OPTIMALISASI PEMANFAATAN JERAMI PADI SEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI.
ARTIKEL HIBAH BERSAING TAHUN 2009
OPTIMALISASI PEMANFAATAN JERAMI PADISEBAGAI PAKAN TERNAK SAPI Mardiati Zain1) N. Jamarun1)& Nurhaita2)
1) Department of Animal Nutrition, Faculty of Animal Science, Andalas University,Kampus Limau Manis, Padang - 25163, Indonesia,
2) Department of Animal Nutrition and Feed Technology, Faculty of Agriculture Bengkulu University, Bali Bengkulu Street, Indonesia
ABSTRAK
The experiments were to evaluate level of ammoniated rice straw and concentrate that supplemented with phosphorus and sulphur on digestibility and weight gain of pesisir beef cattle. The treatment were A = 50% Native grass + 50% concentrate (control), B = 30% ammoniated rice straw + 70% concentrate, C = 40% Ammoniated rice straw + 60% concentrate, D = 50% Ammoniated rice straw + 50% concentrate, and E = 70% Ammoniated rice straw + 30% concentrate. The result of trial indicated that digestibility and daily weight gain pesisir beef cattle of 30 – 40% ammoniated rice straw similar with diet A (native grass). It has demonstrated that ammoniated rice straw could replace native grass as roughage of pesisir beef cattle if supplemented with 0.4% phosphor and 0.3% sulfur and amount of diet is 30 – 40% on dry matter.
Key word: : ammoniated rice straw, phosphor, sulfur, digestibility and daily weight gain.
PENDAHULUAN
Jerami padi yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia (44.2 juta ton/tahun) sampai saat ini pemanfaatannya sebagai pakan masih belum memuaskan ( Syamsu et al, 2003). Berbagai teknologi pengolahan baik fisik, kimia dan biologi berhasil memperbaiki kualitas limbah tersebut namun aplikasinya belum memberikan hasil yang maksimal (Van Soest, 2006; Mardiati Zain, 2000; Mardiati Zain dan Jamarun, 2001). Hal ini memerlukan kajian tentang kecukupan nutrien
(2)
dipadukan dengan usaha suplementasi nutrien prekursor pertumbuhan mikroba yang defisien seperti mineral untuk menuju optimalisasi bioproses dirumen.
Peningkatan kecernaan pakan serat juga harus didekati dari segi kecukupan nutrien untuk pertumbuhan mikroba rumen (Leng, 1991). Pertumbuhan mikroba yang optimal membutuhkan nutrien yang cukup dalam rumen seperti energi, protein, asam-asam amino, mineral dan vitamin. Suplementasi suatu nutrien harus disesuaikan dengan ketersediaan nutrien lainnya. Preston and Leng (1987) menyatakan bahwa defisiensi akan nutrien yang dibutuhkan oleh mikroba rumen akan mengurangi biomasanya dan akan berakibat menurunnya daya cerna pakan terutama pakan serat. Ditambahkan lagi kriteria utama dalam memanipulasi ekosistem rumen harus memperhatikan substrat yang esensial untuk pertumbuhan mikroba rumen.
Mineral menjadi faktor pembatas pertumbuhan mikroba rumen pada ternak yang mendapat pakan berserat kualitas rendah seperti jerami padi. Hal ini disebabkan pakan pada daerah tropis dan juga pakan yang berasal dari limbah pertanian atau perkebunan sering defisien dengan mineral penting untuk pertumbuhan mikroba seperti P dan S ( Preston and Leng, 1987 ; Komisarczuk and Durand, 1991), dan ditambahkan lagi bahwa bioavailability mineral pada pakan serat ini juga rendah. Kadar mineral tersebut pada jerami padi di Indonesia berturut-turut yaitu 1.5 dan 1.2 mg/kg bahan kering (Little, 1986), sementara kebutuhan mikroba akan mineral P dan S berturut-turut 2.8 – 4.3 dan 2.5 – 3.2 mg/kg bahan kering. Pedoman kebutuhan mineral untuk pertumbuhan mikroba rumen masih mengacu pada data NRC dan data –data hasil peneltian lain yang berasal dari daerah temperate atau sub tropis. Sangat minim sekali data yang tersedia untuk daerah
(3)
tropis apalagi Indonesia, sementara kandungan mineral dari suatu bahan pakan sangat tergantung pada kondisi tanah tempat tumbuhnya.
Fospor adalah mineral yang penting untuk metabolisme. Mineral P sering defisien dalam ransum ternak ruminansia. Hal ini disebabkan kandungan P hijauan di Indonesia umumnya rendah (Little, 1986). Untuk rumput kandungan P nya berkisar antar 1 – 2.2 g /kg bahan kering sedangkan limbah pertanian kandungan Pnya 1 – 2 g/kg bahan kering.). Fospor dibutuhkan oleh semua sel mikroba terutama untuk menjaga integritas dari membran sel dan dinding sel, komponen dari asam nukleat dan bagian dari molekul berenergi tinggi (ATP, ADP dan lain-lain) (Bravo et al., 2003: Rodehutscord et al., 2000). Penelitian in vitro sistem batch ataupun continous culture memperlihatkan bahwa fospor dibutuhkan untuk degradasi fraksi dinding sel, dan juga kebutuhan bakteri selulolitik terhadap mineral P ini lebih tinggi dibandingkan bakteri hemiselulolitik ataupun amilolitik (Komisarczuk, et al, 1987). Penelitian Kennedy et al., (2000) memperlihatkan bahwa suplementasi P dalam bentuk fosfat secara in vitro mampu meningkatkan kecernaan NDF dari bagasse.
