Window of Health : Jurnal Kesehatan, Vol. 1 No. 2 (April, 2018) E-ISSN 2614-5375

ARTIKEL RISET

URL artikel: http://jurnal.fkmumi.ac.id/index.php/woh/article/view/woh1201

Faktor Risiko Kejadian Katarak Pada Pasien Pria Usia 40-55 Tahun Dirumah Sakit Pertamina Balikpapan

K Andi Dewi Sari 1 , Masriadi 2 , Arman 3

1 Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muslim Indonesia

2 Departemen Epodemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, STIK Tamalatea

3 Departemen Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muslim Indonesia Email Penulis Korespondensi ( K ): andidewisari24@gmail.com

ABSTRAK

Katarak terjdi akibat kekeruhan pada lensa mata yang mengakibatkan tergantungnya cahaya masuk ke dalam bola mata, sehingga penglihatan menjadi kabur dan lama kelamaan dapat menyebabkan kebutaan. Salah satu penyebab kebutaan terbanyak di seluruh dunia adalah katarak. Peningkatan kasus kejadian katarak terjadi di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan selama 3 bulan terakhir pada bulan Januari hingga Maret yaitu 142 kasus, 173 kasus dan 188 kasus. Kejadian katarak berhubungan dengan penyebab diabetes mellitus, status ekonomi, kebiasaan merokok, pekerjaan terpapar UV, dan kebiasaan konsumsi protein. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis besarnya faktor risiko dengan kejadian katarak pada pasien pria usia 40-55 tahun di rumah sakit pertamina Balikpapan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi observasional analitik dengan desain case control study. Sampel pada penelitian ini terdiri dari kasus dan control dengan menggunakan metode Purposive Sampling, sampel kasus yakni pasien pria usia 40-55 katarak yang berobat maupun screening di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan Tahun 2017. Sampel kontrol penelitian ini adalah pasien pria usia 40-55 yang tidak menderita katarak yang berobat maupun screening di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan Tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diabetes mellitus (OR=4.419;95%Cl:1,991-9,809), Status ekonomi (OR=2.852;95%Cl:1,346-6,042), Kebiasaan merokok (OR=3,850; 95%Cl:1,785-8,304), Pekerjaan terpapar UV (OR=3.217; 95%Cl:1.523-6.795) merupakan faktor risiko terhadap kejadian Katarak. Sedangkan Konsumsi protein (OR=0.110; 95%Cl:0,046-0,264) merupakan faktor protektif kejadian katarak. Berdasarkan analisis multivariat menemukan bahwa Faktor risiko yang paling berpengaruh yaitu diabetes mellitus (p = 0,000) dan pekerjaan terpapar UV (p =0,001) terhadap kejadian katarak.

Kata Kunci: DM, Merokok, Terpapar UV, Katarak

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Katarak merupakan kelainan lensa mata yang keruh di dalam bola mata Katarak terjadi akibat kekeruhan pada lensa mata yang mengakibatkan tergantungnya cahaya masuk ke dalam bola mata, sehingga penglihatan menjadi kabur dan lama kelamaan dapat menyebabkan kebutaan (Ilyas S, 2014). Pada tahun 1990 katarak menjadi penyebab paling dominan terjadinya kebutaan di dunia. Sampai tahun 2010, katarak tetap menjadi penyebab utama terjadinya kebutaan di 16 negara dan menjadi penyebab kebutaan kedua di lima Negara (Khairallah dkk., 2015).

Di Indonesia, perkiraan insiden katarak adalah 0.1%/tahun artinya setiap tahun terdapat seorang penderita katarak baru diantara 1000 orang. Sekitar 16-22% penderita katarak yang dioperasi berusia di bawah

55 tahun (Laila, 2017). Peningkatan kasus kejadian katarak terjadi di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan selama

3 bulan terakhir pada bulan Januari hingga Maret yaitu 142 kasus, 173 kasus dan 188 kasus dan paling banyak pada laki-laki serta pada umur 40 tahun keatas (Rumah Sakit Pertamina Balikpapan, 2017).

Mirawati (2016) di Poli Mata RSUD DR. M. Yunus Bengkulu bahwa riwayat diabetes mellitus signifikan secara statistik dengan nilai p value = 0,000 (p<0,05) Ulandari, Tri (2014) yang menemukan bahwa pekerjaan merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian katarak (p=0,014 dan OR = 13). Hadani (2016) responden dengan risiko tinggi merokok lebih berisiko 2,771 kali lebih besar menderita katarak senilis dibandingkan dengan responden yang tidak merokok. Penelitian yang dilakukan oleh (Ulandari Tri, 2014) menunjukkan adanya hubungan antara pekerjaan di luar ruangan yang terpapar UV dengan kejadian katarak. Penelitian di Taizhou Cina menyatakan bahwa kegiatan di luar ruangan, dimana terpapar sinar UV-B dengan intensitas waktu yang lama merupakan faktor risiko untuk terjadinya katarak (Tang Yating, Ji Ying hong, et al., 2015). Kurangnya asupan vitamin dan asam folat sebagai antioksidan tentunya dapat meningkatkan risiko terjadinya katarak (Laila, 2017)

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis factor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian katarak pada pria usia 40-55 tahun di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan Tahun 2017

METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Poli Mata Rumah Sakit Pertamina Balikpapan. Penelitian dilakukan mulai Oktober – November 2017.

Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan desain case control study. Penelitian ini menggunakan dua kelompok yaitu kelompok kasus dan kelompok control. Kelompok kasus adalah kelompok yang menderita Katarak. Sedangkan kelompok kontrol adalah mereka yang tidak menderita katarak.

Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah pria yang berobat di poli mata Rumah sakit pertamina Balikpapan. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 120 orang terdisi dari 60 kelompok kasus dan sebanyak 60 orang pada kelompok control. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan metode teknik Purposive sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu yaitu kriteria pemilihan (kriteria inklusi dan eksklusi sebagai subyek penelitian) sebagai berikut:

a. Kelompok Kasus dengan kriteria Laki-laki berusia 40 – 55 tahun, Didiagnosis sebagai penderita katarak oleh dokter maupun pada buku register, Bersedia menjadi responden selama penelitian berlangsung dan menandatangani informed consent.

b. Kriteria eksklusi dengan kritiria Jenis Kelamin yaitu Wanita, Usia selain 40 – 55 Tahun, Tidak didiagnosis sebagai penderita katarak oleh dokter maupun pada buku register

Analisis Data

Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis bivariat dilakukan dengan uji Odd Ratio yang digunakan untuk besarnya faktor risiko terhadap kejadian katarak dan analisis multivariat, digunakan untuk mengetahui pengaruh paparan secara bersama-sama dari beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian katarak

HASIL

Tabel 1. Faktor Risiko kejadian katarak pada Pasien Pria Usia 40-55 Tahun di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan Tahun 2017

OR Variabel

Katarak

Katarak

Tidak Katarak

Total (UU-UL)

Diabetes Mellitus

33 55 13 21.77 46 38.3 4.419 Tidak DM

DM

27 45 47 8.3 74 61.7 (1.991-9.809)

Status Ekonomi

35 58.3 16 26.7 51 42.5 3.85 Tidak Merokok

Merokok

25 41.7 44 73.3 69 57.5 (1.785-8.304)

Pekerjaan Terpapar UV

40 66.7 23 38.3 63 52.5 3.217 Risiko Rendah

Risiko Tinggi

20 33.3 37 61.7 57 47.5 (1.523-6.795)

Konsumsi Protein

9 19.6 37 80.4 46 100 0.11 Risiko Rendah

Risiko Tinggi

51 68.9 23 31.1 74 100 (0.046-0.264)

Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa orang yang menderita DM berisiko 4.419 kali menderita katarak dibandingkan yang tidak menderita DM. Orang dengan status ekonominya rendah berisiko 2.852 kali mengalami katarak dibandingkan dengan ekonominya tinggi. Orang yang merokok berisiko 3.85 kali mengalami katarak dibandingkan dengan yang tidak merokok. Orang yang pekerjaannya terpapar dengan UV berisiko 3.217 kali mengalami katarak dibandingkan dengan pekerjaan yang tidak terpapar UV sedangkan orang yang konsumsi protein faktor protektif terjadinya katarak.

2. Analisis Multivariat

Tabel 2

Model Analisis Multivariate Regresi Logistik Kejadian Katarak pada Pasien Usia 40-55 Tahun di Rumah

Sakit Pertamina Balikpapan

95% C.I.for EXP(B) Variabel

B S.E.

Wald

df Sig.

Exp(B)

Lower Upper Tahap Pertama

Dabetes Mellitus

1.587 10.606 Status Ekonomi

0.697 4.420 Pekerjaan diluar

1.551 8.791 Ruangan Constant

Tahap Kedua

Dabetes Mellitus

0.843 4.821 Pekerjaan diluar

Tahap Ketiga

Dabetes Mellitus

2.355 13.690 Pekerjaan diluar

1.826 9.901 Ruangan

Constant

Tabel 2. Diabetes mellitus mempunyai nilai sig 0,000 < 0,05 dan dan OR 5,678 berarti diabetes mellitus memberikan pengaruh yang sangat besar dengan p=0,000, OR = 5,678 terhadap kejadian katarak pada pasien usia 40-55 tahun di Rumah Sakit Pertamina Balikpapan

PEMBAHASAN

1. Faktor Risiko Diabetes Mellitus

Hasil uji statistik untuk varibel riwayat diabetes mellitus diperoleh nilai OR sebesar 4.419 dan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) diperoleh nilai batas bawah sebesar 1.991 dan batas atas sebesar 9.809 dan nilai p = 0,001. Penelitian ini, ditemukan bahwa durasi menderita DM tertinggi adalah <1 tahun (61.7%), hal ini disebabkan karena sebagian besar penderita DM tidak mengetahui bahwa mereka menderita diabetes, mereka mengetahui bahwa mereka menderita diabetes melllitus setelah mereka cek kesehatan pada saat pemeriksaan katarak. Oleh karena itu kontrol gula darah sejak dini sangat baik guna mencegah komplikasi.

Proses terjadinya katarak pada penderita diabetes mellitus merupakan akibat peningkatan enzim aldose reductase yang yang mereduksi gula menjadi sorbitol, hal ini menyebabkan terjadinya perubahan osmotik sehingga serat lensa lama kelamaan akan menjadi keruh dan mengakibatkan katarak. Pengaruh klinis yang lama akan mengakibatkan terjadinya katarak lebih dari pada pasien diabetes dibandingkan dengan pasien non diabetes (Ulandari, 2014).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamidi M (2017) yang menemukan bahwa ada hubungan antara diabetes mellitus dengan kejadian katarak senilis di Poli Mata RSUD Bangkinang p= 0,007, dan Odds Rasio = 13,5, hal ini berarti responden yang menderita penyakit diabetes melitus berpeluang 13,5 kali mengalami katarak senilis. Hal ini Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mirawati (2016) di Poli Mata RSUD DR. M. Yunus Bengkulu tahun 2015 bahwa riwayat diabetes mellitus signifikan secara statistik dengan nilai p value = 0,000 (p<0,05).

Seseorang yang menderita diabetes melitus terjadi karena mengalami diabetes melitus yang tidak terkontrol. Akibat peningkatan dari gula darah dapat menyebabkan penumpukan zat-zat metabolik gula oleh sel-sel lensa mata, tekanan osmosis intraseluler meningkat dan terbentuklah katarak. Sedangkan responden yang menderita diabetes melitus tetapi tidak mengalami katarak disebabkan karena selalu mengotrol dan mempertahankan kadar gula darah dalam batas normal dan selalu mencheck-up kesehatan mata secara rutin, serta menderita diabetes melitus tapi baru beberapa bulan terakhir mengalami peningkatan gula darah (Hamidi, M, 2017).

