ADAPTASI KLON-KLON LOKAL UBIJALAR DI DATARAN RENDAH PAPUA ADAPTATION OF LOCAL SWEET POTATO CLONES IN THE LOWLANDS OF PAPUA Demas Wamaer

  

Jurnal Pertanian Agros Vol.19 No. 2, Juli 2017: 128-141

ADAPTASI KLON-KLON LOKAL UBIJALAR DI

DATARAN RENDAH PAPUA

ADAPTATION OF LOCAL SWEET POTATO CLONES

  1 Demas Wamaer

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua Barat

  Received March 17, 2017

  • – Accepted July 17, 2017 – Available online December 24, 2017

  ABSTRACT Objective of study was to obtain local clones of adaptive lowland ubijalar in Papua.

  

Experiment was conducted in lowland dry season 2012/2013 in two locations, namely

Keerom and Jayapura districts. Randomized Block Design (RAK), 10 local varieties of

adaptive lowland Papua and two national superior varieties (Beta 2 and Cangkuang) were

used. Cultivation technique used is a bund system. Results: there were three local varieties

with higher yield and yield potential than Beta-2 comparison varieties (22.4 t/ha with yield

potential 22.9 t/ha) and Cangkuang (20.6 t/ha with potential yield 21,6 ta/ha), while the three

local varieties are Ningkay-3 having average productivity 27,5 t/ha (yield potential 28,0 t/ha)

Ningkay-6 has productivity 24,9 t ha yield potential 28.1 t/ha) and Ordinance Tingkamang-1

has an average productivity of 23.8 t/ha (yield potential of 24.5 t/ha). These three varieties

are Ningkay-3, Ningkay-6, and Oringking Tingkamang-1 each also has a very high tuber-dry

production either compared to other test varieties or with a comparison variety, the averaged

average is 9,3; 8,0 and 7.3 t/ha with dry matter 33.8; 32.3 and 30.8 percent respectively.

Further testing with various seasons and more locations and varying altitude is required. Key-words: local clon, sweet potato, Papua

  INTISARI

  Tujuan penelitian: mendapatkan klon lokal ubijalar yang adaptif dataran rendah di Papua. Penelitian dilaksanakan di lahan kering dataran rendah musim penghujan 2012/2013 di dua lokasi, yaitu Kabupaten Keerom dan Jayapura. Digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), 10 varietas lokal Papua adaptif dataran rendah dan dua varietas pembanding unggul nasional (Beta Dua dan Cangkuang). Teknik budidaya yang digunakan adalah sistem guludan.

  Hasil: terdapat tiga varietas lokal yang memiliki produksi dan potensi hasil umbi lebih tinggi dibanding varietas pembanding Beta Dua (22,4 t per ha dengan potensi hasil 22,9 t per ha) dan Cangkuang (20,6 t per ha dengan potensi hasil 21,6 t per ha), sedangkan ketiga varietas lokal tersebut adalah Ningkay-Tiga memiliki rata-rata produktivitas 27,5 t per ha (potensi hasil 28,0 t per ha), Ningkay-Enam memiliki produktivitas 24,9 t per ha (potensi hasil 28,1 t per ha), dan Ornaning Tingkamang-Satu memiliki rata-rata produktivitas 23,8 t per ha (potensi hasil 24,5 t per ha). Ketiga varietas ini adalah Ningkay-Tiga, Ningkay-Enam, dan Ornaning Tingkamang-Satu masing-masing juga memiliki produksi bahan kering umbi yang sangat tinggi, baik dibanding dengan varietas uji lainnya atau dengan varietas pembanding, rata-rata yang diberikan yaitu secara berurutan adalah 9,3; 8,0, dan 7,3 t per ha dengan bahan kering 33,8; 32,3, dan 30,8 persen. Perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan berbagai musim dan lokasi yang lebih banyak serta ketinggian tempat yang bervariasi. 1 Kata kunci: klon lokal, ubijalar, Papua

  

Alamat penulis untuk korespondensi: Demas Wamaer. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

  

Adaptasi Klon-klon Lokal Ubijalar (Demas Wamaer) 129

PENDAHULUAN

  Ubijalar merupakan pangan pokok bagi suku-suku yang hidup di wilayah yang sumber pangan alternatifnya sangat sedikit seperti yang hampir tidak memiliki tanaman pangan tradisional lain seperti sagu. Di beberapa lokasi, kedudukan ubijalar sangat strategis, baik dari aspek ekologi maupun dari aspek ekonomi. Peluang untuk mendapatkan komoditas substitusi ubijalar sebagai bahan pangan relatif kecil. Secara ekologis, sangat langka tanaman pangan berisiko rendah selain ubijalar yang mampu beradaptasi dan berproduksi dengan baik ekonomi, memasok ubi jalar dari kabupaten lain ke lokasi tertentu yang sangat terisolasi merupakan alternatif yang kurang ekonomis karena sulitnya transportasi dan logistik. Bagi penduduk daerah pedalaman yang menggunakan ubijalar sebagai makanan pokok sering mengalami kesulitan, karena pertanaman gagal berproduksi sebagai akibat dari pengaruh alam yang ekstrim (banjir dan kekeringan) atau serangan hama atau penyakit. Dengan demikian teknologi alternatif untuk mengatasi masalah tersebut harus tersedia. Secara politis mempertahankan ubijalar sebagai pangan pokok ikut mendorong terwujudnya diversifikasi pangan nasional.

  Dalam kaitannya dengan spesifik komoditas, arah pengembangan pertanian dilandasi oleh upaya pelestarian swasembada pangan dan pemantapan program diverisifikasi pangan mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agro- industri. Peluang pengembangan pertanian Papua yang didasarkan pada spesifik komoditas sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas usaha tani ubijalar merupakan komoditas tanaman pangan yang perlu mendapat perhatian untuk semua agro-ekosistem yang menunjang untuk Papua. Jenis kultivar ubijalar yang diusahakan sangat bervariasi. Lembah Baliem memiliki keragaman genetik lebih luas dibanding daerah-daerah luar lembah. Jumlah kultivar budidaya ubijalar pada daerah lembah Baliem sudah dikoleksi oleh CIP-ESEAP bekerjasama dengan Balitbiogen dan Balitkabi sebelum tahun 2000. Hasil identifikasi terhadap sifat tanaman di kabupaten Jayawijaya ditemui beberapa kultivar yang memiliki morfotipe dangkal dan menggulung ke atas, permukaan daun yang mengkilap seperti minyak. Ditinjau dari segi kegunaan juga ada kultivar yang digunakan sebagai suguhan dalam acara ritual dan adat, makanan ternak babi dan bahan obat-obatan tradisional mereka. Sehubungan dengan semakin banyaknya jenis-jenis lokal dan varietas unggul yang berumur pendek yang digunakan masyarakat maka jenis-jenis yang berumur dalam cenderung menghilang (Achmadi 1988). Dalam rangka untuk mengatasi hilangnya kultivar-kulivar lokal di kabupaten Jayapura dan Keerom maka dilakukan koleksi (explorasi) varietas lokal yang mungkin nantinya cocok digunakan untuk berbagai kegunaan, baik untuk menjaga ketahanan pangan maupun sebagai bahan baku agro-industri. Kebiasaan masyarakat pegunungan yang memanen ubijalar secara bertahap (peacemeal harvesting), dari berbagai aspek kurang menguntungkan, karena siklus hama dan penyakit ubijalar akan terpicu perkembangannya. Panen serentak belum dipraktekkan oleh masyarakat di daerah

