Pemikiran di Muhammadiyah

1

Pemikiran di Muhammadiyah
Polarisasi, Gagasan, dan Tindakan
Kamis malam, 1 Januari 2004, di sebuah rumah yang terletak di dalam kota
Jogja, berkumpullah puluhan orang Muhammadiyah yang sudah berumur. Rata-rata
yang hadir adalah dosen atau ustadz, dan sebagiannya lagi adalah wirastawan mapan
yang aktif atau menjadi pimpinan Muhammadiyah. Topik persoalan yang
dibicarakan adalah menyangkut berbagai wacana pemikiran dan gagasan yang
muncul dan berkembang di Muhammadiyah, yang dipandanganya tidak lagi sesuai
dengan visi dan misi Persyarikatan atau berlawanan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Gagasan dan paham pluralisme, toleransi, inklusivisme, Islam liberal, dan yang
sejenisnya dibicarakan dengan serius dan penuh antusiasme. Rasa penyesalan,
kecaman, dan hujatan tanpa disadari terkadang keluar juga dalam pembicaraan yang
cukup ramai itu.
Sementara itu, di pinggiran yang sudah termasuk wilayah Kabupaten Bantul,
sekolompok anak muda Muhammadiyah juga tengah membicarakan beberapa agenda
yang juga tidak kalah seriusnya. Beberapa isu

dan program ke depan untuk


mengusung wacana pemikiran keislaman dalam berbagai konteksnya, didiskusikan
agar bisa ikut mewarnai lanskap kehidupan beragama umat Islam dan menjadi bagian
dari penyadaran sikap mental bangsa. Sesekali, anak-anak muda yang idealis dan
tengah meneguhkan identitas dirinya itu menyentil juga sikap dan respons yang
ditunjukkan oleh beberapa bapak Muhammadiyah, yang menurut mereka terlalu
gampang memvonis dan suka bersikap reaktif tanpa mendalami terlebih dahulu
masalahnya.
Itulah yang terjadi dengan Muhammadiyah akhir-akhir ini, kendati sebetulnya
pergulatan pemikiran dan polemik di kalangan intern Persyarikatan sudah
berlangsung lama. Mungkin, karena pengaruh kemajuan informasi dan komunikasi,
maraknya penerbitan buku-buku kajian keislaman, publikasi gagasan di media massa

2

cetak, maupun sosialisasi lewat media elektronika, maka perbedaan pendapat dan
kontroversi pemikiran yang tajam semakin terbuka ke wilayah publik. Apa yang
terjadi di Muhammadiyah ternyata tidak dialami oleh Persatuan Islam (Persis).
“Mungkin di Muhammadiyah geger pemikiran seperti itu bisa merebak karena di
dalamnya sangat banyak intelektual didikan Amerika. Di Persis tidak ada
pembaharuan pemikiran yang silang-sengkarut seperti itu,” begitu menurut Ustadz

Luthfi Abdullah Ismail, Lc. (Mudir Pondok Pesantren Persatuan Islam Bangil, Jawa
Timur).
Fenomena yang menarik sebetulnya, dan tidak ada seorang pun yang bisa
menolak terjadinya dinamika pemikiran dan perkembangan wacana yang beragam
itu, meskipun kemudian menimbulkan silang pendapat, pro-kontra, atau perasaan
kesal pada sebagian orang. Simak saja ungkapan dari Drs. Musthafa Kamal Pasha,
“terus terang ada yang mengganjal pada diri kami, yakni munculnya wacana-wacana
tentang pluralisme, Islam liberal, hermeneutika, dan sebagainya. Kita terperangah
karena pemikiran-pemikiran tadi menggugat apa yang sudah menjadi mainstream
dalam Islam.” “Islam,” sambung dosen Fak. Hukum UMY ini, “merupakan satusatunya Dinul Haq, dan Islam adalah kaffah, mencakup semua aspek.”
Dari pendapat tersebut, ada kesan bahwa munculnya wacana–wacana
pemikiran itu sebagai suatu penyimpangan atau tidak wajar. Berbeda dengan
pendapatnya Drs. Musthafa Kamal

tadi, maka

Prof. Dr. M. Amin Abdullah

memandangnya sebagai sesuatu yang lumrah atau biasa-biasa saja. “Pemikiran Islam
yang berkembang akhir-akhir ini merupakan sesuatu yang wajar, dan bahkan harus,”

tegas salah satu fungsionaris PP Muhammadiyah ini.
Lebih lanjut, Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini menambahkan,
“Kenyataan tersebut merupakan buah dari tingkat pendidikan yang menaik, terutama
S2 dan S3. Di samping itu perkembangan pemikiran tersebut juga dipengaruhi oleh
beredarnya buku-buku, terutama terjemahan dari luar. Dengan kata lain,
perkembangan semacam ini terjadi karena the rise of education and books.”

