Teori Sosiologi Sastra . docx

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Sastra sebagai produk budaya yang sebagian besar dinskripsikan dalam

bentuk tulisan merupakan representasi pikiran dan perasaan manusia sebagai
makhluk sosial. Selain menggambarkan ide dan gagasan penulisnya, sastra juga
dapat menggambarkan sistem sosial dan budaya sebagai tempat penulis itu hidup.
Hal ini dapat dilihat apabila penulis sastra adalah orang yang berdomisili di Arab
dan berbudaya Arab maka sebagian besar karya sastra ciptaannya pasti
merepresentasikan sistem sosial dan budaya Arab. Contohnya novel ‘Girls of
Riyadh’ (banāt al-Riyadh) yang ditulis oleh Rajaa al-Sanea. Rajaa al-Sanea yang
merupakan representasi pribadi yang hidup di tengah masyarakat Arab telah
menggambarkan sistem sosial dan budaya Arab dalam novelnya tersebut. Dalam
novel ‘Girls of Riyadh’ penulis melukiskan sistem patriarki yang masih sangat
kental dalam sistem sosial di Saudi Arabia. Sastra dengan demikian merupakan
produk budaya yang menggambarkan aktivitas sosial masyarakat yang diwakili
oleh tokoh-tokohnya dalam suatu setting tertentu.1

Sebuah karya sastra dapat dipandang sebagai potret kehidupan manusia.
Di dalamnya sang penulis mengetengahkan model kehidupan para tokoh dan
kondisi sosial yang antara lain mencakup struktur sosial, hubungan sosial,
pertentangan sosial, hubungan kekeluargaan, dominasi kelompok yang kuat
terhadap yang lemah, dan sisi-sisi kehidupan sosial lainnya seperti layaknya
kehidupan nyata. Dengan demikian, menghayati dan memahami karya sastra sama
halnya dengan menghayati dan memahami manusia dan kehidupannya dalam
segala segi, yang pada hakikatnya dapat dikaji oleh disiplin-disiplin ilmu yang
berhubungan dengan manusia (ilmu humaniora atau ilmu sosial). Salah satu
disiplin ilmu yang dapat mengkaji karya sastra dalam kaitannya dengan kehidupan
sosial adalah sosiologi sastra.
Sosiologi sastra merupakan kajian sastra dalam kaitannya dengan
masyarakat. Sosiologi sastra berarti mengkaji karya sastra dengan cara
1Heri Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012, hlm.3.

1

menghubungkannya dengan aspek-aspek sosial yang ada dalam kehidupan
masyarakat.


1.2.

Rumusan Masalah
Agar pembahasan dalam makalah ini lebih terarah, maka perlu diberikan

rumusan masalah sehingga tidak keluar dari topik permasalahan yang ingin
dibahas.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah relasi atau hubungan antara sosiologi dengan sastra?
2. Bagaimanakah kerangka teoritis sosiologi sastra?
3. Bagaimanakah aplikasi teori sosiologi sastra?
1.3.

Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini sebagai

berikut:
1. Untuk mendeskripsikan relasi atau hubungan antara sosiologi dengan
sastra.
2. Untuk mendeskripsikan kerangka teoritis sosiologi sastra.

3. Untuk mendeskripsikan aplikasi teori sosiologi sastra.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra terdiri dari kata sosiologi dan sastra.Sosiologi mempunyai
dua akar kata yaitu socius (dari bahasa Latin) yang berarti ‘teman’ dan logos yang
berarti ‘ilmu tentang’. Secara harfiah, sosiologi berarti ‘ilmu tentang

2

pertemanan’.2 Sosiologi juga sering disebut sebagai kajian tentang masyarakat
atau kajian tentang kehidupan sosial.3
Menurut Ritzer, sosiologi merupakan disiplin ilmu tentang masyarakat
yang melandaskan pada tiga paradigma yaitu pertama paradigma fakta sosial yang
berupa lembaga-lembaga dan struktur sosial yang dianggap sebagai sesuatu yang
nyata, yang berada di luar individu; kedua paradigma definisi sosial yang
memusatkan perhatian pada cara-cara individu dalam mendefinisikan situasi
sosial dan efek dari definisi itu terhadap tindakan yang mengikutinya; dan ketiga

