Kompetensi Apoteker dan Profil Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pasca Puka di Kota Medan
O6-11
KOMPETENSI APOTEKER DAN
PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
PASCA PUKA DI KOTA MEDAN
Wiryanto
Laboratorium Farmasi Komunitas
Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara
Jl. Almamater No. 5 Kampus USU Medan
[email protected]
ABSTRAK
Pelayanan kefarmasian di Apotek saat ini didiskripsikan para pemerhati kesehatan sebagai pelayanan yang tidak mengacu
pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak dilakukan oleh Apoteker tetapi oleh siapa saja yang ada di Apotek. Diskripsi yang
menyimpan beragam permasalahan mendasar bagai fenomena gunung es ini, telah direspon oleh 2 institusi terkait paling
bertanggungjawab, yaitu Departemen Kesehatan RI dan Organisasi Profesi ISFI. Respon Departemen Kesehatan adalah dengan
diterbitkannya Kepmenkes No.1027/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan respon Organisasi Profesi ISFI
adalah dicanangkannya Sertifikasi Profesi Apoteker yang pada tahap awal dilaksanakan melalui Penataran dan Uji Kompetensi
Apoteker (PUKA). Makalah ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kompetensi apoteker dan
gambaran pelayanan kefarmasian di apotek pasca PUKA di kota Medan.
Penelitian dilakukan dalam 4 tahap, tahap pertama menilai kompetensi apoteker melalui uji sebelum dan sesudah mengikuti
penataran, tahap kedua survei lapangan untuk mengetahui sejauh mana penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, tahap
ketiga survei lapangan untuk mengetahui sejauh mana peran Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian di Apotek, dan tahap keempat
observasi tersamar untuk mengetahui sejauh mana Pelayanan Obat Keras tanpa Resep Dokter dilakukan di Apotek.
Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa hasil uji kompetensi Apoteker terhadap 8 materi penataran sebelum
dilaksanakan penataran cenderung mengecewakan dengan data kelulusan rata-rata: 25% nilai C, 16% nilai B, 1% nilai A, selebihnya
28% nilai D dan 30% nilai E. Hasil uji kompetensi Apoteker sesudah penataran menunjukkan adanya peningkatan dengan data
kelulusan rata-rata: 15% nilai C, 33% nilai B, 30% nilai A, selebihnya 20% nilai D dan 2% nilai E. Hasil penelitian tahap kedua
menunjukkan bahwa rata-rata skor pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah antara 34,79% hingga 50,29% atau
berada dalam kategori kurang. Status kepemilikan apotek ternyata tidak mempengaruhi skor pelaksanaan standar pelayanan
kefarmasian. Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa secara umum pelayanan kefarmasian di apotek dilakukan oleh asisten
apoteker. Ditinjau dari kehadiran apoteker diketahui bahwa apoteker yang hadir lebih dari 10 hari di apotek dalam satu bulan hanya
7,5%. Gambaran peran Apoteker dalam pelayanan kefarmasian di apotek adalah 15% kategori baik, 22,5% kategori sedang, dan 65%
kategori buruk. Hasil penelitian tahap keempat memberikan gambaran pelayanan obat keras tanpa resep yaitu 60% apotek melayani
obat psikotropika, semua apotek melayani obat antibiotik dan obat penyakit degeneratif, dan semua apotek melayani Obat Wajib
Apotek tidak sesuai ketentuan. Pelayanan apotek cenderung dilakukan oleh siapa saja: 12% oleh Apoteker, 32% oleh Asisten
Apoteker, dan 56% oleh siapa saja.
Kata kunci: Profesi, Kompetensi, Standar Pelayanan, Peran
PENDAHULUAN
Pelayanan kefarmasian di Apotek saat ini didiskripsikan
para pemerhati kesehatan sebagai pelayanan yang tidak
mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak
dilakukan oleh Apoteker tetapi oleh siapa saja yang ada di
Apotek. Syaifullah Tatang, seorang pakar farmasi
menyatakan di Banda Aceh bahwa citra Apoteker
khususnya dalam perapotekan kerap hanya sebagai
sebuah nama yang dipinjamkan untuk kemudian
mendapatkan
imbalan
(Anonim1,2002).
Sebuah
pertemuan forum wartawan yang diselenggarakan oleh
Koalisi Indonesia Sehat juga menilai bahwa buruknya
persoalan obat di Indonesia terkait dengan lemahnya
peran Pemerintah dan Apoteker. Dalam pertemuan
tersebut ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,
Indah Sukmaningsih mengatakan bahwa selama ini
Apoteker hanya penjual obat, menerima resep dan
mengkalkulasi harga, sementara Ketua Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia, Ahaditomo mengatakan bahwa justru
Apoteker malah membiarkan obat membunuh konsumen
pelan-pelan karena tidak memberikan informasi kepada
konsumen (Anonim2,2002). Pada kesempatan lain
Ahaditomo juga melihat kenyataan pahit profil pelayanan
farmasi di Apotek yang lebih-kurang sama dengan
pendapat salah seorang pemerhati kesehatan masyarakat,
M Jamil, bahwa Apotek telah berubah menjadi semacam
Toko yang berisi semua golongan obat baik obat bebas,
obat keras, psikotropika dan narkotika dengan pelayanan
yang tidak mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena
tidak dilakukan oleh Apoteker tapi oleh siapa saja yang
ada di Apotek (Ahaditomo,2002; Anonim3,2002). Karin
Timmermans, seorang konsultan WHO menyatakan
bahwa kinerja apoteker saat ini berada di bawah standar,
dan bahkan kalangan dokter pelaku dispensing mulai
mempertanyakan: nilai tambah apa yang diberikan oleh
apoteker di apotek seandainya mereka menulis resep?
