PAPER EKONOMI INTERNASIONAL WORLD BANK

TUGAS KELOMPOK
MATA KULIAH EKONOMI INTERNASIONAL
DOSEN : MUZANI MANSOER, SE, MPM

DAMPAK POSITIF DAN NEGATIF
LEMBAGA ASING WORLD BANK

Disusun oleh :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Yugi Triono
Fauziah
Monika Sihaloho
Isnaeni
Rina
Gamal Marfan


1121000178
1221072265
1021072096
1221072447
1221072169
1021000264

STIA LAN JAKARTA
2013

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Berdasarkan catatan sejarah, Bank Dunia sendiri sebenarnya didirikan bersama-sama Dana

Moneter Internasional (IMF) di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat pada tahun 1944.
Tujuannya saat itu adalah menghindari terulangnya Great Depression akibat terjadinya perang dunia

kedua. Dengan kata lain, awal pendiriannya ditujukan untuk ikut membangun stabilitas ekonomi
global, terutama akibat peperangan ataupun bencana alam. Namun dalam perjalanannya, tujuan ini
telah bergeser dan kini aktivitas Bank Dunia justru seringkali menimbulkan kontroversi.
Bagi Indonesia sendiri, pembangunan dalam negeri serta perekonomian dan perpolitikan
nasional tidak dapat dipisahkan dari Bank Dunia. Sebagai contoh, kita tentu masih ingat beberapa
waktu lalu polemik politik nasional seputar kasus “Century” diredam dengan terpilihnya Sri Mulyani
sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia dengan gaji sebesar US$347.000 per tahun ditambah
tunjangan pensiun sebesar US$52.752 dan tunjangan lain-lain sebesar US$76.698 (Susanto, 2010).
Selain itu, jumlah pinjaman Bank Dunia kepada Indonesia juga cukup besar, apalagi jika
dibandingkan dengan negara-negara lain. Hingga tahun 1998 saja, nilai pinjaman Bank Dunia untuk
Indonesia sudah menyentuh nilai 25,4 milliar dollar AS (Hutagalung, 2009). Dengan nilai pinjaman
sebesar itu, bahkan lebih besar, tentu saja Bank Dunia dan kebijakan-kebijakannya menjadi bagian
yang saling terikat erat dengan pembangunan Indonesia.
Hukum universal menyatakan bahwa setiap ada aksi, akan ada reaksi, setiap ada dukungan
(pro), akan ada perlawanan (kontra). Hal itu pula yang terjadi terkait “bantuan” dana yang mengalir
dari Bank Dunia untuk Indonesia. Oleh karena itu, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan
pandangan mengenai dampak positif dan negatif dari “bantuan” dana dari Bank Dunia, khususnya
bagi Negara Indonesia.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. BANK DUNIA
IBRD (International Bank for Reconstruction and Development) atau yang lebih dikenal Bank
Dunia semula didirikan dalam rangka membantu negara-negara yang rusak akibat perang untuk
melakukan transisi lewat rekonstruksi. Namun, dalam perkembangan situasi dunia yang relatif tidak
diwarnai perang lagi, fungsi bank pun bergeser. Tidak lagi memprioritaskan proyek rekonstruksi,
tetapi lebih sebagai channel untuk menyalurkan dana dari negara-negara kaya untuk pembangunan
ekonomi negara-negara berkembang atau negara lebih misikin yang membutuhkan (Halwani, 2005).
Pentingnya keberadaan negara ini diakui sangat dirasakan negara berkembang yang pernah
menerima bantuan atau pinjaman. Bukan saja karena dana yang disalurkan lebih besar dari lembaga
keuangan internasional lainnya, tetapi dibandingkan dengan pinjaman lembaga keuangan komersial,
pinjaman Bank Dunia bunganya relatif lebih rendah, yakni disesuaikan dengan bunga yang harus
dibayar lembaga itu atas dana yang diperoleh dari pasar modal dunia. Selain itu, juga berjangka
pengembalian lebih lama, yakni 20 tahun atau kurang dengan masa tenggang hingga lima tahun
(Halwani, 2005).
Karena itu, pinjaman lembaga antarnegara yang didirikan sebagai hasil konferensi Bretton
Woods (di New Hampshire, AS) tahun 1944 dan terikat dengan PBB ini sudah tentu relatif lebih
aman bagi nasabah yang juga para anggota-anggota Bank Dunia (sekaligus harus juga menjadi
anggota IMF), termasuk jika dibandingkan dengan pinjaman IMF. Selama tidak ada unsur
perekonomian di dalamnya yang dianggap merugikan kepentingan dalam negeri, bantuan Bank

