BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EKSTRADISI A. Sejarah Ekstradisi - Aspek-Aspek Hukum Internasional Tentang Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EKSTRADISI A. Sejarah Ekstradisi Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa pada

  awalnya ekstradisi bermula dari sebuah perjanjian tertua yang isinya juga mengenai masalah penyerahan penjahat pelarian adalah perjanjian perdamaian antara Raja Ramses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahu 1729 S.M. Kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang

   melarikan diri atau diketemukan di dalam wilayah pihak lain.

  Tetapi perjanjian seperti ini tentulah bukan merupakan perjanjian ekstradisi yang berdiri sendiri seperti halnya yang kita kenal pada saat ini. Melainkan soal ekstradisi ini hanyalah merupakan salah satu bagian kecil saja dari keseluruhan materi perjanjian. Biasanya perjanjian ini merupakan perjanjian perdamaian untuk menjalin hubungan bersahabat antara pihak-pihak atau perjanjian perdamaian untuk mengakhiri peperangan.

  Namun pada prakteknya, negara-negara dalam menyerahkan penjahat pelarian tidak hanya bergantung kepada perjanjian tersebut semata. Kemungkinan besar jauh sebelumnya terdapat negara-negara yang saling menyerahkan penjahat pelarian walaupun kedua belah pihak belum mengadakan perjanjian. Meskipun bukti-bukti 24 Arthur Nussbaum, “A Concise History of the Law of Nations”, diterjemahkan ke dalam bahasa

  

Indonesia oleh Sam Suhaedi Admawirya: Sejarah Hukum internasional, Jilid I, Cetakan I, Binacipta,

Bandung, 1969, Hal. 3.

  

20 untuk memperkuat dugaan ini belum bisa ditunjukkan. Persahabatan dan hubungan baik antara dua negara, akan lebih dapat mempermudah serta mempercepat penyerahan penjahat pelarian. Namun hal yang sebaliknya dapat terjadi apabila terjadi permusuhan antara dua negara, maka akan amat sulit bagi kedua belah pihak untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan kedua belah pihak tersebut akan membiarkan wilayah negaranya dijadikan sebagai tempat pelarian dan perlindungan bagi penjahat–penjahat dari negara musuhnya tersebut.

  Oleh karena itu, kesediaan menyerahkan para penjahat pelarian tidaklah berdasar kepada kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dnn dihukum. Hal ini juga berlaku pada pemberian perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang penjahat pelarian bukan dikarenakan dorongan kesadaran bahwa orang tersebut layak untuk dilindungi. Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat namun kemudian berubah menjadi permusuhan, maka kerjasama saling menyerahkan penjahat pelarian, dapat berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian. Demikian pula sebaliknya. Selain itu, praktek-praktek penyerahan penjahat pelarian belum berdasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan. Hal ini mengingat kehidupan masyarakat umat manusia pada jaman kuno masih jauh lebih sederhana dibandingkan dengan masyarakat pada masa selama tiga abad belakangan ini.

  Pada abad ke 17, 18, 19 hingga abad ke 20 dimana kehidupan bernegara sudah tampak lebih maju terbukti dengan tumbuhnya negara-negara nasional, hubungan dan pergaulan internasional pun mulai mencari dan menemukan bentuk yang baru. Dimana negara-negara dalam melakukan perjanjian, sudah mulai mengkhususkan bidang-bidang tertentu. Hal ini juga berlaku pada bidang ekstradisi yang telah lama dikenal dalam praktek, turut pula mencari bentuknya sendiri yakni bentuk perjanjian ekstradisi yang berdiri sendiri. Jadi ekstradisi tidak lagi memiliki kaitan ataupun menjadi bagian dari masalah-masalah lainnya yang memiliki ruang lingkup yang lebih luas.

  Berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan, kemanusiaan serta semakin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi turut memberikan warna tersendiri pada ekstradisi. Ilmu pengetahuan dan teknologi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, namun di sisi lain menimbulkan berbagai efek negatif misalnya, timbulnya kejahatan baru yang memiliki akibat yang cukup besar dan luas. Tindakan kejahatan serta akibat- akibatnya tidak hanya menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat di sekitarnya saja, namun kini sering melibatkan negara-negara bahkan terkadang menjadi persoalan umat manusia. Oleh karena itu, demi mencegah dan memberantasnya, maka diperlukan kerja sama antar negara. Misalnya, dengan melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan yang melarikan diri kemudian menyerahkannya kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan tersebut, disinilah fungsi ekstradisi sebagai sarana ampuh untuk memberantas kejahatan tampak jelas.

