BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Konsep 2.1.1. Saham - Analisis Stock Returns Perusahaan Perbankan pada Jakarta Composite Index Menggunakan Fama-French Three-Factor Model
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi dan Konsep 2.1.1. Saham Saham (stock) adalah bentuk hak kepemilikan yang dapat dijual oleh suatu
perusahaan. Saham dibagi atas dua kelas yaitu saham biasa (common stock) dan saham preferen (preferred stock). Saham preferen mempunyai hak-hak prioritas lebih dari saham biasa, yaitu hak atas dividen yang tetap dan hak terhadap aktiva jika terjadi likuidasi. Namun, saham preferen umumnya tidak mempunyai hak veto seperti yang dimiliki oleh saham biasa. Saham preferen memiliki sifat gabungan antara obligasi dan saham biasa karena saham preferen memberikan hasil yang tetap berupa dividen preferen. (Jogiyanto Hartono, 2013:141)
Selain kedua bentuk saham tersebut, terdapat juga saham treasuri (treasury
stock) . Saham treasuri adalah saham milik perusahaan yang sudah pernah
dikeluarkan dan beredar yang kemudian dibeli kembali oleh perusahaan untuk tidak dipensiunkan tetapi disimpan sebagai treasuri. (Jogiyanto Hartono, 2013:150) 2.1.2.
Overvalued dan Undervalued
Harga saham suatu perusahaan dapat naik dan turun sesuai dengan permintaan dan penawaran pasar. Oleh karena itu, suatu saham dapat tergolong
undervalued atau overvalued tergantung pada nilai buku dan nilai intrinsiknya.
Menurut Jogiyanto (2013) nilai pasar yang lebih kecil dari nilai intrinsiknya menunjukkan bahwa saham tersebut dijual dengan harga yang murah
(undervalued). Sebaliknya nilai pasar yang lebih besar dari nilai intrinsiknya menunjukkan bahwa saham tersebut dijual dengan harga yang mahal (overvalued). Nilai intrinsik adalah nilai sebenarnya dari suatu saham. Salah satu cara dalam menghitung nilai intrinsik adalah dengan pendekatan rasio P/E (P/E
Ratio ). Menurut Investopedia, penurunan harga cenderung terjadi pada saham
overvalued . Overvalued dapat terjadi akibat sikap emosional para investor dalam
pembelian saham.
2.1.3. P/E Ratio
P/E Ratio adalah salah satu pendekatan dalam menghitung nilai intrinsik yang dapat menentukan mahal atau murahnya harga suatu saham di pasar saham.
P/E ratio merupakan hasil pembagian nilai pasar per satu lembar saham terhadap
laba bersih per satu lembar saham. (Investopedia)
Market Value per Share : Harga pasar saham suatu perusahaan
Earnings per Share : Laba bersih per lembar saham suatu
perusahaan 2.1.4.
Market Equity
Dalam penelitian-penelitian terdahulu, Market Equity (ME) atau Market
Value of Equity digunakan untuk mengukur besar kecilnya size atau ukuran suatu
perusahaan. Size pada setiap perusahaan akan digunakan untuk menghitung faktor risiko ukuran atau SMB (small minus big) pada model Fama-French Three-
Factor Model . Market Equity biasa juga disebut sebagai Market Capitalization,
yaitu nilainya dihitung dari hasil perkalian harga saham (stock price) yang berlaku dengan jumlah saham yang beredar (number of shares outstanding). Harga saham tersebut disebut juga sebagai nilai pasar (market value). Menurut Jogiyanto (2013), nilai pasar adalah harga saham yang terjadi di pasar bursa pada saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar. Nilai pasar ini ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham bersangkutan di pasar bursa.
Current Stock Price × Number of Shares Outstanding
Market Equity dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan harga dan
jumlah saham yang beredar. Market Equity ini dapat menjadi informasi bagi para investor untuk membuat diversifikasi dari portofolio investasi pada saham dari ukuran perusahaan dan risiko yang berbeda-beda.
2.1.5. Book Equity
Book Equity (BE) atau Book Value atau nilai buku dapat ditentukan dari
aktiva bersih atau total ekuitas. Nilai buku dari suatu perusahaan merupakan selisih dari total aset dengan aktiva tetap tak berwujud (intangible assets) dan kewajiban (liabilities). Nilai buku per lembar saham (Book Value of Equity per
Share) adalah pengukur yang menunjukkan penilaian per lembar saham atas nilai
minimum ekuitas suatu perusahaan. Nilai buku per lembar dapat dihitung dengan membandingkan total ekuitas dengan jumlah saham yang beredar (number of
shares outstanding) . (Investopedia) 2.1.6.
