HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN DEPRESI DENGAN SELF EFFICACY DALAM MEMATUHI PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL THERAPY PADA PASIEN HIVAIDS

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN DEPRESI DENGAN SELF EFFICACY DALAM MEMATUHI PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL THERAPY PADA PASIEN HIV/AIDS

Akbar Satria Fitriawan *)

Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Respati Yogyakarta Jl Raya Tajem Km 1,5 Maguwoharjo Depok Sleman, Yogyakarta 55282

Abstrak

Salah satu faktor psikologis penting yang mempengaruhi kepatuhan berobat pasien HIV/AIDS adalah self efficacy. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa depressi dan dukungan sosial berhubungan dengan kepatuhan berobat pasien HIV/AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara depressi dan dukungan sosial dengan self efficacy dalam mematuhi pengobatan pada pasien HIV/AIDS. Metode penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional dan besar sampel

64 orang. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta. Depressi diukur dengan Beck Depression Inventory, dukungan sosial diukur dengan SSQ-6, dan self efficacy dalam mematuhi ART diukur dengan HIV-ASES. Uji Chi Square dilakukan untuk mengetahui hubungan antara depressi dan dukungan sosial dengan self efficacy. Sebanyak 64 pasien HIV/AIDS berpartisipasi dalam penelitian ini. 40,6% pasien memiliki self efficacy yang rendah. 50% pasien mengalami depressi (40,6% depressi ringan dan 9,6% depressi sedang) dan 54,7% pasien mendapatkan dukungan sosial rendah. Dalam analisis bivariat, depressi dan dukungan sosial berhubungan signifikan dengan self efficacy (p<0,05). Kesimpulan : Depressi dan dukungan sosial berhubungan signifikan dengan self efficacy pasien HIV/AIDS dalam mematuhi kepatuhan pengobatan.

Kata Kunci : Self efficacy, Depressi, Dukungan Sosial, Antiretroviral Therapy, HIV/AIDS

Abstract

[Relationship Between Social Support And Depression With Self Efficacy In Addressing

Antiretroviral Therapy Treatment In HIV/AIDS Patients]. One of the most important psychological factors affecting adherence to ART is self efficacy. Previous research has found that depression and social support are associated with adherence to ART in HIV/AIDS patient. This study aims to determine the relationship between depression and social support with self efficacy in adhering the ART in HIV / AIDS patients. Observational analytic study with cross sectional design with sample size of 64 people. This research was conducted in Dr.Sardjito General Hospital Yogyakarta. Depression was measured by Beck Depression Inventory, social support was measured by SSQ-6, and self efficacy in adherence to antiretroviral therapy was measured by HIV-ASES. Chi Square test was conducted to asses the relationship between depression and social support with self efficacy. A total of 64 HIV / AIDS patients participated in the study. 40.6% of patients had low self efficacy. 50% of patients had depression (40.6% mild depression and 9.6% moderate depression) and 54.7% of patients received low social support. In bivariate analysis, depression and social support are significantly associated with self efficacy (p<0,05). Conclusion: Depression and social support are significantly associated with ART adherence self efficacy in HIV/AIDS patients.

Keyword : Self efficacy, Depression, Social support, Antiretroviral Therapy, HIV/AIDS

Article info :Sending on July 8, 2018; Revision on August 14, 2018; Accepted on September 27, 2018

------------------------------------------------------------- *) Corresponding author: Email: akbarsatriafitriawan12831@gmail.com

1. Pendahuluan

meningkatkan kekebalan tubuh pasien (Broder, Human

2009., Montaner et.al, 1999). pertama kali diidentifikasi sebagai salah satu

Immunodeficiency

Virus (HIV)

Namun untuk mencapai supressi total virus retrovirus pada tahun 1983 adalah penyebab

dan mencegah perkembangan resistensi vius Acquired

diperlukan tingkat kepatuhan pengobatan yang tinggi Sinoussi 1983, Broder 1984, Gallo 1984) cit

Immunodeficiency Syndrome (Barré-

dari pasien, yaitu minimal tingkat kepatuhan 95% (Hoffman et.al, 2007). HIV/AIDS merupakan salah

(Paterson et.al., 2000 cit Haynes et.al, 2008; Spire satu

et.al , 2002; Holstad et.al, 2006). Kepatuhan menyebabkan

masalah kesehatan utama

global dan

pengobatan sangat penting untuk memperpanjang Penyakit ini telah membunuh lebih dari 25 juta orang

tingkat mortalitas

yang tinggi.

hidup pasien, mencegah infeksi oportunistik, dan diseluruh dunia, membuatnya menjadi pandemi

mencegah hospitalisasi. Ketidakpatuhan pengobatan paling menghancurkan dalam sejarah (Hoffman,

menyebabkan nyawa pasien dalam keadaan terancam 2007). Pada tahun 2009 jumlah penderita HIV/AIDS

karena perkembangan virus akan menjadi progresif, secara global diperkirakan 33,3 juta dan pada tahun

jumlah CD4 T Lymphocyte akan menurun secara 2011 meningkat menjadi 44,4 juta jiwa (UNAIDS,

tajam, dan menjadi salah satu faktor yang paling 2011). Laporan terbaru dari UNAIDS (2017)

menyebabkan kegagalan pengobatan dini termasuk menyebutkan bahwa pada tahun 2016 terdapat 42,9

bagi antiretroviral lain yang belum diberikan juta penderita HIV/AIDS di seluruh dunia. Pada

(Montaner et.al., 1999; Hoffman et.al, 2007). tahun 2016 terdapat 1,8 juta penderita HIV baru, dan

Dampak dari perkembangan resistensi virus tidak 1,2 juta kematian akibat HIV/AIDS terjadi di seluruh

hanya mempengaruhi individu, namun juga akan dunia (UNAIDS, 2017).

menyebabkan ancaman kesehatan publik yang besar HIV/AIDS juga menjadi salah satu masalah

jika infesi baru terjadi dari strain virus yang telah kesehatan serius di Indonesia. Data dari UNAIDS

resisten terhadap obat yang ada (Hecht et.al., 1998 cit (20170 menunjukkan bahwa pada tahun 2006

Spire et.al, 2002).

terdapat sekitar 290.000 orang terinfeksi HIV. Kepatuhan merupakan suatu hal yang Jumlah ini meningkat menjadi 510.000 orang pada

kompleks dan dipengaruhi banyak faktor (Haynes tahun 2010 dan meningkat lagi menjadi 620.000

et.al , 2008). World Health Organization (2004) orang pada tahun 2016. Pada tahun 2017, terdapat

dalam Martoz-Mendez (2015) menjelaskan bahwa sekitar 48.000 kasus baru infeksi HIV. Data dari

kepatuhan dalah perilaku kesehatan multidimensional UNAIDS

yang dipengaruhi oleh hubungan antara 5 kelompok peningkatan besar jumlah kematian akibat AIDS

juga menunjukkan

bahwa

terjadi

faktor : karakteristik pasien, karakteristik penyakit, (AIDS-related Death) di Indonesia dari 80