3

Polarisasi dan Birokrasi Pemikiran
Sikap curiga, tanda tanya, gugatan, dan sebagainya memang tidak bisa
dielakkan oleh sebagian orang ketika melihat fenomena pemikiran keislaman di
Muhammadiyah. Masing-masing pihak memiliki argumentasi dan kepentingan
sendiri-sendiri yang berbeda dan tidak gampang

untuk dipertemukan dalam

menyoroti latar-belakang munculnya fenomena seperti itu. Dalam pandangan Dr.
Fuad Amsjari (anggota ICMI Jawa Timur), “sebab-sebab munculnya berbagai
pemikiran Islam ini menurut saya karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kemampuan intelektual para pemikir
Islam sendiri melalui kajian-kajiannya. Sedangkan faktor eksternal bisa berupa
pesanan orang atau kelompok lain yang punya kepentingan, seperti agar orang Islam
tidak punya kegigihan dalam ber-Islam.”
Yang menarik dan sekaligus bisa menggelikan, munculnya perkembangan
pemikiran keislaman itu secara umum sering dikelompokkan menjadi dua arus besar:
liberal dan literal. Atau menurut Dr. Fuad Amsjari, “ada dua kecenderungan
pemikiran Islam yang berkembang saat ini, yaitu: pertama, fundamentalis, yang
meyakini Islam secara totalitas dan mendasar; sedangkan yang

kedua semakin

menjauh dari ajaran Islam.”
Islam liberal atau pemikiran liberal suka diidentikkan dengan pendekatan atau
metode kontekstual, sedangkan Islam literal atau pemikiran literal disamakan dengan
pendekatan atau metode tekstual. Menurut seorang pemikir muda Muhammadiyah
Zakiyudin Baidhawi, “polarisasi pemikiran keislaman ke dalam dua kutub antara
Islam liberal dan Islam literal adalah simplikasi yang luar biasa atas fenomena
keragaman cara pandang, sikap, dan perilaku Muslim senyatanya.” Kemudian ia
menambahkan, “Polarisasi kedua kutub ini sesungguhnya tidak aneh, sebab entah itu

Islam liberal atau Islam literal, keduanya masih dalam kerangka teks. Artinya, teks
masih menjadi sumber acuan utama untuk memahami Islam.”
Kalau masih dalam kerangka teks, sesungguhnya apa yang menjadikan kedua
kelompok itu sepertinya kontradiktif dan tidak bisa bertemu? “Yang membedakan

4

keduanya adalah pendekatan. Islam literal melihat adalah segalanya, dan secara sui
generis teks harus dipahami menurut kaidah keilmuan yang berkaitan dengan teks itu
sendiri. Sementara itu, Islam liberal mendekati teks secara kontekstual. Artinya, teks
tidak melulu dapat didekati melalui metode-metode tradisional yang sudah sangat
terkenal di kalangan ushuliyyun dan mutakallimun,” lanjut mantan aktivis IMM di
Jawa Tengah ini.
Dalam kenyataannya, pemikiran keislaman yang beredar atau dilakukan oleh
orang-orang

Muhammadiyah

yang


dikategorikan

liberal

itu,

juga

sering

memanfaatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan sebagai alat bantu analisisnya.
Ada filsafat, sosiologi, antropologi, politik, ilmu budaya, dan sebagainya. Karena itu
tidak aneh kalau kemudian ada perspektif yang kaya dan sekaligus bisa memberikan
pemahaman baru atau bahkan menjadi kontroversial ketika memahami atau
menafsirkan teks-teks Islam.
Munculnya pikiran-pikiran keislaman yang dicap liberal di Muhammadiyah
itu, tentu saja tidak terjadi dengan sendirinya. Bisa saja karena perasan kecewa,
jengkel,

atau


tidak

puas

dari

sebagian

orang

terhadap

Muhammadiyah.