2. Faktor Risiko Status Ekonomi

Hasil uji statistik untuk varibel status ekonomi diperoleh nilai OR sebesar 2.852 dengan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) diperoleh nilai batas bawah sebesar 1.346 dan batas atas sebesar 6.042 dan p value = 0.368 berarti status ekonomi merupakan faktor risiko yang berpengaruh namun tidak signifikan terhadap kejadian katarak. Pada penelitian ini sebagian besar masyarakat memiliki penghasilan >2.400.000 sebesar 57.5%. Hal ini dikarenakan sebagian besar responden adalah buruh dimana gaji buruh wajib sesuai dengan standar UMK di Balikpapan. Sebagian besar responden memiliki menanggung untuk kebutuhan keluar sebesar 65%. Berbicara perihal pengobatan, sebagian besar masyarakat masih belum mendapatkan informasi bahwa dengan adanya asuransi kesehatan pemerintah, masyarakat yang memiliki asuransi kesehatan tersebut dapat melakukan operasi katarak tanpa membayar yang mahal karena operasi katarak tersebut ditanggung oleh pemerintah di beberapa rumah sakit swasta di tanah air

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laila A (2017) yang menemukan bahwa. terdapat hubungan antara penghasilan dengan kejadian katarak. Seseorang yang berpenghasilan rendah memiliki risiko terkenana katarak 3.067 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang berpenghasilan tinggi. Hal ini sejalan dengan ppenelitian yang dilakukan oleh Hadini (2016) menemukan bahwa pendapatan yang rendah berisiko 2,252 kali untuk menderita katarak daripada yang memiliki pendapatan yang tinggi.

Pendapatan masyarakat pesisir yang rendah dikarenakan karena pada umumnya mereka menggantungkan hidupnya dari pemanfaatan sumberdaya laut dan pantai yang membutuhkan investasi besar, sehingga sebagian besar pekerjaan yang dilakukan ialah sebagai nelayan kecil, pedagang jalanan dan buruh. Nelayan kecil hanya mampu memanfaatkan sumberdaya di daerah pesisr dengan tangkapan yang cenderung terus menurun akibat persaingan dengan kapal besar (Laila, A, 2017).

Penderita katarak dari golongan ekonomi rendah tidak akan mampu mengobati penyakitnya ke rumah sakit atau klinik swasta. Jauhnya jarak dari sarana pelayanan kesehatan menyebabkan ongkos transportasi dan biaya untuk keluarga yang mengantar menjadi mahal. Biaya perawatan mata pasca operasi seperti Penderita katarak dari golongan ekonomi rendah tidak akan mampu mengobati penyakitnya ke rumah sakit atau klinik swasta. Jauhnya jarak dari sarana pelayanan kesehatan menyebabkan ongkos transportasi dan biaya untuk keluarga yang mengantar menjadi mahal. Biaya perawatan mata pasca operasi seperti

3. Faktor Risiko Kebiasaan Merokok

Hasil uji statistik untuk varibel kebiasaan merokok diperoleh nilai OR sebesar 3.850 dengan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) diperoleh nilai batas bawah sebesar 1.785 dan batas atas sebesar 8.304 dan p = 0.233 yang berarti kebiasaan merokok merupakan faktor risiko yang berpengaruh namun tidak signifikan terhadap kejadian katarak. Pada penelitian ini sebagian besar responden yang merokok mulai merokok pada usia 17 tahun sebesar 13,3%. Hal ini disebabkan karena usia 17 tahun merupakan usia perlihan menuju dewasa dan rawan terhadap pengaruh lingkungan. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa jumlah rokok yang dihisap paling banyak adalah 12 batang sehari sebesar 14,2%. Jenis rokok yang tertinggi adalah filter sebesar 21,7%. Dalam rokok terdapat Tembakau yang mengandung logam berat seperti kadmium, timah dan tembaga yang akan terakumulasi dan menyebabkan toksisitas langsung. Individu yang merokok 10 batang atau lebih dalam sehari mempunyai risiko 2 kali lebih banyak mengalami katarak.

Rokok berperan dalam pembentukan katarak melalui dua cara yaitu, pertama paparan asap rokok yang berasal dari tembakau dapat merusak membrane sel dan serat yang ada pada mata. Ke dua yaitu, merokok dapat menyebabkan antioksidan dan enzim-enzim di dalam tubuh mengalami gangguan sehingga dapat merusak mata (Ulandari, 2014). Merokok menyebabkan penumpukan molekul berpigmen 3- hydroxikhynurinine dan chomophores yang menyebabkan terjadinya penguningan warna lensa. Sianat dalam rokok juga menyebabkan terjadinya karbamilasi dan denaturasi protein.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamidi M (2017) yang menemukan bahwa ada hubungan merokok dengan kejadian katarak senilis di Poli Mata RSUD Bangkinang p value = 0,03 (p ≤0,05), dan Odds Rasio = 7,5 hal ini berarti responden yang merokok berpeluang 7,5 kali mengalami katarak senilis. Merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya katarak. Merokok dapat menginduksi stress oksidatif dan dihubungkan dengan penurunan kadar antioksidan, askorbat dan karotenoid yang secara terus-menerus akan mempercepat kerusakan protein lensa. Sedangkan responden yang merokok tetapi tidak terkena katarak, dari hasil wawancara bahwa penyebabnya karena usia responden (<50 tahun) dan faktor-faktor lainnya seperti pekerjaan responden sebagai pegawai PNS/Swasta.

Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laila A, 2017) yang menemukan bahwa seseorang yang memiliki kebiasaan merokok memiliki risiko terkena katarak 1.816 kali lebih tingi dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok tidak berpengaruh secara statistik dengan kejadian katarak (Laila A, 2017).

4. Faktor Risiko Perkerjaan Terpapar UV

Hasil uji statistik untuk varibel bekerja diluar ruangan diperoleh nilai OR sebesar 3.217 dan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) diperoleh nilai batas bawah sebesar 1.523 dan batas atas sebesar 6.795 berarti bekerja diluar ruangan berisiko 3.217 terhadap kejadian katarak. Pada penelitian ini, pekerjaan yang paling banyak menderita katarak adalah buruh sebesar 27,5%. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar wilayah Kalimantan adalah dearah pertambangan, baik pertambangan minyak maupun pertambangan batu bara. Terdapat banyak buruh lepas yang bekerja di pertambangan diwilayah Balikpapan dan sekitarnya. Sebagian besar responden yang tidak menggunakan alat pelindung diri sebesar 61,7%. Hal ini disebabkan karena mereka menganggap remeh aktifitas diluar ruangan dengan tidak menggunakan kacamata hitam. Mereka hanya menggunakan jaket ketika keluar rumah. Selain itu, sebagian besar buruh menggunakan alat pelindung diri berupa kecamata safety berwarna putih yang bukan anti UV.

