Uji Potensi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Perubahan Kemasaman Tanah Sulfat Masam dan Pertumbuhan Tanaman Jagung dengan Kondisi Air Tanah Berbeda di Rumah Kaca

TINJAUAN PUSTAKA
Bakteri Pereduksi Sulfat (BPS)
Pengenalan Bakteri Pereduksi Sulfat
Bakteri pereduksi sulfat merupakan bakteri obligat anaerob yang
menggunakan H2 sebagai donor elektron (chemolithotrophic). BPS dapat
mereduksi sulfat pada kondisi anaerob menjadi sulfida, selanjutnya H2S yang
dihasilkan dapat mengendapkan logam-logam toksik (Cu, Zn, Cd) sebagai logam
sulfida. BPS memerlukan substrat organik yang berasal dari asam organik
berantai pendek seperti asam piruvat. Dalam kondisi alamiah, asam tersebut
dihasilkan oleh aktivitas anaerob lainnya (Hanafiah et al., 2009).
Bakteri pereduksi sulfat tersebar luas di alam, mereka terdapat di tanah, di
air, di sedimen dan limbah. Kekhususan dari bakteri pereduksi sulfat yaitu bakteri
pereduksi sulfat menggunakan sulfat atau hidrogen sebagai akseptor elektron dan
umumnya sangat diperlukan untuk mereduksi sulfat menjadi sulfida. Sehingga
dalam kondisi anaerob, ketersediaan sulfat dalam tanah akan dibatasi terutama
pada pH tanah di atas 5.5 (FAO, 2001). Tingginya jumlah BPS telah ditemukan di
endapan danau dan lahan tergenang, rumen sapi, geothermal. BPS juga dapat
berkembang dalam lingkungan manusia seperti sawah, pabrik kertas dan sungai
yang

dipengaruhi


oleh

limbah

atau

air

asam

tambang

(Postgate, 1965 ;Doshi, 2006).
Bakteri pereduksi sulfathidup secara anaerob dan dapat tumbuh
padakisaran pH 2sampai pH 9, tetapi optimalnya pada pH 7 (Suhartanti, 2004).
Dalam prosesnya, BPS mereduksi sulfat menjadi sulfida yang tidak larut sebagai
bagian dari aktivitas metabolismenya. Sulfida mengendap, kandungan logam

Universitas Sumatera Utara


hilang dari air. Di samping itu, sejumlah spesies BPS dapat mengurangi beberapa
logam yang sulit ditangani seperti mereduksi uranium (VI) (larut) menjadi
uranium (IV) (tidak larut) (Hard and Higgins, 2004).
Jenis – Jenis Bakteri Pereduksi Sulfat
Bakteri Pereduksi Sulfat terdiri dari 2 genus, yaitu Desulfovibrio dan
Desulfotomaculum. Desulfovibrio hidup pada kisaran pH 6 sampai netral,
sedangkan Desulfotomaculum merupakan kelompok BPS yang termofil
(menyukai suhu yang tinggi). Bakteri pereduksi sulfat merupakan kelompok
bakteri yang memiliki fisiologis yang kompleks dan berbagai kekayaan telah
digunakan dalam klasifikasi tradisional. Serangkaian analisis rRNA telah
diizinkan untuk membagi BPS dalam 4 grup (Alexander, 1977).
Castro et al., (2000), mengelompokkan BPS ke dalam empat kelompok
berdasarkan analisis urutan rRNA :
1.

Subdivisi proteobakteria terdiri BPS mesofilik gram negatif, termasuk
dalamnya

genera


Desulfobacter,

Desulfovibrio,

Desulfobacterium,

Desulfomicrobium,

Desulfobulbus,

Desulfococcus,

Desulfosarcina,

Desulfomonile, Desulfonema, Desulfobutulus, dan Desulfoarculus. Bakteri ini
memliki temperatur pertumbuhan optimal berkisar antara 200 sampai 400 C.
Grup ini berbeda, dengan bervariasi bentuk dan ciri-ciri fisiologi yang
diwakili.
2.


