M01448

(1)

1

AKSELERASI PROSES TRANSFER KNOWLEDGE MENGGUNAKAN

PENDEKATAN MODEL SECI YANG DISESUIKAN DENGAN

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT JAWA “SLAMETAN

(STUDI PADA PENGUSAHA KERUPUK TUNTANG KAB SEMARANG) Linda Ariany Mahastanti1, Yeterina Widi Nugrahanti 2, Sri Hartini 3

Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana Jalan Diponegoro no 52-60 Salatiga

email : linda.ariany @staff.uksw.edu

ABSTRACT: The process of creating knowledge and transferring new knowledge among SMEs still face many obstacles. Some things are always encountered in the process of knowledge transfer among SMEs such as the resistance carried out by SMEs. This makes innovation process can not be performed well. Using SECI model approach when making the knowledge transfer is not enough as the communication process is not running smoothly. This phenomenon also occurs in the cracker industry in Tuntang Semarang District Central Java, therefore it is necessary to make a breakthrough on how to properly communicate knowledge through the community local wisdom approach. The method used in this research was case study method, and used observation, FGD and interviews to collect the data. The results showed that local wisdom approach "Slametan" made crackers entrepreneurs to be more open in the process communication. This openness could encourage the easier knowledge creation and transfer.

KEYWORDS- knowledge transfer,lokal wisdom, slametan, SMEs

A. PENDAHULUAN

Usaha kecil yang mulai berkembang saat ini, sering kali banyak mengalami hambatan dalam perkembangannya terkait dengan proses inovasi yang tidak bisa berjalan dengan baik. Beberapa kendala yang dihadapi terkait dengan proses inovasi terkait dengan kemampuan transfer knowledge yang masih rendah diantara para pengusaha UMKM. Berdasarkan hasil penelitian Mahastanti dan Nugrahanti (2010) kondisi ini terjadi karena tingkat pendidikan yang masih relatif rendah rata rata lulusan SD dan SMP. Hal ini menarik karena walupun tingkat pendidikan rendah tetapi pengalaman mereka dalam melakukan usaha relatif cukup lama rata rata 15 tahun. Jika dilihat dari pengalaman yang dimiliki kemampuan mereka dalam mengelola tacit knowledge sangat baik. Menurut Polanyi (1967) tacit knowledge adalah sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh invidu yang timbul karena proses akulturasi dari observasi dan pengalaman yang sudah cukup lama, di dalamnya juga mengandung unsur nilai nilai dan kepercayaan. Sehingga tacit knowledge ini terkadang akan sulit untuk di transferkan dari satu individu ke individu yang lain. Semakin lemahnya proses transfer knowledge akan membuat proses inovasi tidak bisa berjalan dengan baik, pada akhirnya hal ini akan


(2)

2 menurunkan daya saing dari usaha UKM. Padahal semakin ketatnya persaingan bisnis maka dibutuhkan kreatifitas dan inovasi produk untuk meningkatkan competitive advantage, profitabilitas dan menunjang kelangsungan usaha (Pimentel dan Campos,2008). Untuk menumbuhkan proses pembelajaran dalam menciptakan inovasi produk dibutuhkan transfer

knowledge yang bagus. Proses pembelajaran untuk mengembangan inovasi dapat dilakukan secara individu, kelompok, organisasi ataupun di level industri (Shrivastava,1993) dalam Sabestova dan Rylkova (2011).

Potret mengenai usaha kecil yang mengalami kesulitan dalam proses inovasi produk juga terjadi di usaha kerupuk Tuntang Kabupaten Semarang. Berikut ini data data mengenai jumlah pengrajin kerupuk di Tuntang. Berdasarkan hasil penelitian mahastanti dkk (2013) beberapa hal yang dapt dilihat dari fenomena industri kerupuk adalah inisiasi dari kegiatan memulai usaha ini turun temurun 57% dan memulai sendiri karena ikut ikutan tetangga sekitar 43%. Proses transfer knowledge yang terjadi di usaha turun temurun terjadi dari tacit knowledge ke tacit knowledge antara orang tua dan anak hal ini terjadi karena tempat usaha dan rumah biasanya menjadi satu sehingga anak secara tidak langsung melakukan observasi dari cara pembuatan kerupuk dalam proses jangka waktu yang lama. Sedangkan untuk ikut ikutan tetangga biasanya mereka meniru apa yang dilakukan oleh pemilik perusahaan sebelumnya disini terjadi transfer knowledge dari tacit knowledge ke eksplisit knowledge. Hal ini terjadi karena pemilik perusahaan mampu untuk memprosedurkan bagaimana cara membuat adonan kerupuk yang mudah dipahami oleh orang lain.

Masalah yang dihadapi dalam tahap ini adalah motivasi yang kurang dari para pengusaha untuk berlatih sendiri dalam meyerap ilmu yang diterima selama pelatihan. Hal ini diduga terjadi karena adanya budaya “nrimo” dikalangan orang Jawa. Budaya ini membuat seseorang enggan keluar dari zona kenyamanan yang dimiliki selama ini.Selain budaya nrimo untuk melakukan proses inovasi terutama dalam hal merubah bahan baku yang digunakan seperti mengganti bahan borak dengan bahan pengganti lain yang lebih sehat, kadang-kadang pengrajin tidak merasa percaya diri karena borak adalah resep turun temurun dari nenek moyang mereka dalam membuat kerupuk. Rasa tidak percaya diri ini menjadi lebih parah ketika mereka merasa takut bahwa nenek moyang mereka tidak merestui dalam mengganti borak, yang pada akhirnya akan membuat kerugian bagi bisnis mereka. Pada tahapan ini dibutuhkan proses motivasi diri yang kuat dari masing-masing pengusaha. Dalam proses terakhir ini lebih kepada individual learning dibandingkan dengan organizational learning, Sedangkan tiga tahapan sebelumnya termasuk dalam organizational learning (Bratianu, 2000).

