INOVASI PENGGUNAAN BENFORD’S LAW DALAM AUDIT KEPABEANAN UNTUK MENEMUKAN FRAUD DALAM NILAI PABEAN Agung Budilaksono 1)
INOVASI PENGGUNAAN BENFORD’S LAW DALAM AUDIT KEPABEANAN
UNTUK MENEMUKAN FRAUD DALAM NILAI PABEAN 1) Agung Budilaksono1 Jurusan Kepabeanan dan Cukai, Politeknik Keuangan Negara STAN, Jalan Bintaro
Utama Sektor 5 Bintaro Jaya, Tangerang Selatan 15222
Abstract
This study is an extension of previous research that has been done by the researcher himself.
The purpose of this research is directed to utilize Benford's Law analysis approach in
determining customs audit objects that have indications of fraud in the customs value. The
analytical method used in this study using the approach of the first number and the second
number Benford’s Law. The sample was a company that had been audited in 2011, 2012,
2013 and 2014 based on the audit report and was directed to obtain a minimum of 10,000
transactions. From random sampling, obtained as much as 10,277 transactions that come
from five companies. Result from the approach of the first number value Benford’s Law
found that since 2011 has a number of transactions customs exceeds the value Benford
amounted to 52% of total transactions, in 2012 by 51%, in 2013 by 53%, and in 2014 by
47%. While by the approach of the second number Benford’s Law in 2011 showed an
increase in the customs transaction value that exceeds the value of Benford amounted to 88%,
then in 2012 by 82%, in 2013 by 89% and in 2014 by 86%. Analysis of second number
Benford’s Law shows retrofitting of the first number analysis.Keywords: Benford's Law, Customs Audit, Fraud
Abstrak
Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya yang telah dilakukan
oleh peneliti sendiri. Tujuan penelitian ini diarahkan untuk memanfaatkan pendekatan
analisis Benford’s Law dalam pelaksanaan audit kepabeanan sehingga dapat memberi
informasi objek audit kepabeanan yang memiliki indikasi adanya fraud dalam nilai
pabeannya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
angka pertama dan angka kedua nilai Benford. Sampel penelitian ini adalah perusahaan yang
telah diaudit pada tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014 berdasarkan laporan hasil audit dan
diarahkan untuk memperoleh minimal 10.000 transaksi. Dari hasi seleksi secara random
diperoleh sampel transaksi sebanyak 10.277 transaksi yang berasal dari 5 seleksi secara
random diperoleh sampel transaksi sebanyak 10.277 transaksi yang berasal dari 5
perusahaan. Dari hasil pengolahan data dengan pendekatan angka pertama nilai Benford
diperoleh bahwa sejak tahun 2011 ternyata memiliki jumlah transaksi pabean yang melebihi
nilai Benford sebesar 52% dari total transaksi, tahun 2012 sebesar 51%, tahun 2013 sebesar
53%, dan tahun 2014 sebesar 47%. Sementara hasil olah data dengan pendekatan angka
kedua nilai Benford menunjukkan bahwa tahun 2011 menunjukkan adanya peningkatan nilai
transaksi pabean yang melebihi nilai Benford, yaitu sebesar 88%, tahun 2012 sebesar 82%,
tahun 2013 sebesar 89% dan tahun 2014 sebesar 86%. Analisis angka kedua memberikan
gambaran adanya perkuatan kesimpulan dari analisis Benford angka pertama.Kata Kunci: Benford’s Law, Audit Kepabeanan, Fraud PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
438
PENDAHULUAN
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian yang dilakukan oleh Peneliti yang telah dipaparkan dalam Simposium Nasional Akuntansi Vokasi ke 4 di Manado pada bulan Mei 2015. Dalam penelitian tersebut Peneliti menemukan bahwa variabel nilai impor berpengaruh positif terhadap nilai temuan audit. Dari hasil simulasi sebanyak 6 (enam) kali didapatkan bahwa sensitivitas perubahan nilai ln nilai impor yang lebih tinggi memiliki sensitivitas yang lebih besar dibandingkan dengan sensitifitas ln nilai impor
yang lebih rendah terhadap nilai temuan audit. Probabilitas mendapatkan nilai temuan
audit besar yang melebihi 50% terjadi ketika perubahan ln nilai impor mulai dari nilai impor Rp.649.845.188.545,01 sampai di atasnya. Semakin tinggi nilai impor semakin tinggi probabilitas mendapatkan nilai temuan audit besar. Nilai impor adalah nilai pabean ditambah dengan bea masuk dan cukai. Nilai pabean adalah nilai transaksi barang atau harga yang disepakati untuk dibayar atau akan dibayar oleh pembeli (importir) kepada penjual (eksportir).