(Timmerman,2003). Sementara Siskandri, ketua PD ISFI
Sumut (anonim,2008) mengungkapkan bahwa 70%
Apoteker di Sumatera Utara tidak berada di apotek untuk
Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009
O6-11
memberikan pelayanan kefarmasian, menunjukkan betapa
semakin lemahnya komitmen berprofesi mayoritas
apoteker akhir-akhir ini, membawa akibat tidak eksisnya
profesi apoteker di tengah masyarakat yang akhirnya
berujung pada menurunnya kompetensi mayoritas para
Apoteker. Pada saat yang sama, dimensi obat yang lain
yaitu sains dan teknologi Industri Farmasi, telah
membawa masalah yang berpotensi merugikan bagi
masyarakat: multiple prescribers of medications for single
patient, the explosion of drug products and information
presently on the market, the increased complexity of drug
therapy, the significant level of drug-related morbidity
and mortality associated with drug use, and the high
human and financial cost of drug misadventuring (Cipole
dkk,1998). Lebih lanjut kejadian yang disebut sebagai
Medication error dalam pelayanan kefarmasian juga
menunjukkan data yang semakin mengkhawatirkan
(Dwiprahasto,2004; Timmerman, 2003). Berbagai
gambaran tentang buruknya profil pelayanan kefarmasian
di atas telah direspon oleh 2 institusi terkait paling
bertanggungjawab, yaitu Departemen Kesehatan RI dan
Organisasi Profesi ISFI. Respon Departemen Kesehatan
adalah dengan diterbitkannya Kepmenkes No.1027/2004
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
(Menteri Kesehatan RI.,2004) dan respon Organisasi
Profesi ISFI adalah dicanangkannya Sertifikasi Profesi
Apoteker yang pada tahap awal dilaksanakan melalui
Penataran dan Uji Kompetensi Apoteker (PUKA).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi
apoteker dan profil pelayanan kefarmasian di Apotik
pasca PUKA di Kota Medan.
METODE
1. Kompetensi apoteker dinilai melalui uji pada sebelum
dan sesudah mengikuti penataran di Medan meliputi 8
bidang/topik materi terdiri dari: Pharmaceutical Care,
Komunikasi Konseling, Farmakoterapi dan Peran
Apoteker, Drug Therapi Problem, Perkembangan
IPTEK Sediaan Farmasi, Manajemen Apotek, Kode
Etik dan Organisasi Profesi, serta Sertifikasi,
Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja terkait
Pekerjaan Kefarmasian, masing-masing terdiri dari 5
soal pilihan berganda. Penilaian Kompetensi
dinyatakan dalam persentase kelulusan peserta dengan
kategori A (81-100), B (61-80), C (41-60), D (21-40)
dan E (0-20)
2. Penelitian profil pelayanan kefarmasian dilakukan
dalam 3 tahap, 2 tahap melalui survei lapangan terkait
penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian dan Peran
Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
dan 1 tahap melalui observasi tersamar terkait Profil
Pelayanan Obat Keras Tanpa Resep Dokter.
beberapa berpredikat profesor, mayoritas atau 80% telah
lebih 10 tahun sebagai Apoteker. Uji Kompetensi
dilaksanakan sebelum dan sesudah mengikuti penataran.
Hasilnya dapat dilihat pada diagram 1 berikut, bahwa
hasil uji kompetensi Apoteker terhadap 8 materi
penataran sebelum dilaksanakan penataran cenderung
mengecewakan dengan data kelulusan rata-rata: 25% nilai
C, 16% nilai B, dan hanya 1% nilai A, selebihnya 28%
nilai D dan 30% nilai E. Hasil uji kompetensi Apoteker
sesudah penataran menunjukkan adanya peningkatan
dengan data kelulusan rata-rata: 15% nilai C, 33% nilai B,
30% nilai A, selebihnya 20% nilai D dan 2% nilai E.
Diagram 1. Persentase rata-rata hasil uji
Melihat hasil di atas, dapat dikemukakan bahwa
penguasaan ilmu mayoritas Apoteker Peserta PUKA
bukanlah ilmu-ilmu terkait profesi atau praktik pelayanan
kefarmasian, dan lamanya menyandang predikat Apoteker
bukanlah jaminan bahwa Apoteker tersebut adalah
seorang ahli dan profesional di bidang praktik pelayanan
kefarmasian
2. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek
Tabel 1 di bawah ini adalah kategori penerapan standar
pelayanan kefarmasian berdasarkan bentuk kegiatan
sebagaimana Kepmenkes No.1027/2004 tentang Standar
Kefarmasian di Apotik.
KEGIATAN
Pengelolaan
Sumber Daya
Pelayanan
Evaluasi
Mutu
Pelayanan
%
PENERAPAN
KATEGORI
82,18
Cukup
42,69
Kurang
Sangat
Kurang
3,47
Tabel 1. Perolehan Skor Penerapan Standar Pelayanan
Kefarmasian Berdasarkan kegiatan
HASIL DAN DISKUSI
1. Kompetensi Apoteker
Peserta Uji Kompetensi terdiri dari 166 orang Apoteker,
18% di antaranya berpendidikan pasca sarjana S2/S3 dan
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1
menunjukkan bahwa kategori Penerapan Standar
Pelayanan Kefarmasian pada kegiatan pelayanan masih
kurang, artinya bahwa pelayanan kefarmasian di apotek
sepenuhnya masih berorientasi produk, belum beranjak
Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009
O6-11
menuju pelayanan berorientasi pasien sebagaimana
seharusnya. Demikian juga terhadap evaluasi mutu
pelayanan masih belum dilaksanakan dengan baik, yang
mengindikasikan bahwa mutu masih belum menjadi
parameter yang harus diperhatikan dalam pelayanan.
