Menginjeksikan Virus Antikorupsi.

o Setasa
4

OMa,

Kamis

Rabu

6

5
20

~ibun
Jabal'
.
o

21


7
22

-OAp, OMei

0

Jumat

-g-1O
11
24
25
26
o Jun ---0 Jut 0 Ags

8
23

0


~
0

0

Sabtu

27
Sep

13

28

OOkt

~-

Minggu

14

29
8Nov

Menginjeksikan

Virus Antikorupsi
referat

--~---

RONNY P. SASMITA
Praktisi Keuangan di Bursa Efek Jakarta
Alumni FISIP Universitas Padjadjaran

TERPILIHNYA SBY-Boediono sebagai pasangan
presiden dan wakil presiden
kedua dengan sistempemilihan langsung adalah sebuah lompatan besardalam
sejarahdemokratisasi di Indonesia. Tentu saja sebelumnya telah didahului oleh

pemilihan langsung anggota DPR,DPD,DPRDprovinsi, kota, dan kabupaten.
Hal ini adalah buah dari
transisi demokrasi pascalengsernya Soeharto tahun
1998 dan karenanya pantas
untuk diapresiasi.
Kontroversi mulai tersulut takkala sang presiden
dan wakil presiden mencoba untuk menggalang koalisi superbesar dan nyaris tidak menyediakan
ruang
bagi oposisi di parlemen.
Dalihnya sederhana, yaitu
untuk efektivitas dan keterjaminan policy delivery kepada rakyat.
Dengan 60 persen lebih
suara yang diraup saat pilpres dan 70 persen kekuatan yang terjaring dalam
koalisi besar di parlemen,
pada awalnya dianggap
oleh banyak pengamat sebagai legitimate power bagi
SBY-Boediono untuk memanfaatkan hak prerogatif
pembentukan 'kabinet dengan sebaik-baiknya. Tapi
apa lacur, besarnya koalisi
malah membuat SBY tampak grogi dalammenyusun

zakencabinet.Meski dipoles

fit and proper test, pakta

.__

__

inte-

gritas, dan kontrak kerja,
nuansa politikbalas budi jelas terlihat dalam pemilihan
figur-figur menteri KIB II.
Semen tara seiring dengan berjalannya waktu,
program pemberantasan
korupsi yang sempat digembar-gemborkan
SBY
saat berkampanye
langsung mendapatkan
ujian

berat. Perseteruan KPK dan
Polri (juga. Kejaksaan) menguap menutupi ingar-bingarnya program kerja 100
hari KIBII. Semua pihak terr,"1"1I.r

~..

_ ... _...

sentak, proses demokratisasi yang relatif berjalan
mulus ternyata masih kurang lengkap tanpa kehadiran aksi pemberantasan
korupsi yang nyata di tubuh pemerintahan.
Hal ini terkait erat dengan penahanan Bibit Samad Rianto dan Chandra
Hamzah beberapa waktu
lalu. Penahanan dua deputi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini membuka
mata publik bahwa ada
yang belum benar-benar
terealisasi dari daftar agenda reformasi. Kinerja KPK
yang relatif kinclong {l1enjadi pembenaran yang nyata bagi publik untuk berjuang menolak pengutakatikan lembaga ad hoc ini
oleh kepolisian. Pengidentifikasian KPK sebagai lembaga yang proreformasi

membuahkan
resistensi
yang mendalam terhadap
lembaga penegakan hukum
lainya, seperti Polri dan
Kejaksaan. Peristiwa ini juga
dinilai akibat ketidakpercayaan publik terhadap
lembaga penegakan hukum
selain KPK yang sudah mapan sejak lama.
Antipati publik menjadi
semakin masif segera setelah pemutaran hasil penya~
dapan KPK berisi rekaman
pembicaraan antara Anggodo Widjojo dan beberapa
petinggi lembaga penegak
hukum. Publik, yang diwakili kalangan intelektual,
aka demisi,
mahasiswa,
LSM, media, dan elemenelemen civil societylainnya
seolah menemukan
momentum tepat untuk kembali bergerak dan mengingatkan penguasa bahwa

salah satu agenda reformasi
yang tak kalah penting adalah pembumihangusan budaya korupsi kolusi nepotisme (KKN) di Indonesia.
Pemutaran rekaman tersebut, atas inisiatif Mahkamah Konstitusi (MK) dan
di-relay oleh banyak televisi
_ II ~ _ _