Selain fosfor, mineral Sulfur sangat diperlukan oleh mikroba rumen untuk pembentukan asam amino mengandung sulfur (Ortolani, 2001). Kadar sulfur dalam biomassa mikroba dapat mencapai sekitar 8 g/kg bahan kering mikroba dan sebagian besar terdapat dalam protein (Bird, 1973). Fungi an aerob termasuk jenis mikroba rumen pencerna serat. Pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kadar sulfur dalam ransum. Gulati et al (1985) melaporkan bahwa populasi fungi dalam rumen meningkat drastis pada ransum yang disuplementasi sulfur. Peningkatan populasi ini juga diikuti peningkatan kecernaan serat sebesar 16%. Penelitian Qi et al (1992) pada kambing dengan 3 jenis ransum yang masing-masing mengandung sulfur 0.16, 0.26, 0.36% BK memperlihatkan kecernaan ADF yang meningkat. Peningkatan
(4)
kecernaan ADF tersebut berturut-turut 16.8, 26.0 dan 29.2%. Peningkatan kecernaan tersebut sangat mungkin disebabkan oleh perbaikan pertumbuhan mikroba rumen terutama fungi. Pada kondisi in vivo suplementasi sulfur berpengaruh positif terhadap aliran protein dari rumen dan nilai retensi nitrogen (Komisarczuk and Durand, 1987, 1991). Peningkatan sintesis mikroba dan kecernaan selulusa juga didapatkan oleh Stevani et al, (2002) dengan menambahkan sulfur pada jerami padi yang diamoniasi dan tanpa amoniasi. Hasil penelitian Mardiati Zain et al., (2009a : 2009b) memperlihatkan bahwa penambahan 0.4% mineral fosfor dan 0.3% mineral sulfur mampu meninfktkan kecernaan dan pertambahan bobt badan ternak sapi dibanding pemberian jerami padi yang tidak diamoniasi. Hal ini memperlihatkan bahwa untuk mengoptimalkan pemanfaatan jerami padi amoniasi, suplementasi kedua mineral ini memang sangat dibutuhkan.
Dari hasil penelitian terdahulu walau telah disuplementasi dengan P dan S naum pertambahan bobot badan ternak belum maksimal. Untuk itu perlu dilakukan kajian mengenai taraf jerami padi amoniasi yang optimal bisa dipakai sebagai pengganti rumput. Penelitian ini bertujuan menguji taraf jerami padi amoniasi yang terbaik dalam ransum ternak sapi dibandingkan dengan penggunaan rumput.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1. Materi Penelitian
Pada percobaan ini digunakan 15 ekor sapi pesisir jantan dengan berat badan berkisar 94 kg – 145 kg. Sapi dibagi atas 5 kelompok berdasarkan bobot badan. Sapi ditempatkan pada kandang metabolis yang dilengkapi dengan tempat makan dan air minum.
(5)
Ransum yang digunakan adalah rumput lapangan, jerami padi amoniasi dan konsentrat. Konsentrat terdiri atas dedak, bungkil kelapa, ampas tahu, daun ubi kayu, mineral mix, garam, mineral fosfor dan sulfur (Tabel 1 dan 2)
3.2. Metode Penelitian
Penelitian bertujuan untuk membandingkan penggunaan rumput dengan jerami padi amoniasi yang disuplementasi dengan konsentrat yang sudah teruji pada penelitian sebelumnya. Konsentrat telah disuolementasi dengan 5% daun ubi kayu, 0.4% mineral fosfor dan 0.3% mineral sulfur. Sebagai ransum pembanding digunakan rumput dan konsentrat 50 : 50. Perlakuan yang akan diuji adalah taraf penggantian rumput dengan jerami padi amoniasi. Taraf yang diberikan yaitu 30, 40 dan 50, dan 60% dari bahan kering ransum sebagai pengganti rumput. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) menggunakan 20 ekor ternak sapi sedang tumbuh selama 4 bulan yang dialokasikan pada 5 macam ransum perlakuan dengan 4 ulangan.
Tabel 1. Susunan Konsentrat Ransum Percobaan (%BK)
Bahan Komposisi
Dedak 39
Bungkil Kelapa 50
Ampas Tahu 10
Garam 0.4
Mineral 0.6
Total 100
Komposisi Kimia (%)
Protein 18.78
TDN 73.85
SK 15.37
Lemak 5.17
(6)
Tabel 2. Susunan dan Komposisi Kimia Ransum Percobaan (%BK)
Bahan Makanan Ransum Perlakuan
A B C D E
Jerami padi amoniasi - 30 40 50 60
Rumput 50 - - -
-Konsentrat 50 70 60 50 40
Total 100 100 100 100 100
Suplementasi
Daun ubi kayu 5 5 5 5
Fosfor 0.4 0.4 0.4 0.4
Sulfur 0.3 0.3 0.3 0.3
Komposisi kimia(%)
Protein 13.76 15.06 13.82 12.59 11.36
TDN 65.02 65.79 63.11 60.42 57.74
Serat kasar 20.99 19.53 20.92 22.13 23.70
Lemak 3.60 3.95 3.55 3.15 2.74
BETN 49.91 48.66 48.01 47.36 46.71
Perlakuan yang diberikan adalah: 1. 50% rumput + 50% Konsentrat
2. 30% jerami padi amoniasi + 70% konsentrat 3. 40% jerami padi amoniasi + 60% konsentrat 4. 50% jerami padi amoniasi + 50% konsentrat 5. 60% jerami padi amoniasi + 40% konsentrat Peubah yang diamati adalah;
1. Pertambahan bobot badan, diukur dengan menimbang sapi setiap minggu 2. Konsumsi bahan kering dan bahan organik ransum
3. Kecernaan bahan kering dan bahan organik ransum 4. Kecernaan protein dan energi ransum
5. Kecernaaan NDF, ADF dan selulosa ransum 6. Konversi ransum
(7)
Semua data yang diperoleh akan dianalisis dengan analisis varian (anova) dan perbedaan antar perlakuan akan diuji dengan uji DMRT (Steel and Torrie, 1980).
3.3. Persiapan Kandang dan Ternak
Sebelum sapi dimasukkan ke dalam kandang, terlebih dahulu kandang dibersihkan, dikapuri dan disucihamakan dengan desinfektan. Sapi diberi obat cacing. Selanjutnya kandang diberi nomor dan ternak dimasukkan ke dalam kandang secara acak, demikian juga dengan ransum perlakuan.
