BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanah - Studi Experimental Perbandingan Perilaku Kuat Geser Pada Tanah Lempung Yang Distabilisasi Dengan Bahan Pencampur Gypsum Dan Semen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah

  Dalam bidang keteknikan defenisi dari tanah tentu agak sedikit berbeda dengan defenisi yang digunakan dalam bidang lain. Tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut (Das,1998).

  Berdasarkan asalnya, tanah dapat diklasifikasikan secara luas menjadi tanah organik dan anorganik.Tanah organik adalah campuran yang mengandung bagian-bagian yang cukup berarti berasal dari lapukan dan sisa tanaman dan kadang-kadang dari kumpulan kerangka dan kulit organisme kecil.Tanah inorganik berasal dari pelapukan batuan secara kimia maupun fisis (Dunn et al., 1980).

  Secara garis besar karakteristik beberapa jenis tanah dapat dilihat sebagai berikut (Dunn et al., 1980) :

  • Pasir lepas hanyalah suatu deposit pasir dengan kepadatan yang rendah.

  Beban bergetar cenderung akan memadatkan deposit ini. Pasir lepas juga menimbulkan masalah pada daerah resiko gempa, sebab beban gempa dapat mengakibatkan pencairan (liquifaction) apabila pasir tersebut jenuh dan juga penurunan yang cukup besar.

  • Tanah lus (loess) adalah suatu deposit yang relatif seragam, tanah lanau bawaan angin. Tanah ini mempunyai permeabilitas vertikal yang relatif tinggi dan permeabilitas horizontal yang rendah. Tanah lus menjadi sangat kompresibel apabila jenuh. Hal ini sering menimbulkan masalah pada bangunan air seperti saluran dan bendungan tanah yang dibangun di atas tanah lus.
  • Lempung yang tekonsolidasi normal adalah tanah lempung yang tidak pernah menderita tekanan yang lebih besar daripada tekanan yang ada pada saat sekarang. Tanah ini pada umumnya cenderung sangat kompresibel, mempunyai daya dukung ultimit rendah dan permeabilitas yang rendah. Tanah ini sering tidak mampu mendukung bangunan dengan pondasi dangkal.
  • Lempung terkonsolidasi lebih adalah lempung yang pada masa silam pernah menderita tekanan yang lebih besar daripada tekanan yang ada sekarang. Lempung yang tingkat terkonsolidasi-lebihnya tinggi pada umumnya cenderung mempunyai suatu daya dukung ultimit yang agak tinggi dan relatif tidak kompresibel.
  • Bentonit adalah lempung yang mempunyai plastisitas tinggi yang dihasilkan dari dekomposisi abu vulkanis. Tanah ini bersifat ekspansif yang mengembang cukup besar bila kondisinya jenuh. Bentonit sering dipergunakan secara menguntungkan sebagai pelapis kedap air suatu kolam tetapi akan menimbulkan masalah pada bangunan pondasi, trotoar,
pelat beton dan elemen bangunan lain apabila tanah tersebut mengalami perubahan kadar air karena perubahan musim.

  • Gambut adalah bahan organis setengah lapuk berserat atau suatu tanah yang mengandung bahan organis berserat dalam jumlah besar. Gambut mempunyai angka pori yang sangat tinggi dan sangat kompresibel.

2.2 Elemen Tanah

  Tanah terdiri dari 3 (tiga) fase elemen yaitu: butiran padat (solid), air dan udara. Ketiga fase elemen tersebut dapat dilihat dalam Gambar 2.1

Gambar 2.1 Tiga fase elemen tanahGambar 2.1 memperlihatkan ketiga fase elemen tanah yang mempunyai volume V dan berat total W. Dari gambar tersebut diperoleh persamaan hubungan

  antara volume-berat dari tanah berikut : (2.1)

  =

  (2.2) =

  Dimana :

  3

  : volume butiran padat (cm )

  3

  :volume pori (cm )

  3

  : volume air di dalam pori (cm )

  3

  : volume udara di dalam pori (cm ) Apabila udara dianggap tidak mempunyai berat, maka berat total dari contoh tanah dapat dinyatakan dengan :

  (2.3) =

  • Dimana:

  : berat butiran padat (gr) : berat air (gr)

  Hubungan volume yang umum dipakai untuk suatu elemen tanah adalah angka pori(void ratio), porositas (porosity), dan derajat kejenuhan (degree of

  saturation ).

  1. Angka Pori (Void Ratio) Angka pori atau void ratio (e) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume rongga ( ) dengan volume butiran ( ) dalam tanah, atau :

  (2.4) = Dimana: : angka pori

  3

  : volume rongga(cm )

  3

  : volume butiran(cm )

  2. Porositas (Porocity) Porositas atau porosity (n) didefinisikan sebagai persentase perbandingan antara volume rongga ( ) dengan volume total (

  ) dalam tanah, atau : (2.5)

  = 100 Dimana: : porositas

  3

  : volume rongga(cm )

  3

  ) : volume total(cm

  3. Derajat Kejenuhan (S) Derajat kejenuhan atau degree of saturation (S) didefinisikan sebagai perbandingan antara volume air ( ) dengan volume total rongga pori tanah ( ).

  Bila tanah dalam keadaan jenuh, maka = 1. Derajat kejenuhan suatu tanah ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan:

  (2.6) (%) = 100

  Dimana: : derajat kejenuhan

  3

  : berat volume air(cm )

  3

  :volume total rongga pori tanah(cm ) Batas-batas nilai dari derajat kejenuhan tanah dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah (Hardiyatmo, 2002)

  Keadaan Tanah Derajat Kejenuhan

  Tanah kering Tanah agak lembab > 0 - 0,25

  Tanah lembab 0,26 - 0,50 Tanah sangat lembab 0,51 - 0,75

  Tanah basah 0,76 - 0,99 Tanah jenuh

  1

  4. Kadar Air (Moisture Water Content) Kadar air atau water content (w) adalah persentase perbandingan berat air

  ( ) dengan berat butiran ( ) dalam tanah, atau : (2.7)

  (%) = 100 Dimana:

  ∶ kadar air ∶ berat air (gr) ∶ berat butiran (gr)

  5. Berat Volume Basah (Wet Volume Weight) ) adalah perbandingan antara berat butiran tanah

  Berat volume basah ( termasuk air dan udara ( ) dengan volume total tanah ( ). Berat volume tanah

  ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan : =

  (2.8) Dimana:

  3

  : berat volume basah (gr/cm ) : berat butiran tanah (gr)

  3

  ) : volume total tanah(cm

  6. Berat Volume Kering (Dry Volume Weight) ) adalah perbandingan antara berat butiran tanah

  Berat volume kering ( ( ) dengan volume total tanah ( ) dapat dinyatakan

  ). Berat volume tanah ( dalam persamaan : =

  (2.9) Dimana:

  3

  : berat volume kering (gr/cm ) : berat butiran tanah (gr)

  3

  ) : volume total tanah (cm

  7. Berat Volume Butiran Padat (Soil Volume Weight) Berat volume butiran padat ( ) adalah perbandingan antara berat butiran tanah ( ) dengan volume butiran tanah padat ( ). Berat volume butiran padat

  ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan : =

  (2.10) Dimana:

  3

  : berat volume padat (gr/cm ) : berat butiran tanah (gr)

  3

  : volume total padat (cm )

  8. Berat Jenis (Specific Gravity) Berat jenis tanah atau specific gravity (Gs) didefinisikan sebagai perbandingan antara berat volume butiran tanah ( ) dengan berat volume air ( ) dengan isi yang sama pada temperatur tertentu. Berat jenis tanah ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan :

  = (2.11)

  Dimana:

  3

  : berat volume padat (gr/cm )

  3

  : berat volume air(gr/cm ) : berat jenis tanah Batas-batas besaran berat jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Berat Jenis Tanah (Hardiyatmo, 2002)

  

Macam Tanah Berat Jenis

  Kerikil 2,65 - 2,68 Pasir 2,65 - 2,68

  Lanau tak organic 2,62 - 2,68 Lempung organic 2,58 - 2,65

  Lempung tak organic 2,68 - 2,75 Humus 1,37

  Gambut 1,25 - 1,80

2.3 Uji Klasifikasi Tanah

  Dalam mengklasifikasikan tanah dapat dilakukan beberapa uji yaitu uji batas Atterberg, analisa ukuran butir, analisis hidrometer.

2.3.1 Batas-batas Atterberg (Atterberg Limit)

  Atterberg adalah seorang ilmuwan tanah dari Swedia yang pada tahun 1911 telah berhasil mengembangkan suatu metode untuk menjelaskan sifat konsistensi tanah berbutir halus pada kadar air yang bervariasi yang disebut batas- batas Atterberg. Kegunaan batas Atterberg dalam perencanaan adalah memberikan gambaran secara garis besar akan sifat-sifat tanah yang bersangkutan.

  Ada dua parameter utama untuk mengetahui plastisitas tanah lempung, yaitu batas atas dan batas bawah plastisitas.Atterberg memberikan cara untuk menggambarkan batas-batas konsistensi dari tanah berbutir halus dengan mempertimbangkan kandungan kadar airnya (Holtz dan Kovacs, 1981).Tanah yang batas cairnya tinggi biasanya mempunyai sifat teknik yang buruk yaitu kekuatannya rendah, sedangkan kompresibilitasnya tinggi sehingga sulit dalam hal pemadatannya. Oleh karena itu, atas dasar kandungan kadar air dalam tanah, tanah dapat dipisahkan ke dalam empat keadaan dasar, yaitu : padat, semi padat, plastis dan cair, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 2.2 di bawah ini.

  Basah Kering PadatSemi Padat Plastis Cair Batas Susut Batas Plastis Batas Cair (Shrinkage Limit) (Plastic Limit) (Liquid Limit)

Gambar 2.2 Batas-Batas Atterberg

  Batas-batas Atterberg terbagi dalam tiga batas berdasarkan kadar airnya yaitu batas cair (liquid limit), batas plastis (plastic limit) dan batas susut (shrinkage

  limit ).

2.3.1.1 Batas Cair (Liquid Limit)

  Batas cair (liquid limit) adalah kadar air tanah pada batas antara keadaan cair dan keadaan plastis yakni batas atas dari daerah plastis. Pada kadar air yang sangat tinggi, tanah berperilaku sebagai cairan encer yang mengalir dan tidak dapat mempertahankan bentuk tertentu. Kadar air paling rendah dimana tanah dalam keadaan cair disebut batas cair (LL).

  Batas cair ditentukan dari pengujian Cassagrande (1948), yakni dengan menggunakan cawan yang telah dibentuk sedemikian rupa yang telah berisi sampel tanah yang telah dibelah oleh grooving tool dan dilakukan dengan pemukulan sampel dengan jumlah dua sampel dengan pukulan diatas 25 pukulan dan dua sampel dengan pukulan dibawah 25 pukulan sampai tanah yang telah dibelah tersebut menyatu. Hal ini dimaksudkan agar mendapatkan persamaan sehingga didapatkan nilai kadar air pada 25 kali pukulan. Batas cair memiliki batas nilai antara 0 – 100, akan tetapi kebanyakan tanah memiliki nilai batas cair kurang dari 100 (Holtz dan Kovacs, 1981).Pengujian dilaksanakan dengan menempatkan segumpal tanah dalam sebuah mangkok dan membuat alur dengan ukuran standar pada tanah tersebut. Kemudian mangkok dijatuhkan ke atas permukaan yang keras dengan ketinggian 10 mm. Batas cair ditetapkan sebagai 1 kadar air apabila alur bertaut selebar 12,7 mm ( 2 ) pada 25 pukulan. Alat uji batas cair dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini.

Gambar 2.3 Alat Uji Batas Cair

  2.3.1.2 Batas Plastis (Plastic Limit)

  Batas plastis (plastic limit) merupakankadar air tanah pada kedudukan antara daerah plastis dan semi padat. Batas plastis memiliki batas nilai antara 0 – 100, akan tetapi kebanyakan tanah memiliki nilai batas cair kurang dari 40 (Holtz dan Kovacs, 1981).

  Tanah dianggap dalam keadaan plastis apabila dapat dibentuk atau diolah menjadi bentuk baru tanpa retak-retak.Kadar air terendah dimana tanah dianggap dalam keadaan plastis disebut batas plastis (PL) dari tanah itu.Batas plastis ditentukan dengan menggulung segumpal tanah menjadi sebuah batangan. 1 Apabila batangan tersebut mulai retak-retak pada diameter 3,18 mm ( 8 ), kadar airnya adalah batas plastis (ASTM D-424).

