Musik selawat al-Banjari sebagai sarana mempertajam dhawq: studi terhadap elemen-elemen musik al-Banjari di Sidoarjo.

(1)

MUSIK SELAWAT AL-BANJARI SEBAGAI SARANA

MEMPERTAJAM

DHAWQ

(Studi terhadap Elemen-elemen Musik al-Banjari di Sidoarjo)

Skripsi

Disusun untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

ACHMAD ISNAIN CHOIRI NIM: E31212044

PROGRAM STUDI AKIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Achmad Isnain Choiri, 2017: “Musik Selawat al-Banjari sebagai Sarana Mempertajam Dhawq (Studi Terhadap Elemen-elemen Musik al-Banjari di Sidoarjo)”

Fokus masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah untuk mengetahui elemen-elemen yang terkandung dalam musik selawat al-Banjari yang dapat digunakan sebagai sarana mempertajam dhawq (metode rasa) dalam pandangan tokoh dan aktivis yang berpengaruh di dunia hadrah al-Banjari dalam ruang lingkup penelitian di Kabupaten Sidoarjo.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, dan untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan pengumpulan data

dengan metode pengamatan (observasi), wawancara (interview), dan

dokumentasi. Adapun teori yang digunakan adalah teori sama’ yang dijelaskan oleh al-Ghazali yakni, dalam mendengarkan musik (sama’) terdapat tiga tingkatan, yaitu: (1) Pemahaman, (2) Perasaan, (3) Ekspresi, yang mana ketiga hal tersebut hanya dapat dilalui dengan metode dhawq.

Penelitian dengan judul “Musik Selawat al-Banjari sebagai Sarana

Mempertajam Dhawq (Studi Terhadap Elemen-elemen Musik al-Banjari di Sidoarjo)” menghasilkan kesimpulan, bahwa musik selawat al-Banjari dapat digunakan sebagai sarana mempertajam dhawq. Adapun elemen-elemen yang terkandung di dalamnya yang berfungsi sebagai pemertajam dhawq adalah, (1) Syair, (2) Penyair/vocal, penyampaian nada dan harmonisasi suara/vocal harmony, (3) Bunyi terbang yang ritmis, (4) Penjiwaan penyair, (5) Kharisma penyair.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

ABSTRAK ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PENGANTAR DAN DEDIKASI ... vii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian... 9

D. Manfaat Penelitian... 9

E. Penegasan Judul ... 10

F. Metode Penelitian ... 11

G. Telaah Pustaka... 20

H. Sistematika Pembahasan ... 24

BAB II. MUSI K (SAMA’), SELAWAT AL-BANJARI DAN KABUPATE N SI DOARJO ... 26


(8)

A. Musik ... 26

1. Musik secara Umum ... 26

2. Musik dalam Islam (Sama’) ... 32

B. Selawat al-Banjari ... 39

1. Hadrah al-Banjari ... 40

2. Selawat ... 45

C. Dhawq ... 48

D. Kabupaten Sidoarjo ... 49

BAB III. SELAWAT AL-BANJARI DI SIDOARJO ... 52

A. Hadrah al-Banjari di Sidoarjo ... 52

B. Selawat al-Banjari dan Dhawq dalam Pandangan Tokoh dan Aktivis ... 55

BAB IV. MUSIK SELAWAT AL-BANJARI SEBAGAI SARANA MEMPERTAJAM DHAWQ ... 63

A. Musik Selawat al-Banjari sebagai Sarana Mempertajam Dhawq ... 63

B. Elemen-elemen Musik Selawat al-Banjari... 65

BAB V. PENUTUP ... 68

A. Kesimpulan... 68

B. Kritik dan Saran ... 68

C. Keterbatasan Penelitian ... 69

DAFTAR PUSTAKA ... 70

DAFTAR LAMPIRAN ... 75


(9)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seni dalam kehidupan masyarakat diekspresikan dalam berbagai bentuk, misalnya seni rupa seperti seni ukir, seni pahat, seni lukis, tulisan indah, juga terdapat seni suara seperti nyanyian, musik, dan dalam bentuk karya-karya seni yang lainnya seperti puisi, pertunjukkan teater atau drama dan lain-lain. Dalam agama Islam sendiri terdapat seni baca al-Qur`an, adzan, kaligrafi, dan lain sebagainya yang masing-masing mempunyai pesona tersendiri. Mengenai seni Islam, Kuntowijoyo menjelaskan bahwa:

Kesenian yang merupakan ekspresi dari keislaman itu setidaknya punya tiga fungsi. Pertama, dapat berfungsi sebagai ibadah, tazkiyah, tasbi>h, s}adaqah, dan lain sebagainya bagi pencipta dan penikmatnya. Kedua, dapat jadi identitas kelompok. Ketiga, dapat berarti syiar (lambang kejayaan).1

Proses penciptaan seni dalam dunia Islam merupakan bagian dari proses dari pengabdian atau ibadah kepada Allah. Oleh karena itu setiap penciptaan seni Islam pada dasarnya mengandung unsur-unsur pengagungan (takbi>r), pemujian (tah}mi>d), dan penyucian (tasbi>h) kepada Allah dan penghormatan (s}alawa>t) untuk Nabi Muhammad, serta penyebaran perdamaian (sala>m) bagi seluruh makhluk, dengan kata lain proses penciptaan seni Islam harus mengandung proses tazkiyah (pembersihan spiritual) yang merupakan esensi ibadah.2

1

Kuntowijiyo, Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik Dalam Bingkai Strukturalisme Transcendental (Bandung : Mizan, 2001), 209.

2


(10)

2

Seni musik adalah salah satu sarana yang dikembangkan untuk menyiarkan agama Islam, seperti gambus, hadrah, marawis, dan nasyid. Musik sendiri memiliki pengertian, suara yang disusun sedemikian rupa hingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan terutama suara yang dihasilkan dari alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian.3 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), musik diartikan dalam dua pengertian, yaitu; Musik adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi suara yang mempunyai kesinambungan. Maka musik adalah nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama lagu dan keharmonisan.4

Musik dalam bahasa Sansekerta disebut dengan sangita, yang melambangkan tiga subjek: menyanyi, memainkan, dan menari.5 Abdurrahman al-Bagdadi mempunyai pandangan bahwa musik merupakan bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat musik tersebut. Setiap alat musik juga memberikan penjelasan atau membahas not dan bermacam aliran musik dapat disatukan. Instrumentalia adalah seni suara yang diperdengarkan melalui alat-alat musik, dan seni vokal adalah melantunkan syair yang hanya dinyanyikan dengan perantaraan oral (suara saja), tanpa iringan instrumen musik.6 Maka dapat dikatakan bahwa musik tidak hanya nyanyian saja,

3

Abdul Muhaya, Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad al-Ghazali (Yogyakarta: Gema Media, 2003), 13.

4

Depikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 602.

5

Hazrat Inayat Khan, Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, terj. Subagijono dan Fungky Kusnaendy Timur (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), 13.

6

Abdurrahman al-Bagdadi, Seni Musik dalam Pandangan Islam: Seni Vocal, Musik dan Tari (Jakarta: Guna Insani Pres, 1994), 19.


(11)

3

tetapi juga memainkan instrumen musik, menari sesuai dengan bunyi yang keluar dari instrumen yang dimainkan.

Musik adalah suatu kreasi seni yang ditujukan untuk memperoleh nilai estetika.7 Dengan nilai estetika tersebut, seseorang dapat merasakan keindahan serta merasakan apa yang telah dirasakan oleh penciptannya melalui pesan dalam bentuk musik. Keindahan merupakan naluri manusia, dengan aspek intuisi yang digunakan sebagai landasan penilaian estetika dari keindahan yang datang melalui indera-indera yang terdapat dalam diri manusia.

Agama sebagai salah satu tanda perkembangan peradaban manusia, memiliki hubungan yang nyata dengan musik. Musik merupakan salah satu bentuk sarana pemujaan terhadap yang Maha Indah yakni Tuhan. Bermain musik adalah kegiatan dari pengungkapan pengamalan keagamaan seseorang, baik dimainkan bersamaan dengan prosesi ritual ataupun tanpa adanya ritual. Sebagaimana yang terlihat dan terjadi dalam agama Kristen, musik dianggap sebagai salah satu sarana penunjang dari prosesi ritual. Kristen Katolik melakukan upacara kebaktian selalu diiringi musik yang dimainkan serta dengan nyanyian, walaupun itu bukanlah menjadi suatu keharusan, namun itu merupakan suatu fenomena yang sering tampak terjadi.8 John Chrysostom, seorang pemuka agama Kristen yang hidup pada abad keempat setelah Masehi mengatakan:

Tiada sesuatu, selain aransemen musik dan nyanyian agama, yang dapat meninggikan derajat akal, memberinya sayap untuk meninggalkan bumi dan

7

Nilai estetika adalah nilai yang mengandung kapasitas untuk menimbulkan tanggapan estetik atau pengalaman estetik, yang mengartikan pengalaman yang berkaitan dengan keindahan. Sidi Gazalba, Islam dan Kesenian: Relevansi Islam dan Seni Budaya (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1988), 75.

8

Budi Linggono, Bentuk dan Analisis Musik (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), 66.


(12)

4

melepaskannya dari belenggu jasmani serta menghiasinya dengan rasa cinta kepada kearifan.9

Dalam dunia tasawuf, musik berasal dari alam metafisika melalui tersibaknya tabir. Teori ini merupakan perpanjangan dari teori Pythagoras yang menyatakan bahwa filsafat adalah kebahagiaan yang sejati, sedangkan jalan keselamatan dan pemurnian adalah musik yang paling tinggi. Lebih detil lagi Pythagoras menjelaskan bahwa suara-suara adalah aksiden yang bertempat pada substansi melalui gerakan. Putaran ruang angkasa yang menggerakkan planet-planet dan bintang-bintang itu memiliki nada dan ritme, serta menghasilkan musik yang mengagungkan dan memuliakan Tuhan. Teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh Ihwan al-Safa dengan pendapatnya bahwa musik adalah bunyi yang dihasilkan oleh gerakan jagat raya. Jagat raya ini tersusun dengan komposisi termulia dan gerakan dengan komposisi yang mulia juga. Gerakan-gerakan itu menghasilkan suara yang indah, harmonis, terpadu, silih berganti, dan enak didengar serta dapat membahagiakan jiwa ahli langit, malaikat, dan jiwa-jiwa yang bercahaya (al-nafs al-ba>sit}ah/jiwa-jiwa yang substansinya lebih mulia daripada susbstansi alam jagat raya).10

Mengenai musik, al-Farabi berpendapat bahwa manusia memiliki tabiat menangkap suara indah di sekelilingnya, kemudian dari situlah musik tercipta oleh manusia. Max Muller juga memiliki pendapat yang sama dengan al-Farabi, bahwa musik merupakan kreatifitas manusia yang muncul setelah manusia mendengarkan suara-suara alam yang indah. Manusia menyeleksi suara-suara

9

Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1999), 234.

