LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN negara-negara budaya negara-negara budaya

Nama : Fitria Nurhaliza
Kelas : A
NIM : E1A016013

LEMBAGA NEGARA INDEPENDEN

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. ISI BUKU
Judu Buku

: Lembaga Negara Independen

Penulis

: Zainal Arifin Mochtar

Penerbit

: Rajawali Pers


Tahun Terbit : 2016
Jumlah Buku : 242 halaman
Ukuran

: 23 cm

Buku ini berbicara tentang seiring perkembangan zaman dengan kompleksitas
problem ketatanegaraan yang dihadapi Negara, kemudian lahir banyak konsep baru
dalam praktik ketatanegaraan suatu Negara, yang berimplikasi makin bervariasinya
cabang struktur kelembagaan Negara. Setelah reformasi 1998 lembaga negara
independen mulai mendapat tempat. UUD 1945 hasil amandemen memberi pengakuan
atas lembaga negara independen diantaranya Komisi Yudisial dan Komisi Pemilihan
Umum.

Lembaga Negara di Indonesia sudah di disukusikan oleh beberapa pakar, bahkan
beberapa buku yang sudah terbit. Buku ini membedah beberapa aspek. Menurutnya,
demokrasi konstitusional diharapkan memunculkan pemerintahan efektif. Perkembangan
lembaga negara dimaksudkan sebagai proses check and balances, pemenuhan hak-hak
individu dan penghindaran tirani otoritarian. Hal itu merupakan perkembangan pemikiran

trias politika yang dikemukakan oleh Montesquie yang kemudian dikembangkan oleh
Cindy Skatch dalam Newest Separation Power.
Andrew Heywood (2000) menerjemahkan konstitusionalisme dalam dua sudut
pandang, pemaknaan sempit dan luas. Menurut Heywood, dalam ruang lingkup yang
sempit, konstitusionalisme dapat ditafsirkan sebatas penyelenggaraan Negara yang
dibatasi oleh undang-undang dasar. Artinya, suatu Negara dapat dikatakan menganut
paham konstitusionalisme jika lembaga-lembaga Negara dan proses politik dalam Negara
tersebut. Dalam pemaknaan yang lebih luas, konstitusionalisme yaitu perangkat nilai dan
manifestasi dari aspirasi politik warga Negara yang merupakan cerminan dari keinginan
untuk melindungi kebebasan sebuah mekanisme pengawasan terhadap kekuasaan
pemerintahan.
Ada delapan ciri Lembaga Negara Independen di Indonesia, menurut Zainal
Arifin Mochtar. Adapun, ciri-cirinya, yaitu bukan cabang kekuasaan utama, pemilihan
pimpinan dengan seleksi, pemilihan dan pemberhentian berdasar aturan, proses deliberasi
kuat, kepemimpinan kolektif dan kolegial, kewenangan devolutif untuk self regulated,
dan legitimasi dari undang-undang.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, Zainal Arifin Mochtar menetapkan tujuh Lembaga
Negara independen yang menjadi kajiannya. Lembaga-lembaga itu terdiri dari Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Komisi Pemilihan Umum,
Dewan Pers, Komisi Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Yudisial.

Menurutnya, ada delapan faktor terbentuknya Lembaga Negara Independen di Indonesia.
Kedelapan faktor itu, yaitu reformasi dengan pendekatan neoliberal, kewajiban
transisional untuk menunjang hal tertentu, kebutuhan percepatan demokrasi, bagian dari
pencitraan kekuasaan, pengurangan persengketaan kekuasaan, kekecewaan terhadap
kelembagaan lama, penunjang kinerja untuk hal tertentu, dan proses legislasi yang
tergesa-gesa.

Kehadiran banyak lembaga Negara independen tentunya memberikan serangkaian
implikasi dalam sistem ketatanegaraan dan juga penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia. Pertama, implikasi substantif yuridis seperti, implikasi pada posisi
institusional lembaga Negara independen, implikasi pada independensi institusional
lembaga Negara independen, implikasi hubungan lembaga Negara independen dengan
lembaga Negara lainnya, implikasi sengketa kewenangan antar-lembaga Negara,
implikasi pengawasan kelembagaan terhadap lembaga Negara independen, implikasi
kebutuhan penguatan daya jelajah kelembagaan, dan implikasi pada aturan yang
dikeluarkan oleh lembaga Negara independen. Permasalahan yang terkait pada implikasi
administrative yuridis setidaknya dapat dilihat dalam nomenklatur kelembagaan,
persoalan pembiayaan lembaga Negara, perbedaan dalam hak protokoler dan keuangan,
status pegawai dan tenaga pendukung, masalah pada proses pengambilan keputusan yang
bermodel kolegial-kolektif, dan kualitas legislasi dan uji materi atas peraturan perundangundangan yang mendasari lembaga-lembaga Negara independen. Beberapa permasalahan

dalam implikasi politis yang muncul terhadapan kehidupan politik kenegaraan. Terdapat
empat implikasi politis yang sifatnya langsung dari keberadaan lembaga-lembaga Negara
independen, seperti implikasi politis dalam pemilihan komisioner, ketegangan hubungan
dengan pemerintah, ketegangan hubungan dengan DPR, dan ketegangan hubungan
dengan Mahkamah Agung. Sejumlah permasalahan khususnya kerangka hukum, telah
bermunculannya banyak persoalan baru. Permasalahan tersebut dipaparkan dua hal yang
terkait dengan penataan kembali kelembagaan lembaga-lembaga Negara independen.
Pertama, beberapa usulan penataan yang pernah mengemuka, terutama dari beberapa
lembaga, dan kedua, tawaran penataan kelembagaan yang paling mungkin untuk
dilakukan.
Semua permasalahan yang mengemuka sebagai implikasi dari kehadiran lembagalembaga Negara independen. Persoalan kecentang-perenangan keberadaan lembaga
Negara independen, diidentifikasi beragam usulan penataan, termasuk tahapantahapannya sebagai berikut:
1. Moratorium Sementara Pembentukan

Penataan lembaga-lembaga Negara independen yang sudah ada dan upaya
menetapkan landasan pembentukannya ke depan, perlu dilakukan moratorium atau
penundaan sementara pembentukan lembaga-lembaga Negara yang baru. Periode ini
digunakan untuk mengkaji, memetakan dan mengorganisasi, termasuk mengevaluasi
keberadaan lembaga yang sudah ada, serta menyiapkan kebijakan besar penataan
kelembagaan lembaga-lembaga Negara independen.