  2.3.1.3 Batas Susut (Shrinkage Limit)

  Batas susut (shrinkage limit) adalah kadar air tanah pada kedudukan antara daerah semi padat dan padat, yaitu persentase kadar air di mana pengurangan kadar air selanjutnya mengakibatkan perubahan volume tanahnya. Percobaan batas susut dilaksanakan dalam laboratorium dengan cawan porselin diameter 44,4 mm dengan tinggi 12,7 mm. Bagian dalam cawan dilapisi oleh pelumas dan diisi dengan tanah jenuh sempurna yang kemudian dikeringkan dalam oven. Volume ditentukan dengan mencelupkannya dalam air raksa.Batas susut dapat dinyatakan dalam Persamaan 2.12 seperti yang ditunjukkan pada rumusan dibawah ini. ( ) ( ) 1 − 2 1 − 2

  (2.12) = � − � 100 % 2 2 Dimana: 1 :berat tanah basah dalam cawan percobaan (gr) 2 :berat tanah kering oven (gr)

  3 1 :volume tanah basah dalam cawan(cm )

  3 2 :volume tanah kering oven(cm )

  3

  :berat jenis air(gr/cm )

2.3.1.4 Indeks Plastisitas (Plasticity Index)

  Indeks Plastisitas (PI) adalah selisih batas cair dan batas plastis dan merupakan rentang kadar air dimana tanah berperilaku dalam keadaan plastis.

  Adapun rumusan dalam menghitung besaran nilai indeks plastisitas adalah sesuai dengan Persamaan 2.13, seperti yang ditunjukkan pada rumusan dibawah ini.

  PI = LL - PL

  (2.13) Dimana: PI : indeks plastisitas LL : batas cair PL : batas plastis Klasifikasi jenis tanah berdasarkan indeks plastisitasnya dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Indeks Plastisitas Tanah(Hardiyatmo,2002)

  PI Sifat Macam tanah Kohesi

  Non – Plastis Pasir Non - Kohesif < 7 Plastisitas Rendah Lanau Kohesif Sebagian 7 - 17 Plastisitas Sedang Lempung berlanau Kohesif

  > 17 Plastisitas Tinggi Lempung Kohesif

2.3.2 Gradasi Ukuran Butir (Sieve Analysis)

  Ukuran partikel efektif dari sesuatu tanah didefenisikan sebagai ukuran partikel yang 10% dari berat tanah tersebut mempunyai ukuran lebih kecil dari ukuran itu. Suatu tanah yang mempunyai kurva distribusi ukuran butir yang hampir vertikal (semua partikel dengan ukuran yang hampir sama) disebut tanah yang uniform. Apabila kurva membentang pada daerah yang agak besar, tanah disebut bergradasi baik.

  Pembedaan antara tanah uniform dan bergradasi baik dapat ditentukan secara numerik dengan koefisien uniformitas dengan koefisien lengkungan .

  Koefisien uniformitas dan koefisien lengkungan digunakan sebagai bagian dari sistem klasifikasi tanah Unified. Koefisien uniformitas didefenisikan sebagai rasio: 60

  = 10 (2.14)

  Koefisien lengkungan didefenisikan sebagai : 2

  30

  = 10 60 (2.15)

  ⋅

  Dimana : : koefisien uniformitas

  : koefisien lengkungan 10 : diameter butir yang lolos 10% dari berat (mm) 30 : diameter butir yang lolos 30% dari berat (mm) 60 : diameter butir yang lolos 60% dari berat (mm)

2.3.3 Analisa Hidrometer (Hydrometer Analysis)

  Analisis hidrometer dapat digunakan untuk memperpanjang kurva distribusi analisa saringan dan untuk memperkirakan ukuran-ukuran yang butirannya lebih kecil dari saringan No.200.Analisis hidrometer tidak secara langsung digunakan dalam sistem klasifikasi tanah. Detail dari uji ini dapat ditemukan di ASTM D422 (Bowles, 1984).

2.4 Sistem Klasifikasi Tanah

  Sistem klasifikasi tanah digunakan untuk mengelompokkan tanah-tanah sesuai dengan perilaku umum dari tanah pada kondisi fisis tertentu. Tujuan dari pengklasifikasian tanah ini adalah untuk memungkinkan memperkirakan sifat fisis tanah dengan mengelompokkan tanah dengan kelas yang sama yang sifat fisisnya diketahui dan menyediakan sebuah metode yang akurat mengenai deskripsi tanah bagi para ahli. Tanah-tanah yang dikelompokkan dalam urutan berdasar satu kondisi-kondisi fisis tertentu bisa saja mempunyai urutan yang tidak sama jika didasarkan kondisi-kondisi fisis tertentu lainnya.

  Oleh karena itu, sejumlah sistem klasifikasi telah dikembangkan dan pengklasifikasian tersebut terbagi menjadi tiga sistem klasifikasi yaitu :

1. Klasifikasi tanah berdasar tekstur/ukuran butir 2.

  Klasifikasi tanah sistem USC 3. Klasifikasi tanah sistem AASHTO

2.4.1 Klasifikasi Tanah Berdasar Tekstur/Ukuran Butir

  Ukuran butir merupakan suatu metode yang jelas untuk mengklasifikasi tanah, hal tersebut juga sudah digunakan sejak dahulu untuk membuat sistem klasifikasi berdasar ukuran butir. Karena deposit tanah alam pada umumnya terdiri atas berbagai ukuran-ukuran partikel, maka perlu untuk menentukan kurva distribusi ukuran butir dan kemudian menentukan persentase tanah bagi tiap batas ukuran. Departernen Pertanian AS telah mengembangkan suatu sistem klasifikasi ukuran butir melalui prosentase pasir, lanau dan lempung.

  Pengklasifikasian dengan sistem ini memiliki kekurangan yaitu hanya sedikit sekali hubungan antara ukuran butir dan sifat-sifat fisis bagi tanah butir halus (Dunn et al., 1980).Sehingga dilakukan pengembangan sistem klasifikasi tanah yang mengikut sertakan karakteristik konsistensi dan plastisitas dari fraksi halus.Pengklasifikasian tanah berdasar tekstur/ukuran butir dapat dilihat dalam Gambar 2.4 di bawah ini.

