus mulai
menentukan pilihan. Tentunya akan banyak kritik yang masuk. Tetapi, mana yang lebih baik,
membantu masyarakat menjual produknya atau me-mark up biaya-biaya pelatihan atau
lainnya?
Pada awalnya dulu sister company kita di Yogya mengalami banyak kritik. Namun kita
berusaha menjelaskan kepada masyarakat apa yang kita lakukan. Mengapa kita melakukan
ini karena masyarakat memiliki masalah. Kita elaborasi permasalahan mereka, kemudian
kita memberikan pelatihan dan kita carikan solusinya dalam pelatihan tersebut. Misalnya,
output mereka adalah produk dan permasalahan mereka tidak bisa memasarkan sendiri,
nah di sinilah kita berperan. Kemudian ketika kita mengembangkan di Bali, juga di 10
provinsi lainnya, kita sudah tidak menemui persoalan yang serius. Prinsipnya menjalin
komunikasi yang partisipatif mengenai kebutuhan kedua belah pihak.
Ada beberapa NGO yang terjun ke social entrepreneurship dinilai kebablasan.
Misalnya, ada lembaga yang semula menerbitkan majalah untuk petani atau
melaksanakan training, kemudian merubah dan format orientasinya menjadi majalah
dan training komersial, sehingga petani miskin tak bisa lagi menikmati layanan
tersebut. Bagaimana menjaga agar visi sosial itu tetap terjaga?
Kita bisa melakukan self-assessment dan evaluasi setiap tahun sekali atau beberapa tahun
sekali. Dalam forum tersebut kita bisa melakukan evaluasi kembali tentang visi dan misi
organisasi, apakah masih dianggap relevan. Jika dianggap masih relevan, ya tinggal
melanjutkan saja. Misalnya, mengapa mereka menerbitkan majalah tersebut dan siapa yang
diuntungkan dari usaha tersebut? Pertanyaannya sederhananya demikian. Nah, kalau
menurut mereka visi-misi tadi masih relevan; mereka mempunyai angkanya, mempunyai
data-datanya, usaha itu tetap bisa dilanjutkan. Ya, mungkin orang luar saja yang tidak tahu;
bisa jadi demikian.
Penuntun atau orientasi usaha komersial adalah jelas, yaitu kebutuhan atau peluang
pasar. Bagaimana dengan kewiraswastaan sosial?
Pada dasarnya sama. Ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Pertama, melihat peluang
pasar. Kedua, menentukan yang siapa yang akan diajak dan bagaimana caranya untuk
memenuhi pasar itu. Kalau kapitalis lebih mudah, bisa dengan membebaskan tanah,
membangun pabrik. Namun, kalau social entrepreneurship mungkin prosesnya dengan
mendekati orang-orang itu dan nantinya mereka menjadi pemilik saham dari usaha yang
akan dibangun. Inilah perbedaannya.
Memenuhi kebutuhan pasar tidak mudah. Kita harus jeli mengelola perubahan pasar
yang begitu cepat. Misalnya, satu tahun perajin belum bisa menguasai satu desain, tahun
depannya pasar sudah meminta desain baru. Begitu produk kita masukkan pasar, tahun
depan sudah ada perusahaan besar yang mengopi. Pekerti sering mengalami hal tersebut.
Kemudian kita juga membagi beban kerja kepada kelompok penyangga dan utama.
Misalnya, ada pesanan sebanyak 5.000, maka 3.000 produk kita pesan kepada kelompok
utama yang sudah berjalan dengan baik dan sisanya sebanyak 2.000 kita lempar kepada

kelompok masyarakat (penyangga) yang masih 1-2 tahun menjadi anggota kelompok.
Diharapkan penyangga berlatih banyak dahulu sebelum dia menjadi kelompok utama.
Sejauh ini, bagaimana dukungan pemerintah terhadap organisasi-organisasi yang
mencoba masuk ke ranah social entrepreneurship?
Dari segi kebijakan pemerintah tidak banyak membantu. Selama ini kita berjalan si sela-sela
barikade ini. Untuk trading, misalnya, ada peraturan yang dibuat Menteri Perindustrian
jaman Megawati, Rini Suwandi, yang mengharuskan setiap eksportir produk rotan dan kayu,
terdaftar dan hal ini menelan biaya 3,5 juta. Tentunya ini tidak memungkinkan bagi semua
perajin. Di Yogya kita melakukan pendekatan pada Sultan, kemudian Sultan memerintahkan
kepada dinas-dinas untuk membebaskan bea produk kerajinan. Kita juga melakukan
pendekatan kepada beberapa anggota asosiasi, di mana anggota perajin asosiasi memakai
nama asosiasi, anggota Pekerti memakai nama Pekerti. Sebenarnya semua persoalan itu
tinggal bagaimana kita menyiasati dan memanfaatkan.
Seberapa besar
Indonesia?

