Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan Ditinjau Dari Hukum Internasional

(1)

Margaretta S R Silitonga : Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan Dan Pemberantasan Kejahatan

LEMBAGA EKSTRADISI SEBAGAI SARANA PENCEGAHAN

DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN DITINJAU DARI

HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi syarat-syarat untuk mencapai

Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

MARGARETTA S R SILITONGA

030200160

Departemen Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAGA EKSTRADISI SEBAGAI SARANA PENCEGAHAN

DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN DITINJAU DARI

HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan Memenuhi syarat-syarat untuk mencapai

Gelar Sarjana Hukum

DISUSUN OLEH :

MARGARETTA S R SILITONGA

030200160

Departemen Hukum Internasional

Disetujui Oleh Ketua Departemen

NIP. 131 616 321 Sutiarnoto S.H. M.H

Pembimbing I Pembimbing II

Hj. Rosmi Hasibuan S.H M.Hum

NIP. NIP. 131 616 321

Sutiarnoto S.H M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan kuliah dan penulisan skripsi yang berjudul “LEMBAGA EKSTRADISI SEBAGAI SARANA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL”.

Penulisan skipsi ini diajukan untuk melengkapi syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa hasil yang diperoleh masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis akan menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skipsi ini.

Namun terlepas dari segala kekurangan yang ada pada skipsi ini, penulis telah menerima banyak bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, dan untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M.Hum sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Suhaidi, S.H. M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Penasihat Akademik selama penulis menjalani study di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H. M.H DFM, sebagai Pembantu Dekan II


(4)

4. Bapak Muhammad Husni, S.H. M.H sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Hj. Rosmi Hasibuan S.H. M.H sebagai Pembimbing I yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Sutiarnoto MS, S.H M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Pembimbing II yang telah memberikan bantuan dan bimbingan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Arif, S.H. M.Hum sebagai sekretaris Jurusan Hukum Internasional

Fakultas Hukum niversitas Sumatera Utara.

8. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H M.Hum, yang telah banyak membantu dan

mendukung penulis dalam menyelesaikan study.

9. Penulis juga mengucapkan terimakasih yang sangat besar kepada orangtua

penulis, Drs. Maruli H Silitonga dan Rosiani br Hutabarat, yang telah mencurahkan segala kasih sayang serta pengorbanan yang besar sehingga penulis dapat memperoleh pendidikan, berkat doa merekalah penulis dapat menyelesaikan study.

10. Terimakasih juga buat kakak Marlinang Silitonga, SE, abang Mervin

Silitonga, SE, kakak Marina Silitonga, SKM, adik-adikku Mathilda Silitonga dan Moses Silitonga yang selalu menemani dan mendukung penulis, juga buat Farel dan Joy yang selalu menghibur penulis.


(5)

11. Terimakasih penulis ucapkan kepada Sahat Michael Andreas Siregar yang telah memberikan waktu, perhatian, semangat serta doa kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

12. Tidak ketinggalan terimakasih yang sangat besar untuk para Gadiz: Anju

Ciptani Putri Manik, Dewi “Opik” Novita Tarigan, Dwinda ”Dida” Asterita Sembiring , Esther ”Etenk” Patricia Simamora, Reny “Bamba” Aswita Sianturi, Yasmine “Mint” Adelina Nasution, sahabat-sahabatku yang memberi arti kuliah yang sebenarnya.

13. Seluruh teman-teman stambuk 2003 Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang selama ini bersama-sama penulis menyelesaikan study di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Akhir kata kiranya penulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Medan, Agustus 2007 Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....i

Daftar Isi...iv

Abstraksi...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...1

B. Perumusan Masalah...8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...9

D. Keaslian Penulisan...10

E. Tinjauan Pustaka...10

F. Metode Penulisan...18

G. Sistematika Penulisan...19

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP EKSTRADISI A. Pengertian dan Ruang Lingkup Ekstradisi...21

B. Sejarah dan Perkembangan Ekstradisi...27

C. Syarat-Syarat Ekstradisi...30

C.1. Syarat-Syarat Penahanan yang Diajukan Negara Peminta...30

C.2. Permintaan Ekstradisi dan Syarat-Syarat yang Harus Dipenuhi Oleh Negara Peminta...32

C.3. Pemeriksaan Terhadap Orang yang Dimintakan Ekstradisinya...34

C.4. Pencabutan dan Perpanjangan Penahanan...37


(7)

BAB III PERJANJIAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN EKSTRADISI A. Perjanjian Internasional Tentang Ekstradisi...43 B. Perundang-Undangan Nasional Tentang Ekstradisi...46 C. Hak dan Kewajiban Dalam Menyerahkan Orang yang Diminta...51

D. Penyerahan Orang yang Diekstradisi Berdasarkan Kesediaan Secara

Timbal-Balik...54 BAB IV LEMBAGA EKSTRADISI SEBAGAI SARANA PENCEGAHAN

DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

A. Bentuk kejahatan yang Dapat Diekstradisi...58

B. Praktek Pelaksanaan Ekstradisi Bagi Pelaku Kejahatan Pada Beberapa

Negara...67

C. Kedudukan Terhadap Orang yang Diekstradisi Dalam Hukum

Internasional...81

D. Ekstradisi Sebagai Sarana Pencegahan dan Pemberantasan

Kejahatan...83 E. Dampak Ekstradisi Terhadap Hubungan Negara-Negara...91 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...93 B. Saran...94

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

LEMBAGA EKSTRADISI SEBAGAI SARANA PENCEGAHAN

DAN PEMBERANTASAN KEJAHATAN DITINJAU DARI

HUKUM INTERNASIONAL

ABSTRAKSI

Ekstradisi adalah suatu pranata hukum yang dilakukan berdasarkan perjanjian. Perjanijan yang dimaksud adalah perjanjian (Treaty) yang diadakan oleh satu negara dengan negara lain. Dalam hal belum terdapat perjanjian maka dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Masalah ekstradisi sebenarnya bukanlah merupakan suatu masalah yang sederhana, karena terdapat syarat dan prosedur yang rumit dalam pelaksanaan ekstradisi yang harus dipatuhi oleh negara-negara yang terikat pada perjanjian ekstradisi tersebut. Dalam ekstradisi terdapat azas-azas yang menjadi landasan bagi peraturan dan penerapan ekstradisi, yang harus dihormati tiap negara, oleh karena itu pemahaman tentang azas-azas ekstradisi ini merupakan suatu keharusan bagi penerapan ekstradisi. Azas-azas yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 Tentang Ekstradisi juga tidak jauh berbeda dari azas-azas ekstradisi pada umumnya.

Ekstradisi pertama-tama merupakan masalah antar negara dan oleh karena itu pengaturannya terdapat dalam hukum internasional, khususnya dalam bentuk perjanjian internasional. Disamping itu, dalam batas-batas tertentu ekstradisi juga merupakan masalah domestik negara-negara dan oleh karenanya diatur di dalam hukum nasional, khususnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang ekstradisi. Adanya perjanjian-perjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi serta terlibatnya dua negara atau lebih dalam suatu kasus ekstradisi, menunjukkan bahwa ekstradisi dapat dipandang sebagai bagian hukum internasional dan juga sebagai bagian hukum nasional. Oleh karena itu ekstradisi sebagai suatu pranata hukum secara resmi telah diakui dan diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional.

Selain itu didalam suatu perjanjian ekstradisi juga perlu dibuat suatu daftar kejahatan yang dapat mencantumkan kejahatan-kejahatan apa saja yang dapat diekstradisi, yang pada umumnya adalah kejahatan-kejahatan berat. Sedangkan praktek pelaksaan ekstradisi di masing-masing negara berbeda sesuai dengan hukum nasional masing-masing, ada negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan tanpa ada perjanjian ekstradisi sebelumnya, namun ada juga yang menolak dengan alasan tidak terdapatnya perjanjian ekastradsi. Mengenai dampak ekstradisi sebenarnya tidaklah besar karena para pihak melakukannya berdasarkan perjanjian. Terlepas dari hal tersebut, ekstradisi merupakan suatu pranata hukum yang mampu mencegah dan memberantas kejahatan karena dengan adanya perjanjian ekstradisi maka ruang gerak bagi para pelaku kejahatan pun menjadi semakin sempit karena alih-alih dapat melepaskan diri dari tanggungjawab atas perbuatannya, ia akan tetap dikejar oleh para penegak hukum kemanapun ia melarikan diri. Untuk itu hubungan baik antara setiap negara di dunia harus dijaga agar pelaksanaan ekstradisi ini dapat maksimal.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Akhir-akhir ini masalah ekstradisi muncul lagi ke permukaan dan ramai dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin banyak pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang menimbulkan akibat pada lebih dari satu negara, ataupun yang pelakunya lebih dari satu orang dan berada terpencar di lebih dari satu negara.. Dengan perkataan lain, pelaku dan kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih. Kejahatan-kejahatan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional.1

Dalam era globalisasi masyarakat internasional seperti sekarang ini dengan didukung oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi, telekomunikasi dan transportasi, timbulnya kejahatan-kejahatan yang berdimensi internasional ini akan semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Untuk mengatasinya tidaklah cukup hanya dilakukan oleh negara secara

Akan tetapi, ekstradisi sebagai suatu lembaga hukum, masih belum banyak diketahui isi dan ruang lingkupnya. Namun demikian, istilah ekstradisi yang dikalangan masyarakat luas diidentikkan dengan penyerahan pelaku kejahatan yang melarikan diri ke suatu negara kepada negara yang memintanya, boleh dikatakan sudah umum dikenal.

1

I Wayan Parthiana SH, MH., Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2003, hal 127.


(10)

sendiri-sendiri, tetapi dibutuhkan kerjasama yang terpadu baik secara bilateral maupu n multilateral.

Salah satu lembaga hukum yang dipandang dapat menanggulangi kejahatan yang berdimensi internasional ini adalah ekstradisi. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, jika timbul suatu kasus kejahatan yang berdimensi internasional, lembaga ekstradisi juga muncul ke permukaan, seolah-olah ekstradisi ini sebagai lembaga hukum yang ampuh untuk menyelesaikannya.

Di dalam lapangan hukum nasional dan internasional, masalah ekstradisi bukan lagi merupakan hal yang baru khususnya bagi aparat penegak hukum dalam menghadapi kasus-kasus pidana pelarian, baik yang dilakukan oleh seseorang di negara lain (asing) yang kemudian melarikan diri menghindar dari ancaman hukuman dan masuk ke negara lain, atau masuk ke negara kita.

