Kejahatan Kemanusiaan sebagai Pelanggaran HAM Berat Terhadap Penduduk Sipil di Republik Afrika Tengah Ditinjau dari Hukum Internasional

BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI KEJAHATAN KEMANUSIAAN
SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAM BERAT MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL

A. Pengertian Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali muncul pada tahun 1915
untuk menggambarkan suatu kejahatan luar biasa berupa pembunuhan besarbesaran di Kerajaan Ottoman. Pada saat itu muncul permasalahan yuridis
berhubungan dengan berlakunya asas nonretroaktif dalam hukum pidana dimana
asas tersebut tidak memungkinkan mengadili suatu tindak pidana yang mana
tindak pidana tersebut belum ada hukum yang mengatur.7
Pada tanggal 28 Mei 1915 pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia
memutuskan untuk melakukan deklarasi terakit kasus pembunuhan massal
terhadap orang-orang Armenia di Kerajaan Ottoman. Deklarasi bersama tiga
negara tersebut melahirkan istilah kejahatan terhadap kemanusiaan, namun istilah
tersebut hanya mendapatkan perhatian jangka pendek dalam menyelesaikan
permasalahan politik, Hal ini terlihat setelah deklarasi tersebut yang tidak ada
upaya yang konkret dari deklarasi bersama tersebut.8
Definisi mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against
Humanity) berawal dari ketentuan yang tercantum di dalam Piagam Nuremberg
7


I Made Pasek Diantha, Hukum Pidana Internasional Dalam Dinamika Pengadilan Pidana
Internasional, Jakarta, Prenadamedia Group, 2014, hal. 165
8
Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2014, hal. 100

15
Universitas Sumatera Utara

16

yang juga membentuk Mahkamah Militer Internasional Nuremberg, diatur di
dalam Pasal 6 (c) yang mendefenisikan kejahatan kemanusiaan adalah 9 :
“Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan
tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil,
sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau
agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah
perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan
tersebut dilakukan”.
Formulasi yang terdapat dalam pasal diatas merupakan preseden pertama kalinya

dalam hukum pidana internasional positif dimana istilah khusus dari kejahatan
terhadap

kemanusiaan

(Crimes

against

Humanity)

diperkenalkan

dan

didefenisikan.
Dalam perkembangannya, pada tahun 1944, bangsa-bangsa di dunia yang
terbentuk dalam International Law Comission telah merumuskan suatu draft
Statute for an Internasional Criminal Court yang selanjutnya menjadi cikal bakal
dari Statuta Roma. Kemudian tahun 1998 oleh International Diplomatic

Confrence di Roma telah menyepakati Statuta Roma (Rome Statute) menjadi
dasar hukum dalam mengadili kejahatan yang merupakan tergolong pelanggaran
berat termasuk didalamnya Kejahatan Genosida, Kejahatan Perang, Kejahatan
terhadap Kemanusiaan dan Kejahatan Agresi. Kejahatan kemanusiaan sendiri
merupakan tindakan penyerangan yang dilakukan dengan terorganisasi terhadap
manusia (masyarakat) yang mengakibatkan banyak korban.
9

Anis widyawati, Hukum Pidana Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 2014, hal. 89

Universitas Sumatera Utara

17

Kejahatan terhadap kemanusian mempunyai pengertian yang sistematis
(systematic)

dan

meluas


(widespread).

Maksud

dari

sistematis,

yaitu

mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan
kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan pengertian meluas
juga merujuk pada maksud dari sistematik, untuk membedakan tindakan yang
bersifat meluas tetapi korban atau sasaran (targetnya) secara acak. Korban tersebut
memiliki karakteristik tertentu misalnya agama, politik, ras, etnik, atau gender. 10
Kejahatan kemanusiaan menurut Statuta Roma 1998 merupakan salah satu
dari perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan
meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil,
yang meliputi pembunuhan; pemusnahan; perbudakan; deportasi atau pemindahan

penduduk secara paksa; pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara
sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan dasar Hukum Internasional;
penyiksaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan
secara paksa, sterilisasi secara paksa atau berbagai bentu kekerasan seksual
lainnya; penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu
kelompok politik, ras, bangsa, etnis, kebudayaan, agama, gender/jenis kelamin,
sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya, yang
secara universal tidak diperbolehkan dalam hukum internasional, sehubungan
dengan perbuatan yang diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi
mahkamah; penghilangan orang secara paksa; tindak pidana rasial (apartheid);
perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa yang dengan sengaja
10