Dalam klausula pengaturannya perlu dibuatkan mekanisme penggabungan antar
lembaga Negara yang akan dibentuk. Bisa juga dibuatkan mekanisme perubahan cepat
melalui mekanisme legislative review. Pada kondisi konsep penataan dan cetak biru
lembaga-lembaga Negara, maka harus segara dilakukan legislative review guna
penyesuaian dengan kerangka besar yang dihasilkan dalam masa moratorium.
Moratorium diperlukan untuk memberi kesempatan kalkulasi ulang keberadaan lembaga
Negara independen. Kemudian dari konsep moratorium ini juga perlu dipikirkan apa
yang akan menjadi landasan hukumnya, sehingga mengikat komitmen para pengambil
kebijakan.
2. Penyusunan Cetak Biru Kelembagaan
Keberadaan cetak biru kelembaagaan akan menjadi pra-syarat yang sangat
penting dalam menentukan strategi sekaligus arah penataan kembali lembaga-lembaga
Negara independen. Sebelum melakukan penyusunan cetak biru kelembagaan, beberapa
permasalahan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu:
Pertama, pada wilayah yuridis harus mampu menjawab penempatan posisi yang
sesuai dari lembaga-lembaga Negara independen dalam struktur ketatanegaraan. Selain
itu harus mengatasi persoalan yang mungkin timbul akibat kemungkinan tergerusnya
keindependenan dari suatu lembaga.
Kedua, permasalahan dalam konteks administratif, kaitannya dengan nomenklatur
kelembagaan yang berbeda-beda, juga pembiayaan kelembagaan yang sudah semakin

besar seiring dengan jumlahnya yang kian banyak. Secara administratif untuk
menyelesaikan problem mengenai hak protokoler dan keuangan, yang selama ini tidak
sama antara satu lembaga dengan lembaga lainnya.

Ketiga, kaitannya dengan permasalahan politis yang hadir bersamaan dengan
kemunculan lembaga Negara independen, khususnya dalam proses pemilihan komisioner
atau anggota lembaga-lembaga Negara independen. Khususnya pemerintah sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif, DPR sebagai pelaku kekuasaan legislative, dan MA yang
memegang kekuasaan yudikatif.
Dalam rangka penyusunan cetak biru kelembagaan beberapa mekanisme kerja
atau tahapan yang dapat di dorong dan diaplikasikan, yaitu:
a) Penyelarasan dengan Tujuan Negara
b) Penataan Kembali Penanam Lembaga
c) Penyempurnaan Sistem dan Mekanisme Rektrutmen
d) Penataan Aturan yang Dikeluarkan
e) Penataan Sistem dan Status Kepegawaian
f) Pola Hubungan dengan Lembaga Lain
g) Penataan Perwakilan dan/atau Komisi Daerah
h) Sifat Kolegialitas dan Kolektivitas
i) Pengawasan Terhadap Lembaga Negara Independen

3. Dasar Hukum Penataan Kelembagaan
Penataan kelembagaan yang dilakukan pada saat dilakukannya moratorium tentu
membutuhkan basis legitimasi hukum yang kuat dalam kerangka melakukan perbaikan
yang bisa mengikat seluruh komponen Negara.
Pilihan untuk memberikan dasar hukum yang kuat dapat dilakukan secara khusus
membentuk undang-undang yang di dalamnya mengatur mengenai penataan kelembaan
Negara.
Bentuk peraturan perundang-undangan lainnya dapat dipilih sebagai basis hukum
dalam penataan kelembagaan lembaga-lembaga Negara independen ialah melalui
Ketetapan MPR. Akan tetapi, dengan format Tap MPR, setidaknya akan menyiratkan
adanya kesepakatan politik dari partai-partai politik di DPR dan kesepakatan daerah yang
tersirat dari representasi DPD, untuk melakukan penataan kelembagaan.
Dasar hukum penataan ini keberadaannya akan menjadi paying dalam penataan,
sekaligus kerangka kerja bagi penataan lembaga-lembaga Negara independen. Peraturan

perundang-undangan ini ke depannya juga akan menjadi platform dasar dalam
pembentukan lembaga-lembaga Negara independen.

4. Pilihan Waktu Pelaksanaan Penataan Kelembagaan
Pilihan waktu yang mungkin tepat untuk mengimplementasikannya dengan

mendekatkan pada agenda ketatanegaraan atau secara khusus menciptakan agenda itu.
Pilihan pertama misalnya melalui penyelenggaraan amandemen kelima Undang-Undang
Dasar. Agenda amandemen ini menjadi sangat strategis dalam konteks pelaksanaan
penataan, sebab melalui proses ini perbaikan menyeluruh dapat dilakukan. Semua
permasalahan yang sifatnya mendasar terkait dengan keberadaan dan kebutuhan
lembaga-lembaga Negara independen bisa diperdebatkan dan dirumuskan kembali secara
lebih terarah di dalam forum perubahan UUD.
Apabila amandemen Undang-Undang Dasar sulit terlaksana, mengingat beratnya
syarat untuk melakukan perubahan konstitusi, sebagaimana diatur oleh UUD 1945, maka
pilihan kedua untuk melakukan penataan adalah dengan melangsungkannya pascapemilihan umum. Oleh karenanya, ini dapat digunakan untuk membangun kesepahaman
politik bersama antara legislatif dan pemerintah terpilih guna melakukan penataan
kembali kelembagaan Negara.
Kesimpulan dari review buku ini adalah pada pasca-reformasi mengalami ‘inflasi’
pembentukan lembaga Negara, terutama sering disebut sebagai komisi-komisi Negara
independen. Situasi yang dialami Indonesia ini sesungguhnya bukan sesuatu yang khas
atau hanya terjadi di Indonesia, melainkan problem dari hamper semua Negara yang
mengalami proses transisi demokrasi. Kehadiran lembaga-lembaga Negara independen
juga tidak lepas dari upaya memperbaiki citra dari pemerintah berkuasa, baik dimata
public maupun komunitas internasional. Disamping itu, kelahiran lembaga-lembaga ini
dimaksudkan sebagai sarana untuk menunjang hal-hal tertentu yang dibutuhkan karena

adanya berbagai desakan dari masyarakat.