paradigma perilaku manusia sebagai subjek yang nyata. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa sosiologi merupakan disiplin ilmu tentang kehidupan masyarakat yang
objek kajiannya mencakup fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial yang
menunjukkan hubungan interaksi dalam suatu masyarakat.4
Dalam kaitannya dengan masyarakat, sastra merupakan sarana yang sering
dipergunakan untuk mencetuskan pendapat-pendapat yang hidup dalam
masyarakat.5 Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang
ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma
dan adat istiadat zaman tersebut. Penulis mengarang karya sastra sebagai seorang
warga masyarakat dan menyapa pembaca yang juga merupakan anggota
masyarakat.6
Sastra sebagai cerminan masyarakat dan tidak lahir dari kekosongan
budaya dapat dikaji secara interdisipliner. Studi sastra interdisipliner adalah teori
yang menggunakan disiplin ilmu bantu lain dalam mengkaji karya sastra, melihat
hubungannya dengan disiplin ilmu lain, dan persoalan lain yang lebih luas. 7 Salah
satu bidang ilmu yang dapat digunakan untuk mengkaji sastra adalah sosiologi
sastra.
Secara sederhana, sosiologi sastra adalah kajian sastra dalam kaitannya
dengan masyarakat. Definisi lainnya mengungkapkan bahwa sosiologi sastra
adalah ilmu yang membahas hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya,

2Heri Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra. op.cit., hlm.4.
3Syahrial Syarbaini dan A. Rahman, Sosiologi dan Politik. Bogor: Ghalia Indonesia, 2004,hlm.9.
4Heri Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, op.cit., hlm.4.
5Jan Van Luxemburg, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn, Pengantar Ilmu Sastra, Terjemahan oleh Dick
Hartoko, Jakarta: Gramedia, 1986, hlm.12.
6Ibid., hlm.23.
7Sukron Kamil, Najib Mahfuz Sastra, Islam, dan Politik Studi Semiotik terhadap Novel Aulad Haratina,
Jakarta: Dian Rakyat, 2013, hlm.2.

3

status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan segmen
pembaca yang ditujunya.Dalam sosiologi sastra, sebuah karya sastra baik isi
maupun bentuknya dilihat secara mutlak terkondisikan oleh lingkungan dan
kekuatan sosial tertentu pada periodenya.8

2.2. Relasi Sosiologi dengan Sastra
Sebagai produk budaya yang berupa tulisan bermedia bahasa, sastra tidak
bisa dilepaskan dari manusia sebagai penulisnya.Sastra eksis karena ada manusia
yang menulisnya (penulis) dan penulis itu hidup dalam sistem sosial masyarakat

yang menjadi objek kajian sosiologi. Dalam konteks ini, relasi sosiologi dengan
sastra digambarkan sebagai berikut.
Pertama, relasi sosiologi dengan sastra dimediasi oleh pengarang. Penulis
karya sastra adalah individu yang hidup dalam konteks masyarakat. Oleh karena
itu, pikiran dan perasaan yang ditulis dalam karya sastra selalu merepresentasikan
pandangan-pandangannya pada masyarakat tempat penulis itu eksis. Pandanganpandangan penulis umumnya merepresentasikan keadaan sosial masyarakatnya.
Hal ini terjadi karena manusia adalah makhluk bermasyarakat yang akan selalu
melakukan proses internalisasi dan asimilasi terhadap nilai dan norma dalam
masyarakat. Nilai-nilai yang menginternal dalam diri penulis sebagai bentukan
dalam kehidupan bermasyarakat itulah yang selanjutnya muncul sebagai
pandangan dunia dalam karya sastra.
Hal ini menunjukkan bahwa karya sastra pada hakikatnya adalah sebuah
bentuk refleksi keadaan, nilai, dan kehidupan masyarakat yang menghidupi
penulisnya, atau pernah mempengaruhi penulisnya. Penulis sebagai anggota
masyarakat memotret kehidupan masyarakat tersebut sesuai dengan pandangan
dan ideologinya. Oleh karena itu, hubungan masyarakat dengan sastra dimediasi
oleh penulisnya.
Dengan melihat fakta ini, maka sosiologi sastra menjadikan penulis
sebagai individu yang perlu menjadi fokus kajiannya. Sosiologi sastra sering


8Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, op.cit., hlm.113.

