STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH RAWAN LONGSOR PADA BATUAN BREKSI PIROKLASTIK (STUDI KASUS WILAYAH LONGSOR GUNUNG PAWINIHAN, BANJARNEGARA)

  

“Tema: 2 pengelolaan wilayah kelautan, pesisir dan pedalaman”

STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH RAWAN LONGSOR PADA

BATUAN BREKSI PIROKLASTIK (STUDI KASUS WILAYAH

LONGSOR GUNUNG PAWINIHAN, BANJARNEGARA)

  

Oleh

  • *1 *2 *2

  

Indra Permanajati , Zufialdi Zakaria , Mochamad Sapari Dwi Hadian ,

  • *3 Herryal Zoelkarnain Anwar

1 Mahasiswa S3 Teknik Geologi Universitas Padjadjaran dan Staf Pengajar Jurusan

  

Teknik Geologi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

  2 Staf Pengajar Jurusan Teknik Geologi Universitas Padjajaran, Bandung

  3 Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bidang Geoteknologi, Bandung

[email protected]

ABSTRAK

  Pengelolaan wilayah merupakan strategi untuk menjaga agar kondisi wilayah tetap memberikan fungsi maksimal terhadap lingkungannya. Salah satu strategi pengelolaan wilayah yang perlu mendapat perhatian adalah pengelolaan wilayah rawan bencana, karena wilayah ini memerlukan pengkajian khusus sebelum melakukan strategi pengelolaan. Seperti yang terjadi di wilayah longsor Gunung Pawinihan, Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara. Daerah ini sudah mengalami longsor bulan Januari 2006 dan telah menelan korban lebih dari 80 orang. Agar tidak terulang lagi bencana yang memakan korban jiwa cukup besar, diperlukan penelitian mengenai wilayah rawan longsor tujuan pengelolan wilayah dapat menghasilkan kondisi yang maksimal. Metode penelitian adalah identifikasi daerah longsor dengan menggunakan metode Varnes (1978) mengenai anatomi longsor, kemudian melakukan rekomendasi pencegahan berdasarkan hasil observasi lapangan. Dari hasil penelitian didapatkan sumber-sumber bencana dan tipe longsoran. Anatomi longsoran yang teramati adalah mahkota longsoran pada ketinggian ± 1000 mdpl dengan bentuk melengkung dan arah longsoran adalah menuju tenggara, kemudian batas kanan dan kiri longsoran ( right flank dan left flank ) juga teramati. Material longsoran teramati ± 1 km dari sumber dan mengenai pemukiman penduduk. Stategi penanganan disesuaikan dengan karakteristik alam lokasi bencana.

  Kata Kunci: longsor, anatomi longsor, strategi penanganan

  ABSTRACT

  Area management is a strategy to keep the condition of the region still provide maximum function to the environment. One of the areas management strategies that need attention is the management of disaster prone areas, as these areas require special assessment before undertaking a management strategy. As happened in the landslide area of Mount Pawinihan, Sijeruk Village, Banjarmangu District Banjarnegara Regency. This area has already suffered a landslide in January 2006 and has claimed more than 80 lives. In order not to repeat the disaster that takes a big enough casualties, it is necessary research on the landslide prone areas of the purpose of managing the region can produce maximum conditions. The research method is identification of landslide area by using Varnes method (1978) about landslide anatomy, then doing preventive recommendation based on field observation result. From the results of the study obtained the sources of disasters and types of landslides. The observed landslide anatomy is the avalanche crown at an altitude of ± 1000 m above sea level with the curved shape and the direction of landslide is to the southeast, then the right and left flank borders are also observed. Avalanche material is observed ± 1 km from the source and about the settlement of the population. Handling strategies are tailored to the natural characteristics of the disaster site. Keywords: landslide, landslide anatomy, handling strategy

  PENDAHULUAN

  Pengelolan wilayah adalah usaha manusia untuk memaksimalkan potensi wilayah menjadi hal yang berguna untuk kebutuhan manusia dan ekosistem di lingkungannya. Setiap wilayah mempunyai karakteristik yang berbeda berdasarkan kondisi alam dan manusia yang menghuninya. Pengelolan terhadap wilayah perlu dilakukan untuk menjaga kesetimbangan ekosistem di wilayahnya dan keberlanjutannya. Salah satu wilayah yang perlu penanganan secara spesifik adalah wilayah rawan bencana, karena pengelolaan wilayah harus memasukkan karakteristik alam yang rawan bencana. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga wilayah dari kemungkinan bencana yang akan terjadi. Seperti yang terjadi pada longsoran Gunung Pawinihan tahun 2006, karena pengelolaan tidak memasukan kondisi rawan bencana sehingga terjadi bencana yang mengakibatkan korban jiwa lebih dari 80 orang meninggal dunia (Permanajati dkk., 2006). Kondisi yang semacam ini diharapkan tidak akan terjadi lagi di masa mendatang. Salah satu strateginya adalah melakukan langkah identifikasi lokasi rawan bencana sebelum melakukan langkah pengelolan wilayah. Lokasi penelitian adalah di lokasi longsoran Gunung Pawinihan, Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara (Gambar 1). Kemudian menurut Condon dkk. (1996) batuan di daerah penelitian tersusun atas breksi piroklastik (Gambar 2) dan mempunyai kemiringan lereng 30°- 45° (Priyono dkk., 2008). Lokasi penelitian juga dibagi menjadi beberapa zona pelapukan berdasarkan pengukuran tingkat pelapukan (Permanajati dkk., 2017).