  Pemikiran-pemikiran baru dalam bidang ketatanegaraan, politik serta kemanusiaan, mendorong pengakuan dan kukuhnya kedudukan individu sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Negara-negara dalam membuat dan merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi disamping memperhatikan aspek- aspek pemberantasan kejahatannya juga memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan dimana individu-individu pelaku kejahatan tetap diberikan/diakui hak-hak dan kewajibannya.

  Pada akhirnya, isi dan bentuk perjanjian ekstradisi pada dewasa ini, memberikan jaminan keseimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan perlindungan/penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah sebagai konsekuensi dari pengakuan hak-hak asasi untuk menganut keyakinan politik atau hak politik sesorang, untuk pertama kalinya dicantumkan dalam perjanjian ekstradisi antara Perancis dan Belgia pada tahun 1824. Juga prinsip non bis in idem dan prinsip kewarganegaraan erat pertaliannya dengan individu sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya.

  Abad ke 19 dan 20 adalah merupakan masa stabil dan kokohnya ekstradisi ini, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya terdapat perjanjian ekstradisi dan perundang-undangan nasional negara-negara mengenai ekstradisi dengan asas-asas

   yang sama.

25 I Wayan Parthiana, Op. Cit. Hal. 3.

B. Asas-asas Ekstradisi

  Perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh negara-negara didunia pada dasarnya dilakukan dengan cara merumuskan kembali kaidah-kaidah hukum mengenai ekstradisi yang telah menjadi hukum kebiasaan internasional. Perjanjian ekstradisi yang dibuat oleh negara-negara di dunia sebenarnya memiliki beberapa kesamaan dalam pengaturan tentang substansi pokok masalah yang diperjanjikan.

  Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya perumusan perjanjian ekstradisi dilakukan dengan cara meniru dan mengikuti substansi perjanjian- perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya. Namun dalam perumusan tersebut, tentu diperlukan penambahan unsur-unsur baru sesuai dengan perkembangan zaman dan kesepakatan para pihak. Pada saat ini, asas-asas ekstradisi yang telah diakui secara umum adalah:

1. Asas Kejahatan Ganda (Double Criminality Principle); 2.

  Asas Kekhususan (Principle of Speciality); 3. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non-Extradition of Nationals); 4. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non-Extradition of

  Political Criminal ); 5.

  Asas ne/non bis idem; 6. Asas Daluwarsa.

1. Asas Kejahatan Ganda (Double Criminality Principle)

  Asas ini mensyaratkan bahwa kejahatan yang dapat dijadikan alasan dalam permohonan ekstradisi atas orang yang diminta adalah kejahatan yang telah diancam hukuman baik hukum pidana dari negara-peminta ataupun hukum dari negara yang diminta. Hal ini dapat terjadi dikarenakan suatu perbuatan atau peristiwa mungkin merupakan peristiwa pidana atau kejahatan menurut sistem hukum negara tertentu, sedangkan menurut sistem hukum negara lain tidak dipandang sebagai peristiwa pidana. Terdapat perbedaan dalam penilaian atas suatu perbuatan atau peristiwa. Perbedaan penilaian itu juga membawa akibat perbedaan penilaian terhadap si pelaku

   perbuatan atau peristiwa tersebut.

  Oleh karena sistem huku m tiap-tiap negara yang berbeda, maka tidak diperlukan nama ataupun unsur-unsur semuanya harus sama. Apabila kedua negara telah sama-sama mengklasifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan atau tindak pidana, hal itu dianggap sudah cukup. Apabila ternyata perbuatan itu hanya merupakan kejahatan menurut sistem hukum salah satu negara saja, sedangkan menurut sistem hukum negara lainnya tidak, negara-peminta sudah sepatutnya mengurungkan maksud untuk mengajukan permintaan penyerahan. Atau jika permintaan penyerahan sudah disampaikan, dan ternyata negara yang diminta berkesimpulan bahwa kejahatan itu hanya merupakan kejahatan atau peristiwa pidana menurut sistem hukum salah satu pihak saja, permintaan negara-peminta harus 26 Ibid, Hal. 28. ditolak. Asas inilah yang disebut dengan asas kejahatan ganda atau double criminality principle .