_ _"...,.r

----

15

30

----

swasta, berhasil meyakinkan publik bahwa agenda
pemberantasan
korupsi
belum sanggJlp menghasilkan virus mematikan bagi

para koruptor dalam lembaga pemerintahan. Isi rekaman menjelaskan dengan
gamblang betapa leluasanya
hukum dan penegak hukum
diperjualbelikan, di-setting
sesuka hati, dan diobokobok layaknya adonan.
Dengan kondisi yang demikian, rasanya tak ada
alasan lagi bagi masyarakat
untuk tetap berdiam diri layaknya saat menerima manuver-manuver politik dagang sapi sebelumnya dari
para pemenang pemilu.
Alasannya jelas, bergulirnya reformasi 11 tahun lalu
adalah sebagai antitesis terhadap kerajaan KKN yang
dibangun rezim Oide Baru.
Dan takkala di kemudian
hari program pemberantasan korupsi ternyata hanya
jualan politik saat kampanye, maka wajar kalangan
intelektual, akademisi, mahasiswa, LSM, media, dan
elemen civil societylainnya
tersinggung. Selanjutnya,
situasi konfliktual ini tersimbolisasi ke dalam perseteruan KPK versus lembaga
penegak hukum lainnya

(kalau masih boleh dibaca:
Cicak vs Buaya) di mana
KPK diidentifikasi sebagai
simbol reformasi.
Nah, terlepas dari siapa
yang benar atau salah, spirit
antikorupsi yang telah menyebar ke berbagai sist kehidupan berbangsa
dan
bernegara ini selayaknyalah dijadikan tidak hanya :.

di jalanan, maya (Facehook,
Twitter), layar-layar televisi,
dan di lembaran-lembaran
media cetak. Hasilnya, opini
publik tentang mandulnya
penguasa dan lembaga-lembaga penegak hukum pun
tak dapat dibendung lagi.
Pendek kata, demokrasi
yang telah berjalan dengan
gegap gempita ini teras a

kurang lengkap ketika penegak-penegak
hukum
yang bobrok masih bercokol dalam pemerintahan.
Kebobrokan ini adalah hasil
ketidakterkontrolan kekuasaan (baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif)
yang kemudian diyakini,
baik secara teoretis maupun
sebagai pembelaan terhaempiris, bisa melahirkan
dap salah satu institusi pebanyak anak haram kekuanegak hukum. Pasalnya,
saan, yakni koruptor-koagenda pemberantasan koruptor.
rupsi adalah agenda politik
Jika pemerintah tidak bisa
dan hukum yang akan bermenginjeksikan virus antigulir dalam jangka panjang.
Biarkan spirit ini menjadi
korupsi ke dalam lembagavirus (baca: virus antikolembaga pemerintahan,
maka demokrasi yang telah
rupsi) yang akan merasuk
ke dalam semua alat ukur
kita ralli dan yang sempat
dipuji-puji dalam pergaulan
dari akseptabilitas pemeriin ternasional
selama ini
ntahan-pemerintahan yang
akan terbentuk selanjutnya.
semestinya tak pantas lagi
Dan dalam momentum
dibanggakan.
Dan di sisi lain, tak ada
yang cukup strategis ini
sedikit pun dosa bagi publik
pula, sangat jelas tergambar
betapa pentingnya peran
(tentunya melalui energi
civil societydalam menjaga
civil society)untuk memakkonsistensi para penguasa
sakan injeksi virus antikountuk tetap berjalan pada
rupsi tersebut ke tubuh pemerintahan demi kelanjuttrek reformasi yang benar.
an demokratisasi ke tingkat
Hal ini terbukti dengan
jelas bahwa asal-muasal vilebih tinggi, yaitu consolidateddemocracy.
rus antikorupsi adalah dari
Tentu saja hal ini terkesan
kalangan intelektual, akademisi, mahasiswa, LSM,
politis, tapi sebagaimana
Media, dan elemen civil soucapan ahli politk Rumania
ciety lainnya, bukan dari kayang juga Direktur Romalangan elite politik ataupun
nian Academic Society, Alina Mungiu-pippidi, bahwa
pemerintahan.
Gebrakan-gebrakan
kebanyakan kasus korupsi
di negara berkembang adayang dilahirkan civil society
telah terbukti mampu melah bersifat politis, maka
untuk memberantas korupnembus kebuntuan penyaluran aspirasi politik masyasi pun tidaklah cukup derakat. Takkala legislator-lengan instrumen hukum formal belaka, tapi juga mesti
gislator pilihan rakyat berdengan terobosan-terobospesta pora atas kemenangan partai dan individu, teran politik semua stakeholder
demokrasi. Karena bagainyata setali tiga uang malah
manapun, demokrasi tanpa
menyebabkan kebuntuan
dalam penyaluran aspirasi
diproteksi dengan virus
politik publik. Maka, tak
politik antikorupsi adalah
haram jika keinginan dan
sebuah penipuan politik di
mana mekanisme checkand
kehendak politik publik
balanceshanya dipakai untidak lagi harus disalurkan
tuk melegalkan lahirnya
melalui fraksi, komisi, paanak-anak haram kekuanitia, atau badan kehormat(*) _ _
;;.L,.I
__
an di Senay~n.. Ta.pi cU~~2_ saan.