Kelebihan dari buku ini, menurut saya bukunya lengkap dan mendalam dinamika
lembaga Negara independen di Indonesia. Mulai dari kerangka konseptual lembaga
negara independen, latar belakang kelahiran, dan implikasinya terhadap kehidupan
ketatanegaraan. Dan berhasil menawarkan usulan penataan kembali lembaga-lembaga
Negara independen.
Kekurangan dari buku ini, menurut saya bahasa bukunya ada beberapa yang sulit
dimengerti, dan masih terdapat bagian tertentu istilah-istilah yang belum begitu
dijelaskan secara detail. Buku ini merupakan bagian karya ilmiah disertai penulis, perlu
pemahaman yang baik jika akan membaca buku ini karena makin kompleks tingkat
kesulitan untuk memahami isi buku secara keseluruhan, meskipun terdapat sedikit
penambahan tetapi tidak mengurangi dari isi buku ini.

BAB II
PERMASALAHAN

2.1

Berdasarkan review buku diatas, maka yang menjadi permasalahan yaitu:

1. Bagaimana Komisi Pemilihan Umum sebagai komisi Negara independen dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia?
2. Bagaimana kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan
Indoenesia sebagai lembaga Negara independen?
3. Bagaimana perbandingan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
dengan di berbagai Negara?

BAB III
PEMBAHASAN

1. Komisi Pemilihan Umum sebagai komisi Negara independen dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia
Lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut
sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur
lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Kementerian
Negara, Pemerintah Daerah, Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional
Indonesia, Bank Sentral, Komisi Pemilihan Umum, dan Dewan Pertimbangan
Presiden. Namun pengaturan lembaga-lembaga negara tersebut dalam UUD 1945,
tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan
dalam UUD 1945 tersebut (termasuk Komisi Pemilihan Umum), harus dipahami

dalam pengertian lembaga (tinggi negara) sebagai lembaga utama (main organs).
(dapat dilihat gambar di bawah).
Kehadiran lembaga negara bantu (state auxiliary bodies), baik yang sifatnya
independen (independent regulatory agencies) maupun sebatas sampiran negara (state
auxiliary agencies) tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa
diantaranya berdiri atas amanat Konstitusi (constitutionally entrusted power)
sebagaimana tersebut di atas, tetapi ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan
undang-undang (legislatively entrusted power) ataupun keputusan presiden.
Keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara
independen (independent regulatory agencies) merupakan lembaga negara yang
menyelenggarakan Pemilihan Umum di Indonesia yang ditegaskan dalam Pasal 22E
Konstitusi UUD 1945, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur
dan adil setiap lima tahun sekali

2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah
3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik
4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan
5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri
6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undangundang.1
Ketentuan lebih lanjut dari amanat Pasal 22 UUD 1945 diatur dalam UU
No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu.
Pasal 1 UU No.12 Tahun 2003 “KPU adalah lembaga yang bersifat
Nasional, tetap dan mandiri untuk menyelenggarakan pemilu”. Bertanggungjawab
atas penyelenggaran pemilu laporan tahapan-tahapan pemilu disampaikan ke
Presiden dan DPR. Tugas & Wewenang:
1) Merencanakan Pemilu.
2) Menetapkan Organisasi & Tata Cara Pemilu
3) Mengoordinasikan, Menyelenggarakan & Mengendalikan Pemilu
4) Menetapkan peserta pemilu
5) Menetapkan daerah pemilihan & jumlah kursi
6) Menetapkan waktu, tanggal tata cara pelaksanaan kampanye &
pemungutan suara
7) Menetapkan hasil & mengumumkan calon terpilih
8) Melakukan evaluasi & laporan
9) Melaksanakan tugas & kewenangan diatur UU

1

Ni’Matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia (Jakarta:PT RajaGrafido Persada), hlm. 225226

Yang kemudian diatur lebih lanjut dengan beberapa undang-undang,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum. Sebelum Pemilu 2004, KPU dapat terdiri dari anggota-anggota
yang merupakan anggota sebuah partai politik berdasarkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, namun setelah dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, maka diharuskan anggota KPU
adalah non-partisan dan independen.
Artinya bahwa keberadaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
komisi negara independen (independent regulatory agencies) yang diatur dalam
Konstitusi dan dijabarkan lebih lanjut dengan undang-undang dikuatkan oleh
pendapatnya Jimly Asshiddiqie yang menyatakan bahwa kelembagaan negara di
tingkat pusat dibedakan dalam 4 (empat) tingkatan kelembagaan, yaitu:
a. Lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih
lanjut dalam atau dengan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden dan Keputusan Presiden;
b. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang yang diatur dan
ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden dan Keputusan Presiden;
c. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah atau Peraturan
Presiden yang ditentukan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden;
d. Lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri yang ditentukan lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Pejabat di bawah Menteri.2
Adapun kewajiban Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah:
1) Memperlakukan peserta Pemilu secara adil dan serta guna menyukseskan
Pemilu

2

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
Sekretariat Jeideral dai Kepaiiteraai Mahkamah Koistitusi RI, Jakarta, 2006. Hlm.50

2) Menetapkan standarisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan
dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan peraturan perundangundangan
3) Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang inventaris
KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan
4) Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat
5) Melaporkan

penyelenggaraan

Pemilu

kepada

Presiden

selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari sesudah pengucapan sumpah/janji anggota DPR
dan DPD
6) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
APBN dan melaksanakan kewajiban lain yang diatur undang-undang.3
Hal ini menunjukkan dan menegaskan bahwa keberadaan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) sebagai komisi negara independen (independent regulatory agencies)
berada pada tingkatan kelembagaan yang kuat dikarenakan pembentukaannya
berdasarkan UUD yang diatur dan ditentukan lebih lanjut dalam atau dengan UndangUndang yang artinya kelembagaan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai
kelembagaan negara bantu (state auxiliary bodies) yang independen (independent
regulatory agencies) pada tingkatan Konstitusi, dengan catatan bahwa perlakuannya tidak
bisa disamakan dengan lembaga negara utama (main state organs) seperti yang dijelaskan
di atas. Sehingga kedudukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga negara
ditinjau menurut fungsi kelembagaan merupakan lembaga penunjang (auxliary state
organ) dalam ranah kekuasaan eksekutif yang secara hierarkis kelembagaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) merupakan organ lapis kedua (lembaga negara bantu (state
auxiliary bodies) yang sifatnya independen (independent regulatory agencies). Lihat
gambar berikut :
Konstruksi logika hukumnya dari perspektif Hukum Tata Negara adalah sebagai berikut :
1. Landasan filosofis, bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai komisi negara
independen (independent regulatory agencies) tentunya dapat dilihat dari nilai-nilai
3

Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi Demokrasi, (Yogyakarta:UII Pres
Yogyakarta), hlm.172

Pancasila baik sebagai filsafat hidup (Weltanschaung, Volksgeist), maupun sebagai
dasar negara dan ideologi negara, ideologi nasional yang berfungsi sebagai jiwa
bangsa dan jati diri nasional. Esensinya bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sebagai penyelenggara Pemilu dari kesejarahan tetap diakui dan legitimate dari Tahun
1955 sampai dengan Pemilu Tahun 2014, walaupun dengan berbagai perubahan
penyebutan nama.
2. Segi yuridis konstitusional diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945, kemudian
dikuatkan dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum (sebagaimana telah dijelaskan di atas) yang di dalamnya diatur
cakupan mengenai kedudukan, tugas, fungsi, hubungan dan kewenangan serta
pertanggungjawaban Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap penyelenggaraan
Pemilu.
3. Eksistensi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam sistem Pemilu berdasarkan UUD
1945, yaitu menyangkut problematika yang dihadapi KPU di Indonesia, konstruksi
kewenangan dan tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam mewujudkan
kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis, kontribusi keberadaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) dalam menunjang upaya pelaksanaan Pemilu menuju
terwujudnya kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang demokratis.
4. Sistem hirarkis Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Provinsi dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota yang diatur secara
tegas dalam peraturan perundangan (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum) yang menguatkan sistem kelembagaan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) secara nasional, mandiri, non-partisan dan independen.
2. Kedudukan

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan

Indoenesia sebagai lembaga Negara independen?
Lembaga Negara Independen adalah lembaga yang dalam pelaksanaan fungsinya
tidak memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga kekuasaan sesuai trias
politica. Banyak istilah untuk menyebut jenis lembaga baru ini, antara lain state auxiliary
institutions atau state auxiliary organs yang berarti institusi atau organ negara penunjang,

kemudian ada pula yang menyebutnya lembaga negara sampiran, lembaga negara bantu,
ataupun komisi negara. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara
yang bersifat independen dan berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tetapi tidak berada
di bawah kekuasaan kehakiman. Hal ini juga di tegaskan terkait status keberadaan sebuah
lembaga negara, seperti apa yang pernah dijelaskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam sebuah putusan yang menyatakan bahwa dalam sistem ketatanegaraan Indonesia,
kelahiran lembaga-lembaga negara baru dalam berbagai bentuk merupakan sebuah
konsekuensi logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih
sempurna menjalankan prinsip check and balances.
Checks and balances antara komisi ncgara independen dan tiga poros kekuasaan asli
(legislatif,cksekutif, dan yudikatif) menunjukkan bahwa:
a) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Mahkamah Konstitusi (MK) sangat membatasi
dan menyeimbangi komisi negara independen, sedangkan Presiden dan Mahkamah
Agung kurang berpengaruh dalam hal membatasi dan menyeimbangi komisi negara
independen.
b) Cabang kekuasaan eksekutif (Presiden) merupakan ndin target dari pembatasan dan
penyeimbangan komisi 11 negara independen, sehingga komisi negara independen
dalam konteks checks and balances sangat membatasi Presiden dalanl hal-hal tenentu
c) Mahkamah Konstitusi tidak tersentuh pembatasan dan penyeimbangan dari komisi
negara independen begitu pula dengat Parlemon Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Republik Indonesia.
Maraknya pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru juga karena tekanan
internal yang di Indonesia berupa kuatnya reformasi politik, hukum, dan sistem
kemasyarakatan secara politis dan hukum telah menyebabkan dekosentrasi kekuasaan
negara dan reposisi atau restrukturisasi dalam sistem ketatanegaraan. Secara eksternal
berupa fenomena gerakan arus global pasar bebas, demokratisasi, dan gerakan hak asasi
manusia internasional. Mahkamah Konstitusi juga menyatakan Istilah “lembaga negara”
tidak selalu dimasukkan sebagai lembaga negara yang hanya disebutkan dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, atau yang dibentuk

berdasarkan perintah konstitusi, tetapi juga ada lembaga negara lain yang dibentuk
dengan dasar perintah dari peraturan di bawah konstitusi, seperti Undang-Undang. Jimly
Asshiddiqie menyatakan, berdasarkan “Teori Norma Sumber Legitimasi” yaitu alat-alat
perlengkapan Negara di kelompokkan menurut bentuk norma hukum yang menjadi
sumber atau pemberi kewenangan kepada lembaga yang terkait. Di tingkat pusat
pengelompokkan lembaga-lembaga Negara dalam beberapa pembagian salah satunya ada
yang terbagi atas “lembaga yang dibentuk berdasarkan undang-undang” yang di mana
proses pemberian kewenangan kepada lembaga-lembaga ini melibatkan suatu peran DPR
dan Presiden. Oleh karena itu implikasi dari proses tersebut, dalam hal pembubaran atau
perubahan bentuk dan kewenangan lembaga semacam ini juga kembali melibatkan DPR
dan Presiden.4
Pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia (dalam hal ini KPK)
menurut Luthfie Yazid juga dilandasi atas beberapa hal penting, yakni: pertama, tidak
adanya kredibilitas lembaga-lembaga negara yang ada sebelumnya akibat adanya asumsi
(adanya bukti) mengenai korupsi yang sistematik, mengakar dan sulit untuk diberantas;
kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang telah ada sebelumnya karena
alasan-alasan tertentu atau tunduk pada kekuasaan tertentu (power); ketiga,
ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas
yang seharusnya dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan
internal maupun eksternal; keempat, adanya pengaruh global yang menunjukkan
kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang
disebut sebagai lembaga negara mandiri atau lembaga pengawas yang dianggap sebagai
kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang sudah ada telah menjadi bagian
dari sistem yang harus diperbaiki; kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga
internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era
baru menuju demokratisasi.5
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga yang dibentuk sebagai
salah satu bagian dari agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda
4