4

diorientasikan untuk menelaah ideologi atau pandangan dunia penulis terhadap
kondisi masyarakat yang ada.
Kedua, hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh fakta sastra.
Fakta sastra dalam sebuah karya sastra berupa peristiwa yang aspeknya adalah
tokoh, tempat, dan waktu (alur) yang membentuk keterpaduan. Dalam hal ini,
peristiwa dan kejadian yang dideskripsikan dalam sastra bisa jadi merupakan hasil
rekaan tetapi secara substansi merepresentasikan ideologi penulis terhadap suatu
kondisi sosial masyarakat tertentu. Oleh karena itu, peristiwa dalam sastra
memiliki relasi dengan kondisi sosial masyarakat yang diacu. Hal ini sebagaimana
yang diungkapkan oleh Teeuw (1980) bahwa sastra tidak lahir dalam kekosongan
budaya. Artinya konteks peristiwa yang dibangun dan disusun dalam karya sastra
jelas berkaitan dengan budaya dan kondisi sosial.
Ketiga, hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh pembaca. Karya
sastra pada hakikatnya adalah produk budaya yang akan bermakna bila terjadi
komunikasi dengan pembaca melalui interpretasi pembacaan yang intens. Tanpa
interpretasi pembacaan oleh pembaca, karya sastra tetap tidak bermakna. Hal

inilah yang menjadikan fokus kajian terhadap pembaca. Pembaca adalah pemberi
makna terhadap eksistensi karya sastra. Oleh karena itu, analisis terhadap
pemaknaan pembaca terhadap karya sastra menjadi bagian yang penting. Pembaca
karya sastra adalah individu yang hidup dalam kondisi masyarakat tertentu
sehingga kondisi budaya dan sosial masyarakat sebagai tempat pembaca hidup
dan mendapatkan segala nilai dan pengetahuannya jelas mempengaruhi
interpretasi pembaca terhadap karya sastra.
Keempat, hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh kenyataan. Hal
ini menandakan bahwa sastra adalah cermin masyarakat. Sastra menggambarkan
dunia yang sebenarnya. Oleh karena itu, kenyataan sosial imajiner sastra juga
merepresentasikan kenyataan yang sebenarnya. Dari konsep inilah hubungan
sosiologi dengan sastra dimediasi oleh kenyataan sosial yang sebenarnya.
Kelima, hubungan sosiologi dengan sastra dimediasi oleh bahasa sebagai
media sastra. Dalam hal ini, bahasa sebagai media hubungan antara sosiologi
dengan sastra didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa hidup dan menjadi media
komunikasi utama dalam relasi antarindividu di masyarakat. Eksistensi bahasa

5

menunjukkan keberadaan suatu masyarakat sehingga penggunaan bahasa dalam

sastra pun mencerminkan kondisi masyarakatnya. Begitu juga halnya dengan
bahasa Arab yang mencerminkan keadaan sosial masyarakat Arab pada zamannya.
Bahasa Arab yang digunakan pada zaman jahiliyah tentu berbeda dengan bahasa
Arab yang digunakan pada zaman modern seperti dalam hal diksi, kalimat, hingga
ungkapan-ungkapannya. Hal ini terjadi karena kondisi sosial berbahasa dalam
masyarakatnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa bahasa juga menjadi mediasi
dalam hubungan antara sosiologi dengan sastra.
Dengan melihat berbagai mediasi yang merelasikan hubungan antara
sosiologi dengan sastra , maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara sastra
dengan sosiologi adalah hubungan yang secara eksistensi disiplin ilmu memang
ada dan tidak bersifat mengada. Hubungannya bersifat kompleks dan menyeluruh
karena melibatkan berbagai unsur pembangun sastra yaitu penulis, fakta sastra,
pembaca, dunia yang diacu, dan bahasa.9
2.3. Teori Sosiologi Sastra
Teori memegang peranan penting dalam sebuah penelitian. Teori
memberikan kerangka pendekatan, metode, dan teknik sehingga memungkinkan
untuk berpikir secara teoritis dan sistematis. Begitu juga halnya dengan teori
sosiologi sastra. Teori sosiologi sastra bertolak dari asumsi bahwa kehidupan
dalam karya sastra mempunyai sistem sosial yang dapat disamakan dengan sistem
sosial di luar karya sastra (dalam masyarakat nyata).10

Teori sosiologi sastra ini berawal dari konsep mimesis (tiruan) dari Plato
(428-348 SM) yang melihat karya sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Berbeda
dengan Plato, Aristoteles (384-322) berpendapat bahwa dalam meniru realitas,
sastrawan tidak semata-mata meniru realitas, melainkan juga menciptakan sesuatu
yang baru karena karya sastra ditentukan oleh sikap kreatif sastrawan dalam
memandang realitas. Dalam teori sastra Arab, adanya teori muhakah (meniru) dan
tasni’ (mencipta) baik dalam bentuk tahsin (memperbagus) maupun taqbih
(memperburuk) menunjukkan kuatnya pengaruh teori Aristoteles.