Tahapan yang terjadi dalam transfer knowledge yang terjadi di Pengrajin kerupuk Tuntang sesuai dengan model SECI (Sosialization, Eksternalization, Combination, Internalization) yang ditemukan oleh Nonaka. Nonaka dan Takeuchi, (1995) menyatakan bahwa spiral transfer knowledge akan semakin berkembang melalui tahapan transfer knowledge SECI. Jika perusahaan mampu melakukan ini maka daya saing mereka akan semakin tinggi dihadapan kompetitornya. Apabila model Nonaka diterapkan dalam transfer knowledge di kalangan pengrajin kerupuk Tuntang ada beberapa hal yang perlu di perbaiki


(3)

3 dari model tersebut terkait dengan adanya resistensi penolakan pengrajin kerupuk. Oleh karena itu menarik untuk dilihat bagimana model SECI diterapkan dengan menggunakan unsur budaya kearifan lokal masyarakat setempat melalui indegenious knowledge, untuk membuka komunikasi dan mempermudah mentransfer pengetahuan. Walaupun di beberapa penelitian sebelumnya Agrawal (1994,2004) meyatakan bahwa beberapa teori menyatakan

indigenous knowledge (IK) akan menjadi hambatan dalam pembangunan masyarakat, hal ini terjadi karena orang-rang yang memiliki IK akan cenderung untuk lebih terbelakang dan terlokalisir dari perkembangan ilmu baru. Ochola (2007) juga mendukung hal yang sama bahwa IK cenderung membuat orang mejadi lebih termarjinalkan dan terstigma. Penelitian ini mencoba untuk melihat sisi yang lain dari IK untuk menciptakan dan mentransfer pengetahuan. Karakteristik UMKM yang cenderung memiliki tingkat pendidikan yang rendah tetapi memiliki pengalaman produksi yang cukup lama (Mahastanti dkk, 2013) membuat IK diharapkan mampu untuk menjadi pintu pembuka dalam proses komunikasi yang baik dalam transfer pengatahuan sehingga hal ini dapat mengindari biaya kesalahan serta mampu untuk membangun masyarakat seacara berkelanjutan (Grenier, 1998)

Unsur budaya lokal ini menarik untuk dilihat karena berdasarkan hasil penelitian Mahastanti dkk (2013) terhadap hasil laboraturium kerupuk tuntang kandungan gizi portein, karbohidrat, dan serat terlarut dari kerupuk Tuntang tidak kalah dengan kerupuk Finna ( kerupuk Finna menjadi kontrol dalam penelitian ini karena dari komposisi bahan hampir sama tapi proses penjualan dan pemasaran lebih baik dari kerupuk Tuntang). Kendala utama yang dihadapi oleh pengrajin kerupuk Tuntang adalah kandungan PH yang relatif tinggi dibandingkan dengan Finna. Hal ini mempersulit pengrajin ketika meminta ijin PIRT (Perijinan Industri Rumah Tangga) kepada Dinas Koperasi UMKM dan Dinas Kesehatan. Kandungan PH yang tinggi terjadi karena selama melakukan proses produksi pengrajin menggunakan borak (bleng) dalam rangka untuk memperoleh kekenyalan adonan dan membuat kerupuk mereka menjadi renyah ketika digoreng. Ijin PIRT ini penting karena ketika pengrajin akan memperluas pangsa pasar mereka di pasar modern salah satu persyaratan dalam kemasan yang dibuat harus mencantumkan ijin PIRT dari Dinas. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa makanan tersebut secara kesehatan aman untuk dikonsumsi.

Kendala di atas dapat dipecahkan jika pengrajin mau untuk menggantikan komposisi borak dengan bahan kimia lain yang diijinkan oleh pemerintah seperti STPP. Kendala yang muncul adalah ternyata tidak semua pengrajin mau menerima STPP sebagai pengganti Borak. Dengan alasan bahwa resep borak adalah resep turun temurun dari orang tua, dan selama ini tidak ada masalah penyakit yang muncul dari konsumsi borak tersebut. Disinilah pentingnya pendekatan budaya lokal untuk memberikan pemahaman kepada pengrajin dalam memberikan pelatihan bahaya penggunaan borak. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat persaingan industri kerupuk saat ini semakin ketat, oleh karena itu salah satu terobosan yang harus dilakukan pengrajin adalah memperluas pangsa pasar di pasar modern dengan memperoleh PIRT terlebih dahulu. Untuk memperoleh PIRT pola pikir cara produksi mereka selama ini harus dirubah. Friedmann (1992) menyatakan bahwa masyarakat akan merasa siap


(4)

4 diberdayakan dengan isu-isu lokal yang juga tidak mengabaikan kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur diluar civil society.

Dengan demikian model transfer knowledge dengan unsur pemberdayaan masyarakat yang berdasar kearifan lokal (indeginous knowledge) dirasa tepat untuk membantu perkembangan pengrajin kerupuk Tuntang. Karena tujuan utama dari pemberdayaan ini adalah bagimana para pengrajin mampu untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam perkembangan bisnisnya melalui prinsip dari, oleh, dan untuk pengrajin itu sendiri dengan dilakukan sebuah pendampingan oleh para stakeholders (Pemerintah, LSM, Perguruan Tinggi) yang memperhatikan kearifan lokal masyarakat setempat.

Perumusan masalah

Penelitian ini akan membuat model penyesuaian tranfer knowledge SECI dengan unsur budaya lokal masyarakat sekitar (local knowledge) mengingat karakteristik pengusaha kerupuk di daerah Tuntang Kabupaten Semarang sangat berbeda yaitu rata-rata tingkat pendidikan mereka adalah SD, dengan tingkat pengalaman kerja yang sudah lama serta masih terikat dengan budaya lokal, sehingga model transfer knowledgenya juga perlu menyesuaikan dengan karakteristik pendidikan dan budaya masyarakat sekitar

Tujuan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat membuat model transfer knowledge yang tepat dikalangan para pengrajin khususnya dalam menciptakan inovasi produk yang sudah disesuaikan dengan unsur budaya masyarakat lokal untuk mempermudah proses adopsi knowledge.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Pengembangan Transfer Knowledge di antara Pengusaha Kerupuk dengan Pendekatan SECI model

Berdasarkan gambar di atas SECI model Nonaka di perbaharui sesuai dengan kondisi UMKM pengusaha Kerupuk beberapa tahapan dalam Nonaka disesuaikan dengan proses transfer knowledge yang ada seperti berikut Mahastanti dkk (2013) :

1. Socialisation: Pada tahapan ini lebih menggambarkan proses knowledge yang terjadi ketika usaha ini adalah usaha turun temurun. Dimana ilmu untuk melakukan usaha dari orang tua terserab oleh anak anak mereka dalam proses observasi yang lama melalui kehiduan mereka sehari hari. Melalui tahapan observasi ini muncul sebuah proses yang melibatkan emosi, nilai nilai, kepercayaan dan intuisi yang muncul berdasarkan pengalaman dan observasi dalam jangka waktu lama. Melalui proses dalam tahapan ini akan dimunculkan skill yang berbeda beda. (Nonaka dan Takeuchi, 1995)

2. Eksternalization: Pada tahapan ini terjadi pada pengusaha yang memulai usaha karena ikut-ikutan tetangga. Pertama-tama mereka bertanya cara proses produksi ataupun dengan cara bekerja kepada tetangga terlebih dahulu setelah itu meyerap ilmu dari pemilik perusahaan (tetangganya). Tahapan ini akan merubah tacit


(5)

5

knowledge ke dalam explicit knowledge yang lebih mudah dipahami karena ada sebuah prosedur yang terstruktur. Dalam proses ini pemilik perusahaan mampu untuk membuat prosedur produksi kerupuk yang mudah dipahami oleh karyawan mereka. Setelah mereka memahami proses produksi beberapa karyawan ada yang memulai untuk membuka usaha sendiri. Karakter budaya yang lebih mau terbuka terhadap proses produksi akan lebih didapatkan di budaya timur, dimana masyarakatnya lebih bersifat terbuka kepada orang lain (Andriessen dan Broom, 2007). Dalam proses ini pulalah yang akan mendorong pemilik perusahaan untuk selalu berfikiran kreatif menciptakan ide-ide baru produksi jika mereka tidak ingin banyak orang meniru usaha mereka.