Gambar 2.4 Klasifikasi Berdasar Tekstur Tanah

2.4.2 Klasifikasi Tanah Sistem USC (Unified Soil Classification)

  Klasifikasi tanah sistem Unified adalah sistem klasifikasi tanah yang paling banyak dipakai untuk pekerjaan pondasi serta dapat digunakan untuk bendungan dan konstruksi lainnya. Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh A.Casagrande (1948) sebagai sebuah metode untuk mengidentifikasi dan mengelompokkan tanah untuk konstruksi militer.Sistem ini biasa digunakan untuk desain lapangan udara dan untuk spesifikasi pekerjaan tanah untuk jalan.

  Klasifikasi berdasarkan Unified System (Das, 1988), tanah dikelompokkan menjadi :

  1. Tanah butir kasar (coarse-grained-soil) Merupakan tanah yang lebih dari 50% bahannya tertahan pada ayakan no.200 (0,075 mm).Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal G atau S. G adalah untuk kerikil (gravel) atau tanah berkerikil, dan S adalah untuk pasir (sand) atau tanah berpasir.

  2. Tanah berbutir halus (fine-grained-soil) Merupakan tanah yang lebih dari 50 % berat total contoh tanah lolos ayakan no.200 (0,075 mm). Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal M untuk lanau (silt) anorganik, C untuk lempung (clay) anorganik, dan O untuk lanau organik dan lempung organik. Simbol PT digunakan untuk tanah gambut (peat), muck, dan tanah-tanah lain dengan kadar organik yang tinggi.

  Tanah berbutir kasar ditandai dengan simbol kelompok seperti : GW, GP, GM, GC, SW, SP, SM dan SC.Adapun simbol-simbol lain yang digunakan dalam klasifikasi tanah ini adalah :

  W :well graded (tanah dengan gradasi baik) P :poorly graded (tanah dengan gradasi buruk) L :low plasticity (plastisitas rendah) (LL < 50) H :high plasticity (plastisitas tinggi) ( LL > 50)

  Untuk klasifikasi yang benar, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut ini : 1.

  Persentase butiran yang lolos ayakan no.200 (fraksi halus).

2. Persentase fraksi kasar yang lolos ayakan no.40.

  3. Koefisien keseragaman (Uniformity coefficient, Cu) dan koefisien gradasi (gradation coefficient, Cc) untuk tanah dimana 0-12% lolos ayakan no.200.

  4. Batas cair (LL) dan Indeks Plastisitas (PI) bagian tanah yang lolos ayakan no.40 (untuk tanah dimana 5% atau lebih lolos ayakan no.200).

Gambar 2.5 Klasifikasi Tanah Sistem Unified

2.4.3 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO

  Sistem klasifikasi tanah sistem AASHTO(American Association of State

  Highway Transportation Official

  ) pada mulanya dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public Road Administration Classification System. Sistem ini mengklasifikasikan tanah kedalam delapan kelompok, A-1 sampai A-8, namun kelompok tanah A-8 tidak diperlihatkan tetapi merupakan gambut atau rawa yang ditentukan berdasarkan klasifikasi visual. Setelah diadakan beberapa kali perbaikan, sistem ini dipakai oleh The American Association of State Highway

  Officials (AASHTO) dalam tahun 1945.

  Pengklasifikasian tanah dilakukan dengan cara memproses dari kiri ke kanan pada bagan tersebut sampai menemukan kelompok pertama yang data pengujian bagi tanah tersebut memenuhinya dan pada awalnya membutuhkan data-data sebagai berikut :

  1. Analisis ukuran butiran.

  2. Batas cair dan batas plastis dan IP yang dihitung.

  3. Batas susut.

  4. Ekivalen kelembaban sentrifugal, sebuah percobaan untuk mengukur kapasitas tanah dalam menahan air.

  5. Ekivalen kelembaban lapangan, kadar lembab maksimum dimana satu tetes air yang dijatuhkan pada suatu permukaan yang kecil tidak segera diserap oleh permukaan tanah itu.

  Khusus untuk tanah-tanah yang mengandung bahan butir halus diidentifikasikan lebih lanjut dengan indeks kelompoknya.Bagan pengklasifikasian sistem ini dapat dilihat seperti pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO

2.5 Tanah Lempung (clay)

2.5.1 Defenisi Lempung

  Berdasarkan sudut pandang beberapa ahli, lempung memiliki defenisi antara lain:

  1. Terzaghi (1987) Mendefenisikan tanah lempung sebagai tanah dengan ukuran mikrokonis sampai dengan sub mikrokonis yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan. Permeabilitas lempung sangat rendah, bersifat plastis pada kadar air sedang. Pada keadaan air yang lebih tinggi tanah lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak.

  2. Das. Braja M (1988) Mendefenisikan bahwa tanah lempung sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis dan sub-mikroskopis (tidak dapat dilihat dengan jelas bila hanya dengan mikroskopis biasa) yang berbentuk lempengan-lempengan pipih dan merupakan partikel-partikel dari mika, mineral-mineral lempung (clay mineral), dan mineral-mineral yang sangat halus lain. Tanah lempung sangat keras dalam kondisi kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Namun pada kadar air yang lebih tinggi lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak.

  3. Bowles (1991) Mendefinisikan tanah lempung sebagai deposit yang mempunyai partikel berukuran lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam jumlah lebih dari 50 %.

  4. Hardiyatmo (1992) Mengatakan bahwa sifat-sifat yang dimiliki dari tanah lempung antara lain ukuran butiran halus lebih kecil dari 0,002 mm, permeabilitas rendah, kenaikan air kapiler tinggi, bersifat sangat kohesif, kadar kembang susut yang tinggi dan proses konsolidasi lambat.

  Dalam klasifikasi tanah secara umum, partikel tanah lempung memiliki diameter 2µm atau sekitar 0,002 mm (USDA, AASHTO, USCS).Dibeberapa kasus partikel berukuran antara 0,002 mm sampai 0,005 mm masih digolongkan sebagai partikel lempung (ASTM-D-653).Dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah bukan lempung (non clay soil) meskipun terdiri dari partikel-partikel yang sangat kecil (partikel-partikel quartz, feldspar, mika dapat berukuran sub mikroskopis tetapi umumnya tidak bersifat plastis). Partikel- partikel dari mineral lempung umumnya berukuran koloid, merupakan gugusan kristal berukuran mikro, yaitu < 1 µm (2 µm merupakan batas atasnya). Tanah lempung merupakan hasil proses pelapukan mineral batuan induknya, yang salah satu penyebabnya adalah air yang mengandung asam atau alkali, oksigen, dan karbondioksida.