Dunia tidak dianggap kontroversial sifatnya (Halwani, 2005).
Bank Dunia dan IMF didirikan pada saat dan tempat yang sama, yaitu pada tahun 1944 di
Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, sehingga keduanya sering juga disebut the
Bretton Woods Institution (BWIs). Situasi perekonomian dunia yang tidak menentu selama
berkecamuknya perang dunia kedua dan pascaperangnya menyebabkan adanya kecemasan akan
berulangnya kembali Great Depression (1930). Dengan latar belakang inilah kedua lembaga tersebut
dibentuk dengan tujuan utama untuk ikut membantu stabilitas ekonomi global (Hutagalung, 2009).
Bank Dunia dibentuk pada awalnya untuk membiayai pembangunan kembali Eropa
pascaperang dunia kedua. Fungsi tersebut kemudian berkembang menjadi lebih luas. Tidak lagi
terbatas pada upaya akibat rekonstruksi perang, tetapi juga meliputi pembiayaan rehabilitasi akibat
bencana alam, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, serta rehabilitasi ekonomi setelah masa konflik
antarnegara. Bank Dunia menyediakan dana-dana yang bersifat lunak (concessional), yang syaratnya

lebih lunak dari pinjaman komersial. Saat ini Bank Dunia lebih memfokuskan programnya pada
upaya pengentasan kemiskinan global, terutama dalam rangka mencapai target Millenium
Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 (Hutagalung, 2009).
Selama rentang waktu tiga puluh tahun (1967-1998) dukungan Bank Dunia dalam
pembangunan di Indonesia mencapai lebih dari 24 milliar dollar AS. Dari jumlah itu, sektor
infrastruktur mengambil porsi pinjaman terbesar, yaitu 40 persen. Selanjutnya adalah sektor
pertanian sebesar 19 persen, diikuti sektor pendidikan, kesehatan, gizi, dan kependudukan sebesar 13

persen, serta sektor pembangunan perkotaan, air bersih, dan sanitasi yang mencapai 10 persen
(Hutagalung, 2009).
Hutagalung (2009) menyatakan bahwa pada dekade 80-an, Bank Dunia mengawali program
bantuannya bagi restrukturisasi sektor keuangan, sejalan dengan upaya pemerintah menderegulasi
sektor perbankan pada tahun 1983. Sedangkan pada kurun waktu 1990-1998, Bank Dunia memberi
perhatian yang lebih besar pada masalah lingkungan hidup. Dalam beberapa kasus, Bank Dunia
menjadikan masalah lingkungan hidup sebagai prasyarat pinjaman di sektor tertentu. Misalnya, pada
pinjaman untuk sektor pertanian, Bank Dunia mengaitkan pinjaman dengan masalah penghutanan
kembali (reforestration) yang memang dipandang mendesak untuk segera dilakukan. Keberatan dari
pihak Indonesia kemudian berujung pada pengurangan pinjaman di sektor pertanian (hal ini juga
menjelaskan mengapa porsi pinjaman sektor pertanian semakin menurun). Perincian alokasi
pinjaman Bank Dunia per sektor (tahun 1969-1998) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Alokasi pinjaman Bank Dunia per sektor antara tahun 1969-1998 (Hutagalung, 2009)
US$ juta 1969-