3. Combination : tahapan ini terjadi ketika transfer knowledge terjadi antara explicit ke

eksplicit knowledge. Dalam tahapan ini terjadi dalam proses pelatihan usaha yang selama ini dilakukan oleh Dinas ataupun LSM dan Perguruan Tinggi kepada pengusaha kerupuk. Biasanya proses pelatihan tidak bersifat individu tetapi melalui KUB. Pemilihan KUB dianggap tepat agar pelatiha seperti (pemasaran, penggunaan alat bantuan produksi) dapat terdokumentasi dengan baik oleh KUB dan pengetahuan ini dapat disimpan untuk kepentingan anggota yang lain. Dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah transer knowledge juga akan lebih mudah jika dilakukan secara bersama-sama melalui kelompok usaha. Kendala yang sering muncul disini adalah apatisme masyarakat dalam menerima knowledge baru oleh karena itu perlu disesuaikan dengan budaya lokal dalam melakukan transfer knowledge tersebut 4. Internalization : pada tahapan ini diharapkan KUB mampu untuk mendorong

anggota kelompoknya dalam usaha untuk terus menerus melakukan proses belajar sendiri dalam rangka mengaplikasikan setiap ilmu yang diperoleh dalam pelatihan. Melalui proses pembelajaran terus menerus ini diharapka anggota mampu untuk belajar dari setiap kesalahan yang dibuat dan pada akhirnya explicit knoewledge ini dapat menjadi sebuah tacit knowledge. Pada tahapan ini dibutuhkan proses motivasi diri yang kuat dari masing-masing pengusaha. Dalam proses terakhir ini lebih kepada

individual learning dibandingkan dengan organizational learning, Sedangkan tiga tahapan sebelumnya termasuk dalam organizational learning (Bratianu, 2000)

Kearifan Lokal dan indigenous knowledge

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian di atas, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan sebagai ‘kearifan/kebijaksanaan’.


(6)

6 Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Pengertian ini melihat kearifan lokal tidak sekedar sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban (Ridwan, 2007).

Pengetahuan yang tercipta oleh budaya lokal masyarakat sering juga disebut sebagai indigenous knowledge (IK). IK didefinisikan sebagai pengetahuan yang bersifat unik yang diberikan oleh budaya dan tradisi masyarakat setempat . Biasanya IK sangat berbeda dengan

General Knowledge yang selama ini dimiliki oleh istitusi atau perguruan tinggi (Warren, 1991). Beberapa karaketistik umum yang dimiliki IK adalah (1) pengetahuan yang melekat bada unsur budaya dan tradisi (2) tidak terdokumentasi secara sistematik (3) biasanya melekat juga pada tacit maupun eksplicit knowledge seperti kepercayaan, ritual dan mitos (4) tidak terintegrasi secara langsung dengan modern scientific knowledge (Boven & Morohashi, 2002, Adam, 2007)

Budaya Jawa yang termasuk dalam IK di daerah Tuntang adalah proses Slametan dalam setiap kegiatan yang dirasa penting dan menyangkut keberhasilan orang banyak.

Makna Slametan di budaya Jawa

Slametan berasal dari kata slamet yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, menurut Clifford Geertz dalam Andrew (1996) slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun).

Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak).

Transfer Knowledge menggunakan pendekatan SECI Model yang disesuaikan dengan indiginous knowledge (IK)

Indiginous knowledge (IK) menjadi sebuah hal yang perting untuk dilihat dalam pemberdayaan sebuah masyarakat yang masih memiliki keterkaitan erat dengan budaya dan ritual di dalam komunitas masyarakat. Ilmu pengetahuan umum sering kali gagal untuk ditransferkan ke pada masyarakat lokal karena adanya penolakan dari masyarakat lokal yang menganggap pengetahuan baru tersebut tidak sesuai dengan budaya mereka. Mahastanti dkk (2013) menemukan bahwa proses transfer knowledge penggantian borak dengan STPP


(7)

7 banyak mendapat tantangan dari pengrajin lokal karena dianggap tidak sesuai dengan budaya masyarakat sekitar. Mereka menganggap borak (bleng) adalah rsep turunan orang tua mereka dalam membuat adonan kerupuk. Mereka juga menganggap bahwa selama ini tidak ada masalah kesehatan terkait dengan penggunaan borak tersebut. Untuk membuka wawasan masyarakat akan lebih baik jika digunakan unsur budaya lokal untuk memberikan pemahaman yang benar tentang borak. Dengan demikian model SECI yang sudah disesuaikan dengan kondisi UMKM di pengrajin Tuntang akan lebih disempurnakan dengan memasukkan budaya lokal yang sudah menjadi IK masyarakat dalam rangka mempermudah proses transfer knowledge. Dengan melibatkan IK dalam proses trasnfer knowledge secara tidak langsung hal ini melibatkan partisipasi masyarakat setempat dalam menyusun proses transfer knowledge. Greiner (1998) meyatakan bahwa program yang disusun dengan IK akan menjadikan keberlangsungan program menjadi lebih lama dan dapat menghemat biaya.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplore lebih jauh bagaimana budaya kearifan lokal dan IK mampu untuk mendorong proses komunikasi dalam transfer knowledge. Untuk melihat hal ini dilakukan proses observasi terhadap kelompok masyarakat pengrajin kerupuk Tuntang dan juga dilakukan wawancara secara individu terhadap informan kunci mengenai kepercayaan mereka terhadap budaya kearifan lokal yang dilakukan. Setelah data data dikumpulkan kemudian diolah dengan menggunakan metode research and development.