Dewasa ini lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini sebenarnya telah menduduki tempat yang cukup mapan. Hal ini terbukti dari bentuk-bentuk hukum yang mengaturnya, baik berbentuk perjanjian-perjanjian internasional yang bilateral, multilateral maupun berbentuk peraturan perundang-undangan nasional negara-negara. Bahkan pada tanggal 14 Desember 1990, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan Resolusi Nomor 45/ 117 tentang model Treaty on Extradition, yang walaupun hanya berupa model hukum saja, jadi belum merupakan hukum internasional positif, tetapi dapat dijadikan sebagai model oleh negara-negra dalam membuat perjanian-perjanjian tentang ekstradisi. Kini hampir semua negara di belahan bumi ini sudah mengenal lembaga hukum yang bernama ekstradisi ini.


(11)

Secara umum ekstradisi dapat diartikan sebagai proses penyerahan seorang tersangka atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan, yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili penjahat tersebut.2

Meskipun sudah banyak terdapat perjanjian-perjanjian internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi, ternyata semua itu menganut azas-azas dan kaidah-kaidah hukum dengan isi dan jiwa yang sama. Bahkan dalam prakteknya, ada negara-negara yang bersedia mengekstradisikan seorang pelaku kejahatan meskipun kedua negara itu belum terikat pada perjanjian ekstradisi atau mungkin juga belum memiliki peraturan perundang-undangan nasional tentang ekstradisi. Dalam menyelesaikan kasus ekstradisi tersebut, mereka berpegang pada azas-azas dan kaidah-kaidah hukum tentang ekstradisi yang sudah dianut secara umum dan merata oleh bagian terbesar negara-negara di dunia. Oleh karena itulah lembaga ekstradisi ini sudah diakui dan diterima oleh para sarjana hukum internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (international costumary law).

Setiap negara yang berdaulat mempunyai hak untuk meminta ekstradisi atas seseorang yang dianggap telah melakukan kejahatan di dalam wilayah negaranya dan sebaliknya negara tersebut juga mempunyai kewajiban untuk menyerahkan seseorang yang dimintakan ekstradisi oleh negara lain atau negara peminta sepanjang semua itu memenuhi azas-azas dan persyaratan yang berlaku.

3

2

M Budiarto, SH., Ekstradisi Dalam Hukum Nasional, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hal 7. 3


(12)

Ekstradisi merupakan perjanjian antara dua negara atau lebih yang bersifat bilateral atau terkadang multilateral dan hanya berlaku bagi pihak yang meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut.

Dengan demikian konsekuensi dari adanya perjanjian ekstradisi itu harus terlebih dahulu terdapat hubungan diplomatik antara kedua negara. Indonesia sendiri telah beberapa kali mengadakan perjanjian ekstradisi dan telah meratifikasi perjanjian ekstradisi tersebut seperti dengan Malaysia pada tahun 1974, dengan Philipina pada tahun 1976, dengan Thailand pada tahun 1978, dengan Australia pada tahun 1994, dengan Hongkong pada tahun 2001 dan baru-baru ini Indonesia juga menandatangani perjanjian ekstradisi dengan Singapura pada tanggal 27 april 2007.

Hukum internasional mengakui bahwa pemberian atau prosedur ekstradisi paling tepat diserahkan kepada hukum nasional dan tidak, misalnya, merintangi negara-negara untuk membuat undang-undang yang menghalang-halangi penyerahan pelaku-pelaku kejahatan oleh mereka, apabila tampak bahwa permintaan ekstradisi dibuat untuk mengadili pelaku kejahatan itu atas dasar ras-nya, agamaras-nya, atau pandangan-pandangan politikras-nya, atau pun andaikata ia dituduh untuk hal-hal ini pada pengadilan yang sesungguhnya oleh pengadilan negara yang memintanya.

Adapun maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan atau pemidanaan, karena sering kali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya


(13)

semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut.4

Penyerahan pelaku kejahatan pelarian ini tidak terpaku pada hubungan baik antar negara saja tetapi juga harus didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya. Dalam hal tidak adanya perjanjian, maka pemberian

Tindak kejahatan serta akibat-akibatnya tidak hanya menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat sekitarnya saja, tetapi sering melibatkan negara-negara bahkan kadang-kadang merupakan persoalan umat manusia. Sehingga untuk pencegahan dan pemberantasannya diperlukan kerjasama antara negara-negara. Hubungan baik dan bersahabat antara dua negara atau lebih, dapat mempermudah dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian

Sebaliknya jika tidak ada hubungan baik antara negara maka dapat dipastikan akan mempersulit penyerahan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan pada kesadaran orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan pada seorang atau beberapa orang penjahat pelarian, bukan pula karena didorong oleh kesadaran bahwa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi.

4


(14)

ekstradisi bergantung hanya pada azas resiprositas atau azas kepantasan (courtesy).5

Perjanjian ekstradisi tidak hanya merupakan suatu perjanjian dalam mana suatu pihak mencoba semua jalan kemungkinan untuk mencapai hasil maksimum, tetapi lebih merupakan suatu usaha kerja diantara dua negara atau lebih yang bersahabat yang sama-sama memiliki keinginan untuk memberantas kejahatan. Karena itu pada dasarnya ditekankan bahwa tidak ada seorang penjahat pun yang akan lolos dari penuntutan.6

a. Kehendak bersama semua negara untuk menjamin bahwa kejahatan serius

tidak akan dibiarkan tanpa penghukuman. Sering suatu negara yang di wilayahnya telah berlindung seorang pelaku tindak pidana tidak dapat mengadili atau menghukumnya hanya karena kaidah teknis hukum pidana atau karena tidak memiliki yurisdiksi. Oleh karena itu untuk menutup celah-celah pelarian pelaku-pelaku tindak pidana, hukum internasional memberlakukan dalil “aut punere aut dedere”, yaitu pelaku tindak pidana harus dihukum oleh negara tempatnya mencari perlindungan atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mengkehendaki penghukuman terhadapnya.

Pertimbangan-pertimbangan rasional berikut ini telah ikut menentukan hukum dan praktek ekstradisi:

5

J G Starke, Pengantar Hukum Internasional, Jilid II Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal 471.

6

Pengesahan Perjanjian Antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia Mengenai Ekstradisi..


(15)

b. Negara yang di wilayahnya terjadi tindak pidana adalah yang paling mampu mengadili pelaku tindak pidana itu karena bukti-bukti yang diperluas lebih banyak terdapat disana dan bahwa negara tersebut mempunyai kepentingan yang paling besar untuk menghukum pelaku tindak pidana serta memiliki fasilitas-fasilitas yang paling banyak untuk memastikan kebenaran. Dari hal tersebut maka hal yang paling benar dan hal yang paling tepat adalah kepada negara teritorial itulah pelaku tindak pidana yang mencari perlindungan ke luar negeri itu harus diserahkan.7 Dalam abad komunikasi yang sangat mudah untuk mengadakan perjalanan dari suatu negara ke negara lain maka fasilitas ini dinikmati tidak hanya oleh warga negara yang baik, tetapi juga oleh unsur-unsur penjahat yang sering kali dengan cepat mengambil keuntungan, sedangkan sebaliknya badan penegak hukum mengalami kesulitan untuk menangkap dan mengadili penjahat-penjahat tersebut, karena yurisdiksi dan wewenang yang terbatas dari negaranya. Karena itu kerjasama diantara negara-negara tetangga sangatlah diperlukan.8

7

J G Starke, Pengantar hukum Internasional, op.cit, hal 470. 8

Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia Mengenai

Ekstradisi

Untuk mengembangkan kerjasama yang efektif dalam penegakan hukum dan pelaksanaan peradilan, dalam rangka pemberantasan kejahatan terutama dalam masalah ekstradisi dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Adanya suatu perjanjian ekstradisi akan memperlancar pelaksanaan peradilan (administration of justice) yang baik


(16)

Dengan semakin sering timbulnya kasus-kasus tentang ekstradisi dalam pergaulan internasional, dapatlah menunjukkan kepada kita bahwa kasus ekstradisi perlu mendapat tempat dan perhatian yang khusus dalam hubungan internasional.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan adalah pernyataan yang menunjukkan adanya jarak antara rencana dan pelaksanaan, antara harapan dan kenyataan, juga antara das sollen dan das sein.9

1. Bagaimana praktek pelaksanaan ekstradisi yang dilakukan oleh pemerintah negara Republik Indonesia jika terdapat pelaku kejahatan di dalam wilayah negara Republik Indonesia?

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka tulisan ini bermaksud untuk membahas permasalahan sebagai berikut :

2. Bagaimana pula kedudukan orang yang diekstradisikan?

3. Sejauhmanakah ekstradisi tersebut benar-benar berfungsi sebagai sarana

untuk mencegah dan memberantas kejahatan?

4. Kemudian dampak apa sajakah yang dapat ditimbulkan dari praktek

ekstradisi ini terhadap hubungan negara-negara?

9

Ronny Hanitijo Soemitro, SH., Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal 21.


(17)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dengan dilakukannya penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui prosedur atau pelaksanaan ekstradisi diantara negara-negara yang telah saling melakukan perjanjian ekstradisi terutama pelaksanaan ekstradisi di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kedudukan dari seorang pelaku kejahatan yang

diekstradisi dalam hukum internasional.

3. Untuk mengetahui sampai dimana peranan ekstradisi ini dalam mencegah

dan memberantas kejahatan.

4. Dan untuk mengetahui dampak apa saja yang dapat ditimbulkan ekstradisi

terhadap hubungan negara-negara.

Adapun manfaat dari penulisan ini terdiri dari 2 hal, yaitu : 1. Manfaat Subjektif

Penulisan ini bermanfaat bagi penulis untuk memenuhi syarat kelulusan Strata- 1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tempat penulis menuntut ilmu.

2. Manfaat Objektif

Penulisan ini bertujuan untuk menerapkan hukum internasional yang telah dipelajari guna menjawab permasalahan apakah ekstradisi benar-benar dapat berfungsi sebagai sarana untuk mencegah dan memberantas kejahatan.


(18)

D. Keaslian Penulisan

Skirpsi ini berjudul “Lembaga Ekstradisi Sebagai Sarana Untuk Mencegah dan Memberantas Kejahatan Ditinjau dari Hukum Internasional”.

Penulisan skripsi tentang ekstradisi telah beberapa kali dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dengan judul yang bervariasi, salah satunya adalah Penerapan Hukum Tentang Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-Hak Azasi Manusia Ditinjau dari Sudut Hukum Internasional. Adapun persamaan dengan penulisan ini adalah bahwa objek penulisan sama-sama mengenai pelaksanaan ekstradisi. Perbedaannya adalah pada penulisan terdahulu yang dijadikan bahan penulisan adalah pelaksanaan ekstradisi dalam memberi jaminan atas hak-hak azasi manusia. Sedangkan dalam penulisan ini yang dijadikan bahan penulisan adalah mengenai ekstradisi sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan kejahatan.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa penulisan ini berbeda dengan penulisan yang sebelumnya.