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4
menunjukkan bahwa unjuk kerja yang ditampilkan
mayoritas APA adalah masih jauh dari harapan
pencanangan TATAP atau No Pharmacist No Services
Tabel 2 di bawah ini adalah kategori penerapan Standar
Pelayanan Kefarmasian berdasarkan keluangan waktu dan
kegiatan lain APA.
Tabel 5 di bawah ini adalah ragam kegiatan pelayanan
kefarmasian yang dilakukan apoteker jika berada di
apotek.
PEKERJAAN
LAIN APA
tanpa pekerjaan
lain
Pegawai Swasta
PNS Non Depkes
PNS Depkes
%
PENERAPAN
KATEGORI
50,29
Kurang
44,07
40,02
34,79
Kurang
Kurang
Kurang
Tabel 2. Perolehan Skor Penerapan Standar Pelayanan
Kefarmasian Berdasarkan Pekerjaan Lain APA
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2
menunjukkan bahwa semua kelompok APA masuk ke
dalam kategori kurang dalam hal menerapkan Standar
Pelayanan Kefarmasian dalam mengelola Apotek,
mengindikasikan bahwa pelayanan kefarmasian masih
dilaksanakan tanpa komitmen profesional
Tabel 3 di bawah ini adalah kategori penerapan Standar
Pelayanan Kefarmasian berdasarkan kepemilikan apotek.
KEPEMILIKAN
PSA
APA
Kelompok
APA - PSA
%
PENERAPAN
38,95
50,56
45,64
61,44
KATEGORI
Kurang
Kurang
Kurang
Cukup
Tabel 3. Perolehan Skor Penerapan Standar Pelayanan
Kefarmasian Berdasarkan Kepemilikan Apotek
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3
menunjukkan bahwa kepemilikan APA belum menjamin
penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian dalam
mengelola Apotek.
3. Peran Apoteker Dalam Pelayanan Kefarmasian di
Apotek
Tabel 4 di bawah ini adalah frekuensi rata-rata kehadiran
apoteker perbulan
FREKUENSI
1
2-4
5-10
>10
JUMLAH
(n=40)
25
11
1
3
(%)
62,5
27,5
2,5
7,5
Tabel 4. Frekuensi Rata-Rata Kehadiran Apoteker
Perbulan
RAGAM KEGIATAN
APOTEKER
Terlibat dalam penerimaan
resep
Terlibat dalam skrining resep
Terlibat dalam penyiapan obat
resep
Terlibat dalam penyerahan obat
resep
Berkonsultasi dengan dokter
penulis resep
Memberikan informasi tentang
obat kepada dokter dan tenaga
kesehatan lain
JUMLAH
(n=40)
(%)
13
62,5
13
32,5
9
22,5
7
17,5
4
10
10
25
Tabel 5. Ragam Kegiatan Pelayanan Kefarmasian Yang
Dilakukan Apoteker Jika Berada Di Apotek
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5
menunjukkan bahwa kurang dari 30% APA yang
melakukan kegiatan sebagaimana layaknya para
profesional berpraktek melayani pelanggan
Tabel 6 di bawah ini adalah kategori peran apoteker
terhadap kegiatan pelayanan kefarmasian jika berada di
apotek
PERAN APOTEKER
JML
KATEGORI
KEGIATAN
4
Baik
JUMLAH
(n=40)
(%)
26
9
5
65
22,5
15
Tabel 6. Kategori Peran Apoteker Terhadap Kegiatan
Pelayanan Kefarmasian Jika Berada di Apotek
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 6
menunjukkan bahwa mayoritas Apoteker yang diteliti
cenderung tidak berperan dengan baik dalam kegiatan
pelayanan kefarmasian jika berada di apotik. Melihat
minimnya kehadiran dan peran mayoritas apoteker saat
ini, sulit diharapkan profesi ini dapat membangun
kepantasan untuk meraih martabat, tradisi luhur, dan masa
depan.
4. Profil Pelayanan Obat Keras Tanpa Resep Dokter
Profil pelayanan obat keras tanpa resep dokter tergambar
pada tabel 7 hingga 10 di bawah ini.
Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009
O6-11
JUMLAH
NAMA OBAT
APOTEK PETUGAS
(n=25)
Sanmag
2
Pegawai
Neurodial
1
AA
Analsik
1
Pegawai
Stesolid
1
Apoteker
Diazepam
1
Pegawai
Carbamazepin
15
AA /Pegawai
60% apotek melayani obat psikotropika tanpa resep
Tabel 7. Data Pelayanan Obat Psikotropika (OKT) di
Apotek tanpa resep
JUMLAH
NAMA OBAT
APOTEK PETUGAS
(n=25)
Amoxisilin
3
AA /Pegawai
Amoxsan
2
Pegawai
Kalmicetin
2
AA
Khloramfenicol 1
Pegawai
Thiamfenicol
2
AA/Pegawai
Erythromycin
5
AA
Ciprofloxacin
3
Apt/ AA/Pegawai
Cefixim
2
Apt/ Pegawai
Trimoxul
2
Pegawai
Tetracyclin
1
Pegawai
Metronidazol
1
Pegawai
Sanprima
1
Pegawai
Semua Apotek melayani obat antibiotika tanpa resep
Tabel 8. Data Pelayanan Obat Keras di Apotek tanpa
resep
JUMLAH
APOTEK PETUGAS
(n=25)
Captopril
10
AA /Pegawai
Farmalat
5
Apt/ AA/Pegawai
Nifedipin
10
Apt/ AA/Pegawai
Digoxin
15
Apt/ AA/Pegawai
Cedocard
10
AA /Pegawai
Metformin
25
Apt/ AA/Pegawai
Semua Apotek melayani obat keras untuk penyakit
degeneratif tanpa resep
NAMA OBAT
Tabel 9. Data Pelayanan Obat Penyakit Degeneratif di
Apotek Tanpa Resep
JUMLAH
APOTEK
PETUGAS
(n=25)
Ponstan/ Pondex 8
AA /Pegawai
Ranitidin
4
Pegawai
Omeprazol
4
AA
Piroxicam
3
Pegawai
Alopurinol
3
AA
Ambroxol
20
AA /Pegawai
Semua Apotek melayani OWA tidak sesuai ketentuan
NAMA OBAT
Tabel 10. Data Pelayanan Obat Wajib Apotek di Apotek
Tanpa Resep
Melihat profil pelayanan obat keras tanpa resep dokter
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 7 hingga 10,
mengindikasikan bahwa obat cenderung tidak lagi
dipandang sebagai barang yang mempunyai resiko dalam
penggunaan, sementara jusru hal ini yang memberikan
pembenaran bagi keberadaan profesi apoteker di
masyarakat
Tabel 11 di bawah ini adalah data petugas apotek yang
melayani obat keras tanpa resep
PETUGAS
Apoteker
AA
Pegawai
JUMLAH
PETUGAS
3
8
14
%
12
32
56
Tabel 11. Data Petugas Apotek Yang Melayani Obat
Keras Tanpa Resep
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 11
menunjukkan bahwa pelayanan kefarmasian cenderung
dilakukan oleh siapa saja yang ada di Apotek tanpa
memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan
kaidah-kaidah profesi yang berlaku
KESIMPULAN
Kompetensi adalah kemampuan kerja yang
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan
dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Presiden RI, 2004). Pelaksanaan PUKA
masih sebatas peningkatan aspek pengetahuan dan
sebagai tahap awal proses sertifikasi, belum mampu
merubah sikap kerja yang menjadi aspek utama sebuah
profesi. Dengan diterbitkannya PP.51/2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Presiden RI, 2009) merupakan
peluang besar bagi pemerintah dan organisasi profesi
untuk menjadikan apoteker sebagai sebuah profesi yang
bermartabat serta mempunyai peran dan masa depan,
melalui proses pemurnian profesi sebagaimana
disampaikan Ketua Umum PP ISFI di berbagai
kesempatan pertemuan organisasi maupun acara
silaturahim
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Adelina Ginting, Rista
Romelyn Sirait dan Sri Ayu Elyarni atas partisipasinya dalam
pengumpulan data penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Ahaditomo. (2002)., Standard Kompetensi Apoteker Indonesia.,
Makalah pada Peringatan 55 Tahun Pendidikan Farmasi Institut
Teknologi Bandung.
1
Anonim (2002)., Masyarakat Belum Rasakan Manfaat Farmasi.,
Harian Analisa.,Medan., 13 Maret 2002.
Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009
O6-11
Anonim2(2002)., Peran Apoteker Lemah Perburuk Persoalan Obat.,
Harian Republika.,Jakarta., 30 Oktober 2002.
Anonim3. (2002)., Disesalkan Apotek Berubah Jadi Toko Obat di
Lhokseumawe., Harian Waspada., Medan., 10 September
2002.
Anonim. (2008), Tujuhpuluh persen Apoteker Tidak Berada di Apotek.,
Harian Waspada., Medan., 31 Mei 2008.
Cipole, RJ., Strand, LM., Morley, PC., 1998., Pharmaceutical Care
Practice., The McGraw-Hill Companies, Inc., The United
States of America.
Dwiprahasto, I., 2004., Medication Error., Materi Seminar Sehari
Medication Error, Tantangan dalam Pelayanan Medis dan
Kefarmasian., Magister Manajemen Farmasi., UGM.
Menteri Kesehatan RI. (1990)., Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotik.,
Departemen Kesehatan RI., Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. (2004)., Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek., Departemen Kesehatan RI., Jakarta.
Presiden RI. (2004) Peraturan Pemerintah RI No.23 tahun 2004
tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi., Lembaran
Negara RI No.78
Presiden RI. (2009) Peraturan Pemerintah RI No.51 tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian., Lembaran Negara RI
No.5044
Timmerman, K., 2003., Pharmaceutical Care and community
pharmacy in the Netherlands., Makalah pada Lokakarya
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek., Pusdiklat Depkes
RI., Jakarta.
Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009
KOMPETENSI APOTEKER DAN
PROFIL PELAYANAN KEFARMASIAN DI APOTEK
PASCA PUKA DI KOTA MEDAN
Wiryanto
Laboratorium Farmasi Komunitas
Fakultas Farmasi, Universitas Sumatera Utara
Jl. Almamater No. 5 Kampus USU Medan
[email protected]
ABSTRAK
Pelayanan kefarmasian di Apotek saat ini didiskripsikan para pemerhati kesehatan sebagai pelayanan yang tidak mengacu
pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak dilakukan oleh Apoteker tetapi oleh siapa saja yang ada di Apotek. Diskripsi yang
menyimpan beragam permasalahan mendasar bagai fenomena gunung es ini, telah direspon oleh 2 institusi terkait paling
bertanggungjawab, yaitu Departemen Kesehatan RI dan Organisasi Profesi ISFI. Respon Departemen Kesehatan adalah dengan
diterbitkannya Kepmenkes No.1027/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan respon Organisasi Profesi ISFI
adalah dicanangkannya Sertifikasi Profesi Apoteker yang pada tahap awal dilaksanakan melalui Penataran dan Uji Kompetensi
Apoteker (PUKA). Makalah ini merupakan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kompetensi apoteker dan
gambaran pelayanan kefarmasian di apotek pasca PUKA di kota Medan.
Penelitian dilakukan dalam 4 tahap, tahap pertama menilai kompetensi apoteker melalui uji sebelum dan sesudah mengikuti
penataran, tahap kedua survei lapangan untuk mengetahui sejauh mana penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, tahap
ketiga survei lapangan untuk mengetahui sejauh mana peran Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian di Apotek, dan tahap keempat
observasi tersamar untuk mengetahui sejauh mana Pelayanan Obat Keras tanpa Resep Dokter dilakukan di Apotek.
Hasil penelitian tahap pertama menunjukkan bahwa hasil uji kompetensi Apoteker terhadap 8 materi penataran sebelum
dilaksanakan penataran cenderung mengecewakan dengan data kelulusan rata-rata: 25% nilai C, 16% nilai B, 1% nilai A, selebihnya
28% nilai D dan 30% nilai E. Hasil uji kompetensi Apoteker sesudah penataran menunjukkan adanya peningkatan dengan data
kelulusan rata-rata: 15% nilai C, 33% nilai B, 30% nilai A, selebihnya 20% nilai D dan 2% nilai E. Hasil penelitian tahap kedua
menunjukkan bahwa rata-rata skor pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek adalah antara 34,79% hingga 50,29% atau
berada dalam kategori kurang. Status kepemilikan apotek ternyata tidak mempengaruhi skor pelaksanaan standar pelayanan
kefarmasian. Hasil penelitian tahap ketiga menunjukkan bahwa secara umum pelayanan kefarmasian di apotek dilakukan oleh asisten
apoteker. Ditinjau dari kehadiran apoteker diketahui bahwa apoteker yang hadir lebih dari 10 hari di apotek dalam satu bulan hanya
7,5%. Gambaran peran Apoteker dalam pelayanan kefarmasian di apotek adalah 15% kategori baik, 22,5% kategori sedang, dan 65%
kategori buruk. Hasil penelitian tahap keempat memberikan gambaran pelayanan obat keras tanpa resep yaitu 60% apotek melayani
obat psikotropika, semua apotek melayani obat antibiotik dan obat penyakit degeneratif, dan semua apotek melayani Obat Wajib
Apotek tidak sesuai ketentuan. Pelayanan apotek cenderung dilakukan oleh siapa saja: 12% oleh Apoteker, 32% oleh Asisten
Apoteker, dan 56% oleh siapa saja.
Kata kunci: Profesi, Kompetensi, Standar Pelayanan, Peran
PENDAHULUAN
Pelayanan kefarmasian di Apotek saat ini didiskripsikan
para pemerhati kesehatan sebagai pelayanan yang tidak
mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena tidak
dilakukan oleh Apoteker tetapi oleh siapa saja yang ada di
Apotek. Syaifullah Tatang, seorang pakar farmasi
menyatakan di Banda Aceh bahwa citra Apoteker
khususnya dalam perapotekan kerap hanya sebagai
sebuah nama yang dipinjamkan untuk kemudian
mendapatkan
imbalan
(Anonim1,2002).
Sebuah
pertemuan forum wartawan yang diselenggarakan oleh
Koalisi Indonesia Sehat juga menilai bahwa buruknya
persoalan obat di Indonesia terkait dengan lemahnya
peran Pemerintah dan Apoteker. Dalam pertemuan
tersebut ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia,
Indah Sukmaningsih mengatakan bahwa selama ini
Apoteker hanya penjual obat, menerima resep dan
mengkalkulasi harga, sementara Ketua Ikatan Sarjana
Farmasi Indonesia, Ahaditomo mengatakan bahwa justru
Apoteker malah membiarkan obat membunuh konsumen
pelan-pelan karena tidak memberikan informasi kepada
konsumen (Anonim2,2002). Pada kesempatan lain
Ahaditomo juga melihat kenyataan pahit profil pelayanan
farmasi di Apotek yang lebih-kurang sama dengan
pendapat salah seorang pemerhati kesehatan masyarakat,
M Jamil, bahwa Apotek telah berubah menjadi semacam
Toko yang berisi semua golongan obat baik obat bebas,
obat keras, psikotropika dan narkotika dengan pelayanan
yang tidak mengacu pada kaidah-kaidah profesi, karena
tidak dilakukan oleh Apoteker tapi oleh siapa saja yang
ada di Apotek (Ahaditomo,2002; Anonim3,2002). Karin
Timmermans, seorang konsultan WHO menyatakan
bahwa kinerja apoteker saat ini berada di bawah standar,
dan bahkan kalangan dokter pelaku dispensing mulai
mempertanyakan: nilai tambah apa yang diberikan oleh
apoteker di apotek seandainya mereka menulis resep?