Dari hasil temuan tersebut Peneliti mengembangkan temuan tersebut dengan memfokuskan pada upaya membantu para Auditor Bea dan Cukai melalui pemanfaatan nilai pabean (yang merupakan komponen pembentuk nilai impor) untuk mengetahui terjadinya masalah fraud di dalamnya melalui pendekatan Benford’s Law. Sebagaimana diketahui bahwa Benford’s Law dapat digunakan untuk memprediksi frekuensi kemunculan sebuah angka dalam serangkaian data numerik. Pada tahun 1938, Frank Benford mengeksplorasi pada lebih dari 20.000 kumpulan data dan melihat pola yang sama dengan pola temuan Simon Newcomb. Benford kemudian membuat formula dari fenomena temuannya ini. Untuk melakukan analisis data dengan volume yang cukup besar tentu akan menghadapi kesulitan jika dilakukan secara manual. Namun telah banyak aplikasi akuntansi yang dibuat untuk membantu analisis data tersebut dengan menggunakan Benford's Law (Simkin, 2010).
Berdasarkan kemampuannya dalam menganalisis anomali data pada sebuah data set,
Benford’s Law banyak digunakan dalam berbagai bidang. Anomali data tersebut dapat
membantu dalam mendeteksi fraud (Nigrini, 2000). Benford’s Law terbukti efektif dalam mendeteksi fraud dalam data akuntansi (Durtschi et al., 2004). Anomali yang terjadi pada suatu set data dapat mengindikasikan terjadinya fraud. Dengan demikian Benford’s Law dapat menjanjikan kinerja yang lebih baik apabila dapat diterapkan pada perencanaan
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
439 PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
audit kepabeanan. Menurut Benford’s Law, sebuah kumpulan data berupa angka yang alamiah pasti akan mengikuti suatu pola tertentu. Jika suatu kumpulan data tidak mengikuti Benford’s Law, kemungkinan besar sudah terdapat campur tangan rekayasa manusia di dalamnya. Campur tangan ini bisa disengaja ataupun tidak. Pola tertentu itu ternyata menunjukkan bahwa probabilitas angka pertama dari suatu kumpulan data tidak terbagi rata kepada sembilan digit angka yang ada, melainkan angka pertama selalu muncul lebih sering dibandingkan dengan angka lain, dengan probabilitas sekitar 30%. Berikutnya angka kedua dengan probabilitas sekitar 17,6%, dan seterusnya hingga angka kesembilan dengan probabilitas terkecil sebesar 4,6%.
Untuk keperluan audit kepabeanan, maka dapat diujikan pada potensi terjadinya fraud dalam impor, yang indikasi awalnya dapat terlihat pada gambaran transaksi impor sebagai berikut:
Tabel.1
Temuan Audit periode 2013 dan Transaksi Impor periode 2011 s.d. 2013
Keterangan Jumlah Perusahaa n (unit) Jumlah Transaksi (Dokumen PIB) Nilai Temuan (Rp) Nilai Impor (Rp) Rata-rata Nilai Temuan (Rp) Rata-rata Nilai Impor (Rp) Rata-rata Nilai Temuan/Rata- rata Nilai Impor (%) Temuan < 500 juta 266 195.401 37.811.094.000 212.029.295.897.411 142.146.970 797.102.616.156 0,02 Low Risk 144 139.584 21.841.849.000 175.143.371.209.036 151.679.507 1.216.273.411.17 4 0,01 Medium Risk 39 6.141 5.490.194.000 6.315.266.674.068 140.774.205 161.929.914.720 0,09 High Risk 52 28.091 6.933.503.000 16.942.678.207.156 133.336.596 325.820.734.753 0,04Very High Risk 31 21.585 3.545.548.000 13.627.979.807.151 114.372.516 439.612.251.844 0,03 Temuan > 500 juta 111 165.915 731.104.474.67 3 289.133.010.114.610 6.586.526.799 2.604.801.892.92 4 0,25 Low Risk 76 138.500 404.517.009.67 3 258.932.449.630.645 5.322.592.233 3.407.005.916.19 3 0,16 Medium Risk 11 4.894 28.734.739.000 3.893.119.567.681 2.612.249.000 353.919.960.698 0,74
High Risk 19 20.771 75.990.549.000 20.133.852.454.657 3.999.502.579 1.059.676.444.98 2 0,38 Very High Risk 5 1.750 221.862.177.00 6.173.588.461.627 44.372.435.400 1.234.717.692.32 5 3,59
Sumber: Diolah dari data kepabeanan pada Direktorat Audit Dirjen Bea dan Cukai (DJBC)