Jimly Asshiddiqie, opcit, hlm.26
Sirajuddii dai Wiiardi, 2015. Dasar-dasar Hukum Tata Negara Indonesia, (Malaig: Setara
Press), hlm.183
5

terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. Walaupun bersifat
independen dan bebas dari kekuasaan manapun, KPK tetap bergantung kepada kekuasaan
eksekutif dalam kaitannya pada masalah keorganisasian, lalu memiliki hubungan khusus
dengan kekuasaan yudikatif dalam hal penuntutan dan persidangan perkara tindak pidana
korupsi, namun dalam perkembangannya keberadaan dan kedudukan KPK dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak. Tugas, wewenang,
dan kewajiban yang dilegitimasi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memang membuat komisi ini terkesan
menyerupai sebuah lembaga “superbody” dan berpotensi “abuse of power”. Sebagai
lembaga negara yang nama nya tidak tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, KPK dianggap oleh sebagian pihak sebagai lembaga ekstrakonstitusional.
Akibat beberapa anggapan tersebut beberapa orang sebagai pemohon mengajukan
judicial review kepada Mahkamah Konstitusi, mempersoalkan eksistensi KPK dengan
menghadapkan Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 20 Undang-Undang KPK dengan pasal 1 ayat
(3) UUD 1945 tentang Indonesia adalah Negara hukum. Mereka berpendapat bahwa
ketiga pasal Undang-undang KPK tersebut bertentangan dengan konsep negara di dalam
UUD 1945 yang telah menetapkan delapan organ negara yang mempunyai kedudukan
yang sama atau sederajat yang secara langsung mendapat fungsi konstitusional dari UUD
1945 yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK dan KY.
Namun apabila, sebenarnya ada beberapa prinsip yang dapat dipergunakan untuk
menjelaskan soal tanggapan miring terhadap KPK tersebut, yaitu: pertama, dalil yang
pernah dikemukakan oleh Cicero yaitu, salus populi suprema lex, yang berarti
keselamatan rakyat (Negara) adalah hukum yang tertinggi. Jika keselamatan rakyat atau
negara sudah terancam karena keadaan yang luar biasa maka tindakan apapun yang
sifatnya darurat atau khusus dapat dan harus dilakukan sebagai upaya penyelamatan.
Dalam hal ini, kehadiran KPK dapat kita pandang sebagai suatu hukum atau upaya yang
dibuat untuk keselamatan tersebut, keadaan darurat untuk menyelesaikan korupsi yang
sudah sangat akut, sudah luar biasa terstruktur dan ditambah dengan kurang berfungsinya
penegakan hukum lainnya untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi; kedua, dalam
hukum dikenal adanya hukum yang bersifat umum (lex generalis) dan bersifat khusus
(lex specialis). Dalam hukum dikenal asas lex specialis derogate legi generali, yang

artinya undang-undang yang bersifat khusus didahulukan keberlakunya daripada undangundang yang bersifat umum. Yang umum dan khusus itu dapat ditentukan oleh pembuat
Undang-Undang sesuai dengan kebutuhan, kecuali apabila UUD 1945 jelas-jelas
menentukan sendiri. Dalam konteks ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan
hukum khusus yang kewenangannya diberikan oleh UU selain kewenangan-kewenangan
umum yang diberikan kepada kejaksaan dan polri. Ketiga, pembuat UU (badan legislatif)
dapat mengatur lagi lanjutan sistem ketatanegaraan yang tidak atau belum dimuat dalam
UUD sejauh tidak melanggar asas-asas dan restriksi yang jelas-jelas dimuat didalam
UUD. Oleh sebab itu, pembuatan UU apa pun yang tidak secara eksplisit diperintah atau
dilarang oleh UUD dapat dilakukan oleh legislatif untuk melaksanakan UUD itu sendiri.
Dalam kaitan ini, dipandang bahwa kehadiran KPK merupakan perwujudan dari hak
legislasi DPR dan pemerintah setelah melihat kenyataan yang menuntut perlunya
lembaga itu hadir.
Selanjutnya, mengenai persoalan “abuse of power” yang juga masuk dalam
anggapan-anggapan kecurigaan sebagian kalangan mengenai eksistensi KPK, selayaknya
hal itu tidak relevan jika hanya dikaitkan dengan keberadaan KPK, abuse of power atau
penyalahgunaan kekuasaan bisa terjadi dimana saja (lembaga apapun) atau siapa saja
(orang-orang dalam lembaga tersebut), sepanjang orang-orang atau lembaga-lembaga
tersebut diberikan suatu “power” maka ia berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya,
mengingat apa yang pernah diucapkan oleh Lord Acton “Power tends to corrupt and
absolute power corrupt absolutely” kekuasaan cenderung disalahgunakan dan
kekuasaaan yang mutlak pasti disalahgunakan. Sebaliknya jika diteliti dari dasar
dibentuknya sebuah lembaga anti korupsi, KPK justru dihadirkan dengan salah satu
tujuannya untuk melawan abuse of power yang terlanjur kronis di negeri kita tercinta,
Indonesia. Penyalahgunaan kekuasaan sangat berhubungan dengan kejahatan KKN, akan
lebih mudah bagi seseorang untuk melakukan KKN apabila ia memiliki “power”.

3. Perbandingan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia dengan di
berbagai Negara
Di dunia ini tidak ada satupun Negara yang bebas dari perbuatan korupsi. Sebab
korupsi bagian yang tidak terpisahlkan dalam sejarah perkembangan peradaban manusia
dan termasuk jenis kejahatan tertua. Dapat dibedakan korupsi satu Negara dengan
Negara-negara lainnya dari intensitas dan modus operandinya yang sangat tergantung
pada kualitas masyarakat, adat istiadat dan sistem penegakkan hukum di suatu Negara.
Usuha untuk memberantas korupsi sudah menjadi masalah global bukan lagi nasional
atau regional. Gejala korupsi ada pada setiap Negara, terutama Negara yang sedang
membangun sudah hampir menjadi condition sine qua non. Ada desakan dari rakyat agar
korupsi diberantas habis sehingga jika perlu digunakan hukum darurat, seperti pidana
yang berat, sistem Pembalikan Beban Pembuktian, pembebasan penanganan korupsi dari
instansi pemerintah kepada suatu badan independen yang terjamin kredibilitasinya dan
integritasnya. Upaya untuk dapat melaksanakan pemberantasan korupsi secara efektif dan
efisien salah satunya adalah melalui penerapan sistem Pembalikan Beban Pembuktian
dan pembentukan suatu badan atau lembaga khusus yang independen dalam rangka
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Di Indonesia lembaga Khusus Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah
dibentuk berdasarkan Undang- Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Organisasi KPK di Indonesia terdiri atas Pimpinan yaitu
seorang Ketua merangkap anggota dan empat orang Wakil Ketua merangkap anggota,
Tim Penasehat terdiri dari empat orang, KPK mempunyai empat bidang yaitu Deputi
Bidang Pencegahan, Deputi Bidang Penindakan, Deputi Bidang Informasi dan Data, dan
Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Pimpinan KPK dipilih
lewat panitia seleksi yang diajukan ke DPR untuk dipilih dan kemudian diangkat dan
dilantik Presiden dan KPK dibantu Sekretaris Jenderal yang diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden. KPK bertanggungjawab kepada publik dan laporan tertulis secara terbuka
dan berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia dan Badan Pemeriksa Keuangan (Pasal 20 UU No.30 Tahun 2002), dan KPK
mempunyai tugas dan kewenangan (Pasal 6 UU No.30 Tahun 2002).6
Tugas KPK:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi
b. Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara (Pasal 6
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002)
Wewenang KPK:
a. Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana
korupsi
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi
(Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002)
f. Wewenang lain bisa dilihat dalam Pasal 12,13, dan 14 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 20027
Adapun kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak
konvensional, mempersoalkan bahwa pemberian kewenangan kepada KPK untuk
6