  130 Jurnal Pertanian Agros Vol. 19, No.2, Juli 2017: 128-141

  pengolahan produk antara yang dapat disimpan. Penyimpanan ubijalar dalam bentuk segar dalam waktu lama juga belum dipraktekkan oleh petani. Mengingat hasil panen per satuan luas cukup tinggi sedangkan pemasaran umumnya dalam bentuk segar, maka sering terjadi penurunan mutu sebelum bahan sampai ke tangan konsumen.

  Kendala penyediaan yang lain adalah sifat musiman panen ubijalar. Pada saat musim panen ubijalar melimpah, sedangkan pada saat musim tanam ketersediaannya kurang. Untuk mengatasi kontinuitas penyediaan ubijalar segar maka diupayakan menciptakan produk setengah ubijalar segar (sebagai makanan pokok) pada saat diolah serta dapat digunakan sebagai bahan substitusi atau suplementasi produk yang sudah ada.

  Sampai saat ini Kementerian Pertanian sudah menghasilkan tiga varietas unggul ubijalar adaptif dataran tinggi, yaitu Papua Solossa, Papua Pattipi, dan Sawentar yang penelitiannya sebagian besar dilakukan di Papua, terutama di daerah pegunungan Jayawijaya. Sementara untuk dataran rendah, petani selama ini pada umumnya menggunakan varietas lokal.

  Pada tahun 2009 Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua bekerjasama dengan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi- umbian (Balitkabi) telah melakukan explorasi varietas lokal ubijalar di empat kabupaten di Papua yang mewakili dataran rendah Papua, yaitu Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Kabupaten Kerom, dan Kabupaten Merauke. Dari kegiatan tersebut diperoleh sebanyak 41 aksesi (jenis) varietas lokal dan setelah dievaluasi daya hasilnya di beberapa lokasi dataran rendah ternyata kualitas umbinya. Terdapat dua varietas lokal Papua yang memiliki potensi hasil yang cukup tinggi, yaitu varietas lokal Yoka yang berasal dari desa Yoka, distrik Heram, Kota Jayapura dan Ornaning Kokurap yang berasal dari desa Sanggai, distrik Namblong, kabupaten Jayapura. Umbi dari kedua varietas lokal ini berpeluang untuk digunakan sebagai bahan baku industri pati dan juga sebagai makanan pokok masyarakat setempat. Untuk bisa digunakan secara komersil maka kedua varietas lokal tersebut harus dirilis (dilepas) terlebih dahulu sebagai varietas unggul. Untuk itu dalam rangka mendukung usulan pelepasan varietas tersebut maka dilakukan kegiatan

  Evaluasi potensi hasil dan keragaan agronomis dari semua aksesi yang dikumpulkan terus dilakukan di dataran rendah Papua oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua dan BPTP Papua serta oleh Balitkabi. Dari evaluasi tersebut terdapat dua aksesi yang konsisten memberikan daya hasil yang tinggi di dataran rendah dan berpeluang untuk dilepas sebagai varietas unggul. Kedua varietas lokal tersebut adalah Yoka lima yang berasal dari Distrik Heram Kota Jayapura dan Ornaning Kokurap Satu dari Desa Sanggai, Distrik Namblong, Kabupaten Jayapura. Karakterisasi sifat morphologi telah dilakukan sewaktu kegiatan inventarisasi (Jusuf dkk 2009). Dari pengujian di beberapa lokasi kedua klon ini terindikasi memiliki rata-rata dan potensi hasil yang tinggi. Hasil pengujian di tiga lokasi di Malang (Jatim) dan Sentani (Papua), kedua varietas lokal ini memberikan hasil yang cukup tinggi. Varietas lokal Yoka Lima memberikan rata- rata hasil 29,9 t per ha sedangkan varietas lokal Ornaning Kokurap Satu memberikan

  

Adaptasi Klon-klon Lokal Ubijalar (Demas Wamaer) 131

  Kedua varietas lokal ini memiliki bentuk umbi yang cukup bagus dan kadar bahan kering yang cukup tinggi (30 persen). Kedua varietas lokal ini ditanam cukup luas di dataran rendah Papua terutama di Kota dan Kabupaten Jayapura (komunikasi personal). Adapun untuk varietas lokal ubijalar dataran tinggi dulu pernah diajukan oleh BPTP Papua untuk dilepas tapi belum disetujui dan kali ini akan diajukan lagi. Varietas lokal yang diajukan adalah Helaleke Lama untuk makanan manusia dan Musan untuk makanan babi (Makalah usulan pelepasan terlampir). Di samping itu juga ada dukungan data penelitian kerjasama CIP-ACIAR-Balitkabi selama tahun 2002 tinggi tersebut berasal dari Kabupaten Jayawijaya. Dari kenyataan tersebut disimpulkan bahwa untuk varietas lokal dataran rendah pengusulnya adalah Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua, Balitkabi, dan BPTP Papua. Adapun untuk varietas lokal dataran tinggi, pengusulnya adalah BPTP Papua, ACIAR, Balitkabi, dan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Provinsi Papua.

  METODOLOGI

HASIL DAN PEMBAHASAN

  Pengkajian dilaksanakan di lahan kering pada musim penghujan 2012 hingga 2013 di dua lokasi, yaitu Desa Kampung Sanggaria Arso Satu, Distrik Arso, Kabupaten Keerom dan di Besum (Desa Karya Bumi), Distrik Namlong, Kabupaten Jayapura. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) menggunakan 10 varietas lokal Papua adaptif dataran rendah dan dua varietas pembanding unggul nasional (Beta Dua dan Cangkuang). Teknik budidaya yang digunakan adalah sistem guludan dengan lobang, pemupukan 300 kg Phonska + 100 kg Urea + 20 kg Furadan + 5 ton pupuk kandang per hektar. Pupuk phonska diberikan dua kali, yaitu pada saat tanaman berumur satu minggu dengan takaran sepertiga bagian pupuk dan sisanya diberikan pada umur 1,5 bulan setelah tanam, sedangkan pupuk kandang hanya pada saat tanam. Pengendalian hama atau penyakit lainnya dilakukan secara intensif. Ukuran petak 3 m x 5m dengan tiga ulangan. Pemeliharan meliputi penyiangan, pembalikan batang, dan pengendalian hama dan penyakit utama dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Panen umbi dilakukan pada umur empat hingga 4,5 bulan setelah tanam. dan berat umbi dari umbi besar, sedang, dan kecil per plot, berat brangkasan, bahan kering umbi, skor bentuk umbi, skor keseragaman bentuk dan ukuran umbi, skor rengkah, skor serangan hama utama (pemakan daun, penggulung daun, dan hama boleng), skor serangan penyakit utama (kudis, bercak coklat, dan bercak ungu). Kriteria ukuran umbi adalah: kecil: 100 g atau lebih kecil per umbi, sedang: 100 hingga 200 g per umbi, dan besar 200 g atau lebih per umbi.