Menurut Borg and Gall (1989:782) dalam (Danang, 2010)., yang dimaksud dengan model penelitian dan pengembangan adalah “a process used develop and validate educational

product. Penelitian dan Pengembangan adalah suatu proses atau langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau menyempurnakan produk yang telah ada. Karakteristik Research and Development adalah penelitian ini berbentuk “siklus” , yang

diawali dengan adanya kebutuhan, permasalahan yang membutuhkan pemecahan dengan suatu produk tertentu ( Danang, 2010). Siklus tersebut terdiri dari perencanaan, membuat tindakan dari perencanaan, melakukan observasi, melakukan evaluasi (termasul Self evaluation) dan juga analisis kritis untuk kembali ke tahap awal yaitu perencanaan (O'Brien, 2001; McNiff, 2002). Semua siklus tersebut diikuti dengan partisipasi langsung dari objek penelitian dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan praktis dari objek peneliti dan juga mampu memberdayakan kemampuan komunitas lokal (Dick, 2002).

D. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Kendala yang dihadapi oleh pengrajin Kerupuk Tuntang dalam melakukan inovasi dan transfer knowledge adalah rendahnya pengetahuan juga sebagai akibat dari tingkat pendidikan yang rendah. Selain tingkat pendidikan, faktor budaya seringkali menjadi kendala dalam proses adopsi inovasi sebagai pengembangan dari pengetahuan yang ada. Budaya dan kebiasaan-kebiasaan menimbulkan kesulitan tersendiri ketika harus mengimplementasikan pengetahuan yang baru (Hibbard & Carrillo, 1998; De Long, 2000) . Arus informasi menjadi salah satu faktor penting dalam proses transfer pengetahuan dan pengembangan inovasi.


(8)

8 Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa arus informasi yang baik dapat mendukung proses adopsi inovasi menjadi lebih baik. Dengan demikian, pengembangan pengetahuan yang dimiliki tidak saja terjadi melalui pendidikan untuk menambah human knowledge

namun demikian relatinoship knowledge melalu pengemabngan jejaring untuk mendukung arus informasi menjadi sangat penting dalam mengembangkan knowledge capital.diperlukan perubahan-perubahan filosofi, dan tidak cukup dengan perubahan bagaimana. Lemahnya arus informasi membuat upaya untuk mengembangkan inovasi pada sektor usaha kerupuk menjadi sangat lambat di Indonesia. Kondisi inilah yang menjadi kendala dalam mengembangkan inovasi.

Pengrajin kerupuk Tuntang untuk beberapa saat pernah melakukan penggantian borak menggunakan STPP, namun hal ini tidak dapat berlangsung dengan lama. Beberapa hal yang membuat mereka resisten adalah:

1. Dengan STPP kerupuk menjadi lebih mudah berjamur pada saat musin hujan tiba. Hal ini terjadi karena Pengrajin kerupuk Tuntang masih menggunakan cara alami dalam proses pengeringan kerupuk yaitu menggunakan sinar matahari

2. Karena dirasa merugikan dari sisi biaya produksi, maka pengrajin kemudian kembali lagi menggunakan borak untuk proses pembuatan kerupuk

3. Borak adalah warisan resep secara turun menurun yang bagi mereka pantang untuk diganti.

Kejadian di atas menunjukkan bahwa pengrajin kerupuk sering kali mudah putus asa dalam mengatasi masalah kerupuk ketika ada masalah datang mereka lebih suka untuk mencari jalan keluar dengan cara lebih singkat yaitu kembali ke proses awal. Padahal proses kegagalan dalam produksi dengan menggunakan bahan baku baru adalah proses yang wajar, seharusnya disikapi dengan mencari tahu kenapa hal tersebut terjadi dan bagaimana solusinya. Beberapa komunitas pengrajin kerupuk Tuntang juga merasa bahwa proses pergantian borak ke STPP seharusnya dilakukan dengan proses tradisi Slametan terlebih dahulu karena mereka mengganti bahan baku borak yang selama ini sudah menjadi bahan baku turun temurun dari nenek moyang. Beriktu ini data hasil Olahan kuisoner terhadap pengrajin kerupuk terhadap kepercayaan mereka untuk mengadakan ritual ”Slametan” dalam mendukung proses keberhasilan produksi kerupuk menggunakan STPP


(9)

9 Tabel 2

Kearifan Lokal yang sering digunakan oleh Pengrajin kerupuk Tuntang

Kearifan Lokal Pernah

Belum

Pernah Harapan Ya Tidak

Mitoni 39% 61% Selamat Sehat 97% 3%

Sepasaran 24% 76% Tenteram 82% 18%

Wetonan 15% 85% Murah Rejeki 85% 15%

Ruwatan 3% 97%

Hasil Kerupuk

melimpah 94% 36%

Sadranan 42% 58%

Bersih Desa 18% 82% Yakin? 96% 4%

Puasa Mutih 3% 97%

Puasa Ngrowot 0% 100%

Puasa Pati Geni 0% 100%

Meditasi 3% 97%

Slametan 100% 0%

Sumber data olahan 2014

Berdasarkan tabel diatas hampir seluruh pengrajin kerupuk sering melakukan kearifan lokal budaya Jawa untuk proses Slametan 100% pengrajin sudah pernah melakukan hal ini. Mereka melakukan proses Slametan dengan harapan Selamat, Sehat, Tentram, Murah Rejeki, dan Hasil kerupuk melimpah. Ketika ditanya keyakinan dari terwujudnya harapan harapan melalui proses Slametan 96% pengrajin kerupuk merasa yakin bahwa apa yang diharapakan dari proses Slametan tersebut dapat terwujud. Keyakinan yang cukup tinggi dari proses Slametan sangat menarik untuk dilihat, beberapa hal yang membuat mereka merasa yakin adalah:

1. Dalam proses Slametan biasanya ada Kiai/ pemuka Agama yang mendoakan beberapa keinginan pihak yang meyelenggarakan Slametan

2. Dalam doa tersebut mereka juga mendoakan para leluhur yang sudah meninggal, sehingga penyelenggara Slametan merasa nenek moyang merestui apa yang akan dilakukan. Dalam budaya Jawa restu dari orang tua ataupun leluhur sangat penting untuk dilakukan agar dapat mendaptkan kemudahan dalam melakukan kegiatan tertentu.

Herawati (2012) meyatakan bahwa proses Slametan biasanya juga digunakan simbol atau barang barang pelengkap yang akan didoakan oleh kiai dengan berbagai macam makna di dalamnya seperti nasi putih dalam bentuk tumpeng yagn dilengkapi dengan, ayam ingkung dan urap-urapan.


(10)

10 Dari berbagai penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk pauk pelengkap tumpeng bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian manusia akan alam. Bahkan dari observasi sederhana yang jauh dari penjelasan ilmiah, manusia bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas oleh tumpeng. Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita akan diingatkan kembali akan hubungan kita dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.

