Analisis Yuridis Tindakan Melawan Hukum (1)

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM

TUGAS

Tema: Analisis Kasus
Judul : Analisis Yuridis Tindakan Melawan Hukum Penggunaan Tanaman Ganja Dan
Relevansinya Terhadap Teori Positivisme Hukum (Studi Kasus Perkara Fidelis Ari
Sudarwoto)

Disusun Oleh:
Kharisma Bintang Alghazy
(Program Studi Paralel / 1306393805)

Untuk Memenuhi Komponen Penilaian Perkuliahan
Mata Kuliah Filsafat Hukum B
2017

1

ANALISIS YURIDIS TINDAKAN MELAWAN HUKUM PENGGUNAAN

TANAMAN GANJA DAN RELEVANSINYA TERHADAP TEORI
POSITIVISME HUKUM (STUDI KASUS PERKARA FIDELIS ARI
SUDARWOTO)

I.

Kasus Posisi
Pada awal bulan April tahun 2017, lalu lintas media di Indonesia kembali

diramaikan oleh peristiwa pelanggaran hukum yang sangat beririsan dengan nilainilai kemanusiaan. Peristiwa itu berawal dari sepasang suami istri dan satu anak
yang hidup dalam batas ambang garis kemiskinan dan tinggal di kota Sanggau,
provinsi Kalimantan Barat. Fidelis Ari Sudawarto memiliki seorang istri (Yeni
Riawati) yang menderia penyakit Syringomyelia. Penderita penyakit ini
mengalami dan mengidap pertumbuhan kista di dalam sumsum tulang
belakangnya. Fidelis tidak mampu membayar biaya perawatan rumah sakit yang
sangat mahal dan berinisiatif untuk merawat serta menyembuhkan penyakit
istrinya melalui pengobatan alternatif yang berbahan dasar dari batang tanaman
ganja. Disisi lain, Ia terpaksa menggunakan ganja sebagai alternatif pengobatan
setelah upaya medis, alternatif dan orang pintar lainnya, tidak menunjukkan
tanda-tanda perbaikan badan dan kesembuhan. Pada akhirnya, Ia memutuskan

untuk berinisiatif menggunakan tanaman ganja berdasarkan penelusurannya
dalam buku dan situs berhasa asing di Internet. Tidak disangka, sejak
mengkonsumsi ekstrak ganja, tanda-tanda kesembuhan sang istri mulai terlihat. Ia
mengakui bahwa, semenjak mengkonsumsi ekstrak ganja, Istrinya menjadi dapat
tidur nyenyak setelah biasanya susah tidur, giat makan setelah biasanya susah
makan, mulai pandai dan sering bercerita setelah semula tidak mau dan tidak bisa
berbicara. Kemudian, Pada tanggal 14 Februari 2017, Fidelis melakukan
konsultasi kepada seorang pria yang bekerja di Badan Narkota Nasional (BNN) di
kota Sanggau, Kalimantan Barat. Ia berkonsultasi terhadap tindakannya dan
upayanya untuk menyembuhkan penyakit istrinya. Namun, pada tanggal 19
2

Februari, BNN kota Sanggau malah membawa media massa menggebrek
kediaman Fidelis. Ia ditangkap atas dasar kepemilikan 39 batang ganja. Pasca
penangkapan itu, Fidelis ditahan di kantor kepolisian kota Sanggau dalam kurun
waktu selama 32 hari. Semenjak suaminya ditahan, Yeni Riawati tidak lagi
mendapatkan obat alternatif dan tidak lagi dipelihara oleh suaminya sehinga, Ia
menghembuskan napas terakhirnya. Fidelis diduga melakukan pelanggaran
terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika walaupun,
berdasarkan hasil tes urin Fidelis menujukkan hasil yang negatif. Artinya, ganja

tersebut tidak dikonsumsinya dan hal ini menandakan bahwa, Fidelis bukanlah
seorang pecandu.1
II.

Analisis Peraturan Penggunaan Tanaman Ganja sebagai Pengobatan

Alternatif dan Relevansinya Terhadap Teori Positivisme Hukum
A. Dasar Hukum Penggunaan Tanaman Ganja
Dalam konteks hukum positif di Indonesia, tanaman Ganja dikenal sebagai
tanaman cannabis atau tanaman marijuana yang mana termasuk ke dalam
narkotika golongan I, berdasarkan Lampiran I angka 8 UU Narkotika.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1), narkotika golongan I dilarang
digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Kaedah hukum dalam pasal
tersebut secara positivistik dan tersurat memang sudah menegaskan larangan
penggunaan narkotika golongan I, termasuk tanaman ganja. Namun, terdapat
pengecualian ketentuan di dalam Pasal 8 ayat (2) UU Narkotika yang menyatakan
bahwa :
“Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk
reagensia diagnostic, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan

persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan”.