9Heri Kuniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, op.cit., hlm.6-10.
10Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990, hlm.10.

6

Pada abad ke-18, teori mimesis Plato dan Aristoteles itu dikembangkan
oleh Hyppoyte Taine (1766-1817), kritikus Perancis sebagai peletak dasar
sosiologi sastra modern. Menurutnya, sebuah karya sastra merupakan faktor yang
dipengaruhi oleh ras (apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya),
moment (situasi sosial politik pada masanya), dan lingkungan (kedaan alam,
iklim, dan sosial). Dalam khazanah sastra Arab, kritikus sastra yang berpandangan

hampir sama dengan Taine adalah Ahmad asy-Syayib (kritikus Arab abad ke-20).
Menurutnya, faktor yang mempengaruhi sastra adalah tempat tinggal
sastrawannya, zaman dimana ia hidup, etnisitas, kontak dengan bangsa lain,
agama, dan keadaan politik.11
Hubungan antara karya sastra dengan kenyataan mengalami
perkembangan yang cukup menarik di Rusia. Pengaruh sosial budaya terhadap
penciptaan karya sastra bertumpu pada ajaran Karl Marx dan Lenin. Ajaran
tersebut adalah teori pertentangan kelas atau yang dikenal dengan sosialisme
komunis. Bagi Marx, setiap zaman pada suatu bangsa terdapat pertentangan kelas.
Kelas atas adalah kaum bangsawan atau borjuis sementara kelas bawah adalah
rakyat jelata (proletar). Antara kelas atas dan kelas bawah selalu terjadi
perlawanan. Teori pertentangan kelas ini disebut juga teori Marxisme. Menurut
Marxisme, sastra adalah refleksi masyarakat yang secara terus menerus berusaha
mencerminkan masyarakat. Setiap karya sastra menyuarakan kelas tertentu dan
karya sastra merupakan bayangan dan akibat dari sistem ekonomi masyarakat
sehingga karya sastra dapat dijadikan alat untuk perjuangan.12
Teori lain yang terdapat dalam sosiologi sastra adalah teori patronase
negara (penguasa) terhadap sastrawan dari Diana Laurenson, teori hegemoni dari
Raymond William, dan teori sastra kontekstual yang diungkapkan oleh Ariel
Heryanto. Diana Laurenson mengungkapkan bahwa salah satu cara penelitian
yang mengkaji hubungan antara sastra dengan politik adalah dengan analisis
patronase. Menurutnya, ada tiga jenis sistem patronase dalam kesusastraan yaitu
sistem patronase lama, sistem patronase kemudian, dan sistem patronase baru
yang tidak langsung.

11Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab Klasik dan Modern, op.cit., hlm.113-114.
12Atmazaki, Ilmu Sastra Teori dan Terapan, op.cit., hlm.45-46.

7

Dalam sistem patronase lama, hubungan antara sastrawan dan patronnya
bersifat pribadi dan kuat bahkan banyak yang tinggal di kediaman sang patron.
Oleh karena itu, sastrawan kemudian sering kali menempatkan kesetiaan dirinya
kepada sang patron lebih kuat daripada pada profesinya sebagai sastrawan. Di
Barat, para patron ini adalah raja-raja dan bangsawan. Dalam patronase kemudian
seperti yang terjadi di Inggris sejak abad ke-16, hubungan pribadi antara
sastrawan dengan patronnya cenderung longgar. Sedangkan dalam sistem
patronase baru yang tidak langsung, sang patron hanya berfungsi sebagai mediator
dari hubungan antara sastrawan dengan publiknya. Sistem patronase yang tidak
langsung ini terjadi pada masa modern yang di dalamnya kehidupan sastrawan
tidak bergantung pada patron, tetapi bergantung pada audiensnya, pada hukum
penawaran dan permintaan pasar. Sastrawan pun harus berhadapan dengan para
mediator yaitu para penerbit, media, pemerintah, dan yayasan swasta yang
bergerak di bidang sastra dengan menggandeng para pengusaha.
Selain teori patronase Diana Laurenson, Raymond William (1967) juga
memunculkan teori hegemoni untuk melihat hubungan antara sastra dengan
politik. Menurut Raymon William, masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu
totalitas yang tidak terpisahkan satu sama lain. Ia membagi kebudayaan pada tiga
bagian yaitu kebudayaan residual (pengalaman, makna-makna, dan nilai-nilai
yang terbentuk pada masa lalu), kebudayaan dominan (yang dominan
dipraktikkan saat ini), dan kebudayaan yang bangkit (alternatif dan bertentangan
dari kebudayaan yang dominan).13
Adapun teori sastra kontekstual yang diutarakan oleh Ariel Heryanto
mengungkapkan bahwa sastra sebagai seni yang lahir dari sosial. Salah seorang
penganut sastra kontekstual di Indonesia adalah Rendra yang dalam sebagian
puisinya ia menggeluti persoalan politik.
Dalam kaitannya dengan sosiologi sastra, Wellek dan Warren (1956)
mengemukakan tiga paradigma pendekatan dalam sosiologi sastra. Pertama,
sosiologi pengarang. Inti dari analisis sosiologi pengarang ini adalah memaknai
pengarang sebagai bagian dari masyarakat yang telah menciptakan karya sastra.
Oleh karena itu, pemahaman terhadap pengarangnya menjadi kunci utama dalam
13Ibid. hlm.118-119.