Dari tabel.1 di atas dapat dilihat bahwa selama transaksi impor periode tahun 2011, 2012 dan 2013, khusus untuk nilai temuan audit dengan nilai di atas 500 juta menunjukkan adanya fakta hubungan yang kurang sinkron. Perusahaan-perusahaan yang masuk kategori low risk, memiliki rata-rata nilai temuan sebesar Rp 5.322.592.233, dengan rata-rata nilai temuan yang lebih besar dari perusahaan-perusahaan yang masuk kategori high risk yang memiliki rata-rata nilai temuan sebesar Rp 3.999.502.579. Namun di sisi yang lain, fakta menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang masuk kategori very high risk, memiliki rata-rata nilai temuan audit per perusahaan sebesar Rp. 44.372.435.400, fakta ini menunjukkan adanya hubungan sinkronitas, tidak seperti hubungan yang terjadi pada perusahaan-perusahaan yang masuk kategori high risk,
medium risk
, dan low risk yang tidak memiliki hubungan yang sinkron. Kondisi ini tentu perlu dibuktikan dengan menggunakan pendekatan Benford’s Law apakah memiliki potensi adanya intervensi atau tidak, yang kemudian dapat diperkuat dengan melakukan audit untuk membuktikannya.
Di sisi yang lain, berdasarkan Laporan Kinerja DJBC 2014, acuan Indeks efektivitas audit kepabeanan yang saat ini digunakan lebih mendasarkan pada gabungan dari tiga unsur penilaian sebagai berikut: (i) Jumlah LHA yang diselesaikan dengan bobot 50%; (ii) Audit Coverage Ratio (ACR) perusahaan penerima fasilitas dengan bobot 25% (Jumlah Surat Tugas (ST) yang diterbitkan pada bulan pelaporan); (iii) Audit Coverage
Ratio (ACR) importir aktif selain Very High Risk Improtir (VHRI) dengan bobot 25%.
Acuan indeks ini dirasakan masih belum dapat menghasilkan sinkronitas hubungan antara risiko perusahaan dengan besarnya temuan audit secara keseluruhan perusahaan dan belum dapat mensinergikan aktivitas pemeriksaan fisik barang di lapangan dan post
clearance audit
, walaupun untuk perusahaan dengan kategori very high risk telah menunjukkan adanya hubungan tersebut. Dengan demikian, sangat diperlukan untuk menambahkan unsur penilaian efektifitas audit kepabeanan dengan cara memanfaatkan informasi pendekatan Benford’s Law selain 3 unsur penilaian audit yang telah disebutkan di atas. Penambahan unsur penilaian ini diharapkan akan bermanfaat bagi para auditor untuk menentukan objek audit secara lebih akurat tidak hanya memanfaatkan profesional
judgment mereka.
Oleh karena itu perlu dicari cara agar pelaksanaan audit tidak hanya dapat ditingkatkan efektifitasnya, tetapi sinergitas risk sharing antara pemeriksaan fisik barang di lapangan dan post clearance audit juga dapat ditingkatkan, namun di sisi lain nilai temuannya juga dapat ditingkatkan. Oleh karena itu penelitian ini mengangkat permasalahan penelitian, Bagaimana memanfaatkan pendekatan analisis Benford’s Law
dalam pelaksanaan audit kepabeanan sehingga dapat memberi informasi objek audit
kepabeanan yang memiliki indikasi adanya fraud dalam nilai pabeannya? PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097Tujuan penelitian ini diarahkan untuk memanfaatkan pendekatan analisis Benford’s
Law dalam pelaksanaan audit kepabeanan sehingga dapat memberi informasi objek audit
kepabeanan yang memiliki indikasi adanya fraud dalam nilai pabeannya.Menghadapi perdagangan bebas yang menuntut keunggulan kompetitif antarnegara, DJBC harus mempersiapkan strategi khusus untuk menanggulanginya. Strategi tersebut dapat diarahkan dengan menyiapkan aktivitas audit kepabeanan yang efektif dalam mendukung tugas pengawasan dan penerimaan negara. Oleh karena itu, audit kepabeanan akan menjadi ujung tombak masa depan DJBC karena melalui mekanisme audit, lalu lintas barang ekspor dan impor dapat dilakukan dengan semakin efisien. Biaya ekonomi tinggi dalam kegiatan perdagangan dapat dihindari. Dengan demikian masalah pemeriksaan di pelabuhan (pre clearance dan clearance) yang sangat memakan waktu dapat dikurangi dengan cara mengarahkannya pada pemeriksaan post clearance audit.