%1969-

%1969-

%1980-


%1990-

Infrastruktur (listrik, migas, telkom,

1998
10,196

1998
40,2

1979
36,9

1990
34,3

1998
46,9


transport)
Pertanian
Pendidikan, kesehatan,

4,880
3,301

19,2
13,0

34,8
7,3

24,7
11,6

9,5
16,0

kependudukan, gizi

Perkotaan, sanitasi, dan air bersih
Keuangan
Penyesuaian
Lain-lain
Total

2,624
1,818
1,200
1,351
25,370

10,4
7,2
4,7
5,3
100,0

6,1
6,6

0
8,3
100,0

6,6
10,4
8,7
3,7
100,0

15,1
4,2
2,2
6,1
100,0

Sektor

Dalam sepuluh tahun terakhir (dekade 1990-an) telah terjadi perubahan mendasar dalam
pinjaman Bank Dunia, yaitu terutama semakin meningkatnya investasi/alokasi pinjaman pada


pembangunan pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dan pembangunan sosial. Hal ini selaras
dengan misi Bank Dunia untuk memerangi kemiskinan seperti yang tertuang dalam MDGs 2015.
Selain itu, ada juga perubahan dalam hal pola pemberian pinjaman, terutama pada saat Indonesia
dalam krisis keuangan, yaitu pinjaman yang diberikan tidak hanya untuk pinjaman proyek (project
loan), tetapi juga semakin meningkatnya pinjaman program (program loan) yang porsinya cukup
besar dan langsung masuk dalam APBN sebagai budgetary support (Hutagalung, 2009).
Untuk meningkatkan efektivitas pemanfaatan dana pinjaman, Bank Dunia terus melakukan
perbaikan dalam mendesain proyek-proyeknya, memperkuat pengawasan dan good governance,
mendukung reformasi di bidang pengadaan barang dan jasa (procurement), serta manajemen
keuangan negara. Dari total utang Indonesia sejumlah 25,4 milliar dollar AS, 23,6 milliar dollar AS
di antaranya telah dicairkan dan 12,4 milliar dollar AS telah dibayarkan kembali kepada Bank Dunia.
Proyek pinjaman Bank Dunia yang sedang berjalan meliputi 39 proyek. Secara umum, jumlah utang
Indonesia ke Bank Dunia telah menurun tajam dan tren ini diharapkan terus berlangsung sehingga
ketergantungan pada pinjaman luar negeri dapat berkurang (Hutagalung, 2009). Kemudian,
komitmen Bank Dunia untuk tahun fiskal 2000-2003 dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komitmen Bank Dunia tahun fiskal 2000-2003 (Hutagalung, 2009)
Tahun Fiskal
Nama Proyek
2000

Decentralised Agriculture and Forestry Extension

IBRD
13,0

Project
Provincial Health Project
Second watersupply for low income community

2001

2002

2003

project
Total tahun fiskal
Kecamatan Development Project
Library Development Project
Second Provincial Health Project
Second KDP
Western Java Environment Management Project
Total tahun fiskal
Eastern Indonesia Region Transport Project
Global Development Learning Network Project
Second Urban Poverty Project
Total tahun fiskal
Water Resources and Irrigation Sector Management
Project

13,0

63,2
208,9
11,7
283,8
200,0
2,7
29,5
232,2
45,0

IDA
5,0

Total
18,0

38,0
77,4

38,0
77,4

120,4
48,2
4,1
40,0
111,3
5,8
209,4

133,4
48,2
4,1
103,2
320,2
17,5
493,2
200,0
2,7
100,0
302,7
70,0

70,5
70,5
25,0

Healh workforce and service project
Java-Bali power sector restructuring and

31,1
141,0

70,5

101,6
141,0

strengthening project
Third KDP
Total tahun fiskal

204,3
421,4

45,5
141,0

249,8
562,4

Hutagalung (2009) menyatakan bahwa dalam tahun fiskal 2002-2003, program Bank Dunia di
Indonesia terfokus pada penurunan tingkat kemiskinan dengan pendekatan desentralisasi. Tiga area
utamanya adalah: (1) melanjutkan pemulihan ekonomi, (2) menciptakan pemerintahan yang
bertanggung jawab dan transparan, (3) menyediakan pelayanan umum yang lebih baik, terutama dari
kelompok miskin. Pinjaman tersebut terutama difokuskan pada penyediaan pelayanan sosial dan
infrastruktur untuk kaum miskin dengan keterlibatan pemerintah dan masyarakat lokal, melalui
program Kecamatan Development Program (KDP).
Tabel 3. Fokus bantuan Bank Dunia tahun 2004-2007 (Hutagalung, 2009)