2.5.2 Lempung dan Mineral Penyusun

  Mineral lempung merupakan senyawa aluminium silikat yang kompleks.Mineral ini terdiri dari dua lempung kristal pembentuk kristal dasar, yaitu silika tetrahedra dan aluminium oktahedra (Das, 1988). Mineral lempung dapat terbentuk dari hampir setiap batuan selama terdapat cukup banyak alkali dan tanah alkalin untuk dapat membuat terjadinya reaksi kimia (Grimm, 1968).

  Tanah lempung sangat keras dalam kondisi kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang sedangkan pada kadar air yang lebih tinggi lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak. Kohesif menunjukan bahwa bahwa pada keadaan basah tanah memiliki kemampuan gaya tarik-menarik yang besar sehingga partikel-pertikel itu melekat satu sama lainnya sedangkan plastisitas merupakan sifat yang memungkinkan bentuk bahan itu diubah-ubah tanpa perubahan isi atau tanpa kembali ke bentuk aslinya dan tanpa terjadi retakan- retakan atau terpecah-pecah.

  Lempung merupakan mineral asli yang mempunyai sifat plastis saat basah, dengan ukuran butir yang sangat halus dan mempunyai komposisi berupa hydrous

  

aluminium dan magnesium silikat dalam jumlah yang besar.Beberapa diantaranya

  juga mengandung alkali dan/atau tanah alkalin sebagai komponen dasarnya.Mineral lempung sebagian besar mempunyai struktur berlapis dimana ukuran mineralnya sangat kecil yakni kurang dari 2 µm (1µm = 0,000001m), meskipun ada klasifikasi yang menyatakan bahwa batas atas lempung adalah 0,005 m (ASTM)dan merupakan partikel yang aktif secara elektrokimiawi yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron.

  Bowles (1984) menyatakan bahwa sumber utama dari mineral lempung adalah pelapukan kimiawi dari batuan yang mengandung : felspar ortoklas

  • felspar plagioklas
  • mika (muskovit)
  • yang semuanya dapat disebut silikat aluminium kompleks (complex aluminium

  silicates

  ). Lempung terdiri dari berbagai mineral penyusun, antara lain mineral lempung (kaolinite, montmorillonite dan illite group) dan mineral-mineral lain yang mempunyai ukuran sesuai dengan batasan yang ada (mika group,

  

serpentinite group ).Kaolinit merupakan mineral lempung paling tidak aktif yang

pernah diamati.

  Satuan struktur dasar dari mineral lempung terdiri dari silika tetrahedron dan aluminium oktahedron. Satuan-satuan dasar tersebut bersatu membentuk struktur lembaran dan jenis-jenis mineral lempung tersebut tergantung dari komposisi susunan satuan struktur dasar atau tumpuan lembaran serta macam ikatan antara masing-masing lembaran (Das, 1988).

  Unit-unit silika tetrahedra berkombinasi membentuk lembaran silika (silica sheet) dan, unit-unit oktahedra berkombinasi membentuk lembaran oktahedra (gibbsite sheet).Bila lembaran silika itu ditumpuk di atas lembaran oktahedra, atom-atom oksigen tersebut akan menggantikanposisi ion hidroksil pada oktahedra untuk memenuhi keseimbangan muatan mereka.

  ( a ) ( b ) ( c ) ( d )

  ( e )

Gambar 2.7 Struktur Atom Mineral Lempung ( a ) silica tetrahedra ; ( b ) silica

  

sheet ; ( c ) aluminium oktahedra ; ( d ) lembaran oktahedra (gibbsite) ; ( e )

lembaran silika – gibbsite (Das, 2008).

2.5.2.1 Kaolinite

  Istilah “kaolinite” dikembangkan dari kata “ Kauling” yang berasal dari nama sebuah bukit yang tinggi di Jauchau Fu, China, dimana lempung kaolinite putih mula-mula diperoleh beberapa abad yang lalu (Bowles, 1984).

  Kaolinite merupakan hasil pelapukan sulfat atau air yang mengandung karbonat

  pada temperatur sedang dan umumnya berwarna putih, putih kelabu, kekuning- kuningan atau kecoklat-coklatan.

  Struktur unit kaolinite terdiri dari lembaran-lembaran silika tetrahedral yang digabung dengan lembaran alumina oktahedran (gibbsite). Lembaran silika dan gibbsite ini sering disebut sebagai mineral lempung 1 : 1 dengan tebal kira-

  • 10

  kira 7,2 Å (1 Å=10 m). Mineral kaolinite berwujud seperti lempengan- lempengan tipisdengan diameter 1000 Å sampai 20000 Å dan ketebalan dari 100

  2

  Å sampai 1000 Å dengan luasan spesifik per unit massa ± 15 m /gr yang memiliki rumus kimia (OH)

  8 Al

  

4 Si

  4 O

  10 Keluarga mineral kaolinite1 : 1 yang lainnya adalah halloysite. Halloysite

  memiliki tumpukan yang lebih acak dibandingkan dengan kaolinite sehingga molekul tunggal dari air dapat masuk.Halloysite memiliki rumus kimia sebagai berikut.

  (OH)

8 Al

  4 Si

  

4 O

10 . 4H

  2 O Gambar dari struktur kaolinite dapat dilihat dalam Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Struktur Kaolinite (Das, 2008)

2.5.2.2 Illite

  Illite adalah mineral lempung yang pertama kali diidentifikasi di

  Illinois.Mineral illite bisa disebut pula dengan hidrat-mika karena illitemempunyai hubungan dengan mika biasa (Bowles, 1984). Mineral illite memiliki rumus kimia sebagai berikut:

  (OH)

  4 K y (Si 8-y . Al y )(Al 4 . Mg 6 .Fe 4 . Fe 6 )O

  20 Dimana y adalah antara 1 dan 1,5. Illite memiliki formasi struktur satuan kristal,

  tebal dan komposisi yang hampir sama dengan montmorillonite. Perbedaannya ada pada : Kalium(K) berfungsi sebagai pengikat antar unit kristal sekaligus sebagai

  • penyeimbang muatan.
  • tetrahedral.