E. Tinjauan Pustaka

Dalam hukum internasional suatu negara tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan tersangka pelaku kejahatan kepada negara asing, karena adanya prinsip soverignity bahwa setiap negara memiliki otoritas hukum atas orang yang berada dalam batas negaranya. Karena ketiadaan kewajiban internasional tersebut dan keinginan untuk mengadili pelaku kejahatan dari negara lain telah membentuk


(19)

suatu jaringan persetujuan atau perjanjian ekstradisi, kebanyakan negara di dunia telah menandatangani perjanjian ekstradisi bilateral dengan negara lainnya10

Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara lain yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan sesuatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan didalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk mengadili dan memidananya.

.

11

1. Ekstradisi adalah merupakan penyerahan orang yang diminta yang

dilakukan secara formal, jadi harus melalui cara atau prosedur tertentu. Dari definisi ini dapatlah dikemukakan beberapa unsur penting yang harus dipenuhi agar dapat disebut ekstradisi, yaitu:

2. Ekstradisi hanya bisa dilakukan apabila didahului dengan permintaan

untuk menyerahkan dari negara-peminta kepada negara-diminta.

3. Ekstradisi bisa dilakukan baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang

sudah ada sebelumnya atau bisa juga dilakukan berdasarkan azas timbal balik apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Dalam hal ini praktek negar berbeda-beda. Ada negara-negara yang bersedia menyerahkan orang yang diminta walaupun sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak. Ada negara-negara yang tidak bersedia menyerahkan orang yang diminta apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi antara kedua pihak.

10

Ekstradisi dala 11


(20)

4. Orang yang diminta bisa berstatus sebagai tersangka, tertuduh atau terdakwa dan bisa juga sebagai terhukum.

5. Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk mengadili orang yang diminta

atau menjalani masa hukumannya.

Pada tanggal 18 Januari 1979 telah diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1979 Nomor 2, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi yang menggantikan Koninklijk Besluit 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad 1883-188) tentang Uitlevering van Vreemdelinger (penyerahan orang asing). Hal ini dilakukan mengingat peraturan itu adalah hasil legislatif dan pemerintah Belanda pada waktu yang lampau dan ditetapkan lebih dari 90 tahun sebelum Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 dikeluarkan, karena itu sudah barang tentu peraturan tersebut tidak sesuai lagi dengan tata hukum dan dengan perkembangan Negara Republik Indonesia yang merdeka.

Oleh karena itu peraturan tersebut dicabut dan disusun suatu Undang-Undang Nasional yang mengatur tentang ekstradisi orang-orang yang disangka telah melakukan kejahatan di luar negeri melarikan diri ke Indonesia, ataupun untuk menjalani pidana yang telah dijatuhkan dengan putusan Pengadilan.

Undang-Undang ini dimaksudkan untuk memberikan dasar hukum bagi pembuatan perjanjian dengan negara-negara asing maupun untuk menyerahkan seseorang tanpa adanya perjanjian.

Keputusan tentang permintaan ekstradisi bukanlah keputusan badan yudikatif tapi merupakan keputusan badan eksekutif, oleh sebab itu pada taraf


(21)

terakhir terletak dalam tangan Presiden, setelah mendapat nasihat yuridis dari Menteri Kehakiman berdasarkan penetapan Pengadilan.12

12

Drs. C.S.T. Kansil, Hubungan Diplomatik Republik Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1989, hal 347. Permintaan ekstradisi diajukan kepada Presiden melalui Menteri Kehakiman oleh pejabat yang berwenang di negara asing melalui saluran diplomatik. Permintaan ekstradisi tersebut harus disertai dengan dokumen yang diperlukan antara lain mengenai identitas, kewarganegaraan, uraian tentang tindak pidana yang dituduhkan, surat permintaan penahanan. Bagi orang yang dicari karena harus menjalani pidananya disertai lembaran asli atau salinan otentik dari putusan Pengadilan dan surat tersebut disertai bukti-bukti tertulis yang sah yang diperlukan.

Apabila ada alasan-alasan yang mendesak sebelum permintaan ekstradisi diajukan, pejabat yang berwenang di Indonesia dapat menahan sementara orang yang dicari tersebut atas permintaan negara peminta. Mengenai penahanan itu berlaku ketentuan dalam Hukum acara Pidana Indonesia. Apabila dalam waktu yang cukup pantas permintaan ekstradisi tidak diajukan , maka orang tersebut dibebaskan.

Seperti telah diterangkan diatas untuk menentukan dapat tidaknya orang itu diserahkan, Presiden mendapat nasihat yuridis dari Menteri Kehakiman yang didasarkan pada penetapan Pengadilan. Cara pemeriksaan di Pengadilan ini tidak merupakan pemeriksaan peradilan seperti peradilan biasa, tetapi Pengadilan mendasarkan pemeriksaannya kepada keterangan tertulis beserta bukti-buktinya dari negara peminta yang diajukan oleh Jaksa dengan disertai pendapatnya.


(22)

Setelah memeriksa keterangan serta syarat-syarat yuridis yang diperlukan untuk ekstradisi maka Pengadilan menetapkan apakah orang yang bersangkutan dapat diekstradisikan atau tidak. Dalam pasal 40 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 ditegaskan :

1. Jika permintaan ekstradisi disetujui, orang yang dimintakan ekstradisi

segera diserahkan kepada pejabat yang bersangkutan dari negara peminta, di tempat dan pada waktu yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

2. Jika orang yang dimintakan ekstradisinya tidak diambil pada tanggal yang ditentukan, maka ia dapat dilepaskan sesudah lampau 15 (lima belas) hari dan bagaimanapun juga ia wajib dilepaskan sesudah lampau 30 (tiga puluh) hari.

3. Permintaan ekstradisi berikutnya terhadap kejahatan yang sama, setelah

dilampauinya waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, dapat ditolak oleh Presiden.

Ketentuan-ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak azasi yang bersangkutan. Yang dimaksud kejahatan yang sama dalam ayat ini adalah kejahatan yang dimintakan ekstradisinya dalam ayat-ayat sebelumnya. Waktu 30 (tiga puluh) hari dalam ayat ini adalah waktu yang dimaksudkan dalam ayat (2) di atas. Jika keadaan di luar kemampuan kedua negara baik negara peminta untuk mengambil maupun negara yang diminta untuk menyerahkan orang yang bersangkutan, negara dimaksud wajib memberitahukan kepada negara lainnya dan


(23)

kedua negara akan memutuskan bersama tanggal yang lain untuk pengambilan dan penyerahan yang dimaksud.

Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama-kelamaan berkembang menjadi hukum kebiasaan. Dari praktek dan hukum kebiasaan inilah negara-negara mulai merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian internasional tentang ekstradisi, baik yang bilateral maupun multilateral, disamping menambahkan ketentuan-ketentuan baru, sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Tetapi satu hal patut untuk dicatat bahwa sampai saat ini masih belum terdapat sebuah konvensi ekstradisi yang berlaku secara universal. Oleh karena itu mungkin akan timbul anggapan bahwa perjanjian-perjanjian ekstradisi bilateral dan multilateral tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Anggapan ini meskipun mengandung nilai kebenaran, tetapi tidak seluruhnya benar, karena banyak perjanjian-perjanjian ekstradisi yang memiliki kesamaan-kesamaan dalam pengaturan mengenai berbagai pokok masalah. Bahkan pokok-pokok masalah yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terdapat pula didalam perundang-undangan ekstradisi.13

13

I Wayan Parthiana, SH, MH. Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal 27.

Dasar-dasar yang sama ini diikuti terus oleh negara-negara baik dalam merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Atau dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa dasar-dasar yang sama ini telah diterima dan diakui sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi.


(24)

Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang ekstradisi hanya diatur ekstradisi secara pasif dan tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai cara mengajukan permohonan ekstradisi oleh Pemerintah Indonesia kepada negara lain.

Mengenai jenis-jenis kejahatan yang pelakunya dapat diserahkan, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 memakai metode enumeratif dengan memperinci setiap kejahatan yang pelakunya dapat diserahkan dalam suatu daftar yang dilampirkan pada Undang-Undang tersebut.

Suatu perjanjian ekstradisi harus mencantumkan secara spesifik tindak pidana apa saja yang pelakunya dapat diekstradisi. Tindak pidana yang di luar perjanjian ekstradisi, pelakunya tidak dapat diekstradisi. Hal inilah yang menjadi kesukaran dalam pelaksanaan ekstradisi. Terlebih, perkembangan kategori baru tindak pidana tidak dapat dipungkiri.14

14

Extradition treaty Indonesia-Singapore dalam

Dimuatnya azas-azas umum ekstradisi dalam Undang-Undang tersebut merupakan suatu kemajuan karena bagaimanapun juga azas-azas umum tersebut dimaksudkan untuk menjamin perlindungan hak-hak azasi orang-orang yang diekstradisikan (extraditable person).

Bagaimanapun juga dengan adanya ketentuan-ketentuan ekstradisi dalam Undang-Undang nasional maka cukuplah landasan hukum bagi pemerintah untuk mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara lain dalam rangka kerjasama internasional di bidang pemberantasan kejahatan.

on 21 February 2005.


(25)

Sehubungan dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah dicapai oleh umat manusia, maka fasilitas di bidang transportasi dan komunikasi yang semakin meningkat tidak hanya digunkan oleh penduduk dunia yang baik, tetapi digunakan pula oleh para pelaku kejahatan yang dengan cepat ingin mendapat keuntungan. Seorang yang melakukan kejahatan dengan cepat dapat menghindarkan penuntutan atau pemidanaan dengan jalan melarikan diri ke negara lain.

Sebagai suatu contoh dapat dikemukakan kasus “Earl Ray alias Sneyd Case”, seorang yang dituduh membunuh Dr. Martin Luther King, Jr. Ia menembak Dr King di Memhis, tenessee, amerika Serikat pada tanggal 14 April 1968 dan dalam beberapa jam Ray-sneyd berusaha melarikan diri dari Tenessee dan akhirnya ditangkap di London, Inggris pada tanggal 8 juni 1968. agar Ray-Sneyd dapat dipidana di negaranya Amerika Serikat, maka ia harus diekstradisikan. Untuk itu perlu ada permohonan dari pemerintah Amerika Serikat kepada Pemerintah Inggris.15

15

M Budiarto SH., Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal 14.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh umat manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi diikuti pula oleh perkembangan di bidang sosial yang antara lain mewujudkan diri dalam bentuk kejahatan yang berdimensi internasional sehingga pemberantasannya pun dewasa ini merupakan masalah yang memerlukan kerjasama internasional.