Karakteristik sosiodemografis, regimen pengobatan, kematian pada tahun 2005 menjadi 38.000 kematian

sistem kesehatan atau hubungan petugas-kesehatan pada tahun 2016 (UNAIDS, 2017).

faktor personal yang Penemuan dan perkembangan Antiretroviral

mempengaruhi kepatuhan berobat ART pada pasien Therapy (ART) adalah salah satu kemajuan dramatis

HIV/AIDS adalah self efficacy. Self efficacy adalah dalam bidang medis dan telah membawa penurunan

keyakinan individu tentang kemampuannya untuk substansial pada jumlah kematian karena HIV,

sukses melakukan perilaku yang diperlukan untuk merubah HIV/AIDS dari penyakit mematikan tak

mencapai suatu tujuan/outcome (Martoz-Mendez, terobati menjadi penyakit kronik yang dapat

dimanajemen dan penderitanya mampu bertahan Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya hidup dalam waktu yang lama (Broder, 2009.,

menemukan adanya hubungan signifikan antara self Hoffman et.al, 2007., Montaner et.al, 1999).

kepatuhan menjalankan Peningkatan harapan hidup yang dicapai sebagai

efficacy dengan

antiretroviral therapy pada pasien HIV AIDS dampak dari perkembangan pengobatan ART ini

(Luszczynska et.al, 2007; Cha et.al, 2008; Adefolalu membuat kualitas hidup pasien HIV/AIDS menjadi

et.al , 2014). Pasien dengan self efficacy yang rendah outcome kedokteran yang penting, dan salah satu

kurang mampu untuk mengikuti pengobatan ART tujuan perawatan dan pengobatan pada pasien

yang direkomendasikan (Adefolalu et.al, 2014). HIV/AIDS adalah untuk memberikan kualitas hidup

pasien dengan self efficacy yang tinggi memiliki terbaik (Basavaraj et.al, 2010; Forouzan et.al 2013).

tingkat motivasi yang lebih tinggi karena mereka Mekanisme

yakin akan kemampuan yang dimilikinya. Self antiretrovirus dengan docking dan menghambat

efficacy mampu mempengaruhi afektif, kognitif, dan berbagai protein fungsional dari HIV yang penting

mampu menurunkan distress psikologis sehingga untuk mesin replikasi virus HIV terbukti mampu

mampu beradaptasi dengan perilaku sehat (Martoz- membuat virus HIV tersupressi, menurunkan viral

Mendez, 2015).

load, meningkatkan CD4 T Lymphocyte count, dan

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa dengan melihat catatan rekam medis RSUP faktor sosial dan psikologis mempengaruhi self

Dr.Sardjito dan kartu periksa pasien. Jika pasien efficacy pasien penyakit kronis dalam mematuhi

sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, peneliti pengobatan. Diantara variabel yang mempengaruhi

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian serta self efficacy adalah dukungan sosial dan depressi

menanyakan kesediaan pasien untuk berpartisipasi pasien. Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

menjadi responden. Jika pasien bersedia, maka menemukan

peneliti akan mengajak pasien ke ruangan khusus mengalami depressi memiliki tingkat self efficacy

bahwa pasien

HIV/AIDS

yang

yang telah disediakan bagi responden. Responden yang lebih rendah (Sympa et.al, 2017; Cha et.al,

lalu diminta untuk mengisi lembar inform consent. 2008; Van Servellen dan Lombardi , 2005; Simoni

Pengumpulan data dilakukan dengan memohon et.al , 2006). Dukungan sosial juga menjadi faktor

pasien untuk mengisi kuesioner. Dalam proses pendukung self efficacy dimana pasien HIV/AIDS

pengisian, peneliti menemani responden untuk dengan persepsi dukungan sosial yang tinggi

mencegah kesalahpahaman dan ketidakjelasan dalam memiliki tingkat self efficacy yang lebih tinggi (Cha

pengisian kuesioner.

et.al , 2008; Simoni et.al, 2006; Van Servellen dan Data sosiodemografis diperoleh dari kuesioner Lombardi, 2005).

yang diisi oleh responden. Data sosiodemografis Rumah Sakit Umum Pusat dr. Sardjito sebagai

meliputi usia, jenis kelamin, status perkawinan, salah satu rumah sakit terbesar di Yogyakarta,

riwayat pendidikan, status pekerjaan, riwayat menjadi rumah sakit rujukan di daerah DIY dan Jawa

penggunaan alkohol dan napza, lama terdiagnosis Tengah bagian selatan. RSUP dr.Sardjito memiliki

memperoleh Antiretroviral komitmen untuk menyediakan pelayanan pengobatan

HIV/AIDS,

lama

Therapy , dan fase penyakit (CD4 T Lymphocyte bagi pasien HIV/AIDS. Penelitian tentang kepatuhan

Count ).

berobat ART pada pasien ODHA di klinik Edelweis Self efficacy diukur menggunakan HIV pernah dilakukan Rahayu pada tahun 2009 dengan

Treatment Adherence Self efficacy Scale (HIV- hasil 60% pasien tidak patuh. Penelitian ini bertujuan

ASES) yang dikembangkan oleh Johnson et.al (2007) untuk mengetahui tingkat self efficacy pasien

dan berisi 12 item yang mengkaji tentang keyakinan HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito dalam mematuhi

melakukan perilaku yang pengobatan ART, serta mengetahui hubungan antara

diri pasien untuk

kepatuhan berobat dukungan sosial dan depressi dengan self efficacy

berhubungan

dengan

Antiretroviral Therapy dalam berbagai situasi 22 . dalam mematuhi pengobatan ART.

Masing-masing item memiliki rentang skor dari 0 untuk ”tidak yakin sama sekali” hingga 10 untuk

2. Metode Penelitian

”yakin benar dapat melakukannya”. Skor maksimal Penelitian

adalah 120 dimana skor yang semakin tinggi observasional analitik dengan pendekatan kuantitatif

menunjukkan self efficacy yang semakin tinggi. dan desain penelitian cross sectional. Penelitian ini

Tingkat self efficacy dikatakan rendah jika skor HIV- dilakukan di poliklinik Edelweis RSUP Dr. Sardjito

ASES ≤ 60 dan dikatakan tinggi jika skor HIV-ASES Yogyakarta antara bulan Maret hingga Mei 2012.