Book to Market Ratio
adalah sebuah nilai rasio yang membandingkan nilai
Book to market ratio
buku dari suatu perusahaan dengan nilai pasarnya. Book to market ratio sering digunakan untuk mengidentifikasi saham perusahaan yang overvalued atau
undervalued . Jika nilai perbandingan book to market lebih besar dari satu maka
dapat dikatakan bahwa saham suatu perusahaan adalah undervalued. Sedangkan jika nilai perbandingan book to market lebih kecil dari satu maka dapat dikatakan bahwa saham suatu perusahaan adalah overvalued. (Investopedia) 2.1.7.
Return Saham
Jika suatu saham tetap pada titik ekuilibrium dan tidak diperkirakan harganya akan naik atau turun, maka tidak akan ada dorongan untuk menjual dan membeli oleh investor yang akan menyebabkan harga suatu saham naik atau turun. Oleh karena itu, apabila sebuah harga saham tidak dinilai secara tepat atau harapan pengembalian saham (expected return) terlalu tinggi dan rendah, maka akan terjadi proses jual beli yang akan menyebabkan harga saham tersebut kembali pada posisi ekuilibriumnya. (Robert A. Haugen, 1997 : 214)
Expected Return atau return saham dapat dihitung dengan :
1 2.1.8.
Efisiensi Pasar
Pasar modal yang efisien didefinisikan sebagai pasar yang harga sekuritas- sekuritasnya telah mencerminkan semua informasi yang relevan. Semakin cepat informasi baru tercermin pada harga sekuritas, semakin efisien pasar modal tersebut. Oleh karena itu, sangat sulit bagi para pemodal untuk memperoleh tingkat keuntungan di atas normal secara konsisten dengan melakukan transaksi perdagangan di bursa efek (Dr. Suad Husnan, 1994 : 246). Dalam Jogiyanto (2013), ada tiga bentuk hipotesis efisiensi pasar yaitu :
1. Efisiensi pasar bentuk lemah (weak form) Dalam bentuk ini, pasar dikatakan efisien jika harga-harga mencerminkan secara penuh informasi masa lalu. Namun, data masa lalu tidak berhubungan dengan masa sekarang yang menyebabkan investor tidak dapat mendapatkan keuntungan yang tidak normal dengan menggunakan informasi masa lalu.
2. Efisiensi pasar bentuk setengah kuat (semi-strong form) Dalam bentuk ini, pasar dikatakan efisien setengah kuat jika harga-harga secara penuh mencerminkan informasi yang dipublikasi termasuk informasi yang berada di laporan-laporan keuangan perusahaan emiten.
3. Efisiensi pasar bentuk kuat (strong form) Dalam bentuk ini, pasar dikatakan efisien kuat jika harga-harga secara penuh mencerminkan semua informasi yang tersedia termasuk informasi yang privat. Jika pasar efisien dalam bentuk ini, maka tidak ada individual atau grup investor yang dapat memperoleh keuntungan tidak normal (abnormal return).
2.2. Landasan Teori 2.2.1. Modern Portfolio Theory (MPT)
Modern Portfolio Theory (MPT) adalah teori yang berisi perhitungan
pengembalian saham pada portofolio dengan cara memaksimalkan expected
return pada tingkat risiko tertentu atau meminimalkan risiko portofolio pada
tingkat expected return tertentu. Teori ini pertama dikenalkan oleh Harry Markowitz pada tahun 1952 dalam artikelnya yang berjudul ‘Portfolio Selection’.
Menurut Markowitz, pemilihan portofolio terdiri dari dua tahap yaitu pertama, melihat fenomena yang terjadi sebelumnya yang kemudian dijadikan prediksi dan kedua, mengacu pada informasi relevan terhadap kinerja portofolio yang akan terjadi kemudian membuat pilihan portofolio. Fokus pembahasan pada artikel ‘Portfolio Selection’ adalah pada tahap kedua yaitu melakukan pemilihan portofolio.
Konsep MPT adalah pada diversifikasi aset, dimana tujuan dari diversifikasi ini adalah untuk meminimalkan risiko. Risiko pada suatu aset (a
stand alone risk) dianggap lebih tinggi daripada dalam sebuah portofolio yang
terdiri dari beberapa aset (a portfolio context). Return dari sebuah portofolio dihitung dengan menjumlahkan setiap return dari aset yang telah dikalikan dengan proporsi untuk masing-masing aset. Risiko dihitung sebagai standar deviasi. Standar deviasi yang lebih tinggi menunjukkan risiko yang lebih tinggi. Aset-aset yang dipilih untuk membentuk sebuah portofolio tidak boleh secara sempurna berkorelasi. MPT memilih portofolio dengan nilai varians terendah. Dalam teori ini, perhitungan yang dilakukan mengasumsikan bahwa investor bersifat rasional dan pasar bersifat efisien.