Sinar ultraviolet dari matahari diserap oleh protein lensa terutama asam amino aromatic, yaitu tirptofan, fenil-alamin dan tirosin sehingga menimbulkan reaksi dan menghasilkan fragmen molekul yang disebut radikal bebas atau spesies oksigen yang bersifat sangat reaktif. Selanjutnya radikal bebas ini akan menimbulkan reaksi patologis dalam jaringan lensa dan senyawa toksis lainnya, sehingga terjadi reaksi oksidatif pada gugus sulfhidril protein. Reaksi oksidatif akan mengganggu struktur protein lensa sehingga cross link antar dan intra ptrotein dan menambah jumlah high molekul weight protein sehingga terjadi agregasi protein, yang selanjutnya menyebabkan kekeruhan lensa yang disebut katarak. Sehingga sinar ultraviolet dari matahari dapat mempercepat kekeruhan pada lensa mata, seseorang dengan aktivitas sehari- hari sering terpapar sinar ultraviolet meningkatkan faktor risiko katarak. Efek dari terpapar sinar matahari secara terus menerus dalam waktu yang lama akan menyebabkan keruhnya lensa mata, hal ini dapat menyebabkan katarak. Paparan sinar ultraviolet meningkatkan risiko terkena katarak, terutama jika mata tanpa pelindung terpapar sinar matahari cukup lam( Laila A, 2017).

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hamidi M (2017) yang menemukan bahwa hasil ada hubungan terpajan sinar ultraviolet yang lama dengan kejadian katarak senilis di Poli Mata RSUD Bangkinan g dengan p value 0,000 (≤ 0,05). dan Odds Rasio = 63 hal ini berarti responden yang terpajan sinar ultraviolet yang lama berpeluang 63 kali mengalami katarak senilis. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Laila A (2017) Hasil uji statistik menunjukkan bahwa seseorang yang bekerja di luar gedung memiliki risiko terkena katarak 2.908 kali lebih besar dibandingkan dengan yang bekerja di dalam gedung. Sehingga, dapat disimpulkan terdapat hubungan antara pekerjaan dengan kejadian katarak.

Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunaningsih (2017) yang menemukan bahwa p Tidak ada hubungan antara paparan sinar ultraviolet dengan kejadian katarak pada pasien di poli mata RSU Bahteramas Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2017, karena nilai p (0,077) > α (0,05) dengan nilai OR sebesar 2,182 dengan rentang nilai lower limit (batas bawah) OR= 0,996 dan upper limit(batas atas) OR = 4,779 pada interval kepercayaan (CI) = 95% mencakup nilai satu, maka besar risiko tersebut tidak bermakna. Radiasi bukan pengion yang dapat menimbulkan katarak adalah sinar ultraviolet. Radiasi UV ditimbulkan oleh gelombang panas yang berasal dari sumber energi yang mengeluarkan cahaya yang mengeluarkan cahaya yang berasal dari alam dan buatan. Sumber utama UV alam adalah matahari, yang difiltrasi oleh lapisan ozon pada atmosfir. Pajanan sinar dengan gelombang ultraviolet 300-400 nm berhubungan dengan terjadinya perubahan kimia dan fisik pada protein dan sel epitel lensa (Yunaningsih, 2017).

5. Faktor Risiko Konsumsi Protein

Hasil uji statistik untuk varibel bekerja diluar ruangan diperoleh nilai OR sebesar 0.110 dan tingkat kepercayaan 95% Confidence Interval (CI) diperoleh nilai batas bawah sebesar 0.046 dan batas atas sebesar 0.264 berarti konsumsi protein berisiko 0,110 (faktor protektif) kejadian katarak. Pada penelitian ini, sebagian besar responden mengkonsumsi setiap hari atau 2-3 kali seminggu makanan berprotein (60%). Makanan yang paling sering dikonsumsi adalah telur. Hal ini disebabkan karena telur merupakan lauk yang paling gampang ditemukan dan pengolahannya sangat mudah kemudian disusul oleh tahu dan tempe makanan berprotein yang sering dikonsumsi oleh sebagian besar responden. Pola konsumsi protein sebagian besar responden adalah rutin mengkonsumsi protein setiap hari atau 2-3 kali seminggu sehingga konsumsi protein merupakan faktor risiko protektif terhadap kejadian katarak.

Pola konsumsi protein nabati tidak setiap hari memberikan peluang untuk terjadinya katarak dibandingkan dengan reponden yang mengkonsumsi protein nabati setiap hari. Protein hewani dan nabati banyak mengandung riboflavin yang dapat menghambat katarak. Mekanisme pertahanan terhadap radikal bebas dilakukan oleh enzim yang terdapat dalam antioksidan seperti asam askorbat, alfa tokoferol dan betakaroten. Bahan makanan hewani merupakan protein yang baik, dalam jumlah maupun mutu, seperti daging, ikan, unggas, kerang, telur, susu dan produk olahannya. Sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasil olahannya seperti tempe dan tahu serta kacang-kacangan yang lain. Rendahnya penghasilan seseorang akan mempengaruhi status nutrisi seseorang. Tak hanya itu, rendahnya pendidikan seseorang berakhir dengan pekerjaan sebagai nelayan, buruh dan pedagang jalanan yang kegiatan sehari-harinya terkena dengan sinar matahari. Padahal status nutrisi dan sinar matahari memiliki hubungan yang signifakan dengan kejadian katarak. Kurangnya asupan vitamin dan asam folat sebagai antioksidan tentunya dapat meningkatkan risiko terjadinya.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspasari, M (2012) yang menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan kejadian katarak. Dan sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kusumaningtyas, E (2011) yang menemukan bahwa konsumsi protein tidak berpengaruh signifikan dengan kejadian katarak. Namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pujianto (2011) yang menemukan bahwa konsumsi protein (protein hewani dan nabati) 2-3 kali seminggu merupakan faktor risiko terhadap kejadian Katarak (OR = 7,0 ; CL : 2,3 – 20,4). Konsumsi antioksidan merupakan faktor risiko terhadap katarak OR=2,430 dengan rentang nilai LL 1,090 dan UL 5,417 pada interval kepercayaan (CI) 95% (Yunaningsih, 2017).