  Terdapat ± 20% pergantian silikon (Si) oleh aluminium(Al) pada lempeng

  • Pembentukan mineral lempung yang berbeda disebabkan oleh subtitusi kation- kation yang berbeda pada lembaran oktahedral.Bila sebuah anion dari lembaran oktahedral adalah hydroxil dan dua per tiga posisi kation diisi oleh aluminium maka mineral tersebut disebut gibbsite dan bila magnesium disubstitusikan kedalam lembaran aluminium dan mengisi seluruh posisi kation, maka mineral tersebut disebut brucite. Struktur mineral illite dapat dilihat dalam Gambar 2.9

  Struktur mineral illite tidak mengembang sebagaimana montmorillonite.

Gambar 2.9 Struktur Illite (Das, 2008)

2.5.2.3 Montmorillonite

  Montmorillonite adalah nama yang diberikan pada mineral lempung yang

  ditemukan di Montmorillon, Perancis pada tahun 1847 yang memiliki rumus kimia (OH) Si Al O . nH O

  4

  8

  4

  20

  2

  dimananH

2 O adalah banyaknya lembaran yang terabsorbsi air. Mineral

  montmorillonite

  juga disebut mineral dua banding satu (2:1) karena satuan susunan kristalnya terbentuk dari susunan dua lempeng silika tetrahedral mengapit satu lempeng alumina oktahedral ditengahnya.

  Struktur kisinya tersusun atas satu lempeng Al

  2 O 3 diantara dua lempeng

  SiO

  2 .Inilah yang menyebabkan montmorillonite dapat mengembang dan

  mengkerut menurut sumbu C dan mempunyai daya adsorbsi air dan kation lebih tinggi. Tebal satuan unit adalah 9,6 Å (0,96 μm), seperti y ang ditunjukkan pada

Gambar 2.10. Gaya Van Der Walls mengikat satuan unit sangat lemah diantara ujung-ujung atas dari lembaran silika, oleh karena itu lapisan air (n.H

  2 O) dengan

  kation dapat dengan mudah menyusup dan memperlemah ikatan antar satuan susunan kristal. Sehingga menyebabkan antar lapisan terpisah. Ukuran unit massamontmorillonite sangat besar dan dapat menyerap air dengan sangat kuat sehingga mudah mengalami proses pengembangan.Gambar dari struktur kaolinite dapat dilihat di dalam Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Struktur Montmorillonite (Das, 2008)

2.5.3 Sifat Umum Lempung

  Mineral lempung memiliki karakteristik yang sama. Bowles (1984) menyatakan beberapa sifat umum mineral lempung antara lain :

  1. Hidrasi.

  Partikelmineralselalu mengalami hidrasi, hal ini dikarenakan lempung biasanyabermuatannegatif, yaitu partikel dikelilingi oleh lapisan-lapisan molekul airyangdisebut sebagai airterabsorbsi. Lapisan iniumumnyamemiliki tebalduamolekul.Oleh karenaitu disebutsebagailapisan difusigandaataulapisanganda.

  2. Aktivitas.

  Aktivitastanah lempung adalah perbandinganantaraIndeks Plastisitas(IP)denganpersentase butiranlempung,dan dapat disederhanakandalampersamaan:

  = ℎ

  Dimana : persentase lempung diambil sebagai fraksi tanah yang < 2 µm untuknilaiA (Aktivitas),

  A >1,25 : tanah digolongkanaktifdan bersifatekspansif 1,25<A<0,75 : tanah digolongkannormal A<0,75 : tanah digolongkantidakaktif.

  Nilai- nilaikhasdariaktivitasdapatdilihatpadaTabel 2.4.

  Tabel2.4 Aktivitastanahlempung(Bowles,1984)

  MinerologiTanahLempung NilaiAktivitas Kaolinite 0,4–0,5 Illite 0,5–1,0

  

Montmorillonite 1,0–7,0

3 .

  Flokulasi dan disperse Mineral lempung hampir selalu menghasilkan larutan tanah – air yang bersifat alkalin (Ph > 7) sebagai akibat dari muatan negatif netto pada satuan mineral. Flokulasi larutan dapat dinetralisir dengan menambahkan bahan-

  • bahan yang mengandung asam (ion H ), sedangkan penambahan bahan-
bahan alkali akan mempercepat flokulasi. Untuk menghindari flokulasi larutan air dapat ditambahkan zat asam.

  Lempung yang baru saja terflokulasi dapat dengan mudah didispersikan kembali ke dalam larutan dengan menggoncangnya, menandakan bahwa tarikan antar partikel jauh lebih kecil dari gaya goncangan. Apabila lempung tersebut telahdidiamkan beberapa waktu dispersi tidak dapat tercapai dengan mudah, yang menunjukkan adanya gejala tiksotropik, dimana kekuatan didapatkan dari lamanya waktu. Sebagai contoh, tiang pancang yang dipancang ke dalam lempung lunak yang jenuh akan membentuk kembali struktur tanah di dalam suatu zona di sekitar tiang tersebut. Kapasitas beban awal biasanya sangat rendah, tetapi sesudah 30 hari atau lebih, beban desain akan dapat terbentuk akibat adanya adhesi antara lempung dan tiang (R.F.Craig, Mekanika Tanah).

  4 .

  PengaruhZatcair Air berfungsi sebagai penentu plastisitas tanah lempung.Molekulair berperilakusepertibatang-batangkecilyang mempunyai muatan positifdisatusisidanmuatan negatif disisilainnya hal ini dikarenakan molekul air merupakan molekul dipolar. Sifat dipolarairterlihatpadaGambar2.11.

Gambar 2.11 Sifatdipolarmolekulair(Das,2008)

  Molekul bersifat dipolar, yang berarti memiliki muatan positif dan negatifpada ujung yang berlawanan, sehingga dapat tertarik oleh lempung secara elektrik dalam 3 kasus,hal ini disebut dengan hydrogen

  bonding

  , yaitu: 1. Tarikanantarpermukaannegatifdanpartikellempungdenganujungpo sitif dipolar.