METODE PENELITIAN
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian menggunakan pendekatan
Benford’s Law dengan memfokuskan pada analisis angka pertama dan angka kedua nilai
transaksi pabean (Benford, 1938) 1) Metode analisis angka pertama (digit pertama) nilai transaksi pabean
Analisis pada tingkat ini merupakan analisis dasar untuk mendeteksi adanya anomali data yang sifatnya ekstrem yang dapat dipergunakan sebagai sarana benchmarking. Probabilitas kemunculan angka pertama dapat dihitung dengan persamaan: P (D =d ) = log (1 + 1/d 1 1 1 ); d {1,2,3,...,9) ............................................................................................... (1) 1 Dimana d adalah nomor angka pertama dan ܲ(݀) adalah probabilitas kemunculan angka
d sebagai angka pertama.
2) Metode analisis angka kedua (digit kedua) nilai transaksi pabean Analisis ini dipergunakan untuk memperoleh gambaran kondisi data secara ringkas. Probabilitas kemunculan angka kedua dapat dihitung dengan persamaan: P (D 2 = d 2 ) = log (1 + 1/d d ); d
9 i 1 2 {0,1,...,9}.................................................................................(2) 2 d =1
Rumus analisis angka pertama dan kedua pendekatan Benford’s Law dapat dibuat dalam suatu tabel ringkas probabilitas kemunculan angka-angka. Nilai-nilai ini digunakan sebagai batas atas nilai Benford. Hasil perhitungan dari rumus tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 Tabel.2 Harapan kemunculan angka pada bilangan data alami menurut Benford’s Law Digit 1s t place 2nd place 0,11968 1 0,30103 0,11389 2 0,17609 0,19882 3 0,12494 0,10433 4 0,09691 0,10031 5 0,07918 0,09668
6 0,06695 0,09337 7 0,05799 0,09035 8 0,05115 0,08757 9 0,04576 0,085 Sumber: Dustchi dkk, 2004
Gambar.1 Distribusi Probabilitas Angka Menurut Benford’s Law
Populasi penelitian ini meliputi nilai pabean dari perusahaan yang telah selesai diaudit oleh tim audit kepabeanan dan ditampilkan dalam bentuk Laporan Hasil Audit (LHA). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini diambil secara random dari populasi yang ada dan diambil sebanyak 5 perusahaan, dengan jumlah transaksi ke 5 perusahaan selama periode 2011 s.d 2014 adalah sebesar 10.277 transaksi. Sampel diarahkan agar memenuhi minimal 10.000 transaksi pabean dan kondisi ini tercapai ketika menggunakan minimal 5 perusahaan. Dari 5 sampel perusahaan yang diambil secara random didapatkan sebanyak 10.277 transaksi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil simulasi terhadap 10.277 transaksi dengan pendekatan analisis angka pertama dan kedua Benford’s Law di dapatkan hasil-hasil sebagai berikut:
Tabel.3 Penghitungan Kemunculan Angka Pertama Nilai Pabean Periode Transaksi Tahun 2011 - 2014
Harapan Harapan
Benford's Law Benford's Law
1 3138 3094 30,5% 30,1% -0,4% di atas nilai benford 2 1797 1810 17,5% 17,6% 0,1%3 1246 1284 12,1% 12,5% 0,4% 4 1047 996 10,2% 9,7% -0,5% di atas nilai benford 5 780 814 7,6% 7,9% 0,3% 6 697 688 6,8% 6,7% -0,1% di atas nilai benford 7 576 596 5,6% 5,8% 0,2% 8 505 526 4,9% 5,1% 0,2% 9 491 470 4,8% 4,6% -0,2% di atas nilai benford Total 10277 10277 Selisih nilai benford dan aktual Keterangan Aktual Aktual Angka Pertama Kemunculan Prosentase 3500 3000 2500 2000 1500 500 1000 1 2 3 4 5
6
7 8 9 Aktual Harapan Benford's LawGambar.2. Perbandingan Kemunculan Angka Pertama Nilai Aktual Pabean dan Benford’s Law
Tabel. 4 Jumlah Transaksi Yang Angka Pertama Nilai Pabeannya Melebihi Batas Nilai Benford’s Law (satuan: jumlah transaksi)