  Keragaan Hasil Umbi.Rangkuman

  keragaan hasil di lokasi Keerom dan Besum, Papua pada musim hujan 2012 hingga 2013 disajikan pada Tabel 1. Produksi umbi basah di lokasi Keerom, memberikan rata-rata yang cukup bervariasi, yaitu berkisar antara 12,9 hingga 27,0 t per ha. Terdapat lima klon yang memiliki produksi umbi di atas 20 t per ha, yakni Ningkey Tiga, Ornaning Tingkamang Satu, Beta Dua, Ningkey Enam, dan Ningkey Dua dengan produksi umbi

  

132 Jurnal Pertanian Agros Vol. 19, No.2, Juli 2017: 128-141

  21,2 t per ha serta memberikan rataan 19,41 t per ha, sedangkan varietas pembanding unggul nasional Cangkuang memberikan rata-rata produksi umbi 19,5 t per ha. Hasil uji analisis menunjukkan bahwa hanya varietas lokal Ningkay Tiga saja yang berbeda sangat nyata lebih tinggi terhadap semua varietas yang diuji termasuk terhadap varietas pembanding, yaitu Beta Dua dan Cangkuang (Tabel 1).

  Rata-rata produksi umbi dari 12 klon yang diuji di Besum (Kabupaten Jayapura) sekitar 22,62 t per ha dengan kisaran hasil 18,8 hingga 28,1 t per ha. Dari 12 klon yang diuji terdapat dua klon yang memberikan rata-rata produksi di bawah 20 (18,8 t per ha), sedangkan klon uji lainnya memberikan rata-rata produksi antara 20,0 hingga 28,1 t per ha. Klon Ningkey Enam, Ningkey Tiga, dan Ornaning Tingkamang Satu merupakan klon yang memiliki rata- rata produksi tertinggi di lokasi ini, yakni 28,1; 28,0, dan 24,5 t per ha. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa klon Ningkey Enam dan Ningkey Tiga memberikan produksi berbeda sangat nyata terhadap semua klon uji, termasuk varietas pembanding Beta Dua dan Cangkuang yang memberikan hasil masing-masing 22,9 t per ha dan 21,8 t per ha. Akan tetapi produksi klon Ningkey Enam dan Ningkey Tiga tidak berbeda nyata lebih tinggi terhadap varietas uji Ornaning Ti

  Dari Tabel 1 terlihat bahwa rata-rata hasil di Besum (22,62 t per ha) lebih tinggi dibanding Keerom (19,41). Hal ini menunjukkan bahwa lokasi Besum memiliki tingkat kesuburan tanah yang lebih baik dibanding Keerom, di samping itu kemungkinan klon yang diuji lebih adaptif terhadap jenis atau tekstur tanah di lokasi Besum. Hasil rata-rata masing-masing klon

  Kedua lokasi tersebut menunjukkan bahwa tujuh varietas memberikan rata-rata hasil di atas 20 t per ha. Ketujuh varietas tersebut adalah Ningkey Tiga, Ningkey Enam, Ornaning Tingkamang Satu, Beta Dua, Ningkey Dua, Cangkuang, dan Ningkey Empat dengan rata-rata produksi masing- masing secara berurutan adalah 27,5; 24,6; 23,8; 22,4; 21,8; 20,6, dan 20,3 t per ha (Tabel 1).

  Bahan Kering Umbi. Bahan kering umbi

  merupakan parameter yang sangat penting dalam seleksi ubijalar untuk konsumsi karena menyangkut produksi bahan kering umbi dan enak tidaknya umbi yang dimakan. dengan kadar pati, sedangkan kandungan pati umbi berkolerasi positif enak tidaknya rasa umbi suatu varietas, umbi yang mengandung pati yang tinggi cenderung memberikan rasa enak (Wang 1982).

  Perbedaan kadar bahan kering umbi antar-lokasi tidak terlalu nyata karena kadar bahan kering umbi memiliki nilai heritabilitas yang tinggi, yaitu 0,61 (Ningsih1996). Rata-rata kadar bahan kering umbi dari 10 klon uji di Keerom dan Besum masing-masing 32,64 persen dan 33,27 persen (Tabel 1). Untuk lokasi Keerom, semua klon yang diuji memiliki rata-rata bahan kering di atas 30,0 persen, kecuali varietas Ornaning Tingkamang Satu dengan bahan kering 28,5 persen. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa klon Siape yang memiliki kadar bahan kering 34,3 persen tidak berbeda nyata lebih tinggi dibanding kadar bahan kering varietas pembanding Cangkuang (34,3 persen). Adapun tiga klon lainnya, yaitu Malugurom (33,8 persen), Ningkey Tiga (33,8 persen), dan Inggo Lakuwe (33,2 persen) memiliki kadar bahan kering yang tidak berbeda nyata lebih

  

Adaptasi Klon-klon Lokal Ubijalar (Demas Wamaer) 133

  varietas Cangkuang (34,3 persen). Lain halnya dengan pengujian yang dilakukan di Besum, rata-rata kadar bahan kering umbi dari semua klon uji 33,27 persen dan semua klon uji memiliki kadar bahan kering umbi di atas 30,0 persen dengan kisaran 31,7 hingga 34,8 persen. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa klon Siape (34,5 persen) dan klon Malugurom (34,3 persen) memiliki kadar bahan kering yang tidak berbeda nyata lebih rendah terhadap kadar bahan kering varietas pembanding Cangkuang (34,8 persen). Adapun klon uji lainnya (selain Siape dan Malugurom) memiliki kadar bahan kering umbi yang berbeda nyata lebih rendah dibanding kering umbi memang varietas pembanding Cangkuang yang dijadikan pembanding karena memiliki bahan kering yang tinggi dibanding dengan varietas pembanding Beta Dua yang indikasinya lebih ke kandungan beta karotin, sedangkan varietas Cangkuang lebih terindikasi ke bahan kering dan pati tinggi.

  Hasil rata-rata bahan kering umbi dari dua lokasi pengujian terdapat dua varietas uji yang memiliki kadar bahan kering umbi setara dengan pembanding Cangkuang. Kedua varietas tersebut adalah Siape dan Malugurom dengan rata-rata bahan kering masing-masing adalah 34,4 dan 34,1 persen, sedangkan varietas pembanding Cangkuang memberikan rata- rata bahan kering umbi 34,6 persen Kisaran bahan kering umbi klon uji lainnya antara 30,8 hingga 33,8 persen sehingga dengan demikian semua varietas yang diuji ini tergolong memiliki bahan kering umbi yang tinggi.