> 60. HIV-ASES memperlihatkan reliabilitas internal Teknik sampling yang digunakan adalah purposive

yang kuat (qs > .90) dan reliabilitas tes-tes ulang 3 sampling dengan jumlah sampel 64 orang.

bulan (rs > .70) dan 15 bulan (rs > .40) (Johnson et.al, Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah

pasien HIV/AIDS yang berusia minimal 18 tahun, Tingkat depressi pasien diukur menggunakan telah mendapatkan pengobatan antiretroviral selama

Inventory (BDI-II) yang minimal 1 bulan, berada pada fase HIV maupun

Beck

Depression

dikembangkan oleh Beck et.al (Saragih, 2008). AIDS, mampu berbahasa Indonesia atau berbahasa

Instrumen ini berisi 21 item pertanyaan yang Jawa, kondisi klinis pasien memungkinkan untuk

mengkaji tentang gejala-gejala depressi yang sesuai dilakukan pengambilan data/mengisi kuesioner

dengan kriteria DSM IV. Terdiri dari 4 poin skala penelitian, berdomisili di provinsi Daerah Istimewa

likert untuk tiap item yang memiliki rentang 0 hingga Yogyakarta, dan bersedia menjadi responden dalam

3. BDI memiliki koefisien reliabilitas alpha 0,757 penelitian ini. Sedangkan kriteria eksklusi dalam

sehingga layak untuk mengukur depressi pada penelitian ini adalah pasien HIV/AIDS yang dalam 1

analisis univariat, depressi bulan terakhir pernah dirawat inap, dan pasien yang

ODHA 24 .

Untuk

dikategorikan menjadi 4 kelompok (McDowell, dalam 1 bulan terakhir mendapatkan structured

2006) yaitu : skor<10 menunjukkan tidak ada treatment interruptions .

depressi/minimum, skor 10-18 menunjukkan Pengumpulan data dimulai dengan menjaring

depressi ringan-sedang, skor 19-29 menunjukkan pasien HIV/AIDS yang memenuhi kriteria inklusi

depressi sedang-berat, dan skor≥ 30 menunjukkan yang telah ditetapkan. Penjaringan ini dilakukan

depressi sangat berat. Untuk analisis bivariat maka depressi sangat berat. Untuk analisis bivariat maka

belakang pendidikan perguruan tinggi dan 28,1% skor responden≥10.

responden memiliki latar belakang pendidikan SMA. Tingkat dukungan sosial pasien diukur

perkawinanya, mayoritas menggunakan Sarason Social Support Questonnaire

responden (45,3%) memiliki status kawin. Dilihat

6 (SSQ-6). SSQ-6 terdiri dari 6 item pertanyaan yang dari usianya, rata-rata usia responden adalah 32,84 mengukur persepsi dukungan sosial yang dirasakan

tahun (SD=8,44) yang menunjukkan responden pasien. Dukungan sosial dikategorikan menjadi 2

pasien HIV/AIDS dalam penelitian ini berada pada yaitu : dukungan sosial tinggi jika skor responden>50

kelompok usia produktif. Sebanyak 48,4% responden dan dukungan sosial rendah jika skor responden≤50.

konsumsi alkohol dan Analisis data dilakukan dengan menggunakan

memiliki

riwayat

penyalahgunaan napza. Rata-rata responden pasien SPSS versi 17 dan meliputi analisis univariat dan

HIV/AIDS telah mengetahui diagnosis HIV-nya bivariat.

selama 44,30 bulan (SD=41,775), dan rata-rata sosiodemografis (jenis kelamin, tingkat pendidikan,

Analisis univariat

terkait

data

responden telah mendapat Antiretroviral Therapy di pekerjaan,

RSUP Dr.Sardjito selama 33,78 bulan (SD=31,747). penyalahgunaan alkohol dan napza, dan fase

Berdasarkan jumlah sel T CD4 (CD4 T Lymphocyte penyakit) menggunakan tabel distribusi frekuensi dan

Count ), sebanyak 22 responden (34,4%) memiliki persentase. Analisis univariat terkait data usia, lama

CD4 T Cell Count < 200 sel/µl darah yang waktu

menunjukkan bahwa pasien berada pada stadium mengkonsumsi obat antiretroviral menggunakan

terdiagnosis

HIV/AIDS,

dan

lama

immunodefisiensi/AIDS.

rerata dan standar deviasi (Mean±SD). Analisis Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran univariat untuk variabel depressi, dukungan sosial,

tingkat depressi pada pasien HIV/AIDS dengan dan self efficacy menggunakan tabel distribusi

menggunakan instrument Beck Depression Inventory frekuensi dan persentase.

(BDI). Gambaran depressi pada pasien HIV/AIDS di Hubungan antara depressi dengan self efficacy

RSUP Dr.Sardjito diperlihatkan oleh tabel 2. menjalankan pengobatan antiretroviral pada pasien

Penelitian ini menemukan bahwa setengah HIV/AIDS dianalisis dengan uji Chi Square jika

dari responden pasien HIV/AIDS mengalami memenuhi syarat. Jika syarat tidak terpenuhi, maka

depressi, yaitu sebanyak 26 responden (40,6%) digunakan uji alternatif Fisher exact test. Hubungan

mengalami depressi ringan dan 6 orang responden antara dukungan sosial dengan self efficacy dalam

(9,4%) mengalami depressi sedang. Pada penelitian menjalankan pengobatan antiretroviral dianalisis

ini tidak ditemukan adanya pasien HIV/AIDS yang dengan uji Chi Square jika memenuhi syarat. Jika

mengalami depressi berat.

syarat tidak terpenuhi, maka digunakan uji alternatif Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran Fisher exact test . Syarat uji Chi Square untuk tabel

tingkat dukungan sosial pada pasien HIV/AIDS 2x2 adalah : 1). Tidak boleh ada cell dengan

dengan menggunakan instrument SSQ-6. Dukungan frekuensi kenyataan (actual count) sebesar 0; 2).

sosial yang diterima pasien HIV/AIDS di RSUP Tidak boleh ada cell yang nilai frekuensi harapan

Dr.Sardjito diperlihatkan oleh tabel 3. (expected count) nya kurang dari 5. Hasil uji statistik

Berdasarkan tabel 3, dapat dilihat bahwa 35 dikatakan terdapat hubungan signifikan jika nilai

pasien HIV/AIDS (54,7%) p<0,05.

orang

responden

memperoleh tingkat dukungan sosial yang rendah. Pada penelitian ini, dilakukan pengukuran tingkat self

3. Hasil Penelitian

efficacy pasien HIV/AIDS dalam mematuhi program Sebanyak 64 pasien HIV/AIDS di Poli

Antiretroviral Therapy dengan Edelweis RSUP Dr. Sardjito antara periode Maret

pengobatan

menggunakan instrument HIV-ASES. Self efficacy 2012 - Mei 2012 yang memenuhi kriteria bersedia

pasien HIV/AIDS di RSUP Dr.Sardjito diperlihatkan berpartisipasi dalam penelitian ini. Karakteristik

oleh tabel 4.

responden penelitian ditunjukkan oleh tabel 1. Penelitian ini menemukan bahwa sebanyak Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa

26 orang responden (40,6%) memiliki self efficacy mayoritas pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito

mematuhi pengobatan berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 59,4%.