Setelah melalui proses Slametan yang diadakan oleh pengusaha kerupuk Tuntang yang dihadiri oleh bapak Kepala Desa dan juga pemuka agama di Tuntang, pengrajin kerupuk Tuntang mulai terbuka terhadap proses pembelajaran penggunaan STPP atau metode yang lain yang digunakan untuk mengganti borak dalam proses pembuatan kerupuk. Hal ini membuat arus informasi dan komunikasi diantara pengrajin kerupuk Tuntang dan fasilator (FEB UKSW) menjadi lebih lancar. Bahkan melalui beberapa uji coba yang dilakukan pengrajin kerupuk mampu untuk membuat kerupuk dengan metode nasdem mengunakan air panas dan air dingin (adem) pada saat mengadoni dan mengaduk tepung terigu pada saat membuat kerupuk, metode ini ditemukan ketika seorang pengrajin kerupuk bermain ke Sodoharjo untuk melihat bagaimana pembuatan kerupuk di Industri kerupuk Sidoharjo yang berhasil memperoleh ijin PIRT. Jika ijin ini dapat diperoleh berarti pembuatan kerupuknya sudah bebas dari borak. Setelah melihat proses produksi di Sidoarjo kemuadian dipraktekkan di usahanya sendiri dengan menggunakan beberapa penyesuaian takaran. Deangan karakteristik pengusaha kerupukTuntang yang memiliki tingkat pendidikan rata rata dari SD sampai SMU sebesar 50% (Mahastanti dan Nugrahanti, 2010) , maka unsur unsur pengetahuan yang melibatkan budaya lokal setempat lebih mudah untuk dipahami dan diterima. Proses pembelajaran dapat tercapai ketika masyarakat mampu untuk umengakumulasikan informasi dan menciptakn pengetahuan baru dari informasi tersebut (Thongthiaw, 2003)

Pengrajin kerupuk Tuntang menjadi lebih percaya diri dalam melakukan proses uji coba pembuatan kerupuk tanpa mengunakan Borak. Hal ini terjadi karena mereka merasa bahwa proses perubahan komposisi pembuatan kerupuk sudah direstui oleh leluhur dan juga sudah didoakan oleh Kiai dan juga Kepala Desa setempat. Dimana Kiai ini adalah tokoh masyarakat yang dianggap guru oleh seluruh warga di Tuntang, dengan demikian semakin menambah keyakinan bahwa apa yang akan dilakukan akan mendapatkan barokah dan keberhasilan. Kemampuan untuk menciptakan pengetahuan dapat diperkuat dengan menambahkan unsur unsur budaya lokal masyarakat (Boven & Morohasshi, 2002). Sebuah usaha pemberdayaan masyarakat yang sukses mampu untuk melibatkan budaya budaya lokal masyarakat setempat. Ketika (IK) mampu digunakan secara bersamaan dengan program pembangunan masyarakat akan menimbulkan simbiosis mulualisme (saling menguntungkan antara masyarakat yang akan dibangun dengan organisasi yang memfasilitasi pembangunan).


(11)

11 Selain itu juga mampu untuk membuat proses pembangunan yang berkesinambungan di masa depan (Grenier, 1998).

(IK) merupakan sebuah budaya yang unik yang dimiliki oleh sebuah komunitas tertentu, dengan menggunakan kearifan lokan akan membuka arus informasi, komunikasi , dan pengambilan keputusan yang baik antara masyarakat yang akan dikembangakan dengan organisasi fasilitatornya. Sistem pembangunan pengetahuan pada masyarakat lokal biasanya berdasarkan akumulasi pengalaman, ujicoba informal,yang dibingkai dengan keselarasan alam serta budaya disekitar mereka (Waran and Rajasekaran, 1993). Dengan memahami budaya lokal masyarakat setempat akan mempermudah proses pemahaman dan penyatuan beberapa pengetahuan. Dengan demikian proses transfer knowledge SECI model Nonaka (1998) dapat disesuaikan dengan unsur budaya lokal dalam proses menciptakan dan mentransfer pengetahuan.

Proses untuk mencipatakan pengetahuan melibatakan beberapa proses dari sharing tacit knowledge , mencipatakan konsep, justifikasi konsep, sampai kepada membangun prototipe pengetahuan. Setiap individu dalam proses mencipatakan pengetahuan akan berbeda beda sesuai dengan kendala yang dihadapi. Dalam melakukan proses sharing pengetahuan dan justifikasi pengetahuan setiap individu selalu didasarkan pada kepercayaan bahwa komunitas atau anggota timnya akan mampu untuk menerima (Von Krogh, 1998). Dalam proses tersebut seorang individu harus mampu untuk mengkomunikasikan dan mentransfer pengetahuan dengan baik agar mudah diterima dan dipahami oleh anggota timnya/komunitasnya, maka dibutuhkanlah lingkungan sekitar yang nyaman untuk melakukan hal tersebut. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan budaya lokal proses interaksi antar individu dalam mentransfer pengetahuan menjadi lebih inten dan mengurangi transfer pengetahuan melalui tulisan atau instruksi verbal. Budaya lokal biasanya sudah melekat baik untuk tacit knowledge maupun explicit knowledge yang mereka tuangkan dalam kehidupan mereka sehari hari.

E. KESIMPULAN

Budaya lokal Jawa seperti Slametan mampu untuk membantu proses menciptakan dan mentransfer pengetahuan di kalangan pengusaha kerupuk. Deangan proses Slametan mampu untuk membuat pengusaha kerupuk menjadi lebih terbuka terhadap informasi serta proses komunikasi yang dilakukan menjadi lebih mudah antara pengusaha ataupun dengan fasilitator yang membantu proses transfer knowledge. Hal ini terjadi karena kepercayaan mereka terhadap ritual Slametan yang artinya sudah didoakan oleh pemuka agama agar proses pergantian Borak dalam pembuatan kerupuk dapat berjalan lancar, selain itu dalam proses “Slametan” sendiri pengrajin kerupuk merasa sudah meminta ijin kepada leluhur mereka dalam proses penggantian borak ini. Sehingga model transfer knowledge yang diungkapkan oleh Nonaka (1998) SECI model dalam proses aplikasinya dalam rangka menghundari


(12)

12 resistensi masyarakat diharapkan menggunakan pendekatan budaya lokal di setiap tahapannya agar proses komunikasi berjalan dengan baik.

REFERENSI

Adam, L. (2007). Information and Communication Technologies, Knowledge Management and Indigenous Knowledge: Implications to Livelihood of Communities in Ethiopia. Pape r Presented at a Workshop on "The Role of ICT in Preserving and Disseminating Indigenous Knowledg e", Addis Ababa, April 19, 2007.

Agrawal, A. (1994). Dismantling the Divide between Indigenous and Scientific Knowledge. Workshop in political theory and policy analysis, 11/18/1994; Indiana University, USA.

Agrawal, A. (2004) Indigenous and scientific knowledge: some critical comments. IK Monitor, 3(3), 1-9.