Barda Nawawi Arief, Perlindungan Korban Kejahatan dalam Proses Peradilan Pidana. Jurnal
Hukum Pidana dan Kriminologi, 1998, Vol. 1, hal. 31

Universitas Sumatera Utara

18


mengakibatkan penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau
kesehatan fisik seseorang.
Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan perluasan dari kejahatan
perang, apabila kejahatan perang yang dilakukan memenuhi unsur-unsur delik
kejahatan terhadap kemanusiaan dimana kejahatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas dan sistematis, yang diketahui bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung pada penduduk sipil, serta perbuatan-perbuatan yang
dimaksud dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000. 11 Adapun penjelasan Pasal 9 UU
No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud dengan ”Penyerangan yang ditujukan
langsung pada penduduk sipil”, adalah suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan
terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau akibat
kebijakan yang berhubungan dengan organisasi”. Jadi unsur esensial dari
kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu adanya pengetahuan dari pelaku bahwa
kejahatan yang dilakukan merupakan bagian dari kebijakan penguasa atau
organisasi.
Dalam
mengemukakan
Kemanusiaan

UU No.

pengertian
merupakan

26

Tahun

2000

pelanggaran
bentuk

mengenai

HAM

pelanggaran

secara
HAM


Pengadilan

HAM

jelas,

Kejahatan

Berat.

Pengertian

pelanggaran HAM sendiri adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang
termasuk juga aparat negara, yang baik disengaja maupun tidak disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, membatasi, menghalangi dan mencabut

11

Dadang Siswanto, Hubungan Antara Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Genocide

dan Kejahatan Perang, Universitas Diponegoro, 2001, hal. 7

Universitas Sumatera Utara

19

hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU dan
tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum
yang benar dan adil, yang didasarkan pada mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM adalah tindakan pelanggaran
kemanusiaan, yang baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara
atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan
yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakannya. pelanggaran HAM
dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu : (1) pelanggaran HAM berat dan (2)
pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat yaitu meliputi kejahatan
genosida dan kejahatan kemanusiaan. Bentuk pelanggaran HAM ringan ialah
pelanggaran HAM yang dilakukan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM
berat tersebut.
Dengan demikian, tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan
pelanggaran HAM Berat yang dilakukan secara sistematis dan langsung membuat

penderitaan baik fisik maupun mental, terbunuhnya manusia yang bertentangan
dengan peradaban manusia serta melanggar prinsip-prinsip hukum internasional.
Sebagaimana dinyatakan dalam forum pengadilan Nuremberg, segala bentuk
penghancuran kehidupan masyarakat sipil adalah perbuatan terkutuk dan
merupakan tindak pidana terhadap kemanusiaan.
B. Jenis- Jenis Kejahatan Kemanusiaan
Adapun jenis-jenis dan penjabaran kejahatan terhadap kemanusiaan dapat
dilihat berdasarkan Statuta Roma tahun 1998 Pasal 7 Ayat (2) sebagai dasar

Universitas Sumatera Utara

20

hukum Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam
kewenangan dan yurisdiksinya mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan adalah
sebagai berikut12 :
“Serangan yang ditujukan terhadap suatu kelompok penduduk sipil”
berarti serangkaian perbuatan yang mencakup pelaksanaan berganda dari
perbuatan yang dimaksud dalam ayat 1 terhadap kelompok penduduk sipil, sesuai
dengan atau sebagai kelanjutan dari kebijakan Negara atau organisasi untuk

melakukan serangan tersebut;
“Pemusnahan” mencakup ditimbulkannya secara sengaja pada kondisi
kehidupan, antara lain dihilangkannya akses kepada pangan dan obat-obatan, yang
diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebagian penduduk.
“Perbudakan” berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang
melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya
kekuasaan tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya orang perempuan dan
anak-anak;
“Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa” berarti perpindahan
orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan
pemaksaan lainnya dari daerah di mana mereka hidup secara sah, tanpa alasan
yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional;
“Penyiksaan” berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau
penderitaan yang hebat, baik fisik atupun mental, terhadap seseorang yang ditahan
12