Tumbur Ompus Suiggu,Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Penegakan
Hukum di Indonesia,(Yogyakarta:Total Media), hlm.55-56
7
Evi Hartaii,Tiidak Pidaia Korupsi,(Jakarta: Siiar Grafka),hlm.70-71

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan adalah tidak sah karena
menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dituntut oleh Pasal 28D ayat (1) UUD
1945. Kepastian hukum menuntut ketegasan berlakunya suatu aturan hukum (lex cetra)
yang mengikat secara tegas dan tidak meragukan dalam pemberlakuannya. Dikatakan
bahwa pemberlakuan Pasal 6 huruf c UU KPK menyebabkan munculnya pertentangan
antara dua UU atau lebih yang berlaku mengikat pada saat yang sama.
Sebenarnya, ketika ternyata lembaga legislatif memberi kewenangan kepada KPK
untuk dapat melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, isi UU itu sah dan tak
bertentangan dengan UU lain, sebab hubungan yang terjadi (dengan UU lain) sebenarnya
hanyalah pengkhususan karena situasi atau tujuan khususnya, bukan pertentangan.
Bukankah hak itu memang harus diberikan oleh UU? Akan menjadi tak sah kalau hak itu
diberikan oleh lembaga lain. Kalaupun itu dianggap bertentangan dengan UU Kejaksaan
atau UU Kepolisian maka masalahnya adalah ‘legislative review’ bukan ‘judicial review’.
Kalau pemohon mengatakan bahwa ketentuan seperti itu dirasakan tidak
menjamin kepastian hukum, justru sebaliknya dapat dikatakan pula bahwa disana ada
kepastian hukum karena secara khusus KPK diberi wewenang oleh UU untuk melakukan
itu. Harus diingat bahwa kedaulatan rakyat harus dilakukan menurut UUD di sini sudah
dipenuhi, yakni bahwa menurut UUD hal-hal yang seperti itu diatur oleh lembaga
legislative. Lembaga legislatif dapat menentukkan mana ynag umum dan mana yang
khusus. Masalah-masalah lain yang dikaitkan dengan hal ini oleh Pemohon, seperti
Penjelasan Umum alinea 6 UU KPK, tak relevan untuk dipersoalkan karena hal itu
menyangkut persoalan pelaksanaan oleh KPK terhadap Mulyana W. Kusumah, bukan
soal isi Penjelasan terhadap UUD. Begitu juga soal Penjelasan Umum angka 8 UU
tersebut persoalan pelaksanaan oleh KPK, bukan persoalan materi pengaturan UU
terhadap UUD.8
Komisi Pemberantasan Korupsi diberbagai Negara ini membahas keberadaan
komisi pemberantasan korupsi di lima Negara, antara lain:
1) Komisi Pemberantasan Korupsi Australia (ICAC New South Wales)
Lembaga independen yang bertugas memberantas korupsi di Australia
khususnya Negara bagian New South Wales adalah ICAC (Independent
8

Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pascaamandemen Konstitusi, (Jakarta:
PT Grafido Persada), hlm.198-199

Commission Against Corruption). Negara bagian New South Wales dengan
ibukota Sydney inilah yang mempunyai komisi anti korupsi yang lengkap,
independen, dan telah berjalan dengan lancer.
ICAC didirikan berdasarkan Independent Commission Against Corruption
Act Nomor 35 Tahun 1988. Undang-undang ini sudah beberapa kali
diamandemen, sehingga hampir setiap tahun diamandemen sejak tahun 1989
terkecuali pada tahun 1993. ICAC beroperasi di lingkungan sektor publik New
South Wales. Badan lain yang bergerak di bidang publik adalah Ombudsman dan
New South Wales Auditor General (semacam BPK di Indonesia). ICAC adalah
suatu komisi untuk pemeriksaan yang terfokus secara khusus pada tindak pidana
korupsi. Selain melakukan penyidikan, ICAC juga bertugas untuk membantu
mencegah korupsi di sektor publik dan mendidik masyarakat di sektor publik
tentang pencegahan tindak pidana korupsi.
Korupsi menurut Australia (News South Wales) adalah tingkah laku oleh
setiap orang (apakah pejabat publik ataukah bukan pejabak publik) yang memberi
dampak menentang atau dapat memberi dampak menentang kejujuran atau
pelaksanaan fungsi yang adil oleh seorang pejabat publik New South Wales atau
penguasa New South Wales.
Bagaimana Australia dapar berhasil memberantas korupsi sehingga saat
ini telah menjadi sebuah Negara yang paling bersih di dunia dari korupsi, telah
dipaparkan oleh Peter Wilis, seorang barrister, dan Director of Transparent
International Australia dalam makalahnya pada lokakarya pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi Indonesia, bahwa “Semula suatu pemerintahan yang
boros, membuang-buang uang dengan korupsi dan kotor. Sejumlah uang
dihamburkan, gelar dan jabatan Negara diperjualbelikan. Monopoli, pajak, dan
penguasaan tanah Negara dengan cara dirampas oleh penguasa yang parasit
beserta krooni-kroninya”.
Australia dari kondisi yang sangat korup tersebut, dapat dilakukan
perubahan dengan 6 (enam) hal berikut:
a) Pemilihan yang jujur oleh politisi yang jujur

