PLURALITAS KADER DAN PEMIKIRAN DI MUHAMMADIYAH

PLURALITAS KADER DAN PEMIKIRAN DI
MUHAMMADIYAH
Oleh lwan Setiawan
Bila kita berbicara tentang memajukan Muhammadiyah tentu kita bicara tentang kader
dan pemikiran keagamaannya. Tapi, masihkah kita serius mengkaji kedua hal tersebut?
ataukah kita sudah selesai membahas masalah kader dan pemikiran di Muhammadiyah,
karena melihat semua amal usaha Muhammadiyah sudah penuh diisi oleh karyawan dan
mereka dengan tertib mengurusinya.
Organisasi sosial keagamaan besar yang gemuk dengan prestasi dan mendapat
pengakuan di sana-sini tentu akan mengalami sindrom kejumudan. Hal ini dapat terjadi
bila unsur-unsur penopang di dalam organisasi tersebut yaitu kader dan pemikiran
keagamaan sudah tidak dibahas lagi dan dikatakan telah usai, karena dirasa "baik-baik
saja".
Akibatnya adalah segala aktivitas dalam organisasi tersebut hanya berupa kerutinan saja
dan melupakan sisi pengembangan pemikiran dan kualitas anggotanya. Bila hal ini terjadi
dan melupakan sisi pembaharuan yang ketika didirikan merupakan ruh organisasi
tersebut, niscaya pribadi-pribadi yang ada di dalamnya akan menjadi konservatif dan
mandeg.
Hal ini dapat terjadi bila pengurus Muhammadiyah sudah merasa bahwa Muhammadiyah
sekarang ini sudah berada dalam keadaan yang baik-baik saja dan tidak memerlukan
perubahan dan pencerahan yang berarti. Mereka sudah rumongso besar dengan segala

sejarah persarikatan dan hasil-hasil dari amal usahanya besar.
Untuk itu penulis akan memetakan profil kader dan pemikiran dan bagaimana keduanya
merupakan realitas objektif yang ada di dalam Muhammadiyah. Profil kader dan
pemikiran keagamaan ini akan menjadi pijakan dan pengetahuan, bahwa dalam diri
persarikatan Muhammadiyah ini terdiri dari beragam unsur dan pluralitas pemikiran. Hal
ini akan menjadikan pembaca paham akan dinamika Muhammadiyah dewasa ini yang
seharusnya diapresiasi oleh para kadernya sebagai sebuah modal untuk kemajuan
Muhammadiyah sendiri.
Kader-Kader di Muhamamdiyah
Dalam pengertian sederhana kader adalah "-sekelompok orang yang terorganisir secara
terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar".
Sehingga dalam pengertian yang general seperti ini, pengertian kader dalam
Muhammadiyah adalah semua komponen dalam Muhammadiyah yang menjadi tulang
punggung dan penggerak terhadap roda-roda persarikatan Muhammadiyah secara
keseluruhan.
Sehingga organisasi otonom semisal Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Nasyiatul Aisyiyah (NA), Pemuda Muhammadiyah
(PM), Aisyiyah maupun organisasi induknya, yaitu Muhammadiyah, baik dalam tingkat
ranting sampai pusat merupakan kader-kader Muhammadiyah.
Walaupun dalam pengertian yang lebih sempit kader dalam Muhamadiyah lebih bertitik

berat pada ortom-ortom semisal IRM, IMM, PM dan NA yang merupakan produk-produk
muda Muhammadiyah yang akan menjadi penerus langkah pengurus Muhammadiyah