10

Mazhab revalationism beranggapan bahwa setiap gerakan yang kasat mata dan tidak kasat mata di alam raya bersifat musikal. Muhaya, Bersufi Melalui, 22-24.


(13)

5

alam, kemudian suara yang tidak disukainya dibuang dan suara yang indah diterimanya. Suara yang indah itu dipadukan dengan suara-suara lainnya sehingga muncullah harmonisasi suara yang indah dan akhirnya melahirkan sebuah komposisi musik.11

Musik merupakan awal dan akhir alam semesta, sehingga musik juga berfungsi sebagai pengatur kehidupan. Dengan kebersihan jiwa dan ketajaman pikiran, manusia dapat menggunakan musik sebagai jalan untuk mencapai pendengaran spiritual yang paling tinggi. Seorang tokoh spiritual besar India, Hazrat Inayat Khan mengatakan:

Musik dalam bahasa sehari-hari hanyalah miniatur dari apa yang di balik itu, dan yang merupakan sumber dan asal hakikatnya. Karena itulah orang bijak di segala zaman menganggap musik sebagai sebuah kesenian yang sakral; karena di dalam musik penonton dapat melihat gambaran dari keseluruhan alam semesta, dan di dalam lingkup musik orang bijak bisa menginterpretasikan rahasia dan sifat dari karya seluruh alam.12

Masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Islam, juga tidak terlepas dari hal kesenian musik dan dunia keagamaannya. Dari sekian banyak kesenian yang ada di Indonesia, terdapat kesenian yang mendapat pengaruh dari agama Islam. Salah satu di antaranya yaitu kesenian hadrah. Hadrah merupakan kesenian musik Islam yang ditampilkan dengan iringan-iringan rebana sambil melantunkan syair-syair tentang pujian terhadap Allah dan Nabi Muhammad. Seni musik jenis ini dapat disebut sebagai musik sufi, karena terdapat elemen sentral yang menjadikan praktek spiritual di

11

Mazhab naturalism beranggapan bahwa kemampuan manusia untuk menciptakan musik merupakan fitrah sebagaimana fitrah manusia yang mampu melihat, mencium, mendengar dan berjalan. Muhaya, Bersufi Melalui, 26-27.

12


(14)

6

dalamnya, yakni terdapat ritual yang menggunakan suara manusia yang membacakan syair-syair yang ditujukan kepada Tuhan, Nabi Muhammad dan para wali.13

Salah satu jenis kesenian tersebut yang membumi di Indonesia khususnya Jawa Timur adalah seni hadrah al-Banjari14. Dalam prakteknya, memainkan seni hadrah al-Banjari dibagi atas dua kelompok, yaitu kelompok penabuh rebana/penerbang dan kelompok pelantun syair/vokal. Alat musik yang digunakan berupa rebana/hadrah al-Banjari yang biasa disebut dengan terbang. Perkembangan dunia musik di Indonesia juga turut serta mempengaruhi perkembangan kesenian hadrah al-Banjari ini. Pelantunan syair yang awalnya hanya sekedar melantunkan syair yang dilantunkan oleh seorang penyair, kemudian diikuti oleh penyair yang lainnya, kini dibubuhi dengan teknik harmonisasi suara (vocal harmony), yang mana dalam prakteknya para penyair menyuarakan nada-nada yang berbeda sehingga dengan bersatunya nada-nada tersebut akan menimbulkan kesan suara yang harmoni15.

13

Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, terj. Arif Anwar (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), 254.

14

Nama al-Banjari diambil dari nama kota di Kalimantan. Hal ini merujuk pada penisbatannya, yaitu, “al-Banjar(i)” alias Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Seni hadrah ini dipopulerkan oleh seorang ulama’ yang bernama Muhammad Zaini Abdul Ghani atau yang lebih dikenal dengan nama Guru Zaini (Guru Sekumpul) dari Martapura Banjarmasin, sehingga dari sanalah muncul anggapan bahwa hadrah tersebut bernama al-Banjari dari kota Banjarmasin. Terdapat juga anggapan bahwa nama al-al-Banjari dikarenakan saat memainkan seni hadrah tersebut dimainkan dengan formasi berbanjar-banjar. Jauhar Machrus, “Hadrah al-Banjari: Studi Tentang Kesenian Islam di Bangil” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014), 58.

15

Harmoni adalah cabang ilmu pengetahuan musik yang membahas dan membicarakan perihal keindahan komposisi musik. Harmoni memiliki arti keselarasan, dapat dikatakan juga bahwa harmoni adalah keselarasan antara nada yang satu dengan nada-nada yang lainnya yang memberikan nuansa yang estetis untuk indra pendengaran manusia. Harmoni juga masih erat hubungannnya dengan istilah akord dan progresi


(15)

7

Imam al-Ghazali memaparkan satu bab pembahasan khusus mengenai musik (sama‟) dalam bukunya Ihya‟ „Ulum al-Din, yang mana dalam penelitian ini menggunakan pembahasan tersebut sebagai landasan teori. Al-Ghazali menerangkan bahwa dalam mendengar musik terdapat tiga derajat tingkatan yang dilalui, yaitu:

a. Pemahaman, memamahimi apa yang didengar sesuai dengan yang dipahami oleh pendengar.

b. Perasaan, dari pemahaman yang telah diperoleh membuahkan perasaan. c. Perasaan membuahkan ekspresi.16

Tingkatan yang pertama yakni pemahaman. Pemahaman terhadap syair datang dari kata-kata yang ditempatkan oleh pendengar dalam keadaannya masing-masing, pemahaman pendengar tidak harus sama dengan apa yang dimaksud oleh penyair. Oleh karena itu dalam satu bait syair terdapat pemahaman yang berbeda-beda bagi para pendengar.

Tingkatan kedua adalah perasaan, tiap-tiap yang didapatkan dalam batin disebabkan mendengar adalah wajd (perasaan). Maka ketenangan, kegemetaran, ketakutan, dan kelembutan hati, semua itu adalah wajd.17 Menurut istilah golongan sufi, wajd merupakan keadaan-keadaan yang ketika mendengar nyanyian, baginya dapat mengobarkan dan menguatkan kerinduan dan cintanya, menggoncangkan ulu hatinya, dan dapat mengeluarkan keadaan-keadaan dalam dunia musik. Akord/chord adalah tiga nada atau lebih yang dibunyikan bersama, menghasilkan suara yang harmonis, berfungsi untuk mengembangkan harmoni musik. Pono Banoe, Kamus Musik (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 180

16

Imam al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin Jilid IV, terj. Moh Zuhri, dkk (Semarang: Asy-Syifa’, 2009), 306.

17


(16)

8

mukashafat (yang terbuka) dan mulat}afat (yang halus) yang tidak dapat disifatinya. Hanya orang merasakannya yang dapat mengetahuinya, dan hanya orang yang tumpul perasaannya yang menentangnya.18 Keadaan ini dapat dicapai dengan menggunakan dhawq (rasa)19.

Tingkatan yang ketiga adalah ekspresi (gerakan z}a>hir). Sebagian suara-suara dalam nyanyian ada yang menggembirakan, ada yang menyusahkan, ada yang menidurkan, ada yang menertawakan, ada yang mengasyikkan, dan ada yang dengan iramanya menimbulkan gerakan-gerakan dari anggota badan, seperti tangan, kaki, dan kepala.20 Hal tersebut bukan karena pemahaman terhadap makna semata, akan tetapi Allah memiliki suatu rahasia dalam kesesuaian suara-suara yang berirama pada makhluk yang bernyawa.21

Beranjak dari ketiga derajat tingkatan tersebut, penulis bermaksud mengkaji elemen-elemen yang tarkandung dalam musik selawat al-Banjari yang digunakan sebagai media atau sarana untuk mempertajam dhawq, yang pada prakteknya di Jawa Timur menggunakan syair berbahasa Arab dengan instrumen hanya berupa alat musik rebana.

18

Ibid, 283.

19

Dhawq sebagai cara serta sarana memperoleh pengetahuan bersifat intuitif (pengetahuan yang dianugerakan langsung oleh Allah lewat nur (cahaya) yang Allah hujamkan ke dalam sanubari) berbeda dengan menggunakan nalar. Amin Hasan, “Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep Intuisi dalamTasawuf al-Ghazali”, Jurnal at-Ta‟dib, Vol. 7 No. 2 (Desember, 2012.), 192.

20

Imam al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin Jilid IV, 272.

21

Imam al-Ghazali, Mutiara Ihya‟ Ulumuddin: Ringkasan yang Ditulis Sendiri oleh Sang Hujjatul Islam, 179.


(17)

9

B. Rumusan Masalah

1. Dapatkah selawat al-Banjari menjadi sarana mempertajam dhawq?

2. Apa saja elemen yang terkandung dalam musik selawat al-Banjari yang dapat menjadikannya sebagai sarana mempertajam dhawq?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dapatkah selawat al-Banjari menjadi sarana mempertajam dhawq.

2. Untuk mengetahui elemen yang terkandung dalam musik selawat al-Banjari yang dapat menjadikannya sebagai sarana mempertajam dhawq.

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan bermanfaat baik secara teoritis, praktis maupun secara akademis.

1. Secara Teoritis

Penelitian ini di samping sebagai selah satu upaya memenuhi tugas akhir dalam program strata satu (S-1) program studi Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, dan juga diharapkan mampu menambah keilmuan peneliti dalam bidang ilmu filsafat dan tasawuf secara mendalam.

2. Secara Praktis

Sebagai kontribusi ilmu pengetahuan, khususnya mengenai musik

selawat al-Banjari sebagai sarana mempertajam dhawq, dan bahan


(18)

10

3. Secara Akademis

Sebagai masukan dan pembendaharaan kepustakaan untuk

kepentingan ilmiah, selanjutnya dapat memberikan informasi atau gambaran bagi peneliti lainnya mengenai musik selawat al-Banjari, dhawq dan sama’.

E. Penegasan Judul

Judul skripsi ini tersusun dari beberapa istilah yang pengertian-pengertiannya perlu didefinisikan untuk menjadi pedoman dan menghindari kerancuan dalam pembahasan lebih lanjut.