Analisis bivariat Berdasarkan pekerjaannya, mayoritas responden

Antiretroviral

Therapy .

menggunakan uji Chi Square dilakukan untuk bekerja di sektor swasta (67,2%) diikuti mahasiswa

hubungan antara dukungan sosial dan depressi (20,3%). Pada penelitian ini ditemukan bahwa 12,5%

dengan self efficacy pasien HIV/AIDS dalam responden tidak bekerja. Lebih dari setengah

mematuhi pengobatan Antiretroviral Therapy. Hasil responden memiliki latar belakang pendidikan yang

uji statistik diperlihatkan oleh tabel 4.

Tabel 1. Karakteristik responden pasien

Karakteristik Frekuensi (f) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki

38 59,4 Perempuan

26 40,6 Pekerjaan Swasta

43 67,2 Mahasiswa/Pelajar

13 20,3 Tidak bekerja

8 12,5 Status perkawinan Kawin

29 45,3 Belum kawin

26 40,6 Janda/Duda

9 14,1 Riwayat pendidikan SD

2 3,1 SMP

5 7,8 SMA

18 28,1 Perguruan Tinggi

39 60,9 Riwayat Alkohol dan Napza Ada riwayat

31 48,4 Tidak ada riwayat

33 51,6 Usia

SD = 8,44 Lama terdiagnosa HIV

Mean = 32,84 tahun

SD = 41,78 Lama mendapatkan ARV

Mean = 44,30 bulan

SD = 31,75 Fase penyakit CD4 T Lymphocyte Count < 200 sel/µl

Mean = 33,78 bulan

22 34,4 CD4 T Lymphocyte Count ≥ 200 sel/µl

Tabel 2. Depressi pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode Maret sampai Mei 2012 (n=64)

Tingkat Depressi Frekuensi (f) Persentase (%)

Tidak Depressi

Depressi Ringan

Depressi Sedang

Tabel 3. Dukungan sosial pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode Maret sampai Mei 2012

(n=64)

Dukungan Sosial Frekuensi (f) Persentase (%)

Tabel 4. Self efficacy pasien HIV/AIDS di RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Periode Maret sampai Mei 2012 (n=64)

Self Efficacy Frekuensi (f) Persentase (%)

Tabel 5. Hasil uji Chi Square Dukungan Sosial dan Depressi dengan Self Efficacy dalam Mematuhi Pengobatan Antiretroviral Therapy pada Pasien HIV/AIDS

Self Efficacy

Variabel

Rendah

Tinggi p

(f)

(f)

Dukungan Sosial Rendah

Tinggi

Depressi

Ya

Tidak

Hasil uji Chi Square antara dukungan sosial menghindari pekerjaan yang terlalu formal atau dengan self efficacy menunjukkan nilai p=0,001. Hal

bekerja di sektor publik. Data dari beberapa ini

penelitian menunjukkan bahwa pasien HIV/AIDS berhubungan signifikan dengan self efficacy. Pasien

menunjukkan bahwa

dukungan

sosial

lebih sering tidak bekerja atau bekerja di sektor non HIV/AIDS yang mendapatkan dukungan sosial yang

formal 6,13,33 . Hal ini berhubungan dengan ketakutan tinggi akan cenderung memiliki self efficacy yang

ODHA akan diskriminasi yang akan diterimanya di tinggi dalam mematuhi pengobatan Antiretroviral

tempat kerja sehingga ODHA cenderung memilih Therapy .

sektor informal sebagai sumber penghasilannya 33,34 . Tabel 5 juga memperlihatkan hasil uji Chi

Setengah responden penelitian ini memiliki Square antara depressi dengan self efficacy dan

latar belakang tingkat pendidikan tinggi. Kelompok menunjukkan nilai p=0,002. Karena nilai p<0,05,

pendidikan tinggi memiliki faktor resiko penularan maka dapat diinterpretasikan bahwa depressi

HIV yang lebih tinggi seperti seks bebas dan berhubungan signifikan dengan self efficacy. Pasien

penggunaan napza. Sepertiga hingga setengah HIV/AIDS yang mengalami depressi akan cenderung

mempunyai latar belakang memiliki self efficacy yang rendah dalam mematuhi

pengguna

napza

pendidikan tinggi, yaitu tamat SLTA, disusul pengobatan Antiretroviral Therapy.

sarjana 29 . Mayoritas responden penelitian ini telah

4. Pembahasan

menikah. Hasil ini sedikit berbeda dbanding HIV/AIDS adalah masalah kesehatan global

penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa yang menyebabkan tingkat kematian yang tinggi,

sebagian besar responden memiliki status belum termasuk di Indonesia. Di Indonesia sendiri, menurut

kawin 7 . Pernikahan adalah salah satu sumber data dari UNAIDS (2017) diperkirakan terdapat

efektif dan mempengaruhi 620.000 penderita HIV/AIDS dengan jumlah kasus

dukungan

paling

kesehatan pasien dengan penyakit kronik 35 . baru HIV sebanyak 48.000 pada tahun 2016. Pada

Banyaknya responden penelitian ini yang tahun yang sama, 38.000 penderita HIV/AIDS

memiliki riwayat penggunaan alkohol dan napza meninggal akibat penyakitnya (UNAIDS, 2017).

sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang Penelitian ini melibatkan pasien HIV/AIDS

menunjukkan bahwa sebagian besar penderita yang memperoleh pengobatan antiretroviral therapy

pengguna napza dan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Mayoritas

HIV/AIDS

merupakan

alkohol 6,7,16,29 . Injecting Drug User adalah mode responden pada penelitian ini berjenis kelamin laki-

transmissi utama dalam penyebaran HIV dan cara laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

penularan yang paling efisien, bahkan kenyataanya sebelumnya bahwa sebagian besar pasien HIV/AIDS

jauh lebih efisien dibanding melalui hubungan seks 28 . berjenis kelamin laki-laki (Russell et.al, 2004;

penyalahgunaan napza merupakan mode transmissi Widjaja et.al, 2011; Rintamaki et.al, 2006) . Hal ini

HIV utama kedua setelah seks heteroseksual 31 . disebabkan karena laki-laki cenderung lebih sering

responden telah mengetahui melakukan perilaku seksual berisiko, memiliki lebih

Rata-rata

diagnosis penyakitnya selama 44,30 bulan atau banyak partner seksual, dan lebih sering melakukan

sekitar 3 tahun 8 bulan. Sedangkan rata-rata pasien penyalahgunaan napza (Wexler, 2008; Paramita,

telah mendapat ARV selama 33,78 bulan. Dari hasil 2006; Komisi Penanggulangan AIDS, 2007). Rata-

ini dapat disimpulkan bahwa rata-rata pasien rata usia responden adalah 32,84 tahun yang

memiliki durasi diagnosis sakit dan pengobatan yang menunjukkan bahwa penyakit HIV/AIDS mayoritas

belum lama. Hal ini mungkin disebabkan karena diderita oleh kelompok usia produktif, yaitu usia

program penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan antara 20-39 tahun (Holstad et.al, 2006; Colbert,

oleh pemerintah, LSM, agensi asing 13 . Sejak tahun 2007; Paramita, 2006; Sarna et.al, 2008). Data dari