8

memahami relasi sosial karya sastra dengan masyarakat. Kedua, sosiologi karya
sastra. Analisis sosiologi ini berangkat dari karya sastra. Artinya, analisis terhadap
aspek sosial dalam karya sastra dilakukan dalam rangka untuk memahami dan
memaknai hubungannya dengan keadaan sosial masyarakat di luarnya. Ketiga,
sosiologi pembaca. Kajian pada sosiologi pembaca ini mengarah pada dua hal
yaitu kajian pada sosiologi terhadap pembaca yang memaknai karya sastra dan
kajian pada pengaruh sosial yang diciptakan karya sastra.
Sementara itu, Ian Watt (1964) menyebutkan tiga paradigma dalam
sosiologi sastra. Pertama, konteks sosial pengarang yang berhubungan dengan
analisis posisi pengarang dalam suatu masyarakat dan kaitannya dengan pembaca.
Adapun analisis sosial pengarang ini meliputi mata pencaharian pengarang,
profesionalisme pengarang, dan masyarakat yang dituju oleh pengarang. Kedua,
sastra sebagai cermin masyarakat. Hal ini berkaitan dengan sejauh mana sastra
dapat dianggap mencerminkan keadaan masyarakat. Sastra sebagai cermin
masyarakat berarti sastra yang merefleksikan masyarakat atau merepresentasikan
semangat zamannya. Ketiga, fungsi sosial sastra. Hal ini berkaitan dengan fungsi
sastra yang mampu mengajarkan nilai sosial yang baru pada masyarakat sehingga
sastra memiliki fungsi sosial yaitu berperan serta dalam proses terjadinya
perubahan sosial.14
Berdasarkan dua paradigma yang dikemukakan Wellek dan Warren (1956)
dan Ian Watt (1964), dapat disimpulkan bahwa teori sosiologi sastra mengkaji tiga
aspek yaitu pengarang, karya sastra, dan pembaca. Tetapi teori sosiologi sastra
tetap berpusat pada karya sastra yang digunakan sebagai data utama untuk
memaknai ideologi pengarang, kondisi sosial masyarakat, atau pun proses
perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

2.4. Aplikasi Teori Sosiologi Sastra
Teori sosiologi sastra tampaknya hanya mengungkapkan absahnya
pengkajian interdisipliner antara sastra dan sosiologi. Akan tetapi, dalam teori
tersebut tidak dijelaskan secara rinci bagaimana metode (langkah kerja) yang
14Heri Kurniawan, Teori, Metode, dan Aplikasi Sosiologi Sastra, op.cit., hlm.11.