“Muhammadiyah yang dulu dianggap sebagai pembaru, lama kelamaan mengalami
stagnasi pemikiran. Maka sekarang beberapa anak muda merasa perlu untuk
melakukan pembaruan dalam pemikiran, seperti yang dilakukan oleh JIMM (Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyah),” demikian menurut pengamatan


Prof. Dr.

Kautsar Azhari Noer dari UIN Jakarta.
Meskipun antara dua kelompok itu sulit disatukan karena sering bertabrakan
dan saling mencari pengaruh, sebagaimana dikatakan oleh Dr. Fuad Amsjari, namun
sikap dewasa dan berpikir jernih akan banyak membantu untuk mencari titik-titik
temunya. Tampaknya semua pihak harus menyadari bahwa yang namanya berpikir
atau mengeluarkan pendapat tidak akan bisa diatur seperti halnya seorang polisi yang
mengatur jalan lalu lintas atau seorang pejabat yang memimpin di departemen.
Bagaimanapun, yang namanya pemikiran itu seperti mempunyai dunianya sendiri,
yang harus diberi ruang dan tempat untuk tumbuh dan berkembang secara

5

bertanggungjawab.

Dengan kata lain, meminjam istilahnya Prof. Dr. Amin

Abdullah, “pemikiran itu tidak bisa dibirokrasikan. Majelis atau lembaga manapun
tidak bisa membirokrasikan pemikiran-pemikiran baru. Karena pemikiran pada

hakikatnya adalah non-bureucrated.”
Dari Gagasan ke Tindakan
Mungkin, sikap yang bijak untuk menghadapi munculnya berbagai macam
pemikiran keislaman di Muhammadiyah itu adalah positive thinking alias husnudhan.
Karena, selain akan menghindari priksi dan konflik yang tidak sehat, sikap positif tadi
juga akan lebih memungkinkan bagi penampilan Muhammadiyah menjadi kian
semarak dan dinamis. Dalam hal ini, Pradana Boy ZTF menyebutkan, “lahirnya
polarisasi seperti yang disinyalir

belakangan ini, lebih sebagai upaya untuk

mendinamisasi Muhammadiyah.” Lebih jauh, aktivis JIMM yang juga dosen FAI
Universitas Muhammadiyah Malang ini menegaskan, “jika

lahir kelompok-

kelompok yang ditengarai liberal dalam Muhammadiyah, hal itu lebih sebagai
tuntutan sejarah. Bahwa Muhammadiyah tidak boleh berhenti mengukir sejarah, dan
letak kekuatan Muhammadiyah adalah pada liberalisme pemikirannya.”
Di samping itu, pihak-pihak yang selama ini dikesankan berseberangan,

penting untuk tidak bersikap eksklusif, saling menuduh, dan saling mengklaim
kebenaran. Selain terus berupaya untuk membesarkan Muhammadiyah sesuai dengan
tantangan zamannya, maka dialog dan pejumpaan yang saling menghormati untuk
menjembatani perbedaan itu akan lebih bermakna ketimbang cakar-cakaran dengan
sesama saudara sendiri. Di samping tidak akan produktif, juga akan menguras energi
dengan percuma dan merusak nama baik Persyarikatan.
“Perbedaan cara pandang dan pendekatan dalam tubuh Persyarikatan
merupakan hal yang wajar terjadi, tetapi jangan sampai

mengarah kepada

perpecahan,” kata Ai Fatimah Nur Fuad. Dosen di Universitas Muhammadiyah
Jakarta ini kemudian menyarankan, “hal terpenting yang mesti dilakukan adalah terus
mengembangkan kreativitas berpikir sebagai bentuk aktualisasi organisasi.”

