Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Perilaku Siswa Terhadap Konsumsi Minuman Ringan Berkarbonasi Di Sma St. Thomas I Medan Tahun 2012

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Perilaku
Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas
organisme yang bersangkutan. Jadi, perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu
aktivitas dari manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai
bentangan yang sangat luas, mencakup: berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian dan
lain sebagainya. Bahkan kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi
dan emosi juga merupakan perilaku manusia. Untuk kepentingan kerangka analisis
dapat dikatakan bahwa perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut,
baik dapat diamati secara langsung atau secara tidak langsung (Notoatmodjo, 2007).
Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2007), seorang ahli psikologi
merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Secara garis besar perilaku manusia dipengaruhi oleh
dua faktor utama, yaitu:
1. Faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat
given atau bawaan, misalnya tingkat pengetahuan, jenis kelamin, perhatian,
persepsi, tingkat emosional, motivasi, dan sebagainya.
2. Faktor eksternal, yakni berupa faktor lingkungan baik lingkungan fisik, sosial,
budaya, ekonomi maupun politik.


Universitas Sumatera Utara

Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007), membagi perilaku
dalam 3 domain perilaku, yaitu kognitif (cognitive), afektive (affective), dan
psikomotor (psychomotor).
2.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’, dan ini terjadi setelah orang melakukan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui pancaindra
manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif
mempunyai 6 tingkat, yakni:
1. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya .
2. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar.

3.

Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

Universitas Sumatera Utara

4.

Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5.

Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menhubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.


6.

Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.1.2. Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap
suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2007), sikap itu merupakan kesiapan
atau ketersediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu.
Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi merupakan predisposisi
tindakan atau perilaku.
Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2007) menjelaskan bahwa sikap itu
mempunyai 3 komponen pokok, yakni:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek
b. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)


Universitas Sumatera Utara

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude).
Menurut Notoatmodjo (2007), sikap juga memiliki beberapa tingkatan seperti
yang dimiliki oleh pengetahuan, yaitu :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
b.

Merespons (responding)
memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha
untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas
pekerjaan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.

c.

Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang
lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d.

Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.1.3. Tindakan
Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior).
Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbedaan

nyata diperlukan faktor

pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas.
Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain

Universitas Sumatera Utara


(Notoatmodjo, 2007). Notoatmodjo (2007) membagi tingkatan tindakan atau praktik
menjadi 4, yaitu :
a. Persepsi (perception)
Mengenal atau memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.
b. Respon terpimpin (guided response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan
contoh adalah indikator praktik tingkat dua.
c. Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik
tingkat tiga.
d. Adopsi (adoption)
Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan
baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi
kebenaran tinndakannya tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung, yakni dengan
wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau
bulan yang lalu (recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung yakni
dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2007).

2.2. Teori Kognitif Sosial (Social Cognitive Theory)
Social Cognitive Theory (SCT) pertama kali dikembangkan oleh Bandura
(1977;1978;1982;1986). Teori ini merupakan teori tentang perilaku individual. Teori

Universitas Sumatera Utara

kognitif sosial berbasis pada premis bahwa pengaruh-pengaruh lingkungan semacam
tekanan-tekanan sosial atau karakteristik- karakteristik situasional unik, kognitif dan
faktor-faktor personal lainnya termasuk personality dan juga karakteristikkarakteristik demografik, dan perilaku saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya.
Lingkungan atau karakteristik-karakteristik situasional mempengaruhi perilaku
di situasi tertentu, yang kemudian gilirannya dipengaruhi kembali oleh perilaku.
Akhirnya, perilaku dipengaruhi oleh kognitif atau faktor-faktor personal, dan
gilirannya perilaku mempengaruhi faktor-faktor personal tersebut. Hubungan timbal
balik antara lingkungan (karakteristik-karakteristik situasional), perilaku, dan kognitif
(faktor-faktor personal) disebut oleh Bandura (1986) sebagai timbal balik segitiga
(triadic reciprocality) (Jogiyanto, 2007).

Orang atau
kognitif

(Person or
cognitive)

Lingkungan
Perilaku
(Evironmenta
(Behavior)
l)
Gambar 2.1. Segitiga Timbal-balik
Sumber : Sistem Informasi Keperilakuan (Jogiyanto, 2007)
Bandura memformulasikan sejumlah dasar (construct) bagi SCT yang penting
untuk memahami dan mengintervensi perilaku kesehatan. Yang pertama penguatan
(reinforcement), penguatan merupakan bagian penting dari SCT, penguatan dapat