maupun Aisyiyah. Tetapi dalam segi penggerak dan tulang punggung persyarikatan,
penulis berkeyakinan bahwa antara ortom-ortom yang diisi oleh kelompok muda maupun
induk organisasi, yaitu Muhammadiyah semua adalah tulang punggung yang saling
memberi andil dalam menggerakkan Muhammadiyah secara keseluruhan.
Kader-kader Muhammadiyah muncul lewat dua jalan. Pertama adalah kader dan dalam
Muhammadiyah, Dalam pengertian ini kader dari dalam adalah kader-kader yang berasal
dari keluarga besar Muhammadiyah. Kader ini biasanya berasal orang tua yang kader
Muhammadiyah dan "diwariskan" kepada anaknya lewat pendidikan sekolah
Muhammadiyah dan dalam keluarga yang menjadikan mereka kader Muhammadiyah.
Juga mereka muncul dari kampung Muhammadiyah, lalu mereka aktif dalam ortom dan
kegiatan-kegiatan Muhammadiyah. Dalam hal ini dapat menjadi contoh adalah Amien
Rais, yang orang tuanya adalah aktifis Muhammadiyah dan masa remajanya dihabiskan
di lingkungan Muhammadiyah.
Kedua adalah kader yang muncul dari luar keluarga besar Muhammadiyah, seperti kader
yang baik orang tua dan kampungnya bukan dari Muhammadiyah. Tetapi karena ia
-sekolah atau bergaul dengan kader-kader Muhammadiyah, lalu ia menjadi aktif di
Muhammadiyah. Ataupun bekerja di amal usaha Muhammadiyah, juga karena simpati

pada Muhammadiyah lalu aktif menjadi anggota Muhammadiyah.
Dalam segi etos kerjanya, kader-kader Muhammadiyah ada dua, Pertama kader militan.
Kader militan adalah kader yang mempunyai semangat untuk menjaga dan
menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah dengan sepenuh tenaga dan keikhlasannya.
Kader yang militan ini tidak akan mengurangi kegiatan mereka di Muhammadiyah,
walaupun ada pekerjaan di luar persyarikatan yang menunggu. Mereka dengan setia
mampu menjaga semangat dan loyalitas dalam melaksanakan tugas yang telah diemban
dalam persyarikatan.
Kedua adalah kader sesaat. Kader sesaat adalah kader yang mempunyai semangat untuk
aktif di dalam persariakatan Muhammadiyah tetapi sesaat saja. Hal ini terjadi karena
kegiatan atau pekerjaan yang membuat mereka tidak bisa maksimal di Muhammadiyah.
Kader sesaat ini merupakan kader yang potensial dan perlu ditingkatkan semangat berMuhammadiyah, dan hal ini merupakan tugas dari kader-kader yang militan untuk
"menggarap” kader-kader sesaat agar lebih militan dalam menggerakkan
Muhammadiyah.
Pemikiran Di Muhammadiyah
Dewasa ini ada beberapa intelektual di dalam Muhammadiyah yang membuat tipologi
pemikiran di dalam Muhammadiyah. Salah satunya adalah Marpuji Ali dan Mohammad
Ali (SM No 4 /2004 } yang membagi pemikiran di dalam Muhammadiyah menjadi dua
yaitu literal dan liberal. Tipologi ini didasarkaa atas buku-buku yang diterbitkan dan
agenda pemikiran para intelektual Muhammadiyah. Sebagai sebuah "realitas objektif”

kata kedua penulis, maka hal itu merupakan wajah dari pemikiran Muhamadiyah.
Menurut penulis, pemikiran di Muhammadiyah bukan hanya liberal dan literal saja.
Kalau kedua penulis mendasarkan tipologi pemikiran berdasarkan buku-buku dan agenda
kerja, penulis juga akan memberi tipologi pemikiran di Muhammadiyah berdasarkan
pemaknaan mereka terhadap Al Qur'an dan Hadits yang ditafsirkan dalam ruang teologi,
sosial maupun politik.