  Pada dasarnya kandungan bahan kering umbi pada varietas yang sama tidak terlalu berpengaruh terhadap perbedaan kering umbi ditandai dengan warna dagingnya. Warna daging selain oranye cenderung memiliki kadar bahan kering umbi lebih tinggi dibanding klon atau varietas yang memiliki kandungan beta karotin. Permasalahan yang dihadapi dalam pembentukan varietas ubijalar berkadar beta karotin tinggi adalah kadar air tinggi dan bahan kering rendah (Yamakawa 1998) serta rasa manis dan lembek di mulut (Woolfe 1992). Untuk produk tepung dibutuhkan klon dengan kadar bahan kering yang tinggi, sedangkan untuk produk jus dibutuhkan klon dengan kadar beta karotin dan hasil tinggi (Ginting 2004). produksi bahan kering pada tanaman ubijalar telah dipelajari oleh beberapa peneliti. Maksimasi total produksi bahan kering pada tanaman ubijalar tergantung pada ketersediaan radiasi matahari, kapasitas fotosintesis dari tanaman, dan durasi dari kapasitas tersebut. Peningkatan radiasi atau aktifitas fotosintesis dan pemeliharaan pada waktu yang panjang akan meningkatkan produksi bahan kering (Kuo & Cen 1992). Hasil penelitian Ningsih (1992) menunjukkan bahwa nilai heritabilitas kandungan bahan kering umbi dari 18 klon ubijalar yang diteliti cukup tinggi, yaitu 61,2 + 19,5 persen (famili) dan 58,6 + 9,8 persen (individu tanaman).

  Produksi bahan kering umbi adalah perkalian antara bahan kering dan produksi umbi. Hal ini ditunjukkan dengan suatu klon atau varietas yang memiliki produksi tinggi dan bahan kering tinggi, maka produksi bahan kering juga cenderung tinggi. Akan tetapi apabila suatu klon atau varietas memiliki produksi umbi tinggi tetapi memiliki bahan kering yang rendah, maka produksi bahan kering cenderung rendah,

  134 Jurnal Pertanian Agros Vol. 19, No.2, Juli 2017: 128-141

  Rata-rata produksi bahan kering umbi dari 12 klon uji di Keerom adalah 6,31 t per ha dengan kisaran 4,4 hingga 9,1 t per ha. Rata-rata produksi bahan kering umbi tertinggi dimiliki oleh klon Ningkey Tiga (9,1 t per ha) diikuti oleh Ningkey 6 (7,1 t per ha). Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa produksi bahan kering kedua klon ini berbeda nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas Beta Dua (6,9 t per ha) dan Cangkuang (6,7 t per ha) serta terhadap semua klon uji. Akan tetapi produksi bahan kering umbi klon Ningkey Tiga tidak berbeda nyata lebih tinggi dibanding klon Ningkey Enam (Tabel 1). Tingginya produksi bahan kering umbi dari Ningkey disebabkan produksinya yang tinggi, sedangkan kadar bahan keringnya hampir sama dengan klon uji lainnya.

  Untuk pengujian di Besum, rata-rata produksi bahan kering umbi dari 12 klon uji di Keerom adalah 7,51 t per ha dengan kisaran 6,5 hingga 9,0 t per ha. Produksi bahan kering umbi tertinggi dimiliki oleh klon Ningkey Tiga (9,5 t per ha), oleh Ningkey Enam (9,0 t per ha). Sama halnya dengan penelitian di Besum, tingginya produksi bahan kering umbi kedua klon ini terutama disebabkan oleh produksi umbi.

  Apabila produksi bahan kering di Besum dan Keerom digabung dan dirata- ratakan maka terlihat klon Ningkey Tiga memiliki produksi bahan kering tetinggi dan diiikuti oleh Ningkey Enam berturut-turut 9,3 t per ha dan 8,0 t per ha. Tingginya produk bahan kering dari kedua klon ini disebabkan tingginya produksi umbi dan kadar bahan kering umbi sehingga umbi. Dalam hal ini varietas pembanding Cangkuang (7,1 t per ha) dan Beta Dua (7,1 t per ha) memiliki produksi bahan kering jauh di bawah Ningkey Tiga dan Ningkey Enam (Tabel 1).

  Tabel 1 : Rata-rata produksi umbi (t/ha), bahan kering umbi (%), dan produksi bahan kering umbi (t/ha) di dua lokasi pengujian, MP 2012/2013

  Klon/ Varietas Produksi (t/ha) Bahan kering (%) Prod bhn kering (t/ha) Keerom Besum Rerata Keerom Besum Rerata Keerom Besum Rerata

  

Tinta 19,3 19,9 19,6 32,5 33,3 32,9 6,3 6,6 6,4

Siape 15,4 18,8 17,1 34,3 34,5 34,4 5,3 6,5 5,9

Yoka 2 19,1 20,0 19,6 32,7 32,8 32,8 6,2 6,6 6,4

Ningkey 2 21,2 22,4 21,8 32,0 32,5 32,3 6,8 7,3 7,0

Ningkey 3 27,0 28,0 27,5 33,8 33,8 33,8 9,1 9,5 9,3

Ningkey 4 18,1 22,5 20,3 32,5 33,0 32,8 5,9 7,4 6,7

Ningkey 6 21,7 28,1 24,9 32,5 32,0 32,3 7,1 9,0 8,0

Malugurom 12,9 22,1 17,5 33,8 34,3 34,1 4,4 7,6 6,0

Inggo Lakuwe 13,8 20,5 17,1 33,2 33,3 33,3 4,6 6,8 5,7

O. Tingkamang 1 23,1 24,5 23,8 28,5 33,1 30,8 6,6 8,1 7,3

Beta 2 (Cek) 21,8 22,9 22,4 31,5 31,7 31,6 6,9 7,2 7,1

Cangkuang (Cek) 19,5 21,6 20,6 34,3 34,8 34,6 6,7 7,5 7,1

Rataan 19,41 22,62 - 32,64 33,27 - 6,31 7,51 -

KK (%) 17,68 14,49 - 1,77 1,75 - 18,26 14,48 -

BNT 0,05 5,81 5,55 - 0,98 0,34 - 1,96 1,84 -

  

Adaptasi Klon-klon Lokal Ubijalar (Demas Wamaer) 135

Karakteristik Umbi. Karakter umbi yang

  penting dalam seleksi ubijalar mencakup kualitas, bentuk, keseragaman bentuk dan ukuran, rengkah umbi serta warna kulit dan daging umbi. Kualitas umbi yang baik dicirikan dengan kandungan bahan kering yang tinggi dan apabila dimasak terasa kesat dan mempur, dan demikian pula sebaliknya umbi yang memiliki kualitas kurang baik biasanya memiliki kandungan air yang tinggi atau kandungan bahan kering yang rendah, apabila dimasak umbi tersebut terasa lembek dan berair. Selain kualitas umbi, bentuk umbi juga merupakan parameter penting dalam seleksi ubijalar. yang diuji, terdapat satu klon yang memiliki kualitas umbi yang baik (skor lima), yaitu Tinta, 10 klon tergolong memiliki kualitas umbi cukup baik (skor empat) dan satu klon tergolong memiliki kualitas umbi sedang (skor tiga), yaitu klon Malugurom (Tabel 2). Biasanya umbi yang memiliki kualitas umbi yang baik sangat disenangi oleh masyarakat.