1.4. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa periode yaitu periode adaptasi, periode pendahuluan, periode pertumbuhan dan periode koleksi.
Periode adaptasi, dilaksanakan selama 1 bulan yang bertujuan untuk membiasakan ternak dengan lingkungan penelitian dan ransum yang akan diuji.
Periode pendahuluan, yang bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa makanan sebelumnya. Periode ini dilaksanakan selama 15 hari.
Periode pertumbuhan, yaitu periode pengukuran pertambahan bobot badan ternak. Periode ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ransum yang diuji terhadap pertambahan bobot badan ternak. Periode ini dilaksanakan selama 30 hari. Ternak ditimbah turut 3 hari awal periode dan ditimbang 3 hari berturut-turut akhir periode.
Periode koleksi, periode ini bertujuan untuk mengetahui kecernaan nutrient. Periode ini berlangsung selama 1 minggu. Pada periode ini dilakukan koleksi feses dan ransum setiap hari selama 24 jam dan ditimbang beratnya serta diambil sampel sebanyak 10% untuk dianalisis
(8)
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kecernaan Zat-Zat Makanan
Kualitas ransum ditentukan oleh kecernaan zat-zat makanan dari ransum tersebut, karena akan terlihat berapa persen yang dicerna dan berapa yang dikeluarkan melalui feses.
Tabel 3. Rataa Kecernaan nutrien ransum percobaan
Peubah Ransum Percobaan
A B C D E
Kec. Bahan kering (%) 67.65a 66.36a 65.20ab 63.88b 58.63c
Kec. Bahan organik(%) 68.83a 66.65a 66.18a 64.88b 59.93c
Kec. Protein (%) 67.73a 66.36a 66.33a 66.02a 58.63b
Kecernaan energi (%) 65.55a 65.02ab 63.99b 62.83c 60.84d
Kecernaan NDF (%) 51.27a 49.64a 48.28ab 47.66c 45.52d
Kecernaan ADF (%) 48.70a 46.74ab 46.26a 45.50b 44.57b
Kecernaan selulosa 50.17a 49.13a 48.60a 46.97b 44.54c
Ket. A = 50 % rumput + 50% konsentrat
B = 30 % jerami amoniasi + 70% konsentrat C = 40% jerami amoniasi + 60% konsentrat
D = 50% jerami amoniasi + 50% konsentrat
E = 60% jerami amoniasi + 40% konsentrat
Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan rataan yang berbeda sangat nyata (P< 0.01)
Rataan kecernaan zat-zat makanan pada penelitian ini disajikan pada tabel 3. Hasil penelitian menperlihatkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kecernaan bahan kering, bahan organik, protein, energi, NDF, ADF, dan selulosa (P< 0.01). Table diatas memperlihatkan bahwa semakin meningkat proporsi jerami padi amoniasi kecernaan semakin menurun.
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa hampir semua kecernaan zat-zat makanan perlakuan A tidak berbeda dengan perlakuan B dan C, tapi berbeda dengan perlakuan D dan E. Perlakuan D juga berbeda dengan perlakuan E. Kecernaan pada perlakuan E lebih rendah dibanding perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan ransum jerami amoniasi sampai 60% dalam ransum belum mampu
(9)
mencukupi kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan ternak sapi. Ini terlihat dari rendahnya kandungan protein dan TDN ransum pada perlakuan E tersebut. Disamping itu semakin tinggi taraf jerami padi amoniasi dalam ransum, kandungan lignin ransum juga meningkat. Menurut Van Soest (1982) kandungan lignin dalam ransum akan menghambat kecernaan zat-zat makanan.
Kecernaan zat-zat makanan pada penggunaan jerami padi amoniasi pada taraf 30 dan 40% dalam ransum mampu menyamai pemberian rumput lapangan. Hal ini memperlihatkan bahwa jerami padi amoniasi yang diberi 60-70% konsentrat yang sudah disuplementasi daun ubi kayu mineral S dan P mampu menyediakan nutrient untuk pertumbuhan mikroba yang lebih baik sehingga kecernaan menjadi lebih baik dimana kecernaan pakan pada ternak sapi sangat ditentukan oleh populasi bakteri dalam rumen. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kennedy, et al (2000) memperlihatkan bahwa suplementasi P dalam bentuk fosfat secara in vitro mampu meningkatkan kecernaan NDF dari bagasse dan penelitian Gulati et al (1985) yang melaporkan bahwa populasi fungi dalam rumen meningkat drastis pada ransum yang disuplementasi sulfur. Peningkatan populasi ini juga diikuti peningkatan kecernaan serat sebesar 16%. Penelitian Qi et al (1992) pada kambing dengan 3 jenis ransum yang masing-masing mengandung sulfur 0.16, 0.26, 0.36% BK memperlihatkan kecernaan ADF yang meningkat.
4.2. Konsumsi bahan kering dan bahan organik
Konsumsi merupakan tolak ukur menilai palatabilitas suatu bahan pakan. Apakah suatu bahan pakan cukup palatabel bagi ternak akan terlihat dari tinggi rendahnya konsumsi pakan tersebut. Konsumsi bahan kering dan bahan organik ransum nyata dipengaruhi oleh perlakuan (P<0.01)
(10)
Hasil uji DMRT (Tabel) memperlihatkan bahwa konsumsi bahan kering pada perlakuan A berbeda tidak nyata dengan perlakuan B dan C, dan berbeda nyata dengan D dan E, dan perlakuan D juga berbeda nyata dengan perlakuan E. Kecernaan bahan kering terendah terdapat pada perlakuan E. Ini menunjukkan bahwa ransum jerami amponiasi mempunyai palatabilitas yang rendah. Penambahan peningkatan taraf konsentrat pada perlakuan B, C dan D mampu meningkatkan konsumsi bahan kering dan bahan organik ransum. Hal ini sejalan dengan pendapat Tillman et al. (1998), konsentrat merupakan bahan pakan ternak yang mudah dicerna sehingga laju aliran pakan dalam saluran pencernaan lebih cepat dan memungkinkan ternak untuk menambah konsumsi pakan.