Fokus
Perbaikan Iklim Investasi







Capaian
Menjaga stabilitas makro (debt/GDP < 60%, inflasi < 7 %,
pendapatan pajak non-migas naik 1%.
Perbaikan iklim investasi di daerah.
Memperkuat dan mendiversifikasi sektor keuangan dengan akses
yang lebih merata.
Menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat.
Perbaikan infrastruktur bisnis: pembenahan pengelolaan
infrastruktur (jalan, produksi dan pemasaran migas, privatisasi

Pelayanan publik



infrastruktur kunci di BUMN, dan sebagainya.
Menciptakan sumber pendapatan yang berlanjut bagi kelompok



miskin.
Percepatan tercapainya target MDG di bidang kesehatan,

berkualitas untuk kelompok

pendidikan, dan pendapatan masyarakat.

miskin


Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan untuk kaum miskin
dengan memperbesar akses untuk menyelesaikan wajib belajar 6
tahun dan sekolah tingkat lanjut (SLTP) serta dengan meningkatkan
kualitas dan akses ke air bersih, menyediakan tenaga kesehatan

Good governance



terlatih, memperbaiki kualitas gizi balita dan kelompok miskin.
Membuat sistem perencanaan yang lebih aksesibel bagi semua





kelompok.
Menciptakan peraturan bagi sistem keuangan publik yang transparan
di semua tingkat pemerintahan.
Desentralisasi yang lebih efektif.
Menciptakan sistem hukum dan peradilan yang lebih kredibel
dengan memperbaiki langkah pencegahan korupsi, pengawasan
kekayaan pejabat, memperbaiki sistem peradilan, dan sebagainya.

Hutagalung (2009) juga menyatakan bahwa program Bank Dunia tahun 2004-2007 untuk di
Indonesia berfokus pada tiga hal, yaitu: (1) memperbaiki iklim investasi, (2) menyediakan pelayanan
publik yang berkualitas bagi kelompok miskin, dan (3) good governance, sebagaimana tampak
dalam Tabel 3 di atas.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BANK DUNIA
Bank Dunia didirikan bersama-sama dengan didirikannya IMF pada tahun 1944 di Britton
Woods, New Hampshire, Amerika Serikat. Bank Dunia dibentuk oleh dua negara promotor dan
pendukung utama, yaitu Amerika Serikat dan Inggris. Tujuan awal didirikannya adalah untuk
mencegah berulangnya peristiwa Great Depression sebagaimana pernah terjadi pada sekitar tahun
1930 (Hutagalung, 2009). Hal ini disebabkan perang dunia kedua yang melanda hampir seluruh
belahan bumi sangat berpotensi meninggalkan puing-puing perekonomian yang luluh lantak di Eropa
dan juga di sebagian besar negara-negara korban perang lainnya.