KESIMPULAN

Diabetes Mellitus dan Pekerjaan diluar ruangan merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh. Diharapkan masyarakat rutin memeriksakan kesehatan mata dan rutin mengontrol gula darah dan menggunakan topi dan kacamata pada saat keluar rumah dan menjaga pola makan terutama protein untuk mencegah terjadinya katarak. Selain itu pemerintah sebaiknya rutin melakukan screening mata minimal 6 bulan sekali diseluruh wilayah guna menjaring masyarakat untuk mencegah dan mengobati masyarakat yang menderita katarak .

DAFTAR PUSTAKA

Arimbi A. (2012). Faktor-faktor yang berhubungan dengan katarak degeneratif di RSUD Budhi Asih Tahun 2011. Skripsi dipublikasikan. FKMUI Jakarta. Hamidi, M. (2017). Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Katarak Senilis Pada Pasien Di Poli Mata RSUD Bangkinang. Vol 1, No 1, April 2017 Hadini, MA, (2016). Analisis faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian katarak Senilis di RSU Bahteras Tahun 2016. Volume 3 Nomor 2 Bulan April 2016. Ilyas S. (2014). Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Cetakan kedua. Jakarta. Infodatin, Kemenkes RI. (2014). Situasi Gangguan Penglihatan dan Kebutaan. (Online) Available atwww.depkes.go.id/download.php?file=download/.../infodatin/infodatinpenglihatan. Diakses 25 Maret 2017

Khairallah, M., Kahloun, R., Bourne, R.., Limburg, H., Flaxman, S.R., Jonas, J.B., dkk. (2015). Number of People Blind or Visually Impaired by Cataract Worldwide and in World regions, 1990 to 2010. The Association for Research in Vision and Ophtalmology.

Kusumaningtyas, E. (2011). Pengaruh Status Gizi, Kebiasaan Merokok, dan Paparan Sinar Ultraviolet Terhadap Kejadian Katarak Senilis (Studi Kasus Di Poli Mata RSD Dr. Soebandi Jember Laila, A. (2017). Analisis Faktor-Faktor Risiko Kejadian Katarak di Daerah Pesisir Kendari. RSUP Bahteramas. Volume 4 Nomor 2 Bulan April 2017. Vol 1, No 1, April 2017 Mirawati. (2016). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian katarak di Poli Mata RSUD DR. M. Yunus Bengkulu Tahun 2015. Journal of Nursing and Public Health. Mo'otapu, et al. (2015). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit katarak di Poli Mata

RSUP Prof Dr.RD Kandou Manado.e-journal Keperawatan, Volume 3 Nomor 2 September 2015. Puspasari, Monika, (2012). Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian katarak diwilayah kerja Puskesmas Lapai Tahun 2012. Radhakrishnan, dkk., (2015). Economic and social factors that households not willing to undergo cataract surgery Vol.63 Issue:7 Page 594-599 Tang Yating, Ji Ying hong, et al. (2015). The Association of Outdood Activity and Age-Related Cataract in a rural

1 Report. PLOS ONE. DOI:10.1371/Journal.pone.0135870, Agustust 18, 2015 Ulandari Tri. (2014). Pengaruh Pekerjaan Dan Pendidikan Terhadap Terjadinya Katarak Pada Pasien rawat jalan yang berobat di Balai Kesehatan Mata Masyarakat Nusa Tenggara Barat. Yunaningsih, Ayu. (2017). Analisis Faktor Risiko Kebiasaanmerokok, Paparan Sinar Ultraviolet Dan Konsumsi Antioksidan terhadap Kejadian Katarak Di Poli Mata Rumah Sakit Umum Bahteramas

Popultion

of

Taizhou

Eye

Study:

Phase

ARTIKEL RISET

URL artikel: http://jurnal.fkmumi.ac.id/index.php/woh/article/view/woh1202

Analisis Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan dalam Ruangan Administrasi Gedung Menara UMI Makassar

K Isharyadi Putra¹, Muhammad Ikhtiar², Andi Emelda³

1 Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat, Program Pascasarjana UMI ²Prodi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI

³Fakultas Farmasi, UMI Email Penulis Korespondensi ( K ): IsharyadiP@gmail.com

ABSTRAK

Ruang Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia merupakan ruangan tertutup dan menggunakan sistem pengaturan udara dengan Air Conditioner (AC) untuk mengurangi panas udara di dalam ruang kerja. Kondisi gedung dan ruang kerja dengan ventilasi tertutup, furnitur dan bahan bangunan yang bervariasi, serta aktifitas perkantoran di ruangan tersebut yang cukup padat serta keberadaan alat-alat perkantoran dalam ruangan dapat memicu timbulnya kontaminan mikrobiologis pada udara dalam ruang. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kualitas mikroorganisme udara dalam ruang adsministrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia. Dalam hal ini jumlah angka kuman berupa bakteri dan jamur di udara terhadap gangguan kesehatan dalam ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia. Desain penelitian ini adalah cross-sectional dengan penentuan sampel menggunakan teknik total sampling. Sampel objek dalam penelitian ini berjumlah enam ruangan, sedangkan sampel subjek dalam penelitian ini adalah sebanyak 37 responden. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji statistik chi square. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara suhu ruang dengan angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan, dengan nilai p-value 0.001 (0.001<0.05). Terdapat hubungan antara kelembaban ruang dengan angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan dengan nilai p-value 0.001 (0.001<0.05), tidak ada hubungan antara pencahayaan ruang dengan angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan dengan nilai p-value 0.156 (0.156>0.05), ada hubungan antara angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan dengan nilai p-value 0.001 (0.001<0.05). Penelitian ini menyarankan perlunya peningkatan pemahaman akan gangguan kesehatan yang diakibatkan mikroorganisme di udara pada pihak manajemen dan pegawai.

Kata Kunci: Mikroorganisme Udara, Gangguan Kesehatan, Bakteri

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Udara bersih merupakan hak dasar seluruh masyarakat yang tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan vital untuk bernapas akan tetapi juga udara yang memenuhi syarat kesehatan. Berpijak pada kebutuhan masyarakat akan udara bersih sehat ini, program pengendalian pencemaran udara menjadi salah satu dari sepuluh program unggulan dalam pembangunan kesehatan Indonesia (HCEU, 2008).