Tahun pertama pertama pertama pertama Total
2013 1738 525 324 233 2820 53% 2014 106Angka Angka Angka Angka
1 34 4 41 6 29 210 47% 9 Dalam (%) Note: Total sampel = 10.279 transaksi Total 3138 1047 697 491 2011 2012 1209 459 320 214 2202 51% Tahun 2013 = 5272 transaksi Tahun 2011 = 272 transaksi Tahun 2014 = 450 transaksi Tahun 2012 = 4282 transaksi 85 29 12 15 141 52%Apabila dilihat dari angka pertama 1, 4, 6, dan 9 dari nilai pabean yang ada selama tahun 2011 sampai dengan 2014, maka transaksi-transaksi yang berada pada tahun 2013 memiliki fakta yang paling dominan melebihi batas nilai Benford’s Law, yaitu sebanyak 2820 transaksi atau sebanyak 53% dari total transaksi 5 perusahaan di tahun 2013. Suatu jumlah yang cukup besar. Hal ini salah satunya disebabkan sejak tahun 2013 mulai tersentralisasinya para auditor di Kantor Pusat DJBC yang sebelumnya masih berada di Kantor Wilayah DJBC sehingga pengawasan terhadap perusahaan importir dirasakan menjadi semakin jauh dari lokasi usaha para importir dan koordinasi para auditor dengan Kantor Pelayanan dan Pengawasan di Kanwil DJBC juga semakin membutuhkan waktu yang cukup.
Sejak tahun 2011 ternyata memiliki jumlah transaksi pabean yang melebihi nilai Benford yang cukup signifikan, dimana tahun 2011 sebesar 52% dari total transaksi, tahun 2012 sebesar 51%, tahun 2013 sebesar 53%, dan tahun 2014 sebesar 47%.
Gambaran ini dapat memberi indikasi bagi perusahaan-perusahaan lainnya selain yang 5 perusahaan tersebut, yang memiliki nilai transaksi pabean di atas Rp. 600 juta, diperkirakan memiliki potensi terjadinya intervensi angka yang dapat mengarah kepada terjadinya fraud. Idealnya adalah ketika menentukan pendekatan nilai Benford diuji untuk keseluruhan perusahaan yang melakukan import atau dihitung dengan sampel yang memadai namun memiliki kesulitan terlalu banyaknya transaksi nilai pabean yang dapat mencapai ratusan ribu bahkan jutaan transaksi. Penelitian ini membatasi minimal 10.000 transaksi pabean.
Indikasi adanya anomali ini kemudian dapat didalami dengan melihat kepada jenis kode barang (kode Harmonize System/HS), kode PIB (Pengajuan Impor Barang) nya, tanggal terjadinya, memperoleh fasilitas atau tidak, track record perusahaan yang melakukannya, dan data-data lainnya yang diharapkan dapat menjawab masalah
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 terjadinya anomali data transaksi pabean tersebut. Aktivitas pendeteksian ini sebenarnya sudah dapat dilakukan di awal-awal para importir mengajukan dokumen PIB. Dengan demikian dapat dibuat prioritas pemeriksaan fisik barang bagi para pengawas pabean di lapangan berdasarkan informasi deteksi awal analisis Benford’s Law. Demikian juga para auditor berdasarkan informasi awal analisis Benford’s Law dapat memfokuskan Post
Clearance Audit
(PCA) pada transaksi-transaksi pabean tersebut. Langkah-langkah ini diharapkan memberikan sinergitas antara pemeriksa fisik barang di lapangan dan para auditor fokus pada transaksi-transaksi yang memang memiliki potensi kerawanan terjadinya fraud, dimana kondisi semacam ini belum dapat terpenuhi pada saat ini. Pada prakteknya pengawasan fisik dan PCA masih berjalan sendiri-sendiri sehingga risk
sharing
yang diharapkan dalam pengawasan belum sepenuhnya bisa terjadi. Apabila sinergitas dapat terpenuhi maka akan berdampak pada waktu tunggu barang-barang yang tidak memiliki kerawanan fraud di pelabuhan lebih bisa dipercepat sehingga diharapkan
dwelling time dapat dikurangi.
