ISLAM MERETAS JALAN DI INGGRIS

ISLAM MERETAS JALAN DI INGGRIS
Ketika AS dan Inggris bersama beberapa negara sekutu melakukan penyerangan terhadap
Irak, berbagai tanggapan dan pro kontra bermunculan. Salah satu isu yang digulirkan adalah secara
tidak langsung AS dan Inggris ingin melumpuhkan salah satu kekuatan Islam yang selama ini dianggap
menjadi penghalang bagi kekuatan Imperialis dalam rangka meluaskan pengaruhnya di Timur Tengah.
Islam menjadi sebuah hantu yang menakutkan, bagi negara-negara itu. Pro dan kontra terhadap
kebijakan pemerintah Inggris dalam serangan itu bermunculan di negaranya Tony Blair itu. Tidak luput
umat Islam di Inggris menjadi sorotan dan mendapat tekanan.
Islam di Inggris seperti dunia Islam pada umumnya sangatlah beragam. Muslim di negara itu
memiliki akar budaya yang berbeda satu sama lain. Perbedaan ini menyebabkan mereka hidup dalam
warna pluralisme yang kental. Kehadiran Islam di Inggris bisa dilacak sejak 300 tahun lalu. Mulanya
adalah rekrutmen para pelaut yang dilakukan East India Company dari Yaman, Gujarat, Sind, Assam,
dan Bengal. Merwka dijadikan laskar. Sebagian kecil dari mereka lalu menetap di kota-kota pelabuhan
di Inggris, terutama di London, Cardiff, Liverpool, London, South Shield, dan Tyneside. Sekitar abad
ke-19, sejumlah pengusaha Muslim juga telah berniaga di kerajaan itu. Salah satunya adalah
perusahaan terkenal ‘Mohamed’s Baths’ yang didirikan di Brighton oleh Sake Deen Mohammed (17501851).
Gelombang migrasi kelompok Muslim besar-besaran ke Inggris terjadi mulai 1950-an. Pada
1951, penduduk Muslim di negara itu diperkirakan baru mencapai 23 ribu jiwa. Sepuluh tahun
belakangan, populasi penduduk Muslim di Inggris menjadi 82 ribu, dan pada 1971 sudah mencapai 369
ribu jiwa. Saat ini, jumlah penduduk muslim di Inggris sekitar dua juta jiwa lebih. Di Leicester, sangat
mudah menemukan masjid dan makanan halal. Hampir semua toko dikuasai kelompok pendatang,

terutama dari Asia Selatan. Kelompok Muslim yang berjumlah 35 ribu jiwa cukup mendominasi roda
perekonomian di kota tersebut.
Untuk memperkuat komunitas mereka, pada 1960-an kelompok Muslim yang berasal dari
Pakistan maupun India telah membentuk organisasi. Saat ini organisasi tersebut dikenal dengan nama
Indian Muslim Association atau Bangladesh Youth and Cultural Shomiti. Pembentukan berbagai
asosiasi itu tampaknya dilandasi keinginan untuk membangun sense of corporate identity serta
mengatasi berbagai ‘sikap bermusuhan’ yang ditunjukkan komunitas lain. Mereka bukan saja berurusan
dengan isu-isu lokal, tapi juga terlibat aktif dalam menyuarakan kepentingan Islam internasional,
seperti kekerasan di Gujarat, Palestina, dan Kashmir. Selain itu, organisasi formal dibutuhkan untuk
menjamin kelestarian budaya nenek moyang mereka. Dan tujuan utama yang lainnya adalah untuk
menghilangkan Islamophobia yang diidap masyarakat Barat.
Menurut Musab Bora, dari Forum Against Islamophobia and Racism, menghilangkan
Islamophobia merupakan tugas semua kelompok Muslim di semua tataran. Secara spesifik, hal itu
dapat dilakukan melalui pemebentukan dan pengembangan sebuah kelembagaan nasional yang
merepresentasikan Muslim Inggris kepada pemerintahan atau organisasi yang lain. Saat ini, banyak
generasi muda Muslim yang berasal dari Asia Selatan tengah mengalami pergulatan hebat yang
kompleks, terkait dengan persoalan identitas mereka sebagai Muslim. Dalam usia tersebut, mereka
cenderung mudah teralienasikan dari bingkai komunitas yang besar sebagai akibat tingginya angka
pengangguran, rendahnya kesempatan untuk memperolah pendidikan, serta menghadapi isu-isu rasial.
‘Menjadi seorang Muslim’ tampaknya menjadi agenda berat yang terus diperjuangkan