  Gambar 1. Lokasi Penelitian

  Peta Geologi Daerah Gunung Pawinihan dan Sekitarnya

  Gambar 2. Peta Geologi daerah Penelitian

METODE PENELITIAN

  Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah identifikasi lokasi longsor dengan menggunakan metode Varnes (1978) untuk mengidentifikasi anatomi longsoran (Gambar 2). Identifikasi ini didasarkan atas bentuk fisik dari longsoran dan bagian-bagiannya. Kemudian dari manifestasi anatomi longsor akan dapat dibuatkan strategi pencegahan longsoran di masa mendatang.

  Gambar 2. Anatomi longsor menurut Varnes (1978)

  HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Wilayah Longsoran

  Daerah penelitian secara umum terdapat dalam jajaran Pegunungan volkanik (Van Bemmelem, 1949), dimana daerah tersebut merupakan daerah perbukitan dengan ketinggian sekitar 1000 m dpl. Kondisi pegunungan sangat memungkinkan untuk terjadinya longsoran terkait dengan geometri lerengnya. Lokasi penelitian tepat terdapat pada posisi koordinat S 07

  19’ 16,1” dan E 109

  42’ 08,3’’ dengan elevasi 994 m dpl. Lokasi tersebut merupakan mahkota utama longsoran ( ) Gunung Pawinihan yang terjadi pada tanggal 4 Januari 2006. Longsoran yang terjadi

  main scarp

  merupakan konversi dari longsoran jenis rombakan ( ) menjadi aliran rombakan (

  debris slide debris

  ) dengan jalur longsoran ( ) sekitar satu kilometer (Gambar 3). Material yang terbawa

  flow flow treck

  longsor merupakan material utama dari longsor di mahkota utama yang bercampur dengan material-material di bawahnya yang ikut tergerus dan terbawa longsoran. Jalur longsoran adalah lokasi yang secara topografi merupakan sungai bagian hulu yang relatif berbentuk “V” (Gambar 3). Sungai tersebut merupakan sungai yang akan terisi air hanya pada musim hujan saja

  intermitten

  dan tergolong daerah erosi parit ( ) dengan lebar sungai lebih dari 1,5 m. Bagian

  ravine erosion

  anatomi longsor yang masih kelihatan adalah mahkota longsoran dengan batas kanan dan kirinya ( right flank dan left flank ).

  Penelitian dilakukan pada sumber utama longsoran yaitu pada lokasi mahkota longsoran utama dan area pengendapan sedimen. Pembahasan akan dikaitkan dengan hasil proses longsoran dan mekanisme longsoran. Lokasi penelitian merupakan daerah perbukitan dengan sudut lereng lebih dari 30 dan merupakan lahan milik perhutani yang sebagian tanamannya adalah pohon Rasamala dan Pinus (Gambar 4). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, batuan di daerah longsoran adalah breksi piroklastik. Batuan ini tersingkap di bawah daerah longsoran dan sekitar Gunung Pawinihan. Ciri-ciri yang tampak di lapangan adalah warna abu-abu, fragmen berukuran 3 cm - 35 cm berkomposisi andesit, matrik pasir mengandung tuffaan, sortasi baik-buruk, pembundaran buruk, kemas tertutup-terbuka. Breksi mengalami pelapukan dan dapat diklasifikasikan ke dalam 5 bagian zona pelapukan, yaitu zona pelapukan 2, 3, 4,5, dan 6. Masing- masing tingkat pelapukan mempunyai karakteristik yang berbeda dan dapat dibedakan secara megaskopis dari perubahan warna, persentase tanah dan batu, dan struktur serta tekstur. Struktur geologi yang berkembang adalah terdapatnya kekar-kekar gerus di daerah Kendaga (selatan desa Sijeruk), dan diperkiraan adanya struktur sesar turun mengkanan di lokasi penelitian Sijeruk. Dari pengamatan di lapangan di lokasi Sijeruk tidak ditemukan adanya retakan-retakan, tetapi diprediksi tinggian di lokasi longsoran yang lebih tinggi dari bagian di bawahnya dimungkinkan karena sesar turun. Lereng yang terjal inilah yang ikut mendukung terjadinya longsoran.