2007, jumlah klinik VCT dan CST semakin UNAIDS (2017) menunjukkan bahwa dari 1,8 juta

meningkat dan hal ini disertai ketersediaan obat ARV penderita baru HIV, sebanyak 1,7 juta merupakan

yang terjangkau oleh masyarakat sebagai upaya penderita berusia dewasa. Kelompok usia produktif

strategi nasional penanggulangan HIV/AIDS 31 . merupakan kelompok usia yang paling aktif

Manajemen pengobatan Highly Active Antiretroviral melakukan perilaku seksual berisiko dan merupakan

Therapy menjadi metode pengobatan utama pada kelompok pengguna napza terbesar sehingga berada

pasien HIV/AIDS dimana pemberian kombinasi lebih pada risiko penularan HIV (Komisi Penanggulangan

dari satu agen antiretroviral baik dari golongan yang AIDS, 2007).

sama maupun berbeda akan mampu menciptakan Banyaknya pasien HIV/AIDS yang bekerja di

supressi virus total dan meningkatkan fungsi imun sektor swasta dalam penelitian ini mungkin

dari pasien, sehingga akan mampu mencegah disebabkan karena sebagian besar pasien HIV/AIDS dari pasien, sehingga akan mampu mencegah disebabkan karena sebagian besar pasien HIV/AIDS

Penelitian yang sama Antiretroviral

mengalami

depressi.

didapatkan oleh Bathia dan Munjal (2014) yang penurunan substansial pada jumlah kematian karena

therapy telah

membawa

menemukan bahwa prevalensi depressi pada pasien HIV, merubah HIV/AIDS dari penyakit mematikan

HIV/AIDS sebesar 58,75%, dan Charles et.al (2012) tak terobati menjadi penyakit kronik yang dapat

yang menemukan prevalensi depressi berat sebesar dimanajemen dan penderitanya mampu bertahan

17%. Di Indonesia, depressi pada ODHA jauh lebih hidup dalam waktu yang lama (UNAIDS, 2017;

tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Saragih Broder, 2009; Montaner et.al, 1999). Berdasarkan

(2008) terhadap 100 ODHA di RSUP Haji Adam data dari UNAIDS (2017), pada tahun 2016

Malik Medan yang memperlihatkan bahwa 74% diperkirakan hanya 12-16% dari seluruh penderita

responden mengalami gejala depressi. HIV/AIDS di Indonesia yg memperoleh pengobatan

terjadinya depressi pada antiretroviral. Akses antiretroviral yang rendah ini

Penyebab

HIV/AIDS merupakan proses yang kompleks dan diikuti peningkatan kematian (AIDS related death)

faktor psikososial, efek samping sebesar 68% antara tahun 2000 hingga 2016

melibatkan

pengobatan, dan proses infeksi HIV pada sistem saraf (UNAIDS, 2017).

pusat (Valente dan Saunders, 1997; Bathia dan Berdasarkan penghitungan CD4 terakhir yang

Munjal, 2014). Meskipun depressi memiliki angka dilakukan responden pada tabel 1, terlihat bahwa

kejadian yang tinggi pada HIV/AIDS, namun sebanyak 22 responden (34,4%) memiliki jumlah

gangguan jiwa ini sangat sering tidak terdiagnosis Limfosit T CD4 < 200 sel/µl. Hal ini menunjukkan

sehingga tidak tertangani (Bathia dan Munjal, 2014). bahwa hampir setengah dari responden berada pada

Depressi pada HIV/AIDS yang tidak tertangani stadium klinis AIDS berdasarkan sistem klasifikasi

memiliki berbagai dampak negatif antara lain CDC tahun 1993. Dalam sistem klasifikasi

kunjungan rumah sakit dan HIV/AIDS oleh CDC tahun 1993, seeorang dikatakan

meningkatkan

pengeluaran pasien, substance abuse, menurunkan mengalami AIDS apabila salah satu dari hal berikut

kemampuan self care pasien, menurunkan kepatuhan terpenuhi yaitu : 1). Munculnya gejala-gejala klinis

berobat, dan juga menurunkan kualitas hidup pasien yang merupakan kriteria definitif dari AIDS dengan

(Psaros et.al, 2015., Berger et.al., 2006; Penzak et.al, tidak memandang jumlah CD4 pasien; 2). Jumlah

CD4 < 200 sel/µl darah tanpa memandang muncul Gambaran dukungan sosial berdasarkan tabel tidaknya gejala klinis AIDS (Wexler, 2008). Jumlah

11 diatas, diketahui Mean skor SSQ-6 sebesar 52,09 CD4 kurang dari 200 sel/µl berhubungan dengan

(SD = 15,10) yang artinya rata-rata pasien HIV/AIDS viral load yang meningkat dan menunjukkan adanya

memiliki skor dukungan sosial sebesar 52,09. Skor deteriorasi sistem imun (Hoffman et.al, 2007)

tersebut jauh lebih rendah daripada skor maksimal Jumlah CD4 yang menurun berhubungan

yang dapat diperoleh sebesar 90 yang menunjukkan dengan progressifitas penyakit HIV.Menurut Guyton

bahwa tingkat dukungan sosial yang diterima pasien dan Hall (2006) dan Murray et.al (2009), virus HIV

HIV/AIDS tergolong rendah. menyerang limfosit T CD4 untuk melakukan

ini, mayoritas pasien replikasi diri. Proses replikasi tersebut menyebabkan

Pada

penelitian

HIV/AIDS mendapatkan dukungan sosial yang lisisnya sel T CD4 sehingga menyebabkan jumlah

rendah. Hasil penelitian ini memperkuat hasil CD4 menurun secara signifikan. Sel T CD4 sendiri

penelitian sebelumnya bahwa penderita HIV/AIDS adalah salah satu limfosit yang berperan dalam

mendapatkan dukungan sosial yang rendah (Lifson mengatur sistem immunitas adaptif baik imunitas

et.al , 2015; Forouzan et.al, 2013; Widjaja et.al, 2011; humoral (limfosit B) dan immunitas selluler (limfosit

Holstad et.al, 2006; Vyavaharkar et.al, 2010; Colbert T Sitotoksik) lewat produksi berbagai sitokin.Tanpa

et.al , 2007; Gordillo et.al, 1999). adanya sitokin maka seluruh sistem imun mengalami