  Jadi yang dimaksud dengan asas kejahatan ganda adalah kejahatan yang dijadikan sebagai dasar permintaan penyerahan adalah merupakan kejahatan atau peristiwa pidana menurut sistem hukum kedua belah pihak. Jika asas ini tidak terpenuhi, maka penyerahan tidak dapat dilakukan. Penolakan itu juga berarti bahwa si pelaku atau orang yang diminta itu mendapatkan perlindungan dari negara yang diminta. Hal ini sudah sepantasnya, sebab seseorang tidak boleh ditindak atau dihukum terhadap perbuatan yang tidak melanggar hukum negara tempatnya

   berada.

2. Asas Kekhususan (Principle of Speciality)

  Asas ini mewajibkan negara-peminta untuk hanya menuntut, mengadili maupun menghukum orang yang diminta berdasarkan kejahatan yang dijadikan alasan untuk permintaan penyerahan ekstradisinya. Jadi ia tidak boleh diadili, dan atau dihukum atas kejahatan lain, selain dari pada kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisinya.

  Oleh karena itu, negara-peminta dalam mengajukan permintaan penyerahannya itu haruslah menegaskan, atas kejahatan atau kejahatan-kejahatan apa sajakah orang yang diminta itu dimintakan penyerahannya, dengan kata lain, permintaan penyerahan tersebut haruslah secara tegas dan terperinci menyebutkan jenis atau macam kejahatan yang dijadikan sebagai dasar alasan untuk meminta 27 Ibid, Hal. 29. penyerahan. Atas dasar permintaan penyerahan itu pulalah negara yang diminta akan mempertimbangkan apakah penyerahan akan dilakukan atau ditolak. Apabila oleh negara yang diminta diputuskan bahwa orang yang diminta itu akan diserahkan, negara yang diminta juga harus menegaskan atas dasar kejahatan atau kejahatan-

   kejahatan apa sajakah orang diminta itu diserahkan .

  Asas ini memberikan perlindungan kepada si pelaku kejahatan atau orang yang diminta, sebab asas ini membatasi hak dan wewenang negara-peminta untuk mengadili dan menghukumnya, yaitu hanya terbatas pada kejahatan yang dijadikan alasan penyerahan. Apabila negara-peminta juga mengadili dan menghukum orang yang diminta itu atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan dasar tersebut, maka orang yang bersangkutan atau negara-diminta (negara yang menyerahkan orang tersebut) dapat mengajukan protes dan meminta kembali orang

   tersebut.

  Meskipun pada dasarnya asas kekhususan (principle of speciality) ini membatasi hak dan wewenang negara-peminta untuk mengadili dan menghukum orang yang bersangkutan, tetapi dalam beberapa hal asas ini dapat dikesampingkan. Artinya, negara-peminta boleh mengadili dan menghukum orang yang diminta itu atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan dasar penyerahannya oleh negara yang diminta. Asas kekhususan ini dapat dikesampingkan, dalam hal-hal sebagai berikut: 28 29 Ibid, Hal. 42.

  Ibid, Hal. 43. a.

  Apabila negara-diminta menyatakan persetujuannya atas maksud negara- peminta untuk mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan itu atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan dasar penyerahannya oleh negara yang diminta.

  b.

  Apabila orang atau si pelaku kejahatan itu sendiri menyatakan persetujuannya untuk diadili dan dihukum atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan sebagai dasar penyerahannya oleh negara yang diminta.

  c.

  Negara-peminta juga dapat mengadili dan menghukum orang yang diminta atau si pelaku kejahatan atas kejahatan lain selain daripada kejahatan yang dijadikan dasar penyerahannya apabila setelah dia diberi kesempatan dalam suatu jangka waktu tertentu untuk meninggalkan wilayah negara-peminta,

   tetapi dia tidak menggunakan kesempatan tersebut.

  Asas kekhususan (principle of speciality) baru dapat berfungsi apabila orang yang diminta telah diekstradisi oleh negara yang diminta kepada negara-peminta. Hal ini berarti, Permintaan negara-peminta untuk mengekstradisi orang yang diminta tersebut dikabulkan oleh negara yang diminta.