  Bentuk umbi sangat penting jika digunakan untuk konsumsi, biasanya umbi yang bentuknya bagus akan lebih diminati daripada umbi yang kurang baik bentuknya. Bentuk umbi yang baik adalah yang berbentuk lonjong dengan permukaan umbi yang rata (tidak berlekuk lekuk). Biasanya untuk tujuan industri makanan, terutama kripik, dibutuhkan umbi yang bentuknya bagus tidak berlekuk karena mudah mengupasnya dan tidak banyak umbi yang terbuang sewaktu umbi dikupas. Adapaun untuk tujuan konsumsi dan untuk keperluan keluarga sendiri, bentuk umbi tidaklah begitu dipentingkan. Dari 12 klon yang diuji hanya satu klon yang memiliki bentuk umbi yang bagus (skor lima), yaitu Siape, delapan empat), dan tiga klon memiliki bentuk umbi sedang (skor tiga). Klon Ningkey Tiga dan Ningjkey Enam dengan produksi bahan kering tertinggi memiliki bentuk umbi sedang (skor empat) (Tabel 2). Parameter seleksi lainnya yang diamati juga meliputi keseragaman bentuk dan ukuran umbi. Petani ataupun konsumen pada umumnya lebih menyukai ubi yang seragam, baik dari segi bentuk maupun ukurannya, dan terlebih lagi untuk kebutuhan industri yang pada umumnya sudah menggunakan peralatan modern. Rengkah juga merupakan parameter seleksi pada tanaman ubijalar karena di samping penampilan ubi kurang ubi yang tidak rengkah. Rengkah dapat disebabkan oleh nematoda, genetis atau masa panen yang terlalu lama.

  Daging umbi dari varietas lokal Papua semuanya berwarna kuning dan perbedaan warnanya hanya pada tingkat kecerahan atau kegelapan daging umbinya. Dari 10 klon yang diuji, tujuh klon memiliki warna daging umbi kuning muda (K2), satu klon kuning sedang (K3), dan dua klon memiliki daging umbi berwarna gelap (K5).

  Klon yang memiliki daging umbi berwarna kuning gelap biasanya memiliki kadar bahan kering yang tinggi dan rasanya lebih enak dari klon dengan daging umbi berwarna cerah (K2). Klon yang memiliki daging umbi berwarna kuning gelap (K5) adalah klon Malugurom dan Ningkey Empat, sedangkan klon dengan daging umbi kuning sedang (K3) dimiliki oleh klon Yoka Dua.

  Pengamatan dangan cara pemberian skor mengikuti buku panduan oleh Rasco (1994). Umbi dengan warna daging oranye yang sangat gelap berkorelasi dengan tingginya kandungan β-karotin dan umbi dengan memiliki kandungan β-karotin yang

  136 Jurnal Pertanian Agros Vol. 19, No.2, Juli 2017: 128-141

  vitamin A yang tinggi dan ini bermanfaat Serangan Hama dan Penyakit. Hama yang bagi manusia yang memiliki masalah sering dijumpai di lapangan adalah pemakan dengan kesehatan mata. Umbi dengan warna daun yang disebabkan oleh Aspidomorpha daging oranye juga baik sebagai bahan miliaris F . Dari 10 varietas lokal Papua dan pewarna dalam dalam makanan karena dua varietas unggul nasional yang diuji di warna oranye yang dikandung tidak lokasi Keerom memberikan rataan skor mengandung zat kimia jadi aman untuk untuk hama pemakan daun adalah 3,9 dikonsumsi olah manusia. Adapun umbi (Tabel4). Nilai ini sudah masuk dalam dengan warna daging ungu yang sangat katagori skor empat, sedangkan di lokasi gelap berkorelasi dengan tingginya Besum memberikan rataan 4,3 (Tabel 5), kandungan antosianin. jadi di kedua pengujian ini memiliki tingkat serangan hama pemakan daunnya sekitar 11 hingga 25 persen. Tabel 2. Skor karakteristik umbi dari klon lokal Papua adaptif dataran rendah di Besum dan Keerom MP 2012/2013.

  Klon/ Bentuk Kualitas Keseragaman Rengkah Warna Varietas umbi Umbi Bentuk Ukuran Kulit Daging

  Tinta 3,0 5,0 4,0 4,0 5,0 K2 K2 U2 Siape 5,0 4,0 5,0 5,0 5,0 M3 K2 Yoka 2 3,0 4,0 4,0 3,0 3,0 M4 K3 U2 Ningkey 2 3,0 4,0 4,0 4,0 3,0 M6 K2 Ningkey 3 4,0 4,0 4,0 4,0 3,0 M6 K2 Ningkey 4 4,0 4,0 5,0 4,0 4,0 M4 K5 Ningkey 6 4,0 4,0 5,0 4,0 5,0 M1 K2 Malugurom 4,0 3,0 4,0 3,0 5,0 M5 K5 O1 Inggo Lakuwe 4,0 4,0 5,0 4,0 4,0 K3 O2 O. Tingkamang 1 4,0 4,0 4,0 3,0 3,0 K2 K2 Beta 2 (Cek) 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 M6 O3 Cangkuang (Cek) 4,0 4,0 4,0 4,0 3,0 M6 K3

  • Rataan 3,8 4,0 4,3 3,8 - 3,9 Ket : a) 5=baik, 4= agak baik, 3=sedang, 2=agak jelek, 1=jelek.

  b) 5=seragam, 4=agak seragam, 3=sedang, 2=agak bervariasi, 1=bervariasi.

  c) 1 = rengkah >75%, 2 = rengkah 51-75%, 3 = rengkah 26.50%, 4 = rengkah 11-25 %, 5 = tidak ada rengkah.

  d) M=merah, K=kuning, P= putih, O=oranye, 1=sangat pucat, 2=agak pucat, 3= pucat, 4= cerah, 5= agak gelap, 6= gelap, 7= sangat gelap.

  

Adaptasi Klon-klon Lokal Ubijalar (Demas Wamaer) 137

  Tabel 3 : Rata-rata karakteristik pada pengujian kajian potensi hasil calon varietas ubijalar lokal Papua adaptif dataran rendah mendukung pelepasan varietas Besum, Papua MK II 2012.