Menurut Fourzan et.al (2013), rendahnya kelumpuhan. Sel CD4 yang dihancurkan oleh HIV

tingkat dukungan sosial pada ODHA ini disebabkan membuat tubuh hampir secara total tak terlindung

karena sikap negative dari masyarakat, diskriminasi dari infeksi sehingga munculah sindrom AIDS.

dan stigmatisasi terutama di negara berkembang Setengah responden pada penelitian ini

(Forouzan et.al, ,2013). ODHA sering dijauhi secara mengalami depressi. Depressi merupakan salah satu

sosial, mengalami perubahan perilaku seksual dan gangguan jiwa yang paling sering terjadi pada pasien

gambaran citra tubuh. Menurut Parker dan Aggleton HIV/AIDS (Arsentou et.al, 2014; Akena et.al, 2012;

(2003), ODHA sering mendapatkan pandangan Bathia dan Munjal, 2014; Psaros et.al, 2015).

masyarakat tempatnya berada. Prevalensi depressi pada HIV/AIDS sekitar 22-32%

negatif

dari

Vyavaharkar et.al (2010) mengemukakan bahwa atau 3-5 kali lebih tinggi daripada populasi umum

stigma HIV menimbulkan perilaku menghindar dan (Penzak, 2000). Penelitian oleh Psaros et.al (2015)

diskriminasi terhadap ODHA. Persepsi tentang diskriminasi terhadap ODHA. Persepsi tentang

dengan hasil penelitian sebelumnya yang menemukan diri dari lingkungan, dan enggan untuk membuka

bahwa tingkat self efficacy pasien HIV tergolong status HIV-nya

rendah (Widjaja et.al, 2011; Cha et.al, 2008). Menurut Kalichman et.al (2003), ODHA

Widjaja et.al (2011) mengukur self efficacy pasien harus melakukan pengungkapan sosial terkait status

HIV di 5 kota besar di Indonesia yaitu di Jakarta, HIV yang dimilikinya agar mendapatkan dukungan

Malang, Bandung, Makasar, dan Banda Aceh sosial yang diperlukan. Jumlah pengungkapan sosial

HIV ASES. Hasil berhubungan dengan dukungan sosial yang diterima

menggunakan

instrument

penelitian Widjaja et.al (2011) tersebut menemukan ODHA. Namun membuka status HIV dapat

bahwa tingkat self efficacy pasien HIV tergolong menimbulkan konsekuensi social yang serius

rendah.

termasuk stigma, penolakan, penelantaran, dan Self efficacy adalah persepsi individu yang bahkan kekerasan fisik (Kalichman et.al, 2003;

kemampuan mereka untuk Rintamaki et.al, 2006). ODHA yang membuka

positif

tentang

menjalankan tugas dalam situasi tertentu. Sedangkan statusnya kadang justru mendapatkan reaksi negatif

menurut Wilhite adalah suatu keadaan dimana yang membuat mereka kehilangan dukungan sosial.

seseorang yakin dan percaya bahwa mereka dapat Menurut

mengontrol hasil usaha yang telah dilakukan. Dalam Kalichman et.al (2003) dan Rintamaki et.al (2006),

Simoni

et.al (1995)

dalam

konteks pengobatan HIV, Self efficacy adalah ketakutan untuk membuka identitas diri, terutama

keyakinan ODHA terhadap kemampuannya untuk untuk menghindari stigma dan diskriminasi adalah

taat pada rencana pengobatannya. Menurut pendapat penyebab utama banyak ODHA enggan membuka

dari Luszczynska et.al (2007), self efficacy adalah statusnya. Hal ini membuat ODHA selektif dalam

salah satu kunci psikologis dalam memprediksi melakukan pengungkapan tentang statusnya, dimana

kepatuhan terhadap pengobatan antiretroviral. Pasien hal ini dipengaruhi oleh hubungan dengan orang lain.

dengan self efficacy yang rendah kurang mampu Seorang ODHA mungkin memilih untuk terbuka

untuk mengikuti pengobatan yang direkomendasikan. pada seseorang dan tidak pada orang lain, yang hal

Diantara individu yang hidup dengan HIV, mereka ini turut mempengaruhi jumlah dukungan yang

yang memiliki self efficacy yang kuat memiliki level diterimanya.

yang lebih rendah mengungkapkan statusnya karena ketakutan akan

(norepinephrine/cortisol ratio) jika berhadapan diskriminasi yang diterimanya berdampak pada

dengan stress. Bandura (1997) dalam Colbert (2007) dukungan sosial yang rendah pada ODHA. Swindells

menegaskan bahwa dalam pengukuran self efficacy et.al (1999) melaporkan bahwa kualitas dukungan

harus dapat membedakan self efficacy level, sosial yang diterima ODHA dari tiap komponen

Generality , dan Strength. Level adalah kompleksitas dukungan sosial (tangible, informasi, emosi) jauh

dari perintah dan berada pada rentang antara lebih penting dibanding dengan aspek kuantitas dari

sederhana hingga sangat menantang. Generality, dukungan sosial itu sendiri.

sebaliknya, mengukur kemampuan individu untuk Dalam penelitian ini, sebanyak 37 responden

melakukan aktivitas yang banyak, dengan segmen (57,81%) menyatakan bahwa keluarga mereka tidak

kecil perintah yang diperlukan dalam domain mengetahui

tertentu. Dalam konteks pengobatan, hal itu Ketidaktahuan keluarga ini membuat ODHA tidak

diterjemahkan sebagai kemampuan individu untuk dapat memperoleh dukungan yang mereka perlukan

meminum obat yang diresepkan dalam berbagai dari keluarga dan mungkin hal inilah yang

situasi. Strength adalah kekuatan persepsi self berkontribusi terhadap tingkat dukungan yang

efficacy .

rendah. Responden kebanyakan

Menurut Martoz-Mendez (2015), salah dukungan dari teman-teman sesama penderita atau

mendapatkan

satu variabel kognitif yang mempengaruhi perilaku dukungan sebaya. Selain itu dukungan juga mereka

kesehatan adalah self efficacy. Model Psikososial The peroleh dari kelompok dukungan sebaya atau LSM

Attitude, Social Influence, and Self-Efficacy (ASE) yang bergerak dalam perawatan ODHA. Hal ini

pasien yang memtauhi sejalan dengan pendapat dari Kalichman et.al (2003),

menyatakan

bahwa

pengobatan harus memiliki sikap positif terhadap yang menemukan bahwa ODHA lebih membuka diri

kepatuhan berobat, pengaruh sosial yang mendukung kepada teman dibandingkan kepada keluarganya.

kepatuhan, dan self efficacy yang cukup untuk Sedangkan menurut Riley dan Woo (2004), tenaga

mematuhi pengobatan yang diresepkan. Dalam kesehatan, teman sebaya, dan LSM jauh lebih

kaitannya dengan penelitian ini, pasien HIV/AIDS membantu dibandingkan keluarga.

yang merasa mampu melaksanakan rekomendasi Penelitian ini menemukan bahwa cukup

dokter terkait pengobatan, diet, dan aktivitas fisik banyak responden yang memiliki self efficacy untuk

akan lebih berhasil untuk melakukan perilaku akan lebih berhasil untuk melakukan perilaku

dukungan sosial meningkatkan self efficacy adalah kepatuhan berobat ART pada pasien HIV/AIDS

melalui penghambatan gejala depressi.