Konsumsi ransum pada dasarnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi ternak. Ternak akan berhenti makan bila kebutuhan energinya telah terpenuhi. Tetapi pada pemberian pakan kaya serat, kapasitas tampung rumen menjadi faktor pembatas utama konsumsi ransum. Ternak akan berhenti makan bila rumennya telah terisi penuh walaupun kebutuhan energinya belum tercukupi.
Konsumsi juga dipengaruhi oleh tingkat kecernaan dan proses fermentasi dalam rumen. Konsumsi akan meningkat jika kecernaan meningkat serta proses fermentasi dalam rumen berjalan optimum. Meningkatnya konsumsi ransum pada perlakuan B, C dan D karena ketersedian nutrisi yang mudah dicerna berupa konsentrat untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam rumen menyebabkan kecernaan meningkat, sehingga terjadi pengosongan isi rumen lebih cepat dan menyebabkan ternak mampu mengkonsumsi lebih cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat Sutardi (1982); Siregar (1994) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kemampuan ternak ruminansia mengkonsumsi ransum antara lain
(11)
bentuk, komposisi zat-zat gizi, frekuensi pemberian, keseimbangan zat gizi, anti nutrisi yang ada, umur ternak dan tingkat produksi ternak.
Tabel 4. Rataa Konsumsi nutrien, konversi ransum dan pertambahan bobot badan ternak
Peubah Ransum Percobaan
A B C D E
Konsumsi. Bahan kering
(g/hari) 3750
a 3693a 3630a 3398b 2983c
Konsumsi Bahan organik (g/hari)
3608a 3456a 3516a 3213b 2753c
Konversi ransum 5.07a 5.17ab 5.83ab 6.55bc 7.09c
Pertambahan bobot badan (g/hari)
702a 668a 651a 520b 421c
A = 50 % rumput lapangan + 50% konsentrat B = 30 % jerami amoniasi + 70% konsentrat C = 40% jerami amoniasi + 60% konsentrat D = 50% jerami amoniasi + 50% konsentrat E = 60% jerami amoniasi + 40% konsentrat
Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan rataan yang berbeda sangat nyata (P< 0.01)
4.3. Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan merupakan cerminan kualitas pakan yang diberikan. Rataan pertambahan bobot badan yang didapatlkan pada penelitian ini terlihat pada tabel 4. Hasil analisis statistik memperlihatkan bahwa perlakuan nyata (P<0.01) mempengaruhi pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan
meningkat sejalan dengan meningkatnnya kecernaan. Perbedaan besar
pertamabahan bobot badan ini dipengaruhi oleh tingkat konsumsi yang juga berbeda. Perbedaan konsumsi pakan ternak sapi (jerami padi dan konsentrat) pada perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4. Semakin tinggi total konsumsi pakan akan mempengaruhi besarnya pertambahan bobot badan. Pertambahan bobot badan meningkat sejalan dengan peningkatan taraf konsentrat dalam ransum. Perbedaan
(12)
kualitas setiap bahan pakan menyebabkan kemampuan bahan pakan tersebut dalam meningkatkan produktivitas ternak juga berbeda-beda. Meningkatnya konsumsi bahan kering dan bahan organik ransum juga meningkatkan konsumsi zat makanan sehingga jumlah zat makanan yang tersedia dalam tubuh ternak semakin bertambah. Hal ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen dan berakibat pada meningkatnya kecernaan dan ketersediaan zat-zat makanan untuk ternak juga meningkat sehingga pertambahan bobot badan ternak juga meningkat.
Perlakuan E memberikan pertambahan bobot badan yang lebih rendah dibanding perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan rendahnya konsumsi dan kecernaan pakan pada perlakuan ini. Sementara itu, total konsumsi pakan ternak pada perlakuan E (2983g/ekor/hari)) yang lebih sedikit dari pada ternak pada perlakuan D (3398 g/ekor/hari) cenderung memberikan nilai pertambahan bobot badan yang lebih rendah pula dibandingkan ternak pada perlakuan D (0,421 vs 0,520 kg/ekor). Begitu juga halnya ternak perlakuan C dengan total konsumsi pakan 3630 g/hari menghasilkan pertambahan bobot badan 0.651 kg, sementara itu dengan total konsumsi pakan 3693 dan 3790 gram/hari memberikan pertambahan bobot badan 0.668 dan 0.702 kg/hari pada ternak perlakuan B dan A. . Nilai pertambahan bobot badan ini masih jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan Boer et al. (2003) pada ternak yang diberi pakan tambahan 15% onggok yaitu 0,503 kg. Begitu juga dengan yang dilaporkan oleh Prayugo et al. (2003), bahwa pertambahan bobot badan ternak sapi PO yang diberi pakan rumput gajah serta campuran konsentrat dan ampas kecap adalah 0,33 kg/hari dengan nilai konversi pakan 8,53. Nilai ini masih jauh lebih rendah daripada nilai pertambahan bobot badan pada penelitian ini.
(13)
Secara statistik, konversi pakan pada masing-masing perlakuan berbeda nyata (P<0,01). Angka konversi pakan pada masing-masing perlakuan berkisar 5.07 sampai 7.09. , artinya banyaknya pakan yang digunakan untuk meningkatkan 1 kg pertambahan bobot badan pada sapi berkisar 5.07 sampai 7.09 kg bahan kering. Melihat angka tersebut maka banyaknya pakan yang dibutuhkan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan yang sama pada ransum yang tinggi porsi jerami padi amoniasi dalam ransum lebih besar dibanding jumlah jerami padi
amoniasi Menurut Sumadi et al. (1991), sapi mempunyai mempunyai kemampuan
yang lebih baik dalam proses metabolisme bila mendapat pakan yang berkualitas bagus. Konversi pakan hasil penelitian Astutik et al. (2002) pada sapi PO yang diberi pakan jerami padi dan konsentrat dengan formula urea mollases (mollases 40%) menghasilkan konversi pakan sebesar 14,18. Konvesi pakan sapi PO yang diberi jerami padi fermentasi dengan suplementasi dedak padi dan jamu berupa telur ayam 2 minggu sekali sebanyak 3-5 butir/ekor serta konsentrat komersial pada penelitian Umiyasih et al. (2002) sebesar 10,31. Konversi pakan sapi persilangan Limousin menurut Juergenson (1980) adalah sebesar 7,90. Dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian tersebut, konversi pakan hasil penelitian ini lebih kecil. Ini kemungkinan disebabkan oleh kualitas pakan yang diberikan berbeda. Kemungkinan yang lain adalah kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh lainnya pada sapi di penelitian ini lebih kecil, karena sapi pesisir ini merupakan sapi lokal dengan tubuh yang kecil, sehingga konversi pakannya pun lebih kecil. Rendahnya konversi pakan pada penelitian ini juga diduga oleh suhu lingkungan penelitian (24oC) sehingga efisiensi penggunaan pakan lebih baik. Menurut Kusnadi et al. (1992), kisaran suhu yang baik untuk pemeliharaan sapi di Indonesia antara 18 – 28oC.