(26)

F. Metode Penulisan 1. Bentuk Penelitian

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah melalui metode penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan studi kepustakaan (library research) yang berhubungan dengan penulisan ini. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum dengan hanya mengolah dan menggunakan data-data sekunder yang berkaitan dengan ekstradisi.

2. Alat Pengumpulan Data

Materi skripsi ini diambildari data-data sekunder yang dimaksud yaitu :

a. Bahan hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1974 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Malaysia, Undang-Undang nomor 10 Tahun 1976 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Philipina, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1978 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Thailand, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1994 tentang Perjanjian Ekstradisi Indonesia dan Australia.

b. Bahan hukum Sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : buku-buku tentang ekstradisi dan peraturannya, Jurnal-jurnal,

majalah dan surat kabar serta media internet seperti


(27)

c. Bahan hukum tertier

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan ganbaran yang utuh dan sistematis mengenai isi dari skripsi ini maka isi dan kerangka skripsi ini disusun secara sistematiika sebagai berikut :

Bab I : Didalam pendahuluan penulis menguraikan latar belakang yang

memberikan alasan mengapa penulis memilih permasalahan yang tercakup dalam skripsi ini. Dalam bab ini juga dikemukakan tujuan dari penulisan yang dimaksud sebagai suatu sasaran yang hendak dicapai dari skripsi ini, disamping itu dikemukakan juga metode penulisan yang kemudian diakhiri dengan sistematika dari penulisan skripsi ini secara keseluruhan.

Bab II : Didalam bab ini penulis menguraikan tentang pengertian dan ruang

lingkup ekstradisi, sejarah dan perkembangan ekstradisi, beberapa syarat ekstradisi, serta azas-azas dalam ekstradisi.

Bab III : Dalam bab ini dikemukakan tentang perjanjian internasional


(28)

ekstradisi, hak dan kewajiban negara dalam menyerahkan orang yang diminta, dan penyerahan orang yang diekstradisi berdasarkan kesediaan secara timbal-balik.

Bab IV : Bab ini merupakan bagian yang menganalisa bagaimana

pelaksanaan ekstradisi sebagai sarana pencegahan dan pemberantasan kejahatan. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang kejahatan yang dapat diekstradisi, pelaksanaan ekstradisi bagi pelaku kejahatan pada negara-negara, kedudukan terhadap orang yand diekstradisi dalam hukum internasional, dan dampak ekstradisi terhadap hubungan negara-negara.

Bab V : Bab ini merupakan bagian penutup dari skripsi ini. Didalamnya

terdapat kesimpulan dari tujuan penulisan skripsi ini dan diakhiri dengan saran-saran penulis setelah menguraikan permasalahan yang timbul sesuai dengan judul skripsi


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG EKSTRADISI

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Ekstradisi

Setiap negara di dunia ini mempunyai tata hukum atau hukum positif untuk memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan ketentraman bagi setiap warga negaranya atau orang yang berada dalam wilayahnya. Pelanggaran atas tata hukumnya dikenakan sanksi sebagai upaya agar hukum dapat ditegakkan. Si pelanggar harus mempertanggungjawabkan perbuatannya atau kejahatan yang telah dilakukannya. Dia akan diajukan ke depan pengadilan dan bila terbukti bersalah akan dijatuhi hukuman yang setimpal dengan kesalahannya.

Akan tetapi tidak setiap orang akan rela mempertanggungjawabkan perbuatannya. Segala macam cara akan ditempuhnya, baik legal maupun illegal untuk menghindarkan diri dari tuntutan dan ancaman hukuman tersebut. Salah satu cara yang cukup efektif untuk menyelamatkan diri adalah dengan cara melarikan diri kedalam wilayah negara lain. Cara ini dimaksudkan untuk menghindari tuntutan hukuman di negara tempatnya semula. Tindakan ini melibatkan kepentingan kedua negara. Bahkan seringkali kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, tidak saja melibatkan kepentingan dua negara, tetapi sering kali lebih dari dua negara. Hal ini bisa terjadi, Misalnya karena seorang secara berturut-turut telah melakukan kejahatan dalam wilayah beberapa negara.


(30)

Atau kejahatan yang dilakukan dalam wilayah satu negara atau di luar wilayah suatu negara, menimbulkan akibat-akibat pada wilayah beberapa negara.

Seperti dalam kasus ”Kapal Mimi” pada tahun 1975, seorang warga negara Indonesia bernama Gun Supardi yang bekerja sebagai awak kapal tersebut, telah membunuh nahkoda kapalnya yang berkebangsaan Jerman Barat di laut lepas di Samudera Atlantik serta menenggelamkan kapalnya. Sedangkan kapal Mimi itu sendiri berbendera Panama. Oleh kapal yang menolongnya, Gun Supardi bersama awak kapal lainnya dibawa dan diserahkan kepada Amerika Serikat. Dalam kasus ini jelaslah tersangkut kepentingan empat negara yaitu : Indonesia sebagai negara kewarganegaraan si pelaku kejahatan yaitu Gun Supardi, Panama sebagai negara kebangsaan kapan Mimi sebab kapal tersebut berbendera Panama, Jerman Barat sebagai negara kewarganegaraan sang korban (nahkoda) dan Amerika Serikat sebagai negara tempat Gun Supardi ditahan.

Dalam Hubungannya dengan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau berada dalam wilayah lain, maka negara yang memiliki yurisdiksi atas si pelaku kejahatannya itu, misalnya negara tempat kejahatan itu dilakukan atau negara-negara yang menderita akibat dari kejahatan itu, tidak boleh melakukan penangkapan dan penahanannya secara langsung di dalam wilayah negara tempat si pelaku kejahatan itu berada. Hal ini seolah-olah menyebabkan pelaku kejahatan yang demikian itu memperoleh kekebalan dari tuntutan hukum. Penangkapan dan penahanan secara langsung kedalam wilayah negara lain tidak diperbolehkan oleh karena suatu negara tidak boleh melakukan tindakan yang bersifat kedaulatan (act of soverignity) di dalam wilayah lain, kecuali dengan persetujuan negara itu


(31)

sendiri. Sebab tindakan demikian itu dipandang sebagai intervensi atau campur tangan atas masalah-masalah dalam negeri negara lain, yang dilarang menurut hukum internasional.16

16

I Wayan Parthiana,S.H,MH., Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, op.cit, hal 11

Tetapi jika hal semacam ini dibiarkan, maka akan dapat mendorong setiap pelaku kejahatan, lebih-lebih jika dia secara ekonomis tergolong mampu, untuk melarikan diri ke dalam wilayah negara lain. Bahkan usaha untuk melarikan diri ke dalam wilayah negara lain tidak hanya dilakukan oleh orang-orang yang bermaksud untuk menghindari ancaman hukuman yang lebih dikenal dengan sebutan tersangka atau tertuduh, tetapi juga oleh orang-orang yang telah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti yang lebih dikenal dengan sebutan terhukum atau terpidana. Sebagai contoh nyata adalah apa yang dialami oleh Indonesia, yaitu larinya dua orang narapidana masing-masing Donal Andrew Ahren (warga negara Australia) dan David Allan Riffe (warga negara Amerika Serikat) dari Lembaga Pemasyarakatan Denpasar dan Karangasem, Bali pada tanggal 9 Juli 1977. kedua orang ini berhasil meninggalkan wilayah Indonesia menuju ke Australia.

Supaya orang-orang semacam ini tidak terlepas dari tanggung jawab atas kejahatan yang telah dilakukannya, maka diperlukan kerjasama untuk mencegah dan memberantasnya. Sebab pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang hanya dilakukan oleh negara-negara secara sendiri-sendiri dalam hal-hal tersebut sudah tidak bisa dipertahankan lagi, lebih-lebih di abad teknologi sekarang ini.


(32)

Oleh karena negara-negara yang memiliki yurisdiksi terhadap si pelaku kejahatan tidak bisa menangkap secara langsung di wilayah negara tempat si pelaku kejahatan itu berada, maka negara-negara tersebut dapat menempuh cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum si pelaku kejahatan tersebut. Negara-negara yang memiliki yurisdiksi itu dapat meminta kepada negara tempat si pelaku kejahatan itu berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang tersebut. Sedangkan negara tempat si pelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan untuk menyerahkan itu dapat menyerahkan si pelaku tesebut kepada negara atau salah satu dari negara yang mengajukan permintaan penyerahan. Cara atau prosedur semacam ini telah diakui dalam hukum nasional dan hukum internasional yang dikenal dengan nama Ekstradisi.

Ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition, l’extradition) berasal dari bahasa latin :”extradere”. Ex berarti keluar, sedangkan tradere berarti menyerahkan. Kata bendanya adalah extraditio artinya penyerahan. Dari uraian diatas dapat diperoleh suatu rumusan yang didalamnya menggambarkan pengertian dan ruang lingkup ekstradisi, tegasnya yang dimaksud dengan ekstradisi adalah :

”Penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal-balik, atas seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa) atau atas seseorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau tersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya, atas permintaan dari negara tersebut dengan tujuan untuk mengadili atau

melaksanakan hukumannya. 17

17


(33)

Selain itu terdapat juga defenisi tentang ekstradisi dari para sarjana-sarjana hukum internasional dan hasil riset Universitas Harvard, yaitu :

1. L. Oppenheim mengatakan :

”Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have committed, or to have been convicted of, a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be.18

2. J.G. Starke, menyatakan :

”The term extradition denotes the process whereby under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence committed against the laws the requesting state competent to try alleged offender.19

3. Harvard Research Draft Convention on Extradition :

“Extradition is the formal surrender of a person by a state to another state for prosecution punishment”.20

4. Menurut Dr. Ali Sastroamidjojo, SH menyatakan bahwa :

”Ekstradisi adalah pengambilan orang pelarian, perjanjian ekstradisi itu harus diadakan terlebih dahulu untuk memungkinkan negara menuntut, supaya orang pelarian itu dikembalikan.21

18

L Oppenheim, International Law, a Treatise, 8th Edition, Volume One-Peace, 1960, hal 696. 19

J G Starke, An Introduction to International law, 7th Edition, Butterworths, London, hal 348. 20

I Wayan Parthiana, SH, MH., Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, op.cit, hal 13.