6

Tampaknya keberadaan Muhammadiyah itu tidak akan bisa lepas dari masalah
berpikir dan persoalan pemikiran, apapun bentuk dan alirannya. Dalam pandangan
Prof. Dr. Frans Magnis-Suseno, “sayap-sayap pemikiran yang ada di Muhammadiyah

itu bisa menjadi indikasi bahwa organisasi itu masih hidup dan terus berdialektika
secara pemikiran. Saya memandang perdebatan seperti itu dalam sisi positifnya saja.”
Toh, berdirinya Muhammadiyah itu sendiri merupakan produk pemikiran atau
ijtihad KH Ahmad Dahlan untuk menjawab tantangan zaman pada masa itu. “Akar
pemikiran itu dibangun atas dasar nilai-nilai al-Qur’an dan as-Sunnah,” tegas Drs. H.
Anhar Anshori (Wakil Ketua MTDK PP Muhammadiyah). Dalam hayatnya, pendiri
Muhammadiyah ini juga biasa berbeda pendapat, berdebat, dan berdialog.
Pertemanannya pun sangat luas, tidak sebatas sesama Muslim saja. Karena itu, yang
mendesak sekarang untuk dikerjakan sebetulnya adalah menyerap semangat KH
Ahmad Dahlan ketika merintis berdirinya Muhammadiyah dan kemudian
menahkodainya untuk beberapa lama.
“Letak kekuatan yang diwariskan oleh KH Ahmad Dahlan bukan bentukbentuk gerakannya yang fisik, tetapi nilai filosofis dan etis yang akan selalu berbeda
bentuknya jika ditafsirkan dalam masa yang berbeda,” demikian menurut pendapat
Pradana Boy. Karena itu, mau tidak mau, pihak-pihak yang selama ini

berbeda

pandangan perlu duduk bersama untuk melakukan dialog dan tukar pikiran. “Kita
harus bisa membuka diri dan harus mau berdialog. Jangan suka bersikap tertutup, dan
belum apa-apa sudah mengkafirkan orang lain,” tutur Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer
mengingatkan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah para kader, intelektual, dan pimpinan
Muhammadiyah itu cukup merasa puas dengan dialog dan asyik dengan dunia
pemikiran saja. Kalau mau mencermati agar gerakan Muhammadiyah sejak dini, jelas
akan terlihat bahwa ide, gagasan, dan pemikiran itu tidak berhenti dan berputar-putar
di awang-awang saja. Dengan kata lain, sebagaimana dicontohkan oleh pendiri dan
generasi awal Muhammadiyah, ide dan pemikiran itu harus bermuara

ke amal

7

perbuatan yang saleh atau amal sosial yang maslahat. Dengan kata lain, dari gagasan
menjadi tindakan.
Tentu saja, hubungan antara pemikiran dan amal perbuatan atau antara
gagasan dan tindakan akan menciptakan dialektika dan hubungan timbal balik yang
dinamis. Melalui hal inilah, mengutip Ai Fatimah, “Muhammadiyah akan memiliki
pola pikir yang dapat menyentuh kebutuhan masyarakat. Proses berpikir jangan hanya
berhenti pada tataran wacana saja.” Menguatkan pendapat ini, Drs. H. Anhar Anshori
kembali menyebutkan, “pemikiran akan berkembang sesuai dnegan konteks yang
berkembang pula di masyarakat. Jangan dikatakan yang tidak-tidak, sebab yang
berbeda hanya metode berpikirnya saja.”
Senada dengan dosen UMJ itu, Ustadz Mu`amal Hamidi, Lc. juga
mengingatkan, “tidak ada gunanya berputar-putar dalam masalah pemikiran saja,
tetapi tidak ada tindakan yang kongkret dan bermanfaat bagi umat manusia. Amalamal usaha yang didirikan Muhammadiyah merupakan pengembangan pemikiran ke
dalam wujud yang semestinya.” Lewat kesadaran tentang gagasan dan tindakan
itulah, kiranya perbedaan pendapat itu juga bisa dijembatani. Seperti yang diharapkan
oleh Prof. Dr. Amin Abdullah, “saya mengimbau kepada Muhammadiyah untuk
‘mengawinkan’ antara teori dan praksis. Rutinitas pengelolaan amal usaha harus
dibarengi dengan penggiatan pemikiran. Dan kita jangan saling curiga.”
Dalam konteks pemikiran dan proyek amal saleh Muhammadiyah --dari
gagasan ke tindakan-- kiranya kita lebih baik untuk memperbanyak “kawan dalam
pertikaian” ketimbang memelihara “musuh dalam selimut.”
(tulisan: tiar; bahan: nafi, arif, ngadi, fikr, dwi).
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 04 2004