Andriessen D, & Broom M. 2007. “ East is East and West is West and((n)ever its Intelectual Capital shall Meet”. Journal of Intelectual Capital Vol 8 ,No 4

Barret, P. (1993). Profitable Practice Management-For The Construction Professional. London.

Boven, K. & Morohashi, J. (2002). Best Practices using Indigenous Knowledge: A joint publication by Nuffic, The Hague, The Netherlands, and UNESCO/MOST, Paris, France http://www.unesco.org/most/bpikpub.htm

Bratianu, C. 2009. “ A Critical Analysis of Nonaka Model of Knowledge Dinamics” Electronic Journal of Knowledge Managemen Volume 8 Issue 2 pp 193-200

Danang, Hidayat. 2010. Peran Penelitian Research & Development Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Di Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan. Diambil dari www.google.com

De Long, D.W. (2000). Diagnosing Cultural Barriers to Knowledge Management. Academy of Management Executive, 14 (4), 113-27.

Dick, B. (2002). Action research: Action and research Accessed on Feb 3, 2007

Emory, C. William and Donald R.Cooper,1991. Business Research Methods.Fourth Edition. Richard D. Irwin, Inc

Friedmann, J.1992. Empowerment. The Politics of an Alternative Development. Oxford: Basil Blackwell.

Garavan, T.,Ocinneide,B., and Fleming, P. (1997).Entrepreneurship and Business Start-ups in Ireland, Oak Tree Press


(13)

13 Grenier, L. (1998). Working with indigenous knowledge: A guide for researchers.

International

Development Research Centre (Canada).

Herawati, N (2012),” Kearifan Lokal bagian Budaya Jawa”. Magistra no.79 th XXIV pp 64-70. ISSN 0215-9511

Shu-Ling dan Sexton, Martin. (2006) Innovation in Small Construction Knowledge-Intensive Profession Service Firm: A Case Study of an Architectural Practice. Construction Management and Economics. Vol 24, p 1269-1282

Mahastanti. L dan Nugrahanti, Yeterina (2010). Peranan Women Co-Entrepreneur dalam pengambangan bisnis (studi kasus pengusaha kerupuk daerah Tuntang Kabupaten Semarang). Jurnal Siasat Bisnis Vol 14 :1-100.

Mahastanti. L, Nugrahanti Y, Hartini S (2013) The Model Of Knowledge Transfer Of Small And Medium Enterprises In Creating Product Innovation (A Case Study Of Cracker Enterprises In Tuntang, Semarang Regency). International Journal of Business and Management Invention ISSN (Online): 2319 – 8028, ISSN (Print): 2319 – 801X www.ijbmi.org Volume 2 Issue 11ǁ November. 2013ǁ PP.26-38

McNiff, (2002) Action research for professional development. Accessed online Feb 2, 2007 Nonaka (1997). Organization knowledge Creation. At the Knowledge Advantage Conference

held November 11-12,

Nonaka I Takeuchi.,H 1995. “The Knowledge Creating CompanyHow Japanese Company Create the Dinamics Of Innovation”. Oxford University Press, Oxford

Nonaka, I. and Konno,N. (1998). The Concept of “Ba”: Building a foundation for knowledge creation.

California Management Review, 40 (3), 40-54.

O'Brien, R. (2001). An overview of the methodological approach of action research In Roberto Richardson (Ed.), Theory and Practice of Action Research. João Pessoa, Brazil: Universidade Federal da Paraíba. (English version) Accessed online on Feb. 2, 2007

Ocholla, D. (2007). Marginalized Knowledge: An Agenda for Indigenous Knowledge Development and Integration with Other Forms of Knowledge. IRIE (International Review of Information Ethics) Vol.7 (09/2007). http://www.i-r-i-e.net/inhalt/007/26-ocholla.pdf

Polanyi, M. (1962). Personnal Knowledge: Towards a Post Critical Philosophy, Rouledge and Kegan Paul. London.


(14)

14 Robeiro-Sorano, D. And Urbano D. (2009). Overview of Collaborative Entrepreneurship ; An

Intregeted Approach between Business Decessions and Negotiations. Group Decission and negotiations, 18 pp.419-430

Sabestova J, Rylkova Z. (2011). Competencies and Innovation Within Learning Organization. Economic and management vol 16 pp 954-960.

Swan,J.,Scarbrouht,H.,And Robertson,M.(2002). The Contruction of Communitiesof Practice in The Management of Innovation. Management learning. 33.477-97

Von Krogh, G. (1998). Care in Knowledge Creation. California Management Review, 40(3), 133-153.

Wahab A,S.,Rose R, Uli J,Abdulllah. (2009). A Review on yhe Technology Transfer Model : Knowledge Based on Organizational Learning Model on Technology Transfer.

Europian Journal of Social Sciences vol 10 Nov 4,pp 550-562.

Warren, D. M., and Rajasekaran, B. (1993). Putting local knowledge to good use. International Agricultural Development 13 (4), 8-10.

Warren, D. M. 1991 "Using Indigenous Knowledge in Agricultural Development"; World Bank Discussion Paper No.127. Washington, D.C.: The World Bank.


(1)

9 Tabel 2

Kearifan Lokal yang sering digunakan oleh Pengrajin kerupuk Tuntang

Kearifan Lokal Pernah

Belum

Pernah Harapan Ya Tidak

Mitoni 39% 61% Selamat Sehat 97% 3%

Sepasaran 24% 76% Tenteram 82% 18%

Wetonan 15% 85% Murah Rejeki 85% 15%

Ruwatan 3% 97%

Hasil Kerupuk

melimpah 94% 36%

Sadranan 42% 58%

Bersih Desa 18% 82% Yakin? 96% 4%

Puasa Mutih 3% 97%

Puasa Ngrowot 0% 100%

Puasa Pati Geni 0% 100%

Meditasi 3% 97%

Slametan 100% 0%

Sumber data olahan 2014

Berdasarkan tabel diatas hampir seluruh pengrajin kerupuk sering melakukan kearifan lokal budaya Jawa untuk proses Slametan 100% pengrajin sudah pernah melakukan hal ini. Mereka melakukan proses Slametan dengan harapan Selamat, Sehat, Tentram, Murah Rejeki, dan Hasil kerupuk melimpah. Ketika ditanya keyakinan dari terwujudnya harapan harapan melalui proses Slametan 96% pengrajin kerupuk merasa yakin bahwa apa yang diharapakan dari proses Slametan tersebut dapat terwujud. Keyakinan yang cukup tinggi dari proses Slametan sangat menarik untuk dilihat, beberapa hal yang membuat mereka merasa yakin adalah:

1. Dalam proses Slametan biasanya ada Kiai/ pemuka Agama yang mendoakan beberapa keinginan pihak yang meyelenggarakan Slametan

2. Dalam doa tersebut mereka juga mendoakan para leluhur yang sudah meninggal, sehingga penyelenggara Slametan merasa nenek moyang merestui apa yang akan dilakukan. Dalam budaya Jawa restu dari orang tua ataupun leluhur sangat penting untuk dilakukan agar dapat mendaptkan kemudahan dalam melakukan kegiatan tertentu.