Pertama, “musik selawat al-Banjari”, merupakan kesenian musik Islam yang ditampilkan dengan iringan-iringan rebana sambil melantunkan syair-syair tentang pujian terhadap Allah dan Nabi Muhammad. Al-Banjari merupakan salah satu dari jenis hadrah, seperti hadrah al-Banjari, hadrah ISHARI, hadrah Samrah. Begitu juga alatnya yang disebut dengan terbang memiliki julukan masing-masing sesuai dengan nama hadrah tersebut.

Kedua, Dhawq, dalam pengertian sederhana, al-Ghazali mengartikan dhawq sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan menggunakan pendekatan rasa dengan alat qalb (hati nurani).22

Ketiga, elemen-elemen musik al-Banjari di Sidoarjo”, merupakan elemen-elemen yang terkandung dalam musik selawat al-Banjari dalam lingkup penelitian Kabupaten Sidoarjo.

22

M. Amin Syukur dan H. Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghazali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 168.


(19)

11

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.23 Dalam penelitian kualitatif, data yang diperoleh tidak dapat dituangkan dalam bentuk bilangan atau angka statistik, peneliti memaparkan gambaran mengenai hasil yang diteliti dalam bentuk naratif untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang terdapat pada objek penelitian. Dalam hal ini, yang menjadi objek penelitian adalah musik selawat al-Banjari bagi aktivis selawat yang berada di lingkup Kabupaten Sidoarjo. Peneliti memfokuskan penelitian ini pada musik selawat al-Banjari sebagai media atau sarana mempertajam dhawq, yang merupakan sebuah rumusan masalah penelitian ini. Penggunaan metode penelitian kualitatif merupakan cara untuk membedah materi penelitian yang mengacu kepada tujuan penelitian yang telah dipaparkan.

2. Lokasi dan Sasaran Penelitian

Dalam hal ini berisikan tentang lokasi yang akan digunakan sebagai penelitian dan sasaran yang akan ditentukan dalam penelitian.

23

Totok Sumaryanto, Metodologi Penelitian 2 (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2010), 74.


(20)

12

a. Lokasi Penelitian.

Lokasi penelitian adalah tempat penelitian dilaksanakan. Penentuan lokasi ditujukan untuk memperjelas objek yang dijadikan sasaran penelitian. Penelitian ini dilakukan di tempat-tempat yang menjadi aktivitas selawat al-Banjari dalam lingkup Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur.

b. Sasaran Penelitian.

Sasaran penelitian dibagi menjadi dua, yaitu subjek penelitian dan objek penelitian.

1) Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah orang yang mengetahui, berkaitan langsung, dan menjadi pelaku dari suatu kegiatan yang diharapkan dapat memberi informasi secara jelas dan tepat. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan pada tujuan penelitian. Subjek penelitian ini adalah aktivis dan tokoh yang berpengaruh dalam musik selawat al-Banjari yang berada dalam lingkup Kabupaten Sidoarjo, yang dipilih berdasarkan permasalahan pada tujuan penelitian.

2) Objek Penelitian

Objek penelitian yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah elemen-elemen yang terkandung dalam musik selawat al-Banjari. 3. Sumber Data

Menurut Sumaryanto, sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan. Selebihnya merupakan data tambahan, seperti


(21)

13

dokumen dan foto-foto. Dalam penelitian ini, sumber data dibagi atas dua bagian, yaitu sumber data primer dan data sekunder.24

Data primer merupakan data yang diperoleh dari hasil wawancara secara langsung terhadap aktivis dan orang-ornga yang berpengaruh dalam dunia musik selawat al-Banjari yang berada di lingkup Kabupaten Sidoarjo. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil dokumentasi dan sumber tertulis/dokumen dari buku/majalah ilmiah, arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi yang berkaitan dengan musik selawat al-Banjari.

4. Teknik Pengumpulan Data

Tujuan dari pengumpulan data adalah untuk memperoleh data yang relevan, akurat, dan reliabel yang berkaitan dengan penelitian. Jadi, pengumpulan data pada suatu penelitian dimaksudkan untuk memperoleh bahan-bahan, keterangan, dan informasi yang benar serta dapat dipercaya untuk dijadikan data. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi, teknik wawancara, dan teknik studi dokumen.

a. Teknik Observasi.

Menurut Margono, observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap objek

24


(22)

14

ketika terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observasi berada bersama objek yang diselidiki, disebut observasi langsung.25

Observasi adalah pengamatan langsung pada objek yang akan diteliti.26 Bogdan dan Tylor menjelaskan bahwa tujuan observasi adalah untuk membuktikan atau mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di lapangan sehingga peneliti mendapatkan pemahaman terhadap informasi yang diperoleh sebelumnya. Pengamatan/observasi dapat diklasifikasikan menjadi pengamatan melalui cara berperan serta (participant observation) dan tidak berperan serta.27

Peneliti menggunakan pengamatan/observasi dengan klasifikasi pengamatan melalui cara tidak berperan serta dengan menggunakan pedoman observasi yang sudah dibuat. Dalam penelitian ini, peneliti mengobservasi: (1) Komposisi musik selawat al-Banjari, (2) Alat musik yang digunakan dalam musik selawat al-Banjari, (3) Pelaku musik selawat al-Banjari.

b. Teknik Wawancara.

Wawancara (interview) adalah suatu cara yang digunakan untuk mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan langsung dengan seorang informan atau seorang autoritas (seorang ahli atau seorang yang berwenang dalam suatu masalah).28

25

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), 158.

26

Gorys Keraf, Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa (Flores: Nusa Indah, 1994), 162.

27

Sumaryanto, Metodologi Penelitian, 99.

28


(23)

15

Moleong menjelaskan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan pewawancara.29

Dalam penelitian ini, menggunakan jenis wawancara yang dikemukakan oleh Patton, yaitu pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara, yang mengharuskan pewawancara membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang ditanyakan dalam proses wawancara.30 Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan kepada aktivis dan orang-orang yang berpengaruh dalam dunia musik selawat al-Banjari.

c. Teknik Studi Dokumen.

Teknik studi dokumen merupakan cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil, atau hukum-hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian.31

Studi dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar, hasil karya, maupun dokumen-dokumen bentuk elektronika. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian yang

29

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remadja Karya, 1989), 148.

30

Ibid, 149.

31


(24)

16

sistematis, padu dan utuh. Jadi studi dokumentasi tidak sekedar mengumpulkan dan menuliskan atau melaporkan dalam bentuk kutipan-kutipan tentang sejumlah dokumen yang dilaporkan dalam penelitian, tetapi merupakan hasil analisis terhadap dokumen-dokumen tersebut.

Teknik ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder guna melengkapi data yang belum diperoleh melalui teknik observasi dan wawancara. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari responden melalui wawancara, sedangkan data sekunder adalah data yang digunakan untuk membantu menyelesaikan data primer yang berupa arsip-arsip dan dokumentasi dari instansi-instansi terkait, maupun dokumentasi yang dibuat sendiri.

5. Teknik Keabsahan Data

Teknik keabsahan data digunakan bertujuan untuk membuktikan hasil temuan di lapangan dengan fakta yang diteliti di lapangan untuk menjamin validitas data temuan di lapangan. Lincoln dan Guba menyarankan empat macam kriteria keabsahan data kualitatif, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (trasferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kriteria derajat kepercayaan (credibility), dan teknik pemeriksaan triangulasi, triangulasi dengan sumber.32

Kriteria derajat kepercayaan menuntut suatu penelitian kualitatif agar dapat dipercaya oleh pembaca yang kritis dan dapat dibuktikan oleh

32


(25)

17

orang yang menyediakan informasi yang dikumpulkan selama penelitian berlangsung. Menurut Sumaryanto, terdapat 7 teknik yang dapat digunakan oleh peneliti untuk memastikan derajat kepercayaan dari data kualitatif yang diperoleh, yaitu perpanjangan keikutsertaan (prolonged engagement), ketekunan pengamatan (persistent observation), triangulasi, pemeriksaan sejawat (peer dibriefing), analisis kasus negatif, pengecekan kecukupan referensi (referencial adequacy checks), dan pengecekan anggota (member checking).33

Triangulasi berarti verifikasi penemuan melalui informasi dari berbagai sumber, menggunakan multi metode dalam pengumpulan data, dan sering juga oleh beberapa peneliti.34 Triangulasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu triangulasi sumber, triangulasi metode, dan triangulasi data.

Menurut Patton, triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek baik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. Hal itu dapat dicapai dengan jalan: (1) Membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara, (2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, (3) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatannya sepanjang waktu, (4) membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang

33

Ibid, 112.

34


(26)

18

pemerintahan, dan (5) membandingkan wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.35

6. Teknik Penentuan Informan

Teknik penetuan informan dalam penelitia ini menggunakan teknik purposive, yakni menentukan informan dengan beberapa pertimbangan dengan kriteria-kriteria yang sesuai bedasarkan tujuan penelitian. Penelitian ini juga meenggunakan teknik snowball, yang mana dalam teknik ini berawal dari data dari satu informan dan data dari informan yang lain, sehingga terkumpul data-data yang saling terkait dan melengkapi. Terkumpulnya data-data tersebut diharapkan dapat menghasilkan data yang akurat. Ibarat bola salju yang menggelinding semakin lama semakin besar. 7. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.36 Proses pengolahan data dimulai dengan mengelompokkan data-data yang terkumpul melalui observasi, wawancara, dokumentasi, dan catatan yang dianggap dapat menunjang dalam penelitian ini untuk diklarifikasikan dan dianalisis berdasarkan kepentingan penelitian. Hasil analisis data tersebut selanjutnya disusun dalam bentuk laporan dengan teknik deskriptif analisis yaitu dengan cara mendeskripsikan keterangan-keterangan atau data-data yang telah terkumpul dan dianalisis berdasarkan teori-teori yang ada. Menurut

35

Moleong, Metodologi Penelitian, 195.

36


(27)

19

Miles dan Huberman, analisis data terdiri atas tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.37

a. Reduksi Data.

Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data

“kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

b. Penyajian Data.

Penyajian adalah sekumpulan informasi yang tersusun dan memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif adalah bentuk teks naratif yang merupakan penyederhanaan dari informasi yang banyak jumlahnya ke dalam kesatuan bentuk yang disederhanakan. c. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi.

Penarikan kesimpulan ini sangat penting, sebab dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat serta preposisi.

37


(28)

20

G. Telaah Pustaka

Dari hasil amatan penulis, skripsi yang ditemukan dalam bidang seputar seni musik hadrah di antaranya adalah:

“Pengaruh Dakwah Lewat Media Seni Hadrah dalam Meningkatkan Ukhuwwah Islamiyah Masyarakat Desa Cengkok Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk”, ditulis oleh Nurul Huda, Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) pada tahun 1995.