  Klon/ Bentuk Kualitas Keseragaman Rengkah Warna Varietas umbi Umbi Bentuk Ukuran Kulit Daging

Tinta 4,0 5,0 4,0 4,0 5,0 K2 K2 U2

Siape 5,0 4,0 5,0 5,0 5,0 M3 K2

Yoka 2 4,0 5,0 5,0 5,0 4,0 M4 K3 U2

Ningkey 2 4,0 5,0 5,0 5,0 5,0 M6 K2

Ningkey 3 4,0 5,0 4,0 4,0 4,0 M6 K2

Ningkey 4 5,0 5,0 4,0 4,0 5,0 M4 K5

Ningkey 6 4,0 4,0 5,0 4,0 4,0 M1 K2

Malugurom 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 M5 K5 O1

Inggo Lakuwe 4,0 4,0 5,0 4,0 5,0 K3 O2

O. Tingkamang 1 4,0 4,0 4,0 4,0 4,0 K2 K2

Beta 2 (Cek) 5,0 4,0 5,0 4,0 5,0 M6 O3

Cangkuang (Cek) 5,0 4,0 4,0 4,0 5,0 M6 K3

  • Rataan 4,3 4,4 4,5 4,3 4,6 Ket : a) 5=baik, 4= agak baik, 3=sedang, 2=agak jelek, 1=jelek.

  b) 5=seragam, 4=agak seragam, 3=sedang, 2=agak bervariasi, 1=bervariasi.

  

c) 1 = rengkah >75%, 2 = rengkah 51-75%, 3 = rengkah 26.50%, 4 = rengkag 11-25 % 5 = tidak

ada rengkah.

  

d) M=merah, K=kuning, P= putih, O=oranye, 1=sangat pucat, 2=agak pucat, 3= pucat. 4= cerah,

5= agak gelap, 6= gelap, 7= sangat gelap.

  Pengamatan yang dilakukan dengan cara menanggulangi hama ini adalah melakukan memberi skor, cara ini belum bisa untuk penyemprotan dengan insektisida Decis. menentukan varietas atau klon yang diuji Pada umumnya petani tidak melakukan tersebut tahan terhadap hama ini, karena pengendalian hama menggunakan untuk menentukan klon yang tahan atau insektisida karena harganya mahal sehingga toleran, harus melakukan pengujian dengan salah satu cara mengatasinya adalah dengan cara screening terhadap hama yang memanennya lebih awal. Hama boleng dimaksud. Hama lainnya yang ditemui di merupakan hama yang paling berbahaya lapangan adalah hama penggulung daun pada tanaman ubijalar yang disebabkan oleh

  

(Black leaf folder) yang disebabkan oleh Cylas formicarius . Sampai saat ini belum

Brachmia convalvuli Wals. Kegiatan ada varietas atau klon yang stabil sifat

  penelitian yang dilakukan di lokasi Keerom ketahanannya terhadap hama ini. Hama memberikan rataan skor 4,6 (Tabel 4) dan di boleng tidak hanya mengurangi kuantitas lokasi Besum memberikan rataan skor 4,5 produksi umbi, akan tetapi juga mengurangi (Tabel 5). Arti dari kedua nilai skor ini kualitas umbi. Umbi yang terserang adalah memiliki tingkat serangan berkisar biasanya terasa pahit dan tidak dapat antara 11 hingga 25 persen. Cara dimakan (digunakan). Rataan skor serangan

  138 Jurnal Pertanian Agros Vol. 19, No.2, Juli 2017: 128-141

  (Tabel 4) dan di lokasi Besum adalah 4,1 (Tabel 5). Arti dari kedua nilai skor ini adalah memiliki tingkat serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen.

  Dengan demikian selama melakukan penelitian di kedua lokasi, yaitu Keerom dan Besum, hama boleng ini tidak terlalu serius menyerang. Hal ini kemungkinan karena waktu tanam yang pas dan melakukan panen yang tepat serta pemeliharaan yang optimal. Hama boleng ini muncul biasanya disebabkan tanah yang mengalami kekeringan dan bisa juga melakukan panen yang tertunda, dan untuk mengatasi hal itu harus dilakukan pengairan yang insentif, melakukan panen yang tepat, dan menanam Penyakit utama pada tanaman ubijalar adalah karat daun (cercospora), kudis (Scab), dan bercak ungu. Penyakit kudis disebabkan oleh cendawan Sphaceloma

  batatas. Pengujian yang dilakukan di dua

  lokasi, yaitu Keerom dan Besum, Papua pada MK II 2012 penyakit kudis ini tidak ada aktivitas untuk menyerang. Hal ini dapat dilihat pada tabel

  4 dan 5 yang memperlihatkan bahwa dari masing-masing varietas yang diuji semua memberikan rataan skor 5,0 yang berarti tidak ada serangan. Tanaman ubijalar apabila kena serangan penyakit kudis yang serius bisa menurunkan hasil panen sampai 50 persen. Penyakit ini biasanya menyerang tanaman ubijalar pada musim penghujan atau di daerah yang memiliki tingkat kelembaban yang tinggi. Pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan perlakuan proteksi dengan ditanam selama lebih kurang 5 menit ke dalam larutan fungisida, yaitu benlate atau dhitane M45 serta menanam varietas yang tahan terhadap penyakit tersebut. Tabel 4. Skor hama dan penyakit pada pengujian kajian potensi hasil calon varietas ubijalar lokal Papua adaptif dataran rendah mendukung pelepasan varietas Keerom, Papua MK II 2012.

  Klon/ Pemakan Penggulung Boleng Cercospora Scab Bercak Varietas daun Daun ungu

Tinta 4,0 5,0 5,0 4,0 5,0 5,0

Siape 4,0 4,0 4,0 4,0 5,0 3,0

Yoka 2 3,0 4,0 5,0 4,0 5,0 4,0

Ningkey 2 4,0 5,0 4,0 5,0 5,0 5,0

Ningkey 3 4,0 4,0 4,0 4,0 5,0 5,0

Ningkey 4 4,0 4,0 3,0 4,0 5,0 3,0

Ningkey 6 4,0 5,0 5,0 4,0 5,0 4,0

Malugurom 5,0 5,0 4,0 4,0 5,0 5,0

Inggo Lakuwe 4,0 5,0 5,0 4,0 5,0 5,0

O. Tingkamang 1 3,0 4,0 4,0 3,0 5,0 4,0

Beta 2 (Cek) 4,0 5,0 5,0 3,0 5,0 5,0

Cangkuang (Cek) 4,0 5,0 3,0 5,0 5,0 4,0

Rataan 3,9 4,6 4,3 4,0 5,0 4,3

Keterangan: *) 1= serangan >75%, 2= serangan 51-75%, 3= serangan 26.50%, 4= serangan 11-25 %, 5 = serangan

  0-10%.

