NA MERETAS JALAN BARU
Pengantar Sajian Utama SM No. 21/89/2004
NA MERETAS JALAN BARU
Nasyiatul Aisyiyah (NA) sebagai ortom yang cukup tua memiliki sejarah
panjang dalam menyiapkan kader-kader Aisyiyah, kader masyarakat dan kader bangsa
dari kalangan perempuan. Banyak kegiatan rintisan yang pernah dilakukan.
Masyarakat pun banyak merasakan jasa dan amal perjuangannya.
Sebagai ortom yang bergerak di kalangan angkatan muda, NA pernah
mengalami masa kejayaan, sebagaimana Pemuda Muhammadiyah juga pernah
mengalami kejayaan serupa. Ketika secara sosiologis dan antropologis gerakan
angkatan muda yang mengatasnamakan persuyarikatan ini memiliki peran, posisi,
fungsi dan ciri khas perjuangan yang pas dan mampu menarik pendukungnya maka
pada saat itu ortom ini mengalami kejayaan.
Setidaknya, sampai tahun 1980an gerakan NA mampu dirasakan sampai di
tingkat ranting. Akan tetapi setelah tahun-tahun itu, entah karena perubahan zaman
macam apa, popularitas NA menurun, dan denyutnya di tingkat ranting jarang terasa.
Mungkin karena kader-kader NA dan model kegiatan NA yang dirasa ‘kurang gaul’
oleh para pemudi yang lebih suka didefinisikan sebagai generasi ABG. Mungkin juga
telah muncul alternatif kelompok atau kegiatan lain yang lebih mudah menyedot
perhatian mereka.
Di samping itu, suplai kader NA ke Aisiyyah dengan semacam pemahaman
bahwa NA merupakan satu-satunya kader utama juga mengalami perubahan atau
penurunan. Mungkin di tingkat pusat dan wilayah, dan sebagian daerah mobilitas
horizontal dari kader NA menjadi aktivis Aisyiyah terjadi cukup lancar. Tetapi di
tingkat yang lebih ke bawah, di tingkat cabang dan ranting, atau di tingkat jamaah
mobilitas horizontal ini kurang lancar. Akibatnya komposisi pimpinan Aisyiyah
mengalami penuaan karena banyak yang tidak mau atau sulit diganti dan sulit mencari
pengganti, sementara itu mantan aktivis NA menjadi tidak jelas statusnya. Menjadi
generasi ’layang-layang putus’.
Banyak aktivis NA, khususnya di tingkat pusat dan di bawahnya, dalam upaya
untuk ‘mengejar zaman’ berupaya sekuat tenaga mencari banyak alternatif kegiatan
dan pola gerakan, dan menggarap isyu-iayu perempuan mutakhir.. Termasuk membuat
kegiatan, pola gerakan dan isyu-isyu perempuan yang banyak digarap oleh LSM
peremnpuan di Indonesia. Ini, untuk sementara dapat ‘menyelamatkan muka’ NA.
Artinya NA tetap dirasakan ada oleh masyarakat perempuan Indonesia.
Hanya masalahnya, gaung dan posisi NA di mata media massa tidak kunjung
mencuat. Ketika mengadakan muktamar bersama Muhammadiyah dan Aisyiyah
misalnya, kegiatan NA sepi dari liputan, karena yang lebih disorot adalah dinamika
yang terjadi di tubuh Muhammadiyah saat Muktamar. Inilah yang menyebabkan pada
Muktamar IX di Jakarta tahun 2000 lalu NA memutuskan meretas jalan baru. Yaitu
memperpendek periodisasi kepemimpinannya menjadi 4 tahun, dan melaksanakan
Muktamarnya setahun lebih awal dari Muktamar Muhammadiyah.
Nah, pada 9-11 Desember 2004 ini NA akan mengadakan Muktamar ke-10 di
Surakarta, dengan tema ’Menguatkan Peran Nasyiatul Aisyiyah dalam Pengambilan
kebijakan Publik’. Sebuah tema yang amat dibutuhkan, tetapi sekaligus sangat berat,
karena berarti NA memposisikan diri sebagai bagian dari publik, sementara para
pimpinan dan anggotanya cenderung masih memahami dirinya sebagai bagian dari
umat, bagian dari persyarikatan dan bagian dari masyarakat. Untuk mewujudkan agar
tema itu nanti menjadi konkret, aktual dan faktual dibutuhkan semcam langkah
transformasi sosial yang amat serius di kalangan NA sendiri. Mampukah? Itu yang
perlu dikaji bersama.(Bahan dan tulisan:tof)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04
NA MERETAS JALAN BARU
Nasyiatul Aisyiyah (NA) sebagai ortom yang cukup tua memiliki sejarah
panjang dalam menyiapkan kader-kader Aisyiyah, kader masyarakat dan kader bangsa
dari kalangan perempuan. Banyak kegiatan rintisan yang pernah dilakukan.