Universitas Sumatera Utara

dicapai secara langsung, melalui pengalaman orang lain atau melalui manajemen diri.
Yang kedua adalah kemampuan berperilaku (behavior capability). Jika individu ingin
melakukan suatu perilaku tertentu maka mereka harus tahu dulu apa perilaku yang
akan dilakukan (knowledge) dan bagaimana melakukannya (skill). Yang ketiga yaitu

harapan (expectations). Harapan mengacu pada kemampuan memikirkan dan
mengharapkan hal-hal tertentu terjadi dalam situasi tertentu, contoh : orang yang
merasa tidak merokok lebih baik daripada merokok maka ia akan mencoba
melakukan sesuatu hal agar bisa berhenti merokok. Yang keempat adalah angka
harapan (expectancies). Angka harapan adalah penilaian terhadap suatu perilaku bisa
bersifat positif atau negative, contoh : seorang yang tidak merokok terlihat keren dan
menyenangkan (penilaian yang bersifat positif).
Dasar yang berikutnya adalah pengendalian diri (self-control), pengendalian
diri adalah bagaimana seseorang mengontrol perilaku mereka sendiri. Kemudian
selanjutnya Keberhasilan diri (self-efficacy), hal ini mengacu pada kondisi internal
individu (kompetensi) untuk melakukan suatu perilaku. Respon menghadapi
emosional (emotional coping responses) juga merupakan dasar SCT. Respon
menghadapi emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengatasi kecemasan
(misalnya rasa takut) yang mungkin akan dihadapi saat melakukan suatu perilaku.
Dasar yang terakhir adalah determinan timbal balik, yaitu adanya interaksi antara
individu, perilaku dan lingkungan, dimana individu tersebut dapat membentuk
lingkungan dan sebaliknya (Mckenzie dan Smeltzer, 1997).

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.1. Konsep-konsep Utama dalam Teori Kognitif Sosial
No
1
2
3

Konsep
Lingkungan
Situasi
Kemampuan berperilaku

4
5
6

Harapan
Angka harapan
Pengendalian diri

7

8

Pembelajaran melalui
pengamatan
Penguatan

9

Keberhasilan diri

10
11

Respon menghadapi
emosional
Determinan timbal balik

Defenisi
Faktor fisik diluar dari individu
Persepsi seseorang tentang lingkungan
Pengetahuan dan kemampuan seseorang untuk
melakukan suatu perilaku
Kemungkinan hasil dari suatu perilaku
Penilaian seseorang terhadap suatu perilaku
Pengaturan diri seseorang tentang tujuan melakukan
suatu perilaku.
Kemampuan berperilaku terjadi melalui pengamatan
tidakan dan hasil dari perilaku orang lain.
Respon terhadap perilaku seseorang yang dapat
meningkatkan atau menurunkan kesukaan mengulangi
perilaku itu lagi.
Kepercayaan diri seseorang dalam melakukan perilaku
tertentu dan dalam penanggulangan rintangan
melakukan perilaku tersebut.
Strategi atau taktik yang digunakan seseorang untuk
berdamai dengan rangsangan emosional.
Dinamika interksi antara individu, perilaku dan
lingkungan dalam melakukan suatu perilaku tersebut

Sumber : Health Behavior and Health Education : Theory, Research, and Practice
(Glanz & Rimer, 2002)
2.3. Remaja
Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescene yang berarti to grow
atau to grow maturity (Golinko, 1984 dalam Rice 1990). Banyak tokoh yang
memberikan defenisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990)
mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dan
dewasa. Papalia dan Olds (2001), tidak memberikan pengertian remaja (adolescent)
secara eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja
(adolescene).
Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa pada umumnya dimulai pada
usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua

Universitas Sumatera Utara

puluhan tahun. Masa usia sekolah menengah bertepatan dengan masa remaja. Masa
remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifat-sifat khas dan
peranannya yang menentukan dalam kehidupan individu dalam masyarakat orang
dewasa (Jahja, 2011).
Krummel dan Penny (1996) dalam Skriptiana (2009) menggolongkan remaja
menjadi tiga periode. Penggolongan ini didasarkan pada konteks pengertian perilaku
makan dan pencitraan tubuh pada remaja, sesuai dengan lingkungan kerja dalam
mengembangkan program pendidikan gizi dan penyediaan pelayanan kesehatan.
Periode remaja tersebut yaitu remaja awal ( usia 10-14 tahun), remaja tengah (usia
15-17 tahun) dan remaja akhir (usia 18-21 tahun).
2.3.1. Remaja Awal
Periode remaja awal merupakan periode tercepat dalam masa pertumbuhan
remaja yang merupakan transformasi fisik dari anak-anak menjadi dewasa. Perubahan
biologis yang terjadi pada masa ini meliputi kematangan secara seksual,
bertambahnya tinggi dan berat badan, bertambahnya massa tulang, dan perubahan
komposisi tubuh. Pada periode ini, remaja sebagai sosok manusia individu mulai
memperhatikan penampilan fisik, melakukan penilaian dan penataan ulang mengenai
citra tubuhnya dan juga mudah khawatir pada suatu keabnormalan padahal itu
merupakan bagian dari pubertas dan perubahan fisik dan biologis yang biasa terjadi
pada remaja. Pada saat yang sama, penerimaan dan kenyamanan diri dalam kelompok
(peer group) menjadi sangat penting.
Meskipun urutan kejadian perubahan biologis pada tiap remaja rata-rata
hampir sama, namun penampilan fisik tiap remaja pada umur yang sama cukup