Bentuk BPS gram positif berspora terutama diwakili oleh genus
Desulfomaculum, dan bentuk endospora tahan panas. Sebagian besar spesies
memerlukan suhu yang sama dengan Grup 1, meskipun beberapa tahan
dengan suhu tinggi. Meskipun sebagian besar BPS bersporaditemukan di

Universitas Sumatera Utara

lingkungan yang sama dengan BPSProteobacteria, pembentukan spora
memungkinkan kelompok ini bertahan untuk waktukondisi pengeringan dan
oksikyang lama. Misalnya, Desulfotomaculum adalah genus umum dari BPS
di sawah.
3.

Grup BPS termofilik terdiri dari genera Thermodesulfobacterium dan
Thermodesulfovibrio. Bakteri ini memiliki pertumbuhan optimal antara 650
sampai 700 C dan menetap pada lingkungan temperatur tinggi seperti panas
geothermal.

4.


BPS archaeal termofilik berkembang pada temperatur di atas 800 C dan telah
ditemukan hanya di panas hidrotermal laut. Semua BPS di grup ini termasuk
ke dalam genus Archaeoglobus.

Mekanisme Bakteri Pereduksi Sulfat
Dalam melakukan reduksi sulfat, BPS menggunakan sulfat sebagai sumber
energi yaitu sebagai akseptor elektron dan menggunakan bahan organik sebagai
sumber karbon (C). Karbon tersebut berperan selain sebagai donor elekton dalam
metabolisme juga merupakan bahan penyusun selnya. Pada kondisi anaerob bahan
organik akan berperan sebagai donor elektron (Groudev et al., 2001 ; Widyati,
2006). Ketika sulfat menerima elektron dari bahan organik maka akan mengalami
reduksi membentuk senyawa sulfida. Penurunan konsentrasi sulfat akan
meningkatkan pH tanah. Hal ini terjadi karena beberapa proses yang saling
berkaitan, yaitu karena penggenangan, penambahan bahan organik dan aktivitas
BPS (Widyati, 2006).
Meningkatnya pH terjadi karena BPS menggunakan sulfat sebagai aseptor
elektron dan karbon (C) dari kompos sebagai donor elektron dengan

Universitas Sumatera Utara


menghasilkan hidrogen sulfida. Hidrogen sulfida akan segera berikatan dengan
logam membentuk logam sulfida yang tidak larut sehingga ketersediaan logam
turun. Keseluruhan reaksi reduksi sulfat dan logam yang melibatkan BPS
(Widyati, 2007).
Meskipun Bakteri Pereduksi Sulfat menggunakan sulfat sebagai terminal
akseptor elektron, BPS juga mampu menggunakan berbagai jenis akseptor
elektron untuk pertumbuhan dan memfermentasikan substrat yang tidak tersedia
akseptor elektron inorganik. BPS dapat mereduksi senyawa sulfur lain (thiosulfat,
sulfit, dan sulfur) menjadi sulfida atau dapat mereduksi nitrat menjadi amonium.
Senyawa lain yang merupakan akseptor elektron untuk beberapa BPS termasuk
besi (Fe(III)), uranium (U(VI)), selenat(Se(VI)), chromat (Cr(VI)), dan arsenat
(As(VI)). Bagaimanapun, tidak semua proses reduksi sesuai untuk pertumbuhan
(Muyzer dan Stams, 2008).
Faktor yang mempengaruhi
Kondisi anaerobik merupakan persyaratan habitat BPS. Substrat,
temperatur, pH juga dapat menentukan batasan dan telah menjadi subjek
penelitian di laboratorium dan dilapangan (Doshi, 2006).
Bakteri Pereduksi Sulfat umumnya mengandalkan senyawa karbon
sederhana seperti asam organik atau alkohol untuk menyediakan sebagai donor

elektron untuk mereduksi sulfat, meskipun ada beberapa mampu menggunakan
hidrogen (Logan et al., 2005 ; Doshi, 2006). BPS tidak dapat mensintesis enzim
untuk menghidrolisis polimer seperti polisakarida. Banyak kelompok BPS tidak
dapat menggunakan monomer seperti monosakarida (glukosa) sebagai substrat
untuk