Entah karena pihak sekutu (yang saat itu sudah didukung oleh Amerika Serikat
pascapengeboman Pearl Harbour oleh Jepang) merasa perang tidak akan berlangsung lama lagi
ataupun karena alasan lain, tetapi yang jelas setahun setelah didirikannya Bank Dunia perang dunia
kedua benar-benar berakhir. Sesuai prediksi, negara-negara korban perang, terutama di Eropa, segera
membutuhkan aliran dana segar untuk merekonstruksi perekonomian mereka pascaperang. Prancis
tercatat sebagai negara pertama yang mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia senilai 250 juta dolar
AS.
Dalam perkembangannya, semakin sedikit negara yang mengalami peperangan, sehingga
kebutuhan untuk rekonstruksi pascaperang pun semakin kecil. Pada saat itu, Bank Dunia di bawah
kepemimpinan Mc-Namara menggeser fokusnya ke arah pembangunan infrastruktur, pengentasan
kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan pelayanan publik, terutama di negara-negara dunia ketiga
yang notabene tertinggal dari negara maju.
3.2. PERAN BANK DUNIA TERHADAP INDONESIA
Kebijakan politik pemerintahan Presiden Soekarno yang mendekat ke blok Uni Soviet
menyulitkan Bank Dunia yang memiliki paham berseberangan untuk mengambil peran lebih banyak
bagi Indonesia. Oleh karena itu, Bank Dunia baru mulai berperan sebagai lembaga pemberi pinjaman
bagi Indonesia pada saat awal masa pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu sekitar tahun 1968.
Namun sebelum memberikan pinjaman, Bank Dunia “menjajaki” Indonesia dengan memberikan
bantuan teknis untuk identifikasi kebijakan makro ekonomi, kebijakan sektoral yang diperlukan, dan
kebutuhan pendanaan yang kritis (Hutagalung, 2009).
Di masa-masa awal pemberian pinjaman, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang
memiliki nilai credit worthiness yang rendah. Oleh karena itu, pinjaman yang diberikan oleh Bank
Dunia pada saat itu menggunakan skema IDA atau pinjaman tanpa bunga, kecuali administrative fee
¾ persen per tahun dan jangka waktu pembayaran 35 tahun dengan masa tenggang 10 tahun. Dana
pinjaman pertama yang diberikan kepada Indonesia adalah sebesar 5 juta dolar AS pada September
1968 (Hutagalung, 2009).
Pada masa-masa awal tersebut, dana pinjaman dari Bank Dunia digunakan untuk pembangunan
di bidang pertanian, perhubungan, perindustrian, tenaga listrik, dan pembangunan sosial. Pada tahuntahun berikutnya, Indonesia berhasil menunjukkan performa ekonomi yang memuaskan, dengan ratarata pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun, jauh lebih besar dari rata-rata pertumbuhan
ekonomi negara peminjam yang lain. Oleh karena itu, sejak akhir dekade 70-an Indonesia sudah
mulai dianggap sebagai negara yang lebih creditworthy untuk memperoleh pinjaman Bank Dunia
yang konvensional atau dengan menggunakan skema IBRD. Berbeda dari periode sebelumnya, pada

dekade 80-an, pinjaman uang Bank Dunia terlihat lebih terarah pada masalah deregulasi sektor
keuangan, selain masih tetap digunakan bagi pengembangan sektor-sektor sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya. Dana hutang yang diberikan kepada Indonesia, antara lain dalam bentuk
hutang proyek dan hutang dana segar.
a.

Hutang Proyek.
Hutang proyek adalah hutang dalam bentuk fasilitas berbelanja barang dan jasa secara kredit.
Namun, sayangnya, hutang ini justru menjadi alat bagi Bank Dunia untuk memasarkan barang
dan jasa dari negara-negara pemegang saham utama, seperti Amerika, Inggris, Jepang dan
lainnya kepada Indonesia.

b.

Hutang Dana Segar
Hutang dana segar bisa dicairkan bila Indonesia menerima Program Penyesuaian Struktural
(SAP). SAP mensyaratkan pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan yang bentuknya,
antara lain:
1)

Swastanisasi (Privatisasi) BUMN dan lembaga-lembaga pendidikan

2)

Deregulasi dan pembukaan peluang bagi investor asing untuk memasuki semua sector

3)

Pengurangan subsidi kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti: beras, listrik, pupuk dan rokok

4)

Menaikkan tarif telepon dan pos

5)

Menaikkan harga bahan bakar (BBM).

Anggoro (2008), peneliti dari Institute of Global Justice, menulis, kerugian yang diderita
Indonesia
a.

karena

menerima

pinjaman

dari

Bank

Dunia

adalah

sebagai

berikut

Kerugian dalam bidang ekonomi
1)

Indonesia kehilangan hasil dari pengilangan minyak dan penambangan mineral (karena
diberikan untuk membayar hutang dan karena proses pengilangan dan penambangan itu
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnational partner Bank Dunia)

2)

Jebakan hutang yang semakin membesar, karena mayoritas hutang diberikan dengan
konsesi pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan AS dan negara donor lainnya.