(Timmerman,2003). Sementara Siskandri, ketua PD ISFI
Sumut (anonim,2008) mengungkapkan bahwa 70%
Apoteker di Sumatera Utara tidak berada di apotek untuk
Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009
O6-11
memberikan pelayanan kefarmasian, menunjukkan betapa
semakin lemahnya komitmen berprofesi mayoritas
apoteker akhir-akhir ini, membawa akibat tidak eksisnya
profesi apoteker di tengah masyarakat yang akhirnya
berujung pada menurunnya kompetensi mayoritas para
Apoteker. Pada saat yang sama, dimensi obat yang lain
yaitu sains dan teknologi Industri Farmasi, telah
membawa masalah yang berpotensi merugikan bagi
masyarakat: multiple prescribers of medications for single
patient, the explosion of drug products and information
presently on the market, the increased complexity of drug
therapy, the significant level of drug-related morbidity
and mortality associated with drug use, and the high
human and financial cost of drug misadventuring (Cipole
dkk,1998). Lebih lanjut kejadian yang disebut sebagai
Medication error dalam pelayanan kefarmasian juga
menunjukkan data yang semakin mengkhawatirkan
(Dwiprahasto,2004; Timmerman, 2003). Berbagai
gambaran tentang buruknya profil pelayanan kefarmasian
di atas telah direspon oleh 2 institusi terkait paling
bertanggungjawab, yaitu Departemen Kesehatan RI dan
Organisasi Profesi ISFI. Respon Departemen Kesehatan
adalah dengan diterbitkannya Kepmenkes No.1027/2004
tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
(Menteri Kesehatan RI.,2004) dan respon Organisasi
Profesi ISFI adalah dicanangkannya Sertifikasi Profesi
Apoteker yang pada tahap awal dilaksanakan melalui
Penataran dan Uji Kompetensi Apoteker (PUKA).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kompetensi
apoteker dan profil pelayanan kefarmasian di Apotik
pasca PUKA di Kota Medan.
METODE
1. Kompetensi apoteker dinilai melalui uji pada sebelum
dan sesudah mengikuti penataran di Medan meliputi 8
bidang/topik materi terdiri dari: Pharmaceutical Care,
Komunikasi Konseling, Farmakoterapi dan Peran
Apoteker, Drug Therapi Problem, Perkembangan
IPTEK Sediaan Farmasi, Manajemen Apotek, Kode
Etik dan Organisasi Profesi, serta Sertifikasi,
Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja terkait
Pekerjaan Kefarmasian, masing-masing terdiri dari 5
soal pilihan berganda. Penilaian Kompetensi
dinyatakan dalam persentase kelulusan peserta dengan
kategori A (81-100), B (61-80), C (41-60), D (21-40)
dan E (0-20)
2. Penelitian profil pelayanan kefarmasian dilakukan
dalam 3 tahap, 2 tahap melalui survei lapangan terkait
penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian dan Peran
Apoteker dalam Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
dan 1 tahap melalui observasi tersamar terkait Profil
Pelayanan Obat Keras Tanpa Resep Dokter.
beberapa berpredikat profesor, mayoritas atau 80% telah
lebih 10 tahun sebagai Apoteker. Uji Kompetensi
dilaksanakan sebelum dan sesudah mengikuti penataran.
Hasilnya dapat dilihat pada diagram 1 berikut, bahwa
hasil uji kompetensi Apoteker terhadap 8 materi
penataran sebelum dilaksanakan penataran cenderung
mengecewakan dengan data kelulusan rata-rata: 25% nilai
C, 16% nilai B, dan hanya 1% nilai A, selebihnya 28%
nilai D dan 30% nilai E. Hasil uji kompetensi Apoteker
sesudah penataran menunjukkan adanya peningkatan
dengan data kelulusan rata-rata: 15% nilai C, 33% nilai B,
30% nilai A, selebihnya 20% nilai D dan 2% nilai E.
Diagram 1. Persentase rata-rata hasil uji
Melihat hasil di atas, dapat dikemukakan bahwa
penguasaan ilmu mayoritas Apoteker Peserta PUKA
bukanlah ilmu-ilmu terkait profesi atau praktik pelayanan
kefarmasian, dan lamanya menyandang predikat Apoteker
bukanlah jaminan bahwa Apoteker tersebut adalah
seorang ahli dan profesional di bidang praktik pelayanan
kefarmasian
2. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek
Tabel 1 di bawah ini adalah kategori penerapan standar
pelayanan kefarmasian berdasarkan bentuk kegiatan
sebagaimana Kepmenkes No.1027/2004 tentang Standar
Kefarmasian di Apotik.
KEGIATAN
Pengelolaan
Sumber Daya
Pelayanan
Evaluasi
Mutu
Pelayanan
%
PENERAPAN
KATEGORI
82,18
Cukup
42,69
Kurang
Sangat
Kurang
3,47
Tabel 1. Perolehan Skor Penerapan Standar Pelayanan
Kefarmasian Berdasarkan kegiatan
HASIL DAN DISKUSI
1. Kompetensi Apoteker
Peserta Uji Kompetensi terdiri dari 166 orang Apoteker,
18% di antaranya berpendidikan pasca sarjana S2/S3 dan
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 1
menunjukkan bahwa kategori Penerapan Standar
Pelayanan Kefarmasian pada kegiatan pelayanan masih
kurang, artinya bahwa pelayanan kefarmasian di apotek
sepenuhnya masih berorientasi produk, belum beranjak
Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009
O6-11
menuju pelayanan berorientasi pasien sebagaimana
seharusnya. Demikian juga terhadap evaluasi mutu
pelayanan masih belum dilaksanakan dengan baik, yang
mengindikasikan bahwa mutu masih belum menjadi
parameter yang harus diperhatikan dalam pelayanan.