(14)
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan jerami padi amoniasi sebagai pengganti rumput dalam ransum ternak sapi memberikan pengaruh yang tidak berbeda pada taraf sampai 40%. Oleh sebab itu untuk mengoptimalkan penggunaan jerami padi amoniasi dalam ransum ternak sapi sebagai pengganti rumput harus disuplementasi dengan mineral fosfor dan sulfur serta jumlahnya dalam ransum maksimal 40 %.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada DP3M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas diberikannya bantuan dana penelitian ini melalui Proyek Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2009
DAFTAR PUSTAKA
Astutik, S.I., M. Arifin, dan W.S. Dilaga. 2002. Respon produksi sapi Peranakan Ongoleberbasis pakan jerami padi terhadap formula urea molasse block.
Prosiding SeminarNasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian, Bogor. Hal: 82-85.
Bal, M.A. and D. Ozturk. 2006. Effect of sulfur containing supplements on ruminal fermentation and microbial protein synthesis. Research Journal of Animal and Veterinary Sciences 1(1):33-36.2006.
Bird, P.R. 1973. Sulphur metabolism and excretion studies in ruminant. XII. Nitrogen and sulphur composition of ruminal bacteria. Aust. J. Biol. Sci. 26: 1429.
Boer, M., P.B. Azizal, Y. Hendri dan Ermidas. 2003. Tingkat penggunaan onggok sebagai bahan pakan penggemukan sapi bakalan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peteranakan, Bogor. hlm. 99 – 102.
(15)
Bravo, D., D. Sanvant, C. Bogaert and F. Meschy. 2003. Quantitative aspect of phosphorus absorbtion in ruminant. Reprod. Nutr. Dev. 43: 271-284. INRA. EDP. Sciences.
Gorosito, A.R., J.B. Russel and P.J. Van Soest. 1985. Effect of C4 and C5 volatil fatty acids on digestion of plant cell wall in vitro. J. Dairy Sci. 68:840.
Gulati, S.K., J.R. Ashes, G.L.R. Gordon and M.W. Phillips. 1985. Possible contribution of rumen fungi to fiber digestion in sheep. Proc. Nutr. Csoc. Aust.10
Juergenson, E.M., 1980. Approxed Practices in Beef Cattle Production. The Interstate Printerand Publisher Ltd., Danville, Illinois.
Karsli, M.A. and. J. R. Russel. 2001. Effect of some dietary factors on ruminal microbial protein synthesis. J. Vet. Anim.Sci. 25. : 681-685 (2001)
Kennedy, P.M, J.B. Lowry and L.I. Conlan. 2000. Phosphat rather than surfactant accounts for the main contribution to enhanced fibre digestibility resulting from treatmen with boiling neutral detergent. Animal Feed Sci. and Technology, Vol 86: 177-177
Komizarczuk, S., Durand M. 1991. Effect of mineral on microbial metabolism. In.
Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. J.P. Jouany (Ed) INRA publ. Versailes, France
Komizarczuk, S., Durand M., Dumay, C., and Morel M.T. 1987. Effect of Different level of Phosphorus on rumen microbial fermentation and synthesis determined using continuous culture technique. Br. J. Nutr., 57 : 279 – 290
Kusnadi, U., M. Sabrani, M. Winugroho, S. Iskandar, U. Nuschati dan D. Sugandi, 1992. Usaha Penggemukan Sapi Potong di Dataran Tinggi Wonosobo.
Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Ruminansia Besar. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Hal: 24-28.
Little, D.A. 1986. The mineral content of ruminant feed and the potensial for mineral suplementation in South – East Asia with particular reference to Indonesia. In. R.M. Dixon Ed. IDP. Camberra.
Leng, R.A. 1991. Aplication of Biotechnology to Nutrition of Animal in Developing countries. FAO Animal Production and Health Paper.
Mardiati Zain, M.,T.Sutardi, D. Sastradipradja, M.A.Nur, Suryahadi dan N.Ramli, 2000. Efek Suplementasi asam amino bercabang terhadap fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum berpakan serat sabut sawit. Med. Vet.Vol 23.No.2:32 - 61
(16)
Mardiati Zain , M., T. Sutardi, D. Sastradipradja, M.A.Nur, Suryahadi dan N. Ramli, 2000b. Pemanfaatan Serat Sawit Sebagai Pakan Pengganti Rumput dalam Ransum Ternak Domba. Proseding Seminar Nasional Pengembangan Ternak Sapi dan Kerbau. Padang 11 Oktober 2000.
Mardiati Zain, dan N. Jamarun. 2001. Pengaruh penggunaan serat sawit fermentasi dalam ransum terhadap kecernaan komponen serat pada ternak domba lokal. Jurnal Penelitian Andalas, No. 35/Mei/ Tahun XIII
Mardiati Zain, N. Jamarun dan Elihasridas. 2002. Suplementasi rumput dengan jerami olahan dalam ransum ternak sapi. J.Andalas. No.31/Mei/Tahun XIV/2002.