21


(34)

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan unsur dari ekstradisi itu, yakni : 1. Unsur subjek yang terdiri atas :

a. Negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya. Negara atau negara-negara ini berkedudukan sebagai pihak yang meminta atau dengan singkat disebut ”negara peminta” (The Requesting State)

b. Negara tempat pelaku kejahatan atau si terhukum itu berada atau

bersembunyi. Negara ini dimintai oleh negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi atau negara peminta, supaya menyerahkan orang yang berada di wilayahnya itu, yang dengan singkat disebut ”negara diminta” (The Requested State).

2. Unsur Objek, yaitu sipelaku kejahatan itu sendiri yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dia inilah yang dengan singkat disebut sebagai ”orang yang diminta”. Dia hanya sebagai objek saja yang menjadi pokok masalah antara kedua pihak.

3. Unsur tata cara atau prosedur, yang meliputi tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Untuk lebih jelasnya akan dibahas dalam Bab IV dalam sub bab praktek pelaksanaan ekstradisi.

4. Unsur tujuan, yaitu tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Penyerahan itu dimintakan oleh negara peminta kepada negara diminta oleh karena dia telah melakukan kejahatan yang


(35)

menjadi yurisdiksi Negara peminta. Atau dia melarikan diri kenegara diminta setelah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti. Untuk dapat mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan negara atau negara-negara yang berkepentingan, lalu mengajukan permintaan penyerahan atas diri orang tersebut kepada negara diminta. Jadi permintaan penyerahan atau penyerahan itu sendiri bertujuan untuk mengadili atau menghukum si pelaku kejahatan itu, sebagai realisasi dari kerjasama antara negara-negara tersebut dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan.

B. Sejarah dan Perkembangan Ekstradisi

Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa sebuah perjanjian tertua yang isinya juga mengenai masalah penyerahan penjahat-penjahat pelarian adalah perjanjian perdamaian antara Raja Rameses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM. Kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang dikemukakan di dalam wilayah pihak lain.22

22

Arthur Nussbaum, A Concise History of the Law of Nations, Disadur kembali oleh I Wayan Parthiana, SH, MH., Ekstardisi Dalam Hukum Internasional Dan Hukum Nasional Indonesia, op.cit, hal 3.

Tetapi perjanjian semacam ini tentulah tidak merupakan perjanjian ekstradisi yang berdiri sendiri seperti halnya yang kita kenal sekarang ini. Melainkan soal ekstradisi ini hanyalah merupakan salah satu bagian kecil saja dari keseluruhan materi perjanjian, yaitu merupakan perjanjian perdamaian untuk mengakhiri peperangan.


(36)

Namun demikian, praktek negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian, tidaklah semata-mata bergantung pada adanya perjanjian tersebut, kemungkinan besar jauh sebelumnya terdapat negara-negara yang saling menyerahkan penjahat pelarian meskipun kedua pihak belum membuat perjanjiannya. Walaupun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan ini masih belum dapat ditunjukkan. Hal ini didasarkan atas hubungan baik dan bersahabat antara dua negara. Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi permusuhan, maka kerjasama saling menyerahkan penjahat pelarian, bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian, demikian pula sebaliknya. Praktek-praktek penyerahan penjahat pelarian tersebut belum didasarkan atas keinginan untuk bekerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan, mengingat kehidupan masyarakat pada jaman kuno yang sangat sederhana.

Mulai abad ke-17 sampai abad ke-20 hubungan dan pergaulan internasional mulai mencari dan menemukan bentuknya yang baru, negara-negara dalam membuat perjanjian-perjanjian, sudah mulai mengadakan pengkhususan mengenai bidang-bidang tertentu termasuk juga bidang ekstradisi sehingga tidak lagi menjadi bagian dari masalah-masalah lain yang lebih luas ruang lingkupnya.

Kemajuan-kemajuan dalam bidang pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan, turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi ini. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada satu sisinya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusian, pada sisi lain menimbulkan berbagai efek negatif, seperti timbulnya kejahatan baru dengan akibat yang cukup besar dan luas.


(37)

Tindakan kejahatan serta akibat-akibatnya tidak hanya menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat, tetapi sering melibatkan negara-negara sehingga untuk pencegahan dan pemberantasannya diperlukan kerjasama antara negara. Misalnya dengan menangkap si pelaku kejahatan yang melarikan diri dan menyerahkannya kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili dan menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut.

Pemikiran-pemikiran baru dalam bidang ketatanegaraan, politik dan kemanusiaan inilah yang mendorong semakin diakui dan dikukuhkannya kedudukan individu sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Negara-negara di dalam membuat dan merumuskan perjanjian-perjanjian ekstradisi disamping memperhatikan aspek-aspek pemberantasan kejahatannya juga memperhatikan aspek-aspek kemanusiaan dimana individu-individu pelaku kejahatan tetap diberikan atau diakui hak-hak dan kewajibannya.

Demikian pada akhirnya, perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam isi dan bentuknya yang modern dewasa ini, memberikan jaminan keseimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan perlindungan maupun penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Prinsip-prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah sebagai konsekuensi dari pengakuan hak-hak asasi untuk menganut keyakinan politik atau hak politik seseorang untuk pertama kalinya dicantumkan dalam perjanjian ekstradisi antara Perancis dan Belgia pada tahun 1824. Sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Abad 19 dan 20 adalah merupakan masa stabil dan kokohnya ekstradisi, yang dapat dibuktikan dengan banyaknya terdapat


(38)

perjanjian ekstradisi dan perundang-undangan nasional negara-negara mengenai ekstradisi.

C. Syarat-syarat Ekstradisi C.1.

Masalah penahanan adalah sangat penting karena berkaitan dengan kebebasan bergerak yang merupakan hak asasi seseorang yang perlu mendapat perlindungan hukum. Karena itu penahanan seseorang yang diminta oleh negara lain untuk diekstradisikan tidak dilakukan dengan begitu saja, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Hal ini dapat kita temukan dalam bab III pasal-pasal 18, 19, 20, dan 21 mengenai syarat-syarat penahanan yang diajukan oleh negara peminta. Kemudian dalam Bab IV, pasal-pasal 22, 23, dan 24 dimuat pula syarat-syarat lain yang harus dipenuhi negara yang meminta penyerahan.

Syarat-syarat Penahanan yang Diajukan Negara Peminta

Menurut pasal 18, Kepala Kepolisian Indonesia dapat memerintahkan penahanan yang dimintakan oleh negara atas dasar yang mendesak, jika penahanan itu tidak bertentangan dengan hukum negara Republik Indonesia (ayat 1). Dalam permintaan untuk penahanan itu, negara meminta harus menerangkan, bahwa dokumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 22 sudah tersedia dan bahwa negara tersebut segera dalam waktu tersebut dalam pasal 21 akan menyampaikan permintaan ekstradisi (ayat 2). Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan alasan mendesak ialah misalnya, orang yang dicari itu dikhawatirkan akan melarikan diri.


(39)

Selanjutnya dalam pasal 19, ditentukan bahwa permintaan untuk penahanan disampaikan oleh pejabat yang berwenang dari negara peminta kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Interpol Indonesia atau melalui saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram (ayat 1). Ayat (2) menentukan bahwa pengeluaran surat perintah untuk menangkap dan atau menahan orang yang bersangkutan dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana Indonesia, kecuali ditentukan lain seperti yang diatur dalam ayat (3). Dalam ayat (3) disebutkan, bahwa menyimpang dari ketentuan Hukum Acara Pidana Indonesia yang berlaku, maka terhadap mereka yang melakukan kejahatan yang dapat dilakukan penahanan. Perlu kiranya dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan Interpol Indonesia adalah Badan Kerjasama Kepolisian Internasional untuk Indonesia yang dibentuk dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 245/PM/1954, tanggal 5 Oktober 1954. sedang yang dimaksud dengan telegram khusus adalah telegram yang jelas diketahui identitas dari pengirim telegram.

Kemudian pada pasal 20 ditentukan bahwa keputusan atas permintaan penahanan diberitahukan kepada negara peminta oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Jaksa Agung Republik Indonesia melalui Interpol Indonesia atau saluran diplomatik atau langsung dengan pos atau telegram.

Dalam hal terhadap orang yang bersangkutan dilakukan penahanan, maka orang tersebut dibebaskan oleh Jaksa Agung Republik Indonesia jika dalam waktu yang dianggap cukup sejak tanggal penahanan, Presiden melalui Menteri Kehakiman Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia jika


(40)

dalam waktu yang dianggap cukup sejak tanggal penahanan, Presiden melalui Menteri Kehakiman Republik Indonesia tidak menerima permintaan ekstradisi beserta dokumen sebagaimana terdapat dalam pasal 22 dari negara-peminta. Ketentuan tersebut terdapat dalam pasal 21. Adapun mengenai waktu yang dianggap cukup ditentukan dalam penjelasan bahwa hal itu akan ditentukan dalam perjanjian yang diadakan dengan suatu negara. Dalam perjanjian ekstradisi yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia baik dengan Malaysia, Philippina maupun Thailand waktu tersebut ditentukan 20 hari.

C.2.

Tentang syarat-syarat yang dipenuhi dalam mengajukan permintaan ekstradisi, ditentukan dalam pasal 22, bahwa surat permintaan ekstradisi, harus diajukan secara tertulis melalui saluran diplomatik kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia untuk diteruskan kepada Presiden (ayat 2). Selanjutnya dalam ayat (3) ditentukan, bahwa surat permintaan ekstradisi bagi orang yang dimintakan ekstradisinya untuk menjalankan pidana harus disertai :

Permintaan Ekstradisi dan Syarat-syarat yang harus Dipenuhi Oleh Negara-Peminta

a. Lembaran asli atau salinan otentik dari putusan pengadilan yang berupa

pemidanaan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

b. Keterangan yang diperlakukan untuk menetapkan identitas dan

kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisinya.

c. Lembaran asli atau salinan otentik dari surat perintah penahanan yang


(41)

Surat-surat dan keterangan yang dimaksud dalam ayat (3) diatas adalah untuk kepentingan pemerintahan di pengadilan. Apabila ayat (3) mengatur tentang permintaan ekstradisi bagi orang yang dimintakan ekstradisinya untuk menjalani pidana, maka ayat (4) mengatur tentang surat permintaan ekstradisi bagi orang yang disangka melakukan kejahatan. Demikianlah ditentukan dalam ayat (4) bahwa surat permintaan ekstradisi harus disertai :

a. Lembaran asli atau salinan otentik dari surat perintah penahanan yang

dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari negara-peminta;

b. Uraian dari kejahatan yang diminta ekstradisinya, dengan menyebutkan waktu dan tempat kejahatan dilakukan dengan disertai bukti tertulis yang diperlukan;

c. Teks ketentuan hukum dari negara peminta yang dilanggar atau jika hal

demikian tidak mungkin, isi dari hukum yang diterapkan;

d. Keterangan-keterangan saksi dibawah sumpah mengenai pengetahuannya

tentang kejahatan yang dilakukan;

e. Keterangan yang diperlukan untuk menetapkan identitas dan

kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisinya;

f. Permohonan penyitaan barang-barang bukti, bila ada dan diperlukan.