  

Adaptasi Klon-klon Lokal Ubijalar (Demas Wamaer) 139

  Tabel 5. Skor hama dan penyakit pada pengujian kajian potensi hasil calon varietas ubijalar lokal Papua adaptif dataran rendah mendukung pelepasan varietas Besum, Papua MK II 2012.

  Klon/ Pemakan Penggulung Boleng Cercospora Scab Bercak Varietas daun Daun ungu Tinta 4,0 4,0 5,0 4,0 5,0 5,0 Siape 4,0 5,0 4,0 5,0 5,0 3,0 Yoka 2 3,0 4,0 4,0 3,0 5,0 4,0 Ningkey 2 3,0 5,0 4,0 4,0 5,0 4,0 Ningkey 3 5,0 4,0 3,0 4,0 5,0 5,0 Ningkey 4 5,0 5,0 4,0 4,0 5,0 4,0 Ningkey 6 5,0 4,0 4,0 4,0 5,0 5,0 Malugurom 4,0 5,0 5,0 4,0 5,0 4,0 Inggo Lakuwe 5,0 4,0 4,0 5,0 5,0 5,0 O. Tingkamang 1 4,0 5,0 4,0 3,0 5,0 5,0 Beta 2 (Cek) 5,0 4,0 5,0 3,0 5,0 5,0 Cangkuang (Cek) 4,0 5,0 3,0 4,0 5,0 4,0 Rataan 4,3 4,5 4,1 3,9 5,0 4,4 Keterangan : *) 1 = serangan >75%, 2 = serangan 51-75%, 3 = serangan 26.50%, 4 = serangan 11-

  25 %, 5 = serangan 0-10%.

  Serangan penyakit cercospora di lokasi pengujian Keerom memberikan skor rataan 4,0 yang berarti serangannya berkisar 11hingga 25 persen dengan skor yang bevariasi dari 3,0 (yang berarti serangannya 26 hingga 50 persen) sampai 5,0 (yang berarti tidak ada serangan). Terdapat dua varietas yang memiliki skor 5,0 (tidak ada serangan), kedua varietas tersebut adalah Ningkay Dua dan Siape, di samping itu juga terdapat dua varietas yang memiliki skor 3,0 (serangan berkisar 26 hingga 50 persen), kedua varietas tersebut adalah Ornaning Tingkamang Satu dan varietas pembanding Beta Dua. Adapun varietas uiji lainnya memberikan skor 4,0 (serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen) termasuk varietas pembanding Cangkuang (Tabel 4). Di lokasi Besum, Papua serangan penyakit ini memberikan rataan skor 3,9, nilai ini sudah termasuk dalam katagori skor 4,0 yang berarti serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen. Terdapat dua varietas yang memiliki serangan dengan skor 5,0 yang berarti tidak ada serangan, kedua varietas tersebut adalah Inggo Lakuwe dan Siape, di samping itu juga terdapat tiga verietas yang memiliki skor 3,0 yang berarti tingkat serangannya berkisar antara 26 hingga 50 persen. Ketiga varietas tersebut adalah Ornaning Tingkamang Satu, Yoka Dua, dan varietas pembanding Beta Dua. Adapun varietas pembanding Cangkuang dan varietas lokal uji lainnya memberikan skor serangan 4,0 yang berarti serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen (Tabel 5).

  Serangan penyakit bercak ungu di lokasi Keerom, Papua memberikan skor rataan 4,3 yang berarti serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen. Dari 10 varietas lokal Papua dan dua varietas unggul nasional

  

140 Jurnal Pertanian Agros Vol. 19, No.2, Juli 2017: 128-141

  yang diuji terdapat dua varietas yang memberikan skor 3,0 (serangannya berkisar antara 26 hingga 50 persen), kedua varietas tersebut adalah Ningkay Empat dan Siape. Adapun varietas uji lainnya memberikan serangan dengan skor berkisar antara 4,0 (serangan berkisar 11 hingga 25 persen) sampai skor 5,0 (tidak ada serangan). Varietas pembanding Beta Dua memiliki skor 5,0 yang berarti tidak ada serangan dan varietas pembanding Cangkuang memberikan skor 4,0 yang berarti tingkat serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen (Tabel 4). Lain halnya dengan pengujian yang dilakukan di lokasi Besum, Papua dari 10 varietas lokal Papua dan dua satu varietas yang memberikan skor 3,0 (serangannya berkisar antara 26 hingga 50 persen) varietas tersebut adalah Siape. Adapun varietas uji lainnya memberikan serangan dengan skor berkisar antara 4,0 (serangan berkisar 11 hingga 25 persen) sampai skor 5,0 (tidak ada serangan). Varietas pembanding Beta Dua memiliki skor 5,0 yang berarti tidak ada serangan dan varietas pembanding Cangkuang memberikan skor 4,0 yang berarti tingkat serangannya berkisar antara 11 hingga 25 persen dengan memberikan skor rataannya adalah 4,4 yang berarti memiliki tingkat serangan berkisar antara 11 hingga 25 persen (Tabel 4). Meskipun penyakit bercak ungu ini menyerang tanaman ubi jalar, baik serius maupun tidak serius, akan tetapi tidak mengurangi baik kualitas, kuantitas maupun hasil pada umbi, hanya menunjukkan secara visual tanaman tersebut menjadi kurang menarik karena banyak bercak-bercak ungu pada daunnya.

KESIMPULAN DAN SARAN 1.

  Didapat tiga varietas lokal yang memiliki produksi dan potensi hasil umbi lebih tinggi dibanding varietas pembanding Beta-Dua (22,4 t per ha dengan potensi hasil 22,9 t per ha) dan Cangkuang (20,6 t per ha dengan potensi hasil 21,6 t per ha), sedangkan ketiga varietas lokal tersebut adalah Ningkay-Tiga yang memiliki rata-rata produksi umbi 27,5 t per ha dengan potensi hasil 28,0 t per ha, Ningkay- Enam memiliki rata-rata produksi umbi 24,9 t per ha dengan potensi hasil 28,1 t per ha dan Ornaning Tingkamang-Satu memiliki rata-rata produksi umbi 23,8 t per ha dengan potensi hasil 24,5 t per ha.

  2. Ketiga varietas ini, yaitu Ningkay-Tiga, Ningkay-Enam, dan Ornaning Tingkamang-Satu masing-masing juga memiliki produksi bahan kering umbi yang sangat tinggi, baik dibanding dengan varietas uji lainnya atau dengan varietas pembanding, rata-rata yang diberikan adalah secara berurutan: 9,3; 8,0, dan 7,3 t per ha dengan bahan kering 33,8; 32,3, dan 30,8 persen.