Melalui self efficacy inilah, bagaimana meningkatkan motivasi diri pasien, mempengaruhi

(Adefolalu et.al ), karena self efficacy akan

dukungan sosial akan meningkatkan outcome fisik kognitif, afektif, kognitif, dan membuat pasien

dan psikologis dari suatu masalah kesehatan. mampu beradaptasi akan distress /hambatan dari

Dukungan sosial yang baik akan meningkatkan self pengobatan (Martoz-Mendez, 2015).

efficacy dan meningkatkan kepatuhan berobat pasien Penelitian ini menemukan adanya hubungan

HIV/AIDS. Hal ini telah dibuktikan oleh penelitian yang signifikan antara dukungan sosial dengan

sebelumnya bahwa dukungan sosial berhubungan tingkat self efficacy pasien HIV/AIDS dalam

dengan kepatuhan menjalan pengobatan pada pasien mematuhi pengobatan Antiretroviral Therapy. Pasien

HIV/AIDS (Kaguiri, 2014; Cha et.al, 2008; Holstad yang memiliki dukungan sosial yang tinggi

et.al , 2006; Gordilo et.al , 1999). Bandura cenderung memiliki self efficacy yang lebih tinggi

bahwa perilaku manusia pula. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

(1977) meyatakan

merupakan hasil interaksi antara sistem diri (variabel sebelumnya yang menemukan bahwa dukungan

pribadi seperti self efficacy) dan faktor eksternal yang sosial

mempenagruhinya (seperti dukungan sosial dan mempengaruhi self efficacy (Cha et.al, 2008; Simoni

merupakan salah

hubungan interpersonal), karena individu beroperasi et.al , 2006; Van Servellen dan Lombardi, 2005). Cha

dalam seperangkat pengaruh sosiokultural. Sehingga et.al (2008) menemukan bahwa dukungan sosial

hubungan interpersonal dan self efficacy dapat berkorelasi positif dengan self efficacy pasien

penting dalam perilaku HIV/AIDS dan self efficacy menjadi mediator dalam

memainkan

peranan

kesehatan pada penyakit kronis, termasuk kepatuhan mekanisme

berobat (Martoz-Mendez, 2015). mempengaruhi kepatuhan berobat pada pasien

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa HIV/AIDS.

terdapat hubungan yang signifikan antara depressi Van

dengan self efficacy pasien HIV/AIDS dalam menemukan bahwa persepsi hubungan interpersonal

mematuhi pengobatan Highly Active Antiretroviral yang mendukung dan kondisi mood yang positif

Therapy . Hal ini menunjukkan bahwa depressi meningkatkan self efficacy. Salah satu mekanisme

merupakan salah satu faktor psikologis yang bagaimana dukungan sosial mempengaruhi self

mempengaruhi self efficacy. Hasil penelitian ini efficacy belum terlalu jelas, namun penelitian

didukung oleh banyak hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dukungan sosial yang tinggi

yang menunjukkan ada hubungan antara depressi akan meningkatkan rasa optimisme dan strategi

dengan self efficacy dalam mematuhi pengobatan coping pasien, dan peningkatan optimisme dan

(Sympa et.al, 2017; Cha et.al, 2008; Van Servellen strategi coping ini pada akhirnya akan meningkatkan

dan Lombardi , 2005; Simoni et.al, 2006). Penelitian kepatuhan berobat (Godin et.al, 2005 cit Cha et.al,

Sympa et.al (2017) menemukan bahwa tingkat 2008).

depressi pada pasien DM tipe 2 relatif tinggi dan Penelitian lain juga menunjukkan dukungan

depressi berkorelasi secara negatif dengan self sosial dapat meningkatkan harga diri, menghilangkan

efficacy . Hasil yang sama diperoleh oleh Cha et.al rasa tidak punya harapan, dan mengurangi gangguan

(2008) dimana depressi berkorelasi secara negatif kognitif atau rasa lupa yang diakibatkan oleh depressi

dengan self efficacy dan self efficacy menjadi (Simoni et.al, 2006 cit Cha et.al, 2008). Forouzan

mediator dalam mekanisme bagaimana depressi et.al (2013) menyebutkan bahwa dukungan sosial

mempengaruhi kepatuhan berobat Antiretroviral dapat meningkatkan outcome fisik dan psikologis,

Therapy pada pasien HIV/AIDS. meningkatkan

Self efficacy secara umum dibentuk oleh pengobatan, dan perilaku perawatan diri. Pada

informasi dari 4 sumber yaitu pengalaman penelitiannya, Simoni et.al (2006) menemukan

sebelumnya tentang kemampuan mencapai tujuan, bahwa depressi dapat di buffer oleh dukungan sosial.

persepsi orang lain yang mampu mencapai tujuannya, Dukungan

feedback dan pujian dari orang lain tentang peningkatan depressi, dan peningkatan depressi

sosial yang

rendah menyebabkan

kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan, dan menyebabkan penurunan self efficacy mematuhi

kondisi psikologis (Bandura, 1977 cit Berg et al, pengobatan. Hasil penelitian Simoni dan kolega

2009). Pasien yang mengalami depressi akan merasa tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini yang

dirinya tidak berguna, merasa hidupnya tidak menemukan bahwa setengah responde memiliki

berharga, dan tidak memiliki motivasi untuk dukungan sosial yang rendah dan depressi, dan

mencapai tujuan pengobatan, sehingga depressi terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial mencapai tujuan pengobatan, sehingga depressi terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial

Feb; 21(2) : 24

Hasil penelitian menunjukkan bahwa depressi Broder, Samuel. (2010). The development of dan dukungan sosial merupakan faktor yang

antiretroviral therapy and its impact on the mempengaruhi self efficacy kepatuhan pasien HIV.

pandemic. Journal of Peningkatan

HIV-1/AIDS

Antiviral Research ., 85 : 1–18 intervensi yang penting dalam meningkatkan

self

efficacy pasien

merupakan

Charles, B., Jeyaseelan, L., Pandian, AK., Sam, AE., kepatuhan berobat pasien HIV/AIDS, dan pada

Thenmozhi, M., Jayaseelan, V. Association akhirnya diharapkan dapat meningkatkan harapan

between stigma, depression and quality of hidup dan kualitas pasien HIV/AIDS (Adefolalu

life of people living with HIV/AIDS et.al , 2014). Upaya peningkatan self efficacy ini

(PLHA) in South India – a community based diantaranya dapat

difokuskan melalui upaya cross sectional study. BMC Public Health, peningkatan dukungan sosial dan pencegahan

depressi pada pasien HIV/AIDS. Cha, EunSeok; Erlen, Judith A; Kim, Kevin H; Sereika, Susan M; Caruthers, Donna.