Universitas Sumatera Utara

beragam, misalnya saja pada tinggi dan berat badan. Banyaknya perbedaan ini secara
langsung mempengaruhi kebutuhan gizi masing-masing remaja. Remaja pada tahap
ini memiliki sedikit kesadaran dan kemampuan untuk melihat bahwa perilakunya
yang sekarang dapat mempengaruhi status kesehatannya dimasa depan.
2.3.2. Remaja Tengah
Perkembangan psikososial yang terjadi pada remaja usia 15 hingga 17 tahun
ini antara lain perkembangan emosional dan kemandirian sosial, meningkatnya
konflik batin seputar diri sendiri, termasuk perilaku makan dan aktifitas fisik.
Kelompok (peer group) dan citra diri (body image) masih menjadi perihal yang
sangat penting dan dapat mempengaruhi cara mereka memilih makanan yang akan
dikonsumsi.
Perkembangan dan pertumbuhan fisik sebagian besar selesai pada tahap ini.
Kapasitas remaja dalam berfikir pun meningkat, misalnya untuk menyelesaikan
masalah, berpikir tentang masa depan, mengerti tentang kompleksitas dan hubungan
sebab-akibat, dan mulai menghargai pendapat dan pandangan orang lain. Remaja
pada usia ini memiliki rasa penasaran yang tinggi dan selalu ingin mencoba hal baru.
Hal ini dapat memberikan dampak positif pada pengembangan diri, namun tanpa
disadari, hal ini juga dapat berdampak buruk dimasa depan nanti.
2.3.3. Remaja Akhir
Remaja tahap akhir ditandai dengan persiapan individu tersebut untuk
menjadi dewasa, pada aturan-aturan sebagai orang dewasa dan fokus pada pendidikan
dan pekerjaan dimasa depan. Remaja wanita pada tahap ini merasa lebih nyaman
dengan nilai dan arti identitas diri dan pentingnya peranan kelompok (peer group)

Universitas Sumatera Utara

mulai berkurang. Remaja akhir mulai dapat lebih percaya diri dalam kemampuan
mereka menangani situasi atau masalah sosial yang rumit, hal ini didukung dengan
berkurangnya perilaku yang didasarkan pada kata hati dan tekanan kelompok (peer
group). Pada tahap ini remaja menjadi sosok individu yang ketergantungannya pada
orang tua mulai berkurang, mampu menerima dan mengerti pandangan orang lain dan
tahu bahwa setiap perilaku pasti ada konsekuensi di balik itu. Hubungan dengan
orang lain menjadi lebih berpengaruh dibandingkan dengan kebutuhan untuk diterima
dan menyesuaikan diri dalam kelompok (peer group).
2.4.

Minuman Ringan Berkarbonasi
Defenisi minuman ringan (softdrink) menurut beacukai adalah minuman yang

tidak beralkohol, merupakan minuman olahan dalam bentuk bubuk dan cair yang
mengandung bahan makanan ataupun bahan makanan lainnya baik alami maupun
sintesis yang aman untuk dikonsumsi. Minuman ringan terbagi atas dua kelompok
yaitu minuman ringan berkarbonasi dan minuman ringan non karbonasi (Beacukai,
2000).
Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.52.4040, minuman
berkabonasi adalah minuman yang tidak mengandung alkohol yang merupakan
minuman olahan dalam bentuk bubuk atau cair yang mengandung bahan makanan
dan bahan tambahan lainnya baik alami maupun sintetik yang dikemas dalam
kemasan yang siap untuk dikonsumsi dan dibuat dengan mengabsorpsikan
karbondioksida ke dalam air minum.
Menurut Wikipedia (2010), minuman berkarbonasi adalah minuman yang
tidak mengandung alkohol tetapi memiliki kandungan karbondioksida yang terlarut

Universitas Sumatera Utara

dalam air. Proses ini akan menghasilkan sensasi karbonasi "Fizz" pada air
berkarbonasi dan sparkling mineral water. Hal tersebut diikuti dengan raeksi
keluarnya buih (foaming) pada minuman. soda yang tidak lain adalah proses
pelepasan kandungan CO2 terlarut di dalam air. Minuman berkarbonasi yang beredar
di Indonesia cukup beragam, misalnya coca-cola, fanta, sprite, pepsi, cap badak,
squash, fruit punch (Sunkist), rootber, tebs, dan lain-lain.
2.4.1. Komposisi Minuman Ringan Berkarbonasi Secara Umum
Minuman berkarbonasi memiliki komposisi dasar yaitu air sebanyak 90% dan
selebihnya merupakan bahan tambahan seperti zat pewarna, zat pemanis, gas CO2 dan
zat pengawet. Adapun rincian komposisi minuman berkarbonasi secara umum adalah
sebagai berikut (Chandra, 2009):
a. Air berkarbonasi merupakan komponen terbanyak yaitu sekitar 90%. Air yang
digunakan haruslah berkualitas jernih, tidak berwarna, tidak berbau. Bebas dari
organism yang hidup dalam air, total padatan terlarut kurang dari 50 ppm,
kandungan logam besi dan mangan kurang dari 0,1 ppm, dan memiliki
kandungan alkalinisasi kurang dari 50 ppm. Karbondioksida yang digunakan
harus semurni mungkin dan tidak berbau. Air berkarbonasi di buat dengan cara
melewatkan es kering (dry ice) ke dalam air es.
b.