Penelitian tentang udara luar ruangan sebelumnya telah banyak dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki kuaitas udara luar ruang, namun penelitian tentang polusi dalam ruangan secara umum masih kurang (HCEU, 2008).

Secara umum, manusia berinteraksi dengan lingkungan yang penuh mikroorganisme, parasit, dan virus. Terdapat tiga jalan bagaimana bakteri maupun virus memasuki tubuh manusia, yaitu melalui sistem pernapasan, pencernaan, dan kontak kulit (Achmadi, 2013).

Mikroorganisme di udara merupakan unsur pencemaran yang sangat berarti sebagai penyebab gejala berbagai penyakit antara lain iritasi mata, kulit, dan saluran pernapasan (ISPA). Jumlah koloni mikroorganisme di udara tergantung pada aktifitas dalam ruangan serta banyaknya debu dan kotoran lain. Ruangan yang kotor akan berisi udara yang banyak mengandung mikroorganisme dari pada ruangan yang bersih (Moerdjoko, 2004). Secara sepintas ruang perkantoran di dalam gedung bertingkat bersih dan nyaman karena umumnya ruang perkantoran berkarpet, berdinding luar kaca dan dinding bagian dalam berupa tripleks atau asbes berlapis wallpaper serta full AC. Pada kenyataannya, justru di ruangan seperti inilah kesehatan orang yang bekerja sering terganggu. Gangguan kesehatan di dalam ruang perkantoran gedung bertingkat kemudian dikenal dengan sebagai sick building sindrome (Joviana, 2009).

Pada penelitian terhadap kualitas udara dalam ruang pada PT. Infomedia Nusantara Surabaya, menunjukkan hasil perhitungan dengan menggunakan uji statistik regresi logistik terlihat bahwa ada dua variabel yang signifikan terhadap terjadinya gangguan kesehatan SBS, yaitu jamur berpengaruh terhadap terjadinya gangguan kesehatan berupa iritasi hidung, artinya semakin banyak jumlah koloni jamur dalam ruangan mempunyai resiko 16.463 kali lebih besar untuk dapat terjadinya iritasi hidung, sedangkan kuman berpengaruh terhadap terjadinya gangguan kesehatan berupa mual, artinya semakin banyak jumlah koloni kuman dalam ruangan mempunyai resiko 1.008 kali lebih besar untuk dapat terjadinya mual (Prasasti et al., 2005).

Ruang Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia merupakan ruangan tertutup dan menggunakan sistem pengaturan udara dengan Air Conditioner (AC) untuk mengurangi panas udara di dalam ruang kerja. Kondisi gedung dan ruang kerja dengan ventilasi tertutup, furnitur, dan bahan bangunan yang bervariasi serta aktifitas perkantoran di rungan tersebut yang cukup padat, juga keberaaan alat-alat perkantoran dalam ruangan dapat memicu timbulnya kontaminan mikrobiologis pada udara dalam ruang.

Berdasarkan hal tersebut maka dirasa penting untuk menganalisis kualitas mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan dalam ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah mikroorganisme udara dan hubungan suhu, kelembaban, pencahayaan, dan mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan dalam ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia.

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di ruangan administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia pada bulan Mei – Juli 2017.

Jenis dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi yang digunakan adalah cross- sectional.

Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini terbagi atas dua, yaitu populasi objek dan populasi subjek. Populasi objek dalam penelitian ini adalah ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia, sebanyak enam ruangan. Adapun populasi subjek, yaitu semua karyawan yang berada pada ruangan yang diteliti.

Sampel dan Teknik Sampel

Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan menggunakan teknik total sampling, baik itu sampel objek maupun sampel subjek.

Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Observasi. Teknik ini digunakan untuk melihat langsung karakteristik variabel penelitian dengan menggunakan lembar observasi.

2. Pengukuran. Pengukuran dilakukan untuk mendapatkan data primer sesuai dengan variabel yang telah ditentukan.

a. Thermohygrometer, Dual Temp./RH% Monitor mode 87792 in/out temp./RH monitor. Alat ini digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban dengan menggunakan metode pembacaan langsung.

Adapun Prosedur kerja dari alat ini, yaitu:

1) Siapkan alat ukur yang akan digunakan (thermohygrometer).

2) Pasang baterai pada tempatnya.

3) Saat baterai dipasang maka alat ukur akan langsung bekerja.

4) Menekan tombol clear agar angka dalam keadaan netral.

5) Alat akan menunjukkan besar suhu dalam ruangan serta besar kelembaban di ruangan tersebut.

6) Tombol thermo minimum dan maksimum ditekan secara bergantian untuk mengetahui suhu.

7) Baca hasil yang tampak pada layar hygrometer.

8) Lalu catat hasil pengukuran dalam lembar catatan.

9) Bandingkan dengan standar sesuai peraturan yang berlaku.

b. Alat Lux Meter. Alat ini digunakan untuk mengukur pencahayaan dengan menggunakan metode pembacaan langsung.

Adapun Prosedur kerja dari alat ini, yaitu:

1) Tombol “off/on” digeser ke arah On.

2) Kisaran range yang akan di ukur (2.000 lux, 20.000 lux, atau 50.000 lux) dipilih pada tombol range.

3) Sensor cahaya diarahkan dengan menggunakan tangan pada permukaan daerah yang akan diukur kuat penerangannya.

4) Hasil pengukuran dilihat pada layar panel.

c. Pengukuran Mikrorganisme Udara. Parameter yang digunakan adalah jumlah CFU/m 3 . Pengukuran menggunakan alat Microbiological Air Sampler (MAS) 100 NT. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor: 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, kualitas udara dalam ruang dikatakan baik apabila angka kuman dalam ruang kurang dari 700

koloni/m 3 udara dan bebas kuman patogen.

Adapun prosedur kerja alat ini, yaitu:

1) Melakukan disinfeksi dengan alkohol pada bagian dalam dari air inlet MAS100.

2) Meletakkan media plate agar dalam air inlet dan tutup bagian atas MAS100.