Masyarakat pun banyak merasakan jasa dan amal perjuangannya.
Sebagai ortom yang bergerak di kalangan angkatan muda, NA pernah
mengalami masa kejayaan, sebagaimana Pemuda Muhammadiyah juga pernah
mengalami kejayaan serupa. Ketika secara sosiologis dan antropologis gerakan
angkatan muda yang mengatasnamakan persuyarikatan ini memiliki peran, posisi,
fungsi dan ciri khas perjuangan yang pas dan mampu menarik pendukungnya maka
pada saat itu ortom ini mengalami kejayaan.
Setidaknya, sampai tahun 1980an gerakan NA mampu dirasakan sampai di
tingkat ranting. Akan tetapi setelah tahun-tahun itu, entah karena perubahan zaman
macam apa, popularitas NA menurun, dan denyutnya di tingkat ranting jarang terasa.
Mungkin karena kader-kader NA dan model kegiatan NA yang dirasa ‘kurang gaul’
oleh para pemudi yang lebih suka didefinisikan sebagai generasi ABG. Mungkin juga
telah muncul alternatif kelompok atau kegiatan lain yang lebih mudah menyedot
perhatian mereka.
Di samping itu, suplai kader NA ke Aisiyyah dengan semacam pemahaman
bahwa NA merupakan satu-satunya kader utama juga mengalami perubahan atau
penurunan. Mungkin di tingkat pusat dan wilayah, dan sebagian daerah mobilitas
horizontal dari kader NA menjadi aktivis Aisyiyah terjadi cukup lancar. Tetapi di
tingkat yang lebih ke bawah, di tingkat cabang dan ranting, atau di tingkat jamaah
mobilitas horizontal ini kurang lancar. Akibatnya komposisi pimpinan Aisyiyah
mengalami penuaan karena banyak yang tidak mau atau sulit diganti dan sulit mencari
pengganti, sementara itu mantan aktivis NA menjadi tidak jelas statusnya. Menjadi
generasi ’layang-layang putus’.
Banyak aktivis NA, khususnya di tingkat pusat dan di bawahnya, dalam upaya
untuk ‘mengejar zaman’ berupaya sekuat tenaga mencari banyak alternatif kegiatan
dan pola gerakan, dan menggarap isyu-iayu perempuan mutakhir.. Termasuk membuat
kegiatan, pola gerakan dan isyu-isyu perempuan yang banyak digarap oleh LSM
peremnpuan di Indonesia. Ini, untuk sementara dapat ‘menyelamatkan muka’ NA.
Artinya NA tetap dirasakan ada oleh masyarakat perempuan Indonesia.
Hanya masalahnya, gaung dan posisi NA di mata media massa tidak kunjung
mencuat. Ketika mengadakan muktamar bersama Muhammadiyah dan Aisyiyah
misalnya, kegiatan NA sepi dari liputan, karena yang lebih disorot adalah dinamika
yang terjadi di tubuh Muhammadiyah saat Muktamar. Inilah yang menyebabkan pada
Muktamar IX di Jakarta tahun 2000 lalu NA memutuskan meretas jalan baru. Yaitu
memperpendek periodisasi kepemimpinannya menjadi 4 tahun, dan melaksanakan
Muktamarnya setahun lebih awal dari Muktamar Muhammadiyah.
Nah, pada 9-11 Desember 2004 ini NA akan mengadakan Muktamar ke-10 di
Surakarta, dengan tema ’Menguatkan Peran Nasyiatul Aisyiyah dalam Pengambilan
kebijakan Publik’. Sebuah tema yang amat dibutuhkan, tetapi sekaligus sangat berat,
karena berarti NA memposisikan diri sebagai bagian dari publik, sementara para
pimpinan dan anggotanya cenderung masih memahami dirinya sebagai bagian dari
umat, bagian dari persyarikatan dan bagian dari masyarakat. Untuk mewujudkan agar
tema itu nanti menjadi konkret, aktual dan faktual dibutuhkan semcam langkah
transformasi sosial yang amat serius di kalangan NA sendiri. Mampukah? Itu yang
perlu dikaji bersama.(Bahan dan tulisan:tof)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04