Bahan pemanis yang digunakan dalam minuman ringan terbagi 2 yaitu:
1. Bahan pemanis natural (nutritive) yang terdiri dari gula pasir, gula cair, gula
invert cair, sirup jagung dengan kadar fruktosa tinggi, dan dekstrosa.

Universitas Sumatera Utara

2. Bahan pemanis sintetik (non nutritive), satu-satunya bahan pemanis sintetik
yang di rekomendasikan oleh FDA (Food & Drug Association) adalah
sakarin.
c. Zat asam (acidulants) biasanya ditambahkan dalam minuman ringan berkarbonasi
dengan tujuan untuk memberikan rasa asam, memodifikasi manisnya gula,
berlaku sebagai pengawet dan dapat mempercepat inverse gula dalam sirup atau
minuman. Asam yang dipakai haruslah asam yang dapat dimakan (edible/food
grade) antara lain asam sitrat, asam fosfat, asam malat, asam tartarat, asam
fumarat, asam adipat, dan lain-lain.
d.

Pemberi aroma disiapkan oleh industri yang berkaitan dengan industri kemarin
dengan formula khusus, kadang-kadang

telah ditambah dengan asam dan

pewarna dalam bentuk :
1. Ekstrak alkoholik (menyaring bahan kering dengan larutan alkoholik)
misalnya jahe, anggur, lemon-lime dan lain-lain.
2. Larutan alkoholik (melarutkan bahan dalam larutan air-alkohol), misalnya
strawberry, cherry, cream soda, dan lain-lain.
3. Emulsi (mencampur essential oil dengan bahan pengemulsi, misalnya
vegetable gum, citrus flavor, rootber dan coca-cola.
4.

Fruit juices, misalnya orange, grape, lemon, lime.

5.

Kafein sebagai pemberi rasa pahit (bukan sebagai stimulant).

6.

Ekstrak biji kola;

7. Sintetik flavor, misalnya ethyl acetate/ amyl butyrate yang memberikan
aroma grape.

Universitas Sumatera Utara

e.

Zat pewarna untuk memberikan daya tarik minuman. Zat pewarna terdiri dari ;
1. Zat pewarna natural, misalnya dari grape, strawberry, cherry, dan lain-lain.
2. Zat pewarna semi sintetik, misalnya caramel color.
3. Zat pewarna sintetik, hanya 5 jenis zat pewarna sintetik dari 8 jenis pewarna
yang diperkenankan oleh FDA untuk digunakan sebagai pewarna dalam
minuman ringan.
f. Zat pengawet, misalnya asam sitrat untuk mencegah fermentasi dan sodium
benzoate.

2.4.2. Dampak Negatif Konsumsi Minuman Ringan Berkarbonasi Berlebihan
Konsumsi minuman berkarbonasi berlebihan memiliki dampak negatif bagi
kesehatan antara lain :
1. Meningkatkan Resiko Overweight dan Obesitas
Overweight merupakan keadaan gizi lebih, dinyatakan dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT) lebih besar dari 23 di daerah Asia Pasifik. Suatu
keadaan yang melebihi overweight dinamakan obesitas (WHO, 2000).
Obesitas ialah peningkatan berat badan sebagai akibat akumulasi lemak
berlebihan dalam tubuh yang melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik
(Dorland, 2002).
Minuman bersoda kaya akan kalori. Kalori yang masuk ke dalam
tubuh bisa meningkatkan risiko obesitas. Tak hanya bagi orang yang
sudah dewasa, anak-anak bisa menderita obesitas. Di Amerika Serikat,
tingkat obesitas pada anak-anak sangatlah tinggi. Salah satu penyebabnya
adalah minuman bersoda. Anak-anak di Amerika Serikat mengkonsumsi

Universitas Sumatera Utara

minuman bersoda layaknya meminum air putih. Setelah makan, mereka
pasti minum minuman bersoda. Hasilnya, mereka banyak yang menderita
obesitas (Dokter Sehat Team,2010).
Pada anak-anak dan remaja, obesitas berkaitan dengan intoleransi
glukosa, hipertensi, dan dislipidemia. Konsumsi sugar-sweetened soft
drink dapat menjadi faktor penting terhadap kejadian obesitas remaja
(Giammattei et al, 2003). He et al (2010) melakukan studi intervensi
berupa pengurangan 1,5 kaleng konsumsi soft drink setiap minggu selama
satu tahun dan didapati hasil bahwa anak mengalami penurunan terhadap
berat badan dan obesitas sekitar 7,7%.
Banyak orang yang berusaha mengantisipasi masalah ini dengan
memilih diet soda. Diet soda ternyata juga tidak lebih baik daripada soda
biasa. Bahkan, versi diet ini bukannya mengurangi berat badan, melainkan
malah menambah berat badan. Sebuah studi yang melibatkan 1.550 orang
menyimpulkan bahwa orang yang biasa minum diet soda akan
meningkatkan risiko kelebihan berat badan atau obesitas hingga 41 persen
untuk setiap kaleng atau botol yang diminum setiap hari. Ternyata, rasa
manis itu akan memberi sinyal pada sel-sel tubuh untuk menyimpan lemak
dan karbohidrat, yang membuat Anda merasa lebih lapar. Manisnya soda
juga mendorong pelepasan insulin, yang akan menghambat kemampuan
tubuh untuk membakar lemak (Harmandini, 2011).