“Statuta Roma” sebagaimana dimuat dalam www.komnas-tpnpb.net, terakhir diakses pada
tanggal 27 Mei 2016, pukul 13.34 WIB

Universitas Sumatera Utara

21

atau di bawah penguasaan tertuduh; kecuali kalau siksaan itu tidak termasuk rasa
sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, yang melekat pada atau sebagai
akibat dari, sanksi yang sah;
“Penghamilan paksa” berarti penahanan tidak sah, terhadap seorang
perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan maksud mempengaruhi
komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu
pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Definisi ini betapapun juga tidak
dapat ditafsirkan sebagai mempengaruhi hukum nasional yang berkaitan dengan
kehamilan;
“Penganiayaan” berarti perampasan secara sengaja dan kejam terhadap
hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan
identitas kelompok atau kolektivitas tersebut;
“Kejahatan apartheid” berarti perbuatan tidak manusiawi dengan sifat
yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat 1, yang dilakukan dalam
konteks suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistematik
oleh satu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain
dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rezim itu.
“Penghilangan paksa” berarti penangkapan, penahanan atau penyekapan
orang-orang oleh, atau dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan diamdiam dari, suatu Negara atau suatu organisasi politik, yang diikuti oleh penolakan
untuk mengakui perampasan kebebasan itu atau untuk memberi informasi tentang

Universitas Sumatera Utara

22

nasib atau keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk memindahkan
mereka dari perlindungan hukum untuk suatu kurun waktu yang lama.
C. Hukum Internasional Terkait Yang Mengatur Kejahatan Kemanusiaan
Perkembangan kehidupan masyarakat internasional dengan berbagai
kemajuan pengetahuan serta kemampuan dapat menjadi salah satu faktor
pendorong

bentuk-bentuk

kejahatan

yang

mengarah

pada pelanggaran-

pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Peristiwa yang pernah dialami oleh
masyarakat internasional, khususnya terhadap masyarakat bangsa-bangsa dan
negara-negara telah trauma terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh Perang
Dunia II yang berdampak pada kesengsaraan, ketakutan dan mengerikan. Dari
kejadian tersebut perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan rasa
kemanusiaan mendapatkan perhatian yang sangat luar biasa serta memperoleh
perioritas dalam pengaturan internasional. Bentuk nyata pengaturan mengenai
perlindungan yang termasuk dalam kerangka perlindungan Hak Asasi Manusia
seperti Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of
Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948, Konvensi Genosida 1949, dan
Konvensi Genewa 1949 tentang perlindungan korban. Selanjutnya pada tahun
1966, oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan dua
instrumen internasional menyangkut perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia,
diantaranya International Covenant on Civil Political Rights (ICCPR) dan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESR).13