MPT telah menjadi penemuan penting dalam perhitungan keuangan pada tahun 1950-an hingga tahun 1970-an. Namun demikian, muncul banyak kritik tentang kelemahan dari MPT. Beberapa diantaranya adalah asumsi yang tidak sesuai seperti investor yang tidak rasional dan pasar yang tidak efisien. MPT yang melakukan pemilihan portofolio berdasarkan pemilihan aset yang tidak berkorelasi ternyata menunjukkan bahwa korelasi antar aset tidak tetap dan selalu berubah-ubah. Perhitungan dengan MPT ini juga akan menjadi tidak tepat jika kondisi pasar bergerak secara signifikan akibat pembelian atau penjualan skala besar yang disebabkan individu tertentu. Masalah faktor pasar ini kemudian menjadi faktor yang mempengaruhi pengembalian saham dengan munculnya
Capital Asset Pricing Model.
2.2.2. Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Capital Asset Pricing Model (CAPM) adalah sebuah model untuk
menentukan tingkat pengembalian aset atau saham dengan menggunakan risiko pasar (market risk) sebagai variabel bebasnya. Tingkat pengembalian ini ditentukan berdasarkan sensitivitas aset terhadap risiko pasar yang biasa disimbolkan dengan beta (
β) atau yang disebut dengan systematic risk. Dalam Eraslan (2013) disebutkan bahwa model ini dipopulerkan oleh Sharpe (1964) dan Lintner (1965). Model ini bertujuan untuk menentukan tingkat biaya modal (cost
of equity) dari suatu aset tertentu bagi seorang investor. Menurut Robert A.
Haugen (1997), CAPM adalah teori tentang bagaimana sebuah aset dinilai harganya dengan hubungannya pada risiko yang ditanggung dan semua portofolio yang dipegang investor dianggap efisien.
Undervalued Return
Rm Market Risk Premium
Rf Overvalued Risk ‐Free Rate of Return
1 Beta Sumber : Wikipedia
Gambar 2.1. Grafik Security Market Line (SML)CAPM menjelaskan hubungan risiko premium pasar dengan ekspektasi pengembalian aset. Gambar 2.1. menunjukkan garis security market line (SML) yang dibentuk berdasarkan hubungan nilai beta dengan return sebuah aset. Menurut Robert A. Haugen (1997), jika portofolio pasar dianggap efisien, maka hubungan beta dan harapan pengembalian saham (expected rates of return) adalah linear sempurna. Slope dari grafik SML tersebut menunjukkan risiko premium pasar (market risk premium). Titik potong grafik SML terhadap sumbu Y disebut dengan tingkat pengembalian bebas risiko (risk-free asset). Pengembalian bebas risiko ini biasa merupakan tingkat pengembalian obligasi pemerintah yang bebas dari risiko atau memiliki tingkat pengembalian yang pasti. Pengembalian yang diharapkan berada pada sepanjang garis SML. Harga aset pada saat ini yang digambarkan pada grafik SML tersebut dapat menunjukkan apakah aset tersebut
undervalued atau overvalued. Jika pengembalian aset pada saat ini ternyata berada
di atas garis SML maka aset tersebut dapat dinyatakan undervalued, sedangkan jika pengembalian aset tersebut berada dibawah garis SML maka aset tersebut dapat dinyatakan overvalued. Sebuah aset dapat dinyatakan undervalued karena ekspektasi pengembalian aset tersebut berada dibawah tingkat pengembalian sebenarnya atau pengembalian aset tersebut dianggap lebih rendah dari pengembalian sebenarnya. Sebaliknya, sebuah aset dapat dinyatakan overvalued karena ekspektasi pengembalian yang diperkirakan ternyata lebih tinggi dari pengembalian sebenarnya.
Dalam CAPM, grafik SML dibuktikan adalah linear. Pengembalian yang diharapkan (expected return) adalah sama dengan tingkat pengembalian bebas risiko ditambah dengan premi pasar dikalikan dengan beta. Menurut Prasanna Chandra (2006), CAPM memiliki asumsi sebagai berikut : 1. Investor cenderung memilih risiko yang lebih rendah (risk averse).
2. Investor memaksimalkan manfaat dalam portofolio.
3. Investor memiliki harapan yang homogen atau sama terhadap pengembalian saham.
4. Investor dapat pinjam meminjam secara bebas pada tingkat bunga bebas risiko.
5. Pasar dianggap sempurna (pasar persaingan sempurna, tidak ada pajak, tidak ada biaya transaksi).
6. Jumlah sekuritas berisiko diketahui pada pasar.
: Pengembalian saham atau aset yang diharapkan : Tingkat bunga bebas risiko : Tingkat sensitivitas suatu saham atau aset pada pergerakan pasar : Pengembalian pasar yang diharapkan
: Selisih pengembalian pasar yang diharapkan dan tingkat bunga bebas risiko (market premium)
Tabel 2.1. Intepretasi Beta Pasar Beta Hasil IntepretasiPergerakan saham berlawanan arah dengan pergerakan pasar. β < 0 Pergerakan saham tidak berhubungan dengan pergerakan pasar.