  2. Tarikanantarakation- kationdalamlapisangandadenganmuatannegatifdari ujung dipolar.

  Kation-kation ini tertarikoleh permukaan partikel lempung yangbermuatannegatif.

  3. Andilatom-atom hidrogen dalammolekul air,yaituikatanhidrogen antara atomoksigendalammolekul-molekulair.

Gambar 2.12 Molekulairdipolardalamlapisanganda(Hardiyatmo,2002)

  Mineral lempung yang berbeda memiliki defisiensi dan tendensi yang berbeda untuk menarik exchangeablecation. Exchangeable cation adalah keadaan dimana kation dapat dengan mudah berpindah dengan ion yang bervalensi sama dengan kation asli. Montmorillonite memiliki defisiensi dan daya tarik exchangeable cationyang besar daripada kaolinite.Kalsium dan magnesium merupakan exchangeable cationyang paling dominanpada tanah, sedangkan

  

potassium dan sodium merupakan yang paling tidak dominan.Ada beberapa faktor

  yang mempengaruhi exchangeable cation, yaitu valensi kation, besarnya ion dan besarnya ion hidrasi.Kemampuan mendesak dari kation-kation dapat dilihat dari besarnya potensi mendesak sesuai urutan berikut:

  • 3 + +2 +2 + +4 + +

  Al > Ca > Mg > NH > K > H > Na > Li Kation Li+ tidak dapat mendesak kation lain yang berada dikirinya (Das, 2008)

  Semakin luas permukaan spesifik tanah lempung, air yang tertarik secara elektrik disekitar partikel lempung yang disebut air lapisan ganda jumlahnya akan semakin besar. Air lapisan ganda inilah yang menyebabkan sifat plastis pada tanah lempung.Konsentrasi air resapan dalam mineral lempung memberi bentuk dasar dari susunan tanahnya sebagai berikut, tiap partikelnya terikat satu sama lain lewat lapisan air serapannya. Selain itu jarak antara partikel juga akan mempengaruhi hubungan tarik menarik atau tolak menolak antar partikel tanah lempung yang diakibatkan oleh pengaruh ikatan hidrogen, gaya Van der Walls serta macam ikatan kimia dan organiknya. Bertambahnya jarak akan mengurangi gaya antar partikel. Sehingga ikatan antar partikel tanah yang disusun oleh mineral lempung akan sangat dipengaruhi oleh besarnya jaringan muatan negatif pada mineral, tipe, konsentrasi dan distribusi kation-kation yang berfungsi untuk mengimbangi muatannya. Oleh karena itu, pada penelitian ini penulis hendak menggantikan kation-kation yang terdapat pada lempung dengan kation-kation dari bahan gypsum serta semen.

2.6 Stabilisasi Tanah

2.6.1 Konsep Umum Stabilisasi Tanah

  Bowles (1984) mengemukakan bahwa ketika tanah di lapangan bersifat sangat lepas atau sangat mudah tertekan atau pun memiliki indeks konsestensi yang tidak stabil, permeabilitas yang cukup tinggi, atau memiliki sifat-sifat lain yang tidak diinginkan yang membuatnya tidak sesuai untuk digunakan di dalam suatu proyek konstruksi, maka tanah tersebut perlu dilakukan usaha stabilisasi tanah.

  Stabilisasi tanah merupakan suatu upaya untuk memperkuat atau menambahkan kapasitas dukung tanah agar tanah tersebut sesuai dengan persyaratan dan memiliki mutu yang baik. Tanah lempung merupakan salah satu jenis tanah yang sering dilakukan proses stabilisasi. Hal ini disebabkan sifat lunak plastis dan kohesif pada tanah lempung disaat basah.Sehingga menyebabkan perubahan volume yang besar karena pengaruh air dan menyebabkan tanah mengembang dan menyusut dalam jangka waktu yang relatif cepat.Sifat inilah yang menjadi alasan perlunya dilakukan proses stabilisasi agar sifat tersebut diperbaiki sehingga dapat meningkatkan daya dukung tanah tersebut.

  Bowles (1984) menyatakan bahwa stabilisasi tanah mungkin dilakukan dengan cara sebagai berikut :

  1. Meningkatkan kepadatan tanah.

  2. Menambahkan bahan-bahan inert untuk meningkatkan kohesi dan/atau kekuatan geser dari tanah.

  3. Menambahkan bahan-bahan yang mampu mengakibatkan perubahan secara kimiawi ataupun fisik dari tanah.

  4. Memperendah permukaan air tanah.

  5. Memindahkan dan/atau mengganti tanah yang bersifat buruk tersebut. Secara umum ada beberapa karakteristik utama tanah yang harus dipertimbangkan sehubungan dengan masalah stabilisasi tanah, yaitu: (Ingels dan

  Metcalf, 1972) 1.

  Stabilisasi volume Perubahan volume sangat erat hubungannya dengan kadar air. Banyak jenis tanah lempung yang mengalami susut dan kembang karena kepekaan terhadap perubahan kadarairnya, dimana perubahan kadar air sejalan dengan perubahan musim di wilayah tersebut misalnya retak-retak pada musim kemarau dan mengembang pada musim hujan. Masalah ini biasanya diatasi denganwaterproofing dengan berbagai bahan seperti bitumen, dan lain-lain. Bertambahnya kemampuan menyusut dan mengembang bergantung dari faktor lingkungan dan mineralogi seperti:

  • Distribusi partikel
  • Kadar air mula-mula
  • Tekanan

  2. Kekuatan Pada umumnya parameter yang digunakan untuk mengetahui kekuatan tanah adalah dengan percobaan kuat geser dan daya dukung tanah.Hampir semua jenis stabilisasi berhasil mencapai tujuan ini, namun pada tanah organik hal ini sulit dicapai, jadi lapisan tanah organik (top soil) sebaiknya dibuang seluruhnya.Pelaksanaan pemadatan yang baik terbukti bermanfaat meningkatkan kekuatan tanah untuk bermacam-macam stabilisasi yang diterapkan, dengan demikian hampir semua jenis stabilisasi bertujuan meningkatkan stabilisasi volume sekaligus meningkatkan kekuatan tanah.