b) Pejabat publik yang jujur, netral, dan berkualitas
c) Audit dan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran
pemerintah
d) Penyidikan yang independen dan pengajuan pengaduan terhadap
pemerintah sendiri
e) Akses bebas kepada informasi
f) Penuntutan kejahatan yang independen dan adanya hakim yang
independen, tidak bias, dan jujur.
Didukung oleh masyarakatnya yang memang sudah tertib, terbiasa taat
kepada undang-undang, ditambah dengan administrasi Negara yang tertib,
ditunjang oleh pegawai negeri dan pejabat publik yang professional dan
berintegritas, dan dengan gaji yang memadai. Sehingga dengan dukungan kondisi
demikian, fungsi ICAC New South Wales hanya merupakan alat pembersih
sebagaimana pengisap debu yang membersihkan sesuatu yang tidak terlaku
kotor.9
2) Komisi Pemberantasan Korupsi Hongkong (ICAC)
Permasalahan korupsi yang sangat meluas di Hongkong, terutama pada
tahun 60-an dan 70-an tidak terlepas dari masalah narkotika, karena Hongkong
tetap menjadi tempat transit para pengedar narkotika yang berkolusi dengan pihak
kepolisian Hongkong, yang pada pucuk pimpinannya masih dijabat oleh orangorang Inggris. Selain berkolusi dengan sindikat narkotika, polisi Hongkong juga
menjadi the god father tempat perjudian dan pelacuran. Pada tahun 70-an
diperkirakan 50 ton candu dan 10 ton morfin masuk ke Hongkong setiap tahunnya
dari kawasan segitiga emas Thailand-Laos-Burma. Di Hongkong terdapat 80.000
orang pecandu narkotika.
Sebuah sindikat narkotika bisa sukses dan berlangsung lama jika terjalin
kerja sama dengan pihak kepolisian, dan hal inilah yang terjadi di Hongkong
terutama dalam tahun 60-an dan 70-an. Terjadi kewajiban setoran regular dari
9

Ermaisjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, (Jakarta:Siiar Grafka), hlm.292-206

sindikat narkotika kepada kepolisian untuk mengamankan operasi sindikat
narkotikanya.
Setiap harinya kepolisian Hongkong menerima 10.000 dolar Hongkong
dari para sindikat, selanjutnya uang itu dibagi dari atas sampai ke bawah di jajaran
kepolisian secara hierarkis, dan demikian juga setoran dari kalangan sindikat
perjudian dan pelacuran juga terjadi, kasiona yang memiliki omzet 600.000 dolar
Hongkong per hari membayar 10.000 dolar Hongkong per hari kepada pihak
kepolisian, sedangkan setoran dari kalangan pelacuran tidak terlalu besar.
Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pemberantasan korupsi di
Hongkong oleh ICAC Hongkong adalah disebabkan hal-hal berikut:
a)

Adanya political will pemerintah, baik pada zaman colonial Inggris
maupun pada zaman Hongkong SAR yang melanjutkannya dengan
sungguh-sungguh dalam memberantas korupsi, baik melalui cara represif
maupun preventif dan pendidikan kepada masyarakat.

b)

Masih terjaminnya integritas dan kejujuran para hakim pada waktu ICAC
Hongkong dibentuk.

c)

Adanya budget atau anggaran operasional ICAC Hongkong yang sangat
besar.

d)

Pemanfaatan teknologi canggih dalam melaksanakan semua kegiatan ICAC
Hongkong.

e)

Diikutsertakannya masyarakat dalam pelaksanaan pemberantasan korupsi.
Sebagaimana telah dibahas pada bagian terdahulu, bahwa dibidang operasi

ada komite yang mengawasi yang anggotanya diambil dari semua unsur
masyarakat, begitu pula di bidang prevensi dan hubungan masyarakat. Satu hal
yang sangat menguntungkan dan yang telah membawa hasil bagi pemberantasan
korupsi di Hongkong, yaitu sebelum korupsi mewabah ke semua sektor
kehidupan masyarakat, pemerintah langsung melakukan usaha yang sangat gigih,
terencana, efisien, efektif, dan menyeluruh sehingga tidak terjadi seperti di

Indonesia yang ibarat kanker sudah pada posisi stadium akhir baru membentuk
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketika gejala korupsi sudah mulai menggejala di kepolisian Hongkong
yang merupakan sistem yang terorganisir, dengan melakukan pungutan pada
sindikat narotika, perjudian, dan pelacuran, dengan pembagian hasil yang
dilakukan secara merata kepada semua jajaran kepolisian berdasarkan status
jabatan dan kepangkatannya. Maka Gubernur Hongkong atau Chief Executive
segera membuat gagasan yang diajukkan kepada dewan perwakilan rakyat agar
segera dibentuk komisi pemberantasan korupsi yaitu ICAC Hongkong, dan Anti
Corruption Organization yang ada pada lembaga kepolisian Hongkong segera
dibubarkan
Sebelum keadaan menjadi parah seperti keadaan di Indonesia saat ini,
komisi pemberantasan korupsi ICAC Hongkong dibentuk dan ternyata mendapat
sukses besar, sehingga banyak dicontoh oleh Negara-negara lain.10
3) Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia (BPR/Badan Pencegah Rasuah)
ACA (Anti Corruption Act) di Malaysia yang mengatur baik hukum
pidana

materil

maupun

hukum

pidana

formil,

organisasi,

wewenang,

pengangkatan pejabat BPR Malaysia, wewenang penuntut umum dan juga delik
lain yang dapat disidik oleh BPR Malaysia, seperti delik suap dalam Penal Code
atau KUHP Malaysia, delik kepabeanan, dan delik pemilihan umum (pemilihan
raya). Juga mencampuri ketentuan tentang disiplin pegawai negeri atau pejabat
publik. Meliputi sistem jaringan pencegahan korupsi dan hubungan masyarakat
dalam bentuk propaganda anti korupsi secara gencar kepada masyarakat, sampai
ada pengkajian Islam yang tujuannya demikian.
Terbukti bahwa pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan dengan
segala daya dan cara, represif yang keras, tegas, dibarengi sistem preventif dan
hubungan masyarakat yang sangat intensif, didukung oleh political will yang
prima dari Pemerintah disertai dengan sumber daya manusia yang professional
10