β = 0 0 < β < 1 Pergerakan saham searah dengan pasar namun kurang berfluktuatif dibandingkan dengan pasar.
Pergerakan saham searah dan berfluktuatif hampir sama besar β = 1 dengan pergerakan pasar.
Pergerakan saham searah dan lebih berfluktuatif dibandingkan β > 0 pergerakan pasar.
Sumber : Wikipedia
Dari grafik SML dapat terlihat bahwa expected return berhubungan positif dengan nilai beta pasar. Namun, penelitian Fama dan French (1992) menunjukkan bahwa nilai beta yang tinggi tidak menunjukkan average return yang tinggi. CAPM juga tidak dapat menjelaskan efek ukuran perusahaan dan pertumbuhan perusahaan pada pengembalian saham. Selain itu, tidak benar bahwa saham dengan ketidakpastian (volatility) yang tinggi akan memberikan pengembalian saham yang tinggi bagi investor.
2.2.3. Arbitrage Pricing Theory (APT)
Arbitrage Pricing Theory adalah sebuah teori penilaian aset dengan
metode estimasi harapan pengembalian aset keuangan pada sebuah model regresi linear dari beberapa faktor makroekonomi sebagai variabelnya. Manurut Robert A. Haugen (1997), dengan adanya masalah fundamental pada model CAPM dimana studi empiris tidak dapat membuktikan model tersebut, maka muncul model alternative dalam mengestimasi pengembalian aset yaitu model Arbitrage Pricing Theory (APT) yang pertama dikenalkan oleh Ross (1976).
Menurut Prasanna Chandra (2006), APT muncul akibat keterbatasan model CAPM pada :
1. Ketatnya asumsi yang digunakan.
2. Bukti secara empiris masih diragukan.
3. Faktor pasar (market) bukan satu-satunya yang mempengaruhi pengembalian saham.
Studi empiris menunjukkan tidak konsistennya beberapa hal dalam model APT seperti jumlah faktor yang digunakan, intepretasi pada tiap faktor tersebut dan stabilitas faktor-faktor yang digunakan pada setiap penelitian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa model APT dapat menjelaskan pengembalian saham lebih baik daripada model CAPM, namun beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa hasil estimasi kedua model ini hampir sama. Model APT dianggap cukup baik karena menggunakan beberapa faktor ekonomi selain dari beta risiko pasar yang dianggap bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi pengembalian saham.
2.2.4. Fama-French Three-Factor Model
Fama dan French (1992) menemukan adanya tren dalam return saham berdasarkan ukuran perusahaan dan book-to-market ratio sehingga Fama dan French (1993) menggunakan variabel risiko pasar, risiko ukuran dan book-to- market ratio dalam model regresinya.
μ : Risk Premium, selisih pengembalian saham dengan pengembalian bebas risiko. ( ) : Intercept : Slope beta pasar (market beta) : Risiko premium pasar (market premium risk), selisih pengembalian pasar dengan pengembalian bebas risiko. ( )
: Slope SMB (Small Minus Big) : Small Minus Big, selisih rata-rata return saham pada tiga portofolio dengan size kecil (S/L, S/M,
S/H) dengan rata-rata return saham pada tiga portofolio dengan size besar (B/L, B/M, B/H).
: Slope HML (High Minus Low) : High Minus Low, selisih rata-rata return saham pada dua portofolio saham dengan book-to-market
ratio yang tinggi (S/H, B/H) dengan rata-rata
return saham pada dua portofolio saham dengan book-to-market ratio yang rendah (S/L, B/L).
Slope SMB (Small Minus Big) mengukur pertambahan pengembalian yang biasa diterima investor akibat berinvestasi pada perusahaan kecil atau perusahaan dengan market equity (ME) yang relatif lebih kecil. Hasil SMB per bulan yang positif menunjukkan return pada perusahaan dengan ME kecil mengungguli
return pada perusahaan dengan ME besar.
Sama dengan variabel SMB, slope HML (High Minus Low) mengukur tambahan pengembalian saham dalam berinvestasi pada saham dengan book-to-
market value (BE/ME) yang lebih tinggi. Nilai HML per bulan yang positif
menunjukkan return perusahaan dengan book-to-market value yang tinggi (value
stocks ) mengungguli return perusahaan dengan book-to-market value yang rendah
(growth stocks). Value stocks adalah saham yang diperdagangkan dengan harga yang lebih rendah dari harga fundamentalnya dan sering dinyatakan undervalued akibat nilai buku yang lebih tinggi dari nilai pasarnya. Sebaliknya growth stocks adalah saham yang diperdagangkan dengan harga yang lebih tinggi dari harga fundamentalnya dan sering dinyatakan overvalued karena BE/ME yang rendah menunjukkan nilai buku yang lebih rendah dari nilai pasarnya.