Universitas Sumatera Utara

2. Meningkatkan Resiko Osteoporosis
Konsumsi soft drink telah menggantikan konsumsi susu, dengan
jumlah konsumsi susu menjadi 1½ gelas susu per hari pada remaja putra
dan kurang dari satu gelas per hari pada remaja putri (Robert dan William,
2000). Akibatnya, konsumsi soft drink meningkat yang diikuti dengan
penurunan konsumsi susu menyebabkan seseorang dapat mengalami
penurunan asupan kalsium. Hal ini meningkatkan resiko terjadinya
osteoporosis, terutama perempuan dan mengarah pada kejadian fraktur
tulang (Jacobson, 2003). Osteoporosis ialah massa tulang yang berkurang
dan dengan trauma minimal dapat menyebabkan fraktur. Fraktur ialah
suatu kerusakan berupa pemecahan pada daerah tulang (Dorland, 2002).
Menurut Jacobson (2003) di Amerika terdapat hubungan antara
peningkatan insidensi Osteoporosis pada anak usia remaja putri usia 18
tahun terhadap konsumsi minuman berkarbonasi. Hal ini diakibatkan oleh
minuman bersoda memiliki kadar asam fosfat tinggi menyebabkan
peningkatan

asupan

fosfor

dalam

tubuh.

Hal

ini

menyebabkan

terganggunya keseimbangan rasio Ca:P yang berakibat pada terhambatnya
penyerapan kalsium yang berdampak terhadap penurunan masa tulang dan
akhirnya osteoporosis.
3. Menimbulkan Efek Ketergantungan
Menurut Odi (2011), minuman bersoda seperti halnya kopi bisa
membuat orang ketagihan. Minuman bersoda mengandung kadar gula
tinggi yang membuat orang merasa nyaman. Karena secara instan

Universitas Sumatera Utara

memberi

energi

dan

membuat

tubuh

melepaskan

serotonin

(neurotransmitter yang meningkatkan suasana hati sehingga membuat
orang merasa bahagia).
4. Meningkatkan Resiko Kanker Pankreas
Dalam suatu penelitian di Amerika Serikat, kandungan minuman
bersoda dipercaya sebagai salah satu pemicu timbulnya kanker pankreas.
Dalam penelitian tersebut, 87% responden yang minimal mengkonsumsi
minuman bersoda 2 kali sehari mengalami peningkatan risiko kanker
pankreas. Penelitian dilakukan terhadap 60524 responden (pengonsumsi
minuman bersoda) selama 14 tahun. Hasilnya, sebanyak 87% mengalami
risiko kanker pankreas yang terlihat melalui gejala-gejalanya (Dokter
Sehat Team, 2010).
5. Merusak Gigi
Dalam suatu penelitian, 3200 orang responden mengalami kerusakan
gigi akibat mengkonsumsi minuman bersoda. Hal ini tentu saja akibat
kandungan zat gula yang ada di dalam minuman tersebut. Tak hanya itu,
asam fosfat juga turut memperburuk kerusakan gigi dengan cara
melarutkan kalsium gigi (Dokter Sehat Team, 2010).
Konsumsi minuman berkarbonasi memiliki banyak potensi untuk
masalah kesehatan. Kandungan asam dan gula dalam minuman
berkarbonasi memiliki potensi untuk menimbulkan karies gigi dan erosi
lapisan enamel (Cheng et al, 2008). Karies gigi ialah suatu penyakit dari

Universitas Sumatera Utara

jaringan kapur atau kalsium pada gigi yang ditandai adanya kerusakan
jaringan gigi (Dalimunthe et al, 2009). ‘
Asam terutama asam fosfor sebagai penyebab kehilangan total enamel
gigi. Asam fosfor menurunkan pH saliva dari 7,4 menjadi suasana asam.
Agar dapat meningkatkan level pH kembali di atas 7, tubuh akan berusaha
menarik ion kalsium dari gigi sehingga lapisan enamel gigi menjadi sangat
berkurang, ditandai dengan gigi yang terlihat berwarna kekuningan
(Valentine, 2002).
6. Meningkatkan resiko diabetes
Minuman berkarbonasi dapat meningkatkan resiko terkena diabetes
tipe 2. Hal ini disinyalir karena minuman berkabonasi mengandung zat
pemanis buatan yaitu sakarin. Pada sebuah studi yang dilakukan terhadap
91.249 wanita selama 8 tahun menunjukkan bahwa wanita yang
mengonsumsi satu atau lebih kemasan minuman ringan berkarbonasi setiap
hari dua kali lebih beresiko dibandingkan wanita yang mengonsumsi
kurang dari satu kemasan saja (Vertanian et al. 2007).
7. Meningkatkan resiko Gout (encok)
Peneliti dari Boston University mengungkapkan fakta lain: minum
sekaleng soda setiap hari bisa meningkatkan risiko gout (encok), kondisi
peradangan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar asam urat dalam
darah, yang tersimpan dalam sendi. Penelitian yang sudah berlangsung
selama 22 tahun ini mendapati bahwa risikonya meningkat bahkan jika

Universitas Sumatera Utara

orang yang hanya meminum satu minuman bersoda setiap hari
(Harmandini, 2011).
2.5.