Mardiati Zain, Elihasridas dan J. Mangunwijaya. 2003. Efek Suplementasi Daun Ubi Kayu Terhadap Fermentabilitas dan kecernaan In Vitro Ransum berpakan Serat Sawit Amoniasi . Jurnal Andalas No.41/Mei/Tahun XV/2003
Mardiati Zain, N. Jamarun, and Nurhaita. 2009a. Effect of sulfur supplementation on fermentability of ammoniated rice straw. Journal Animal Feed Sci. Sedang dalam proses penerbitan.
Mardiati Zain, N. Jamarun, Zulkarnaini, 2009b. Effect of phosphor and sulfur supplementation in growing beef cattle diet based on rice straw ammoniated Dipresentasikan pada seminar international Biotechnology for Better Life.
Cairo Egypt, 3-6 November 2009.
Muller, Z. and K.C. Nah. 1985. Cassava as total subsitute for cereal in livestock and poultry ration. Prooceding of Tropical Product Institute Conference, 1 – 5 April, 85-89
Nolan, J.V. 1993. Nitrogen Kinetics. In. Quantitative Aspects of Ruminant Digestion and Metabolism. J.M. Forbes and J. France. CAB. International.
NRC, 1988. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Sixth revised Ed. National Academy Press, Washington.
Permana, I. G. 1995. The evaluation of nutritive value of palm press fiber through inoculation with P. ostreatus as ruminant feed. Thesis. Cottingen.
Preston, T.R. and R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systtem with Available Resources in The Tropics. Penambul Books. Armidale.
Prayugo, S., E. Purbowati dan S.Dartosukarno. 2003. Penampilan sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin yang dipelihara secara intensif. Pros. SemNas Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. hlm. 240 – 24.
Qi, K., C.D. Lu and F.N. Owen, 1992. Sulphate supplementation of Alpine goats. Effect on milk yeild and composition, metabolites, nutrient digestibilities, and acids base balance. J. Anim. Sci. 70: 3541
(17)
.
Rodehutscord, M. Heuvers, H. Pfeffer, 2000. Effect of organic matter digestibility on obligatory faecal phosphour loss in lactating goats, determined from balance data. Anim. Sci. 70: 561-56Sniffen, C.J., and P.H. Robinson. 1987. Microbial growth and flow as influenced by dietary manipulations. J. Dairy Sci. 70:425 Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. PT. Penebar Swadaya, Jakarta Stevani, J, M. Durand, R. Zanchi. P. H. Beaumatin, and G. Hannequart. 2002. Effect
of sulphate supplementation of untreated and alkali treated wheat straws on ruminal fermentition and microbial protein synthesis an a semi continous fermentor. Animal Feed Sci. and Technology, Vol 36 :287-301
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedure of Statistics. McGraw- Hill Book Co. Inc. New York.
Sumadi, N. Ngadiono dan Soeparno, 1991. Penampilan produksi sapi Fries Holland, Sumba Ongole dan Brahman Cross yang dipelihara secara feedlot
(penggemukan). Prosiding Seminar Pengembangan Peternakan dalam
Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional. Fakultas Peternakan, Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto. Hal: 116-126.
Sundstol, F. 1991. Large Scale Utilization of Straw for Ruminant Production Systems. In Recent Advances on The Nutrition of Herbivora Ed. Y.W.Ho. H.K.Wong, N. Abdullah, and Z.A. Tajuddin. Malaysia Society of Animal Nutrition.
Sutardi, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-Ilmu Nutrisi Ternak. Orasi Ilmiah Guru besar Tetap Ilmu Nutrisi, Fapet IPB, Bogor.
Sutardi, T. 1982. Sapi perah dan pemberian makanannya. Fakultas Peternakan IPB, Bogor
Tillman, A.D.,H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan
S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
Umiyasih, U., Aryogi dan Y.N. Anggraeny, 2002. Pengaruh jenis suplementasi terhadapkinerja sapi PO yang mendapatkan pakan basal jerami padi fermentasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian, Bogor. Hal: 139-142.
Van Soest, P.J. 2006. Rice straw the role of silica and treatment to improve quality. J.Anim.Feed. Sci. and Technology Volume 130. 137-171.
(1)
kualitas setiap bahan pakan menyebabkan kemampuan bahan pakan tersebut dalam meningkatkan produktivitas ternak juga berbeda-beda. Meningkatnya konsumsi bahan kering dan bahan organik ransum juga meningkatkan konsumsi zat makanan sehingga jumlah zat makanan yang tersedia dalam tubuh ternak semakin bertambah. Hal ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan mikroba rumen dan berakibat pada meningkatnya kecernaan dan ketersediaan zat-zat makanan untuk ternak juga meningkat sehingga pertambahan bobot badan ternak juga meningkat.
Perlakuan E memberikan pertambahan bobot badan yang lebih rendah dibanding perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan rendahnya konsumsi dan kecernaan pakan pada perlakuan ini. Sementara itu, total konsumsi pakan ternak pada perlakuan E (2983g/ekor/hari)) yang lebih sedikit dari pada ternak pada perlakuan D (3398 g/ekor/hari) cenderung memberikan nilai pertambahan bobot badan yang lebih rendah pula dibandingkan ternak pada perlakuan D (0,421 vs 0,520 kg/ekor). Begitu juga halnya ternak perlakuan C dengan total konsumsi pakan 3630 g/hari menghasilkan pertambahan bobot badan 0.651 kg, sementara itu dengan total konsumsi pakan 3693 dan 3790 gram/hari memberikan pertambahan bobot badan 0.668 dan 0.702 kg/hari pada ternak perlakuan B dan A. . Nilai pertambahan bobot badan ini masih jauh lebih tinggi dari yang dilaporkan Boer et al. (2003) pada ternak yang diberi pakan tambahan 15% onggok yaitu 0,503 kg. Begitu juga dengan yang dilaporkan oleh Prayugo et al. (2003), bahwa pertambahan bobot badan ternak sapi PO yang diberi pakan rumput gajah serta campuran konsentrat dan ampas kecap adalah 0,33 kg/hari dengan nilai konversi pakan 8,53. Nilai ini masih jauh lebih rendah daripada nilai pertambahan bobot badan pada penelitian ini.