2.2.5. Carhart Model
Carhart Model atau Carhart Four-Factor Model adalah suatu model yang
dikembangkan dari model Fama-French yang menambahkan satu lagi faktor yang dianggap dapat mempengaruhi pengembalian saham. Tambahan variabel tersebut adalah variabel momentum ( ). Momentum menjelaskan kecenderungan untuk terus mengalami kenaikan saat harga suatu saham naik dan terus mengalami penurunan saat harga suatu saham turun. Momentum dihitung dengan mencari selisih pengembalian saham pada perusahaan yang memiliki pengembalian tinggi dengan pengembalian saham pada perusahaan yang memiliki pengembalian rendah. Model empat faktor dalam Carhart (1997) :
μ 2.3.
Penelitian Terdahulu
Fama dan French (1992) melakukan penelitian pada semua perusahaan non-finansial pada NYSE (New York Stock Exchange), AMEX (American Stock
Exchange) dan NASDAQ (National Association of Securities Dealers Automated
Quotations) dalam periode 1962 hingga 1989. Penelitian ini sengaja tidak
menggunakan perusahaan finansial karena leverage (debt/equity) yang tinggi adalah normal untuk perusahaan finansial. Penelitian ini menemukan hubungan
average return dengan size perusahaan. Perusahaan dengan size yang kecil
menunjukkan average return yang lebih tinggi daripada perusahaan besar.Sebaliknya, average return tidak menunjukkan adanya hubungan dengan nilai beta. Book-to-market ratio menunjukkan hubungan positif terhadap average
return. Kesimpulannya, penelitian ini tidak mendukung model SLB (Sharpe-
Lintner-Black) yang memiliki teori bahwa average stock returns memiliki hubungan positif dengan beta pasar (market beta).
Fama dan French (1993) menambah objek penelitian yang tidak hanya pada pengembalian saham biasa tetapi juga pada obligasi institusi dan pemerintah.
Variabel size dan book-to-market ratio juga dimasukkan dalam model regresi untuk melihat pengaruhnya pada pengembalian saham. Hasil regresi dengan variabel beta pasar, size dan book-to-market ratio menunjukkan bahwa efek risiko premium pasar hampir sama pada semua portofolio yang dibedakan berdasarkan size dan book-to-market ratio, efek risiko ukuran lebih mempengaruhi perusahaan berukuran kecil daripada perusahaan berukuran besar dan efek book-to-market
ratio lebih berpengaruh pada perusahaan dengan nilai book-to-market yang tinggi.
Fama dan French (1995) dalam penelitiannya yang berjudul ‘Size and
Book-to-Market Factors in Earning and Returns’ menggunakan variabel risiko
pasar, size dan book-to-market value dalam menjelaskan pengembalian saham.Risiko pasar dan size dapat menjelaskan pengembalian saham, namun penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan book-to-market value dengan pengembalian saham.
Penelitian yang tidak mendukung Capital Asset Pricing Model (CAPM) dalam menghitung pengembalian saham tampak pada penelitian Fama dan French (2003). Jika pasar dianggap efisien, CAPM mengimplikasikan semua average
return berhubungan secara linear terhadap nilai betanya dan tidak ada variabel
lain yang dapat menjelaskan pengembalian pasar dengan baik. Menurutnya, banyak penelitian pada tahun 1970-an yang ternyata menemukan hubungan seperti size, price ratio, dan momentum pada tingkat pengembalian selain dari nilai beta pasar. CAPM merupakan penjelasan yang berdasar pada konsep fundamental dalam menjelaskan teori portofolio dan harga aset, namun berdasarkan pengalaman dari penelitian terdahulu, CAPM tidak cocok untuk diaplikasikan.
Clive Gaunt (2004) menguji model Fama-French dan CAPM pada
Australian Stock Exchange dan menghasilkan kesimpulan bahwa model Fama-
French dapat menjelaskan pengembalian saham secara lebih baik daripada CAPM.