“Kesenian Hadrah sebagai Media Dakwah Islam pada Masyarakat Petani di Desa Rasabdu Kec. Bolo Kab. Bima Busa Tenggara Barat”, ditulis oleh Irfan,

Skema Analisis Data Kualitatif (Miles dan Huberman) (Sumaryanto, 2010: 106)


(29)

21

Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) pada tahun 1996.

“Kesenian Hadrah sebagai Media Dakwah pada Masyarakat Islam di Kelurahan Rangkah Kecamatan Tambaksari Kota Surabaya”, ditulis oleh Yusuf Efendi, Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) pada tahun 2001.

“Pengaruh Kegiatan Seni Hadrah terhadap Perilaku Keagamaan Remaja di Desa Tambakberas Kecamatan Cerme Gresik”, ditulis oleh Anik Rahmawati, Fakultas Tarbiyah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) pada tahun 2001.

“Seni Hadrah al-Banjari Modern Kembang Turi sebagai Media Dakwah di Kalangan Remaja Kelurahan Gedangan kecamatan Porong Kabupaten Sidoarjo”, ditulis oleh Susi Puji Astutik, Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) pada tahun 2003.

“Analisis Semiotika dalam Gerakan Dasar Seni Hadrah: Studi pada Kelompok Seni Hadrah ISHARI Surabaya”, ditulis oleh Aria Ulul Azmi, Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) pada tahun 2009.

“Penerapan Word of Mouth sebagai Dampak Pemasaran di Jam’iyyah

Selawat al-Banjari Kun Fayakun Sidoarjo”, ditulis oleh M. Abd Karim

Amiruddin, Fakultas Dakwah, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) pada tahun 2011. Skripsi ini


(30)

22

berisi tentang benteuk pemasaran yang ada di Jam’iyyah Selawat al-Banjari Kun Fayakun Sidoarjo.

”Bentuk Pertunjukan Grup Musik Rebana Modern al-Badriyyah di Desa

Gandrirojo Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang”, ditulis oleh Facryzall Fahrur, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada tahun 2011. Skripsi ini berisi tentang diskripsi bentuk pertunjukan grup musik rebana modern al-Badriyyah yang berada di Desa Gandrirojo Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang.

“Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Kesenian Hadrah di MAN

Wonokromo, Pleret, Bantul”, ditulis oleh Andhika Abrian Saputra, Fakultas Tarbiayah dan Keguruan Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga pada tahun 2012. Skripsi ini berisi tentang nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam kesenian hadrah yang menjadi salah satu kegiatan yang ada di MAN desa Wonokromo, kecamatan Pleret, kabupaten Bantul.

“Hadrah sebagai Instrumen BKI dalam Menangani Seorang Remaja yang Sulit Mengontrol Emosinya”, ditulis oleh Dhoiful Ma’ali, Fakultas Dakwah Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel pada tahun 2014.

“Hadrah al-Banjari: Studi tentang Kesenian Islam di Bangil”, ditulis oleh Jauhar Machrus, Fakultas Adab, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) pada tahun 2014. Skripsi ini berisi tentang penelitian sejarah dan keberadaan hadrah al-Banjari yang telah menjadi salah satu kebudayaan yang ada di daerah Bangil, Pasuruan.


(31)

23

“Musik Hadroh Nurul Ikhwan di Kabupaten Pemalang: Kajian Aransemen dan Analisis Musik”, ditulis oleh Bagus Nirwanto, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada tahun 2015. Skripsi ini berisi tentang penelitian lagu-lagu grup hadrah Nurul Ikhwan yang dikaji dengan aransemen dan analisis musik.

Selain skripsi, penulis juga menemukan jurnal dalam bidang seputar seni musik hadrah yaitu:

Jurnal “Humaniora Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, vol. VII No. 3/September – Desember 2006”, terdapat judul “Fungsi dan Ciri Khas Kesenian Rebana di Pantura Jawa Tengah” yang ditulis oleh Syahru Syah Sinaga, Staf Pengajar Jurusan Sendratasik FBS, Universitas Negeri Semarang yang berisi tentang fungsi dan ciri khas kesenian rebana yang ada di Pantura Jawa Tengah.

Di samping skripsi yang membicarakan seputar seni musik hadrah, penulis juga menelusuri skripsi yang mengandung pembahasan unsur musik dan tasawuf (musik sufi), di antaranya adalah:

“Musik sebagai Sarana Sufi untuk Mendekatkan Diri Kepada Allah SWT dalam Pemikiran Hazrat Inayat Khan”, ditulis oleh M. Taajuddin Muslim, Fakultas Ushuluddin, Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel (sekarang Universitas Islam Negeri Sunan Ampel) pada tahun 2006.

“Dimensi Musik dalam Islam Pemikiran Hazrat Inayat Khan”, ditulis oleh Ali Kemal, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah pada tahun 2010.


(32)

24

“Musik dan Agama (Studi atas Musik (Sama’) Tarekat Maulawiyah dalam Tradisi Tasawuf)”, ditulis oleh Arif Setiawan, Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga pada tahun 2016. Skripsi ini berisi tentang penggunaan musik (sama‟) dalam tradisi tasawuf dan praktik sama‟ tersebut dalam Tarekat Maulawiyah yang didirikan oleh Jalaluddin Rumi, yang mana sama‟ merupakan ciri menonjol dari tarekat tersebut.

Perbedaan kajian penulis dan kajian yang terdahulu terdapat pada titik fokus kajiannya meskipun objek yang dikaji adalah sama, yakni hadrah al-Banjari. Jika kajian terdahulu lebih banyak terfokus pada al-Banjari sebagai media dakwah. Maka kajian penulis terfokus pada makna yang terkandung dalam musik

selawat al-Banjari dan sarana dalam mempertajam rasa (dhawq) dalam lingkup

penelitian aktivis dan orang-orang yang berpengaruh dalam hadrah al-Banjari di Sidoarjo.

H. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika penulisan yang digunakan dalam skipsi ini adalah sebagai berikut:

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penegasan judul, metode penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika pembahasan. Metode penelitian berisikan jenis penelitian, lokasi dan sasaran penelitian, sumber data, tehnik pengumpulan data, teknik keabsahan data, teknik penentuan informan dan teknik analisis data.


(33)

25

Bab kedua berisi tentang landasan teori. Pada bab ini akan diuraikan tentang landasan teori tentang musik, musik dalam Islam, dan kesenian musik hadrah al-Banjari,

Bab ketiga berisi tentang hasil penelitian, memuat data-data yang diperoleh dari lapangan yang diperoleh dari aktivis dan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam musik selawat al-Banjari di lingkup Kabupaten Sidoarjo.

Bab keempat yakni analisis data, yang berisikan tentang musik selawat al-Banjari sebagai sarana mempertajam dhawq dan elemen yang terkandung dalam musik selawat al-Banjari.

Bab kelima berisi penutup yang di dalamnya terdapat kesimpulan dan saran penulis. Dengan harapan pada penyampaian akhir dari data-data yang telah ditemukan pada bab-bab sebelumnya dapat menjawab fokus kajian yang telah ditentukan dalam penelitian ini.


(34)

26

BAB II

MUSIK (SAMA’), SELAWAT AL-BANJARI DAN KABUPATEN SIDOARJO

A. Musik

1. Musik secara Umum

Musik adalah suatu karya bunyi dalam bentuk lagu atau komposisi yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penciptanya melalui unsur-unsur musik (irama, melodi, harmoni, bentuk struktur, dan ekspresi), sebagai suatu kesatuan.1 Musik juga dapat dikatakan sebagai ungkapan batin yang dinyatakan dengan irama nada yang melodis.2 Dari dua pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa musik sebagai suatu karya bunyi dalam bentuk lagu yang merupakan bentuk batin, hasil tafsir pribadi atau kelompok seniman, malalui unsur-unsur musik (irama, meloidi, harmoni, bentuk struktur dan ekspresi).

Budilinggo berpandangan bahwa musik adalah perwujudan ide-ide atau emosi-emosi yang tidak hanya tersusun atas nada, ritme, tempo, dinamik, warna suara, dan unsur-unsur lainnya. Bahkan ia berkeyakinan bahwa keberadaan musik sendiri pada akhirnya memiliki suatu makna.3 Sehingga

1

Jamalus, Pengejaran Seni Musik Melalui Pengalaman Musik (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), 1-2.

2

Suwaji Bastomi, Seni Rupa dalam Pergelaran Tari (Semarang: Dewi. 1985), 42.

3

I. Budilinggono, Bentuk dan Analisis Musik (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1993), 1.


(35)

27

musik dapat diketahui dari suatu paduan suara atau juga yang terdiri dari susunan nada yang diatur oleh ritme, tempo, warna suara dan sebagainya.

Dalam suatu karya musik, terdapat hal-hal yang mendukung seperti komposisi musik, pencipta, pengaransir, pemain itu sendiri sehingga terbentuklah suatu jenis karya musik. Dalam komposisi musik, terdapat unsur-unsur musikal pembentuk suatu karya musik. Unsur-unsur yang ada dalam suatu karya musik, di antaranya adalah:

a. Melodi

Melodi merupakan rangkaian nada-nada, biasanya terkait dalam tinggi rendah dan panjang pendeknya nada.4 Jamalus berpendapat bahwa melodi adalah suatu rangkaian nada (bunyi dengan getaran teratur) yang terdengar berurutan dan berirama, serta mengungkapkan suatu gagasan.5 b. Irama/Ritme

Irama merupakan unsur yang paling dasar dalam musik. Pengertian irama/ritme menurut Joseph adalah unsur pokok musik yang terbentuk dari sekelompok bunyi dan diam dengan panjang pendek yang berbeda lama waktunya. Secara singkat irama adalah pola panjang pendek bunyi dalam lagu. Menurut Sumaryo, irama secara populer adalah unsur-unsur dalam musik sebagai pembagian berlangsungnya waktu yang memberi pernyataan hidup kepada musik, irama membuat musik terasa mempunyai

4

Hugh M. Miller, Apresiasi Musik (Yogyakarta: Yayasan Lentera Budaya, 2001), 33.