energi,sehingga

BPS

tergantung

pada

bakteri

fermentasi

untuk


Universitas Sumatera Utara

menghasilkan senyawa organik sederhana (seperti acetate, propionate). Lebih
lanjut Doshi (2006) juga menegaskan bahwa ketika bahan organik digunakan
sebagai sumber karbon, bakteri heterotrofik lainnya harus memecahnya menjadi
senyawa karbon sederhana.
Bakteri yang toleransi masam bermanfaat untuk digunakan pada drainase
masam. BPS dapat bertahan pada berbagai macam pH, tetapi kurang aktif di
bawah pH tertentu. Namun pH yang lebih tinggi mungkin diperlukan untuk
presipitasi logam yang efektif dan degragasi karbon organik (Doshi, 2006).
Suhu rendah memperlambat BPS dan demikian dengan laju reaksi. Dalam
percobaan

kolom, BPS efektif berfungsi sampai pada suhu 60C yitu suhu

terendah yang diuji (Tsukamoto et al., 2004 ; Doshi, 2006).
Mikroorganisme yang dipilih untuk digunakan dalam bioremediasi
tergantung pada tersedianya sumber energi dan karbon, kondisi lingkungan seperti
temperatur, oksigen, kelembapan dan hadirnya zat pencemar berbahaya. Banyak
bakteri yang menggunakan kontaminan sebagai sumber karbon dan energi. Awal

terjadinya degradasi adalah terjadinya kontak antara bakteri dan kontaminan. Hal
ini tidak mudah dicapai, apabila tidak ada mikroba atau kontaminan lain yang
menyebar dalam tanah (Pal et al., 2010).
Remediasi mikroba tergantung pada kehadiran sejumlah mikroorganisme
yang tepat dan kombinasi dan kondisi lingkungan yang sesuai. Bio-stimulasi dan
bioaugmentasi adalah dua faktor yang penting yang mempengaruhi bioremediasi
mikroba. Bio-stimulasi adalah penambahan nutrisi (sumber biasanya ada karbon,
nitrogen dan phospor), oksigen atau elektron donor lain atau aseptor. Pemberian
amandemen ini dapat meningkatkan sejumlah aktivitas mikroorganisme atau

Universitas Sumatera Utara

keduanya terjadi secara alami yang tersedia untuk bioremediasi. Bio-augmentasi
adalah penambahan mikroorganisme yang dapat mentransform (biasanya logam
beracun) atau mengurai (senyawa organik beracun) kontaminan tertentu
(Sinha et al., 2009).
Masalah utama yang sering dijumpai dalam aplikasi mikroorganisme
untuk bioremediasi adalah menurun atau hilangnya potensi mikroba. Walaupun
dalam percobaan laboratorium mikroba menunjukkan aktivitas degradasi yang
tinggi, ternyata tidak menunjukkan hasil yang memuaskan dalam percobaan di

lapangan (in situ). Maka untuk meningkatkan keefektivan penggunaan
mikroorganisme perlu dilakukan penambahan nutrisi untuk merangsang aktivitas
mikroorganisme (biostimulation) dan mengintroduksi mikroba tertentu pada derah
yang akan diremediasi (bioaugmentasi). Selain itu, pengaruh pH, temperatur,
kelembapan

tanah

juga

sangat

menentukan

keberhasilan

bioremediasi

(Munir, 2006).
Tanah Sulfat Masam

Luas lahan rawa di Indonesia diperkirakan 33.40 juta ha, yang terdiri atas
20 juta ha rawa pasang surut dan 13.40 juta ha rawa lebak. Lahan sulfat masam
merupakan bagian dari lahan rawa pasang surut dan luasnya sekitar 6.70 juta ha
(Suriadikarta, 2005). Lahan sulfat masam tergolong lahan yang marginal dan
fragile (rapuh) yang dicirikan oleh adanya lapisan tanah yang mengandung pirit
2,0 % atau lebih pada kedalaman kurang dari 50 cm (Suastika et al., 2008).
Tanah sulfat masam merupakan tanah di daerah pasang surut yang
mengandung bahan sulfida (FeS) pada kedalaman 0-50cm. Jenis tanah ini
dibedakan menjadi tanah sulfat masam potensial (SMP) dan tanah sulfat masam