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Minuman Ringan
Berkarbonasi
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola konsumsi, yaitu jenis kelamin,

uang saku, motivasi, kelompok acuan (referensi), media massa, dan akses.
2.5.1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin menentukan besar kecilnya kebutuhan gizi bagi seseorang.
Survei pola makan di Eropa memperhatikan pola konsumsi makanan antara pria dan
wanita. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa kaum pria memiliki asupan
produk daging, alkohol, dan gula yang lebih tinggi dibandingkan wanita dan asupan
buah, sayuran dan produk rendah lemak lebih rendah dibandingkan wanita (Gibney,
2005).
Secara umum, kaum wanita memiliki kebutuhan energi yang lebih rendah
daripada pria karena massa tubuh wanita yang lebih rendah. Kaum wanita tampak
lebih banyak mempunyai pengetahuan tentang makanan dan gizi serta menunjukkan
perhatian yang lebih besar terhadap keamanan makanan, kesehatan dan penurunan
berat badan. Kaum pria lebih memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang lebih kuat
ketika mengaitkan produk makanan dan jenis hidangan tertentu dengan kualitas
seperti kekuatan, tenaga, dan kejantanan selain konsumsi dapat digunakan sebagai
symbol maskulinitas (Skriptiana, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Uang Saku
Salah satu

faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi remaja adalah

pendapatan yang dapat dibelanjakannya (daya beli) (Setiadi, 2003). Pendapatan
remaja adalah uang saku. Cara terbaik untuk mendidik anak tentang tanggung jawab
keuangan adalah melalui uang saku. Uang saku merupakan bagian dari tanggung
jawab orang tua terhadap kebutuhan anggota keluarga, sesuai dengan kebutuhan anak
namun tidak sepenuhnya diberikan sesuai dengan keinginannya. Jumlah uang saku
tergantung pada usia anak dan pendapatan orang tua. Oleh karena itu, uang saku pada
remaja dapat dikatakan sebagai representasi pendapatan orang tua dalam keluarga dan
tinggi atau rendahnya kebutuhan seseorang dalam kehidupan sehari-harinya. Uang
saku dapat digunakan untuk mengukur status sosial ekonomi seseorang. Semakin
besar uang saku yang diterima oleh anak maka semalin besar pendapatan keluarga
(Azizah, 1997).
Dengan memiliki uang saku, umumnya remaja lebih bebas dalam mengatur
pengeluaran untuk membeli minuman ringan. Remaja yang memiliki uang saku,
memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri keuangannya dan cenderung lebih bebas
menentukan apa yang dimakan dan diminum (Skriptiana, 2009).
2.5.3. Motivasi
Motif atau motivasi berasal dari bahasa latin moreve yang berarti dorongan
dari dalam diri manusia untuk bertindak atau berperilaku. Pengertian motivasi tidak
terlepas dari kebutuhan. Kebutuhan adalah suatu “potensi” dalam diri manusia yang
perlu ditanggapi atau direspon (Notoatmodjo, 2007). Motif tidak dapat diamati. Yang

Universitas Sumatera Utara

dapat diamati adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan tersebut
(Notoatmodjo, 2003).
Teori kebutuhan menurut Maslow (1943) dalam Notoatmodjo (2007) ada
lima tingkatan, yaitu :
1. Kebutuhan fisiologi : kebutuhan untuk mempertahankan hidup, oleh sebab itu
sangat pokok, misalnya pangan.
2. Kebutuhan rasa aman : kebutuhan akan keamanan ini bukan saja keamanan fisik,
tetapi juga keamanan secara psikologis, misalnya bebas dari tekanan atau
intimidasi.
3. Kebutuhan sosialisasi : kebutuhan bersosialisasi dengan orang lain pada
prinsipnya agar dirinya itu diterima dan disayangi oleh orang lain sebagai
anggota kelompoknya.
4. Kebutuhan akan penghargaan : kebutuhan penghargaan ini adalah kebutuhan
“prestise”.
5. Kebutuhan aktualisasi diri : merupakan kebutuhan untuk mengembangkan
potensi diri secara maksimal sebagai realisasi diri secara lengkap dan utuh.

Universitas Sumatera Utara

Table 2.2. Hirarki Kebutuhan dari Maslow

Kebutuhan Karena Kekurangan
(Basic Need)

Kebutuhan
Berkembang
(Metaneed)

Jenjang Need

Deskripsi

Self
actualization
needs
(Metaneesds)

Kebutuhan orang untuk menjadi yang seharusnya sesuai dengan
potensinya. Kebutuhan kreatif, realisasi diri, pengembangan self.