kelompok Muslim di Inggris. Muslim yang tinggal di barat sedikitnya menghadapi dua tantangan besar.
Pertama, tantangan terhadap keagamaan secara umum seperti diskriminasi; sedangkan kedua adalah
tantangan terhadap nilai etika sosial yang digariskan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dari situlah
terpampang bahwa perjuangan mempertahankan identitas memang menjadi sebuah keharusan bagi
sebuah kelompok minoritas ketika hidup di Barat. Beruntung, sejauh ini pemerintah Inggris masih
berada dalam ‘jalur yang benar’ karena bersikap toleran terhadap Muslim.
Generasi muda Islam di Inggris, sama seperti generasi muda lainnya, dalam mengambil
parameter untuk memperkuat identitasnya ditentukan oleh pandangan dunia yang lebih luas. Mereka
mencari nilai-nilai itu dari komunitasnya, institusi, teman sebaya, tetangga, serta sistem organisasi yang
mereka miliki. Dalam kaitan itu, institusi pendidikan, baik formal maupun informal, adalah komponen
penting untuk mempertahankan dan mengembangak sebuah tradisi. Maka tak heran jika di Inggris
bukan hanya sekolah Islam saja yang tumbuh, tapi juga sekolah-sekolah bagi komunitas tertentu seperti
Hindu, Sikh, dan Yahudi.
Tumbuhnya komunitas Muslim di Leicester ---saat ini berjumlah 35 ribu orang, ditambah
meningkatnya pembangunan dan arus informasi, menyebabkan mereka tinggal dalam bingkai
multikultural. Keberagaman itu bukan hanya antara Muslim dengan penganut agama lain, tapi juga

dengan sesama Muslim lain yang sebagian besar datang sebagai imigran dari India, Pakistan,
Afghanistan, Somalia, Bangladesh, Malawi, dan sebagainya.
Institusi pendidikan yang dibangun tidak hanya terpaku pada sekolah dasar dan lanjutan saja.

Komunitas Muslim di Inggris telah membangun pendidikan tinggi untuk mempersiapkan intelektual
Muslim seperti The Muslim Colleg di London, atau Markfield Institute of Higher Education yang
memiliki jenjang pendidikan tingkat master dan doktor. Bahkan di lingkungan pendidikan konsevatif
seperti di Oxford University, sejak 1985 telah berdiri Oxford Centre for Islamic Studies (OCIS).
Menurut Direktur OCIS, DR Farhan Nizami, lembaga itu didedikasikan untuk mengkaji Islam secara
akademis. Pada 1991, Oxford University membentuk School of Management Studies, yang pada 1998
diubah namanya menjadi Said Busines School. Seorang pengusaha, Wafic Said, mengucurkan dana
sebesar 20 juta pound untuk membangun perguruan tinggi tersebut. Perguruan tinggi itu merupakan
bentuk sumbangan pengusaha Muslim di bidang pendidikan.
Berhasilkah sekolah-sekolah Islam dalam sistem pendidikan sekuler di Inggris? Menurut DR
MH Mukadam, pengelola Leicester Islamic Academy, salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di
Inggris, sistem kurikulum terpadu yang dikembangkan sekolah-sekolah Islam mampu bersaing dengan
sekolah non-Muslim.
Keharmonisan antarpemeluk agama di Inggris sebenarnya menjadikan Islam mendapat lahan
yang subur untuk berkembang. Masa depan Islam di Inggris, secara nyata akan sangat tergantung
kepada kesadaran mereka sebagai muslim serta kemampuan merebut setiap kesempatan. Di tengah
gelombang anti-Muslim, DR Ataullah Siddiqui, assisten director Markfield Institute of Higher
Education (MIHE), menandaskan yang paling penting bagi Muslim adalah tidak melakukan tindakan
sendiri-sendiri. Semua tindakan yang diambil harus diselaraskan dengan hukum yang berlaku, serta
bekerja sama dalam setiap tingkatan.

Kelompok Muslim, ujar Siddiqui, harus berpartisipasi dan mengubah komunitas Muslim itu
sendiri lewat penguatan koeksistensi dan dialog. Masalah krusial yang kerap dibahas adalah soal fiqih.
Pertanyaannya, bagaimana memahami pelaksanaan fikih di tengah masyarakat yang pluralis?
Selanjutnya, papar Siddiqui, kelompok-kelompok dialog tersebut juga harus mulai melaksanakan
gerakan baru keagamaan, seperti memanfaatkan media massa. Komunitas Muslim di Inggris sudah
meretas jalan itu. Maka, jangan heran jika suatu saat Islam bisa tumbuh dan berkembang di negara itu.
(im).

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 07-2002