9

perlu dilakukan dalam sebuah penelitian. Oleh karena itu, dalam praktiknya teori
sosiologi sastra ini harus digabung dengan teori lain yang menjelaskan metodologi
pengkajian sastra hingga ke mikro teks misalnya digabung dengan teori
strukturalisme genetik atau strukturalisme semiotik. Sehingga aspek intrinsik dan
ekstrinsik karya sastra dapat diungkap.
Dalam pengaplikasian teori sosiologi sastra yang fokus kajiannya pada
karya sastra, hal yang perlu dilakukan adalah menganalisis unsur-unsur
pembentuk karya sastra yang dikaji secara sosiologis. Tujuannya untuk
mendeskripsikan kenyataan sosial dalam karya sastra. Karena kenyataan sosial
dalam karya sastra berimajiner, maka data-data sosial yang disuguhkan dalam
karya sastra sebenarnya bersifat terbatas. Oleh karena itu, kedalaman analisis
sosiologi sastra ditentukan oleh interpretasi terhadap teks yang dielaborasikan
dengan kenyataan sosial dan teori-teori sosiologi. Dalam hal ini, analisis sosiologi
sastra dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis struktur intrinsik karya
sastra seperti tokoh (syakhsiyyah), latar (khalfiyyah), dan alur (habkah). Ketiga
struktur ini menjadi pusat perhatian karena seperti halnya kehidupan, aspek sosial
dalam karya sastra dan kehidupan sehari-hari juga berpusat pada tiga hal ini.
Analisisnya adalah memahami hubungan yang terjalin antarstruktur tersebut.
Analisis sosiologi dalam struktur karya sastra dilakukan untuk memahami
dan memaknai struktur sosial masyarakat di luarnya. Apabila struktur sosiologi
dalam karya sastra telah ditemukan, maka langkah selanjutnya adalah
merelevansikan acuan ‘reference’ struktur sosial karya sastra dengan struktur
sosial masyarakat yang sebenarnya. Pada tahap ini, peneliti menganalisis
hubungan-hubungan yang terbangun antara struktur sosial karya sastra dengan
struktur sosial masyarakat. Dengan analisis ini, maka dapat diketahui hubungan
teks dengan konteks sehingga melalui karya sastra dapat dipahami gejala-gejala
sosial masyarakat yang terjadi dan pengaruh gejala sosial masyarakat tersebut
dengan struktur karya sastra.
Contoh karya sastra yang dapat dijadikan objek kajian sosiologi sastra di
antaranya adalah novel al-Karnak yang ditulis oleh Najib Mahfuz. Novel tersebut
menceritakan tentang kehidupan masyarakat Mesir pascarevolusi tahun 1952.

10

Teori sosiologi sastra digunakan sebagai alat untuk menganalisis keterkaitan novel
al-Karnak dengan fakta sosial yang terjadi pada masyarakat Mesir.
Analisis karya sastra dengan menggunakan teori sosiologi sastra juga
dapat dilakukan pada puisi (syair) Abu Nawas yang banyak menceritakan tentang
khamar (minuman keras). Tema puisi yang menggambarkan tentang khamar
tersebut dapat dijadikan objek kajian sosiologi sastra untuk melihat kenyataan
sosial yang terjadi pada saat puisi tersebut ditulis.

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah disampaikan pada bab-bab terdahulu, dapat
disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Sosiologi sastra merupakan ilmu yang membahas hubungan antara
pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi
ekonomi dalam profesinya, dan segmen pembaca yang ditujunya. Dalam
sosiologi sastra, karya sastra baik isi maupun bentuknya dilihat secara
mutlak terkondisikan oleh lingkungan dan kekuatan sosial tertentu pada
periodenya.
2. Relasi sosiologi dengan sastra bersifat kompleks dan komprehensif karena
melibatkan berbagai unsur pembangun sastra yaitu pengarang, fakta sastra,
dunia yang diacu, dan bahasa sebagai media sastra.

11

3. Teori sosiologi sastra berawal dari konsep mimesis (tiruan) dari Plato yang
melihat karya sastra sebagai tiruan dari kenyataan. Sedangkan Aristoteles
berpendapat bahwa dalam meniru realitas, sastrawan tidak semata-mata
meniru realitas melainkan juga menciptakan sesuatu yang baru. Teori
mimesis Plato dan Aristoteles ini kemudian dikembangkan oleh Hyppoyte
Taine sebagai peletak dasar sosiologi sastra modern. Adapun teori lain
yang terdapat dalam sosiologi sastra meliputi teori patronase negara dari
Diana Laurenson, teori hegemoni dari Raymond William, dan teori sastra
kontekstual yang diungkap Ariel Heryanto. Adapun paradigma pendekatan
dalam sosiologi sastra dari Wellek dan Warren adalah sosiologi pengarang,
sosiologi karya sastra, dan sosiologi pembaca. Sementara itu Ian Watt
menyebutkan tiga paradigma dalam sosiologi sastra yaitu konteks sosial
pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra.
4. Dalam aplikasinya, teori sosiologi sastra harus digabung dengan teori lain
yang menjelaskan pengkajian sastra hingga ke mikro teks seperti digabung
dengan teori strukturalisme genetikdan strukturalisme semiotik sehingga
aspek ekstrinsik dan intrinsik karya sastra dapat diungkap.

12