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 4
menunjukkan bahwa unjuk kerja yang ditampilkan
mayoritas APA adalah masih jauh dari harapan
pencanangan TATAP atau No Pharmacist No Services
Tabel 2 di bawah ini adalah kategori penerapan Standar
Pelayanan Kefarmasian berdasarkan keluangan waktu dan
kegiatan lain APA.
Tabel 5 di bawah ini adalah ragam kegiatan pelayanan
kefarmasian yang dilakukan apoteker jika berada di
apotek.
PEKERJAAN
LAIN APA
tanpa pekerjaan
lain
Pegawai Swasta
PNS Non Depkes
PNS Depkes
%
PENERAPAN
KATEGORI
50,29
Kurang
44,07
40,02
34,79
Kurang
Kurang
Kurang
Tabel 2. Perolehan Skor Penerapan Standar Pelayanan
Kefarmasian Berdasarkan Pekerjaan Lain APA
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 2
menunjukkan bahwa semua kelompok APA masuk ke
dalam kategori kurang dalam hal menerapkan Standar
Pelayanan Kefarmasian dalam mengelola Apotek,
mengindikasikan bahwa pelayanan kefarmasian masih
dilaksanakan tanpa komitmen profesional
Tabel 3 di bawah ini adalah kategori penerapan Standar
Pelayanan Kefarmasian berdasarkan kepemilikan apotek.
KEPEMILIKAN
PSA
APA
Kelompok
APA - PSA
%
PENERAPAN
38,95
50,56
45,64
61,44
KATEGORI
Kurang
Kurang
Kurang
Cukup
Tabel 3. Perolehan Skor Penerapan Standar Pelayanan
Kefarmasian Berdasarkan Kepemilikan Apotek
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3
menunjukkan bahwa kepemilikan APA belum menjamin
penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian dalam
mengelola Apotek.
3. Peran Apoteker Dalam Pelayanan Kefarmasian di
Apotek
Tabel 4 di bawah ini adalah frekuensi rata-rata kehadiran
apoteker perbulan
FREKUENSI
1
2-4
5-10
>10
JUMLAH
(n=40)
25
11
1
3
(%)
62,5
27,5
2,5
7,5
Tabel 4. Frekuensi Rata-Rata Kehadiran Apoteker
Perbulan
RAGAM KEGIATAN
APOTEKER
Terlibat dalam penerimaan
resep
Terlibat dalam skrining resep
Terlibat dalam penyiapan obat
resep
Terlibat dalam penyerahan obat
resep
Berkonsultasi dengan dokter
penulis resep
Memberikan informasi tentang
obat kepada dokter dan tenaga
kesehatan lain
JUMLAH
(n=40)
(%)
13
62,5
13
32,5
9
22,5
7
17,5
4
10
10
25
Tabel 5. Ragam Kegiatan Pelayanan Kefarmasian Yang
Dilakukan Apoteker Jika Berada Di Apotek
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 5
menunjukkan bahwa kurang dari 30% APA yang
melakukan kegiatan sebagaimana layaknya para
profesional berpraktek melayani pelanggan
Tabel 6 di bawah ini adalah kategori peran apoteker
terhadap kegiatan pelayanan kefarmasian jika berada di
apotek
PERAN APOTEKER
JML
KATEGORI
KEGIATAN
4
Baik
JUMLAH
(n=40)
(%)
26
9
5
65
22,5
15
Tabel 6. Kategori Peran Apoteker Terhadap Kegiatan
Pelayanan Kefarmasian Jika Berada di Apotek
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 6
menunjukkan bahwa mayoritas Apoteker yang diteliti
cenderung tidak berperan dengan baik dalam kegiatan
pelayanan kefarmasian jika berada di apotik. Melihat
minimnya kehadiran dan peran mayoritas apoteker saat
ini, sulit diharapkan profesi ini dapat membangun
kepantasan untuk meraih martabat, tradisi luhur, dan masa
depan.
4. Profil Pelayanan Obat Keras Tanpa Resep Dokter
Profil pelayanan obat keras tanpa resep dokter tergambar
pada tabel 7 hingga 10 di bawah ini.
Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009
O6-11
JUMLAH
NAMA OBAT
APOTEK PETUGAS
(n=25)
Sanmag
2
Pegawai
Neurodial
1
AA
Analsik
1
Pegawai
Stesolid
1
Apoteker
Diazepam
1
Pegawai
Carbamazepin
15
AA /Pegawai
60% apotek melayani obat psikotropika tanpa resep
Tabel 7. Data Pelayanan Obat Psikotropika (OKT) di
Apotek tanpa resep
JUMLAH
NAMA OBAT
APOTEK PETUGAS
(n=25)
Amoxisilin
3
AA /Pegawai
Amoxsan
2
Pegawai
Kalmicetin
2
AA
Khloramfenicol 1
Pegawai
Thiamfenicol
2
AA/Pegawai
Erythromycin
5
AA
Ciprofloxacin
3
Apt/ AA/Pegawai
Cefixim
2
Apt/ Pegawai
Trimoxul
2
Pegawai
Tetracyclin
1
Pegawai
Metronidazol
1
Pegawai
Sanprima
1
Pegawai
Semua Apotek melayani obat antibiotika tanpa resep
Tabel 8. Data Pelayanan Obat Keras di Apotek tanpa
resep
JUMLAH
APOTEK PETUGAS
(n=25)
Captopril
10
AA /Pegawai
Farmalat
5
Apt/ AA/Pegawai
Nifedipin
10
Apt/ AA/Pegawai
Digoxin
15
Apt/ AA/Pegawai
Cedocard
10
AA /Pegawai
Metformin
25
Apt/ AA/Pegawai
Semua Apotek melayani obat keras untuk penyakit
degeneratif tanpa resep
NAMA OBAT
Tabel 9. Data Pelayanan Obat Penyakit Degeneratif di
Apotek Tanpa Resep
JUMLAH
APOTEK
PETUGAS
(n=25)
Ponstan/ Pondex 8
AA /Pegawai
Ranitidin
4
Pegawai
Omeprazol
4
AA
Piroxicam
3
Pegawai
Alopurinol
3
AA
Ambroxol
20
AA /Pegawai
Semua Apotek melayani OWA tidak sesuai ketentuan
NAMA OBAT
Tabel 10. Data Pelayanan Obat Wajib Apotek di Apotek
Tanpa Resep
Melihat profil pelayanan obat keras tanpa resep dokter
sebagaimana dapat dilihat pada tabel 7 hingga 10,
mengindikasikan bahwa obat cenderung tidak lagi
dipandang sebagai barang yang mempunyai resiko dalam
penggunaan, sementara jusru hal ini yang memberikan
pembenaran bagi keberadaan profesi apoteker di
masyarakat
Tabel 11 di bawah ini adalah data petugas apotek yang
melayani obat keras tanpa resep
PETUGAS
Apoteker
AA
Pegawai
JUMLAH
PETUGAS
3
8
14
%
12
32
56
Tabel 11. Data Petugas Apotek Yang Melayani Obat
Keras Tanpa Resep
Hasil penelitian sebagaimana dapat dilihat pada tabel 11
menunjukkan bahwa pelayanan kefarmasian cenderung
dilakukan oleh siapa saja yang ada di Apotek tanpa
memperhatikan ketentuan perundang-undangan dan
kaidah-kaidah profesi yang berlaku
KESIMPULAN
Kompetensi adalah kemampuan kerja yang
mencakup aspek pengetahuan, keterampilan
dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Presiden RI, 2004). Pelaksanaan PUKA
masih sebatas peningkatan aspek pengetahuan dan
sebagai tahap awal proses sertifikasi, belum mampu
merubah sikap kerja yang menjadi aspek utama sebuah
profesi. Dengan diterbitkannya PP.51/2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian (Presiden RI, 2009) merupakan
peluang besar bagi pemerintah dan organisasi profesi
untuk menjadikan apoteker sebagai sebuah profesi yang
bermartabat serta mempunyai peran dan masa depan,
melalui proses pemurnian profesi sebagaimana
disampaikan Ketua Umum PP ISFI di berbagai
kesempatan pertemuan organisasi maupun acara
silaturahim
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Adelina Ginting, Rista
Romelyn Sirait dan Sri Ayu Elyarni atas partisipasinya dalam
pengumpulan data penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Ahaditomo. (2002)., Standard Kompetensi Apoteker Indonesia.,
Makalah pada Peringatan 55 Tahun Pendidikan Farmasi Institut
Teknologi Bandung.
1
Anonim (2002)., Masyarakat Belum Rasakan Manfaat Farmasi.,
Harian Analisa.,Medan., 13 Maret 2002.
Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009
O6-11
Anonim2(2002)., Peran Apoteker Lemah Perburuk Persoalan Obat.,
Harian Republika.,Jakarta., 30 Oktober 2002.
Anonim3. (2002)., Disesalkan Apotek Berubah Jadi Toko Obat di
Lhokseumawe., Harian Waspada., Medan., 10 September
2002.
Anonim. (2008), Tujuhpuluh persen Apoteker Tidak Berada di Apotek.,
Harian Waspada., Medan., 31 Mei 2008.
Cipole, RJ., Strand, LM., Morley, PC., 1998., Pharmaceutical Care
Practice., The McGraw-Hill Companies, Inc., The United
States of America.
Dwiprahasto, I., 2004., Medication Error., Materi Seminar Sehari
Medication Error, Tantangan dalam Pelayanan Medis dan
Kefarmasian., Magister Manajemen Farmasi., UGM.
Menteri Kesehatan RI. (1990)., Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.347/MenKes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotik.,
Departemen Kesehatan RI., Jakarta.
Menteri Kesehatan RI. (2004)., Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek., Departemen Kesehatan RI., Jakarta.
Presiden RI. (2004) Peraturan Pemerintah RI No.23 tahun 2004
tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi., Lembaran
Negara RI No.78
Presiden RI. (2009) Peraturan Pemerintah RI No.51 tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian., Lembaran Negara RI
No.5044
Timmerman, K., 2003., Pharmaceutical Care and community
pharmacy in the Netherlands., Makalah pada Lokakarya
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek., Pusdiklat Depkes
RI., Jakarta.
Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta 7-8 Desember 2009