5


(36)

28

gerak.6 Irama/ritme dapat juga dikatakan sebagai ritmis, ritme adalah istilah dalam dunia musik yang berarti sebagai suara yang mempunyai pola tertentu dan mempunyai satuan lama pendek suara yang berbeda antara satu dengan yang lainya dan merupakan bagian dalam suatu unsur komposisi dalam suatu karya musik.

c. Birama

Berkaitan dengan irama, muncul istilah tanda birama atau time signature atau metrum. Pengertian tanda birama adalah tanda pada permulaan notasi musik setelah tanda kunci yang menunjukkan banyak pulsa dan satuan ketukan setiap birama.7 Pada umumnya tanda birama berupa angka pecahan, pembilang menunjukkan banyak notasi dalam setiap birama, dan penyebut menunjukkan satuan not setiap birama. Berikut contoh tanda birama beserta penjelasannya: 4/4 artinya ada 4 ketuk dalam tiap bar, dan not 1/4 dihitung sebagai satu ketuk. 3/4 artinya ada 3 ketuk dalam tiap bar, dan not 1/4 dihitung sebagai satu ketuk. 2/4 artinya ada 2 ketuk dalam tiap bar, dan not 1/4 dihitung sebagai satu ketuk.

d. Harmoni

Harmoni adalah cabang ilmu pengetahuan musik yang membahas dan membicarakan perihal keindahan komposisi musik.8 Harmoni adalah keselarasan atau keserasian dari bagian lagu. Harmoni sebagai gabungan beberapa nada yang dibunyikan serempak atau arpeggio (berurutan) walau

6

W. Joseph, Teori Musik 1 (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2005), 52.

7

Ibid, 38.

8


(37)

29

tinggi rendah nada tersebut berbeda, tetapi menimbulkan keselarasan bunyi dan merupakan kesatuan yang bulat. Harmoni adalah keselarasan bunyi yang berupa gabungan dua nada atau lebih yang berbeda tinggi rendahnya.9

Istilah akord/chord juga berkaitan erat dengan harmoni. Akord/chord adalah bunyi gabungan dari tiga nada yang berbentuk dari salah satu nada dengan nada terts dan kwint-nya yang berada di atas atau di bawahnya, atau dikatakan juga tersusun.

Sedangkan menurut Miller, harmoni merupakan elemen musikal didasarkan atas penggabungan suara simultan dari nada-nada. Jika melodi adalah sebuah konsep horizontal, harmoni adalah konsep vertikal. Harmoni memiliki elemen nada interval dan akor. Interval merupakan jarak yang terdapat di antara dua nada, sedangkan akord adalah susunan tiga nada atau lebih yang apabila dibunyikan secara serentak terdengar enak dan harmonis.10

e. Tempo

Joseph mendefinisikan tempo sebagai tingkat kecepatan suatu lagu dengan perubahan kecepatannya dalam musik. Sedangkan tanda yang menyatakan kecepatan lagu dilaksanakan disebut tanda tempo. Alat untuk mengukur tempo disebut Metronome Maelzel disingkat MM. MM merupakan satuan untuk kecepatan tempo. Tempo merupakan istilah dalam musik yang mempunyai arti secara terminologis sebagai

9

Jamalus, Pengejaran Seni, 30.

10


(38)

30

waktu/masa. Jadi tempo adalah isitilah hitungan untuk cepat/lambatnya suatu musik dimainkan.11

f. Dinamik

Joseph mengungkapkan bahwa dinamik adalah tingkat kuat lembut suatu lagu dengan perubahan kuat lembutnya dalam musik. Secara terminologis, dinamik dapat berarti tenaga ataupun semangat, maka dalam dunia musik istilah dinamik berarti penegas keras lembutnya suatu nada/ritmis dimainkan.12

g. Timbre/warna suara

Menurut Jamalus, ciri khas bunyi yang terdengar bermacam-macam, yang dihasikan oleh bahan sumber bunyi yang berbeda-beda, dan cara memproduksi nada yang bermacam-macam pula disebut warna nada atau timbre.13Timbre/warna suara dapat dibedakan dengan ragam alat dan pembuatannya. Timbre/warna suara/warna bunyi/warna nada merupakan ciri atau karakteristik model/jenis suara yang dimiliki oleh sumber suara tertentu seperti alat musik ataupun pita suara manusia.14

h. Tangga Nada

Menurut Joseph, urutan nada-nada berbeda dari rendah ke tinggi atau sebaliknya dengan susunan interval tertentu disebut tangga nada atau scale. Dapat diartikan juga bahwa tangga nada adalah nada-nada yang

11

W. Joseph, Teori Musik 2 (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2009), 59.

12

Ibid, 62.

13

Ibid, 63.

14


(39)

31

berurutan yang mempunyai susunan interval tertentu yang dipakai sebagai salah satu unsur komposisi dalam suatu karya musik.15

i. Ekspresi

Ekspresi dalam musik adalah ungkapan pikiran, dan pikiran manusia adalah yang mencakup semua nuansa dari tempo, dinamik, dan warna nada dari unsur pokok musik, dalam pengelompokan frase (phrasring) yang diwujudkan oleh seniman musik atau penyanyi yang disampaikan kepada pendengarnya.16 Unsur-unsur ekspresi dalam musik adalah tempo atau tingkat kecepatan musik, dinamik atau tingkat volume suara dan warna nada tergantung dari bahan sumber suara, serta gaya memproduksi nada. Elemen dinamik merupakan aspek yang paling menonjol dalam ekspresi musikal yang juga mencakup nuansa-nuansa dalam tempo, pemenggalan frase, aksen dan faktor-faktor yang lain. Dinamik memberikan peranan yang besar dalam menciptakan ketegangan di dalam musik.

j. Poliphone dan homophone

Suatu komposisi dikatakan berbentuk poliphone apabila semua bagian suara dibunyikan dan sama peranannya (sebagai suara dalam berbagai perbedaan nada). Gaya musik poliphone pada zamannya disusun secara susul dan bersahut-sahut antara suara satu dengan yang lainnya

15

Joseph, Teori Musik 1, 66.

16


(40)

32

masing-masing suara memainkan melodi sendiri-sendiri. Sedangkan homophone adalah paduan suara dalam jalur nada (melodi) yang sama.17

Dalam musik selawat al-Banjari juga pasti terdapat semua unsur tersebut, karena tanpa semua unsur tersebut tidak mungkin tercipta suatu karya musik.

2. Musik dalam Islam (Sama’)

Musik dapat digunakan manusia untuk berbagai macam tujuan. Baik sekedar sebagai hiburan, kebutuhan ekonomi, hingga pada tujuan untuk mendekatkan manusia kepada Tuhan. Bahkan ada juga orang menggunakan musik untuk pemenuhan hawa nafsu yang menyebabkan manusia lupa akan dirinya sebagai makhluk Tuhan, dan hal inilah yang mengundang permasalahan dalam masyarakat muslim.

Para Ulama yang menyatakan haramnya bermain musik, mereka menganggap bahwa musik merupakan sesuatu hal yang tidak memiliki manfaat. Dalam hal ini, mereka bersandar pada firman Allah:

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna.”18

Ibnu Mas’ud ra, menegaskan bahwa, “perkataan yang tidak berguna adalah nyanyian.”19

17

Joko Raharjo, “Eksistensi Seni Musik Barzanzi di Kauman Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, 1996), 53.

18

Q.S. Luqman: 6

19


(41)

33

Akan tetapi, musik juga dapat digunakan sebagai salah satu alat media dakwah yang mudah, hal ini terjadi karena musik dengan irama dan nada dapat mudah diserap oleh pendengar ataupun penikmat musik itu sendiri. Selain itu, pada dasarnya menikmati musik juga merupakan naluri manusia, menyukai hal-hal indah, dan menyenangkan merupakan sebuah kewajaran. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi

Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”20

Terlebih itu, musik juga dapat berperan sebagai sarana spiritual bagi seseorang atau komunitas yang menggunakannya, seperti yang dilakukan tarekat Malawiyyah, dan tarekat Chishtiyyah. Sayyed Hoessein Nasr berpandangan bahwa musik religius ini (yang berada dalam tarekat sufi tersebut), dimensi esoteris agama yang lebih kuat dibandingkan dari pada dimensi eksoterisnya.21 Baik itu dalam pengahayatan terhadap lirik ataupun syair, lalu juga irama lagunya. Sebagai contoh dapat diambil seperti; para sufi

20

Q.S. al-Imron: 14

21

Sayyed Hoesein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam (Bandung: Mizan, 1993), 166.


(42)

34

yang mengambil seni musik sebagai penggugah kesadaran mereka sendiri. Jalal al-Din Rumi merupakan seorang sufi yang mengubah bakat musik atau lagu yang dimilikinya sebagai sarana untuk mengungkapkan kerinduan yang sangat mendalam terhadap Tuhan.22

Dalam musik, memang terdapat hal-hal yang sangat berpengaruh dan mudah dalam pemberian kelezatan dan kesan bagi pendengarnya. Hal ini disebabkan karena:

a. Nyanyian yang berirama itu dikuatkan dengan keselarasan bunyi lain yang berirama selain suara manusia, seperti memukul kentongan, rebana dan lainnya, karena sesungguhnya perasaan yang lemah tidak dapat dikobarkan selain dengan sebab yang kuat dan hanya menjadi kuat dengan berkumpulnya semua sebab, dan masing-masing sebab dari beberapa sebab-sebab itu mempunyai bagian dalam pemberian kesan.23 b. Syair yang berirama itu berbeda-beda kesannya dalam jiwa dengan

nyanyian-nyanyian yang dinamakan t}uru>q (jalan suara yang menurut semestinya) dan dustanant (lagu yang tidak teratur). Dalam hal ini yang dimaksud jalan yang berbeda-beda adalah dengan memanjangkan yang dibaca pendek, memendekkan yang dibaca panjang, berhenti pada tengah kalimat, memutus dan menyambung pada sebagian kalimat.24

22

Ibid

23 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Jilid IV, 347. 24


(43)

35

c. Perkataan yang berirama/syair itu membekas di jiwa. Maka suara yang berirama dan merdu tidak seperti suara yang merdu yang tidak berirama. Dan sesungguhnya irama itu hanya ditemukan pada syair.25

Menurut al-Ghazali, dalam mendengar musik terdapat tiga derajat tingkatan, yaitu:

a. Pemahaman, memamahimi apa yang didengar sesuai dengan yang dipahami oleh pendengar.

b. Perasaan, dari pemahaman yang telah diperoleh membuahkan perasaan. c. Perasaan membuahkan ekspresi.26

Tingkatan yang pertama yakni pemahaman. Pemahaman terhadap syair datang dari kata-kata yang ditempatkan oleh pendengar dalam keadaannya masing-masing, pemahan pendengar tidak harus sama dengan apa yang dimaksud oleh penyair. Oleh karena itu dalam satu bait syair terdapat pemahaman yang berbeda-beda bagi para pendengar. Al-Ghazali memaparkan bahwa terdapat beberapa keadaan pendengar, di antaranya adalah:

a. Mendengarkan musik sebagai tabiat. Artinya hanya menikmati kelezatan musik semata dengan maksud mencari kesenangan hati atau menghibur diri.

b. Mendengar musik dan memahami syairnya, tetapi menempatkannya pada bentuk makhluk. Contohnya seperti para pemuda yang melihat hiburan karena penyanyinya cantik dan merangsang nafsu syahwat.