Esteem needs

(1) Kebutuhan kekuatan, penguasaan, kompetensi, kepercayaan
diri, kemandirian.
(2) Kebutuhan prestise, penghargaan dari orang lain, status,
ketenaran, dominasi, menjadi penting, kehormatan, dan
apresiasi.

Kebutuhan harkat kemanusiaan untuk mencapai tujuan, terus
maju, menjadi lebih baik.

Love needs/ Kebutuhan kasih sayang, keluarga, sejawat, pasangan, anak.
belongingness Kebutuhan menjadi bagian dari kelompok, masyarakat. (Menurut
Maslow, kegagalan kebutuhan cinta & memiliki ini menjadi sumber
hampir semua bentuk psikopatologi).
Safety needs

Kebutuhan keamanan, stabilitas, proteksi, struktur, hukum,
keteraturan, batas, bebas dari takut dan cemas.

Physiological Kebutuhan homeostatic: makan, minum, gula, garam, protein, serta
kebutuhan istirahat dan seks.
needs

Sumber : Psikologi Kepribadian (Alwisol, 2009)
2.5.4. Kelompok Acuan (Referensi)
Kelompok Referensi seseorang terdiri dari seluruh kelompok yang mempunyai
pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sikap atau perilaku seseorang.
Beberapa diantaranya adalah kelompok-kelompok primer (adanya interaksi yang
cukup berkesinambungan) seperti keluarga, teman, tetangga dan teman sejawat.
Orang umumnya sangat dipengaruhi oleh kelompok referensi mereka dengan tiga
cara, seperti : kelompok referensi memperlihatkan perilaku dan gaya hidup baru,
mempengaruhi sikap dan konsep jati diri seseorang karena orang tersebut umumnya
ingin ‘menyesuaikan diri’, menciptakan tekanan menyesuaikan diri yang dapat
mempengaruhi plihan produk dan merk seseorang (Setiadi, 2003).

Universitas Sumatera Utara

1. Keluarga
Seorang anak yang sedang tumbuh mendapatkan seperangkat nilai, persepsi,
preferensi dan perilaku melalui suatu proses sosialisasi yang melibatkan keluarga.
Konsumsi seseorang juga dibentuk oleh tahapan siklus keluarga. Peranan ekspresif
melibatkan dukungan kepada anggota keluarga lain dalam proses pengambilan
keputusan dan kebutuhan estetik atau emosi keluarga, termasuk penegakan norma
keluarga. Pemilihan warna, cirri produk, dan pengecer yang paling pas dengan
kebutuhan keluarga akan menjadi hasil dari pelaksanaan peran ekspresif, bergantung
kepada jenis keputusan pembelian dan karakteristik individual dari anggota keluarga
bersangkutan (Setiadi, 2003).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grim, et al pada tahun 2004
menyatakan bahwa remaja yang orang tuanya memilki kebiasaan mengkonsumsi
minuman bersoda memiliki kecenderungan 3(tiga) kali lebih banyak mengkonsumsi
minuman bersoda daripada remaja yang orang tuanya tidak memiliki kebiasaan
tersebut.
2. Teman Sebaya
Menurut kamus Webster (2005), teman sebaya dapat diartikan sebagai
sekelompok orang yang memiliki kesamaan satu dengan yang lain, memiliki rasa
kepemilikan terhadap kelompoknya baik itu berdasarkan umur, gender, ataupun
status. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) pengertian teman sebaya dapat
diartikan sebagai kawan, sahabat, atau orang yang bekerja bersama-sama atau
berbuat. Menurut Samsunuwiyati (2005) mengatakan bahwa teman sebaya lebih
ditekankan pada kesamaan tingkah laku atau psikologis.

Universitas Sumatera Utara

Salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan remaja adalah teman sebaya.
Teman sebaya dapat dijadikan role model dalam hal perilaku bagi anak usia remaja
(Narendra, 2002). Demikian juga penelitian yang di lakukan oleh Kimberly et al
(2000) dari University of Pensylvania menyatakan bahwa ada hubungan yang linier
antara perilaku remaja dengan kehadiran teman sebaya.
Menurut Pipes (1985), Makan menjadi sesuatu yang penting dalam berkreasi
dan bersosialisasi dengan teman, bahkan pemilihan makanan terkadang harus
disesuaikan dengan teman sebaya. Hal seperti ini yang dapat menjadi masalah bagi
remaja dengan kasus penyakit kronis yang membutuhkan pola makan khusus, akan
terjadi kekhawatiran terhadap tekanan dari teman sebayanya dan resiko terasing dan
terkucilkan dari teman-temannya.
Teman sebaya menjadi sumber aktualisasi diri dan standar perilaku dan
menjadi lebih penting dibandingkan kedekatan emosional dengan orangtua. Tekanan
teman sebaya maupun derajat pengendalian sangat penting bagi remaja dalam
memilih makanan mereka secara individual. Umumnya teman sebaya memberikan
pengaruh negatif terhadap kebiasaan makan remaja dan hal ini menimbulkan
pandangan bahwa remaja dengan kebiasaan makan yang kurang baik adalah mereka
yang selalu makan menyendiri atau selalu bersama teman sebayanya sepanjang waktu
(Skriptiana, 2009).
Ryan dan Lynch (1989) menyatakan bahwa apabila remaja merasa secara
emosional tidak begitu terikat dengan orangtuanya atau jika orangtuanya menolak
mereka maka mereka lebih cenderung untuk bersama-sama dengan teman-teman
sebayanya. Hal ini menunjukkan bagi remaja yang merasa tidak aman atau kurang