Sementara apabila dilihat dari analisis angka kedua transaksi nilai pabean didapatkan hasil-hasil seperti di bawah ini:
Tabel.5 Penghitungan Kemunculan Angka Kedua Nilai Pabean Angka Harapan Harapan benford dan Kedua Benford's Law Benford's Law aktual 1 1126 1034,9 12,4% 11,7% -0,7% di atas nilai benford 2 1167 1806,7 12,8% 20,5% 7,6% Aktual Aktual 1190 1087,5 13,1% 12,3% -0,8% di atas nilai benford Kemunculan Prosentase Selisih nilai Periode Transaksi Tahun 2011 - 2014 Keterangan 8 945 795,7 10,4% 9,0% -1,4% di atas nilai benford 7 946 821,0 10,4% 9,3% -1,1% di atas nilai benford 6 957 848,5 10,5% 9,6% -0,9% di atas nilai benford 5 975 878,5 10,7% 10,0% -0,8% di atas nilai benford 9 816 772,4 9,0% 8,8% -0,2% di atas nilai benford 3 1065 948,0 11,7% 10,8% -1,0% di atas nilai benford 4 1090 911,5 12,0% 10,3% -1,7% di atas nilai benford Total 9087 8817,3 2000 1200 1400 1600 1800 1000 400 600 800 Harapan Benford's Law 200 1 2 3 4 5 6
7
8 9 10 AktualGambar.3. Perbandingan Kemunculan Angka Kedua Nilai Aktual Pabean dan Benford’s Law PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
Tabel. 6 Jumlah Transaksi Yang Angka Kedua Nilai Pabeannya Melebihi Batas Nilai Benford’s Law (satuan: jumlah transaksi)
Angka Angka Angka Angka Angka Angka Angka Angka Angka
Dalam Tahun pertama pertama pertama pertama pertama pertama pertama pertama pertama Total Prosentase1
3
4
5
6
7
8
9 2014
37
47
38
46
37
60
62
30 32 389 86% 2013 613 566 545 544 495 463 489 521 445 4681 89% 2012 515 479 459 459 419 411 366 67 324 3499 82% 2011
25
34
23
41
24
23
29
27 15 241 88%
Total 1190 1126 1065 1090 975 957 946 645 816 8810
Note: ‐ Total sampel transaksi sebanya 10.279 transaksi selama tahun 2011 ‐ 2014, terdiri dari: ‐ Tahun 2014 sebanyak 450 transaksi, tahun 2013 sebanyak 5272, tahun 2012 sebanyak 4282, dan tahun 2011 sebanyak 273
Apabila dilakukan analisis angka kedua dari transaksi nilai pabean prosentasenya menunjukkan nilai yang cukup mengejutkan, dimana terjadi peningkatkan yang cukup signifikan. Data pada tabel.6 menunjukkan bahwa transaksi 5 perusahaan tersebut sejak tahun 2011 menunjukkan peningkatan transaksi melebihi nilai Benford yang sangat signifikan, dimana tahun 2011 sebesar 88%, tahun 2012 sebesar 82%, tahun 2013 sebesar 89% dan tahun 2014 sebesar 86%. Hal ini juga memberikan gambaran perkuatan kesimpulan awal berdasarkan analisis Benford angka pertama
Analisis lanjutan dapat diarahkan dengan melihat kepada tindakan-tindakan yang telah dilakukan oleh Dirjen Bea dan Cukai. Sebagai contoh misalnya selama periode tahun 2011 telah diberikan perijinan di bidang kepabeanan dan cukai oleh DJBC. Selain itu juga dilakukan kegiatan pemblokiran terhadap perusahaan yang melakukan pelanggaran sesuai dengan yang diatur dalam KEP-14/BC/2001. Rincian jumlah perijinan dan pemblokiran yang telah dilakukan untuk periode tahun 2011 adalah sebagai berikut :
Tabel.7 Perijinan dan Pemblokiran Perusahaan
Perusahaan Jumlah Jumlah Jumlah Persentase
Seluruh Perijinan Pemblokiran
Perijinan Tahun 2011
Importir 25.747 2.352 816 3,16%
PPJK 1.658 12718 1,09% Total 27.405 2.479 834 3,04% Sumber: DJBC, Lakip 2011
Dari tabel.7 di atas terlihat bahwa pada tahun 2011 telah dikeluarkan perijinan sebanyak 2.479, kemudian dilakukan pemblokiran ijin sebanyak 834 atau sebesar 3,04%. Adanya informasi awal pendekatan Benford (misalnya data awal tahun 2011 menunjukkan bahwa 52% persen dari total transaksi pabean memiliki indikasi melebihi batas kewajaran nilai Benford, sementara nilai pemblokiran tahun 2011 sebesar 3,04%, apakah prosentase pemblokiran ini sudah memadai atau belum) dapat digunakan untuk
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 mengevaluasi tindakan pemblokiran yang ada apakah memang sudah sesuai dengan fakta dilapangan. Dengan demikian kebijakan pemblokiran DJBC memiliki indikator evaluasi untuk mengetahui apakah kebijakan yang ada sudah memadai atau belum.