1 Ilham Arsyam, “Viral Kisah Fidelis Ari, Nekat Tanam Ganja Demi Kesembuhan Istri, Beginilah
Nasibnya Kini”, Tribunnews (30 Maret 2017), http://makassar.tribunnews.com/2017/03/30/viralkisah-fidelis-ari-nekat-tanam-ganja-demi-kesembuhan-istri-beginilah-nasibnya-kini?page=all (diakses
pada 15 Mei 2017).

3

Pengakuan tanaman ganja sebagai narkotika golongan I untuk kepentingan medis
dan ilmu pengetahuan memang telah diakomodasi oleh UU Narkotika. Walaupun
demikian, upaya pemanfaatan dan penggunaan tanaman ganja haruslah
memenuhi kriteria dan syarat-syarat sebagaimana telah dinyatakan diatas.
Bilamana terjadi upaya pemanfaatan tanaman ganja ataupun narkotika golongan I
yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana tersebut diatas maka,
konsekuensi hukum yang harus diterima adalah ketentuan dalam Pasal 111 UU
Narkotika yang menyatakan bahwa :
“ (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)
(2) Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebihi 1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima) batang pohon, pelaku dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).”
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, siapapun dapat dikenakan
pidana penjara maupun denda bilamana, Ia menggunakan tanaman ganja ataupun
narkotika golongan I dengan tidak sesuai ketentuan dalam Pasal 8 ayat (2) UU
Narkotika. Secara positivistik, tindakan Fidelis sudah tentu melanggar ketentuan
Pasal 111 UU Narkotika sebagaimana yang telah disampaikan diatas.
B. Penangkapan Fidelis Ari Sudarwoto dan Positivisme Hukum
Fenomena penangkapan dan penahanan (hingga sekarang) Fidelis Ari
Sudarwoto, sejatinya mencerminkan paradigma positivis aparat penegak hukum
di Indonesia. Paradigma demikian dapat kita cermati pada pernyataan Kepala
BNN, Komisaris Jenderal Budi Waseso yang menegaskan bahwa tindakan


4

menanam ganja, apapun alasannya adalah salah dan tidak ada pengampunan.2
Pernyataan demikian tentu dilandasi oleh adanya suatu ketentuan hukum positif
yang telah menegaskan akan kaedah larangan dan ketentuan sanksi bagi setiap
tindak-tanduk warga negara yang berkaitan dengan tanaman ganja. Artinya,
secara absolut, beliau mengukuhkan bahwa ketentuan hukum positif (UU
Narkotika) ini benar adanya dan harus ditegakkan tanpa kompromi karena,
memang demikian adanya pernyataan kaedah hukumnya.
Pandangan dan sikap demikian, kurang-lebih mencerminkan gagasan
positivisme hukum yang dalam alam bawah sadar, disepakati dan diamini oleh
Kepala BNN beserta seluruh aparatnya. Dapat dikatakan, pernyataan Kepala BNN
sebagaimana tersebut diatas, secara tersirat, telah mengagungkan kaedah-kaedah
hukum secara tekstual. Pandangan demikian secara tidak langsung menentukan
bahwa, segala bentuk hukum positif, sebagai hasil produktivitas seni dari
legislasi, selalu dianggap sebagai sesuatu yang pasti dan valid.3 Oleh karena itu,
suatu perintah dalam hukum positif harus ditaati dan diselenggarakan apapun
adanya. Sebagaimana yang dinyatakan John Austin dalam The Province of
Jurisprudence Determined, menyatakan bahwa : “A law is a command which

obliges a person or persons…. Laws and other commands are said to proceed
from superiors, and to bind or oblige inferiors.”4 Artinya, secara sederhana,
peristiwa penangkapan Fidelis mencerminkan adanya ketaatan, ketundukan, dan
kepatuhan aparat BNN terhadap perintah UU Narkotika yang dikonstruksikan ke
dalam Pasal 111 UU Narkotika sebagaimana telah diuraikan diatas. Disisi lain,
kewenangan menerapkan dan menegakkan kaedah hukum UU Narkotika telah
melekat sebagai salah satu otoritas BNN sehingga, dapat dikatakan, penegakkan

2 Kumparan, “Kepala BNN: Tak Ada Maaf Bagi Fidelis yang Menanam Ganja Untuk Obat”,
Kumparan (31 Maret 2017), https://kumparan.com/ananda-wardhiati-teresia/kepala-bnn-tak-adamaaf-bagi-fidelis-yang-menanam-ganja-untuk-obat (diakses 17 Mei 2017)
3 Agus Brotosusilo dan Antonius Cahyadi, “Bentham, Austin, and Classical English
Positivism”, dalam buku Philosophy of Law, (Jakarta: FHUI, 2015), hlm. 206.
4 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka,
2004), hlm. 114.