Pertama adalah pemikilan liberal, dimana pemaknaan terhadap Al Qur’an dan Hadits
yang lebih subastansif, lebih penting daripada pemaknaan yang hanya berupa simbol
formal saja, Pemikiran liberal ini mendasarkan pada kontekstualitas ajaran dan kondisi
sosial yang ada dalam masyarakat Islam dengan analisa lewat pemikiran Abid Al Jabiri,
Hassan Hanafi, Farid Essac, Nurcholish Madjid dll. Agenda kerja mereka lebih pada
penafsiran Islam kepada masalah pluralisme agama, transformatif sosial, agamawan
organika dan penafsiran lewat hermeneutika. Dalam hal ini nama-nama Amin Abdullah,
Abdul Munir Mulkan, Moeslim Abdurrahman, Zuly Qodir dan sebagian intelektual muda
dalam jaringan pemikir muda yang bemama JIMM dapat menjadi cermin atas pemikiran
liberal di dalam Muhammadiyah.
Kedua adalah moderat, dimana menurut mereka ajaran Islam yang termaktub di dalam
Al-Qur’an dan Hadits merupakan cita-cita yang ideal terhadap sebuah bangun
kebangsaan. Pandangan moderat ini menggunakan wahyu sebagai perumusan perilaku

dan penggerak terhadap etika hidup umat Islam di dunia dengan tentor utamanya adalah
Fazlur Rahman, walaupun mereka menolak ide formalisasi ajaran Islam dalam bentuk
negara Islam, Dalam hal ini pemikiran A Syafii Maarif, Dien Syamsuddin, Malik Fadjar,
M Dawam Rahardjo, Haedar Nashir, M Amin Aziz, Bachtiar Effendi, Abdul Mu'thi,
Yunahar llyas dll, adalah representasi dan pemikiran moderat di Muhamadiyah.
Ketiga adalah formal, yang mengutamakan peneguhan dan ketaatan yang ketat pada
format ajaran Islam yang termaktub dalam Al Qur'an dan Hadits.
Ajaran kembali ke Al Qur’an dan Hadits menjadi pegangan yang mantap dan dengan
penafsiran terhadap konteks kesejarahan yang cenderung kaku, sehingga ekspresi
formalisme Islam nampak dalam jargon-jargon yang mereka usung. Nama-nama semisal
Abdul A'la Mawdudi, Sayyid Qutb, Hassan Al-Banna dll. adalah sumber referensi
mereka. Dalam hal ini, pemikiran awak redaksi majalah Tabligh semisal Nu'man Hidayat
dll.
Pluralitas sebagai Keniscayaan.
Keragaman profil leader dan pemikiran di dalam Muhammadiyah ini harus kita terima
sebagai sebuah kenyataan objektif dalam organisasi, apalagi organisasi sebesar
Muhammadiyah. Yang terpenting adalah bagaimana mengelola keragaman ini menjadi
sebuah kesatuan yang bekerja untuk bekerja sama. Karena antara kader yang militan
ataupun kader yang sesaat ini, diantara mereka ada saling membutuhkan dalam
menggerakkan organsiasi, tinggal bagaimana manajemen organsiasi bekerja untuk

mempertemukan mereka dalam sebuah kesepahaman yang saling membantu.
Juga pluralilas kader dan pemikiran dalam Muhammadiyah harus dapat menjadi sebuah
problem solving dan bukan malah making problem. Karena dalam setiap organisasi besar,
tiap pemikiran memiliki ruang, wadah dan tempat masing-masing yang akan saling
memperkuat dan memberi sentuhan terhadap persoalan organisasi tersebut.
Pluralitas inilah yang harus dapat diterima oleh kader Muhammadiyah dan hal inilah
yang menjadi salah satu modal dasar untuk kemajuannya, karena tanpa dinamika dan
pemikiran yang saling berdialog, niscaya persyarikatan ini nampak diam dan cenderung
kehilangan vitalitasnya.
Penulis adalah Mahasiswa Fak Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga dan Ketua Cabang
Pemuda Muhammadiyah Umbulharjo, Yogyakarta.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 21-04