3)

Hutang yang diberikan akhirnya kembali dinikmati negara donor karena Indonesia harus
membayar “biaya konsultasi” kepada para pakar asing, yang sebenarnya bisa dilakukan
oleh para ahli Indonesia sendiri.

4)

Hutang juga dipakai untuk membiayai penelitian-penelitian yang tidak bermanfaat bagi
Indonesia melalui kerjasama-kerjasama dengan lembaga penelitian dan universitasuniversitas.

5)

Sebagian hutang dipakai untuk membangun infrastuktur demi kepentingan perusahaanperusahaan asing, seperti membangun fasilitas pengeboran di ladang minyak Caltex atau
Exxon Mobil. Pembangunan infrastruktur itu dilakukan bukan di bawah kontrol
pemerintah Indonesia, tetapi langsung dilakukan oleh Caltex dan Exxon.

b.

Kerugian dalam bidang politik.
Keterikatan pada hutang membuat pemerintah menjadi sangat bergantung kepada Bank Dunia

dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik yang dibuat pemerintah. Pemerintah harus berkalikali membuat reformasi hukum yang sesuai dengan kepentingan Bank Dunia.
Hal ini juga diungkapkan ekonom Rizal Ramli (2009), ”Lembaga-lembaga keuangan
internasional, seperti Bank Dunia, IMF, ADB, dan sebagainya dalam memberikan pinjaman,
biasanya memesan dan menuntut UU ataupun peraturan pemerintah negara yang menerima
pinjaman, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga di bidang sosial. Misalnya, pinjaman
sebesar 300 juta dolar AS dari ADB yang ditukar dengan UU Privatisasi BUMN, sejalan dengan
kebijakan Neoliberal. UU Migas ditukar dengan pinjaman 400 juta dolar AS dari Bank Dunia.”
Cara kerja Bank Dunia (dan lembaga-lembaga donor lainnya) dalam menyeret Indonesia (dan
negara-negara berkembang lain) ke dalam jebakan hutang, diceritakan secara detil oleh John Perkins
dalam bukunya, “Economic Hit Men”. Perkins adalah mantan konsultan keuangan yang bekerja pada
perusahaan bernama Chas T. Main, yaitu perusahaan konsultan teknik. Perusahaan ini memberikan
konsultasi pembangunan proyek-proyek insfrastruktur di negara-negara berkembang yang dananya
berasal dari hutang kepada Bank Dunia, IMF, dll.

BAB IV
KESIMPULAN
Keberadaan Bank Dunia sejak tahun 1944 telah mempengaruhi perekonomian global secara
signifikan. Mulai dari rekonstruksi dan rehabilitasi negara-negara korban perang dunia kedua, hingga
program-program pengentasan kemiskinan dan pembangunan berbagai negara berkembang di
seantero dunia. Tampaknya kini tidak ada satu negara pun yang terbebas dari pengaruh Bank Dunia,
baik kebijakannya, dana pinjamannya, maupun kapitalisme dan liberalisasi keuangan yang
dikampanyekannya.
Dalam dua dekade terakhir, Bank Dunia telah banyak membantu negara-negara dunia ketiga
dalam permodalan bagi pembangunan dalam negerinya masing-masing. Berbagai proyek, mulai dari

bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, liberalisasi ekonomi dan keuangan, hingga
lingkungan hidup menjadi fokus bagi pengucuran dana pinjaman berbunga rendah oleh Bank Dunia.
Dengan modal pinjaman inilah, negara-negara berkembang yang notabene adalah negara miskin dan
kekurangan modal, memiliki harapan untuk memperbaiki kondisi ekonominya dan mengejar
ketertinggalan yang sangat jauh dari negara-negara maju. Bahkan tidak jarang, uang pinjaman inilah
yang menjadi penyangga bagi “nafas” perekonomian negara peminjam yang kadang “tersengalsengal” dihantam badai krisis.
Namun demikian, keberadaan Bank Dunia bukan tanpa kontroversi dan dampak negatif.
Kemelut utang tak berujung yang meliputi berbagai negara peminjam seringkali justru menjadi
“bumerang”. Alih-alih mengatasi masalah perekonomian dalam negeri, seringkali dana pinjaman dari
Bank Dunia justru seperti menumpuk masalah di tahun-tahun mendatang yang suatu saat –cepat atau
lambat- akan overload dan dapat mengakibatkan chaos. Apalagi banyak ahli ekonomi dari negaranegara peminjam (yang biasanya berdiri di luar pemerintahannya) berkomentar miring dan justru
menuding Bank Dunia yang telah menganjurkan kebijakan ekonomi yang menyesatkan dan tidak
menyelesaikan masalah. Salah satu penyebabnya adalah aliran uang pinjaman yang masuk seringkali
justru kembali lagi ke negara-negara donor, sehingga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi
negara peminjam.
Bagi Indonesia sendiri, peran Bank Dunia mulai tampak jelas setelah masa pemerintahan
Presiden Soekarno yang cenderung dekat dengan poros Uni Soviet berakhir. Hingga saat ini,
Indonesia masih menjadi salah satu negara yang dipercaya oleh Bank Dunia untuk meminjam dana
untuk berbagai keperluan, terutama untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, pelayanan publik,
pertanian dan lingkungan hidup.
Namun demikian, sama seperti banyak negara peminjam lainnya, hal ini justru dapat
membahayakan perekonomian dalam negeri di masa mendatang jika peminjaman yang dilakukan
tidak efisien, tidak bermanfaat, dan juga boros dalam penggunaannya. Bagaimanapun, utang tersebut
–beserta bunganya- dapat terus menumpuk hingga Indonesia tak mampu lagi membayarnya jika
dibiarkan dilakukan terus menerus tanpa upaya pengurangan utang yang sistematis.
Aliran uang pinjaman yang masuk seharusnya dapat dikendalikan, sehingga tidak hanya
menguntungkan dan menambah kekayaan segelintir orang, tetapi juga dapat benar-benar
menggerakkan perekonomian nasional, baik secara analisis makro maupun mikro. Karena
bagaimanapun, kemandirian dibentuk dan dilakukan oleh kita sendiri. Dana pinjaman hanyalah
sarana seperti sebuah pedang, jika kita ahli menggunakannya maka akan menjadikan kita kuat dan
sejajar dengan negara manapun, namun jika kita tidak hati-hati menggunakannya, justru dapat
“melukai” bahkan “membunuh” kita sendiri, cepat ataupun lambat.

DAFTAR PUSTAKA
Halwani, H. 2005. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi (Edisi Kedua). Penerbit Ghalia
Indonesia, Bogor.
Hutagalung, Jannes. 2009. Peran Bank Dunia dan IMF dalam Perekonomian Indonesia Dulu dan
Sekarang. Di dalam: Abimanyu, A. dan A. Megantara. 2009. Era Baru Kebijakan Fiskal: Pemikiran,
Konsep, dan Implementasi. PT Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Perkins, John. 2005. Confessions of an Economic Hit Men, Pengakuan Seorang Ekonom Perusak
(Edisi Bahasa Indonesia). Penerbit Abdi Tandur, Jakarta.
Purwoko, Krisman. Bank Dunia Setujui Pinjaman 800 Juta Dolar AS. www.republika.co.id [18
Desember 2010]
Rachbini, Didiek J. 2001. Tanggung Jawab Bank Dunia. Agrimedia Volume 7 Nomor 1.

Susanto, Heri. 2010. Gaji Sri Mulyani di Bank Dunia Rp 3 Miliar. www.vivanews.com [18
Desember 2010]
http://chiez.blogstudent.mb.ipb.ac.id/2010/12/24/dampak-positif-dan-negatif-dari-peran-bank-dunia-terhadapdunia-internasional-dan-indonesia/