  U Mahkota Tepi

  Gambar 3. Anatomi longsor Gunung Pawinihan dan daerah aliran longsor

  Gambar 4. Lokasi penelitian merupakan lahan hutan yang sebagian besar tanamannya adalah pohon Rasamala ( Altingia excelsa Noronha ) dan Pinus ( Casuarina equisetifolia ) untuk reboisasi (foto menghadap ke arah longsoran/tenggara)

b. Strategi Pengelolaan Wilayah

  Strategi pengelolaan wilayah berdasarkan kondisi wilayah setempat. Dari sisi bencana alam wilayah Gunung Pawinihan termasuk wilayah rawan terhadap bencana longsor, hal ini terbukti sudah terjadinya longsor dengan intensitas yang besar yang terjadi bulan Januari 2006. Kejadian longsor juga terjadi disekitar perbukitan dengan skala yang lebih kecil. Kejadian-kejadian longsor di lokasi penelitian memberikan indikasi bahwa wilayah tersebut dan sekitarnya rawan longsor. Sehingga pengelolaan wilayah harus memasukkan parameter bencana di dalamnya agar wilayah yang sudah tertata diminimalkan tidak terjadi kerusakan karena bencana longsor. Dari pendekatan teknik bio-engineering diharapkan lokasi Gunung Pawinihan harus mengadopsi strategi pencegahan longsor dengan teknik soft protection . Strategi soft protection adalah dengan menggunakan media tanaman. Berdasarkan hasil pengamatan topografi didapatkan dua morfologi yang berbeda sudut lerengnya yaitu lokasi Gunung Pawinihan dengan sudut >30 (Daerah A) dan dataran di bawahnya (Daerah B) dan dibatasi oleh garis merah (Gambar 5). Dan berdasarkan peta geologi teknik didapatkan tingkat pelapukan tanah yang berbeda (Gambar 6), sehingga dapat diprediksi kemungkinan longsoran yang terjadi dan pengembangan jenis tanaman.

  Lokasi longsor dan wilayah rawan longsor sudut lereng >

30 Wilayah pemukiman dan daerah pengendapan longsor.

  Lokasi datar sudut lereng < 5 B A

  Gambar 5. Pembagian wilayah berdasarkan kemiringan lereng Gambar 6. Peta geologi teknik dan sebaran material tanah berdasarkan tingkat pelapukan Dengan mengamati peta topografi, morfologi, geologi, dan geologi teknik akan dapat diperkirakan potensi bahaya longsor dan jalur-jalur longsor serta saran pencegahannya. Strategi yang tepat dalam pengelolaan wilayah rawan longsor di Gunung Pawinihan adalah menanam tanaman dengan perakaran yang kuat di lokasi A karena sudut lereng di daerah ini > 30 . Jenis tanaman yang ideal untuk daerah ini adalah jenis tanaman dengan perakaran yang kuat dan beban tanaman yang tidak terlalu besar. Pemilihan tanaman bebas dilakukan yang terpenting memenuhi kriteria keteknikan. Kemudian untuk lokasi B dibisa dengan tanaman perkebunan seperti salak, dan lain-lain, karena wilayah ini datar. Untuk wilayah B perlu dihindari pembangunan pemukiman pada jalur-jalur longsoran. Salah satu strategi dalam penanganan longsor di daerah ini adalah mengetahui jalur-jalur longsoran (flow tract). Dengan mengetahui jalur-jalur longsoran maka akan bisa dibuat kebijakan untuk tidak membangun pemukiman di jalur-jalur ini. Pembangunan teknik pengendali sedimen pada jalur-jalur longsor tidak efektif mengingat wilayahnya sangat curam, dan kemungkinan jika longsor akan merupakan gerakan tanah yang cepat.