5

hukum itu bergantung pada wewenang dari BNN. Argumentasi positivis demikian
senada dengan pernyataan Austin bahwa :
“Law essentially depends on authority. Authority implies that obedience is

rendered by one person to another because the former recognizes that the
latter has right to obedience”.5
Walaupun tindakan penangkapan Fidelis oleh aparat BNN diakui dan telah
diakomodasi oleh fungsi dan kewenangannya secara sah namun, kadang tindakan
demikian mencerminkan perbuatan aparat penegak hukum yang tidak humanis.
Sedangkan, pada era modern ini, nilai-nilai kemanusiaan (humanisme) menjadi
wacana yang tidak dapat dilepaskan dan tidak dapat diredam, seiring pergerakan
zaman yang semakin modern dan semakin demokratis dalam berpendapat.
Ketiadaan humanisme dalam reaksi aparat BNN demikian menjadi suatu hal yang
aneh sebab, terjadi benturan antara keinginan untuk menegakkan hukum dan
menegakkan sisi kemanusiaan. Meskipun begitu terhadap hal ini, Austin
berpendapat bahwa :
“This is grotesque in relation to modern conditions, but the point can be met
if command is regarded merely as denoting the logically imperative form of
legal rules, for there is alwasy legal machinery for enforcing public law rules
against some person or body within the state.”6
Argumentasi Austin diatas, sejatinya memang benar adanya. Sebab, sudah
menjadi hakikat dan kodrat dari hukum itu sendiri bahwa, kaedah hukum
merupakan pernyataan-pernyataan yang berisi suruhan (gebod) dan larangan
(verbod) yang cenderung bersifat imperatif. Rasa patuh dan tunduk terhadap

kaedah hukum UU Narkotika pun sah-sah saja, mengingat, undang-undang
merupakan bentuk keputusan penguasa yang sah dan legal. Namun tidak dapat
dipungkiri, tekanan publik di Indonesia untuk tidak mengusut perkara ini ke
dalam ranah hukum memang sangat besar. Desakan terhadap BNN untuk tidak
tunduk pada ketentuan Pasal 111 UU Narkotika seolah menjadi daya tidak kasat
mata yang seolah memposisikan BNN sebagai otoritas “tidak punya rasa
5 Agus Brotosusilo dan Antonius Cahyadi, “Bentham, Austin, and Classical English Positivism”,
hlm. 222.
6 Agus Brotosusilo dan Antonius Cahyadi, “Bentham, Austin, and Classical English Positivism”,
hlm. 216.

6

kemanusiaan”. Perlu dicatat bahwa, kaedah hukum sejatinya selalu bersifat
obyektif dan selalu berupaya untuk menyeimbangkan antara keadilan dan
kepastian hukum. Obyektivitas kaedah hukum tidak memandang dan tidak
memberikan pengecualian terhadap perkara-perkara sebagaimana seperti yang
terjadi oleh Fidelis, atas dasar equality before the law. Bilamana BNN
mengurungkan niat untuk tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 111 UU
Narkotika dan tidak membawa saudara Fidelis ke dalam ranah hukum maka,

tentu asas “persamaan kedudukan di depan hukum” sebagaimana diatur dalam
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 pun tidak pula ditaati. Artinya, BNN malah
mengenyampingkan kepastian hukum dengan tidak patuh terhadap UUD 1945
maupun UU Narkotika.
C. Kesimpulan
Menurut hemat saya, solusi ideal dalam penyelesaian perkara Fidelis adalah
bukan dengan siasat mengenyampingkan ketentuan peraturan perundangundangan atau memandang sebelah mata paradigma positivisme hukum, dengan
bersembunyi dibalik keindahan irama humanisme. Untuk mengantisipasi perkara
Fidelis-Fidelis di masa mendatang, perumus undang-undang narkotika
sebijaknya, meramu kaedah hukum dengan frasa dan klausula yang tegas untuk
menjangkau dan melindungi tindakan-tindakan serupa yang dilakukan oleh
seorang Fidelis. Secara sederhana, upaya preventif dalam menangani perkara
sejenis Fidelis adalah melakukan perbaikan dan revisi kaedah hukum dengan
menambahkan ketentuan yang menjangkau tindakan itikad-itikad baik
sebagaimana yang dilakukan oleh Fidelis. Walaupun pasti menjadi solusi
berjangka panjang, setidaknya upaya preventif demikian dapat menjadikan
perkara ini sebagai perkara Fidelis yang terakhir.

7


Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

Saat Melawan Bangsa Sendiri

0 60 1

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Analisis terhadap hapusnya hak usaha akibat terlantarnya lahan untuk ditetapkan menjadi obyek landreform (studi kasus di desa Mojomulyo kecamatan Puger Kabupaten Jember

1 88 63