Universitas Sumatera Utara

perhatian dari orangtuanya, mereka cenderung berusaha untuk mendapat perhatian
lebih dari temannya (Dacey dan Kenny, 1997).
Pola konsumsi remaja dipengaruhi pola konsumsi teman sebayanya.
Pemilihan makanan tidak lagi didasarkan pada kandungan gizi, tetapi sekedar
bersosialisasi, untuk kesenangan, dan supaya tidak kehilangan status. Remaja
cenderung lebih mudah menerima suatu jenis pangan yang relatif

baru dari

temannya. Kelompok teman sebaya memiliki kekuatan untuk mempengaruhi perilaku
anggotanya, termasuk perilaku konsumsi (Loundon dan Bitta, 1993).
2.5.5. Media Massa
Menurut UU No. 40 tahun 1999 menyatakan bahwa media massa adalah
wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi
mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan
informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan
grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media
elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Media Massa dapat mempengaruhi remaja baik itu dari sisi positif maupun
dari sisi negatifnya. Sebagai contoh, BPOM pada tahun 2008 mensurvei bahwa
14.249 iklan rokok ditujukan pada remaja. Hal ini dapat meberikan dampak buruk
pada remaja karena pada masa remaja terjadi krisis psikososial dan di masa ini lah
remaja mudah terpengaruh akibat krisis kepercayaan terhadap dirinya sendiri
(Erikson dalam Papalia,2008) sehingga remaja menjadi terjerumus dalam kebiasaan
merokok.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Global Youth Tobacco Survey (GYTS) menyatakan bahwa pada
tahun 2006 Di Jakarta, 99,7% remaja melihat iklan rokok di televisi; 86,7% remaja
melihat iklan rokok di media luar ruang; 76,2% remaja melihat iklan rokok di koran
dan majalah dan 81% remaja pernah mengikuti kegiatan yang disponsori rokok.
Demikian pula di era modern saat ini, iklan-iklan alat telekomunikasi seperti
handphone, blackberry, ipad juga berpengaruh terhadap remaja. Menurut penelitian
Dwi (2009) menyatakan bahwa promosi iklan handphone melalui media massa dapat
menyebabkan perilaku konsumtif terhadap trend alat komunikasi masa kini pada
remaja.
2.5.6. Akses
Menurut Gibney (2005), akses merupakan daya jangkau seseorang terhadap
sesuatu. Dalam hal pangan, konsep ketersediaan produk pangan terentang mulai dari
penjualan eceran sampai ketersediaannya dalam rumah dan lingkungan. Akses
tersebut dapat dipengaruhi oleh daerah tempat tinggal mereka, kepemilikan
kendaraan, transportasi publik dan fasilitas berbelanja, serta gudang produk pangan.
Akses umumnya dilihat sebagai faktor utama dalam kebutuhan pada rekomendasi
pola makan.

Universitas Sumatera Utara

2.6. Kerangka Konsep

KARAKTERISTI
K
PERSONAL
-Jenis Kelamin
-Uang Saku

LINGKUNGAN
SOSIAL
- Sumber Informasi
(Media Massa)
- Kelompok Referensi
(Keluarga dan Teman
Sebaya)

PENGETAHUA
N

SIKAP

TINDAKA
N
Konsumsi
Minuman
Ringan

LINGKUNGAN
FISIK
(Akses)
Kerangka konsep yang tertera di atas sesuai dengan teori Bandura,
menggambarkan bahwa lingkungan sosial (sumber informasi: media massa dan
kelompok acuan: keluarga dan teman sebaya) memengaruhi pengetahuan, sedangkan
pengetahuan memengaruhi sikap dan sikap memengaruhi tindakan. Dalam hal ini,
tindakan juga dipengaruhi oleh karakteristik personal (jenis kelamin, uang saku dan
motivasi) dan lingkungan fisik (akses).
2.7. Hipotesis
1. Ada pengaruh lingkungan sosial (sumber informasi dan kelompok referensi)
terhadap pengetahuan siswa SMA St. Thomas 1 Medan.
2. Ada pengaruh pengetahuan terhadap sikap siswa SMA St. Thomas 1
Medan.
3. Ada pengaruh sikap, lingkungan fisik (akses) dan karakteristik personal
(jenis kelamin, uang saku dan motivasi) terhadap tindakan siswa SMA St.
Thomas 1 Medan.

Universitas Sumatera Utara