Kemudian dapat dilihat juga pada kebijakan DJBC yang lain, dimana Strategi dan Kebijakan Dirjen Bea dan Cukai tahun 2011 juga diarahkan kepada Optimalisasi di Bidang Kepabeanan melalui peningkatan akurasi penelitian nilai pabean dan klasifikasi barang impor dan peningkatan efektivitas pemeriksaan fisik barang. Dengan fakta yang ada menunjukkan bahwa indikator efektifitas pelaksanaan audit masih perlu ditambah untuk meningkatkan akurasi penelitian nilai pabean berdasarkan deteksi awal pendekatan Benford.
Fakta lain kebijakan DJBC di tahun 2012 adalah total data perusahaan penerima fasilitas per 1 Januari 2012 adalah 3.655 perusahaan, dengan rincian sebagai berikut (i) Importir jalur prioritas: 108, (ii) Perusahaaan penerima fasilitas tidak dipungut cukai hasil tembakau: 93, (iii) Perusahaaan penerima fasilitas pembebasan EA: 299, (iv) Perusahaaan penerima fasilitas tidak dipungut EA: 119, (v) Perusahaaan penerima fasilitas kawasan berikat: 1566, (vi) Perusahaaan penerima fasilitas gudang berikat: 455, (vii) Perusahaaan penerima fasilitas KITE: 1015, dan (viii) Realisasi persentase pelaksanaan audit terhadap pengusaha penerima fasilitas kepabeanan dan cukai dibanding rencana sampai bulan Desember 2012 adalah sebesar 8,07% dari target yang telah ditetapkan sebesar 5%. Capaian ini berasal dari 295 perusahaan yang diaudit dari 3.655 perusahaan penerima fasilitas kepabeanan dan cukai. Berdasarkan pendekatan angka pertama Benford menunjukkan bahwa pada tahun 2012 sebanyak 51% transaksi pabean melebihi batas kewajaran nilai Benford. Dengan demikian tentu perlu didalami lagi apakah target dan realisasi sebesar 5% dan 8,07% cukup memadai dan layak apabila mengacu kepada nilai Benford tersebut?.
Kemudian misalnya berdasarkan Laporan Kinerja DJBC tahun 2013 dimana pelaksanaan audit terhadap pengusaha fasilitas kepabeanan telah dilakukan terhadap 334 perusahaan dari total pengusaha penerima fasilitas kepabeanan dan cukai sejumlah 3.230. Realisasi capaian IKU ini adalah 10,34% dari target yang ditetapkan sebesar 10% (sesuai addendum Kontrak Kinerja Nomor : 4A/KK/2013).