Universitas Sumatera Utara

aktual (SMA). Tanah sulfat masam menjadi potensial apabila FeS pada
kedalaman 0-50 cm, belum terjadi proses oksidasi dan dalam keadaan tergenang
akan bersifat stabil dan tidak membahayakan tanaman. Tanah menjadi sulfat
masam aktual apabila bahan sulfidanya telah mengalami proses oksidasi menjadi
pirit (FeS2) yang bila kena udara akan terjadireaksi oksidasi membentuk asam
sulfat dan oksida besi, sehingga mengubah tanah menjadi sangat masam dansusah
digunakan untuk lahan pertanian (Balai Penelitian Tanah, 2010).
Pirit (FeS2) yang banyak terkandung di tanah sulfat masam bersifat stabil
jika

berada

dalam

kondisi

dikeringkan/didrainase

maka

reduktif,
pirit

tetapi

akan

jika

tanah

mengalami

sufat

oksidasi

masam
sehingga

menyebabkan terbentuknya senyawa H2SO4 yang dapat meningkatkan kemasaman
tanah, pada kondisi ini pH tanah dapat mencapai kurangdari 3,5 (pH < 3,5).
Berikut adalah persamaan reaksi yang menggambarkan terjadinya oksidasi pirit
dan

menyebabkan

pemasaman

tanah

(Konstenet al.,1994 ; Susilawati dan Fahmi, 2013)
2 FeS2+ 7 O2+ 2 H2O

2 Fe2++ 4 H2SO4

Masalah yang timbul akan diikuti beberapa proses antara lain: 1) Pada pH
yang rendah, ion aluminium (Al3+) akan dibebaskan dalam larutan tanah, dan
dapat mencapai konsentrasi yang bersifat toksik terhadap pertumbuhan padi atau
tanaman lain. 2) Konsentrasi besi-III yang tinggi dan adanya ion Al yang
melimpah dalam larutan tanah, akan mengikat ion fosfat yang tersedia, sehingga
mengurangi fosfat yang tersedia, bahkan mengakibatkan kahat/defisiensi P.
3) Adanya ion Al yang berlebihan akan mengganti basa-basa yang dapat
dipertukarkan pada kompleks pertukaran kation, dan membebaskan ion Ca, Mg,

Universitas Sumatera Utara

dan K ke dalam larutan tanah yang selanjutnya dapat “tercuci” keluar karena
dibawa hanyut oleh air yang mengalir. Tidak hanya pasokan K menjadi terbatas,
tetapi juga mengakibatkan kahat unsur Ca dan Mg. 4) Secara ringkas, akibat
penurunan pH tanah di bawah pH 3,5 terjadi keracunan ion H+, Al, SO42-, dan
Fe3+, serta penurunan kesuburan tanah alami akibat hilangnya basa basa tanah.
Tanah mengalami kahat P, K, Ca, dan Mg (Subiksa dan Setyorini, 2008).
Berdasarkan keberadaan pirit dalam tanah, sifat tanah sulfat masam terdiri
dari enam tipologi, yaitu : (1) aluvial bersulfida dangkal, kedalaman pirit
kuranfgdari 50 cm dan pH 3.5-4.0 ; (2) aluvial bersulfida dalam, kedalaman pirit
kurang dari 50-100 cm dan pH lebih dari 4.0 ; (3) aluvial bersulfida sangat dalam,
kedalaman pirit lebih dari 100 cm dan pH lebih dari 4.0-4.5 ; (4) aluvial bersulfat
1, kedalaman pirit kurang dari 100 cm dan belum ada ciri horison sulfurik, pH
lebih dari 3.5 dan tampak bercak berpirit ; (5) aluvial bersulfat 2, kedalaman pirit
kurang dari 100 cm dan adanya ciri horison sulfurik dan pH kurang dari 3.5 dan
(6) aluvial bersulfat 3, kedalaman pirit lebih dari 100 cm dan menunjukkan
adanya ciri horison sulfurik dan pH tanah kurang dari 3.5. tipologi aluvial
bersulfat menunjukkan adanya lapisan (horison) sulfurik yang mengindikasikan
pirit teroksidasi (Noor, 2004).
Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman berumah satu (Monoecious)
yaitu letak bunga jantan terpisah dengan bunga betina pada satu tanaman. Jagung
termasuk tanaman C4 yang mampu berdaptasi baik pada faktor-faktor pembatas
seperti intensitas radiasi surya tinggi dengan suhu siang dan malam tinggi, curah
hujan rendah dengan cahaya musiman tinggi disertai suhu tinggi serta kesuburan