5. Kesimpulan

Mediating roles of medication–taking self- Dukungan sosial dan depressi berhubungan

efficacy and depressive symptoms on self- secara signifikan self efficacy dalam mematuhi

reported medication adherence in persons pengobatan Highly Active Antiretroviral Therapy

A questionnaire survey. pada pasien HIV/AIDS di RSUP Dr. Sardjito.

with

HIV:

International Journal of Nursing Studies 45 Pengkajian terkait tingkat dukungan sosial dan

depressi pada pasien diikuti pengembangan intervensi Colbert, Alison Merece. 2007. Functional Health keperawatan yang berfokus pada peningkatan

Literacy, Medication-Taking Self efficacy dukungan sosial dan pencegahan depressi diharapkan

Medication Adherence . akan dapat meningkatkan self efficacy dan kepatuhan

and

HIV

Dissertation School of Nursing University of berobatn pasien.

Pittsburg. Forouzan, AS; Shushtari, ZJ; Sajjadi, H; Salimi, Y;

Dejman, M. Social Support Network among Adefolalu, A; Nkosi, Z; Olorunju, S; Masemola, P.

6. Referensi

People Living with HIV/AIDS in Iran. AIDS Self-efficacy,

and Treatment adherence to antiretroviral therapy by

Volume 2013 (2013), Article ID 715381, 7 patients attending a health facility in

pages

Pretoria. South

Gordillo, V., Del Amo, J., Soriano, V., & Gonzalex- Practice ,Volume 56, 2014 - Issue 5

African

Family

Sociodemographic and Akena, D., Musisi, S., Joska, J., Stein, J. The

Lahoz,

J.

variables influencing Association between Aids Related Stigma

psychological

adherence to antiretroviral therapy. AIDS, and Major Depressive Disorder among HIV-

1999, 13, 1763-1769. Positive Individuals in Uganda. PlosOne,

Hayness, R Brian; Ackloo, E; Sahota, N; McDonald, November 2012, Volume 7, Issue 11,

Yao, Xiaomei. (2008). e48671

H Pauline;

Interventions for Enhancing Medication Arseniou, S., Arvaniti, A., Samakourt, M. HIV

Adherence. The Cochrane Collaboration. Infection and Depression. Psychiatry and

Published by JohnWiley & Sons, Ltd Clinical Neurosciences 2014; 68: 96–109

Rockstroh, Jürgen K; Basavaraj, KH., Navya, MA., Rashmi, R. Quality of

Hoffman,

Christian;

Sebastian .(2007). HIV Life in HIV/AIDS. Indian J Sex Transm Dis.

Kamps,Bernd

Medicine 2007 . Hamburg : Flying Publisher 2010 Jul-Dec; 31(2): 75–80.

Holstad, Marcia, K, McDonnell., Pace, James, C., Bathia, MS dan Munjal, S. Prevalence of Depression

De, Anindya, K., Ura, Darla, R., (2006), in

Factors Associated With Adherence to Undergoing ART and Factors Associated

People Living

with

HIV/AIDS

Antiretroviral Therapy, Journal of the with it. Journal of Clinical and Diagnostic

Association of Nurses In AIDS Care , Vol. Research . 2014 Oct, Vol-8(10): WC01-

17, No. 2, March/April 2006, 4-15 WC04

Johnson, MO; Neilands, TB; Dilworth, S; Morin, SF; Berg, KM; Cooperman, NA; Arnsten, JH. Self-

Remien, SF; Chesney, MA. The Role of Efficacy and Depression as Mediators of the

Self-Efficacy in HIV Treatment Adherence: Relationship

Validation of the HIV Treatment Adherence

Self-Efficacy Scale (HIV-ASES). J Behav

of Biomedicine & Med , 2007, Oct; 30(5) : 359–370.

Art”.

Journal

Pharmacotherapy ., 53 : 63-72 Joint United Nations Programme on HIV/AIDS.

Paramita, D. 2006. Profil Penderita HIV/AIDS RS 2017. UNAIDS Data 2017.

Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2003-2005 Kaguiri, E. 2014. Role of social support on

dan Efek Terapi Antiretroviral Terhadap adherence to antiretroviral therapy among

Hemoglobin . Skripsi Fakultas patients attending AMPATH clinic at Moi

Kadar

Kedokteran UGM

Teaching and Referral Hospital, Eldoret, Parker, Richard; Aggleton, Peter. HIV and AIDS- Kenya . Thesis Moi University. Diakses dari

and discrimination: a http://ir.mu.ac.ke:8080/xmlui/handle/123456

related stigma

conceptual framework and implications for 789/236

action. Social science medicine (2003) Kalichman, Seth C; DiMarco Michael; Austin,

Volume: 57, Issue: 1; Pages: 13-24 James; Luke, Webster; DiFonzo, Kari.

Paros, C; Haberer, JE; Haberer, YB; Tsai, Stress, Social Support, and HIV-Status

AC; Martin, JN; Hunt, PW; et.al. The Factor Disclosure to Family and Friends Among

Structure and Presentation of Depression HIV-Positive Men and Women. Journal of

Among HIV-Positive Adults in Uganda. Behavioral Medicine, Vol. 26, No. 4, August

AIDS Behav , 2015 January; 19 (1) : 27–33. 2003

Penzak, Scott R; Reddy, Y Sunila; Grimsley, Sara R. Komisi Penanggulangan AIDS. (2007). Strategi

Depression in patients with HIV infection. Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS

Am J Health-Syst Pharm —Vol 57 Feb 15, Tahun

http://www.undp.or.id/programme/pro- Rahayu, Mukti. 2009. Evaluasi Kepatuhan dan poor/The%20National%20HIV%20%26%2

yang Mempengaruhi 0AIDS%20Strategy%202007-

Faktor-faktor

Ketidakpatuhan pasien HIV/AIDS di RSUP 2010%20(Indonesia).pdf pada tanggal 25

Yogyakarta Periode Juli- Mei 2012

dr.Sardjito

September 2009 . Skripsi Fakultas Farmasi Li, X; Huang, L; Wang, H; Fennie, KP; He, G;

UGM

Reif, S; et.al. Three Types of Self Efficacy Relationship

William,

AB. Stigma

Mediates

the

Associated With Medication Adherence in Medication Adherence, and Quality of Life

Between

Self-Efficacy,

Patients with Co-Occuring HIV and Among People Living with HIV/AIDS in

Substance Use Dissorders, But Only When China. AIDS PATIENT CARE and STDs

Mood Dissorders are Present. Journal of Volume 25, Number 11, 2011