(2)
Secara statistik, konversi pakan pada masing-masing perlakuan berbeda nyata (P<0,01). Angka konversi pakan pada masing-masing perlakuan berkisar 5.07 sampai 7.09. , artinya banyaknya pakan yang digunakan untuk meningkatkan 1 kg pertambahan bobot badan pada sapi berkisar 5.07 sampai 7.09 kg bahan kering. Melihat angka tersebut maka banyaknya pakan yang dibutuhkan untuk meningkatkan pertambahan bobot badan yang sama pada ransum yang tinggi porsi jerami padi amoniasi dalam ransum lebih besar dibanding jumlah jerami padi amoniasi Menurut Sumadi et al. (1991), sapi mempunyai mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam proses metabolisme bila mendapat pakan yang berkualitas bagus. Konversi pakan hasil penelitian Astutik et al. (2002) pada sapi PO yang diberi pakan jerami padi dan konsentrat dengan formula urea mollases (mollases 40%) menghasilkan konversi pakan sebesar 14,18. Konvesi pakan sapi PO yang diberi jerami padi fermentasi dengan suplementasi dedak padi dan jamu berupa telur ayam 2 minggu sekali sebanyak 3-5 butir/ekor serta konsentrat komersial pada penelitian Umiyasih et al. (2002) sebesar 10,31. Konversi pakan sapi persilangan Limousin menurut Juergenson (1980) adalah sebesar 7,90. Dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian tersebut, konversi pakan hasil penelitian ini lebih kecil. Ini kemungkinan disebabkan oleh kualitas pakan yang diberikan berbeda. Kemungkinan yang lain adalah kebutuhan nutrisi untuk hidup pokok, pertumbuhan dan fungsi tubuh lainnya pada sapi di penelitian ini lebih kecil, karena sapi pesisir ini merupakan sapi lokal dengan tubuh yang kecil, sehingga konversi pakannya pun lebih kecil. Rendahnya konversi pakan pada penelitian ini juga diduga oleh suhu lingkungan penelitian (24oC) sehingga efisiensi penggunaan pakan lebih baik. Menurut Kusnadi et al. (1992), kisaran suhu yang baik untuk pemeliharaan sapi di Indonesia antara 18 – 28oC.
(3)
KESIMPULAN
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa penggunaan jerami padi amoniasi sebagai pengganti rumput dalam ransum ternak sapi memberikan pengaruh yang tidak berbeda pada taraf sampai 40%. Oleh sebab itu untuk mengoptimalkan penggunaan jerami padi amoniasi dalam ransum ternak sapi sebagai pengganti rumput harus disuplementasi dengan mineral fosfor dan sulfur serta jumlahnya dalam ransum maksimal 40 %.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada DP3M Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi atas diberikannya bantuan dana penelitian ini melalui Proyek Penelitian Hibah Bersaing Tahun 2009
DAFTAR PUSTAKA
Astutik, S.I., M. Arifin, dan W.S. Dilaga. 2002. Respon produksi sapi Peranakan Ongoleberbasis pakan jerami padi terhadap formula urea molasse block. Prosiding SeminarNasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian, Bogor. Hal: 82-85.
Bal, M.A. and D. Ozturk. 2006. Effect of sulfur containing supplements on ruminal fermentation and microbial protein synthesis. Research Journal of Animal and Veterinary Sciences 1(1):33-36.2006.
Bird, P.R. 1973. Sulphur metabolism and excretion studies in ruminant. XII. Nitrogen and sulphur composition of ruminal bacteria. Aust. J. Biol. Sci. 26: 1429.
Boer, M., P.B. Azizal, Y. Hendri dan Ermidas. 2003. Tingkat penggunaan onggok sebagai bahan pakan penggemukan sapi bakalan. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. Puslitbang Peteranakan, Bogor. hlm. 99 – 102.
(4)
Bravo, D., D. Sanvant, C. Bogaert and F. Meschy. 2003. Quantitative aspect of phosphorus absorbtion in ruminant. Reprod. Nutr. Dev. 43: 271-284. INRA. EDP. Sciences.
Gorosito, A.R., J.B. Russel and P.J. Van Soest. 1985. Effect of C4 and C5 volatil fatty acids on digestion of plant cell wall in vitro. J. Dairy Sci. 68:840.
Gulati, S.K., J.R. Ashes, G.L.R. Gordon and M.W. Phillips. 1985. Possible contribution of rumen fungi to fiber digestion in sheep. Proc. Nutr. Csoc. Aust.10
Juergenson, E.M., 1980. Approxed Practices in Beef Cattle Production. The Interstate Printerand Publisher Ltd., Danville, Illinois.
Karsli, M.A. and. J. R. Russel. 2001. Effect of some dietary factors on ruminal microbial protein synthesis. J. Vet. Anim.Sci. 25. : 681-685 (2001)
Kennedy, P.M, J.B. Lowry and L.I. Conlan. 2000. Phosphat rather than surfactant accounts for the main contribution to enhanced fibre digestibility resulting from treatmen with boiling neutral detergent. Animal Feed Sci. and Technology, Vol 86: 177-177
Komizarczuk, S., Durand M. 1991. Effect of mineral on microbial metabolism. In. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion. J.P. Jouany (Ed) INRA publ. Versailes, France
Komizarczuk, S., Durand M., Dumay, C., and Morel M.T. 1987. Effect of Different level of Phosphorus on rumen microbial fermentation and synthesis determined using continuous culture technique. Br. J. Nutr., 57 : 279 – 290
Kusnadi, U., M. Sabrani, M. Winugroho, S. Iskandar, U. Nuschati dan D. Sugandi, 1992. Usaha Penggemukan Sapi Potong di Dataran Tinggi Wonosobo. Prosiding Pengolahan dan Komunikasi Hasil-hasil Penelitian Ruminansia Besar. Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor. Hal: 24-28.