25

Ibid.

26


(44)

36

Mereka senang melihat penyanyi dan senang karena suara dan lagunya, yang mana hal sedemikian ini merupakan suatu kehinaan.

c. Mendengarkan musik menurut keadaan dirinya sendiri dan

hubungannya dengan Allah. Terkadang merasakan ketenangan batin terkadang terhalang. Keadaan ini memiliki banyak jalan untuk menempatkan kata-kata yang terdapat dalam syair sesuai dengan keadaannya maisng-masing. Tidak harus sama dengan apa yang dimaksud oleh penyair. Karena tiap-tiap perkataan memiliki beberapa segi dan setiap orang mempunyai pemahaman masing-masing untuk mengambil pengertian atau pemahaman dari kata-kata tersebut.27

d. Mendengarkan musik hingga samar tentang memahami segala sesuatu salain Allah hingga samar tentang dirinya sendiri. Kaum sufi mengibaratkan bahwa ini adalah keadaan fana’ (hilang) dari dirinya sendiri, maka lebih hilang dari dari lainnya.28

Tingkatan kedua adalah perasaan, tiap-tiap yang didapatkan dalam batin disebabkan mendengar adalah wajd (perasaan). Maka ketenangan, kegemetaran, ketakutan, dan kelembutan hati, semua itu adalah wajd.29 Al-wajd merupakan kata yang digunakan untuk menyebutkan suatu keadaan yang dihasilkan oleh pendengaran dan ia mendatangkan kebenaran yang baru sesudah pendengaran yang diperoleh oleh pendengar.30 Menurut istilah golongan sufi, wajd (perasaan) merupakan keadaan-keadaan yang ketika

27

Gitamedia Press, Ringkasan Ihya’ Ulumuddin Imam Al Ghazali (Surabaya, Gitamedia Press, 2003), 169-170.

28

Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Jilid IV, 316.

29

Ibid, 333.

30


(45)

37

mendengar nyanyian, dapat mengobarkan dan menguatkan kerinduan dan cintanya, menggoncangkan ulu hatinya, dan dapat mengeluarkan keadaan-keadaan mukashafat (yang terbuka) dan mulat}afat (yang halus) yang tidak dapat disifatinya. Hanya orang merasakannya yang dapat mengetahuinya, dan hanya orang yang tumpul perasaannya yang menentangnya.31 Keadaan ini dapat dicapai dengan menggunakan dhawq (rasa), dengan memahami makna dari syair-syair dalam musik yang diletakkan dalam keadaan tiap-tiap pendengar.

Terkadang wajd (hadirnya rasa) kuat dalam batin, namun tidak nampak dalam bentuk z}ahir. Hal ini dikarenakan kuatnya orang tersebut mengendalikan wajd. Terkadang juga tidak nampaknya hal tersebut dikarenakan lemahnya rasa yang hadir.32

Tingkatan yang ketiga adalah ekspresi (gerakan z}ahi>r). Sebagian suara-suara dalam nyanyian ada yang menggembirakan, ada yang menyusahkan, ada yang menidurkan, ada yang menertawakan, ada yang mengasyikkan, dan ada yang dengan iramanya menimbulkan gerakan-gerakan dari anggota badan, seperti tangan, kaki, dan kepala.33 Hal tersebut bukan karena pemahaman terhadap makna semata, akan tetapi Allah memiliki suatu rahasia dalam kesesuaian suara-suara yang berirama pada makhluk yang bernyawa.34

31

Ibid, 283.

32

Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin Jilid IV, 323.

33

Ibid, 272.

34


(46)

38

Al-Ghazali juga mengungkapkan mengenai adab dalam mendengar nyanyian, baik lahir maupun batin, perasaan yang terpuji maupun tercela, ada beberapa hal yang harus diperhatikan35:

a. Menjaga jaman, al-Junaid berkata, “Mendengar nyanyian itu dibutuhkan tiga perkara yaitu, jaman, tempat dan teman-teman.” Jaman yang dimaksud oleh al-Junaid adalah saat kesibukan diri dalam mendengarkan musik, apakah musik tersebut didengar seperti ketika makan, shalat dan hal lain. Karena musik sehingga seseorag lupa makan atau lupa waktunya shalat. Hal ini sangat tidak dibenarkan

b. Kemudian juga tempat, yang dimaksud adalah di mana ketika menikmati musik apakah di jalan raya atau di dekat pasar, atau di tempat-tempat maksiat.

c. Adapun teman-teman yang dimaksud adalah dengan siapa saat mendengarkan musik, dengan teman-teman yang fasiq atau seiman. d. Hendaknya juga memperhatikan orag-orang yang hadir. Jika di tempat

tersebut terdapat orang-orang yang jika mendengarkan musik membahayakan jiwanya, maka sebaiknya mereka disibukkan dengan kesibukan lain. Halnya orag awam yang mudah tenggelam dalam kesenangan dan khayalan atas syair-syair yang didengarnya.

35


(47)

39

B. Selawat al-Banjari

Hadrah dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah musik terbangan (rebana). Seiring dengan perkembangannya, seni musik ini sering kita jumpai pada acara-acara keagamaan seperti pada acara maulid Nabi Muhammad, acara Isra' mi'raj, haul serta sebagai pengiring dalam kajian-kajian keislaman.36Hadrah dari segi bahasa diambil dari kata )رضح( yang berarti kehadiran. Tapi dalam pengertian istilahnya adalah sebuah alat musik sejenis rebana yang digunakan untuk acara-acara keagamaan.37

Di Jawa Timur, terdapat bermacam-macam kesenian hadrah. Khususnya di daerah Sidoarjo terdapat beberapa kesenian hadrah yang masing-masing daerah berbeda penyebutannya. Seperti hadrah Samrah, hadrah Banjari, hadrah ISHARI. Seperti yang diungkapkan oleh Ustadz Edmawan seorang guru hadrah di desa Sepanjang, Taman:

Terbang banjari itu berbeda sama terbang lainnya. Seperti ini namanya terbang ISHARI, kalau di pukul itu keras, butuh power yang lebih untuk memainkannya. Kalau dilihat sekarang, ISHARI lebih identik dengan orang-orang tua yang memainkannya, padahal seharusnya yang muda juga perlu belajar. Kalau bentuk terbang banjari itu ada sepasang piringan di tiga sudutnya dan rongganya lebih lebar. Terbang ini yang sekarang banyak diminati para kaum muda, selain bobotnya yang memang cocok, juga rumusnya yang butuh pemahaman lebih. Dan butuh kreativitas tinggi karena rumusnya juga yang variatif tergantung tempatnya dan juga dapat divariasi. Juga ada lagi biasa dimainkan ibu-ibu yang bunyinya “Dung ting dang dang ting dung”, “dang dang ting ting dung”, tarus ada kecer,

36 Dhoiful Ma’ali, “Hadrah sebagai Instrumen BKI dalam Menangani Seorang

Remaja yang Sulit Mengontrol Emosinya” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Bimbingan Dan Konseling Islam, Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2014), 39.

37

Bagus Nirwanto, “Musik Hadroh Nurul Ikhwan di Kabupaten Pemalang: Kajian Aransemen dan Analisis Musik” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2015), 39.


(48)

40

tamborin, keprak, macem-macem bentuknya, itu terbang Samroh. Biasanya identik dengan perempuan yang memainkannya.38

1. Hadrah al-Banjari

Dalam Majalah AULA Nahdlatul Ulama, yang menurunkan laporan mengenai kesenian ini pada edisi Januari 2013, menyebut bahwa hadrah al-Banjari berasal dari Kalimantan. Hal ini merujuk pada penisbatannya, yaitu,

“al-Banjar(i)” alias Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Istilah al-Banjari sendiri juga banyak digunakan sebagai nama nisbat berdasarkan daerah oleh para ulama asal Banjarmasin.39

Jauhar Machrus dalam karya ilmiahnya memaparkan:

Dalam hasil penelitian, bahwa al-Banjari bukan dari kota Banjarmasin, melainkan dari Jawa Timur, khususnya di kota Tulungagung, dan dipopulerkan di kota Bangil. Dari kota tersebut baru al-Banjari dikenal lewat tokoh yang bernama KH. Chumaidi Abdul Majid yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ustadz Chumaidi yang berasal dari Tapaan Pasuruan, dari beliau bermunculan para santrinya yang ditugaskan mengajar hadrah tersebut, khususnya di daerah jawa. Sedangkan Muhammad Zaini Abdul Ghani atau yang lebih dikenal dengan nama Guru Zaini dari Martapura Banjarmasin, beliau mengadakan majelisan atau perkumpulan selawat yang diiringi dengan hadrah tersebut, sehingga dari sanalah beranggapan dan bermunculan bahwa hadrah tersebut bernama al-Banjari dari kota Banjarmasin.40

Lebih gamblang Ustadz Dhoiful Ma’ali yang akrab disapa dengan

Cak Ali Duro dalam karya ilmiahnya memaparkan nama Yik Bakar dan Haji Basyuni sebagai tokoh yang juga berpengaruh dalam perkembangan hadrah al-Banjari di Tulungagung. Dalam karya ilmiahnya tertulis bahwa awal mula

38

Wawancara Ustadz Edmawan (guru penerbang di Desa Sepanjang, Taman), Taman, 7 November 2016.

39 Machrus, “Hadrah al-Banjari, 58. 40


(49)

41

munculnya kesenian hadrah al-Banjari ini berasal dari majelis selawat yang berasal dari Tulungagung yang dikenal sebagai Majruran. Dalam prosesi pembacaan selawat Nabi secara bersama-sama dengan formasi yang berjajar. Kesenian ini kemudian bertautan dengan ritual kesenian lain yaitu pembacaan maulid Simt} al-Durar atau yang disebut dengan majelis selawat al-Habsyi.

Yik Bakar sebagai seorang Arab yang kemudian pindah ke Gresik, tentu memiliki kecintaan terhadap tradisi hadrah al-Habsyi yang memang popular dengan diiringi pembacaan maulid Simt} al-Durar. Adapun Haji Basyuni sebagai seorang Banjar, juga memiliki kecintaan terhadap tradisi kesenian hadrah di kampung halamannya. Pertemuan dua pecinta seni inilah yang ikut memberikan warna menarik bagi perkembangan hadrah al-Banjari.