3. Asas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non-Extradition of Nationals)

  Asas ini pada dasarnya memberikan kekuasaan pada negara-negara untuk tidak menyerahkan warga negaranya sendiri yang melakukan kejahatan didalam wilayah negara lain. Apabila orang yang diminta oleh negara-peminta ternyata merupakan warga negara dari negara yang diminta, maka negara yang diminta berhak 30 Ibid, Hal. 45-48. menolak permintaan ekstradisi dari negara-peminta tersebut. Hal ini dilandasi oleh pemikiran, bahwa negara wajib untuk melindungi setiap warga negaranya dan warga negara juga memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara asalnya. Namun penolakan tersebut tidak berarti menghapus kesalahan warga negara tersebut. Warga negara tersebut wajib untuk diadili dan dihukum oleh negara yang diminta berdasarkan hukum nasionalnya.

  Asas ini penting untuk dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian ataupun peraturan-peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi. Hal ini disebabkan karena kewarganegaraan seseorang memiliki peranan penting yakni mengenai status, jati diri dan identitas personal orang yang bersangkutan. Hal ini juga berarti bahwa hukum yang berlaku atas orang tersebut adalah hukum dimana dirinya terdaftar sebagai warga negara.

  Tetapi jika warga negara dari negara-diminta melakukan kejahatan di wilayah negara lain atau diluar wilayah negaranya, kemudian negara yang merasa memiliki yurisdiksi untuk mengadili atas kejahatannya tersebut meminta penyerahan maka negara yang diminta diwajibkan untuk mempertimbangkan apakah warga negaranya tersebut diserahkan atau tidak.

4. Asas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non-Extradition of

  Political Criminal )

  Asas ini bermula pada abad ke-18, yang menunjukkan bahwa yang dapat diserahkan hanyalah para penjahat politik dan pasukan yang melakukan tindakan disersi. Setelah revolusi Perancis, untuk pertama kalinya negara Perancis mengintroduksi secara tegas untuk tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik, sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian dengan Belgia dan kemudian dengan

   negara lain.

  Apabila negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk permintaan ekstradisi oleh negara-peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka negara-diminta harus menolak permintaan tersebut. Hal ini dikarenakan kejahatan politik bersifat subjektif serta definisi kejahatan politik yang berlaku secara umum bagi hukum internasional juga tidak ada. Suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan politik atau tidak memang merupakan sebuah masalah poltik yang didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja sangat subjektif.

  Oleh karena sukarnya menentukan kriteria objektif tentang kejahatan politik maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negara-negara baik perjanjian maupun dalam peraturan perundang-undangan mengenai ekstradisinya, menggunakan sistem negatif yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu secara tegas dinyatakan sebagai bukan merupakan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisikan orang yang diminta (extraditable crime).

  Pada hal ini, negara yang diminta memiliki peranan dalam penentuan apakah kejahatan yang dijadikan sebagai dasar permintaan penyerahan orang yang diminta oleh negara-peminta tergolong sebagai kejahatan politik atau tidak. Jika sebagai 31 J.A. Shearer. “Extradition in International Law”, West Publishing, USA, 1971, Hal. 166. kejahatan politik, maka negara yang diminta harus menolak permintaan negara- peminta bahwa orang yang diminta tidak akan diekstradisikan oleh negara yang diminta kepada negara-peminta

  Walaupun tidak sependapat dengan negara-diminta, negara-peminta tetap harus menghormati keputusan dari negara yang diminta. Hal ini sesuai dengan prinsip kesamaan derajat negara-negara dan prinsip saling menghormati kedaulatan masing- masing negara. Bagaimanapun juga, keputusan negara-diminta adalah sebuah keputusan dari negara yang berdaulat yang tentunya harus dihormati oleh negara-

   peminta yang merupakan sesama negara berdaulat.

5. Asas ne/non bis in idem

  Menurut asas ini, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk permintaan ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata telah diadili dan/atau telah dijatuhi hukuman yang telah memiliki kekuatan hukum yang mengikat, maka negara yang diminta diharuskan menolak permintaan dari negara-peminta tersebut.

  Apabila orang yang diminta telah mendapat keputusan akhir (final judgement) atas kejahatan yang dimintakan penyerahan oleh badan yang berwenang dari negara yang diminta, maka permintaan penyerahan tersebut harus ditolak. Hendaknya, final

  

judgement ditafsirkan sebagai keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

  mengikat yang pasti. Adanya kekuatan mengikat yang pasti ini perlu ditekankan karena dengan demikian keputusan ini telah diterima oleh orang yang bersangkutan. 32 I Wayan Parthiana, “Ekstradisi dalam Hukum internasional Modern”, Yrama Widya, Bandung, 2009, Hal. 138.