Herawati (2012) meyatakan bahwa proses Slametan biasanya juga digunakan simbol atau barang barang pelengkap yang akan didoakan oleh kiai dengan berbagai macam makna di dalamnya seperti nasi putih dalam bentuk tumpeng yagn dilengkapi dengan, ayam ingkung dan urap-urapan.


(2)

10 Dari berbagai penjelasan di atas, terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk pauk pelengkap tumpeng bukan sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar pemilihannya sangat erat kaitannya dengan hubungan dan pengertian manusia akan alam. Bahkan dari observasi sederhana yang jauh dari penjelasan ilmiah, manusia bisa belajar banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas oleh tumpeng. Setiap kali tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita akan diingatkan kembali akan hubungan kita dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.

Setelah melalui proses Slametan yang diadakan oleh pengusaha kerupuk Tuntang yang dihadiri oleh bapak Kepala Desa dan juga pemuka agama di Tuntang, pengrajin kerupuk Tuntang mulai terbuka terhadap proses pembelajaran penggunaan STPP atau metode yang lain yang digunakan untuk mengganti borak dalam proses pembuatan kerupuk. Hal ini membuat arus informasi dan komunikasi diantara pengrajin kerupuk Tuntang dan fasilator (FEB UKSW) menjadi lebih lancar. Bahkan melalui beberapa uji coba yang dilakukan pengrajin kerupuk mampu untuk membuat kerupuk dengan metode nasdem mengunakan air panas dan air dingin (adem) pada saat mengadoni dan mengaduk tepung terigu pada saat membuat kerupuk, metode ini ditemukan ketika seorang pengrajin kerupuk bermain ke Sodoharjo untuk melihat bagaimana pembuatan kerupuk di Industri kerupuk Sidoharjo yang berhasil memperoleh ijin PIRT. Jika ijin ini dapat diperoleh berarti pembuatan kerupuknya sudah bebas dari borak. Setelah melihat proses produksi di Sidoarjo kemuadian dipraktekkan di usahanya sendiri dengan menggunakan beberapa penyesuaian takaran. Deangan karakteristik pengusaha kerupukTuntang yang memiliki tingkat pendidikan rata rata dari SD sampai SMU sebesar 50% (Mahastanti dan Nugrahanti, 2010) , maka unsur unsur pengetahuan yang melibatkan budaya lokal setempat lebih mudah untuk dipahami dan diterima. Proses pembelajaran dapat tercapai ketika masyarakat mampu untuk umengakumulasikan informasi dan menciptakn pengetahuan baru dari informasi tersebut (Thongthiaw, 2003)

Pengrajin kerupuk Tuntang menjadi lebih percaya diri dalam melakukan proses uji coba pembuatan kerupuk tanpa mengunakan Borak. Hal ini terjadi karena mereka merasa bahwa proses perubahan komposisi pembuatan kerupuk sudah direstui oleh leluhur dan juga sudah didoakan oleh Kiai dan juga Kepala Desa setempat. Dimana Kiai ini adalah tokoh masyarakat yang dianggap guru oleh seluruh warga di Tuntang, dengan demikian semakin menambah keyakinan bahwa apa yang akan dilakukan akan mendapatkan barokah dan keberhasilan. Kemampuan untuk menciptakan pengetahuan dapat diperkuat dengan menambahkan unsur unsur budaya lokal masyarakat (Boven & Morohasshi, 2002). Sebuah usaha pemberdayaan masyarakat yang sukses mampu untuk melibatkan budaya budaya lokal masyarakat setempat. Ketika (IK) mampu digunakan secara bersamaan dengan program pembangunan masyarakat akan menimbulkan simbiosis mulualisme (saling menguntungkan antara masyarakat yang akan dibangun dengan organisasi yang memfasilitasi pembangunan).


(3)

11 Selain itu juga mampu untuk membuat proses pembangunan yang berkesinambungan di masa depan (Grenier, 1998).

(IK) merupakan sebuah budaya yang unik yang dimiliki oleh sebuah komunitas tertentu, dengan menggunakan kearifan lokan akan membuka arus informasi, komunikasi , dan pengambilan keputusan yang baik antara masyarakat yang akan dikembangakan dengan organisasi fasilitatornya. Sistem pembangunan pengetahuan pada masyarakat lokal biasanya berdasarkan akumulasi pengalaman, ujicoba informal,yang dibingkai dengan keselarasan alam serta budaya disekitar mereka (Waran and Rajasekaran, 1993). Dengan memahami budaya lokal masyarakat setempat akan mempermudah proses pemahaman dan penyatuan beberapa pengetahuan. Dengan demikian proses transfer knowledge SECI model Nonaka (1998) dapat disesuaikan dengan unsur budaya lokal dalam proses menciptakan dan mentransfer pengetahuan.

Proses untuk mencipatakan pengetahuan melibatakan beberapa proses dari sharing tacit knowledge , mencipatakan konsep, justifikasi konsep, sampai kepada membangun prototipe pengetahuan. Setiap individu dalam proses mencipatakan pengetahuan akan berbeda beda sesuai dengan kendala yang dihadapi. Dalam melakukan proses sharing pengetahuan dan justifikasi pengetahuan setiap individu selalu didasarkan pada kepercayaan bahwa komunitas atau anggota timnya akan mampu untuk menerima (Von Krogh, 1998). Dalam proses tersebut seorang individu harus mampu untuk mengkomunikasikan dan mentransfer pengetahuan dengan baik agar mudah diterima dan dipahami oleh anggota timnya/komunitasnya, maka dibutuhkanlah lingkungan sekitar yang nyaman untuk melakukan hal tersebut. Salah satunya dengan menggunakan pendekatan budaya lokal yang dimiliki oleh masyarakat. Dengan menggunakan pendekatan budaya lokal proses interaksi antar individu dalam mentransfer pengetahuan menjadi lebih inten dan mengurangi transfer pengetahuan melalui tulisan atau instruksi verbal. Budaya lokal biasanya sudah melekat baik untuk tacit knowledge maupun explicit knowledge yang mereka tuangkan dalam kehidupan mereka sehari hari.