  3. Meskipun pada pengujian ini sudah didapat tiga varietas lokal yang memiliki produksi dan potensi hasil lebih tinggi daripada varietas pembanding, akan tetapi belum bisa dipastikan atau dikatakan bahwa varietas lokal yang diuji ini memiliki tingkat adaptif pada dataran rendah di Papua, untuk itu perlu dilakukan pengujian lebih lanjut dengan berbagai musim dan lokasi yang lebih banyak serta ketinggian tempat yang bervariasi.

  

Adaptasi Klon-klon Lokal Ubijalar (Demas Wamaer) 141

DAFTAR PUSTAKA

  antosianin dan beta karotin. Laporan Teknis

  Yoshinaga. M. 1997. Breeding of purple- fleshed sweetpotato. Proceeding of

  kerjasama penelitian antara Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua dan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi). 32 hal

  lokal umbi-umbian potensial mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agro industri pedesaan di Papua. Laporan akhir

  Jusuf. M.,Winarto, A. Basna, J. Restuono & O.F.S Kawer. 2010. Inventarisasi varietas

  Seminar Kongres PERIPI (Perhimpunan Ilmu Pemuliaan) di Bandung tanggal 16

  Badan Litbang Pertanian. Jusuf. M., K. Noerwijati , J. Restuono & A. Basna. 2011. Penampilan Hasil dan Karakter Agronomis Varietas Lokal Ubijalar Dataran Rendah Papua di 3 lokasi. Prosiding

  Seminar Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan .

  Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan. Prosiding

  al. (Eds). Teknologi Inovatif Tanaman

  2001. Adaptasi dan stabilitas hasil klon-klon harapan ubijalar. p.259-264. Dalam Jusuf et

  December 9-10, 1997. Kyushu National Agricultural Experimen Station Jusuf, M, St. A. Rahayuningsih, S. Pambudi.

  Workshop on Sweet Potato System toward the 21 th Century . Miyakonojo, Japan,

  Yamakawa, O. 1998. Development of new cultivation and utilization system for sweetpotato toward the 21 th century. In D. R. La Bonte, M. Yamashita and H. Mochida (Eds). Proceedings of International

  International Workshop on Sweetpotato Production System Towards the 21 st Century . pp 193-199

  University Press Cambridge. p. 60-61; 71-79; 146-158.

  Penelitian Balitkabi tahun 2006. (No: E.5 /ROPP/DIPA/2006) Balitkabi Malang. 38 hal.

  Ginting, E., M. Jusuf, St. A. Rahayuningsih, Y. Widodo, Ratnaningsih, A. Krisnawati & Suprapto. 2006. Pemanfaatan ubijalar kaya

  Makalah disajikan pada rapat teknis team pelepasan varietas unggul tanaman, Bogor, November. Woolfe, J.A. 1992. Sweet potato an

  94001-8, B 0053-9, Inaswang Op 95-6, MIS 104-4 dan MIS 146-1, calon varietas unggul .

  Yusuf, M., St. A. Rahayuningsih, Sutrisno & Suluh Pambudi. 2001. Klon harapan AB

  Century. Miyakonojo, Japan, December 9-10, 1997. Kyushu National Agricultural Experimen Station. p. 231-272.

  21 th

  Workshop on Sweetpotato System toward the

  Kays, S.J. & S.E. Kays. 1998. Sweetpotato chemistry in relation to health. In D. R. LaBonte, M. Yamashita and H. Mochida (Eds). Proceedings of International

  Sci 18: 373-376.

  Kawano, K., Amaya.A, Daza.P. & Rios.1978. Factors affecting efficiency of hybridization and selection in cassava. Crop

  Balitkabi tahun 2007 (No: K.5 /ROPP/DIPA/2007) Balitkabi Malang. 39 hal.

  dan beta karoten menjadi beberapa produk olahan pangan. Laporan Teknis Penelitian

  Ginting, E., Rahayuningsih & Suprapto. 2007. Pemanfaatan ubijalar kaya antosianin

  untapped food resource . Cambridge

Dokumen yang terkait

GATRA BUDIDAYA PADI DALAM PENGEMBANGAN PERTANIAN LAHAN PASANG SURUT MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN (Studi Kasus Danda Besar, Kabupaten Barito Kuala) RICE CULTIVATION ASPECTS OF DEVELOPMENT TIDAL SWAMPS AGRICULTURE SUPPORTED TO FOOD SECURITY (Case study of Dan

0 1 7

KOMPARASI NILAI TAMBAH AGROINDUSTRI ABON IKAN LELE DAN IKAN PATIN DI TASIKMALAYA THE ADDED VALUE OF SHREDDED LELE AND PATIN CATFISH

0 1 10

PERANAN HUTAN MANGROVE DALAM MENGURANGI ENERGI GELOMBANG TSUNAMI IMPORTANCE OF MANGROVE TO REDUCE THE TSUNAMI WAVE ENERGY Anastasia Neni Candra Purnamasari

0 0 8

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHATANI PADA LAHAN GAMBUT DI KECAMATAN BATAGUH KABUPATEN KAPUAS ANALYSIS OF SUSTAINABILITY FARMING IN PEATLANDS IN BAHATGUH SUB DISTRICT, KAPUAS DISTRICT

0 0 8

KAJIAN USAHATANI DAN PEMASARAN SELADA ORGANIK DI DESA BOBOSAN, KEDUNGBANTENG, BANYUMAS THE FARMING AND MARKETING OF ORGANIC LETTUCE: STUDY AT BOBOSAN VILLAGE, KEDUNGBANTENG SUB-DISTRICT, BANYUMAS

0 0 8

KERAGAAN LIMA VARIETAS UNGGUL BARU TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH IRIGASI APPEARANCE OF FIVE NEW SUPERIOR VARIETIES ON GROWTH AND PRODUCTIVITY OF RICE Sution

0 0 7

POLA PEMETAAN DAN PENGEMBANGAN PRODUKSI PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN KOTA YOGYAKARTA MAPPING AND DEVELOPMENT PATTERNS OF AGRICULTURAL PRODUCTION TO ACTUALIZE SELF-SUFFICIENCY OF FOOD IN YOGYAKARTA CITY

0 0 11

THE FINANCIAL ANALYSIS OF Albazia falcataria NURSERIES (The Case Study at UD Sarana Rejeqi, District of Banyumas)

0 0 9

POTENSI PENGEMBANGAN KEDELAI DI LAHAN GAMBUT KABUPATEN KUBU RAYA KALIMANTAN BARAT POTENCY OF SOYBEAN DEVELOPMENT IN PEAT LAND DISTRICT OF KUBU RAYA WEST KALIMANTAN Dina Omayani Dewi

0 0 8

NILAI EKONOMI PENGGUNAAN JERUK NIPIS SEBAGAI KECUTAN DAN SUBTITUSI KORO TUNGGAK DALAM PEMBUATAN TAHU ECONOMIC VALUE OF USE OF ORANGE AS THE COAGULANT AND SUBTITUTION OF KORO TUNGGAK IN MAKING OF TOFU Wahyu Setya Ratri

0 0 9