Kemudian terdapat satu tokoh lagi yang tertulis dalam karya ilmiah

Ustadz Ma’ali, yakni KH. Syarwani Abdan. Beliau merupakan seorang ulama asal Banjarmasin yang ada di Kota Bangil, Pasuruan. Sebagai ulama dari komunitas masyarakat Banjar, KH. Syarwani Abdan, mendirikan pesantren yakni yang bernama Pesantren Datuk Kalampayan. Pesantren ini awalnya hanya dihuni puluhan santri, itupun berasal dari masyarakat Banjar yang tinggal di sekitarnya, maupun dari penduduk lokal. Karena kharisma yang dimiliki oleh Kiai Syarwani juga sangat besar, lambat laun pesantren ini berkembang pesat, santrinya hingga ribuan orang. Yang mana juga Ustadz Chumaidi dan Guru Zain merupakan santri dari KH. Syarwani Abdan.41

41Ma’ali,“Hadrah sebagai


(50)

42

Melihat dari runtutan histori di atas, fenomena Hadrah al-Banjari akan membentuk sebuah skala unik sebagai berikut:

a. Yik Bakar sebagai seorang Arab, tinggal di Tulungagung yang kemudian berpindah ke Gresik.

b. Haji Basyuni sebagai seorang suku Banjar yang tinggal di Tulungagung.

c. KH. Syarwani Abdan, ulama Banjar yang tinggal di Bangil.

d. Ustadz Chumaidi Abdul Madjid. Orang Jawa, santri Kiai Syarwani, bergerak mempopulerkan kesenian ini bersama murid Kiai Syarwani yang lain, yaitu Guru Zaini.

e. KH. Zaini Abdul Ghani alias Guru Zaini. Orang Banjarmasin, santri Kiai Syarwani, sahabat dekat Ustadz Chumaidi.

Berdasarkan keterangan di atas, dapat diambil garis bahwa asal mula kesenian ini adalah berawal dari kota yang untuk pertama kalinya hadrah al-Banjari dirintis dan cukup mempengaruhi dinamika hadrah al-al-Banjari, di antaranya adalah sebagai berikut.

a. Tulungagung. Yakni kota tempat awal mula tumbuh berkembangnya kesenian hadrah dengan bentuknya yang masih sederhana dan dikenal dengan istilah Majruran.

b. Bangil. Kota yang menjadi bagian dari Kabupaten Pasuruan ini menjadi tempat persemaian embrio hadrah al-Banjari. Karena di sinilah, untuk kali pertama hadrah Majruran dikombinasikan dengan majelis selawat


(51)

43

al-Habsyi yang sudah rutin dilaksanakan di Pondok Pesantren Datuk Kalampayan asuhan KH. Syarwani Abdan.

c. Banjarmasin. Yakni kota yang menjadi penanda kesenian hadrah al-Banjari hingga saat ini, karena melalui kota ini Hadrah al-al-Banjari mulai dikenal di Kalimantan atas jasa Guru Zaini Abdul Ghani. Dan membumi hingga sekarang dengan nama hadrah al-Banjari.

Tiga kota di atas menjadi penanda awal bahwa sebuah kesenian tidak lahir dari ruang kosong. Setiap kesenian memiliki akar budaya, sejarah, dan bahkan ideologi yang mengitarinya saat kesenian tersebut lahir atau diciptakan. Aktor-aktor yang memiliki andil menciptakan sebuah kesenian juga tidak lepas dari konteks pemikirannya, kehidupan sosialnya, bahkan ideologi yang diikuti.

Demikian pula yang terjadi dalam proses pembentukan hadrah al-Banjari. Kiai Syarwani Abdan menjadi salah satu tokoh penting dalam proses pengembangan hadrah al-Banjari. Sebab melalui tangannya, hadrah al-Banjari dapat bertahan dan berkembang pada masa-masa berikutnya. Perintisan hadrah al-Banjari di kota Bangil seolah menjadi penanda awal bahwa kesenian ini akan berkembang dan memiliki jumlah peminat yang banyak.42

Hadrah al-Banjari dalam prakteknya, seperti yang telah dijelaskan dalam pengertian hadrah sebelumnya, yakni terbagi atas dua kelompok. Kelompok pertama adalah penabuh rebana/penerbang, dan kelompok lainnya

42


(52)

44

adalah pelantun syair/vokal. Unsur utamanya adalah vokal yang berupa sanjungan kepada Nabi Muhammad dan zikir atau doa-doa.

Oleh karena musik selawat bersumber pada riwayat hidup Nabi Muhammad, maka intisarinya adalah membaca riwayat hidup Nabi Muhammad dalam bentuk nyanyian dengan iringan musik instrumental yang berupa alat musik ritmis. Hadrah/rebana adalah alat musik perkusi yang tergolong pada kelompok membranophone43. Bentuk dan ukurannya bermacam-macam, khususnya hadrah al-Banjari, yakni bingkai terbuat dari kayu berbentuk lingkaran dengan diameter 25 s/d 30 cm, satu sisi ditutup dengan kulit binatang yang sudah disamak dan dipakukan pada pinggir bingkainya. Bingkainya dihiasi dengan kepingan-kepingan logam, sehingga jika dimainkan akan berbunyi gemerincing.44 Setiap pemain harus mengontrol egonya agar tetap ritmis, terjaga dan tidak merusak kaharmonisannya.45 Terdapat pula kaidah/rumus yakni sebagai berikut.46

43

Mebranophone adalah alat musik pukul yang sumbernya berasal dari membran (selaput) baik terbuat dari kulit binatang maupun dari kulit imitasi (kulit tiruan). Terdapat dua macam alat musik ini, yakni membranophone tidak bernada dan membranphoe bernada. Hadrah merupakan alat musik membranophone yang tergolong tidak bernada. Facryzall Fahrur, “Bentuk Pertunjukan Grup Musik Rebana Modern Al-Badriyyah di Desa Gandrirojo Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang” (Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, 2011), 25.

44 Syahrul Syah Sinaga, “Fungsi dan Ciri Khas Kesenia Rebana di Pantura Jawa

Tengah”, Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni, Vol. 7 No. 3 (September-Desember, 2006), 2-3

45 Machrus, “Hadrah al-Banjari, 45. 46


(53)

45

2. Selawat

Selawat berasal dari kata al-s}ala>wat yang merupakan bentuk jamak

dari kata al-s}alat yang berarti doa atau sembahyang. Selawat adalah satu ungkapan yang penuh dengan nuansa-nuansa sastra yang berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad.

Secara istilah, selawat doa yang ditujukan pada Rasulullah sebagai bukti rasa cinta kepadanya sebagai umatnya. Dan juga doa dari para malaikat, bahkan Allah memerintahkan malaikat untuk mendoakan mereka yang


(54)

46

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya berselawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, berselawatlah kamu untuk

Nabi dan ucapkan salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”47

Selawat dari Allah berarti memberi rahmat baginya. Selawat dari

malaikat berarti memohon ampunan baginya, dan dari orang mukmin berarti doa agar diberi rahmat seperti dengan ucapan, Alla>humma s}alli ‘ala>

Sayyidina> Muh}ammad yang berarti “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada

junjungan kami, Nabi Muhammad.”

Hanya selawat ibadah yang Allah juga melakukannya. Jika Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk shalat atau berhaji, Allah tidak menjalankannya. Berbeda dengan selawat, sedemikian dahsyatnya hingga Allah menjalankan hal tersebut, dan memerintahkan malaikat dan manusia untuk berselawat kepada Rasulullah.48

Dalam kacamata seni, selawat atau yang biasa disebut selawatan merupakan seni rakyat yang diwariskan secara turun temurun. Seni ini yang sering juga disebut seni terbangan atau daff dianggap sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad. Teknis seni musik hadrah, dalam memainkannya terdiri dari suara vokal dan instrumental, yang unsur utamanya adalah vokal yang berupa sanjungan kepada Nabi Muhammad, zikir atau doa-doa. Karena musik

selawatan bersumber pada riwayat hidup Nabi Muhammad, maka inti sarinya

47

Q.S. al-Ahzab: 56

48

Habib Abdullah Assegaf dan Indriya R. Dani, Mukjizat Shalawat (Jakarta: Qultum Media, 2009), 2-3.


(55)

47

adalah membaca riwayat hidup Nabi Muhammad dalam bentuk nyanyian dengan iringan musik instrumental yang berupa alat musik ritmis.49

Membaca selawat dikatakan ibadah sunnah yang paling mudah, sebab di dalamnya tidak ada syarat-syarat tertentu. Hal ini berbeda dengan ibadah lainnya seperti zikir dan membaca al-Quran yang memerlukan syarat tertentu. Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dalam Taqrib al-Usul menjelaskan bahwa,

“Sesungguhnya para ulama sepakat bahwa semua amal dan yang diterima dan ada yang ditolak, terkecuali selawat kepada Nabi Muhammad. Sesungguhnya

selawat kepada Nabi ini maqbu>latun qat’an(diterima secara pasti).”

Syekh Yusuf bin Ismail Al-Nabhani dalam karyanya yakni kitab

Sa’adah al-Darain menyebutkan bahwa, di antara manfaat membaca selawat ialah terbayangnya hati si pembaca kepada Rasulullah, “Di antara manfaat membaca selawat yang paling besar ialah tercetaknya s}u>rah Rasulullah di

dalam hati pembaca.”50

Sehubungan dengan hal ini, dalam prosesi pembacaan selawat dalam hadrah al-Banjari, dianjurkan agar melatih hati dengan istih}d}a>r terutama ketika membaca selawat, atau merasa seolah-olah mengikuti Rasulullah di mana pun berada, dengan terus-menerus berselawat. Sebab, orang yang hatinya istih}d}a>r, ia akan selalu berhati-hati dalam melakukan seuatu.

Dengan kondisi batiniah seperti itu, seseorang akan senantiasa mendapatkan tambahan pancaran cahaya kenabian (nu>r nubuwah). Dengan demikian, semakin kuat seseorang dalam istih}d}a>r akan semakin

49Sinaga, “Fungsi dan Ciri, 2

-3.

50Ma’ali,“Hadrah sebagai


(56)

48

memungkinkan bagi orang tersebut berakhlak sebagaimana akhlak Rasulullah.51

Jadi, memang diharapkan bagi para pelantun selawat dalam kondisi seolah-olah berhadapan dengan Rasulullah (istih}d}a>r) sehingga dapat bersikap, beradab, ta’z}im, dan mahabbah dengan sepenuh hati. Di sinilah hakikat dari apa yang disebut h}ud}ur dan h}ad}rah.