Martin C. Lozano (2006) pada penelitiannya dalam ‘Estimating and
Evaluating the Fama-French & Carhart Models’ menggunakan data yang
disediakan Kenneth French dengan periode Januari 1932 hingga Desember 2002 yang kemudian dibagi menjadi 25 portofolio berdasarkan ukuran perusahaan dan rasio ekuitas buku terhadap ekuitas pasar. Pembagian portofolio tersebut menunjukkan portofolio yang terdiri dari perusahaan berukuran kecil memiliki pengembalian saham yang lebih tinggi dan ini menunjukkan resiko yang lebih tinggi pada saham perusahaan kecil. Sebaliknya, perusahaan berukuran besar dengan rasio book-to-market yang rendah menunjukkan pengembalian saham yang paling rendah. Hasil regresi model tiga faktor Fama-French pada penelitian ini menunjukkan beta risiko pasar yang hampir sama pada semua 25 portofolio. Ini menunjukkan bahwa beta pasar hanya dapat menjelaskan perbedaan pengembalian antara saham (stocks) dan obligasi (bonds), tetapi tidak dapat menjelaskan pengembalian saham antar kategori saham. Dua hasil regresi pada penelitian ini yang sama dengan penelitian Veysel Eraslan (2013) adalah variabel risiko ukuran (size risk) memiliki pengaruh yang paling besar terhadap portofolio yang terdiri dari perusahaan berukuran kecil dan variabel rasio book-to-market memiliki slope yang paling tinggi pada perusahaan dengan rasio book-to-market yang tinggi.
Sunil K. Bundoo (2008) menguji validitas model tiga faktor pada negara berkembang yaitu pasar modal Afrika. Dengan menggunakan data dari Stock
Exchange of Mauritius pada periode 1997 hingga 2003. Hasil penelitian
menunjukkan adanya pengaruh size dan book-to-market value pada pengembalian saham dengan hasil regresi yang menunjukkan signifikansi pada variabel-variabel tersebut.
Anyssa Trimech, Hedi Kortas, Salwa Benammou, dan Samir Benammou (2009) dalam penelitiannya menguji validitas model tiga faktor Fama-French pada skala waktu (time-scales) penelitian yang berbeda. Data yang digunakan berasal dari French Market dalam periode 1985 hingga 2006. Hasil penelitian menunjukkan hubungan portfolio returns dengan faktor-faktor risiko (market,
size, value factors ) secara signifikan bergantung pada skala waktu yang
digunakan. Model Fama-French juga terbukti lebih baik dalam menjelaskan pengembalian saham daripada model satu faktor.
Florian Steiger (2010) dalam penelitiannya yang berjudul ‘The Impact of
Credit Risk and Implied Volatility on Stock Returns’ menyinggung tentang model
Fama-French dan menunjukkan hasil yang sama yaitu faktor rasio book-to-market paling mempengaruhi perusahaan dengan nilai book-to-market yang tinggi.
Hadi Ismanto (2011) menganalisis pengaruh ukuran perusahaan, book-to-
market value , dan beta terhadap return saham di Bursa Efek Indonesia (BEI)
menggunakan harga saham LQ 45 dengan periode 2008 hingga 2010. Hasil regresi dengan model Fama-French menunjukkan hanya beta yang paling berpengaruh pada return saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), sedangkan faktor risiko ukuran dan rasio book-to-market tidak signifikan hampir pada semua portofolio.
Dengan metode penelitiannya yang merupakan tinjauan penelitian- penelitian terdahulu pada Italian Market, Antonella Silvestri dan Stefania Veltri (2011) secara naratif mengambil kesimpulan atas validitas model Fama-French pada Italian Market. Kesimpulan pada penelitian ini menunjukkan adanya hubungan risiko ukuran pada pengembalian saham tetapi signifikansi book-to- masih bervariasi. Hasil yang bervariasi ini sangat bergantung pada
market ratio
tiga hal yaitu sampel yang digunakan, model yang diterapkan dan metode ekonometrika yang diaplikasikan.
Terlepas dari dikeluarkannya perusahaan finansial seperti perbankan dalam penelitian Fama dan French (1992) karena perusahaan perbankan memiliki nilai leverage yang tinggi, Zeeshan Hamid, Ch Asad Hanif, Shehzada Saif uk Malook dan Wasimullah (2012) telah menguji validitas model Fama-French pada perbankan di Pakistan yang terdaftar pada Karachi Stock Exchange (KSE). Dua puluh bank yang menjadi objek penelitian pada periode Januari 2006 hingga Desember 2010 menunjukkan model tersebut dapat menjelaskan variasi pengembalian pada hampir semua portofolio yang dibentuk berdasarkan size dan
book-to-market value .
Penelitian Veysel Eraslan (2013) mengaplikasikan model Fama-French
Three-Factor Model pada Istanbul Stock Exchange (ISE) dengan menggunakan
data pada tahun 2003 hingga 2010. Hasil analisis yang dilakukan menunjukkan portofolio saham pada perusahaan ukuran besar (big-size firms) memiliki excess
return rata-rata yang lebih tinggi daripada perusahaan kecil (small-size firms).
Umumnya portofolio yang terdiri dari perusahaan dengan rasio book-to-market yang rendah memiliki kinerja yang lebih baik dari portofolio dengan perusahaan yang memiliki rasio book-to-market yang lebih tinggi. Ini dikarenakan nilai rasio
book-to-market yang rendah menunjukkan harga pasar yang lebih tinggi daripada
harga buku (overvalued), sedangkan rasio book-to-market yang tinggi menunjukkan nilai buku yang lebih besar daripada nilai pasar (undervalued).
Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa faktor ukuran (size risk) tidak mempengaruhi portofolio yang terdiri dari perusahaan berukuran besar, tetapi variabel tersebut dapat menjelaskan pengembalian saham pada portofolio yang terdiri dari perusahaan berukuran kecil dan menengah. Rasio book-to-market memiliki pengaruh pada portofolio yang terdiri dari rasio book-to-market yang tinggi. Fama-French Three-Factor Model ini dapat menjelaskan pengembalian saham pada variasi portofolio yang berbeda walaupun tidak cukup signifikan pada pengujiannya menggunakan Istanbul Stock Exchange (ISE).
Tabel 2.2. Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti Tahun Judul Penelitian Hasil Penelitian1. Fama dan 1992 The Cross-Section Penelitian ini tidak mendukung French of Expected Stock model SLB (Sharpe-Lintner-
Returns Black) karena average return
tidak menunjukkan hubungan dengan beta, melainkan menunjukkan hubungan dengan size dan book-to-market
ratio .
2. Fama dan 1993 Dalam regresi model tiga
Common Risk
French Factors in the faktor, pengaruh variabel risiko
Returns on Stocks pasar hampir sama pada tiap and Bonds portofolio, risiko ukuran lebih
berpengaruh pada perusahaan berukuran kecil dan risiko
book-to-market ratio lebih
berpengaruh pada perusahaan dengan nilai book-to-market yang tinggi.
3. Fama dan 1995 Size and Book-to- Risiko pasar dan risiko ukuran French dapat menjelaskan
Market Factors in
pengembalian saham, namun
Earning and Returns penelitian ini tidak menemukan
hubungan book-to-market ratio dengan pengembalian saham.
4. Fama dan 2003 The CAPM : Selain risiko pasar, banyak French Theory and penelitian yang menemukan
Evidence hubungan size, price ratio dan
momentum pada pengembalian saham. Berdasarkan pengalaman dari penelitian terdahulu, CAPM tidak cocok untuk diaplikasikan.
5. Clive Gaunt 2004 Size and book to
Ada pengaruh size dan book-to-
factors ) secara signifikan
Hubungan pengembalian portofolio dengan faktor-faktor risiko (market, size, value
French model: application to the French market .
8. Anyssa Trimech, Hedi Kortas, Salwa Benammou, dan Samir Benammou 2009 Multiscale Fama-
pengembalian saham dengan hasil regresi yang menunjukkan signifikansi pada variabel- variabel tersebut.
market ratio pada
Fama and French Three-Factor Model: New Evidence From An Emerging Stock Market .
market effects and the Fama French three factor asset pricing model: evidence from the Australian stockmarket
Bundoo 2008 An Augmented
7. Sunil K.
Beta pasar yang hampir sama pada tiap portofolio menunjukkan beta pasar tidak dapat menjelaskan pengembalian saham antar kategori saham. Risiko ukuran memiliki pengaruh paling besar terhadap perusahaan berukuran kecil dan risiko book-to-market memiliki slope paling tinggi pada perusahaan dengan book- to-market ratio yang tinggi.
Evaluating the Fama-French & Carhart Models.
Lozano 2006 Estimating and
6. Martin C.
Model Fama-French dapat menjelaskan pengembalian saham lebih baik daripada CAPM.
bergantung pada skala waktu penelitian dan model ini juga terbukti lebih baik dari model satu faktor.
9. Florian Steiger 2010 The Impact of
bervariasi. Hasil ini sangat berganutng pada sampel, model dan metode ekonometrika yang digunakan.
Fama-French Three-Factor Model dapat menjelaskan
Three-Factor Model: Evidence from Istanbul Stock Exchange.
13. Veysel Eraslan 2013 Fama and French
Pengujian validitas model Fama-French pada sektor finansial perbankan menunjukkan model tersebut dapat menjelaskan variasi pengembalian pada hampir semua portofolio.
three factor model : Empirical Evidence from financial market of Pakistan.
12. Zeeshan Hamid, Ch Asad Hanif, Shehzada Saif uk Malook dan Wasimullah 2012 Fama and French
to-market ratio masih
Credit Risk and Implied Volatility on Stock Returns.
Ada hubungan risiko ukuran pada pengembalian saham, tetapi signifikansi faktor book-
of Fama and French Model: evidence from Italy
11. Antonella Silvestri dan Stefania Veltri 2011 On the robustness
Hanya risiko pasar yang paling berpengaruh pada return saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), sedangkan faktor risiko ukuran dan risiko book-to-market ratio tidak signifikan hampir pada semua portofolio.