Adapun yang dimaksud dengan bukti tertulis dalam huruf b di atas adalah dokumen-dokumen yang erat hubungannya dengan kejahatan tersebut, misalnya surat hak miliki, atau apabila bukti-bukti tersebut berupa alat, benda atau senjata, cukup dengan foto-foto dari barang-barang tersebut, atau apa yang dinamakan ”Copie Collatione”. Hal ini mengingat bahwa pemeriksaan oleh pengadilan dalam hal ekstradisi ini hanya untuk menetapkan apakah orang-orang tersebut


(42)

berdasarkan bukti-bukti yang ada dapat diajukan ke pengadilan, dan bukan untuk memutuskan salah atau tidaknya orang tersebut. 23

Jika menurut pertimbangan Menteri Kehakiman Republik Indonesia surat yang diserahkan itu tidak memenuhi syarat pasal 23 atau syarat lain yang ditetapkan dalam perjanjian, maka kepada pejabat negara-peminta diberikan kesempatan untuk melengkapi surat-surat tersebut dalam jangka waktu yang dipandang cukup oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.

Dalam penjelasan 23 ditentukan bahwa kesempatan untuk melengkapi surat-surat tersebut yang diminta oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia diberikan dalam waktu yang dipandang cukup mengingat jarak dan luasnya negara yang minta ekstradisi. Maka untuk pembatasan waktu dapat ditentukan dalam perjanjian yang diadakan antara Republik Indonesia dengan negara yang meminta ekstradisi.

Kemudian dalam pasal 24 ditentukan bahwa setelah syarat-syarat dan surat-surat dimaksud dalam pasal 22 dan 23 dipenuhi, Menteri Kehakiman Republik Indonesia mengirimkan surat permintaan ekstradisi beserta surat-surat lampirannya kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia untuk mengadakan pemeriksaan.

Sebelum seseorang diekstradisikan kepada negara peminta, orang tersebut terlebih dulu diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Dalam hal orang tersebut C.3. Pemeriksaan Terhadap Orang yang Dimintakan Ekstradisinya.

23


(43)

melakukan kejahatan, serta kejahatan tersebut merupakan kejahatan yang pelakunya dapat dikenakan penahanan menurut Hukum Acara Pidana Indonesia dan ketentuan-ketentuan yang disebut dalam pasal 19 ayat (2), dan (3) dan diajukan permintaan penahanan oleh negara peminta, orang tersebut dikenakan penahanan. Ketentuan tersebut dimuat dalam pasal 25.

Selanjutnya berdasarkan pasal 26, apabila yang melakukan penahanan tersebut Kepolisian Republik Indonesia, maka setelah menerima surat permintaan ekstradisi, Kepolisian Republik Indonesia mengadakan pemeriksaan tentang orang tersebut atas dasar keterangan atau bukti dari negara peminta (ayat 1). Hasil pemeriksaan dicatat dalam Berita Acara dan segera diserahkan kepada Kejaksaan Indonesia setempat.

Selambat-lambatnya 7 hari setelah menerima Berita Acara tersebut, Kejaksaan dengan mengemukakan alasannya secara tertulis, meminta kepada Pengadilan Negeri didaerah tempat ditahannya orang tersebut untuk memeriksa dan kemudian menetapkan dapat atau tidaknya orang tersebut diekstradisikan (pasal 27).

Kemudian dalam pasal 28 ditentukan bahwa perkara-perkara ekstradisi termasuk perkara-perkara yang didahulukan. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa perkara ekstradisi didahulukan mengingat bahwa pemeriksaan di Pengadilan tidak dilakukan seperti Pengadilan biasa.

Selanjutnya pasal 29 menentukan bahwa kejaksaan menyampaikan surat panggilan kepada orang yang bersangkutan untuk menghadap Pengadilan pada hari sidang dan surat panggilan tersebut harus sudah diterima oleh orang yang


(44)

bersangkutan sekurang-kurangnya 3 hari sebelum sidang. Adapun penentuan minimum jangka waktu 3 hari dimaksudkan untuk mengadakan persiapan-persiapan sepenuhnya. Menurut pasal 30, pada hari sidang orang yang bersangkutan harus menghadap ke muka Pengadilan Negeri.

Pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri dilakukan dalam sidang terbuka, kecuali apabila Ketua Sidang menganggap perlu dilakukan sidang tertutup (pasal 31 ayat 1). Jaksa menghadiri sidang dan memberikan pendapatnya (pasal 31 ayat 2). Dalam sidang tersebut Pengadilan Negeri memeriksa apakah :

a. Identitas dan kewarganegaraan orang yang dimintakan ekstradisi itu sesuai

dengan keterangan dan bukti-bukti yang diajukan oleh negara-peminta;

b. Kejahatan yang dimaksud merupakan kejahatan yang dapat diekstradisikan

menurut pasal 4 dan bukan merupakan kejahatan politik atau kejahatan militer;

c. Hak penuntutan atau hak melaksanakan putusan Pengadilan sudah atau

belum kedaluwarsa;

d. Terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan telah atau

belum dijatuhkan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti;

e. Kejahatan tersebut diancam dengan pidana mati di negara-peminta

sedangkan di Indonesia tidak;

f. Orang tersebut diperiksa di Indonesia atas kejahatan yang sama.

Ketentuan tersebut diatas dimuat dalam pasal 32 dan berdasarkan penjelasannya ketentuan tersebut a, b,c,d, e dan f adalah untuk melindungi hak asasi manusia dalam masalah ekstradisi. Dan yang dimaksud dengan kejahatan


(45)

militer dalam pasal tersebut adalah kejahatan menurut hukum pidana tentara (KUHPT) tetapi bukan kejahatan yang diatur didalam Kitab Undang-undang Huku m Pidana Umum (KUHP).

Selanjutnya dalam pasal 33 ditentukan bahwa dari hasil pemeriksaan tersebut pada pasal 32 pengadilan menetapkan dapat atau tidaknya orang tersebut diekstradisikan (ayat 1). Penetapan tersebut disertai surat-suratnya yang berhubungan dengan perkara itu segera diserahkan kepada Menteri Kehakiman untuk dipakai sebagai bahan pertimbangan penyelesaian lebih lanjut (ayat 2). Penetapan yang dimaksud disini adalah merupakan bentuk dari apa yang dinyatakan oleh pengadilan, sedang isinya adalah berupa pernyataan dan atau pendapat. Yang dimaksud dengan perkara dalam pasal ini adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan permintaan ekstradisi. Demikianlah penjelasan pasal tersebut.

Seseorang yang ditahan dalam rangka pemeriksaan untuk ekstradisi akan dikeluarkan dari tahanan apabila ada perintah dari pengadilan, atau penahanan itu sudah berlangsung selama tiga puluh hari, atau permintaan ekstradisi ditolak oleh Presiden. Sebaliknya jangka waktu penahanan tersebut dapat diperpanjang dengan tigapuluh hari.

C.4. Pencabutan dan Perpanjangan Penahanan

Untuk jelasnya, akan kita perhatikan di dalam Bab VI pasal 34 dan 35 yang mengatur tentang pencabutan dan perpanjangan penahanan.


(46)

Menurut pasal 34, penahanan yang diperintahkan berdasarkan pasal 25 dicabut, jika :

a. Diperintahkan oleh pengadilan;

b. Sudah berjalan selama tiga puluh hari kecuali jika diperpanjang oleh

pengadilan atas permintaan jaksa;

c. Permintaan ekstradisi ditolak oleh Presiden;

Selanjutnya ditentukan dalam pasal 35 bahwa jangka waktu penahanan yang dimaksud dalam pasal 34 huruf b setiap kali dapat diperpanjang dengan tiga puluh hari (ayat 1). Kemudian dalam ayat (2) ditentukan bahwa perpanjangan hanya dapat dilakukan dalam hal :

a. Belum adanya penetapan pengadilan mengenai permintaan ekstradisi;

b. Diperlukan keterangan dari Menteri Kehakiman seperti dimaksud dalam pasal

36 ayat (3);

c. Ekstradisi diminta pula oleh negara lain dan Presiden belum memberi

keputusannya;

d. Permintaan ekstradisi sudah dikabulkan, tetapi belum dapat dilaksanakan.

Demikianlah ketentuan mengenai pencabutan dan perpanjangan penahanan yang terdapat dalam Bab VI pasal 34 dan 35.

D. Beberapa Asas Ekstradisi

Setelah kita mengetahui tentang pengertian dan ruang lingkup dari ekstradisi, perlu diperhatikan pula adanya asas penting di bidang ekstradisi seperti


(47)

yang dimuat dalam Bab II Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi. Untuk jelasnya asas-asas umum tersebut akan diuraikan di bawah ini :

i. Asas Kejahatan Rangkap (Double Criminality), adalah asas bahwa

perbuatan yang dilakukan baik oleh negara peminta maupun negara yang diminta dianggap sebagai kejahatan. Asas ini dapat dilihat dalam pasal 4 ayat 1 yang menyatakan bahwa ekstradisi dilakukan terhadap kejahatan yang tersebut dalam daftar kejahatan terlampir sebagai suatu naskah yang tidak terpisahkan dari undang ini. Dengan demikian berdasarkan undang-undang No. 1 tahun 1979 maka tidak semua kejahatan pelakunya dapat diekstradisikan, tetapi terbatas pada kejahatan yang daftarnya terlampir dalam undang-undang tersebut.

ii. Asas jika suatu kejahatan tertentu oleh negara yang diminta dianggap

sebagai suatu kejahatan politik maka permintaan ekstradisi ditolak. Asas ini tercantum dalam pasal 5 ayat 1 yang menyatakan bahwa ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa kejahatan yang pada hakekatnya lebih merupakan kejahatan biasa daripada kejahatan politik, tidak dianggap sebagai kejahatan politik. Kemudian dalam ayat 3 diutarakan bahwa terhadap beberapa jenis kejahatan politik tertentu pelakunya dapat juga diekstradisikan sepanjang diperjanjikan antara negara Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan. Perlu kiranya dijelaskan bahwa tidak diserahkannya pelaku kejahatan politik berhubungan dengan hak negara untuk memberi suaka politik kepada pelarian politik. Karena pengertian kejahatan politik itu adalah terlalu luas