13

Anis widyawati, Op.cit., hal. 87

Universitas Sumatera Utara

23

Upaya dalam menangani berbagai peristiwa kejahatan-kejahatan yang
pernah terjadi bagi masyarakat internasional ditandai dengan terbentuknya
organisasi-organisasi internasional yang mempunyai peran untuk memeriksa dan
mengadili para pelaku kejahatan-kejahatan tersebut. Sebagai contoh Pengadilan
Tokyo dan Nuremberg tahun 1945 dengan peradilan yang mengadili kejahatankejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian (crimes against
peace), kejahatan perang (war crime), dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity) yang menjadi kewenangan dan yurisdiksinya.14
Selain itu, pengadilan internasional yang juga memberikan sumbangan
dalam penanganan dan mengadili para pelaku kejahatan internasional, yaitu
Pengadilan Perang Bekas Yugoslavia dengan berdasar pada keluarnya Statuta
Pengadilan Internasional Eks Yugoslavia (International Criminal Tribunal for
Yugoslavia/ICTY) dan Pengadilan Perang Rwanda dengan Statuta International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dengan beberapa kewenangan peradilan
dalam mengadili kejahatan diantaranya kejahatan genosida (crime of genocide),
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan pelanggaran pasal
3 dalam Konvensi Genewa 1949 beserta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Terbentuknya badan-badan peradilan diatas hanya bersifat sementara (ad hoc)
yang ketika itu sangat dibutuhkan dalam menangani kejahatan-kejahatan
internasional yang sangat meresahkan bagi masyarakat internasional. 15

14

D.J Harris, Cases and Materials on International Law. London, Street and Maxwell Appendix I,
1973, hal. 541
15
Anis widyawati, Op.cit., hal. 88

Universitas Sumatera Utara

24

Pada tahun 1944, bangsa-bangsa di dunia yang terbentuk dalam
International Law Comission telah merumuskan suatu Draft Statute for an
Internasional Criminal Court yang selanjutnya menjadi cikal bakal dari Statuta
Roma. Kerangka yang dimaksudkan oleh Komisi Pidana Internasional tersebut
menyebutkan bahwa tindak pidana yang termasuk dalam kewenangan atau
yurisdiksi oleh Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court)
dalam kejahatan genosida (crime of genocide), kejahatan perang (war crime),
kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), dan kejahatan agresi
(crime of aggression). Kemudian tahun 1998 oleh International Diplomatic
Conference di Roma telah menyepakati Statuta Roma (Rome Statute) menjadi
dasar hukum dengan resminya berdirinya Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) dengan kewenangan dan yurisdiksi dalam
mengadili kejahatn-kejahatan yang dimilikinya dan menjadi lembaga pengadilan
yang permanen.16
Adapun aturan-aturan terkait kejahatan terhadap kemanusiaan ditandai
dengan masuknya prinsip kemanusiaan pada Klausula Martin pada pembukaan
Konvensi Den Haag tahun 1899 dan Konven Den Haag ke-IV tahun 1907 yang
berisi :
“Until a more complete code of the laws of war issued, the High Contracting
Parties think it right to declare that in cases not included in the Regulations
adopted by them, populations and belliegerents remain under the protection
and empire of the principles of international law, as they result from the usages
16

Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM Internasional, Yogyakarta, Pusham UII, 2006, hal. 2

Universitas Sumatera Utara

25

established between civilized nations, from the laws of humanity, and the
requirements of the public conscience“
Klausula ini secara garis besar menentukan bahwa apabila hukum
humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah
tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsipprinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara
negara-negara yang beradab; dari hukum kemanusiaan; serta dari pendapat publik.
Klausula Martin ini penting karena dengan mengacu pada hukum
kebiasaan internasional, klausula ini menekankan pentingnya norma-norma
kebiasaan dalam pengaturan sengketa bersenjata. Selanjutnya, klausula ini juga
mengacu pada ‘prinsip-prinsip kemanusiaan’ (principles of humanity) dan
‘pendapat publik’ (the dictates of public conscience). Kedua istilah ini harus
sepenuhnya dimengerti. Ungkapan “principles of humanity” adalah serupa dengan
“laws of humanity” (hukum kemanusiaan). Klausula ini merupakan contoh yang
jelas menggambarkan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya.17
Selain dari Konvensi Den Haag yang menjadi dasar berawalnya hukum
kemanusiaan dalam tatanan aturan hukum internasional pada perkembangan
selanjutnya aturan berkenaan hal ini juga terdapat pada Piagam Nuremberg yang
merupakan hukum pidana internasional positif dalam memberikan definisi dan
aturan secara khusus mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against

17

“Marten’s Clause” sebagaimana dimuat dalam www.mochamaddidi.wordpress.com, terakhir
diakses tanggal 27 Mei 2016, pukul 14.43 WIB