Universitas Sumatera Utara

tanah yang relatif rendah. Sifat-sifat yang menguntungkan dari jagung sebagai
tanaman C4 antara lain aktivitas fotosintesis pada keadaan normal relatif tinggi,
fotorespirasi sangat rendah, transpirasi rendah, serta efisien dalam penggunaan air.
Tanaman jagung menghendaki tanah yang gembur, subur, berdrainase
yang baik, pH tanah 5,6-7,0. Jenis tanah yang dapat toleran ditanami jagung
antara lain andosol, latosol dengan syarat pH-nya harus memadai untuk tanaman
tersebut. Pada tanah-tanah yang bertekstur berat, jika akan ditanami jagung maka
perlu dilakukan pengolahan tanah yang baik. Namun, apabila kondisi tanahnya
gembur, dalam budidaya jagung tanah tidak perlu diolah
(Rukmana, 1997).
Tanaman jagung ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai di
daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-1800 mdpl. Sedangkan
daerah yang optimum untuk pertumbuhan jagung adalah antara 0-600 mdpl (Tim
Karya Tani Mandiri, 2010).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Uji Potensi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Perubahan Kemasaman Tanah Sulfat Masam dan Pertumbuhan Tanaman Jagung dengan Kondisi Air Tanah Berbeda di Rumah Kaca

0 0 25

Uji Potensi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Perubahan Kemasaman Tanah Sulfat Masam dan Pertumbuhan Tanaman Jagung dengan Kondisi Air Tanah Berbeda di Rumah Kaca

0 0 2

Uji Potensi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Perubahan Kemasaman Tanah Sulfat Masam dan Pertumbuhan Tanaman Jagung dengan Kondisi Air Tanah Berbeda di Rumah Kaca

0 0 3

Uji Potensi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Perubahan Kemasaman Tanah Sulfat Masam dan Pertumbuhan Tanaman Jagung dengan Kondisi Air Tanah Berbeda di Rumah Kaca

0 0 1

Uji Potensi Isolat Bakteri Pereduksi Sulfat Terhadap Perubahan Kemasaman Tanah Sulfat Masam dan Pertumbuhan Tanaman Jagung dengan Kondisi Air Tanah Berbeda di Rumah Kaca

0 0 11

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kapur Dolomit, Pupuk dan Bakteri Pereduksi Sulfat pada Tanah Sulfat Masam di Rumah Kaca

0 0 12

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kapur Dolomit, Pupuk dan Bakteri Pereduksi Sulfat pada Tanah Sulfat Masam di Rumah Kaca

0 0 2

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kapur Dolomit, Pupuk dan Bakteri Pereduksi Sulfat pada Tanah Sulfat Masam di Rumah Kaca

0 0 5

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kapur Dolomit, Pupuk dan Bakteri Pereduksi Sulfat pada Tanah Sulfat Masam di Rumah Kaca

0 0 10

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Terhadap Pemberian Kapur Dolomit, Pupuk dan Bakteri Pereduksi Sulfat pada Tanah Sulfat Masam di Rumah Kaca

0 0 6