(48)

maka diadakan pembatasan seperti yang dimaksud dalam pasal 5 ayat 2. kejahatan yang diatur dalam ayat 4 sebetulnya merupakan kejahatan politik yang murni tetapi karena kejahatan tersebut dianggap sangat dapat menggoyahkan masyarakat dan negara maka untuk kepentingan ekstradisi, pembunuh atau percobaan pembunuhan terhadap kepala negara atau anggota keluarganya tidak dianggap sebagai kejahatan politik.

iii. Asas bahwa negara yang diminta mempunyai hak untuk tidak menyerahkan

warga negaranya sendiri, seperti yang dimuat dalam pasal 7 ayat 1. demi kepentingan perlindungan warga negara sendiri maka dainggap lebih baik, apabila yang bersangkutan diadili di negaranya sendiri. Walaupun demikian ada kemungkinan bahwa orang tersebut akan lebih baik diadili di negara lain (di negara peminta) mengingat pertimbangan-pertimbangan demi kepentingan negara, hukum dan keadilan, seperti yang dirumuskan dalam pasal 7 ayat 2. adapun pelaksanaan penyerahan tersebut didasarkan pada asas timbal balik (resiprositas). Banyak negara di dunia yang menganut bahwa warga-negara sendiri tidak diserahkan, misalnya Perancis, Jerman, Yugoslavia, Belanda, Malaysia, Philippina dan Thailand.

iv. Asas bahwa suatu kejahatan yang telah dilakukan seluruhnya atau sebagian di wilayah yang termasuk atau dianggap termasuk dalam yuridiksi negara

yang diminta, maka negara ini dapat menolak permintaan ekstradisi (pasal 8).

v. Asas bahwa suatu permintaan ekstradisi dapat ditolak jika pejabat yang


(49)

pemeriksaan terhadap orang yang bersangkutan mengenai kejahatan yang dimintakan penyerahannya (pasal 9). Adapun yang dimaksud dengan pemeriksaan meliputi pemeriksaan pendahuluan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan.

vi. Asas bahwa apabila terhadap suatu kejahatan tertentu, suatu keputusan yang telah mempunyai kekuatan pasti telah dijatuhkan oleh pengadilan yang berwenang dari negara yang diminta, permintaan ekstradisi ditolak. Asas ini dimuat dalam pasal 10. ketentuan itu dimaksudkan untuk menjamin bahwa seseorang tidak akan diadili untuk kedua kalinya untuk kejahatan yang sama (ne bis in idem).

vii. Asas daluwarsa atau lewat waktu (description, lapse of time) bahwa

seseorang tidak diserahkan karena hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah daluwarsa. Asas ini dicantumkan pada pasal 12. makna dari daluwarsa ini adalah adanya suatu kepastian hukum bagi semua pihak. Perjanjian dan perundang-undangan nasional negara-negara mengenai ekstradisi hampir selalu mencantumkannya di dalam salah satu pasal ataupun ayatnya. Misalnya dapat ditujukan pada pasal VII (2) Perjanjian ekstradisi Indonesia-Philippina 1976. Tetapi ada juga perjanjian ekstradisi yang tidak dicantumkan daluwarsa ini, misalnya Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Malaysia dan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Thailand 1978.

viii. Asas bahwa seseorang yang diserahkan tidak akan dituntut, dipidana atau


(50)

diekstradisikan selain daripada untuk kejahatan untuk mana ia diserahkan, kecuali bila negara yang diminta untuk menyerahkan orang itu menyetujuinya. Asas ini dikenal dengan ”Principle of Speciality” atau asas kekhususan (pasal 15).

Demikianlah delapan buah asas umum yang dikenal dibidang ekstradisi yang dimuat dalam Bab II pasal 4 ayat (1), 5, 7, 8, 9 , 10, 12 dan pasal 15.


(51)

BAB III

PERJANJIAN DAN PERUNDANG-UNDANGAN ESKTRADISI

A. Perjanjian Internasional Tentang Ekstradisi

Ketidak seragaman praktek negara-negara dalam hal kesediaan untuk menyerahkan orang yang diminta seperti diuraikan diatas, menimbulkan ketidakpastian bagi negara-negara yang berkepentingan maupun bagi orang yang diminta itu sendiri. Sebab pada suatu saat yang bersamaan atau berbeda, suatu negara pada satu pihak mungkin akan berhadapan dengan negara yang bersedia menyerahkan orang yang diminta pada pihak lain akan berhadapan dengan negara yang tidak bersedia menyerahkan orang yang diminta, apabila sebelumnya tidak ada perjanjian ekstradisi dengan negara yang bersangkutan. Untuk mencegah ketidakpastian itu demi terwujudnya kepastian bagi semua pihak dapat dilakukan dengan mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi. Sebagaimana perjanjian pada umumnya, ada yang bilateral dan multilateral. Perjanjian ekstradisi bilateral biasanya diadakan antara negara-negara dimana frekuensi orang atau pelaku kejahatan yang melarikan diri kedalam wilayah masing-masing pihak cukup banyak jumlahnya, atau negara-negara yang secara geografis berdekatan letaknya. Beberapa contoh perjanjian ekstrasidi bilateral adalah :

1. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Malaysia, tahun 1974. Republik

Indonesia telah meratifikasi dan mengundangkannya dengan Undang-undang No. 9 tahun 1974 (LNRI No. 63/1974 No. 3044).


(52)

2. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Philippina, tahun 1976. Diratifikasi dan diundangkan oleh RI dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1976 (LNRI No. 38/1976, TLNRI No. 3087).

3. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Thailand, tahun 1978. diratifikasi dan oleh Indonesia diundangkan dengan Undang-Undang No. 12/1978, TLNRI No. 3117).

4. Perjanjian Ekstradisi antara Polandia dan Chekoslowakia, tahun 1961. 5. Perjanjian Ekstradisi antara Austria dan Israel, 1961.

6. Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Australia, tahun 1994.

Perjanjian ekstradisi bilateral hanya menjamin kepastian hukum bagi pihak-pihak yang bersangkutan saja, sedangkan dengan negara-negara lain dimana belum diadakan perjanjian itu masih tetap belum terjamin kepastian.

Membuat perjanjian ekstradisi secara bilateral sebenarnya kurang efisien, sebab setiap akan membuat perjanjian itu wakil-wakil para pihak harus terlebih dahulu mengadakan perundingan-perundingan yang memakan waktu dan tenaga yang cukup lama. Sedangkan masalah ekstradisi ini kadang-kadang melibatkan kepentingan lebih dari dua negara. Terdorong oleh pertimbangan efisiensi bagi beberapa negara terutama negara-negara yang mempunyai persamaan sejarah dan ideologi seperti negara-negara ASEAN misalnya, kemungkinan akan lebih baik jika perjanjian ekstradisi tersebut diadakan secara multilateral. Beberapa contoh perjanjian multilateral yang telah ada, misalnya :

1. Perjanjian Ekstradisi Liga Arab (The Arab League Extradition Agreement), 14 September 1952.


(53)

2. Konvensi Ekstradisi negara-negara Eropa ( The European Extradition Convention ), 13 Desember 1957.

3. Konvensi antara negara-negara Benelux, antara Belgia, Nethetland dan Luxemburg ( The Benelux Extradition Convention ), 27 Juni 1962.

Negara-negara yang sudah terikat dalam perjanjian ekstradisi multilateral tetap dapat melakukan perjanjian ekstradisi dengan sesama negara yang juga terikat dalam perjanjian ekstradisi tersebut, ataupun sebaliknya. Misalnya Malaysia, Thailand, Philipina yang telah memiliki perjanjian ekstradisi bilateral dengan Indonesia, masih dapat terikat dan tunduk pada perjanjian ekstradisi multilateral negara-negara ASEAN. Dengan perkataan lain, pejanjian ekstradisi bilateral masih tetap berlaku dan mengikat secara berdampingan dengan perjanjian ekstradisi multilateral, atau bersifat saling melengkapi. Jika terjadi pertentangan, maka perjanjian ekstradisi bilateral itulah yang harus diutamakan. Sebab perjanjian ekstradisi bilateral tersebut dapat dipandang sebagai lex specialis dan perjanjian ekstradisi yang multilateral sebagai lex generalis.

Hingga kini perjanjian ekstradisi multilateral antara negara-negara anggota ASEAN belum ada, yang telah ada adalah perjanjian-perjanjian bilateral antara Indonesia dengan Malaysia (1974), Philipina (1976), Thailand (1978).

Baik dalam perjanjian ekstradisi bilateral maupun multilateral, ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya dapat dibedakan ke dalam dua golongan besar :


(54)

pertama, Ketentuan-ketentuan dari perjanjian ekstradisi yang merupakan peraturan yang berdiri sendiri (selfstandige), artinya pokok masalahnya secara jelas dan tegas diatur dalam perjanjian itu sendiri.

Kedua, sebagian lainnya dan mungkin merupakan bagian yang paling besar, terdiri atas ketentuan-ketentuan yang bersifat menunjuk. Artinya, pengaturan dan penentuan selanjutnya mengenai hal yang disebutkan dalam perjanjian ekstradisi tersebut, diserahkan pada hukum nasional masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian ekstradisi tersebut.

B. Perundang-undangan Nasional Tentang Ekstradisi

Dewasa ini sebagian besar negara-negara, lebih-lebih negara yang sudah maju telah memiliki ungang-undang nasional tentang ekstradisi dan juga telah banyak mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi. Tetapi masih banyak juga terutama negara-negara sedang berkembang yang belum memiliki perjanjian maupun perundang-undangan nasional ekstradisi.

Pada dasarnya masalah ekstradisi dipandang sebagai bagian dari hukum Internasional tetapi peninjauan dan pembahasannya tidaklah mungkin hanya ditekankan pada segi hukum Internasional saja. Sebab ada hal-hal yang tidak mungkin diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menujuk pada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukan dan mengaturnya secara lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan


(55)

penahanan orang yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kedalam kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain-lainnya. Namun, hukum nasional yang sudah ada itu sendiri masih belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan ekstradisi ini. Oleh karena itu negara-negara juga memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur tentang ekstradisi, disamping mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara lain.