  3. Permeabilitas Biasanya untuk rentang harga normal dari kadar air, batas plastis dan batas

  • 10

  cair, besaran permeabilitas akan lebih kecil dari 1 x 10 cm/sec, misalnya pada Montmorllionite. Pada umumnya untuk lempung asli berkisar antara

  • 6 -8

  1 x 10 sampai 1x 10 cm/sec. Bergantung dari jumlah mineral lempung yang paling dominan, maka harga permeabilitas mineral Montmorillonnite < Attapulgite, Attapulgite < Illite, dan Illite < Kaolinite.

  Untuk lempung permeabilitas yang terjadi disebabkan pori-pori mikro (micropore).Permeabilitas pada umumnya diakibatkan oleh timbulnya tekanan air dan terjadinya aliran perembesan (seepage flow), sedangkan pada tanah lempung yang permeabilitasnya tinggi disebabkan pelaksanaan pemadatan yang kurang baik.

  4. Durabilitas Durabilitas adalah daya tahan bahan konstruksi terhadap cuaca, erosi dan kondisi lalu lintas di atasnya.Pada tanah yang distabilisasi, durabilitas yang buruk biasanya disebabkan oleh pemilihan jenis stabilisasi yang keliru, bahan yang tidak sesuai atau karena masalah cuaca.Pengetesan untuk mengetahui ketahanan material terhadap cuaca sampai sekarang masih sulit dihubungkan dengan keadaan sebenarnya di lapangan, maka dipilih jenis atau bahan stabilisasi yang sesuai dengan kondisi lapangan.

  5. Kompressibilitas Kompresibilitas bergantung dari kandungan mineral lempung, umumnya kompresibilitas membesar dengan urutan mineral Kaolinite <Illite, dan Illite < Montmorillonite.

  Umumnya proses stabilisasi tanah dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu secara mekanis dan dengan bahan pencampur. Akan tetapi hal tersebut dapat lebih diperinci lagi dalam 3 (tiga) cara yaitu:

  1. Mekanis Stabilisasi mekanis dilakukan dengan cara pemadatan(compaction) yang dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis peralatan mekanis seperti : mesin gilas (roller), benda berat yang dijatuhkan, ledakan, tekanan statis, tekstur,pembekuan, pemanasan dan sebagainya.

  2. Fisis Stabilisasi secara fisis dilakukan melalui perbaikan gradasi tanah dengan menambah butiran tanah pada fraksi tertentu yang dianggap kurang, guna mencapai gradasi yang rapat.Hal ini bertujuan agar tanah dasar tersebut dapat memenuhi spesifikasi yang telah disyaratkan.

  3. Kimiawi (Modification by Admixture) Stabilisasi secara kimiawi dilakukan dengan cara menambahkanbahan kimia tertentu sehingga terjadi reaksi kimia. Bahan kimia tersebut dapat berupa Portland cement (PC), kapur, gypsum, abu terbang (fly ash), semen aspal, sodium dan kalsium klorida, ataupun limbah pabrik kertas dan bahan-bahan limbah lainnya yang memungkinkan untuk digunakan seperti abu sekam padi, abu ampas tebu, abu cangkang sawit dan lain-lain.

  Kelebihan stabilisasi dengan menggunakan bahan tambahan (admixtures) adalah sebagai berikut : a.

  Meningkatkan kekuatan tanah b. Mengurangi deformasi c. Menjaga stabilitas volume d.

  Mengurangi permeabilitas e. Meningkatkan durabilitas

  Stabilisasi kimiawi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan mencampur tanah dengan bahan kimia kemudian diaduk dan dipadatkan ataupun cara berikutnya adalah dengan memasukkan bahan kimia ke dalam tanah (grouting) sehingga bahan kimia bereaksi dengan tanah.

  Dalam analisa stabilisasi tanah lempung ini, penulis akan melakukan usaha perbaikan tanah lempung dengan menggunakan campuran atau bahan tambahan (admixtures) berupa gypsum serta semen.

2.6.2 Stabilisasi Tanah dengan Gypsum

  Stabilisasi adalah usaha meningkatkan kekuatan geser tanah sehingga memenuhi syarat yang diinginkan dan stabilisasi tersebut tergantung dari kondisi cuaca (Kedzy, 1979).Pada umumnya kondisi tanah yang ada tidak selalu memenuhi kriteria atau spesifikasiperencanaan, baik sebagian maupun seluruhnya, sehingga perlu diadakan modifikasi dengan merubah perencanaan yang ada.

  Ingels dan Metcalf (1972) menyebutkan tiga alternatif penting yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan, yaitu:

  1. Menggunakan material yang tersedia di lapangan dan merencanakan bangunan sesuai dengan kualitas tanah yang ada.

  2. Mengangkat material yang ada dan menggantikannya dengan material yang lebih baik atau perbaikan tanah yang memenuhi perencanaan.

  3. Melakukan modifikasi pada material yang tersedia sehingga menghasilkan material dengan kualitas yang memenuhi standar perencanan yang telah ditetapkan. Stabilisasi tanah dengan gypsum dilakukan dengan cara mencampurkan tanah yang telah dihancurkan dengan gypsum dan air yang kemudian dipadatkan sehingga menghasilkan suatu material yang baru. Proses stabilisasi tanah dengan gypsum hampir sama dengan proses stabilisasi tanah dengan kapur. Hanya saja kandungan kimiawi di antara kedua bahan stabilisasi ini berbeda.

2.6.2.1 Gypsum

  Gypsum adalah salah satu contoh mineral dengan kadar kalsium yang mendominasi pada mineralnya. Gypsum sebagai perekat mineral mempunyai sifat yang lebih baik dibandingkan dengan perekat organik karena tidak menimbulkan pencemaran udara, murah dan tahan api, tahan deteriorasi oleh faktor biologis dan tahan terhadap zat kimia (Purwadi, 1993). Gypsum yang paling umum ditemukan adalah jenis hidrat kalsium sulfat yang memiliki rumus kimia :

  CaSO

  

4 . 2H

  2 O

  Gypsum termasuk mineral dengan sistem kristal monoklin 2/m, namun kristal gipsnya masuk ke dalam sistem kristal orthorombik. Gypsum umumnya berwarna putih, kelabu, cokelat, kuning, dan transparan.

  Penggunaan gypsum secara garis besar dapat digolongkan sebagai berikut (Sanusi, 1986) : 1.