3) Mengatur volume udara yang akan dihisap dengan menekan tombol “yes” kemudian tekan tombol “no” untuk keluar dari pengaturan volume udara.

4) Mengaur program delay start dengan menekan tombol “yes” untuk memberikan jeda waktu sebelum pengoperasian alat MAS100 (maksimal waktu delay start 60 menit), kemudian tekan “no” jika waktu jeda telah disesuaikan.

5) Tekan tombol “yes” untuk memulai proses pengisapan udara di dalam ruangan (lampu indikator berwarna hijau).

6) Jika indikator lampu berwarna merah, maka keluarkan media agar plate dari alat MAS100, dan tutup kembali.

7) Masukkan semua cawan petri dengan posisi terbalik ke dalam inkubator pada suhu (35±1) o C selama 24-48 jam.

8) Catat pertumbuhan koloni pada setiap cawan petri setelah 48 jam.

9) Hitung angka lempeng koloni pada setiap cawan petri yang tumbuh pada media agar.

Analisis dan Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat dimana uji statistik yang digunakan adalah chi-square . Dikatakan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel dependen dan independen bila nilai p value <0.05. Dikatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara variabel dependen dan independen bila nilai p value >0.05.

HASIL

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin

Karekteristik Responden

Jumlah Responden

% Kelompok Umur

20-55 Tahun

18 48.6 >55 Tahun

19 51.4 Jumlah

37 100 Jenis Kelamin

37 100 Tabel 1 menunjukkan hasil analisis univariat berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin. Terlihat

kelompok umur paling banyak adalah umur di atas 55 tahun, dan jenis kelamin terbanyak adalah perempuan.

Tabel 2. Hasil Pengukuran Mikroorganisme Udara

Titik

Total Angka Mikroorganisme

Ket (<700 CFU/ m³)*

(CFU/ m³)

MS*** *Mengacu Permenkes RI No 48 Tahun 2016 <700(CFU/ m³)

**Tidak memenuhi Syarat ***Memenuhi syarat

Tabel 2 menunjukkan hasil pengukuran mikroorganisme udara, dimana hasil terbesar terdapat pada titik ketiga dan keempat, yaitu lebih dari1885 CFU/ m³.

Tabel 3.Hasil Pengukuran Suhu, Kelembaban, dan Pencahayaan

(23-26°C)

Tabel 3 menunjukan bahwa dari 6 titik, terdapat 4 titik yang tidak memenuhi syarat karena memiliki suhu ruang di atas 26°C, dan kelembaban juga menunjukkan 4 titik yang tidak memenuhi syarat, yaitu di atas 60%. Sementara pencahayaan menunjukkan hanya satu titik yang memenuhi syarat, yaitu >100 Lux.

Sementara tabel 4 di bawah ini menunjukkan bahwa gangguan kesehatan yang paling banyak dialami responden adalah reaksi alergi dan SBS, yaitu sebanyak 23 responden.

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Gangguan Kesehatan

Total Reaksi Alergi Selama di Gedung

Gangguan Kesehatan

Ya

Tidak

23 14 37 Gejala Asma

4 33 37 Sick Building Syndrome (SBS)

Efek Iritan

Hubungan antara Suhu Ruang dengan Angka Total Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan

Tabel 5. Hubungan Antara Suhu dengan Angka Total Mikroorganisme Udara pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Total Suhu

Mikroorganisme Udara

<700 CFU/m ᵌ

>700 CFU/m ᵌ

n % 23°C - 26°C

2 33.3 0 0 2 33.3 <23°C atau >26°C

0 0 4 66.7 4 66.7 Total

Terdapat hubungan yang linear antara suhu dengan angka total mikroorganisme udara, dimana ruangan yang suhunya tidak memenuhi syarat juga didapatkan hasil bahwa ruangan tersebut memiliki angka mikroorganismenya yang tidak memenuhi syarat.

Tabel 6. Hubungan antara Suhu dengan Gangguan Kesehatan Udara pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Total Suhu

Gangguan Kesehatan

P-value

Tidak ada

Ada

% 23°C - 26°C

8 21.6 10 27 18 48.6 0.001 <23°C atau >26°C

0 0 19 51.4 19 51.4 Total

Adapun Hasil uji statistik jika suhu dihubungkan langsung dengan gangguan kesehatan menunjukkan hasil yang signifikan dimana didapatkan nilai p-value 0.001 (0.001<0.05), sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara suhu dengan gangguan kesehatan.

Hubungan antara Kelembaban Ruang dengan Angka Total Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan

Tabel 7. Hubungan antara Kelembaban dengan Total Mikroorganisme Udara Pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Total Kelembaban

Mikroorganisme Udara

<700 CFU/m ᵌ

>700 CFU/m ᵌ

n % 40%-60%

Hasil analisis statistik pada tabel di atas menunjukkan hasil yang juga linear, yaitu dari 6 ruangan di Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia, terdapat 2 ruangan yang kelembabannya berada pada angka 40%-60% dan angka total mikroorganismenya <700 atau bisa dikatakan memenuhi syarat, sedangkan kelembaban dan angka mikroorganisme 4 ruangan lainnya berada pada angka yang tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan atau tidak memenuhi syarat.

Tabel 8. Hubungan antara Kelembaban dengan Gangguan Kesehatan Udara pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Gangguan Kesehatan Total

Kelembaban P-value

Tidak Ada

Hasil uji SPSS pada tabel di atas menunjukkan nilai p-value 0.001 (0.001<0.05), artinya bahwa ada hubungan yang signifikan antara suhu dengan gangguan kesehatan.

Hubungan antara Pencahayaan Ruang dengan Angka Total Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan

Tabel 9. Hubungan antara Pencahayaan dengan Mikroorganisme Udara pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Total Pencahayaan

Mikroorganisme Udara

<700 CFU/m ᵌ

>700 CFU/m ᵌ

n % >100 Lux

Ruangan yang pencahayaannya tidak memenuhi syarat, hasilnya sama dengan ruangan yang mikroorganismenya juga tidak memenuhi syarat, walaupun ada 1 ruangan yang dimana pencahayaannya tidak memenuhi syarat tetapi angka total mikroorganismenya memenuhi syarat.