Pengaruh Ukuran Perusahaan, Book-to-Market Value, dan Beta terhadap Return Saham di BEI
10. Hadi Ismanto 2011 Analisis
Faktor rasio book-to-market paling mempengaruhi perusahaan dengan nilai book- to-market yang tinggi.
pengembalian saham pada variasi portofolio yang berbeda walaupun tidak cukup signifikan.
2.4. Kerangka Konseptual
Dalam model tiga faktor, variabel risiko pasar (market risk), risiko ukuran (size risk) dan risiko book-to-market ratio menjadi tiga variabel bebas yang menjelaskan variabel terikat yaitu excess return tiap portofolio yang dibentuk berdasarkan ukuran dan nilai book-to-market. Variabel risiko pasar menjelaskan bagaimana pengembalian saham perusahaan dipengaruhi oleh pergerakan harga saham di pasar (Jakarta Composite Index). Semakin tinggi slope risiko pasar, menunjukkan bahwa semakin sensitif harga saham perusahaan terhadap pergerakan pasar. Slope risiko pasar yang positif menunjukkan pergerakan saham perusahaan yang sejalan dengan pergerakan harga pasar dan sebaliknya, slope risiko pasar yang negatif menunjukkan pergerakan saham perusahaan berlawanan terhadap pergerakan harga pasar. Variabel ini berpengaruh pada pengembalian saham karena harga pasar merupakan salah satu aspek yang dipertimbangkan investor dalam pengambilan keputusan.
Variabel risiko ukuran (SMB) dihitung dengan mencari selisih pengembalian saham pada perusahaan berukuran kecil dengan pengembalian saham pada perusahaan berukuran besar. Nilai SMB yang positif menunjukkan bahwa pengembalian saham pada perusahaan berukuran kecil cenderung lebih tinggi daripada pengembalian saham pada perusahaan berukuran besar. Slope SMB mengukur tambahan pengembalian yang diterima akibat berinvestasi pada perusahaan dengan ukuran yang relatif lebih kecil. Dalam Antonella Silvestri dan Stefania Veltri (2011), Banz (1981) berargumen bahwa perusahaan kecil cenderung memiliki masalah dalam hal kurangnya konsistensi dan kurang akuratnya pergerakan informasi. Ketidakpastian pada perusahaan berukuran kecil yang tinggi dianggap sebagai risiko yang tinggi. Oleh karena itu, risiko yang relatif lebih besar yang diterima investor dalam berinvestasi pada perusahaan kecil akan membuat investor mengharapkan pengembalian yang lebih tinggi.
Variabel risiko book-to-market value (HML) dihitung dengan mencari selisih pengembalian saham pada perusahaan yang memiliki book-to-market value yang tinggi dengan pengembalian saham perusahaan yang memiliki book-to-
market value yang rendah. Nilai HML yang positif menunjukkan bahwa
pengembalian saham pada perusahaan dengan nilai book-to-market tinggi lebih besar daripada pengembalian saham pada perusahaan dengan nilai book-to-market rendah. Sama dengan variabel SMB, maka slope HML mengukur tambahan pengembalian yang diterima akibat berinvestasi pada perusahaan dengan nilai
book-to-market yang tinggi. Menurut Veysel Eraslan (2013), secara umum,
portofolio yang terdiri dari perusahaan dengan book-to-market ratio yang rendah memiliki kinerja yang lebih baik daripada perusahaan dengan book-to-market
ratio yang tinggi. Oleh karena itu, risiko yang diambil investor akibat berinvestasi
pada perusahaan dengan nilai book-to-market yang tinggi (undervalued) akan membuat investor mengharapkan pengembalian yang lebih tinggi.
Ketiga konsep risiko tersebut menunjukkan pengaruhnya masing-masing pada ekspektasi investor atas pengembalian saham. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengestimasi ketiga variabel bebas tersebut secara bersama-sama dalam sebuah model regresi linear berganda.
Market Risk
Excess Size Risk
Return Book to Market
Ratio Risk
Gambar 2.2. Kerangka Konseptual2.5. Hipotesis Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dipaparkan, penelitian ini akan memperlihatkan tren pengembalian saham dalam portofolio berdasarkan ukuran dan nilai book-to-market, membandingkan model satu faktor (CAPM) dengan model tiga faktor (Fama-French Three-Factor Model) dan menguji pengaruh variabel risiko pasar, risiko ukuran dan risiko book-to-market ratio terhadap
excess return tiap portofolio. Inti dari penelitian ini adalah menguji pengaruh
variabel-variabel bebas tersebut terhadap variabel terikat dengan hipotesis sebagai berikut : H
1 : Variabel risiko pasar berpengaruh signifikan terhadap excess return
portofolio saham.H : Variabel risiko ukuran berpengaruh signifikan terhadap excess return
2 portofolio saham.
H : Variabel risiko value berpengaruh signifikan terhadap
3 book-to-market excess return portofolio saham.