Little, D.A. 1986. The mineral content of ruminant feed and the potensial for mineral suplementation in South – East Asia with particular reference to Indonesia. In. R.M. Dixon Ed. IDP. Camberra.
Leng, R.A. 1991. Aplication of Biotechnology to Nutrition of Animal in Developing countries. FAO Animal Production and Health Paper.
Mardiati Zain, M.,T.Sutardi, D. Sastradipradja, M.A.Nur, Suryahadi dan N.Ramli, 2000. Efek Suplementasi asam amino bercabang terhadap fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum berpakan serat sabut sawit. Med. Vet.Vol 23.No.2:32 - 61
(5)
Mardiati Zain , M., T. Sutardi, D. Sastradipradja, M.A.Nur, Suryahadi dan N. Ramli, 2000b. Pemanfaatan Serat Sawit Sebagai Pakan Pengganti Rumput dalam Ransum Ternak Domba. Proseding Seminar Nasional Pengembangan Ternak Sapi dan Kerbau. Padang 11 Oktober 2000.
Mardiati Zain, dan N. Jamarun. 2001. Pengaruh penggunaan serat sawit fermentasi dalam ransum terhadap kecernaan komponen serat pada ternak domba lokal. Jurnal Penelitian Andalas, No. 35/Mei/ Tahun XIII
Mardiati Zain, N. Jamarun dan Elihasridas. 2002. Suplementasi rumput dengan jerami olahan dalam ransum ternak sapi. J.Andalas. No.31/Mei/Tahun XIV/2002.
Mardiati Zain, Elihasridas dan J. Mangunwijaya. 2003. Efek Suplementasi Daun Ubi Kayu Terhadap Fermentabilitas dan kecernaan In Vitro Ransum berpakan Serat Sawit Amoniasi . Jurnal Andalas No.41/Mei/Tahun XV/2003
Mardiati Zain, N. Jamarun, and Nurhaita. 2009a. Effect of sulfur supplementation on fermentability of ammoniated rice straw. Journal Animal Feed Sci. Sedang dalam proses penerbitan.
Mardiati Zain, N. Jamarun, Zulkarnaini, 2009b. Effect of phosphor and sulfur supplementation in growing beef cattle diet based on rice straw ammoniated Dipresentasikan pada seminar international Biotechnology for Better Life.
Cairo Egypt, 3-6 November 2009.
Muller, Z. and K.C. Nah. 1985. Cassava as total subsitute for cereal in livestock and poultry ration. Prooceding of Tropical Product Institute Conference, 1 – 5 April, 85-89
Nolan, J.V. 1993. Nitrogen Kinetics. In. Quantitative Aspects of Ruminant Digestion and Metabolism. J.M. Forbes and J. France. CAB. International.
NRC, 1988. Nutrient Requirement of Dairy Cattle. Sixth revised Ed. National Academy Press, Washington.
Permana, I. G. 1995. The evaluation of nutritive value of palm press fiber through inoculation with P. ostreatus as ruminant feed. Thesis. Cottingen.
Preston, T.R. and R.A. Leng. 1987. Matching Ruminant Production Systtem with Available Resources in The Tropics. Penambul Books. Armidale.
Prayugo, S., E. Purbowati dan S.Dartosukarno. 2003. Penampilan sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin yang dipelihara secara intensif. Pros. SemNas Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, 29 – 30 September 2003. hlm. 240 – 24.
Qi, K., C.D. Lu and F.N. Owen, 1992. Sulphate supplementation of Alpine goats. Effect on milk yeild and composition, metabolites, nutrient digestibilities, and acids base balance. J. Anim. Sci. 70: 3541
(6)
.
Rodehutscord, M. Heuvers, H. Pfeffer, 2000. Effect of organic matter digestibility on obligatory faecal phosphour loss in lactating goats, determined from balance data. Anim. Sci. 70: 561-56Sniffen, C.J., and P.H. Robinson. 1987. Microbial growth and flow as influenced by dietary manipulations. J. Dairy Sci. 70:425 Siregar, S.B. 1994. Ransum Ternak Ruminansia. PT. Penebar Swadaya, Jakarta Stevani, J, M. Durand, R. Zanchi. P. H. Beaumatin, and G. Hannequart. 2002. Effect
of sulphate supplementation of untreated and alkali treated wheat straws on ruminal fermentition and microbial protein synthesis an a semi continous fermentor. Animal Feed Sci. and Technology, Vol 36 :287-301
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedure of Statistics. McGraw- Hill Book Co. Inc. New York.
Sumadi, N. Ngadiono dan Soeparno, 1991. Penampilan produksi sapi Fries Holland, Sumba Ongole dan Brahman Cross yang dipelihara secara feedlot (penggemukan). Prosiding Seminar Pengembangan Peternakan dalam Menunjang Pembangunan Ekonomi Nasional. Fakultas Peternakan, Universitas Jendral Sudirman, Purwokerto. Hal: 116-126.
Sundstol, F. 1991. Large Scale Utilization of Straw for Ruminant Production Systems. In Recent Advances on The Nutrition of Herbivora Ed. Y.W.Ho. H.K.Wong, N. Abdullah, and Z.A. Tajuddin. Malaysia Society of Animal Nutrition.
Sutardi, T. 1997. Peluang dan Tantangan Pengembangan Ilmu-Ilmu Nutrisi Ternak. Orasi Ilmiah Guru besar Tetap Ilmu Nutrisi, Fapet IPB, Bogor.
Sutardi, T. 1982. Sapi perah dan pemberian makanannya. Fakultas Peternakan IPB, Bogor
Tillman, A.D.,H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo, dan S. Lebdosoekojo. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Umiyasih, U., Aryogi dan Y.N. Anggraeny, 2002. Pengaruh jenis suplementasi terhadapkinerja sapi PO yang mendapatkan pakan basal jerami padi fermentasi. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian, Bogor. Hal: 139-142.
Van Soest, P.J. 2006. Rice straw the role of silica and treatment to improve quality. J.Anim.Feed. Sci. and Technology Volume 130. 137-171.