C. Dhawq

Dhawq secara bahasa berasal dari bahasa Arab (قوذ) yang berarti rasa. Dhawq merupakan rasa yang bersifat fisik. Namun dalam tasawuf, istilah dhawq mengandung pengertian “pengalaman kebenaran secara langsung”. Dalam

konteks ini, dhawq mengandung pengertian sama dengan „pemikiran’, atau „kebijaksanaan’, berasal dari bahasa latin sphare, yang utamanya bermakna

„merasakan’, yang mengalami perluasan makna „membedakan’, „mengenali’.52

Al-Ghazali mengartikan dhawq dalam pengertian sederhana sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan menggunakan pendekatan rasa dengan alat qalb (hati nurani).53 Al-Ghazali menganjurkan agar berupaya menjadi ahli dhawq, karena melalui pengetahuan yang didapat dengan jalan dhawq manusia dapat mencapai pengetahuan yang lebih tinggi.54

51

Sokhi Huda, Tasawuf Kultural (Yogyakarta: LKiS, 2008), 133.

52 M. Abdul Mujieb, Syafi’ah dan H. Ahmad Ismail M.,

Ensiklopedia Tasawuf Imam al-Ghazali (Bandung: Mizan Media Utama, 2009), 94.

53

Syukur, Intelektualisme Tasawuf, 168.

54 Gatot Soedarto, “

Rene Descartes, Blaise Pascal, Dan Imam Al-Ghazali”,


(1)

69

harapan dapat memperhalus hadirnya rasa dalam hati dan mendapatkan ketenangan hati.

Sebagai aktivis selawat al-Banjari, di samping meningkatkan kualitas teknik dalam seni musik untuk mengejar prestasi duniawi, alangkah lebih baiknya juga mempelajari hal-hal di balik teknik tersebut dan meningkatkan unsur ruhani dalam selawat al-Banjari. Jangan biarkan prestasi duniawi menjadi tabir penghalang menuju ketenangan hati.

C. Keterbatasan Penelitian

Tidak dapat dipungkiri, dalam melakukan penelitian ini penulis merasa ada hal-hal yang kurang dari proses penelitian hingga hasil akhir penelitian. Penelitian ini dirasa kurang maksimal karena peneliti tidak dapat mendapatkan akses data yang lebih, mengingat dari pengaruh sosial, ekonomi dan budaya kesenian ini menjadi mudah berkembang, serta dinamisnya budaya kesenian hadrah al-Banjari yang tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan barcampurnya seni ini dengan seni budaya yang lain yang terdapat di masing-masing daerah. Selain itu, dari masing-masing organisasi/grup tidak dipungkiri memiliki sifat selektif dan hati-hati dalam memberikan data kepada peneliti. Dapat dipastikan, suatu saat nanti akan terjadi perbedaan pendapat dari berbagai pihak. Harapan penulis, dengan adanya perbedaan tersebut dapat memotivasi pihak lain untuk juga mengkaji secara ilmiah dan lebih dalam lagi terkait musik selawat al-Banjari. Sehingga dengan adanya hasil penelitian satu dengan yang lain, akan terkumpul data yang maksimal, dan dapat dijadikan referensi bagi peneliti lainnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Kepustakaan

Assegaf, Habib Abdullah dan Dani, Indriya R. 2009. Mukjizat Shalawat. Jakarta: Qultum Media

Bagdadi, Abdurrahman. 1994. Seni Musik dalam Pandangan Islam: Seni Vocal,

Musik dan Tari. Jakarta: Guna Insani Pres

Banoe, Pono. 2003. Kamus Musik. Yogyakarta: Kanisius

Bastomi, Suwaji. 1985. Seni Rupa dalam Pergelaran Tari. Semarang: Dewi

Budilinggono, I. 1993. Bentuk dan Analisis Musik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Depikbud. 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Ernst, Carl W. 2003. Ajaran dan Amaliah Tasawuf, terj. Arif Anwar. Yogyakarta: Pustaka Sufi

Fahrur, Facryzall. 2011. “Bentuk Pertunjukan Grup Musik Rebana Modern Al -Badriyyah di Desa Gandrirojo Kecamatan Sedan Kabupaten Rembang”. Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang

Gazalba, Sidi. 1988. Islam dan Kesenian: Relevansi Islam dan Seni Budaya. Jakarta: Pustaka Alhusna

Ghazali. 2009. Ihya’ Ulumuddin Jilid IV, terj. Moh Zuhri, dkk. Semarang: Asy-Syifa’

Ghazali. 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin: Ringkasan yang Dituis Sendiri oleh

Sang Hujjatul Islam, terj. Irwan Kurniawan.Bandung: Mizan

Hasan, Amin. “Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep Intuisi dalamTasawuf al-Ghazali”. Jurnal at-Ta’dib. Vol. 7 No. 2. Desember, 2012


(3)

Huda, Sokhi. 2008. Tasawuf Kultural. Yogyakarta: LKiS

Husna, Siti. 2015. “Perkembangan Tempat Makam KH. Ali Mas’ud Pagerwojo Buduran Sidoarjo Tahun 1980-2016”. Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Jamalus. 1988. Pengejaran Seni Musik Melalui Pengalaman Musik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Joseph, W. 2005. Teori Musik 1. Semarang: Universitas Negeri Semarang

Joseph, W. 2009. Teori Musik 2. Semarang: Universitas Negeri Semarang

Keraf, Gorys. 1994. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Flores: Nusa Indah

Khan, Hazrat Inayat. 2002. Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, terj. Subagijono dan Fungky Kusnaendy Timur. Yogyakarta: Pustaka Sufi

Khaldun, Muhammad. 2011. Mukaddimah Ibnu Khaldun, terj. Masturi Irham, dkk. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar

Kuntowijiyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik

dalam Bingkai Strukturalisme Transcendental. Bandung: Mizan

Linggono, Budi. 1993. Bentuk dan Analisis Musik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Ma’ali, Dhoiful. 2014. “Hadrah sebagai Instrumen BKI dalam Menangani

Seorang Remaja yang Sulit Mengontrol Emosinya”. Skripsi tidak

diterbitkan, Jurusan Bimbingan Dan Konseling Islam, Fakultas Dakwah Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Machrus, Jauhar. 2014. “Hadrah al-Banjari: Studi Tentang Kesenian Islam di Bangil”. Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Mahzar, Armahedi. 1993. Islam Masa Depan. Bandung: Penerbit Pustaka


(4)

Masruri, M. Hadi. 2005. Ibn Thufail: Jalan Pencerahan Mencari Tuhan. Yogyakarta: LKiS

Miller, Hugh M. 2001. Apresiasi Musik. Yogyakarta: Yayasan Lentera Budaya

Moleong, Lexy J. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya

Muhaya, Abdul. 2003. Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh

Ahmad al-Ghazali. Yogyakarta: Gema Media

Mujieb, M. Abdul, Syafi’ah dan Ahmad Ismail M. 2009. Ensiklopedia Tasawuf

Imam al-Ghazali. Bandung: Mizan Media Utama

Nirwanto, Bagus. 2015. “Musik Hadroh Nurul Ikhwan di Kabupaten Pemalang: Kajian Aransemen dan Analisis Musik”. Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang

Nasr, Sayyed Hoesein. 1993. Spiritualitas dan Seni Islam. Bandung: Mizan

Press, Gitamedia. 2003. Ringkasan Ihya’ Ulumuddin Imam Al Ghazali. Surabaya, Gitamedia Press

Raharjo, Joko. 1996. “Eksistensi Seni Musik Barzanzi di Kauman Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak”. Skripsi tidak diterbitkan, Jurusan Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang

Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif. Bandung: Mizan

Sinaga, Syahrul Syah. “Fungsi dan Ciri Khas Kesenia Rebana di Pantura Jawa Tengah”. Harmonia Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni. Vol. 7 No. 3. September-Desember, 2006

Sumaryanto, Totok. 2010. Metodologi Penelitian 2. Semarang: Universitas Negeri Semarang

Syukur, M. Amin dan H. Masyharuddin, 2002. Intelektualisme Tasawuf: Studi


(5)

Internet

Gatot Soedarto, http://www.kompasiana.com/gatot7239/rene-descartes-blaise-pascal-dan-imam-al-ghazali_54f6d251a33311b35d8b4820 “Rene Descartes, Blaise Pascal, Dan Imam Al-Ghazali” (Sabtu, 19 November 2016)

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sidoarjo (Minggu, 20 November 2016) http://www.sidoarjokab.go.id/index.php?p=read&id=3 (Minggu, 20 November

2016)

https://dekesda.wordpress.com/2011/02/10/jenis-kesenian-di-sidoarjo/ (Senin, 21 November 2016, 07.05)

Wawancara

Wawancara Ustadz M. Nadhif (penyair grup Syauqul Habib), Taman, 2 November 2016.

Wawancara Isnaini Nur Rizqi Mauludin (Aktivis hadrah al-Banjari dari Taman, Sidoarjo), Taman, 9 Agustus 2016.

Wawancara Dicky Dharmawan (penerbang dari grup Adawa’ Sukodono), Sukodono, 3 Agustus 2016.

Wawancara Rachmad Hadi (penerbang dari grup Adawa’ Sukodono), Sukodono, 3 Agustus 2016.

Wawancara Ustadz M. Irfani (penyair grup Kun Fayakun), Taman, 2 November 2016.

Wawancara Ustadz Bianto (guru dan penyair dari desa Krembangan, Taman), Taman, 3 November 2016.

Wawancara Ustadz Rokhis (penyair grup Kun Fayakun) dan Pak Udin (penyair dari Desa Sepanjang, Taman), Taman, 10 November 2016.

Wawancara Burhanuddin Rohmat (penyair asal desa Geluran, dan pencetus “Majelis Selawat al-Banjari IPNU-IPPNU se-kecamatan Taman”, Sidoarjo), Taman, 9 Agustus 2016.


(6)

Wawancara Gus Yusuf (PP Bahrul Ulum Sahlaniyah, Krian), Krian, 19 November 2016.

Wawancara Ustadz Amar (penyair grup Hadrah Zefa, Candi), Sidoarjo, 19 November 2016.

Wawancara Paklek Khoir (penasehat Abadan Abada Management, Sukodono), Sukodono, 17 September 2016.

Wawancara Wildan Samaden (aktivis penyair grup Adawa’ Sukodono), Sukodono, 3 Agustus 2016.

Wawancara Imarotul Hasanah (alumni IQMA UIN Sunan Ampel Surabaya), Surabaya, 9 September 2016.

Wawancara Hanas Anshori (penerbang dari Al-Machfudz Management, Waru), Sidoarjo, 19 November 2016.

Wawancara Ida Muhshonah (penyair dari grup El Mava, Waru), Sidoarjo, 19 November 2016.

Wawancara Ni’matul Layyinah (penyair dari grup El Mava, Waru), Sidoarjo, 19 November 2016.