Ibid, hlm. 307-326

dan berintegritas. Tidak kurang pentingnya adalah tersedianya anggaran yang
sangat memadai untuk menunjang semua kegiatan operasional dari BPR
Malaysia. Peraturannya atau ACA (Anti Corruption Act) pun sangat lengkap,
walaupun dengan hanya satu undang-undang telah mampu mecakup semua hal
dengan rumusan delik yang jelas, sangat keras, dan dijalankan oleh BPR Malaysia
dengan konsisten.
Permasalahan dalam pemberantasan korupsi di Malaysia oleh BPR
Malaysia adalah independensinya BPR Malaysia yang kurang jelas dan tegas,
karena BPR Malaysia masih berada dibawah administrasi kantor Perdana Menteri
Malaysia, pimpinannya diangkat oleh Yang Dipertuan Agung, dengan nasihat dari
Perdana Menteri. Demikian pula halnya dengan janji ikrar atau sumpah jabatan
pada waktu pejabat teras BPR Malaysia dilantik, susunan kalimatnya ditentukan
oleh Perdana Menteri, sehingga janji ikrar atau sumpah itu secara psikologis BPR
Malaysia harus setia kepada Pemerintah atau Perdana Menteri.
Dengan demikian, pertanggungjawabannya BPR Malaysia juga menjadi
pertanyaan atau permasalahan, yaitu bagaimana mekanismenya. Berbeda dengan
Australia ICAC New South Wales bertanggungjawab melalui Parliamentary Joint
Committee yang ada diparlemen, begitu juga di Thailand NCCC (National
Counter Corruption Commission) bertanggungjawab kepada parlemen.
Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Indonesia, berdasarkan
Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bertanggungjawab kepada:
a) Komisi Pemberantasan Korupsi bertanggungjawab kepada publik atas
pelaksanaan tugasnya dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan
berkala kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
b) Pertanggungjawaban publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dengan cara:

 Wajib audit terhadap kinerja dan pertanggungjawaban keuangan sesuai
dengan program kerja
 Menerbitkan laporan tahunan
 Membuka akses informasi
Dengan rumusan Pasal 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berarti
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan pertanggungjawabannya sudah
diatur secara sistematis dan jelas sehingga independensinya pun juga jelas.11
4) Komisi Pemberantasan Korupsi Singapura (CPIB/CORRUPT PRACTICES
INVESTIGATION BUREAU)
Singapura adalah Negara pulau yang merupakan Negara terkecil di
ASEAN, tetapi yang paling kaya dan paling makmur, aman, dan tertib.
Penduduknya tidak bertambah dari factor emigrant, seperti halnya Jakarta yang
setiap selesai lebaran Idul Fitri ribuan penduduk baru datang dari berbagai daerah
sehingga sulit diatur dan diprediksi pertumbuhan yang berasal dari tingkat
kelahiran.
Pelabuhan Singapura adalah pelabuhan nomor enam tersibuk di dunia,
yang mampu melakukan bongkar muat ribuan ton setiap harinya.
Singapura didirikan oleh Thomas Stamford Raffles pada tanggal 9
Agustus 1819, sehingga SIngapura mengambil hari bersejarah itu sebagai hari
kemerdekaannya, lepas dari federasi Malaysia pada 9 Agustus1965.
Walaupun Singapura tergolong Negara yang makmur, tertib, dan paling
kecil korupsinya, tetapi saja pemerintah SIngapura menciptakan badan anti
korupsi yang disebut CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau). Undangundang anti korupsinya pun sudah ada sejak tahun 1960 dan telah berkali-kali
dilakukan perubahan, yaitu tahun 1963, 1966, 1972, 1981, 1989, dan 1991.

11

Ibid, hlm.353-355

Undang-undang anti korupsi Singapura adalah Prevention of Corruption
Act. Undang-undang tersebut memuat hukum pidana materil dan hukum pidana
formil atau hukum acara pidana. Adapun rumusan delik korupsi diambil dari
KUHP SIngapura tanpa diubah sanksinya menjadi lebih berat seperti undangundang anti korupsi Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kalau Hongkong membentuk komisi pemberantasan korupsi dipicu
dengan merajalelanya korupsi di kalangan kepolisian yang melindungi
pengedaran narkotika, pelacuran, dan perjudian, maka SIngapura pembentukan
CPIB Singapura dipicu dengan kenyataan ekonominya dengan Negara-negara
luar. Dengan demikian, penyelundupan merupakan ancaman sebagai lading
korupsi di kalangan bea cukai Singapura, yang telah berkembang sejak tahun 50an.
Disamping itu, karena ada usaha keras para pemimpinnya yang dipelopori
oleh Lee Kuan Yew untuk menciptakan pemerintah dan masyarakat yang taat
hukum sebagai dasar untuk menuju kemakmuran.
Upaya pemberantasan korupsi di Singapura tidak terlalu gencar atau
sibuk, karena masyarakat Singapura sudah tertib, kesadaran hukum rakyat
Singapura sudah tinggi, serta pemerintahannya juga tertib (clean government).
Disamping itu, jumlah penduduk Singapura relative sedikit, pengangguran sangat
sedikit, dan pendapatan perkapita rakyat Singapura tinggi, dan hukum benarbenar ditegakkan secara konsisten.
Jadi, sama dengan di Australia yang memang sudah relative bersih dari
korupsi. CPIB Singapura sebenarnya ibarat anjing penjaga (watchdog) saja, yang
siap menakuti orang dengan mata yang membelalak agar orang tidak berani
melakukan korupsi.
Perbedaannya dengan di Indonesia, Australia, Malaysia, dan Thailand,
adalah CPIB Singapura juga mengurusi korupsi di sektor swasta, dan apabila

CPIB Singapura dibandingkan dengan ICAC Hongkong adalah kelemahannya
kurangnya melibatkan partisipasi publik Singapura dalam memberantas korupsi,
seperti melalui selebaran atau seminar yang dilakukan secara luas, intensif, dan
priodik.12
5) Komisi

Pemberantasan

Korupsi

Thailand

(NCCC/NATION

COUNTER

CORRUPTION COMMISSION)
Thailand adalah sebuah Negara di Asia Tenggara yang berbeda dengan
Negara-negara tetangganya seperti Vietnam, Laos, Kamboja, Burma, Malaysia,
dan Indonesia. Karena Thailand tidak pernah dijajah oleh Negara barat.
Sebelum tahun 1975, penyidikan dan pemberantasan korupsi dilakukan
oleh penegak hukum kepolisian, dan pengawasan dilakukan di dalam badanbadan secara sistem peng