Kesempurnaan suatu perjanjian khususnya perjanjian internasional tentang ekstradisi, sangat membantu negara yang bersangkutan dalam menyusun undang-undang ekstradisi nasional, sebab undang-undang-undang-undang ekstradisi sebagian mengadopsi atau meresepsi azas-azas yang terkandung salam perjanjian-perjanjian ekstradisi. Dalam hal ini haruslah dipegang suatu prinsip, bahwa semakin sempurna atau lengkap perjanjian-perjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi itu disusun, akan semakin sedikit persoalan-persoalan yang timbul.24

Ekstradisi memiliki arti dan peranan yang penting bagi masyarakat internasional dalam usaha mereka mencegah dan memberantas kejahatan melalui

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa betapa erat hubungannya antara perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan hukum nasional suatu negara khususnya hukum nasional para pihak yang mengadakan perjanjian. Hubungan erat tersebut terutama dengan hukum pidana dan undang-undang ekstradisi dari negara yang bersangkutan.

24


(56)

kerjasama internasional. Ekstadisi merupakan jembatan yang menghubungkan dua negara atau lebih dalam menghadapi pelaku-pelaku tindak pidana yang menyangkut kepentingan dari dua negara atau lebih. Oleh karena itu perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga atau dengan negara lainnya, merupakan suatu kebutuhan yang cukup mendesak. Perjanjian ekstradisi, sebagian besar isinya terdiri dari ketentuan-ketentuan yang bersifat menunjuk yaitu menunjuk pada hukum nasional mengenai masalah tertentu. Dengan demikian, pembentukan hukum yang bersifat nasional pun terutama mengenai masalah yang berhubungan erat dengan ekstradisi itu sendiri juga sangat penting untuk diperhatikan.

Demikian pula bagi para ahli hukum terutama yang bergerak dalam lapangan praktek seperti hakim, jaksa, pengacara/advokat dan polisi, sudah selayaknya juga memahami tentang ekstradisi sebab ekstradisi sebagian merupakan hukum nasional khususnya berhubungan erat dengan hukum pidana.

Didalam praktek, setiap negara dapat mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain walaupun negara itu sendiri belum memiliki undang-undang ekstradisi nasional. Demikian juga sebaliknya, setiap negara dapat saja membuat undang-undang ekstradisi nasional walaupun belum pernah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan negara lain. Perjanjian-perjanjian ekstradisi yang telah lebih dahulu diadakan akan menjadi batasan-batasan yang harus diperhatikan dalam mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi pada masa-masa yang akan datang. Hal ini dimaksudkan supaya tidak timbul pertentangan antara ketentuan-ketentuan perjanjian ekstradisi dengan yang terdapat dalam


(1)

Kejahatan yang diatur dalam ayat(4) itu sebetulnya merupakan suatu kejahatan politik yang murni, tetapi karena kejahatan tersebut dianggap sangat dapat menggoyahkan masyarakat dan negara, maka untuk kepentingan ekstradisi dianggap tidak merupakan kejahatan politik. Hal ini merupakan "Attentat-clause" yang dianut pula oleh Indonesia.

Pasal 6 Cukup jelas Pasal 7

Demi kepentingan perlindungan warganegara sendiri maka dianggap lebih baik, apabila yang bersangkutan diadili dinegaranya sendiri. Walaupun demikian ada kemungkinan bahwa orang tersebut akan lebih baik diadili di Negara lain (di negara peminta) mengingat pertimbangan-pertimbangan demi kepentingan negara, hukum dan keadilan. Pelaksanaan penyerahan tersebut didasarkan pada azas timbal balik (resiprositas). Pasal 8

Cukup jelas. Pasal 9

Yang dimaksud dengan diproses dalam pasal ini ialah dimulai dari tingkat pemeriksaan pendahuluan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan.

Pasal 10

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa seseorang tidak akan diadili untuk kedua kalinya untuk kejahatan yang sama (ne bis in idem).

Pasal 11

Yang dimaksud dengan negara lain adalah negara ketiga. Pasal 12

Cukup jelas. Pasal 13

Meskipun hukum di negara Republik Indonesia masih mengenal pidana mati dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidananya namun pelaksanaannya jarang sekali dilakukan. Oleh karena itu apabila kejahatan tersebut diancam dengan pidana mati di negara peminta, sedangkan di Indonesia tidak, dirasakan lebih adil apabila orang yang diminta tidak diekstradisikan.

Pasal 14

Azas ini menjamin hak-hak kebebasan manusia untuk menganut agama dan politik, selain itu juga menghapus perbedaan kewarganegaraan, suku bangsa, dan golongan penduduk.


(2)

Pasal 15

Pasal ini menganut azas kekhususan (rule of speciality) bahwa orang yang diminta hanya akan diadili atas kejahatan yang diminta ekstradisinya, kecuali ditentukan lain oleh negara yang diminta.

Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1)

Yang dimaksud dengan alasan mendesak ialah misalnya orang yang dicari tersebut dikhawatirkan akan melarikan diri.

Ayat (2) Cukup jelas Pasal 19 Ayat (1)

INTERPOL Indonesia adalah Badan Kerjasama Kepolisian Internasional untuk Indonesia yang dibentuk dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 245/PM/1954, tanggal 5 Oktober 1954. Sedang yang dimaksud dengan telegram khusus adalah telegram yang jelas diketahui identitas dari pengirim telegram.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21

Waktu yang dianggap cukup akan ditentukan dalam perjanjian dengan sesuatu negara.

Pasal 22 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)


(3)

Surat-surat dan keterangan yang dimaksudkan oleh ayat-ayat ini adalah untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan bukti tertulis ialah dokumen-dokumen yang erat hubungannya dengan kejahatan tersebut, misalnya surat hak milik, atau apabila bukti-bukti tersebut berupa alat, benda atau senjata, cukup dengan foto-foto dari barang-barang tersebut atau apa yang dinamakan "copie collatione". Hal ini mengingat bahwa pemeriksaan oleh Pengadilan dalam hal ekstradisi ini hanya untuk menetapkan apakah orang-orang tersebut berdasarkan bukti-bukti yang ada, dapat diajukan ke Pengadilan, tidak memutuskan salah atau tidaknya orang tersebut.

Pasal 23

Kesempatan untuk melengkapi surat-surat tersebut yang diminta oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia diberikan dalam waktu yang dipandang cukup mengingat jarak dan luasnya negara yang minta ekstradisi. Maka untuk pembatasan waktu dapat ditentukan dalam perjanjian yang diadakan antara Republik Indonesia dengan negara yang meminta ekstradisi.

Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 27

Jangka waktu 7 (tujuh) hari dianggap cukup untuk pemeriksaan yang diperlukan oleh Kejaksaan.

Pasal 28

Perkara ekstradisi didahulukan mengingat bahwa pemeriksaan di Pengadilan tidak dilakukan seperti Pengadilan biasa.

Pasal 29

Penentuan minimum jangka waktu 3 (tiga) hari adalah dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada orang yang bersangkutan untuk mengadakan persiapan-persiapan seperlunya.

Pasal 30 Cukup jelas


(4)

Pasal 31 Ayat (1)

Maksud dari ayat ini adalah untuk menunjukkan adanya azas peradilan yang bebas.

Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32

Sub a, 6, c, d, e, dan f adalah untuk melindungi hak azasi manusia dalam masalah ekstradisi.

Yang dimaksud dengan kejahatan militer dalam pasal ini adalah kejahatan menurut hukum pidana tentara (KUHPT) tetapi bukan kejahatan yang diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Umum (KUHP).

Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)

Penetapan yang dimaksud di sini adalah merupakan bentuk dari apa yang dinyatakan oleh Pengadilan, sedang isinya adalah merupakan pernyataan dan atau pendapat.

Yang dimaksud dengan perkara dalam pasal ini adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan permintaan ekstradisi.

Pasal 34

b. Penahanan selama 30 (tiga puluh) hari yang dimaksud dalam sub b meliputi penahanan oleh Kepolisian Republik Indonesia dan penahanan oleh Kejaksaan sesuai dengan Hukum Acara Pidana Indonesia.

Apabila diperlukan, Jaksa dapat meminta perpanjangan kepada Pengadilan. Hal ini merupakan pengecualian dari Hukum Acara Pidana (lex specialis), mengingat bahwa masalah ekstradisi harus diselesaikan dengan cepat.

Pasal 35 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1)

Dalam memutuskan untuk mengabulkan atau menolak permohonan, Presiden mendapat pertimbangan-pertimbangan dari pejabat-pejabat yang tersebut dalam ayat ini, satu dan lain menurut kepentingannya.

Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)


(5)

Mengenai waktu yang dianggap cukup penjelasannya sama dengan penjelasan Pasal 23.

Ayat (4)

Mengingat batas waktu yang sangat ketat dalam permintaan suatu ekstradisi, maka Keputusan Presiden tersebut diambil dalam waktu yang singkat.

Pasal 37

Demi kepentingan keadilan maka untuk penyerahan seseorang yang diminta perlu diperhatikan syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam pasal ini sub a sampai dengan e.

Pasal 38

Mengingat hubungan diplomatik dengan negara peminta, maka Menteri Luar Negeri Republik Indonesia diberitahukan mengenai Keputusan Presiden tersebut. Demikian juga Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia diberitahukan mengenai Keputusan Presiden dimaksud, mengingat instansi Kejaksaan dan Kepolisian sejak semula telah terlibat dalam masalah tersebut, yaitu dalam proses penahanan dan pemeriksaan selanjutnya atas orang yang diminta untuk diekstrasikan.

Pasal 39

Menteri Luar Negeri Republik Indonesia perlu diminta pertimbangannya dalam hal tidak ada perjanjian ekstradisi, karena masalah ekstradisi tanpa adanya perjanjian terlebih dahulu perlu didasarkan atas hubungan timbal balik antara negara-negara yang bersangkutan.

Pasal 40 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)

Ketentuan-ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak azasi orang yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan kejahatan yang sama dalam ayat ini adalah kejahatan yang dimintakan ekstradisinya dalam ayat-ayat sebelumnya. Waktu 30 (tiga puluh) hari dalam ayat ini adalah waktu yang dimaksud dalam ayat (2). Pasal 41

Cukup jelas. Pasal 42 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.


(6)

Pasal 43 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas.

Pasal 44

Pasal ini mengatur permintaan penyerahan kepada negara asing atas seorang yang disangka melakukan kejahatan yang terhadapnya Negara Republik Indonesia mempunyai wewenang mengadili menurut ketentuan berlakunya Hukum Pidana Indonesia atau untuk menjalani pidana yang dijatuhkan kepadanya oleh Pengadilan di Indonesia. Yang dimaksud dengan negara asing dalam pasal ini termasuk juga tempat-tempat yang dianggap sebagai wilayah negara asing tersebut (lihat selanjutnya penjelasan Pasal 1).

Pasal 45 Cukup jelas Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47

Perjanjian-perjanjian ekstradisi yang dimaksud dalam pasal ini ialah perjanjian-perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Malaysia, antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Philippina, dan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah Kerajaan Thailand.

Pasal 48 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3130