E. KESIMPULAN

Budaya lokal Jawa seperti Slametan mampu untuk membantu proses menciptakan dan mentransfer pengetahuan di kalangan pengusaha kerupuk. Deangan proses Slametan mampu untuk membuat pengusaha kerupuk menjadi lebih terbuka terhadap informasi serta proses komunikasi yang dilakukan menjadi lebih mudah antara pengusaha ataupun dengan fasilitator yang membantu proses transfer knowledge. Hal ini terjadi karena kepercayaan mereka terhadap ritual Slametan yang artinya sudah didoakan oleh pemuka agama agar proses pergantian Borak dalam pembuatan kerupuk dapat berjalan lancar, selain itu dalam proses “Slametan” sendiri pengrajin kerupuk merasa sudah meminta ijin kepada leluhur mereka dalam proses penggantian borak ini. Sehingga model transfer knowledge yang diungkapkan oleh Nonaka (1998) SECI model dalam proses aplikasinya dalam rangka menghundari


(4)

12 resistensi masyarakat diharapkan menggunakan pendekatan budaya lokal di setiap tahapannya agar proses komunikasi berjalan dengan baik.

REFERENSI

Adam, L. (2007). Information and Communication Technologies, Knowledge Management and Indigenous Knowledge: Implications to Livelihood of Communities in Ethiopia. Pape r Presented at a Workshop on "The Role of ICT in Preserving and Disseminating Indigenous Knowledg e", Addis Ababa, April 19, 2007.

Agrawal, A. (1994). Dismantling the Divide between Indigenous and Scientific Knowledge. Workshop in political theory and policy analysis, 11/18/1994; Indiana University, USA.

Agrawal, A. (2004) Indigenous and scientific knowledge: some critical comments. IK Monitor, 3(3), 1-9.

Andriessen D, & Broom M. 2007. “ East is East and West is West and((n)ever its Intelectual Capital shall Meet”. Journal of Intelectual Capital Vol 8 ,No 4

Barret, P. (1993). Profitable Practice Management-For The Construction Professional. London.

Boven, K. & Morohashi, J. (2002). Best Practices using Indigenous Knowledge: A joint publication by Nuffic, The Hague, The Netherlands, and UNESCO/MOST, Paris, France http://www.unesco.org/most/bpikpub.htm

Bratianu, C. 2009. “ A Critical Analysis of Nonaka Model of Knowledge Dinamics” Electronic Journal of Knowledge Managemen Volume 8 Issue 2 pp 193-200

Danang, Hidayat. 2010. Peran Penelitian Research & Development Dalam Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Di Pendidikan Teknologi Dan Kejuruan. Diambil dari www.google.com

De Long, D.W. (2000). Diagnosing Cultural Barriers to Knowledge Management. Academy of Management Executive, 14 (4), 113-27.

Dick, B. (2002). Action research: Action and research Accessed on Feb 3, 2007

Emory, C. William and Donald R.Cooper,1991. Business Research Methods.Fourth Edition. Richard D. Irwin, Inc

Friedmann, J.1992. Empowerment. The Politics of an Alternative Development. Oxford: Basil Blackwell.

Garavan, T.,Ocinneide,B., and Fleming, P. (1997).Entrepreneurship and Business Start-ups in Ireland, Oak Tree Press


(5)

13 Grenier, L. (1998). Working with indigenous knowledge: A guide for researchers.

International

Development Research Centre (Canada).

Herawati, N (2012),” Kearifan Lokal bagian Budaya Jawa”. Magistra no.79 th XXIV pp 64-70. ISSN 0215-9511

Shu-Ling dan Sexton, Martin. (2006) Innovation in Small Construction Knowledge-Intensive Profession Service Firm: A Case Study of an Architectural Practice. Construction Management and Economics. Vol 24, p 1269-1282

Mahastanti. L dan Nugrahanti, Yeterina (2010). Peranan Women Co-Entrepreneur dalam pengambangan bisnis (studi kasus pengusaha kerupuk daerah Tuntang Kabupaten Semarang). Jurnal Siasat Bisnis Vol 14 :1-100.

Mahastanti. L, Nugrahanti Y, Hartini S (2013) The Model Of Knowledge Transfer Of Small And Medium Enterprises In Creating Product Innovation (A Case Study Of Cracker Enterprises In Tuntang, Semarang Regency). International Journal of Business and Management Invention ISSN (Online): 2319 – 8028, ISSN (Print): 2319 – 801X www.ijbmi.org Volume 2 Issue 11ǁ November. 2013ǁ PP.26-38

McNiff, (2002) Action research for professional development. Accessed online Feb 2, 2007 Nonaka (1997). Organization knowledge Creation. At the Knowledge Advantage Conference

held November 11-12,

Nonaka I Takeuchi.,H 1995. “The Knowledge Creating CompanyHow Japanese Company Create the Dinamics Of Innovation”. Oxford University Press, Oxford

Nonaka, I. and Konno,N. (1998). The Concept of “Ba”: Building a foundation for knowledge creation.

California Management Review, 40 (3), 40-54.

O'Brien, R. (2001). An overview of the methodological approach of action research In Roberto Richardson (Ed.), Theory and Practice of Action Research. João Pessoa, Brazil: Universidade Federal da Paraíba. (English version) Accessed online on Feb. 2, 2007

Ocholla, D. (2007). Marginalized Knowledge: An Agenda for Indigenous Knowledge Development and Integration with Other Forms of Knowledge. IRIE (International Review of Information Ethics) Vol.7 (09/2007). http://www.i-r-i-e.net/inhalt/007/26-ocholla.pdf

Polanyi, M. (1962). Personnal Knowledge: Towards a Post Critical Philosophy, Rouledge and Kegan Paul. London.


(6)

14 Robeiro-Sorano, D. And Urbano D. (2009). Overview of Collaborative Entrepreneurship ; An

Intregeted Approach between Business Decessions and Negotiations. Group Decission and negotiations, 18 pp.419-430

Sabestova J, Rylkova Z. (2011). Competencies and Innovation Within Learning Organization. Economic and management vol 16 pp 954-960.

Swan,J.,Scarbrouht,H.,And Robertson,M.(2002). The Contruction of Communitiesof Practice in The Management of Innovation. Management learning. 33.477-97

Von Krogh, G. (1998). Care in Knowledge Creation. California Management Review, 40(3), 133-153.

Wahab A,S.,Rose R, Uli J,Abdulllah. (2009). A Review on yhe Technology Transfer Model : Knowledge Based on Organizational Learning Model on Technology Transfer.

Europian Journal of Social Sciences vol 10 Nov 4,pp 550-562.

Warren, D. M., and Rajasekaran, B. (1993). Putting local knowledge to good use. International Agricultural Development 13 (4), 8-10.

Warren, D. M. 1991 "Using Indigenous Knowledge in Agricultural Development"; World Bank Discussion Paper No.127. Washington, D.C.: The World Bank.


Dokumen yang terkait

M01448

0 0 14