Universitas Sumatera Utara

26

humanity). Aturan yang dimaksud terdapat pada Pasal 6 (c) Piagam Nuremberg
yang mendefenisikan kejahatan kemanusiaan sebagai berikut :
“Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan secara paksa dan
tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masyarakat sipil,
sebelum atau selama perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras atau
agama dalam pelaksanaan atau dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah
perbuatan tersebut baik yang melanggar atau tidak hukum dimana perbuatan
tersebut dilakukan”.
Selanjutnya, pada Pasal 5 (c) International Military Tribunal for the Far
East (IMTFE) atau yang dikenal dengan Tokyo Tribunal menyatakan bahwa:
“Yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan adalah pembunuhan,
pemusnahan, perbudakan, deportasi dan tindakan tidak manusiawi lainnya
yang dilakukan terhadap populasi sipil manapun, sebelum dan selama masa
perang, atau penindasan berdasarkan politik, ras, sebagai bagian atau
dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lainnya yang masuk dalam
yurisdiksi pengadilan, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau
tidak.”
Kejahatan

terhadap

kemanusiaan

dalam

Konvensi

tentang

Ketidakberlakuan Pembatasan Aturan Hukum untuk Kejahatan Perang dan
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2392 (XXIII),
26 November 1968, tercantum dalam Pasal 1 (b) yang mengatakan bahwa:

Universitas Sumatera Utara

27

“Kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang dilakukan dalam waktu perang
maupun dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam Piagam Tribunal
Militer Internasional, Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan yang dikuatkan dengan
resolusi-resolusi Majelis Umum PBB, 3 (1) 13 Februari 1946 dan 95 (1) 11
Desember 1946, pengusiran dengan bersenjata, atau pendudukan dan
apartheid dan kejahatan genosida, seperti didefinisikan dalam Konvensi 1948
tentang Pencegahan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Genosida,
sekalipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap
hukum domestik dari negara tempat kejahatan-kejahatan dilakukan”18
Perkembangan tentang pengaturan kejahatan terhadap kemanusiaan
selanjutnya dapat ditemukan pada Statuta Pengadilan Perang Bekas Yugoslavia
(International Criminal Tribunal of Yugoslavia Statute) dan terdapat pula di
dalam Statuta Pengadilan Perang Kasus Rwanda (International Criminal Tribunal
of Rwanda Statute).
Pasal 5 Statuta Pengadilan Perang Bekas Yugoslavia (International
Criminal Tribunal of

Yugoslavia Statute), tentang Kejahatan

terhadap

Kemanusiaan mengatakan bahwa:
“Pengadilan Internasional memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang
yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan selama
konflik bersenjata berlangsung, yang bersifat internasional mauoun internal
dan ditujukan langsung terhadap penduduk sipil: a. Pembunuhan; b.

18

Eddy Omar Sharif Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta, Erlangga, 209, hal
38

Universitas Sumatera Utara

28

Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pendeportasian; e. Penahanan; f. Penyiksaan;
g. Pemerkosaan; h. Penindasan berdasarkan politik, ras dan agama; i.
Tindakan tidak manusiawi lainnya.”19
Pengaturan tersebut juga masih berpedoman pada Piagam Nuremberg yang
merupakan hukum positif pertama yang mendefenisikan tentang kejahatan
terhadap kemanusiaan.
Aturan-aturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri
bersifat tertulis dan terkodifikasi sebagai aturan hukum positif. Pada tahun 1998,
International Diplomatic Conference di Roma menyepakati Statuta Roma (Rome
Statute) yang menjadi dasar hukum berdirinya Mahkamah Pidana Internasional
(International Criminal Court) dalam hal ini pengaturan tentang kejahatan
terhadap kemanusiaan lebih lengkap daripada pengaturan-pengaturan sebelumnya.
Pengaturan yang dimaksud terdapat pada ketentuan Pasal 7 Statuta Roma 1998
menjelaskan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) adalah
kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas (widespread)
dan sistematik (systematic) yang ditujukan pada penduduk sipil dengan
mengetahui serangan tersebut, dan ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan
yang terdapat dalam Statuta Roma 1998 ini lebih luas dan lengkap karena secara
substantif isi dari statuta ini hampir sama dengan dua statuta sebelumnya, namun
dalam Statuta ini pengaturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan lebih
diperjelas.