Hasil analisis hubungan antara pencahayaan dengan gangguan kesehatan pada ruangan administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 10. Hubungan antara Pencahayaan dengan Gangguan Kesehatan pada Ruangan Administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia

Total P- Pencahayaan

Gangguan Kesehatan

Tidak Ada

Hasil uji SPSS didapatkan nilai p-value 0.156 (0.156>0.05), yang artinya bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara pencahayaan dengan gangguan kesehatan. Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan mikroorganisme terhadap gangguan kesehatan.

Hubungan antara Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan

Tabel 11. Hubungan antara Mikroorganisme Udara terhadap Gangguan Kesehatan Gangguan Kesehatan

Total

Mikroorganisme Udara P- value

Tidak Ada

% <700 CFU/m ᵌ

8 21.6 10 27 18 48.6 0.001 >700 CFU/m ᵌ

0 0 19 51.4 19 51.4 Total

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan di ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia, dimana nilai hasil analisis statistik bivariat menggunaka chi-square menunjukkan p-value penelitian sebesar 0.001 (0.001<0.05) yang berarti ada hubungan antara angka mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan.

PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil yang linear antara suhu dengan angka total mikroorganisme udara dan berdasarkan hasil uji statistik antara suhu dengan gangguan kesehatan maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara suhu dengan mikroorganisme terhadap gangguan kesehatan di ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Naddafi (2011) yang menyatakan bahwa jumlah bakteri berkolerasi signifikan dengan angka penumpang (p<0.001) dan temperatur udara (p<0.001).

Jika ditinjau dari hubungan antara kelembaban dengan angka total mikroorganisme yang linear dan berdasarkan hasil uji statistik antara kelembaban dengan gangguan kesehatan, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan mikroorganisme terhadap gangguan kesehatan. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Mahfudah (2015), dimana diperoleh bahwa berdasarkan uji signifikansi parsial (uji t) didapatkan bahwa kelembaban berpengaruh terhadap angka total bakteri di udara.

Sejalan dengan hal tesebut, Mandal (2011) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kelembaban yang lebih tinggi menjadi faktor utama timbulnya bioaeroso/mikrobiologi udara, dimana konsentrasi jamur yang lebih tinggi terjadi pada ruangan dengan kelembaban yang lebih tinggi dari nilai rata-rata. Kelembaban sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Pada umumnya untuk pertumbuhan bakteri dibutuhkan kelembaban yang tinggi (Kristianti, 2012)

Kemudian jika ditinjau dari hubungan antara pencahayaan dengan angka total mikroorganisme dan berdasarkan hasil uji statistik antara pencahayaan dengan gangguan kesehatan maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara pencahayaan dengan mikroorganisme terhadap gangguan kesehatan di ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdullah dan Buraerah (2011), dimana intensitas cahaya tidak mempunyai kontribusi langsung kepada angka kuman (0.106>0.05) tetapi pencahayaan hampir signifikan berkolerasi dengan suhu (nilai p=0.053).

Adapun hubungan antara mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan berdasarkan hasil uji statistik dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara mikroorganisme terhadap gangguan kesehatan di ruang administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Prasasti (2005) menyatakan bahwa jumlah koloni jamur di udara mempunyai risiko lebih besar dibandingkan dengan jumlah koloni bakteri di udara terhadap kejadian SBS di ruang kerja. Prasasti juga menyebutkan bahwa jamur berpengaruh terhadap gejala SBS berupa iritasi hidung dengan resiko sebesar 16.463 kali pada ruangan dengan jumlah koloni jamur yang bertambah banyak. Sedangkan untuk bakteri, disebutkan bahwa terdapat resiko 1.008 kali berupa gangguan mual apabila terdapat pertambahan jumlah kuman di dalam ruangan.

KESIMPULAN

Penelitian ini menyimpulkan bahwaterdapat hubungan yang bermakna antara suhu ruang dengan angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan di ruangan administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia. Terdapat pula hubungan yang bermakna antara kelembaban ruang dengan angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan di ruangan. Namun penelitian ini tidak melihat adanya hubungan yang bermakna antara pencahayaan ruang dengan angka total mikroorganisme udara di ruangan. Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan yang bermakna antara angka total mikroorganisme udara terhadap gangguan kesehatan di ruangan administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia Makassar.

Penelitian ini menyarankan perlunya peningkatan pemahaman akan gangguan kesehatan yang diakibatkan mikroorganisme di udara pada pihak manajemen dan pegawai administrasi Gedung Menara Universitas Muslim Indonesia untuk mencegah gangguan penyakit lain akibat kerja pada pegawai.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, T., & Buraerah A. H (2011). Lingkungan Fisik dan Angka Kuman Udara Ruangan di Rumah Sakit

Umum Haji Makassar, Sulawesi Selatan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 5(5), 206-211. Achmadi, U. F. (2013). Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Rajawali Pers, Jakarta. Health and Consumer of The European Comisssion (HCEU). (2008). Indoor Air Quality. Available:

http://ec.europa.eu/health/scintific_Comittees/opinions_layman/en/indoor-air-pollution/index.htm

Joviana (2009). Hubungan Konsentrasi Aktivitas Radon (222rn) dan Thoron (220rn) di Udara dalam Ruangan dengan Gejala Sick Building Syndrome pada Tiga Gedung DKI Jakarta Tahun 2009 (Skripsi, Universitas Indonesia, Jakarta).

Kristianti, E. (2012). Efektivitas Penggunaan Radiasi Sinar Ultraviolet dalam Penurunan Jumlah Angka Kuman Ruang Operasi Rumah Sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta (Tesis, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta).

Mahfudah, U. (2015). Analisis Pengaruh Kualitas Lingkungan Fisik Ruangan terhadap Angka Total Bakteri di Udara dalam Ruang Laboratorium Area Eksakta Di Universitas Hasanuddin Makassar (Tesis, Universitas Hasanuddin, Makassar).

Mandal, Bibhatk, Wilkins, Edmun, G.L. (2008). Lecture Notes: Penyakit Infeksi. Penerbit Airlangga, Jakarta. Moerdjoko (2004). Kaitan Sistem Ventilasi Bangunan dengan Keberadaan Mikroorganisme Udara. Jurnal

Dimensi Teknik Arsitektur,Vol.32, 89 – 94.