  KESIMPULAN

  Berdasarkan pemetaan geologi, topografi, dan geologi teknik akan dapat disimpulkan bahwa pengelolaan wilayah di daerah Gunung Pawinihan harus memasukkan parameter bencana ke dalamanya. Wilayah Gunung Pawinihan dibagi menjadi 3 lokasi penanganan, yaitu lokasi A sebagai daerah konservasi, kemudian daerah B sebagai wilayah landaan atau tempat pengendapan sedimen, serta jalur longsoran. Pada wilayah A perlu ditanam tanaman konservasi dengan sifat perakaran yang kuat dan beban tanaman yang tidak terlalu besar. Pemilihan tanaman bisa dilakukan secara bebas sesuai saran teknik, tetapi lebih baik jika tanaman tersebut juga berproduksi, jadi fungsi tanaman untuk konservasi lahan juga fungsi tanaman untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Wilayah B merupakan wilayah pengendapan sedimen. Wilayah ini bisa dikembangkan untuk lahan perkebunan dan pemukiman. Lahan perkebunan pada lokasi jalur longsoran, dan pengembangan pemukiman bukan pada jalur longsoran. Kemudian untuk jalur longsoran disarankan tidak digunakan untuk pemukiman, tetapi dibiarkan sebagai jalur longsoran bilamana longsoran tidak bisa dihindari. Pada jalur ini sebaiknya dilakukan pengecekan rutin untuk menghindari bendungan-bendungan alam yang terbentuk. Karena bendungan alam akan sangat membahayakan jika akumulasi sedimen yang terbentuk runtuh.

DAFTAR PUSTAKA

  Condon, W.H., Pardyanto, L., Ketner, K.B., Amin, Gafoer, S., dan Samodra, H., (1996): Peta

  Geologi Lembar Banjarnegara dan Pekalongan, Jawa , Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Edisi ke-2. Permanajati, I., Waluyo, G., Suwardi., dan Setijadi, R., (2006): Longsoran Gunung Pawinihan, Desa Sijeruk, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, Prosiding Lokakarya DAS Serayu Hulu , Unsoed, pp. 1-4.

  Permanajati, I., Zakaria, Z., Hadian, M.S.D., Anwar, H.Z., Setijadi, R., 2017, The Impact of Physical and Chemical Properties to Form Slip Surface in Piroclastic Breccia in Pawinihan Landslide, Banjarnegara,

  IGEOS , UPI, Bandung

  Priyono, K.D dan Priyono. (2008): Analisis Morfometri dan Morfostruktur Lereng kejadian Longsoran di Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Forum Geografi , Universitas Muhammadiyah Surakarta, 22: 72-84.

  Van Bemmelen, R.W. (1949): The Geology of Indonesia. Vol IA. General Geology , Government Printing Office, the Hague, Netherland. Varnes, D.J. (1978): Slope Movement Type and Processes in Landslide Analysis and Control , Trasportation Research Board, National Academy of Science.

Dokumen yang terkait

ANALISIS IMPLEMENTASI REFORMASI BIROKRASI DALAM MEREALISASIKAN GOOD GOVERNANCE DAN PENCAPAIAN TARGET MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS (STUDI KASUS PADA PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA)

0 0 12

PENGARUH PENERIMAAN RETRIBUSI DAN PENETAPAN TARIF OBYEK WISATA TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN GUNUNG KIDUL TAHUN 2013-2015

4 28 11

PENGARUH STRUKTUR KEPEMILIKAN DAN DEWAN KOMISARIS TERHADAP KINERJA BANK UMUM KONVENSIONAL YANG MENYALURKAN KREDIT PADA UMKM: DENGAN KESEMPATAN INVESTASI SEBAGAI VARIABEL MEDIASI

0 0 16

PENGARUH WORKING CAPITAL TO TOTAL ASSET, OPERATING INCOME TO TOTAL LIABILITIES, TOTAL ASSET TURNOVER, RETURN ON ASSET, DAN RETURN ON EQUITY TERHADAP PERTUMBUHAN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA

0 0 12

PENGARUH EFISIENSI BIAYA TERHADAP TINGKAT KESEHATAN KOPERASI SIMPAN PINJAM (KSP) DAN UNIT SIMPAN PINJAM (USP) (STUDI PADA KOPERASI DI SURAKARTA TAHUN 2015)

0 0 12

ANALISIS BIAYA CADANGAN RISIKO PINJAMAN DAN CADANGAN RISIKO PINJAMAN DALAM LAPORAN AUDITOR INDEPENDEN UNIT PENGELOLA KEUANGAN (STUDI KASUS: BADAN KESWADAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN BANTUL PROVINSI DIY)

0 0 8

PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE DAN DEFERRED TAX EXPENSE TERHADAP EARNINGS MANAGEMENT PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI INDONESIA

0 0 12

KONFLIK PERAN PERANGKAT DESA TERHADAP PENGELOLAAN KEUANGAN DESA: MENGUAK KESADARAN PARA AKTOR

0 0 13

EFEKTIFITAS GEOGRID KARET BAN BEKAS UNTUK PERKUATAN TANAH DASAR JALAN RAYA PADA PERUBAHAN MUKA AIR TANAH

0 1 7

MODEL PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEGARA ANAKAN UPAYA MENDUKUNG DESA INOVASI NELAYAN KAMPUNG LAUT

0 1 8