19

Tolib Effendi, Op.cit., hal. 102

Universitas Sumatera Utara

29

Bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan yang diatur pada Statuta Roma
1998

yang

merupakan

dasar

(International Criminal Court)

hukum

Mahkamah

Pidana

Internasional

sebagai lembaga permanen dalam mengadili

kejahatan terhadap kemanusiaan adalah : a) pembunuhan; b) pemusnahan; c)
perbudakan d) deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa; e) pengurungan
atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan melanggar
aturan-aturan dasar Hukum Internasional; f) penyiksaan; g) pemerkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, kehamilan secara paksa, sterilisasi
secara paksa atau berbagai bentu kekerasan seksual lainnya; h) penindasan
terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu kelompok politik, ras,
bangsa, etnis, kebudayaan, agama, gender/jenis kelamin, sebagaimana dijelaskan
dalam ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak
diperbolehkan dalam hukum internasional, sehubungan dengan perbuatan yang
diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi mahkamah; i)
penghilangan orang secara paksa; j) tindak pidana rasial (apartheid); k) perbuatan
tidak manusiawi lainnya yang serupa yang dengan sengaja mengakibatkan
penderitaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik
seseorang.20
Adapun prinsip-prinsip dasar yang diakui dan diatur dalam Statuta Roma
1998, terdapat beberapa dasar yang dimiliki dalam mengatur mengenai kejahatan
terhadap kemanusiaan, yang telah diterima secara internasional bahwa norma-

20

Rome Statute of the International Criminal Court 1998.

Universitas Sumatera Utara

30

norma di dalamnya merupakan kodifikasi dari hukum pidana internasional antara
lain sebagai berikut 21 :
1.

Prinsip Tidak Berlaku Surut (Non-Retroactive) dalam kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Adapun prinsip nonretroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk

kejahatan terhadap kemanusiaan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:
- Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum
kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua
sumber tersebut, pelaku kejahatan yang melakukan suatu tindakan
kejahatan terhadap kemanusiaan baik secara commissioner maupun
ommisioner dapat dihukum secara retroaktif.
- Pasal 15 (2) International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) memungkinkan pengecualian atas asas nonretroaktif untuk
kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan menurut
prinsip-prinsip umum.
2.

Pertanggungjawaban Komando (Commander Responsibility)
Prinsip ini diberlakukan bagi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan

dengan melakukan penuntutan kepada penanggung jawab komando. Secara
konseptual seorang komandan dapat dimintai pertanggungjawaban baik atas
perbuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang
berada di bawah kendalinya untuk melakukan perbuatan yang salah satu atau
21

Anis Widyawati, Op.cit., hal. 95-96

Universitas Sumatera Utara

31

beberapa perbuatannya merupakan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan (by
commission) maupun karena membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun
terhadap pasukan dibawahnya (by omission).
3.

Prinsip praduga tak bersalah (Presumption of Innocence)
Pengaturan mengenai prinsip praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 66

Statuta Roma tahun 1998. Prinsip ini mengharuskan kepada Jaksa Penuntut
Umum untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang meyakinkan
bahwa perbuatan yang terjadi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dengan
berbagai alat bukti yang diajukan ke dalam persidangan.
Demikian bentuk-bentuk pengaturan kejahatan terhadap kemanusiaan
dalam sejarah panjang perkembangannya yang mengalami penyempurnaan dari
waktu ke waktu dalam upayanya mencakup berbagai macam peristiwa kejahatankejahatan yang terjadi di kehidupan masyarakat internasional sebagai bentuk
perlindungan dan penghormatan Hak Asasi Manusia dari kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (Grave Breaches).

Universitas Sumatera Utara