prospek

pengembangan

konsep

social

entrepreneurship

di

Sebenarnya prospeknya sangat besar; untuk negara miskin prospeknya sangat besar
karena di negara miskin banyak orang membutuhkan bantuan. Bukan berarti anggotanya
harus orang miskin semua. Menurut pengalaman kami, orang miskin itu mempunyai
kesungguhan, ketekunan, dan motivasi yang tidak kalah dengan orang yang tidak miskin;
orang-orang yang berpendidikan menengah atau orang-orang kaya yang tanggung. Jadi
para tukang yang hanya pendidikan SD, perajin-perajin itu yang dulunya buruh, kalau kita
tunjukkan, kita ajak bersama-sama mereka rela berkorban dibanding orang yang sudah
pernah berhasil atau memiliki warisan.
9 Prinsip Fair Trade (FT) Pekerti:
1. Menjangkau Kaum Lemah/Miskin
Menjangkau kaum miskin dan mengurangi tingkat kemiskinan melalui perdagangan
adalah merupakan bagian kunci gerakan. Mendukung mereka yang kurang beruntung
secara ekonomi dan termarjinalkan; baik perajin individu, bisnis keluarga maupun
kelompok dalam asosiasi atau koperasi. Hal ini dilakukan agar memungkinkan mereka
dapar berubah dari sebuah posisi rentan ke posisi aman dan dari miskin materi ke posisi
berpenghasilan dan memiliki aset usaha.
2. Transparansi dan Akuntabilitas
Seluruh kegiatan usaha dilakukan secara transparan, baik dalam organisasi dan
manajemen. Melakukan hubungan dagang dan bertransaksi secara adil dan saling
menghormati. Bertanggung jawab dan menghargai sensitifitas dan kerahasiaan
informasi dagang. Terbuka atas keikutsertaan karyawan / staf dan perajin / pekerja
dalam setiap proses pembuatan keputusan penting serta terbuka untuk memberikan
informasi yang sesuai dan diperlukan oleh semua mitra dagangnya.
3. Pengembangan Kapasitas

Berupaya untuk meningkatkan keterampilan / kemampuan staf / karyawan dan perajin /
pekerja yang menjadi mitra kerja. Memberikan perhatian khusus agar hubungan kerja
dan hubungan dagang dapat berkesinambungan sesuai kesepakatan. Bersama mencari
jalan keluar apabila terjadi pemutusan kemitraan. Mendampingi upaya peningkatan
keterampilan manajemen dan perluasan akses pasar baik ke pasar internasional,
regional atau lokal, Fair Trade maupun pasar bebas.
4. Memromosikan Fair Trade
Meningkatkan kesadaran akan tujuan FT dan berupaya untuk menerapkan keadilan
dalam setiap kegiatan usaha. Melakukan advokasi dan promosi atas tujuan dan kegiatan
FT sesuai jangkauan. Memberikan informasi yang benar tentang organisasi,
manajemen, produk, dan kondisi-kondisi yang telah dihasilkan. Melakukan periklanan
dan pemasaran dengan jujur serta menjaga agar standard mutu dan pengepakan selalu
terjaga.
5. Pembayaran Harga yang Adil
Harga yang adil sesuai kemampuan pasar yang lahir dari kesepakatan melalui dialog
yang partisipatif, untuk memberikan upah yang adil pada para pekerja. Adil dalam arti
layak secara sosial (dalam konteks lokal) disepakati keduabelah pihak dan menganut
prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Para buyer FT mendukung
pengembangan kapasitas serta menjamin pembayaran yang cepat dan jika mungkin
membantu dengan uang muka produksi.
6. Kesetaraan Gender
FT memberikan perlakuan yang adil kepada perempuan dan laki-laki dan secara khusus
dapat memrioritaskan perempuan karena pertimbangan di suatu daerah tertentu. FT
memperhatikan keperluan kesehatan dan keamanan khusus bagi wanita, terutama bagi
yang hamil dan menyusui. Budaya dan tradisi masyarakat dihormati dan dilakukan
upaya khusus untuk menghindari adanya diskriminasi agama, politik, jasmani, kasta, dan
umur.
7. Kondisi Kerja
Gerakan FT memromosikan lingkungan kerja yang aman, nyaman, dan sehat bagi para
pekerja dengan air bersih, sanitasi, akses pengobatan, dan kebutuhan ibadah. Jam kerja
sesuai yang ditetapkan oleh hukum dan konvensi ILO serta ketentuan masing-masing
daerah. Secara tetap para perajin / pengusaha berupaya meningkatkan kesadaran
pekerja pada isu kesehatan, keamanan, kualitas produk, keterampilan serta masa depan
mereka.
8. Buruh Anak
FT menghargai konvensi UN, hukum dan norma-norma tentang hak-hak anak, untuk
menjamin bahwa kesertaan anak pada proses produksi tidak mempengaruhi
kesejahteraan, keamanan, keperluan pendidikan, dan keperluan bermain mereka secara
merugikan. FT dengan kerja sama semua pihak selalu memantau secara langsung dan
terus menerus keterlibatan anak dalam produksi.
9. Lingkungan

FT memaksimalkan penggunaan bahan baku dari sumber daya yang dikelola secara
berkelanjutan dan bertanggung jawab, semikian juga dalam memperdagangkan
produknya. Pengepakan diprioritaskan mempergunakan bahan yang dapat didaur ulang
dengan mudah. Gerakan FT mempromosikan penggunaan teknologi yang
memperhatikan kelestarian lingkungan serta mengurangi konsumsi energi dan
meningkatkan kesadaran adanya bahaya kerusakan lingkungan.