  Dalam hukum pidana, asas ini dikenal pada intinya menyatakan bahwa seseorang tidak boleh diadili dan/atau dihukum lebih dari satu kali atas suatu kejahatan yang dilakukannya. Larangan untuk mengadili dan/atau menghukum seseorang atas suatu jenis kejahatan lebih dari satu kali inilah yang dikenal sebagai asas ne/non bis in idem. Apabila ada negara yang mengadili dan/atau menghukum seseorang atas suatu kejahatan lebih dari satu kali, maka tindakan itu dianggap sebagai pelanggaran atas asas ne/non bis in idem.

  Maksud dan tujuan yang terkandung dalam asas ini adalah memberikan jaminan kepastian hukum bagi orang yang pernah dijatuhi putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan mengikat yang pasti, baik putusan itu merupakan putusan pembebasan ataupun pelepasan dari tuntutan pidana maupun putusan yang berupa penghukuman atas dirinya.

  Asas ne/non bis in idem ini secara umum telah dianut dalam hukum ataupun peraturan perundang-undangan pidana negara-negara di dunia. Asas ini diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia, sebagaimana dapat dijumpai dalam instrument-instrumen hukum nasional maupun internasional mengenai hak asasi manusia. Oleh karena asas ini telah diakui sebagai hak asasi maanusia, maka dapat dikatakan bahwa asas ini berlaku secara universal.

  Sebagai hak asasi manusia dan asas yang berlaku secara universal, asas ini juga diakui dalam ekstradisi. Hal ini dapat dilihat dengan tercantumnya asas ini dalam perjanjian-perjanjian dan peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, namun dengan formulasi yang tidak sama persis tetapi jiwa dan semangatnya tetaplah sama.

6. Asas Daluwarsa

  Asas ini dikenal juga dengan asas lewat waktu (lapse of time). Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat diserahkan oleh negara yang diminta kepada negara-peminta dikarenakan hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah daluwarsa atau lewat waktu menurut hukum dari salah satu maupun hukum dari kedua belah pihak.

  Daluwarsa atau lewat waktu (lapse of time) telah dikenal dalam hampir semua sistem hukum negara-negara di dunia. Daluwarsa memiliki makna sebagai pengakuan atas suatu fakta dimana fakta tersebut diakui sebagai suatu yang sah (legal) setelah terlampaui suatu jangka waktu tertentu, meskipun pada mulanya fakta tersebut tidak sah (illegal). Bahwa suatu fakta (dimana dapat berupa benda ataupun peristiwa hukum) yang sebenarnnya tidak sah tetapi sudah sedemikian lama terjadinya dan dibiarkan saja demikian tanpa diselesaikan berdasarkan hukum yang berlaku sehingga masyarakat dianggap sudah melupakannya, maka fakta itu yang semula tidak sah berubah menjadi sah. Tentu saja semakin lama jangka waktu terjadinya fakta tersebut dan masyarakat juga sudah melupakannya, maka semakin kuatlah keabsahannya.

  Tujuan dari diakui daluwarsa ini adalah demi memberikan jaminan kepastian hukum bagi semua pihak. Bahwa suatu fakta yang sudah demikian lamanya terjadi dan tidak pernah dipersoalkan selama jangka waktu tersebut,dipandang sebagai suatu hal yang sudah lewat dan oleh karena itu tidak bisa diungkit-ungkit lagi. Semua pihak, senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju haruslah secara ikhlas menerimanya. Mengenai berapa lama jangka waktu tersebut, hal ini berbeda-beda atau tidak selalu sama pengaturannya di dalam sistem hukum nasional negara-negara

   di dunia ini.

C. Pengaturan Hukum Internasional tentang Ekstradisi

  Hingga saat ini, hukum Internasional belum memiliki suatu peraturan yang mengatur tentang ekstradisi secara khusus. Pada umumnya, ekstradisi dalam dunia internasional diatur dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara baik dalam bentuk bilateral maupun multilateral. Namun, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi yang mengatur tentang model perjanjian ekstradisi yang dinamakan The United Nations Model Treaty on Extradition. Model perjanjian yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa ini hanya memuat framework yang tidak bersifat mengikat dan dapat diikuti oleh negara-negara dalam membentuk

   perjanjian ekstradisinya.