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
Tabel.8 Perbandingan Audit Perusahaan Penerima Fasilitas Kepabeanan dan Cukai Tahun 2012 s.d 2013
Tahun Jumlah perusahaan penerima Jumlah perusahaan penerima Realisasi Target
fasilitas Kepabeanan dan fasilitas Kepabeanan dan (%) (%)Cukai Cukai yang diaudit
2012 3.655 295 8,07% 5%
2013 3.230 334 10,34% 10%
Sumber: DJBC, LakipApabila dilihat pada analisis angka pertama dan kedua nilai Benford terlihat bahwa analisis angka pertama tahun 2012 dan 2013 menunjukkan nilai sebesar 51% dan 53% dari total transaksi nilai pabean yang melebihi batas nilai Benford, sementara berdasarkan analisis angka kedua nilai Benford menunjukkan bahwa tahun 2012 dan 2013 menunjukkan nilai sebesar 82% dan 89% dari total nilai transaksi pabean yang melebihi batas nilai Benford. Dengan demikian dapat dievaluasi apakah realisasi tahun 2012 yang sebesar 8,07% dan tahun 2013 yang sebesar 10,34%, serta penetapan target tahun 2012 yang sebesar 5% dan tahun 2013 yang sebesar 10% atas perusahaan penerima fasilitas kepabeanan yang telah diaudit cukup memadai penetapannya. Apalagi Budilaksono (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa nilai transaksi pabean di atas Rp. 600 juta berpotensi memperoleh temuan audit besar. Hal ini tentu memerlukan pertimbangan kebijakan yang lebih mendalam.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa penggunaan pendekatan Benford’s Law dalam pelaksanaan audit kepabeanan dapat membantu menentukan objek audit yang lebih terarah, dan dapat digunakan untuk mendorong terjadinya sinergitas dalam pengawasan kepabeanan antara pengawasan fisik barang di lapangan dan aktivitas post clearance
audit . Apabila sinergitas ini dapat dibangun maka arus kelancaran perdagangan dapat
lebih ditingkatkan karena transaksi kepabeanan yang tidak melewati batas nilai Benford dapat lebih cepat diperiksa di lapangan tanpa harus memakan waktu yang lebih lama. Hal ini akan mempercepat waktu pengeluaran barang dari pelabuhan. Dengan demikian diharapkan arus barang pada jalur merah dapat dikurangi. Sementara itu para auditor juga lebih terarah melakukan pemeriksaan para importir karena hanya para importir yang memiliki nilai transaksi pabean yang melewati batas nilai Benford-lah akan memerlukan prioritas audit dengan tingkat ketelitian dan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan importir yang memiliki nilai transaksi pabean yang tidak melebihi batas nilai Benford.
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097
SIMPULAN
Pendekatan analisis angka pertama dan kedua nilai transaksi Benford’s Law dapat digunakan untuk membantu dalam pelaksanaan audit kepabeanan; Transaksi impor barang tahun 2011, 2012, 2013 dan 2014 dengan nilai transaksi pabean yang lebih dari Rp. 600 juta memiliki potensi kerawanan terjadinya intervensi angka transaksi yang dapat merugikan penerimaan Negara karena memiliki angka pertama yang melebih batas nilai Benford dengan perincian tahun 2014 sebanyak 47% dari jumlah total transaksi, tahun 2013 sebanyak 53% dari jumlah total transaksi, tahun 2012 sebanyak 51% dari jumlah total transaksi, tahun 2011 sebanyak 52% dari jumlah total transaksi. Sementara untuk angka kedua nilai pabean yang melewati batas nilai Benford adalah 2014 sebanyak 86% dari jumlah total transaksi, tahun 2013 sebanyak 89% dari jumlah total transaksi, tahun 2012 sebanyak 82% dari jumlah total transaksi, tahun 2011 sebanyak 88% dari jumlah total transaksi ;
Analisis Benford’s Law dapat dimanfaatkan untuk mensinergikan pengawasan fisik barang di lapangan dan post clearance audit (PCA) sehingga waktu tunggu barang impor di pelabuhan dapat dikurangi dan barang dapat segera cepat dikeluarkan dari pelabuhan. Risk sharing antara fungsi pengawasan di lapangan dan audit dapat ditingkatkan. Nilai Benford perlu ditambahkan dalam unsur penilaian efektifitas pelaksanaan audit
kepabeanan dan pemeriksaan fisik barang di lapangan untuk menciptakan sinergitas;
DAFTAR PUSTAKA
Benford, F. (1938). The Law of Anomalous Numbers. Proc American Philosophical Society, 78(4) pp 551-772. Budilaksono, Agung (2015), Analisis Temuan Audit Kepabeanan Berdasarkan Sistem
Profiling Risiko World Customs Organization (WCO), Prosiding Simposium
Nasional Akuntansi Vokasi Ke-4: Revolusi Keperilakuan Akuntan Untuk Mewujudkan Sustainable
, Politeknik Negeri Manado. Drake, P., dan M. Nigrini. (2000). Computer assisted analytical procedures using Benford’s law. Journal of Accounting Education 18: 127–146.
Dustchi, Cindy., Hillison, WIlliam., Pacini, Carl. (2004). The Effective Use Of Benford's Law To Assist In Detecting Fraud In Accounting Data, Journal of
Forensic Accounting , Vol. IV PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097 Laporan Kinerja Tahun 2011, 2012, 2013, 2014 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai – Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Simkin, Mark G. (2010). "Using Spreadsheets and Benford's Law to Test Accounting
Data, ISACA Journal Vol. 1,
PROSIDING SENTRINOV Vol. 001, Tahun 2015 | ISSN: 2477 – 2097