  The United Nations Model Treaty on Extradition dikeluarkan oleh

  Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 14 Desember 1990 berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB no.45/117. Meskipun hanya bersifat model hukum namun The United Nations Model Treaty on Extradition dapat dijadikan pedoman bagi negara-negara dalam membuat perjanjian ekstradisi. Pada prinsipnya, komposisi 33 34 Ibid, Hal. 147.

  Fika Habbina, Op. Cit., Hal. 79.

  

Model Treaty on Extradition ini tidak jauh berbeda dengan perjanjian-perjanjian

  ekstradisi pada umumnya dimana terdapat ketentuan-ketentuan yang sudah berlaku secara umum didalamnya seperti, Ketentuan mengenai kewajiban untuk

   mengekstradisikan.

  Komposisi aturan dalam perjanjian ekstradisi berdasarkan Model Treaty on

  Extradition tahun 1990, antara lain : a.

  Pasal 1 tentang kewajiban untuk melakukan ekstradisi (Obligation to Extradite ) b. Pasal 2 tentang kejahatan-kejahatan yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk pengekstradisian (Extradite Offences) c.

Pasal 3 tentang alasan-alasan yang bersifat wajib untuk menolak ekstradisi

  (Mandatory Grounds for Refusal) d.

Pasal 4 tentang alasan-alasan pilihan untuk menolak pengekstradisian

  (Optional Grounds for Refusal) e.

Pasal 5 tentang saluran untuk berkomunikasi dan memperoleh dokumen

  (Channels of communication and required documents) f.

  Pasal 6 tentang prosedur ekstradisi yang disederhanakan (Simplified Extradition Procedure ) g. Pasal 7 tentang pengesahan dan pembentukan akta otentik (Certification and Authentication ) h. 35 Pasal 8 tentang informasi tambahan (Additional Information) Ibid, Hal. 80. i.

  Pasal 9 tentang penahanan sementara (Provisional Arrest) j. Pasal 10 tentang keputusan terhadap negara-peminta (Decision on the Request ) k. Pasal 11 tentang penyerahan orang yang diminta (Surrender of the Person) l. Pasal 12 tentang penundaan untuk melakukan penyerahan bersyarat (Postponed or Conditional Surrender) m.

  Pasal 13 tentang penyerahan barang-barang (Surrender of Property) n. Pasal 14 tentang aturan khusus (Rule of Speciality) o. Pasal 15 tentang transit p. Pasal 16 tentang permintaan lebih dari satu negara-peminta (Concurrent Requests ) q. Pasal 17 tentang biaya-biaya (Costs) r. Pasal 18 tentang ketentuan akhir (Final Provisions) Model Treaty ini dapat dipandang sebagai soft law apabila ditinjau dari segi kandungan kaidah hukumnya. Namun Model Treaty ini memiliki konsekuensi dimana menyebabkan model ini dapat diadopsi baik seluruh, sebagian, atau bahkan ditolak oleh negara-negara. Sebenarnya sebagian besar substansi dari Model Treaty ini telah merupakan sumber hukum yakni, hukum kebiasaan internasional, terutama yang kandungan substansinya itu sudah diakui sebagai asas ekstradisi maupun yang belum diakui sebagai asas ekstradisi namun sudah umum dijumpai pada perjanjian ekstradisi di negara-negara.

36 Pada saat ini, Model Treaty ini telah banyak diterapkan dalam perjanjian-

  perjanjian ekstradisi negara-negara baik secara bilateral (antara dua negara) ataupun multilateral regional (lebih dari dua negara dalam suatu kawasan tertentu). Pada perjanjian ekstradisi bilateral, aturan-aturan dalam perjanjian tersebut hanya berlaku kepada negara-negara yang mengikat pada perjanjian tersebut dan berdasarkan atas asas dan kesepakatan tertentu antara kedua negara tersebut. Beberapa perjanjian ekstradisi bilateral antara lain

   a.

  Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Malaysia 7 Juni 1974 (Treaty

  between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia Relating to Extradition )

  : b.

  Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Filipina 10 Februari 1976 (Extradition Treaty between the Republic of Indonesia and the Republic of

  Philippines ) c.

  Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Thailand 29 Juni 1978 (Treaty

  between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Kingdom of Thailand )

  d.

  Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia 22 April 1992 (Extradition Treaty between Australia and the Republic of Indonesia) 36 Ibid, Hal 82 37 I Wayan Pharthiana(2), Op. Cit., Hal 77-78

  e.

  Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Korea Selatan 28 November 2000 f. Perjanjian Ekstradisi antara Polandia dan Chekoslowakia 1961 g.

  Perjanjian Ekstradisi antara Austria dan Israel 1961 h. Perjanjian Ekstradisi antara Amerika Serikat dan Jepang, 3 Maret 1978

  (Treaty on Extradition between the United States of America and Japan,

  March 3,1978 ) i.

  Perjanjian Ekstradisi antara Amerika Serikat dan Meksiko, 4 Mei 1978 (Treaty on Extradition between the United States of America and the United

  Mexican States, May 4, 1978 ) j.

  Perjanjian Ekstradisi antara Republik Demokrasi Rakyat Laos dan Thailand, 5 Maret 1999 (Treaty on Extradition between the Lao People’s Democratic

  Republic and the Kingdom of Thailand, March 5,1999 ) k.

  Perjanjian Ekstradisi antara Republik Demokrasi Rakyat Laos dan Kamboja,

  21 Oktober 1999 (Treaty between the Lao People’s Democratic Republic and

  the Kingdom of Cambodia on Extradition, October 21, 1999 ) l.

  Perjanjian Ekstradisi antara Republik Demokrasi Rakyat Laos dan Republik Rakyat Cina, 4 Februari 2002 (Treaty between the Lao People’s Democratic

  Republic and the People’s Republic of China, February 4, 2002 )

  Sedangkan pada perjanjian ekstradisi multilateral, aturan-aturan dalam perjanjian tersebut merupakan hasil kesepakatan dari negara-negara yang mengadakan perjanjian melalui suatu pertemuan (konferensi) ataupun melalui suatu badan organisasi tertentu dan berlaku bagi negara-negara yang tergabung dalam organisasi tersebut. Perjanjian ekstradisi multilateral ini umumnya berlaku pada negara-negara yang secara geografis berada pada suatu kawasan tertentu. Beberapa

  

  perjanjian ekstradisi multilateral, antara lain : a.

  Konvensi Ekstradisi Liga Arab (The Arab League Extradition Treaty) 14 September 1952; b. Konvensi Ekstradisi Eropa (European Convention on Extradition) 13

  September 1957; c. Konvensi Ekstradisi Antar Negara-Negara Amerika (Intern-American

  Convention on Extradition ) 25 Februari 1981; d.

  Konvensi tentang Prosedur Ekstradisi yang Disederhanakan (Convention on

  Simplified Extradition Procedure between the Member States of the European Union, 1995 );

  e.

  Konvensi tentang Ekstradisi antara Negara – Negara Anggota Uni Eropa 1996 (Convention Relating to Extradition between the Member of States of European Union, 1996 ).

Dokumen yang terkait

Aspek-Aspek Hukum Internasional Tentang Ekstradisi Alberto Fujimori (Mantan Presiden Peru)

8 143 99

Tinjauan Terhadap Perjanjian Ekstradisi Yang Mengatur Tentang Pemberantasan Kejahatan Ekonomi Antara Negara

4 70 77

Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional

1 42 127

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM UDARA INTERNASIONAL MENURUT KONVENSI CHICAGO 1944 A. Sejarah Hukum Udara Internasional - Tinjauan Yuridis Hukum Udara Internasional Dalam Kasus Jatuhnya Pesawat Tempur Rusia Akibat Penembakan Turki

0 0 29

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARALABA A. Sejarah dan Perkembangan Waralaba - Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Waralaba Apabila Terjadi Sengketa Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007

0 0 21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKOPERASIAN DI INDONESIA A. Pengertian Koperasi - Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Bagi Hasil pada Koperasi Pegawai Negeri Kencana II Medan

0 0 50

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian dan Jenis Perjanjian - Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Penyambungan Air Pada PDAM Tirtanadi Medan

0 0 23

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VISA DALAM LINGKUP INTERNASIONAL - Pemberlakuan Bebas Visa Bagi Negara-Negara Anggota Organisasi Konferensi Islam (Oki) Menurut Tinjauan Hukum Internasional

0 0 20

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Pengertian dan Asas Hukum Kontrak - Analisis Hukum Terhadap Kontrak Pengadaan Alat-alat Kesehatan Pada Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai

0 0 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONTRAK A. Definisi Perjanjian - Analisis Hukum Perdata Tentang Syarat Sah Kontrak Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

0 0 33